GURU MELAPORKAN SISWA KE POLISI
KETIKA MERASA TERANCAM
Jika anak tidak melaksanakan
kewajibannya, sanksi apa yang dapat diberikan UU RI no.23 th 2002? Tidak ditemukan
hal ini. Penegak hukum hanya melihat hak anak, mengabaikan hak guru. Kasus
ini punya daya tarik bagi polisi dan pengacara? Tidak ada pembicaraan bagaimana
kewajiban anak? Apakah anak yang tidak melakukan kewajibannya, seperti yang
tertera dalam UU Perlindungan Anak, juga dapat ditindak?
MURID BISA, MENJADI MUSUH
JIKA GURU, SALAH ASUH
WALI MURID, JADI RUSUH
ETIKA DAN AKHLAK, SUDAH RUNTUH
ORANG TUA, SULIT MENERIMA
HUKUMAN FISIK, KEPADA ANAKNYA
WALAU SESUAI DENGAN AGAMA
KEBEBASAN BARAT, MEMPESONA
Kasus anak SD yang mengganggu temannya yang
sedang latihan, berarti tidak melakukan kewajiban no. 2 dalam pasal (19) UU
Perlindungan Anak. Kasus SMK, siswa tidak melaksanakan kewajiban no. 3 dan 5.
Guru punya wewenang melaporkan siswa ke
polisi? Dan apa sanksi buat anak tersebut? Hak dan kewajiban mesti seimbang.
Orang tidak bisa menuntut hak tanpa melaksanakan kewajibannya, karena berkaitan dengan UU Perlindungan Anak. Kritik
penulis ialah perlu ditinjau soal
keseimbangan hak dan kewajiban bagi anak itu sendiri. Jangan hanya membebani
kesalahan pada guru.
KPAI, menggunakan dasar UU No. 23
Tahun 2009, bahwa definisi anak pada Pasal 1 adalah seseorang yang belum
berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan. Artinya, sebelum berusia 18 tahun, anak tidak boleh dijatuhi
sanksi pidana dengan pemenjaraan. Terlepas dari pro kontra yang terjadi, ada
suatu pandangan tentang fenomena kejahatan anak yang menarik untuk dikaji.
Pandangan ini memberikan solusi yang tuntas terhadap permasalahan kejahatan
anak, yang secara otomatis akan menghentikan kontroversi hukuman pidana pada
anak. Pandangan tersebut adalah pandangan hukum Islam.
Kejahatan dengan pelaku
anak-anak didominasi oleh tindak pencurian, Disusul kemudian kasus
penyalahgunaan obat-obatan terlarang, pencabulan, dan
pembunuhan(kapanlagi.com). Sebagian pihak menuding bahwa penyebab dari
kejahatan anak ini adalah kemiskinan dan kerusakan moral di kalangan anak. Tidak
dapat dimungkiri bahwa kemiskinan dan kerusakan moral menjadi pemicu munculnya
banyak kejahatan anak. Namun perlu kita pahami bahwa kemiskinan dan
kerusakan moral hanya merupakan fakta akibat. Selama kita hanya terpaku
pada fakta dan memecahkan berdasar fakta, maka penyelesaian yang kita dapat
hanya penyelesaian yang bersifat parsial dan tambal sulam. Untuk mendapat
pemecahan yang tuntas, kita harus menengok lebih dalam, mengapa ada kemiskinan
dan kerusakan moral?
Kemiskinan dan kerusakan moral
adalah hal yang pasti muncul dalam penerapan sistem kapitalis-liberal yang
dianut Indonesia. Sistem kapitalis ditandai dengan menyerahkan
pengelolaan kekayaan sumberdaya alam dan distribusinya kepada individu.
Individu yang mampu memiliki akses terhadap sumberdaya akan terpenuhi kebutuhan
hidupnya, sedangkan yang tidak memiliki akses tidak akan mampu
memenuhinya. Sistem ini menciptakan kesenjangan yang lebar antara pemilik
akses dengan yang tidak memilikinya. Maka muncullah kemudian kemiskinan
yang tersistematis, diikuti dengan kecemburuan sosial yang besar karena pameran
kekayaan dijadikan komoditas di berbagai media massa.
