PERUBAHAN HUKUM
KARENA PERUBAHAN ZAMAN
KATA PENGANTAR
Antasari Azhar, menurut penulis
terkena jebakan hukum, yang di belakangnya ada permainan kotor yang dilakukan
oleh orang mengerti hukum dan mampu mempermainkan hukum. Begitu juga Susno
Duaji, telah dijebak dari belakang oleh tangan-tangan tersembunyi. Menurut
analisis penulis dan sebagian pengamat lainnya.
Pernah kuliah, di fakultas hukum,
Bertemu dosen, tak bisa senyum.
Semua mahasiswa, sudah maklum,
Ilmu didapat, terasa harum.
PENDAHULUAN
Antasari Azhar, kena jebakan,
Ada perempuan, dijadikan umpan.
Jiwa laki-laki, sulit dikendalikan,
Mafia bekerja, dengan bnyak teman.
Dalam hukum Islam, orang yang menjadikan hukum
sebagai jebakan, adalah pembuat fitnah yang sangat besar kejahatannya. Karena
itu hukum dalam Islam, tidak boleh dilepaskan dari aqidah dan akhlaq.
BAB I
HUKUM YANG TERUS
BERUBAH
Dalam konteks ini, dapat difahami
kenapa kata iman di dalam Al-Qur’an seringkali
disandingkan dengan kata ‘amal saleh;[1] dan sekaligus bisa dipahami ungkapan: al-‘ilm bi-la ‘amal, ka
al-shajar bi-la thamar (ilmu
tanpa amal bagaikan pohon tanpa buah).[2] Dengan demikian bisa dikatkan bahwa hukum Islam “peduli” dunia
sekaligus akhirat, karena mengusung nilai-nilai ketuhanan yang universal dan
dikemas berdasarkan realita local. Persoalan
muncul ketika istilah-istilah Latin tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Arab
atau bahasa kitab kuning (kutub al-Sakhra’). Ternyata
tidak semua orang sepakat, sebagian mengatakan bahwa istilah-istilah tersebut
dalam literature Arab dikenal dengan istilah shari’ah, sementara sebagian yang lain
mengatakan fiqh[3].Di
sini persoalan menjadi krusial.
Secara luas syari’ah diartikan dengan
“totalitas perintah-perintah Allah”.[4]
Dalam pengertian ini, syari’ah dapat diidentikkan
dengan agama itu sendiri yang semua persoalan, baik teologi, etika, maupun
hukum tercover di
dalamnya. Sedangkan secara sempit diartikan sebagai “aturan-aturan (di luar
teologi dan etika) yang ditetapkan oleh Allah untuk dipedomani manusia dalam
berhubungan dengan-Nya dan semua makhluk lainnya.” [5] Di sisi lain, fiqh pada mulanya berarti “pemahaman dalam
pengertiannya yang luas.”
Kemudian dibatasi hanya pada
pemahaman yang berkaitan dengan hukum.[6] Oleh karenanya, menurut salah satu
definisi, fikih diartikan sebagai “himpunan hukum-hukum yang bersifat praktis
yang dipahami dari dalil-dalil spesifik.[7]Berdasarkan
pengertian di atas, maka dapat dipahami bahwa shari’ah adalah aturan Allah yang
bersifat absolut, kekal-abadi, suci dan sakral karena merupakan aturan atau
wahyu dari Allah. Sebagai wahyu, shari’ah belum tersentuh oleh pemahaman
manusia, dan karenanya ia masih bersifat universal, ideal, statis, tunggal dan
belum operatif.
Sedangkan fiqh adalah ilmu tentang shari’ah (the science of shari’ah).
Jadi, fiqh termasuk dalam kategori sebuah
ilmu, dan sebagai sebuah ilmu maka fiqh bersifat relatif, temporal dan
profan yang rumusan-rumusannya sangat dipengaruhi oleh kondisi tempat dan
waktu, plural, dinamis, dan operatif. Pengertian shari’ah dan fiqh ini menjelaskan apa yang dalam ilmu agama
disebut sebagai perbedaan sekaligus relasi antara universalitas-globalitas dan
pluralitas-lokalitas, serta sakralitas dan profanitas.
