BAB I
SECARA HARFIYAH TIDAK ADA LARANGAN MEMUKUL ORANG TUA
Mafhum
terdiri dari dua macam: mafhum muwafaqoh dan mafhum mukholafah. Mafhum muwafaqoh: Penunjukkan lafadz
atas berlakunya hukum dari masalah yang disebutkan (manthuq) bagi masalah
yang tidak disebutkan (maskut) dan penyesuaiannya baik secara tidak pasti
(nafy) atau tidak pasti (itsbat) bagi pelibatan keduanya atas makna dan dapat
diketahui dengan hanya memahami bahasa Misalnya dalam QS. Al Isra’
23
bahwa disitu di terangkan dilarang mengatakan “huss” pada
orang tua, berarti mafhumnya bahwa kita dilarang untuk memukul dan lain-0lain
yang menyakiti orang tua. Jadi karena kata “huss” ini mengandung makna yang
menyakitkan bagi orang tua maka perbuatan yang lain yang sifatnya menyakitkan
orang tua maka diharamkan pula.
Mafhum Mukholafah:
Yaitu pengertian yang dipahami berbeda daripada ucapan, baik
dalam istinbat (menetapkan) maupun Nafi (meniadakkan). Oleh sebab hal itu yang
diucapkan. Dan mengenai mafhum mukhalafah itu ulama Hanafiyah tidak memandang
sebagai salah satu metode penafsiran nash-nash syara atau menetapkan hukum.
Alasan mereka adalah : Banyak nash syara yang apabila diambil mafhum
mukhalafahnya akan rusak pengertiannya, Sifat-sifat yang terdapat pada nash
syara dalam banyak hal bukan untuk pembatasan hukum, melainkan untuk targib dan
terhib, Seandainya mafhum mukhalafahnya itu dapat dijadikan hujah syara maka
sustu nash yang telah menyebutkan suatu sifat tidak perlu lagi disebut nash
yang menerangkan hukum kebalikan hukum dari sifat tersebut. Akan tetapi menurut
jumhu ushulliyyin mafhum mukhalafah dapa dijadikan sebagai hujjah syara’.
Macam-macam mafhum mukholafah:
1. Mafhum
shifah: yaitu mempertalikan hukum sesuatu kepada salah satu sifat-sifatnya.
Seperti pada firman Allah QS. An Nisa 25
“Dan barang siapa diantara kamu tidak mempunyai biaya untuk
menikahi orang merdeka yang beriman, maka (dihalalkan menikahi perempuan) yang
beriman dari hamba sahaya yang kamu miliki”
Bahwa madzhab syafi’i, hanbali, maliki mengharamkan menikahi
budak perempuan yang tidak beriman.
Allah Berfirman QS. Al An’am 145
“darah yang mengalir “
mantuqnya mengharamkan darah yang mengalir dan mafhum mukholafahnya
membolehkan darah yang tidak mengalir.
Rosulullah bersabda
“Dan kambing- kambing yang digembala
ada zakatnya”
Dalam hal ini mafhumnya bahwa
kambing- kambing yang tidak digembala tidak wajib zakat.
Kemudian rosulullah bersabda
“orang kaya yang mengulur-ulur
hutang maka dia telah berbuat dzalim”
Ini menunjukkan bahwa apabila orang
itu fakir maka tidak dzalim.
2. Mafhum
Syarat
Yaitu suatu hukum yag dikaitkan
dengan hukum syarat. Misalnya QS. At Tholaq 6
“dan jika mereka(istri-istri yang
sudah di talak) itu sedang hamil maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai
mereka melahirkan kandungannya “
Jadi mafhunya tidak wajib menafkahi
apabila istri tidak hamil. Hal ini menurut imam syafi’i, hanbali, maliki.
Allah berfirman dalam QS. An Nisa 4
“kemudian jika mereka menyerahkan
kepada kamu sebagian dari (mas kawin) itu dengan senang hati, maka terimalah
dsn nikmatilah pemberian itu dengan senang hati”
Jadi disini mafhumnya bahwa
mengharamkan mengambil mas kawin yang mana di berikan dengan tidak senang hati
dengan sesuatu yang diberikan darinya.
3. Mafhum
Ghoyah
yaitu lafaz yang menunjukkan hukum
sampai kepada ghayah (batasan, hinggaan). Mafhum ghoyah ini biasanya ada ciri –
ciri “
, “ seperti firman
Allah QS. Al baqoroh 187
“makan dan minumlah hingga jelas
bagimu benang putih dan benang hitam yaitu fajar. Kemudian sepurnakanlah puasa
sampai (datang) malam”
Disini mafhum mukholafahnya
diharamkan makan dan minum setelah batas yaitu terbit fajar. Dan pemboleha
berbuka ketika masuk waktu malam yaitu terbenamnya matahari.