Kapitalisme umumnya disertai “saudara
kembarnya,” liberalism dan sekulerisme. Pemisahan agama dari kehidupan
akan mencabut nilai-nilai moral. Ditambah dengan paham kebebasan
bertingkah laku, mengakibatkan norma-norma agama semakin terpinggirkan.
Padahal, kekuatan ruhiyah yang lahir dari pemahaman terhadap agama adalah
satu-satunya motor penggerak penerapan moral. Maka memberikan pendidikan
moral budi pekerti tanpa membangkitkan kekuatan ruhiyah, sama saja seperti kita
mendorong mobil yang rusak. Lelah tanpa hasil.
Dengan mencermati akar
permasalahannya, dapat katakan bahwa munculnya kejahatan anak-anak adalah
akibat kesalahan dalam memilih sistem yang diterapkan. Anak hanya menjadi
korban. Penulis tidak setuju dengan defini anak dalam UU No. 23 tahun 2002 yang
menyatakan, bahwa anak-anak ialah yang belum berumur 18 tahun. Pendefinisian
anak yang tidak tepat memiliki implikasi terhadap cara pandang hukum kepada
anak yang nantinya ikut andil juga dalam memunculkan kejahatan anak-anak.
Hukum Islam
mendefinisikan anak adalah mereka yang belum mencapai masa baligh.
Huzaemah T.Yanggo, MA dalam bukunya Fiqih
Anak, mengatakan bahwa al-bulugh adalah habisnya masa
kanak-kanak. Pada laki-laki, baligh ditandai dengan bermimpi (al
ihtilam), dan perempuan ditandai dengan haid. Rasulullah saw
bersabda bahwa pena -pencatat
amal- itu diangkat dari orang yang tidur
sampai ia bangun, anak kecil sampai ia
dewasa (yahtalima), orang gila sampai ia sadar.” [1] Kata yahtalima adalah orang yang sudah bermimpi (al-ihtilam).
Maka dipahami bahwa anak yang sudah baligh telah menerima beban taklif, yaitu
menjalankan hukum syara’, dan dihisab sebagai implikasi dari pembebanan
tersebut. Ini berarti pada saat baligh, anak dianggap telah dewasa dan
dapat diperlakukan sebagai manusia dewasa di hadapan hukum.
Dengan pemahaman dewasa adalah saat
baligh, anak harus dipersiapkan dengan sungguh-sungguh, sehingga siap untuk menjadi
manusia dewasa yang sanggup mempertanggungjawabkan perbuatannya saat
baligh. Ini berbeda dengan pandangan yang ada saat ini yang menganggap
anak dewasa bila sudah menginjak usia 18
tahun. Pandangan ini membuat kontradiksi pada diri anak, di satu sisi
saat ia baligh, hormon-hormon dan alat reproduksinya sudah matang, sehingga
secara biologis ia dewasa, namun ia tetap diperlakukan seperti anak-anak dan
tidak mendapat pembekalan bagaimana bertanggungjawab dengan kondisi balighnya
tersebut, sehingga secara akal pikiran, ia masih jauh dari matang.
Kondisi ini membuat anak cenderung mudah terjerumus dalam dunia kejahatan.
Islam memberikan perhatian yang sangat besar terhadap
pendidikan anak. Ini tercermin dari banyaknya hadist-hadist yang
memerintahkan mendidik anak secara rinci. Pendidikan anak dimulai dari
pendidikan di dalam rumah oleh orangtua, pembentukan lingkungan yang kondusif
oleh masyarakat dan didukung oleh aturan-aturan negara yang menjamin anak memperoleh
pendidikan berkualitas dengan mudah. Islam juga menciptakan suasana kondusif
yang mendukung pendidikan anak. Islam mewajibkan orangtua memberikan
nafkah pada anak sehingga anak tidak harus menanggung beban hidup
keluarga. Islam mewajibkan negara menyediakan lapangan kerja agar
orangtua dapat mencari nafkah untuk anak.
Islam
mewajibkan negara untuk menjamin kehidupan yang bersih dari berbagai
kemungkinan berbuat dosa. Negara menjaga agama, menjaga moral dan
menghilangkan setiap hal yang dapat merusaknya seperti peredaran minuman keras,
narkoba, pornografi. Dengan
menerapkan sistem Islam secara sempurna, kejahatan anak akan dapat dihilangkan. Yang tumbuh adalah
anak-anak berkualitas, yang akan menjaga eksistensi umat umat terbaik. Anak
adalah amanah Allah QS.