Bertolak dari paparan di atas,
dapatlah kita simpulkan bahwa jika yang dimaksud hukum Islam itu adalah semua
sistem tatanan yang mengatur kehidupan orang-orang Islam, individu maupun
kelompok, dahulu maupun sekarang, atau mungkin yang akan datang, maka ia tidak
diragukan lagi adalah fiqh.
Alasannya adalah karena semua karakteristik fiqh sbagaimana telah disebutkan
cocok dengan kenyataan pada apa yang disebut sebagai “hukum Islam”. Berbagai
kajian tentang sejarah hukum Islam menunjukkan bahwa hukum Islam (fiqh),
dalam rentang sejarahnya, tidak
betul-betul terbebas dari pengaruh faktor-faktor sosial maupun kultural yang
melingkupinya.[8]
Hal
ini tercermin dalam praktik hukum Islam di dunia Islam modern. Hukum Islam,
baik pidana maupun perdata, yang berlaku di beberapa negara Islam saat ini
menunjukkan dinamika dan perbedaan yang cukup berarti antara satu negara dengan
negara lainnya.[9]Berdasarkan
kenyataan tersebut di atas pula, maka pernyataan yang mengatakan bahwa hukum
Islam “berada di luar dan di atas fakta-fakta kehidupan sosial,”[10] secara historis dan sosiologis,
terbukti tidak tepat. Meskipun benar adanya bahwa hukum Islam itu bersumber
dari Tuhan yang bersifat mutlak. Harus
dicatat bahwa kebenaran itu hanya sejauh menyangkut hukum Islam pada tataran
ontologis bukan pada tataran praksis. Sebab pemahaman dan cara pandang yang
terlalu menekankan aspek transendental dari hukum Islam juga bisa menimbulkan
citra yang tidak kondusif bagi eksistensi hukum Islam di dunia modern, termasuk
Indonesia. Image yang akan muncul dari cara
pandang seperti ini adalah bahwa hukum Islam itu, kolot, rigid, dan tidak bisa
mengakomodasi perubahan dan pluralitas yang terjadi pada masyarakat.
Indonesia, seperti ditegaskan
dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 pada bagian “Sistem Pemerintahan
Negara,” ialah negara yang berdasarkan atas hukum. Ada dua tradisi hukum yang dipakai oleh
negara-negara di dunia: Eropa
Kontinental dan Anglo Saxon.
Kedua tradisi ini memiliki karakteristik masing-masing namun mencerminkan
esensi yang sama, yakni bahwa kehidupan bernegara harus diatur oleh hukum.
Dilihat dari karakteristiknya yang ada, negara hukum Indonesia tampaknya lebih
condong kepada tradisi Eropa Kontinental (rechsstaat).[11]
Salah
satu ciri dari tradisi ini adalah dianutnya sistem hukum civil law yang mengkonsepsikan hukum sebagai
peraturan yang dibuat oleh badan legislatif. Jadi, hukum adalah identik dengan
undang-undang itu sendiri (enacted law).[12] Norma-norma atau kaidah yang lain,
selama belum ditetapkan sebagai undang-undang oleh badan yang berwenang, tidak
bisa disebut hukum.[13]Seperti
diketahui, karakteristik yang menonjol dari kultur hukum yang ada di Indonesia
adalah adanya pluralisme hukum (legal pluralism). Secara
garis besar ada tiga jenis hukum yang berlaku di Indonesia: hukum Barat, hukum
adat, dan hukum Islam.[14]
Kodifikasi
dan unifikasi hukum dimaksudkan untuk menekan kultur pluralisme hukum yang ada
ke tahap yang serendah mungkin dan sebaliknya untuk mendukung terciptanya satu
hukum nasional. Dari uraian di atas, kita bisa mengetahui bahwa dalam politik
hukum Indonesia dan sekaligus dalam konteks negara kebangsaan yang plural,
norma-norma hukum Islam, meskipun dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia,
tidak dengan sendirinya menjadi hukum nasional. Hukum Islam, seperti juga hukum
adat, posisinya baru merupakan “bahan mentah” (raw material)
bagi pembangunan hukum nasional. Oleh karenanya, hukum Islam baru dapat
dijadikan sebagai norma hukum nasional manakala ditetapkan menjadi
undang-undang.