Allah berfirman dalam QS. Al baqoroh
222
“dan janganlah kamu mendekati zina
sampai dia suci”
Bahwa syafi’i dan hanbali
memperbolekan berkumpul kembali setelah suci dari haid. Dan Allah
berfirman dalam QS. Al baqoroh 230
“kemudian jika dia menceraikannya
(setelah thalak yang kedua) maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum
dia menikah lagi dengan suami yang lain”
Jadi mafhumnya apabila si suami
menthalak sebelum thalak kedua maka si istri masih halal baginya.
BAB II
PEMAHAMAN LAFAZ AYAT DAN HADITS
1.Jangan kaku pada lafazd
kasar
ingat
kaidah fiqh: “Asal Ibadah adalah Tauqif” Bukan “haram”
dan “ibadah” yang dimaksud dalam kaidah ini hanyalah : “ibadah mahdhah saja”
dan “ibadah” yang dimaksud dalam kaidah ini hanyalah : “ibadah mahdhah saja”
Ibadah
Mahdhah yaitu Ibadah yang hanya berhubungan dengan Allah dan telah lengkap dan
sempurna penjelasannya dalam Qur’an dan Hadits. Seperti : Shalat, Puasa, Haji,
Zakat, berikut syarat dan rukun yang mendampinginya.
bisa
dilihat di Kitab Fathul Bari dan beberapa Kitab Ushul Fiqh.
Asal Ibadah adalah Tauqif (berhenti) pada dalil yang jelas (sahih) baik Qur’an dan hadits. Pengertian berhenti adalah mengikuti pada dalil yang sahih dari Qur’an dan hadits tidak boleh dikurangi, ditambahi, mendahulukan ataupun mengakhirkan. lebih lengkapnya:::
Asal Ibadah adalah Tauqif (berhenti) pada dalil yang jelas (sahih) baik Qur’an dan hadits. Pengertian berhenti adalah mengikuti pada dalil yang sahih dari Qur’an dan hadits tidak boleh dikurangi, ditambahi, mendahulukan ataupun mengakhirkan. lebih lengkapnya:::
Sangat sering kita membaca atau
mendengar ucapan, “Mana dalilnya ?”, “Kalau memang itu baik/benar mengapa
Rasulallah dan para sahabat tidak pernah melakukannya ?”, “Lau Kana Khairan Ma
Sabaquna ilaihi ?”, “Apakah Rasulallah dan sahabatnya pernah melakukannya ?”
dan lain sebagainya. Hal ini paling sering diucapkan oleh kelompok Salafy
Wahabi dalam memvonis amaliah pengikut I’tiqad Ahlus Sunnah Wal Jamaah, seperti
Yasinan, Tahlilan, Maulid Nabi Muhammad SAW., peringatan hari besar Islam,
bermazhab, sunahnya mengucap ushalli sebelum takbiratul ihram dan amalan
lainnya.
AT TARK
Pertanyaannya adalah apakah “At
Tark” yaitu “Rasulallah meninggalkan atau tidak melakukan sesuatu” itu
merupakan suatu hukum baru ? Bisakah “At Tark” itu dijadikan alat untuk
menghukumi suatu amaliah itu makruh atau bahkan haram ? Ataukah “At Tark” itu
dianggap Salafy Wahabi hanya sebagai “jembatan” untuk diarahkan ke bid’ah
dhalalah, yang semua tempatnya neraka ?
Mari kita bahas bersama bagaimana
sebenarnya kedudukan “At Tark” ini. “At Tark” yang kita pahami sebagai amaliah
yang tidak dilakukan atau ditinggalkan oleh Rasulullah” tidak secara langsung
menghukumi sesuatu itu makruh atau haram atau sering disebut kelompok Salafy
Wahabi “Bid’ah (Dhalalah)”.
Hal ini bisa kita buktikan dari
banyak sudut pandang, yaitu :
1. Dari
sudut Ushul Fiqh, larangan jelas ditunjukkan dengan tiga hal :
- Ada sighat nahi (berupa kalimat larangan).
Contoh :
ولا
تقربوا الزن
(Jangan kalian dekati zina)
- Ada Lafadz Tahrim (Lafadz keharaman).
Contoh :
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُ
مُ الْمَيْتَةَ
(Sesungguhnya Allah mengharamkan bagimu bangkai dst.)