An-Nisa’ (4):58 yang menyatakan
bahwa Allah mewajibkan manusia,
menyampaikan amanah dan berkewajiban berlaku adil. Maksudnya
Allah SWT.,menerangkan bahwa melaksanakan amanat dan tanggung jawab adalah
perintah Allah kepada seluruh hamba-Nya, termasuk yang diperintahkan juga
adalah menghukum dengan adil antara semua manusia dan Allah adalah sebaik-baik
pemberi pengajaran akan keadilan. Maka hendaklah orang beriman menjadikan
keadilan Allah sebagai standar, bukan yang lainnya di dalam melaksanakan hukum,
sementara Allah tetap mengawasi dan memperhatikan bagaimana melaksanakan perintahNya, firman Allah:
“Sesungguhnya Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sesungguhnya
Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat”.
Yang dimaksud dengan amanat di sini ialah
tugas-tugas yang telah dipercayakan kepada manusia sebagai khalifah. Termasuk
menetapkan hukum di antara manusia supaya menetapkan keputusan dengan adil
dengan berpegang teguh kepada kitab Allah dan sunnah Rasul. Dalam cakupan yang lebih luas, kata amanat
bisa berarti kesanggupan melaksanakan dan menegakkan dien, sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Ahzab:72, yang berbicara
mengenai pemberian amanat kepada orang yang memang layak untuk menerima amanat
tersebut dan juga ayat tersebut memberikan penekanan terhadap pentingnya
penegakan hukum dalam satu kalangan masyarakat.[2]
Hal ini menjadi satu bagian penting dalam pembahasan kemaslahatan yang hendak
dicapai dalam suatu lingkungan masyarakat.[3]
Mengenai
keadilan[4],
ada dua macam, pertama distributive
dan kedua commutative. Keadilan distributive memberikan gambaran untuk
memberikan keadilan sesuai dengan haknya masing-masing, dengan kata lain
kemaslahatan fardiyyah dan bukan
kemaslahatan secara umum. Tapi keadilan commutative
memberikan keadilan secara umum kepada siapa saja. Salah satu prinsip
keadilan yang merupakan bagian dari kemaskahatan menajdi satu teori yang dianut
oleh Islam dalam menentukan kebijakan hukum Islam, bahwa Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil. Salah satu contoh lain dijelaskan dalam
kitab al -asybah wa al- nadhair. Syekh Imam Jalaluddin Abdurrrahman bin
Abi Bakr As- Suyuti mengungkapkan contoh yang sederhana, bahwa dalam suatu
negara apabila ada keinginan untuk menghilangkan tentara dalam anggaran program
kenegaraan dengan alasan yang dibolehkan maka hal itu diperbolehkan, tetapi
kalau sekiranya alasan yang akan digunakan sebagai landasan peniadaan hal
tesebut tidak diperbolehkan atau bahkan tidak dalam kategori penting dan
dharurat maka peniadaan tersebut tidak diperbolehkan. Kemudian contoh yang lain
adalah soal pembagian zakat, seorang imam atau pemimpin yang masih dalam
keadaan mampu tidak boleh mengutamakan dirinya dalam menerima zakat dari pada
rakyat yang notabene lebih memutuhkan.[5]
Dalam konteks kontemporer, kaidah
tersebut tentunya tidak boleh terlepas dari jiwa seorang pemimpin. Oleh karena
itulah setiap kebijakan yang mengandung manfaat dan maslahat bagi rakyat maka
itulah yang direncanakan, dilaksanakan, diorganisasikan, dan dinilai/
dievaluasi kemajuannya. Sebaliknya kebojakan yang mendatangkan mudharat dan
mafsadah bagi rakyat, itlah yang harus disingkirkan dan dijauhi. Dalam
upaya-upaya pemabangunan misalnya, membuat irigasi untuk petani, membuka
laangan kerja yang padat karya, melindungi hutan lindung, menjaga ligkungan,
mengangkat pegawai yang benar-benar amanah dan professional dan lain
sebagainya.[6]
Dalam mendukung kaidah tersebut,
tentu diperlukan kaidah pelengkap yang bisa mendukung dan sejalan dalam
pemaknaan terhadap kaidah tersebut. Diantara kaidah-kaidah yang diperkukan
untuk mendukung kaidah tersebut adalah kaidah yang berbunyi; ikhtiyarul
amstal fal amtsal (memilih yang representative dan lebih representative
lagi). Kaidah ini memberikan gambaran kepada sikap yang harus diambil dan
diimplementasikan oleh seorang pemimpin dalam membuat sebuah kebijakan, yaitu
harus dilakukan
dan dipilih mana yang representative untuk bisa dilaksanakan terlebih dahulu.