Tantangan Hukum Islam di Indonesia, terdapat pada salah satu
rumusan arah kebijakan pembangunan hukum di dalam GBHN 1999,
antara lain
disebutkan:
Menata
sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan
menghormati hukum agama serta memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial
yang diskriminatif, termasuk ketidak adilan gender dan tidak sesuai dengan
tuntutan reformasi melaluiprogram legislasi(Bab IVA. 2).Dari arah
kebijakan tersebut dapat dicatat beberapa hal:
- Sumber
hukum nasional
tidak tunggal. Menurut Qadry Azizy, sumber hukum nasional ada tiga: Agama, Hukum Adat dan Hukum Barat.[15]
- Masih ada, bahkan banyak hukum nasional yang
merupakan warisan kolonial, sehingga tidak relevan lagi dengan era
reformasi sekarang ini. Diantara warisan kolonial tersebut adalah KUH
Piana dan KUH Perdata.
- Pembaharuan hukum dilakukan melalui legislasi,
yaitu suatu proses untuk menghasilkan peraturan perundang-undangan yang
ditempuh secara prosedural dan demokratis.
Peluang suatu ajaran agama untuk menjadi sumber
hukum nasional tergantung pada dua hal. Pertama,
secara internal, sejauh mana suatu
agama memiliki ajaran yang bisa diadopsi untuk menjadi hukum nasional.
Jika sebuah agama memang tidak memiliki sistem hukum yang dapat diadopsi, ia
maksimal hanya akan menjadi kekuatan moral, tidak dapat menyumbangkan formula
hukum untuk diadopsi menjadi hukum nasional. kedua
, sejauh mana
agama itu dianut oleh masyarakat. Jika ia dianut oleh mayoritas masyarakat,
secara politis, ia akan menjadi kekuatan perekat.[16]
Dalam
Al-Qur’an, menurut al-Suyuti terdapat tidak kurang dari 500 ayat yang
mengandung perintah hukum.[17] Namun, kesiapan materi hukum Islam
tersebut di Indonesia dapat dikatakan belum mendapat tempat yang signifikan
dalam tata hukum nasional. Hal ini dikarenakan beberapa hal. Pertama,
Indonesia dijajah oleh bangsa Asing selama berabad-abad. Implikasinya sangat
telak bagi perjalanan bangsa selanjutnya, termasuk perjalan hukumnya.
Akibatnya terciptanya dua dunia yang
seolah-olah berbeda sama sekali, yaitu dunia hukum Islam dan dunia hukum umum.
Padahal seharusnya tidaklah demikian. Hukum Barat maupun hukum Islam sama-sama
hukum. Apalagi hukum Islam juga diakui sebagai salah satu sistem hukum di dunia
disamping Roman
Law dan Anglo Saxon.[18]
Sedangkan syarat kedua, bahwa agama yang ajaran hukumnya akan dijadikan hukum [19]nasional
seyogianya dianut oleh
mayoritas masyarakat, secara formal telah dipenuhi oleh Islam. Syarat demikian
ini selain penting secara politis sebagai daya perekat, juga secara sosiologis,
agama dapat dipandang sebagai hukum yang hidup (living law).
[20]
Konsepsi mengenai hukum yang hidup (living
law) kali pertama dikemukakan oleh mazhab Sociological
Jurisprudence,[21] yang dimotori oleh Roscoe Pound dan
Eigen Ehrlich. Menurut mazhab ini,[22] secara umum, hukum dapat dilihat baik
sebagai law
in books maupun
sebagai law
in action. Law
in books (hukum
tertulis) merupakan suatu fenomena normatif otonom yang berupa kumpulan
norma-norma yang mengatur hubungan-hubungan dalam masyarakat, dan law in action atau living
law diartikan
sebagai suatu gejala sosiologis yang berupa interaksi antara norma-norma otonom
tersebut dengan faktor-faktor sosial dalam masyarakat. Dengan kata lain, law in actionadalah
hukum yang berlaku dalam masyarakat yang sifatnya konkrit dijelmakan dalam
tingkah laku para anggotanya.[23]
Peraturan perundang-undangan tertulis
(law in books) seyogyanya sesuai dengan hukum yang
hidup di masyarakat (law in action). Hukum yang
demikian lebih mudah diterima oleh masyarakat. Konsep law in book (hukum tertulis/fenomena
normatif) dan law
in action (gejala
sosiologis) ini pada dasarnya menjelaskan apa yang dalam ilmu agama disebut
sebagai perbedaan sekaligus relasi antara normatifitas dan historisitas, serta
globalitas-universalitas dan pluralitas-lokalitas.[24]
Selanjutnya, ilustrasi
pasang-surut upaya legislasi hukum Islam dalam dinamika sejarah ketatanegaraan
Indonesia yang belum sepenuhnya berhasil tersebut, setidaknya memberikan
pelajaran (hikmah) yang sangat berharga kepada kita, yaitu: pertama, bahwa realitas empiris bangsa
Indonesia adalah plural tidak tunggal. Benar adanya, bahwa mayoritas bangsa
Indonesia adalah kaum muslimin namun aspirasi dan cara pandang terhadap obyek
persoalan yang sama ternyata beragam.