- Ada Dzammul Fi’l (Celaan/ancaman atas suatu perkara/amal)
Contoh :
من غش فليس منا
(Barang siapa memalsu maka bukan golongan kami)
Dari ketiga dasar ushul fiqh
tersebut tidak ada “At Tark” di salah satunya.
2. Nash Qur’an
menyebutkan :
وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ
عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Apa
yang diberikan Rosul bagimu terimalah, dan apa yang dilarangnya bagimu maka
tinggalkanlah” QS. Al Hasyr : 7
Disini jelas nash Qur’an menggunakan
lafadz “Naha” (dilarang), bukan “Tark” (ditinggalkan/tidak
pernah dilakukan)
3. Dalil
dari Hadits menyebutkan :
مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ
فَاجْتَنِبُوهُ وَ
مَا
أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَافْعَلُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Apa
saja yang aku cegah atas kalian maka jauhilah (tinggalkanlah), dan apa-apa yang
aku perintahkan pada kalian
kerjakanlah semampu kalian” (HR. Bukhori Muslim)
Disini Rasulullah juga tidak
mengatakan “Tark” tapi “Nahi” (larangan yang jelas).
Jadi jelas sudah bahwa “At Tark”
bukan sumber hukum dan tidak bisa secara otomatis menghukumi sesuatu itu makruh
atau haram. Hal ini berbeda dengan qaidah yang baru dibuat oleh Salafy Wahabi
yang mengatakan “at-Tarku Yadullu ‘ala Tahrim”. Jelas ini mengada-ada.
LAU KAANA KHAIRAN MA SABAQUUNA
ILAIHI
Berikutnya adalah sering kita baca
atau dengar kalimat
Lau Kaana Khairan Maa Sabaquunaa
Ilaihi
Yang diartikan secara asal-asalan
oleh Salafy Wahabi :
“Kalau sekiranya perbuatan itu baik,
tentulah para Shahabat telah mendahului kita mengamalkannya”
Adakah kalimat itu dijadikan dasar
hukum ? ataukah ada sumber dari Ushul Fiqh ?
Dengan tegas harus kita jawab tidak
ada hal tersebut sebagai sumber hukum untuk menilai halal/haram ataupun bid’ah
suatu amaliah. Dan yang paling penting kita ketahui kalimat itu sebenarnya
adalah ayat Qur’an surat Al Ahqaf ayat 11. Dalam asbabun nuzul ayat
tersebut menyatakan bahwa kalimat tersebut adalah kalimat “orang kafir quraisy
“ yang mempertanyakan masuk Islamnya “Zanin”, budak wanita Sayyidina Umar ibn
Khattab Ra. Sebelum beliau memeluk Islam.
Pantaskah hal itu digunakan sebagai
dalil menghukumi suatu amal ??? Dengan tegas jawab tidak bisa. Bahkan hal itu
jelas diucapkan oleh orang yang tidak punya ilmu.
ASAL IBADAH ADALAH TAUQIF
Selanjutnya yang santer juga
diucapkan oleh Salafy Wahabi yaitu “Asal Ibadah adalah haram”. Yang kami temui
istilah yang tepat dan banyak disebut ulama adalah “Asal Ibadah adalah Tauqif”
bisa dilihat di Kitab Fathul Bari dan beberapa Kitab Ushul Fiqh.