Artinya kebutuhan masyarakat yang
banyak, mana yang lebih representatif untuk dilaksanakan dan
diprioritaskan.
Di samping
mengenai substansi yang hendak dicapai dari sebuah kemaslahatan yang ada, maka
pada dasarnya terdapat faktor lain yang memberikan kontribusi terhadap
itercapainya sebuah maslahat. Di antaranya adalah factor mekanisme system
kekuasaan dan jalannya pemerintahan yang sistematis. Dalam fiqh siyasah,
terdapat pembagian kekuasaan sejak zaman kekhalifahan.[7]
Pembagian kekuasaan itu terus berkembang maka kemudian muncul berbagai lembaga
kekuasaan dalam sebuah Negara. Ada khalifah (presiden)sebagai lembaga kekuasaan
eksekutif (al- hai’ah al- tanfidhiyyah), dan lembaga legislative atau alh
al- halli wa al- aqdi (al- hai’ah al- tasyri’iyah) dan lembaga yudikatif (al-
hai’ah al- qadhaiyyah), bahkan lembaga pengawasan (al -hai’ah al-
muraqabah).
Mengenai
permasalahan ini, dalam hukum Islam terdapat kaidah yang menyatakan:
al wilayah al khassah aqwa min al wilayah al ‘ammah (kekuasaan
yang lebih khusus lebih kuat (kedudukannya) dari pada kekuasaan umum). Maksud
kaidah tersebut adalah bahwa lembaga-lembaga
khusus lebih kuat kekuasaannya daripada lembaga-lembaga umum, misalnya, camat lebih kuat kekuasaanya
dalam wilayahnya daripada gubernur , wali nasab lebih kuat kekuasaannya
terhadap anak-anaknya dari pada pengadilan agama dan seterusnya. Pada intinya
dalam kaidah inti ini, segala sesuatu yang menyangkut kepentingan umum, harus
dicarikan solusi terbaiknya demi kemaslahatan. Solusi terbaik yang dapat
ditawarkan bisa meliputi substansi dari permasalahan yang sedang dibahas dan
mekanisme dalam pelaksanaannya. Dalam sebuah system hukum, ada hukum formil dan hukum materiil yang
tidak boleh lepas. Kemudian pertanyaannya adalah, maslahat yang seperti apa
yang mengikat seorang pemimpin untuk selalu memasukkan konsep tersebut dalam
pertimbangan utama, dalam mengambil setiap kebijakan?
9.6.
Analisis Konsep Mashlahah
Perlunya, analisis konsep
maslahat
,menurut beberapa pandangan dan konsep mengenai maslahat yang ada sebenarnya
telah disampaikan oleh banyak dari kalangan para pakar di bidangnya, tetapi
karena batasan yang ada, maka dalam disertasi ini, kajian
difokuskan pada salah satu konsep atau teori tentang maslahat yang
disampaikan dan dikemukakan oleh Najmuddin At- Tufi. Diantara beberapa pandangan
beliau tentang konsep maslahat adalah:
9.6.1. Pengertian Mashlahat
Dalam pandangan
at-Tufi bahasan lafadz maslahat berdasarkan wazan maf'alatun dari
kata shalah. Artinya, bentuk sesuatu dibuat sesuai dengan kegunaannya.