Hal demikian nampak jelas dari dua
kelompok besar organisasi Islam di Indonesia, yakni Muhammadiyah dan NU yang
enggan mendukung upaya formalisasi syari’at Islam tersebut. [25] Kedua, berkenaan dengan soal hukum
Islam itu sendiri. Hukum Islam versi siapa yang hendak dipositifkan dalam hukum
nasional. Secara obyektif, di Indonesia menganut paling kurang empat mazhab
besar anutan hukum Islam,
yaitu Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hanbali. Keempatnya berdimensi plural. Menambah khazanah keilmuan kalangan
internal umat Islam sendiri.
Gagasan dan Gerakan Ekonomi Syari’ah
Sejumlah
ulama dan cendekiawan muslim Indonesia mulai melihat fakta bahwa sistem ekonomi
kapitalis dan sosialis tidak bisa diharapkan terlalu banyak, karena telah terbukti
dampak buruk dari kedua sistem ekonomi ini. Mereka pun berfikir perlu
dikembangkannya sistem ekonomi alternative selain dua sistem ekonomi tersebut.
Setidaknya ada dua upaya yang dilakukan, yaitu :
1.
Mengombinasikan dua sistem ekonomi tersebut ke dalam sistem ekonomi baru,
seperti yang telah dikembangkan oleh China selama dua dekade ini; dan
2.
Memunculkan sistem ekonomi yang benar-benar berbeda dari semangat kedua
sutistem ekonomi terdahulu.
Ternyata
upaya yang kedua diatas yang menjadi pilihan sebagai pintu masuk bagi sistem
ekonomi syariah di Indonesia.
Pada
mulanya pihak-pihak yang meyakini dan memperjuangkan sistem ekonomi syariah
sebagai sistem ekonomi alternatif yang berkeadilan dianggap sebagai “igauan”
yang menjadi bahan cemoohan. Sikap optimis bahwa sistem ekonomi syariah dapat
menutupi kelemahan dan kekurangan sistem ekonomi kapitalis atau
sosialis/komunis dianggap sebagai ide yang berlebihan dan bahkan dianggap
sebagai sebuah pernyataan bombastis-idealistis. Kondisi seperti ini merupakan fakta
sejarah yang terjadi di negara-negara Islam, tidak terkecuali di Indonesia.
Sampai dengan awal tahun 1990an cemoohan dan pandangan sinis terhadap
pihak-pihak yang gigih memperjuangkan sistem ekonomi syariah masih nyaring
terdengar. Namun pelan-pelan perjuangan untuk pengakuan sistem ekonomi syariah
sebagai sistem ekonomi alternatif mulai diterima.
Kebijakan
politik di Indonesia memberikan dukungan pertama kali dengan legislasi UU No. 7
Tahun 1992 tentang Perbankan, yang memungkinkan beroperasinya bank dengan
sistem bagi hasil (pasal 6). UU ini kemudian dirubah dengan UU No. 10 Tahun
1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang secara
eksplisit menyebutkan istilah "bank berdasarkan prinsip syariah".