Untuk jelasnya dalam Kitab Ushul
Fiqh :
الأصل في
العبادات التوقيف
وفي هذه الليلة أود أن أقف عند قضية
أساسية في العبادات جميعا وهي قاعدة معروفة عند أهل العلم، أن الأصل في العبادات
التوقيف كما أن الأصل في المعاملات والعقود الإباحة، وهذه قاعدة نفيسة ومهمة جدا
ونافعة للإنسان، فبالنسبة للعبادات لا يجوز للإنسان أن يخترع من نفسه عبادة لم
يأذن بها الله عز وجل، بل لو فعل لكان قد شرع في الدين ما لم يأذن به الله، فلم
يكن لأحد أن يتصرف في شأن الصلاة أو الزكاة أو الصوم أو الحج زيادة أو نقصا أو
تقديما أو تأخيرا أو غير ذلك، ليس لأحد أن يفعل هذا، بل هذه الأمور إنما تتلقى عن
الشارع، ولا يلزم لها تعليل، بل هي كما يقول الأصوليون: غير معقولة المعنى، أو
تعبدية، بمعنى أنه ليس في عقولنا نحن ما يبين لماذا كانت الظهر أربعا، والعصر
أربعا، والمغرب ثلاثا، والفجر ركعتين، ليس عندنا ما يدل على ذلك إلا أننا آمنا
بالله جل وعلا، وصدقنا رسوله صلى الله عليه وسلم، فجاءنا بهذا فقبلناه، هذا هو
طريق معرفة العقائد وطريق معرفة العبادات، فمبناها على التوقيف والسمع والنقل لا
غير، بخلاف المعاملات والعقود ونحوها، فإن الأصل فيها الإباحة والإذن إلا إذا ورد
دليل على المنع منها، فلو فرض مثلا أن الناس اخترعوا طريقة جديدة في المعاملة في
البيع والشراء عقدا جديدا لم يكن موجودا في عهد النبوة، وهذا العقد ليس فيه منع،
ليس فيه ربا ولا غرر ولا جهالة ولا ظلم ولا شيء يتعارض مع أصول الشريعة، فحينئذ
نقول: هذا العقد مباح؛
التوقيف في صفة العبادة
العبادة توقيفية في كل شيء، توقيفية
في صفتها -في صفة العبادة- فلا يجوز لأحد أن يزيد أو ينقص، كأن يسجد قبل أن يركع
مثلا أو يجلس قبل أن يسجد، أو يجلس للتشهد في غير محل الجلوس، فهيئة العبادة
توقيفية منقولة عن الشارع
التوقيف في زمن العبادة
زمان العبادة توقيفي -أيضا- فلا يجوز
لأحد أن يخترع زمانا للعبادة لم ترد، مثل أن يقول مثلا
التوقيف في نوع العبادة
كذلك لابد أن تكون العبادة مشروعة في
نوعها، وأعني بنوعها أن يكون جنس العبادة مشروعا، فلا يجوز لأحد أن يتعبد بأمر لم
يشرع أصلا، مثل من يتعبدون بالوقوف في الشمس، أو يحفر لنفسه في الأرض ويدفن بعض
جسده ويقول: أريد أن أهذب وأربي وأروض نفسي مثلا، فهذه بدعة
التوقيف في مكان العبادة
كذلك مكان العبادة لابد أن يكون
مشروعا، فلا يجوز للإنسان أن يتعبد عبادة في غير مكانها، فلو وقف الإنسان -مثلا-
يوم عرفة بالـمزدلفة فلا يكون حجا أو وقف بـمنى، أو بات ليلة المزدلفة بـعرفة، أو
بات ليالي منى بالـمزدلفة أو بـعرفة، فإنه لا يكون أدى ما يجب عليه، بل يجب أن
يلتزم بالمكان الذي حدده الشارع إلى غير ذلك
Jika kita baca penjelasan diatas,
maka rangkumannya adalah Asal Ibadah adalah Tauqif (berhenti) pada
dalil yang jelas (sahih) baik Qur’an dan hadits. Pengertian berhenti adalah
mengikuti pada dalil yang sahih dari Qur’an dan hadits tidak boleh dikurangi,
ditambahi, mendahulukan ataupun mengakhirkan. Dijelaskan selanjutnya
tauqif itu mengikuti :
1. Tauqif Sifat Ibadah (التوقيف في
صفة العبادة)
dicontohkan dalam
penjelasannya :
“tidak boleh untuk
menambah dan megurangi. seperti sujud sebelum ruku’, atau duduk sebelum sujud,
atau duduk
tasyahud tidak
pada tempatnya”
2. Tauqif Waktu Ibadah (التوقيف في
زمن العبادة)
dicontohkan dalam
penjelasannya :
“tidak boleh seseorang
itu membuat buat ibadah di waktu tertentu yang syari’ tidak memerintahkannya”
3. Tauqif Macamnya Ibadah (التوقيف
في نوع العبادة)
dicontohkan dalam
penjelasannya :
“tidak sah bagi orang yang
menyembah sesuatu yang tidak di syariatkan, seperti menyembah matahari atau
memendam jasadnya
sebagian sembari berkata ” saya ingin melatih badanku “ misalkan ini semua
bid’ah.”
4. Tauqif Tempat Ibadah (التوقيف في
مكان العباد)
dicontohkan dalam
penjelasannya :
“jika seseorang wukuf
di muzdalifah, maka ini bukan haji, atau wuquf dimina, atau bermalam (
muzdalifah ) di arafah, dan
sebaliknya, maka
ini semua bukanlah sesuatu yang masyru’. kita wajib melaksanakan
ibadah sesuai tempat yang sudah
disyari’atkan
oleh syari’
Jadi dari penjelasan diatas jelas
bahwa Ibadah yang dimaksud adalah Ibadah Mahdhah yaitu Ibadah yang hanya
berhubungan dengan Allah dan telah lengkap dan sempurna penjelasannya dalam
Qur’an dan Hadits. Seperti : Shalat, Puasa, Haji, Zakat, berikut syarat dan
rukun yang mendampinginya.