Misalnya, pena dibuat agar dapat digunakan untuk menulis. Pedang dibuat untuk
memenggal. Sedangkan definisi maslahat adalah sarana yng menyebabkan
adanya manfaat. Misalnya, perdagangan
adalah sarana untuk mencapai keuntungan. Pengertian Tasharruful Imam ‘Ala al- Ra’iyah Manutun
Bi al- Maslahah. Masalahat, berdasarkan syari'at adalah sesuatu yang
menjadi penyebab untuk sampai kepada maksud syar'i, baik berupa ibadat maupun
adat. Kemudian, maslahat ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu perbuatan yang
memang merupakan kehendak syari', yakni ibadat dan apa yang dimaksudkan untuk
kemanfaatan semua umat manusia dan tatanan kehidupan, seperti adat istiadat.[8]
9.6.2. Berlakunya Mashlahat
Mengenai
lapangan hukum mu'amalat dan yang sejenisnya, dalil yang diikuti adalah
maslahat. Maslahat dan dalil-dalil syari'at lainnya, terkadang senada dan
terkadang bertentangan. Jika senada, memang hal itu baik seperti senadanya
antara nash, ijma' dan maslahat mengenai ketetapan hukum dharury yang berjumlah lima. Hukum-hukum
kulli yang dharuri itu ialah dibunuhnya orang yang membunuh, dibunuhnya orang
yang murtad, pencuri dipotong tangannya, peminum dihukum dera dan orang
yang menuduh orang baik berbuat zina harus dijatuhi hukuman hadd, dan
contoh-contoh lain yang serupa dalam hal dalil-dalil syari'at senada dengan
maslahat. Jika ternyata tidak senada dan bertentangan, jika ada kemungkinan
dipadukan harus dilakukan perpaduan antara nas, ijma' dan maslahat. Misalnya,
jika terdapat sebagian dalil yang mempunyai kemiripan dengan maslahat,
lakukanlah antara dalil dan maslahat itu sesuatu pemaduan. Syaratnya, tidak
boleh mempermainkan dalil, dan maslahat yang dituju harus benar-benar hakiki.
Jika ternyata di antara keduanya tidak bisa dipadukan, yang didahulukan adalah
maslahat atas dalil-dalil syari'at lainnya. Sebab, Rasulullah saw. bersabda, la
darara wa la dirara. Makna hadis ini khusus dimaksudkan untuk menghilangkan
mudarat untuk memelihara maslahat yang menjadi tujuan utama hukum syari'at,
sehingga wajib didahulukan. Sedangkan dalil-dalil lainnya, tidak ubahnya
sebagai sarana. Jadi, tujuan harus didahulukan daripada sarana.
At-Tufi
menganggap bahwa maslahat hanya ada pada masalah yang berkaitan dengan mu'amalat dan yang sejenisnya, bukan
pada masalah yang berhubungan dengan ibadat atau yang serupa, karena, masalah
ibadat hanya hak Syari'. Tidak mungkin seseorang mengetahui hakekat yang
terkandung di dalam ibadat, baik kualitas maupun kuantitas, waktu atau tempat,
kecuali hanya berdasarkan petujuk resmi Syari'. Kewajiban hamba hanyalah
menjalankan apa saja yang telah diperintahkan oleh Tuhannya. Misalnya, pembantu
tidak akan dikatakan sebagai seorang yang taat jika tidak menjalankan perintah
yang telah diucapkan oleh tuannya, atau mengerjakan apa saja yang sudah menjadi
tugasnya. Demikian halnya dalam masalah ibadat. Karenanya, ketika para filosof telah mulai mempertuhankan akal, dan mulai
menolak syari'at, tentulah Allah amat
murka terhadap mereka. Mereka tersesat jauh dari kebenaran. Bahkan mereka
sangat menyesatkan.[9]
Apakah hukuman
fisik bagi anak-anak,[10]
mengandung kemaslahatan, dan membawa manfaat
bagi kehidupan remaja, sedangkan mafsadah
mengakibatkan mudharat bagi
kehidupan.[11] Apa
yang disebut dengan maslahat, perlu
mendapat kriteria dan batasan-batasan tertentu sehingga keberadaan maslahat
tidak dijadikan sebagai satu “tempat berlindung” untuk bisa melegalisasi
permasalahan-permaslahan yang sebenarnya tidak masuk dalam kategori maslahat.
Menurut jumhur ulama’, untuk kriteria maslahat apabila dilihat akan muncul
sebagai beikut:
1. Kemaslahatan
itu harus diukur kesesuaiannya dengan maqashid al- syari’ah, dalil-dalil
kulli, (general dari Al Qur’an dan Al- Sunnah), semangat ajaran,
dan kaidah kulliyah hukum Islam.
2. Kemaslahatan
itu harus meyakinkan, dalam arti harus berdasarkan penelitian yang akurat,
hinga tidak meragukan lagi.