Terbitnya
UU No. 10 Tahun 1998 tersebut, menjadi moment penting bagi dimulainya gerakan
ekonomi syariah di Indonesia. Setelah itu, gerakan ekonomi syariah terus
digaungkan dan diperjuangkan oleh para aktivis ekonomi syariah, baik para
ulama, akademisi maupun praktisi tidak kenal lelah. Gerakan ini pun
menggelinding bagaikan gerakan bola salju yang semakin membesar yang tidak
dapat terbendung lagi. Terus dikawal oleh lembaga-lembaga yang lahir dari
gerakan ini, seperti Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI),
Masyarakat Ekonomi Syariah (MES), Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI), dan
sebagainya. Gerakan dan perjuangan ekonomi syariah ini kemudian melahirkan
lembaga-lembaga teknis di lingkungan pemerintah, seperti Direktorat Perbankan
Syariah di Bank Indonesia, Direktorat Pembiayaan Syariah di Departemen
Keuangan, dan berbagai biro di Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM).
Gerakan ini
juga melahirkan sejumlah undang-undang dan peraturan perundangan lainnya,
misalnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2008 Tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), Berbagai
Peraturan Bank Indonesia, Peraturan Bapepam, dan peraturan-peraturan lainnya.
Di samping itu, gerakan ini juga melahirkan lembaga-lembaga keuangan syariah
meliputi: perbankan syariah, asuransi syariah, pegadaian syariah, pembiayaan
syariah, pasar modal syariah, bursa komoditi syariah, bisnis syariah, dan
sebagainya.
Lahirnya
Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang Undang Nomor 7 Tahun
1989 Tentang Peradilan Agama yang memberikan kewenangan kepada Peradilan Agama
dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari?ah adalah merupakah langkah politik
hukum yang luarbiasa dalam melengkapi kelembagaan “hukum” untuk mewujudkan
gerakan ekonomi syari?ah di Indonesia, sehingga kini gerakan ekonomi syari?ah
riil mendapatkan dukungan dari berbagai pihak.
Urgensi
Pembaruan Hukum Ekonomi Syari’ah
Perkataan
ekonomi berasal dari bahasa Latin : Oikonomia. Kata oikonomia terdiri dari dua
kata oikos yang berarti rumah-tangga, dan nomos artinya mengatur. Sehingga
secara literar oikonomia diindonesiakan menjadi ekonomi, diartikan hal-hal yang
berkaitan dengan mengatur rumah-tangga. Dengan demikian secara sederhana dapat
dikatakan ilmu ekonomi adalah ilmu untuk mengatur rumah-tangga.
Dalam
tataran masyarakat internasional-global menterjemahkan kata ekonomi dengan
pengertian management of householt or estate (tata laksana rumah tangga atau
kepemilkan) yang kemudian diartikan sebagai suatu ilmu bagaimana cara tiap
individu atau segolongan masyarakat bertindak dalam proses produksi, konsumsi
dan alokasi barang dan jasa untuk memuaskan kebtuhan yang tidak terbatas
jumlanya dengan sumber-sumber yang terbatas jumlahnya.
Dalam
literatur Arab, ilmu ekonomi disebut dengan ilmu al-iqtishad yang diambil dari
kata qashada, yaqshudu, qashdan yang berarti niat, maksud, tujuan, atau jalan
lurus. Selain itu dari akar kata Al-Qashdu kemudian menjadi kata al-muqtashid,
yang berarti penghematan dan kesederhanaan (economze-simplicty), dalam arti
inilah padanan kata ekonomi yang tepat dalam bahasa arab.
Perkataan
syari?ah dari bahasa Arab seracara etimologi kata syari?ah berarti “jalan ke
sumber air” atau “tempat orang-orang bisa minum”. Orang Arab sendiri
menggunakan istilah ini dengan arti “ jalan setapak menuju sumber air yang
tetap dan diberi tanda yang jelas sehingga tampak oleh mata”. Mahmud Syalthut
mendefinisikan syari?ah sebagai “Peraturan-peraturan yang diciptakan Allah agar
menjadi pegangan bagi manusia dalam berbagai aspek kehidupannya”. Dari
penggabungan dua kata “ekonomi” dan “syari?ah” tersebut yang dimaksudkan adalah
produk keuangan/transaksi ekonomi yang dilihat dari berbagai sudut pandang
kislaman terutama aspek hukum atau syari?ahnya. Dari itu kegiatan ekonomi dalam
Islam harus berlandaskan pada nilai-nilai ilahiyyah dengan perpaduan antara
pencurahan tenaga dan pikiran yang dimiliki manusia dengan wahyu (Al-Qur-an)
yang bersumber dari Allah SWT sehingga kegiatan ekonomi dalam Islam mempunyai
keseimbangan antara dua dimensi alam yaitu dunia dan akhirat. Karena adanya dua
faktor yaitu dimensi insaniyah dan dimensi ilahiyat dalam sistem ekonomi Islam,
maka ekonomi Islam lebih akrab disebut “ekonomi syari?at”.