Maka jelas disini dalam I’tiqad
Ahlus Sunnah Wal Jamaah hal ini tidak boleh dikurangi, ditambahi,
mendahulukan ataupun mengakhirkan. Semua sudah dalam batasan yang jelas.
Sedangkan pada Ibadah Ghairu
Mahdhah yaitu Ibadah yang tidak berketatapan hukum mengikat tapi menjadikan
penghubung untuk mencari ridha Allah.
Maka secara umum dalam ushul fiqh
terdapat suatu ijma’ ulama yaitu Lil Wasa’il Hukmul Maqashid, artinya “Hukum
untuk perantara sama dengan hukum tujuannya”.
Untuk mudahnya contohnya adalah :
“Berzina itu haram, maka menyediakan
kamar/rumah untuk berzina itu juga haram”. Maka Berzina itu maqashid
(tujuannya) sedang menyediakan kamar/rumah untuk berzina itu wasail
(perantaranya). Jika kita cari hukum berzina jelas ada dalilnya, tapi wasailnya
tanpa dalil dia sudah berhukum haram.
“Bershalawat adalah perintah (sunnah
muakkad) maka mengadakan maulid nabi Muhammad SAW untuk mengenal kehidupan
Nabi, membangun kecintaan kepada beliau, termasuk bershalawat didalamnya adalah
Sunnah”. Bershalawat adalah maqashidnya sedang memperingati maulid adalah
wasailnya.
Dan masih banyak contoh yang bisa
kita ambil dalam Ibadah Ghairu Mahdhah seperti Yasinan, Tahlilan, Mengucap
ushalli dan lain sebagainya. Terpenting adalah hal tersebut dari sisi
maqashidnya tidak boleh bertentangan dengan Qur’an dan Hadits.
Demikianlah pemahaman dalam I’tiqad
Ahlus Sunnah Wal Jamaah yang mengikut junjungan kita Rasulullah Muhammad
Shalallahu ‘alaihi Wa Alihi Wasallam.
Maka jelas apa yang tidak dilakukan
Rasulullah bukan “bid’ah dhalalah (tersesat)”. Dan hal itu sesuai dengan hadits Rasulullah SAW :
“Barang siapa yang menjalankan
suatu sunnah yang baik didalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang
yang mengikutinya dan tidak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan
barangsiapa yang menjalankan suatu sunnah yang jelek didalam Islam, maka
baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya dan tidak dikurangkan sedikitpun
dari dosanya” (HR. Imam Muslim Nomor 1017)
kaidah lil wasail hukmul maqosid
Sebagaimana dimaklumi perbuatan mukallaf terkadang diposisikan sebagai wasilah dalam menggapai tujuan tertentu. Terkenal dengan istilah ‘Lil Wasail Hukmul Maqashid’. Kaidah fiqih ini berkelindan dengan banyak kaidah lain semisal ‘Ma La Yutimmul Wajib illa bihi Fahuwa Wajib’, atau ’Yughtafaru fil Washail Ma La Yughtafaru fil Maqashid’, dan ‘adh Dharar Tubihul Mahdzurat’, lalu juga ‘Maqashid’ perspektif asy-Syatibi, serta ‘Sadd Dzari’ah’ dalam perpektif Malikiyah. Dengan demikian elaborasi kaidah ini bercabang-cabang.
Namun pembahasan dalam tulisan ini akan mengerucut pada ‘wasail’ semata. Karena ranah inilah yang sering diperdebatkan. Contohnya saja ketika para salafi membenturkan kaidah washilah dengan pameo ‘al-Ghayat La Tubarrirul Wasilah’ (Tujuan Itu Tidak Membenarkan Cara).
Abu Bakar ibn ‘Ashim al-Andalusi dalam nadzam Murtaqa al-Wushul-nya berkata:
وكل فعل للعباد يوجد # اما وسيلة و اما مقصد
“Setiap tindakan hamba akan didapati # adakalanya wasilah adakalanya maksud.”