3. Kemaslahatan
itu harus memberi kemanfaatan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, bukan
sebagian masyarakat kecil.
4. Kemaslahatan
itu memberikan kemudahan, bukan mendatangkan kesulitan dalam arti dapat
dilaksanakan dan pilih yang terbaik di antara yang baik.[12]
a.Kemaslahat dan batasannya
Para ahli ushul
fiqh membagi maslahat menjadi tiga macam, yaitu: maslahah mu'tabarah,
maslahah mulghah dan maslahah mursalah. Maslahah mu'tabarah adalah maslahat yang terdapat pada hukum yang
ditetapkan oleh nash, seperti
maslahat pada hukum qishash. Hukum ini ditetapkan oleh QS. Al-Baqarah
ayat 178 dan 179. Hikmah dari maslahat yang ditimbulkan oleh qishash ialah
melestarikan hidup manusia. Begitu juga maslahat yang terdapat pada hukum
potong tangan pencuri dan maslahat yang ada pada hukum Had al-qadzaf (hukuman
seseorang yang menuduh berzina).
Semua maslahat
ini telah diterangkan dalam Nash Al-Qur'an. Jadi, memotong tangan pencuri itu
sendiri merupakan maslahat dan ia disebut maslahat
mu'tabarah karena maslahat itu bersumber dari syariah. Sedangkan maslahah mulghah
adalah maslahat yang dianggap invalid oleh syariah atau dengan kata lain
bahwa maslahat itu merupakan maslahat yang keberadaanya diingkari oleh syariah,
seperti maslahat zina. Kenikmatan yang didapat dari zina, secara material bisa
disebut maslahah tetapi ia dibatalkan oleh sya-riah melalui nash-nash yang ada.
Demikian juga maslahat riba, minum arak dan lain sebagainya.
Untuk mengetahui
kapan suatu maslahat itu dianggap valid (mu'tabarah)
dan bisa dijadikan landasan suatu hukum, ada lima syarat atau batasan yang bisa
dijadikan titik tolak. Kelima syarat tersebut ialah:
1. Maslahat
tidak bertentangan dengan maqasid syariah.
2. Maslahat
tidak bertentangan dengan nash Al-Quran.
3. Maslahah
tidak bertentangan hadits Nabi.
4. Maslahat tidak
bertentangan dengan qiyas (analogi).
5. Maslahat
tidak bertentangan dengan maslahat lainnya yang lebih penting atau maslahat
yang sejajar dengannya.
Kelima syarat
ini merupakan batasan atau standar yang digunakan untuk membedakan antara maslahah mu'tabarah (yang dapat
dijadikan dasar hukum) dan maslahah mulghah (yang tidak dapat dijadikan dasar
hukum).(7 Seorang mujtahid harus benar-benar menguasai dan mendalami
batasan-batasan di atas. Dan di sinilah tingkat kejeniusan seorang mujtahid
diuji. Peta penguasaannya terhadap nash dapat diukur dari sejauh mana ia bisa
menggunakan batasan-batasan itu dalam beristinbath sebagaimana mestinya.
Kesimpulan para ahli ushul fiqh yang mengatakan bahwa
setiap hukum pasti akan berujung pada suatu maslahat.[13]
Hukum tidak pernah lepas dari maslahat,
tetapi maslahat tidaklah merupakan dasar hukum yang berdiri sendiri. Kedudukan
maslahat tidak seperti kedudukan Al-Qur’an, Sunnah Nabawiyah, ijma’ dan qiyas
sebagai dalil mustaqil (berdiri
sendiri). Mengapa? Karena maslahat pada
dasarnya hanyalah merupakan makna umum yang secara implisit berada di balik
hukum-hukum juz’iy (parsial).
Sementara hukum-hukum juz’iy itu
sendiri tidak akan ada tanpa melalui prose
[4]Pengertian
ini, filsafat Aristoteles mengatakan bahwa keadilan dibagi menjadi dua, pertama
adalah keadilan distributive dan keadilan commutative. Keadilan distributive
memberikan gambaran untuk memberikan keadilan sesuai dengan haknya
masing-masing, dengan kata lain kemaslahatan fardiyyah dan bukan kemaslahatan
secara umum.