Dalam
perspektif fikih, kegiatan perekonomian termasuk bagian dari mu?ammalah. Dalam
perspektif methodologi (ushul fikih), masalah-masalah mu?ammalah adalah bagian
dari masalah-masalah “taaqquli” yang menjadi domain ummat untuk merekayasa
sistem dan tekniknya, sehingga sistem maupun hukum ekonomi syari?ah senantiasa
menerima perkembangan dan berubahan, “qoobilun li al-taghyir wa al-niqas wa
tajdiid” agar bersifat dinamis sejalan dengan arus perubahan zaman yang melingkupi
kehidupan ummat manusia. Walaupun demikian kebebasan melakukan perubahan dan
pembaruan tersebut tidak mutlak tetapi ada batasan-batasan syar?i yang bersifat
universal. Dalam kaitannya dengan ini kaidah yang terkenal: “taghayyur al-hukmi
bi taghayyur al-azminah wa al-amkinah wa al-ahwâl wa al-niyyât wa
al-„awâid“(perubahan fatwa hukum karena perubahan zaman, tempat, kondisi, niyat
dan adat kebiasaan).
Kaidah ini
menunjukkan karakteristik fikih (hukum Islam) yang fleksibel dan kontekstual
terutama dalam menjawab persoalan-persoalan baru dan yang terbarukan (al-masail
al-jadidah wa al-mustajaddah). Kaidah ini sekaligus menegasikan anggapan
sebagian orang bahwa hukum Islam (fikih) merupakan suatu yang sakral yang tidak
mungkin berubah.
Fikih
memang sering dipahami oleh sebagian masyarakat Islam Indonesia sebagai hukum
yang sepenuhnya baku bahkan diasumsikan sama kuat dan sakralnya dengan nushush
syari?yyah yang terdapat dalam al-Qur'an. Padahal tidaklah demikian, pembaruan
hukum Islam (fikih) merupakan suatu keniscayaan, karena teks al-Qur'an maupun
al-Haditsh sudah berhenti, sementara masyarakat terus berubah dan berkembang
dengan berbagai permasalahannya.
Para ulama
menjelaskan hal ini dengan ungkapan: li anna an-nushus mahdudah walakin
al-hawadits wa an-nawazil ghair mahdudah, aw li anna an-nushus tatanaha
walakinal-hawadits wa an-nawazil la tatanaha, (Sesungguhnya nash itu terbatas,
sedangkan persoalan-persoalan yang timbul tidaklah terbatas, atau karena
sesungguhnya nash itu telah berhenti sedangkan permasalahan akan senantiasa
muncul dan tidak pernah berhenti). Untuk keperluan ini para ulama sudah cukup
menyediakan landasan metodologi (manhaj) yang kokoh.
Di era yang
sangat cepat perubahannya ini sebagai akibat kemajuan di bidang industri,
perdagangan, jasa, kontrak perjanjian, teknologi, komunikasi, dan lain-lain. Di
antara faktor-faktor yang mendorong mendesaknya pembaruan hukum Islam dewasa
ini antara lain:
1.
Perubahan sosial, yang meliputi perubahan budaya, ekonomi dan politik pada masa
kini mengharuskan para ahli hukum Islam (fuqoha) untuk melakukan telaah ulang
terhadap pendapat-pendapat ulama terdahulu yang tidak sesuai lagi dengan
konteks sosial saat ini.
2.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat berpengaruh terhadap upaya
mencari pendapat yang lebih kuat (rajih) di antara pendapat-pendapat yang
berkembang dalam fikih klasik di mana pada masa klasik ilmu pengetahuan dan
teknologi belum berkembang pesat, khususnya ilmu-ilmu eksakta. Dengan bantuan
ilmu dan teknologi, para ahli hukum Islam (fuqoha) dapat menelaah kembali
ketentuan hukum-hukum lama yang telah menjadi diskursus pada abad pertengahan
untuk dikontekstualisasikan dengan kondisi kekinian jauh lebih kompleks. Pada
saat ini, penentuan pendapat yang lebih kuat (rajih) tidak hanya didasarkan
pada argumen tekstual dengan pendekatan deduktif, atau bahkan sekedar
pendekatan madzhab fikih ansich, tetapi juga relevansinya dengan perubahan
masyarakat.