Dengan lebih lugas Imam al-Qarafi menjelaskan bahwa motif hukum (mauridul ahkam) itu berkisar pada maqashid dan wasail, dimana hukum wasail baik haram ataupun halal didasarkan pada maqashid. Hanya derajat amalnya saja yang berbeda. (al-Furuq 3/46)
وَمَوَارِدُ الْأَحْكَامِ عَلَى قِسْمَيْنِ مَقَاصِدُ وَهِيَ الْمُتَضَمِّنَةُ لِلْمَصَالِحِ وَالْمَفَاسِدِ فِي أَنْفُسِهَا وَوَسَائِلُ وَهِيَ الطُّرُقُ الْمُفْضِيَةُ إلَيْهَا وَحُكْمُهَا حُكْمُ مَا أَفَضْت إلَيْهِ مِنْ تَحْرِيمٍ وَتَحْلِيلٍ غَيْرَ أَنَّهَا أَخْفَضُ رُتْبَةً مِنْ الْمَقَاصِدِ فِي حُكْمِهَا
Dari uraian di atas, al-Qarafi telah mencantumkan juga pengertian maqashid dan wasail, yakni:
1. Maqashid: Sesuatu yang mengandung mashlahah dan mafsadah karena dirinya sendiri.
2. Wasail: Sesuatu yang menjadi jalan untuk sampai pada maqashid.
Menurut Mustafa Makhdum, dalam disertasinya untuk meraih gelar doktor (Qawa’id al-Wasail fi asy-Syari’at al-Islamiyah), yang pertama kali menyinggung kaidah lil wasail hukmul maqashid secara mafhum adalah Imam Syafi’ie (al-Um 4/49).
فَإِنْ كان هذا هَكَذَا فَفِي هذا ما يُثْبِتُ أَنَّ الذَّرَائِعَ إلَى الْحَلَالِ وَالْحَرَامِ تُشْبِهُ مَعَانِيَ الْحَلَالِ وَالْحَرَامِ
Sedangkan yang pertama kali menyampaikan secara manthuq adalah Izzudin ibn Abdis Salam (Qawaidul Ahkam 1/ 46) dengan perkataan:
الواجبات والمندوبات ضربان: أحدهما مقاصد، والثاني وسائل، وكذلك المكروهات والمحرمات ضربان: أحدهما مقاصد والثاني: وسائل، وللوسائل أحكام المقاصد
Pengambilan kaidah itu didasarkan atas QS. At-Taubah: 120, yakni
ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ لا يُصِيبُهُمْ ظَمَأٌ وَلا نَصَبٌ وَلا مَخْمَصَةٌ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلا يَطَأُونَ مَوْطِئاً يُغِيظُ الْكُفَّارَ وَلا يَنَالُونَ مِنْ عَدُوٍّ نَيْلاً إِلَّا كُتِبَ لَهُمْ بِهِ عَمَلٌ صَالِحٌ
“Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal saleh.”
Wajhu dilalahnya: mereka diberi pahala bukan semata atas rasa haus, lelah, dan lapar –dimana itu akibat alamiah dari sebuah perjalanan- melainkan karena perjalanan yang mereka tempuh itu menjadi wasilah dari berjihad memerangi musuh-musuh Allah.
Tersebut juga dalam HR. Muslim:
من تطهر في بيته ثم مضى إلى بيتٍ من بيوت الله يقضي فريضة من فرائض الله كانت خطوتاه إحداهما تحط خطيئة والأخرى ترفع درجة
“Seseorang yang bersuci di rumahnya kemudian berangkat ke salah satu rumah Allah untuk melaksanakan salah satu fardhu-Nya, maka setiap jengkal langkahnya yang satu melebur dosa dan langkah yang lain mengangkat derajat.”
Sekedar melangkahkan kaki tidak akan mendapat keutamaan seperti itu, sehingga yang dimaksud ‘melebur dosa dan mengangkat derajat’ adalah pada langkah kaki seorang muslim yang digunakan untuk wasilah beribadah ke masjid.
Dr. Mustafa lantas membagi maqashid dan wasail ke dalam tiga bagian:
a. Maqashid mahdhah > Maqashid yang tidak tercampuri wasail, murni sebagai maqashid dari sudut pandang manapun.
b. Wasail mahdhah > Wasail yang tidak tercampuri maqashid, murni sebagai wasail dari sudut pandang manapun.
c. Maqashid dan Wasail Ghairu Mahdhah > Amal perbuatan yang di satu sisi menjadi maqashid, di sisi lain sebagai wasail.