[6]Tasharruful
Imam ‘Ala Al-
Ra’iyah Manutun Bi al
-Maslahah
.Kebijaksaanaan pemimpin
terhadap rakyatnya, berorientasi kepada kesejahteraan rakyatnya.Kaedah ini
merupakan bagian dari kaedah ushul, yang berbeda dengan kaedah fiqhiyah. Kaedah
ushul meliputi semua bagian, seangkan kaedah fiqih hanya bersifat aghlabiyah,(pada
umumnya), sehingga banyak sekali pengecualiannya.Ke- mudian bisa menjadi cara
untuk menetapkan hukum syara‘ yang praktis. Lihat H.A.Djazuli, Kaedah-Kaedah
Fiqih dalam menuelesaikan Masalah Yang Praktis, Kencana Prenada Media
Group,Jakarta :2007), 23.
[8]
Najamuddin at Tufi. 1954. Syarh al-Hadis Arba'in an-Nawaiyah dalam
Mustafa Zaid. al-Maslahat fi at-Tasyri'i al-Islami wa Najmuddin at-Tufi.(Bagian
Lampiran) Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi, hlm. 243.
[10]Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam juga bersabda,
“Shalat Jum’at merupakan suatu
kewajiban bagi setiap muslim dengan berjama’ah kecuali empat golongan: [1]
budak, [2] wanita, [3] anak kecil, dan [4] orang yang sakit.”HR. Abu Daud no. 1067.Lihat Ibnu Rusyd, Bidayatul
Mujatahid, Semarang, Toha Putra, tth, 326. Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid
analisa fiqh para mujtahid jilid II,(Jakarta:Pustaka Amani, 2007),.3.
[12]Setara
dengan ini, adalah istihsan, misalnya ulama yang tidak dapat melihat, baitul
haram, harus berusaha keras menghadapnya dengan tepat atau menemukannya dengan
jalan qiyas. Istihsan menurut bahasa berarti menganggap baik atau mencari yang
baik. Qiyas berbeda dengan istihsan. Pada qiyas ada dua peristiwa atau
kejadian. Peristiwa atau kejadian pertama belum ditetapkan hukumnya karena tidak
ada nash yang dapat dijadikan dasarnya. Untuk menetapkan hukumnya dicari
peristiwa atau kejadian yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan
nash dan mempunyai persamaan 'illat dengan peristiwa pertama. Berdasarkan
persamaan 'illat itu ditetapkanlah hukum peristiwa pertama sama dengan hukum
peristiwa kedua. Sedang pada istihsan hanya ada satu peristiwa atau kejadian.
Mula-mula peristiwa atau kejadian itu telah ditetapkan hukumnya berdasar nash.
Kemudian ditemukan nash yang lain yang mengharuskan untuk meninggalkan hukum
dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan itu, pindah kepada hukum
lain, sekalipun dalil pertama dianggap kuat, tetapi kepentingan menghendaki
perpindahan hukum itu. Menurut ulama ushul
fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau
kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara', menuju (menetapkan) hukum lain
dari peristiwa atau kejadian itu juga, karena ada suatu dalil syara' yang
mengharuskan untuk meninggalkannya. Dalil yang terakhir disebut sandaran
istihsan. Lihat Imam Syafii, Al-Risalah, terj,( Pustaka Azzam, Jakarta: 2008), hlm. 529.
[13]Sementara Imam Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i
mengatakan :“ orang yang meninggalkan adalah fasik dan tidak kafir”,
namun, mereka berbeda pendapat mengenai hukumannya, menurut Imam Malik dan
Syafi’i “diancam hukuman
mati sebagai hadd”, dan
menurut Imam Abu Hanifah “diancam
hukuman ta’zir, bukan hukuman mati”. Apabila masalah ini
termasuk masalah yang diperselisihkan, maka yang wajib adalah dikembalikan
kepada kitab Allah dan sunnah Rasulullah SAW., karena Allah berfirman : “Tentang sesuatu apapun yang kamu
perselisihkan, maka putusannya dikembalikan kepada Allah.” QS. As- Syura, 10 .Hukum itu berputar di atas
‘ilat hukumnya, ada atau tidak ada hukumnya. Situasi dan kondisi berubah,
hukumnya kadang-kadang tidak ada.Lihat Masjfuq Zuhdi, Masa’il al-Fiqhi,
Kapita Selekta Hukum Islam, (PT.Toko
Gunung Agung, Jakarta: 1997), hlm. 252.
No comments:
Post a Comment