Contoh dari maqashid mahdhah misalnya shalat, puasa, jihad, haji, zina, mencuri, dan segala amal yang memang dikerjakan untuk amal itu sendiri. Wasail mahdhah antara lain berjalan hendak ke masjid, browsing facebook untuk dakwah, menunggu di jalan sepi untuk merampok, tayammum untuk shalat, dan semua amal yang murni dilakukan sebagai perantara menuju amaliyah lainnya. Sedangkan maqashid dan wasail ghairu mahdhah bisa berupa wudhu untuk shalat, membaca al-Qur’an untuk kelancaran rejeki, membaca shalawat Nabi untuk memperingati maulid, mencuri uang untuk membeli narkoba, dan setiap amal yang di dalamnya sudah terkandung mashlahat/mafsadah namun ditujukan juga untuk amaliyah lainnya.
Ada dua tahapan pembuktian suatu amal –dalam perspektif kaidah fiqih- agar tetap sesuai syariah ketika dimasukkan pada kaidah lil wasail hukmul maqashid:
1. Meneliti maqashidnya, apakah buruk atau baik. Bila maqashidnya buruk, meskipun dengan wasilah yang mubah, akan tetap dihukumi terlarang. Misalnya saja berjalan-jalan, ini mubah, tapi ketika jalan-jalannya menuju tempat judi maka menjadi haram. Ataupun melihat, ini juga mubah, namun tatkala yang dilihat wanita bukan mahram maka terlarang juga sebab bisa menuju maqashid berupa zina. Sebagaimana dimaklumi, kasus yang terakhir telah mendapat pembahasan tersendiri dalam sad adz-dzari’ah.
Sedangkan ketika maqashidnya baik maka melihat telaah wasailnya.
2. Meneliti wasailnya, apakah termasuk wasilah mubah atau wasilah yang terkait syariah.
- Jika wasailnya mubah maka hukumnya tinggal mengikut pada maqashid. Contoh: tidur itu mubah, namun ketika tidur agar nanti bisa shalat tahajjud maka menjadi sunah.
- Jika wasailnya syar’ie maka ada beberapa tinjauan:
a. Tentang sah atau tidaknya wasilah dihukumi sama dengan maqashid maka melihat apakah sebab, rukun, dan syarat pada wasilah. Bila telah sesuai maka terhukumi sama dengan maqashid. Bila menyimpang maka hukum maqashid pun gugur dan mendapat pahala maqashid saja, atau sekaligus dengan dosa bila wasilahnya tercela. Misal: wudhu untuk shalat namun ada bagian yang tidak terbasuh, maka hukum shalatnya tidak sah, sekedar mendapatkan pahala qashdu shalat dan wudhunya sia-sia. Atau shadaqah dengan cara merampok, maka niat shadaqahnya saja yang berpahala tapi tertutupi oleh dosa merampok.
b. Tentang bid’ah atau tidaknya wasilah. Bila bukan bid’ah maka terhukumi sama dengan maqashid. Bila menambah/merubah sebab, syarat, dan rukun maka menjadi bid’ah dan hukum maqashidpun gugur. Contoh: tujuannya agar lebih mengingat Allah ketika memulai hari dari bangun tidur, namun dilakukan dengan shalat subuh empat raka’at, maka maqashidnya pupus tertutupi oleh amaliah yang menyimpang.
Mustafa Makhdum menambahkan perspektif lain dalam meneliti wasail agar sampai pada maqashid yang mashlahah (Qawaidh Wasail hlm. 131) dengan:
1. Pencantuman Nash
Jumlahnya terbatas sekali, hanya mengacu pada wasail yang terdapat pada jaman Rasulullah SAW. Misalnya:
ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ لا يُصِيبُهُمْ ظَمَأٌ وَلا نَصَبٌ وَلا مَخْمَصَةٌ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلا يَطَأُونَ مَوْطِئاً يُغِيظُ الْكُفَّارَ وَلا يَنَالُونَ مِنْ عَدُوٍّ نَيْلاً إِلَّا كُتِبَ لَهُمْ بِهِ عَمَلٌ صَالِحٌ - (التوبة:120)
Wasailnya berupa safar dan kesulitannya.
من تطهر في بيته ثم مضى إلى بيتٍ من بيوت الله يقضي فريضة من فرائض الله كانت خطوتاه إحداهما تحط خطيئة والأخرى ترفع درجة - (أخرجه مسلم وابن حبان والبيهقى)
Wasailnya berupa melangkahkan kaki.
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأُ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ – (اخرجه الشيخان واحمد وابو داود وابن ماجه)
Wasailnya berupa silaturrahmi.
2. Dalil ‘Aqli
Lebih banyak diaplikasikan pada wasail mubah. Misalnya ronda untuk keamanan kampung, memperlambat laju kendaraan ketika jalan berlubang, menghindari jalan sepi yang rawan begal saat malam hari, memilih lokasi penggalian sumur saat musim kemarau, dan setiap hal lain yang memilahnya berdasarkan analisa akal.
3. Penelitian dan Kebiasaan
Diperlukan pada maqashid yang terkait dengan tahqiqul manath (kajian obyek) dan kebiasaan. Misalnya saja pada penelitian alkohol sebagai perantara bahan konsumsi memabukkan, penguasaan atas persenjataan militer ketika hendak berjihad, kebiasaan tabung pemadam efektif menanggulangi kebakaran kecil di gudang, maka keberadaan tabung ini menjadi perlu untuk diadakan, dan seterusnya.
Yang umum dijumpai pada wasail dan maqashid adalah jumlahnya berbilang. Satu wasail seringkali memiliki beberapa maqashid dan satu maqashid ghalib dicapai dengan beberapa wasail. Contoh pada maqashid yang berbilang seperti pada amaliyah nikah, memiliki tujuan memperbanyak keturunan, menjaga kehormatan diri (dari zina), dan menjalin ukhuwwah cinta kasih antara suami-istri. Atau juga menulis buku islami, bisa memiliki tujuan menumbangkan hujjah lawan yang tidak sepaham, untuk sekedar tabligh ajaran Islam, dan untuk klarifikasi atas fitnah tertentu. Contoh pada wasail yang berbilang misalnya pada dakwah ajaran Islam, bisa dicapai dengan mengajar di madrasah, ceramah di panggung, menulis buku, berdiskusi di facebook, dan banyak lainnya.
Sebagaimana dimaklumi pada kasus yang ta’addud seperti ini, maka gugurnya salah satu bilangan tidak membatalkan hukum maqashid/wasail. Ambil contoh pada nikah yang tidak memiliki keturunan, maka ia tetap mendapat hukum keutamaan menjaga kehormatan diri dan jalinan kasih-sayang, disamping nikah itu sendiri merupakan maqashid ghairu mahdhah yang hukum amaliyah tersendiri. Demikian juga pada maqashid berupa dakwah Islam yang cukup dicapai dengan salah satu wasail saja, misal dengan menulis buku.
Kaidah lil wasail hukmul maqashid merupakan kaidah aghlabiyah sehingga ada juga pengecualiannya. Imam Ibn Abdis Salam menguraikannya secara eksplisit (Qawa’id al-Ahkam 2/138):
قاعدة من المستثنيات من القواعد الشرعية
اعلم أن الله شرع لعباده السعي في تحصيل مصالح عاجلة وآجلة تجمع كل قاعدة منها علة واحدة، ثم استثنى منها ما في ملابسته مشقة شديدة أو مفسدة تربى على تلك المصالح، وكذلك شرع لهم السعي في درء مفاسد في الدارين أو في أحدهما تجمع كل قاعدة منها علة واحدة، ثم استثنى منها ما في اجتنابه مشقة شديدة أو مصلحة تربى على تلك المفاسد، وكل ذلك رحمة بعباده ونظر لهم ورفق، ويعبر عن ذلك كله بما خالف القياس
Maqashid yang menjadi sandaran wasail terkadang ditemukan kasus pengecualian, dalam artian hukum wasail berbeda dengan maqashidnya, baik dari sisi:
1. Maqashid berupa mashlahah. Dikecualikan darinya setiap perkara yang di dalamnya terdapat dharurat/masyaqqah atau mafsadah yang melebihi mashlahat-nya maqashid. Seperti halnya berangkat ke medan jihad, namun terhalang oleh sakit dan cacat fisik, maka orang itu tetap memperoleh pahala dan keagungan jihad.
2. Maqashid berupa mafsadah. Dikecualikan darinya setiap persoalan yang di dalamnya terkandung dharurat/masyaqqah dan mashlahah yang lebih besar daripada mafsadah-nya maqashid. Misalnya saja memandang wanita bukan mahram haram karena mengarah ke zina, namun ketika saat melamar diperbolehkan melihatnya lantaran mashlahah yang lebih penting, yakni keyakinan dan kasih sayang sehingga langgeng pernikahannya ke depan. Begitu juga menjual barang yang tidak ada (ma’dum) haram karena akan menyia-nyiakan harta ( uang pembeli), namun pada akad pesan (salam) diperbolehkan karena memandang mashlahat akad pesan sudah dirasakan menyeluruh oleh masyarakat Arab pra-Islam.
Wallahu a’lam.
No comments:
Post a Comment