3. Tuntutan
perkembangan zaman mengharuskan para ahli hukum Islam (fuqoha) kontemporer
untuk melihat kompleksitas masalah kontemporer dan memilih pandangan-pandangan
dan fatwa hukum yang lebih memudahkan (taisir) dan menghindari kesulitan
(al-haraj) dalam hukum-hukum furu?, baik dalam masalah ibadah maupun muamalat.
4.
Munculnya kasus-kasus baru dan yang terbarukan mengharuskan adanya ijtihad baru
karena masalah-masalah tersebut belum pernah dijawab oleh para fuqaha klasik.
Pembaharuan
Hukum Ekonomi Syari’ah Kontemporer
Kehadiran
ekonomi syari?ah di Indonesia tidak hanya semata-mata meperkaya khazanah
intelektual para ilmuwan, tetapi juga turut serta menjadi solusi terbaik bagi
perkembangan dan pembangunan suatu negara, karena ia menjadi alternatif sistem
perekonomian tidak saja di Indonesia tetapi juga dunia dan kelanjutan peradaban
umat manusia. Hanya saja ekonomi Islam itu harus terus dikaji secara mendalam
sesuai dengan perkembangan zaman, tanpa harus melanggar norma-norma atau etika
yang diajarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah. Karena itu Ijtihad atau fatwa ulama
mempunyai perananan penting untuk menjawab permasalahan-permasalahan baru yang
timbul seputar masalah ekonomi syaria?ah. Sebab sistem dan kegiatan
perekonomian yang terjadi saat ini seakan-akan tidak terjamah oleh
konsep-konsep fikih klasik yang telah ada sehingga terjadi kesenjangan antara
realitas masa kini dengan konsep-konsep fikih klasik. Pada proporsi seperti
inilah mutlak diperlukan adanya rekonstruksi-dekonstruksi pemikiran diakibatkan
adanya tuntutan dan kebutuhan zaman.
Majelis
Ulama Indonesia (MUI) sebagai lembaga yang memiliki kewenangan dalam bidang
keagamaan yang terkait dengan kepentingan umat Islam Indonesia telah membentuk
satu dewan syari?ah yang bersifat nasional dan membawahi seluruh lembaga
keuangan, termasuk bank dan lembaga-lembaga keuangan syari?ah. Lembaga itu
dikenal dengan nama Dewan Syari?ah Nasional (DSN-MUI) yang berdiri pada tanggal
10 Pebruari 1999. Lembaga ini merupakan salah satu institusi berscala nasional
yang dijadikan payung bagi semua pihak dalam mengemban tugas mengawasi,
mengarahkan dan mendorong tumbuh kembangnya lembaga-lembaga keuangan syari?ah
agar kegiatan perekonomian dan keuangan lembaga syari?ah tersebut sesuai dengan
nilai-nilai ajaran Islam. Dengan demikian produk hukum dalam bentuk fatwa
DSN-MUI memiliki kredibitas tinggi karena merupakan hasil ijtihad kolektif
sehingga telah menghapus kesan selama ini bahwa ijtihad hukum tentang ekonomi
syari?ah dilakukan oleh mujtahid tertentu (fardhi) yang bersifat informal.
Padahal ijtihad dalam era modern ini perlu melibatkan para ahli yang
berkompeten dan memiliki kemampuan luarbiasa dalam melahirkan sebuah hukum
serta perlu pula bekerjasama dengan pemerintah sehingga dapat diperlakukan
sebagai perundang-undangan. Jika tidak demikian maka hasil ijtihad tersebut
hanya akan bersifat teoritis semata dan bahkan mungkin akan terjadi benturan
pendapat antara pemerintah dengan mujtahid.
Kemudian
untuk menyokong kredibilitas kedudukan Dewan Syari?ah Nasional (DSN) sebagai
lembaga yang berkompeten dibidang fatwa hukum ekonomi syari?ah, maka Pemerintah
telah mengundangkan Undang Undang Nomor 10 Tahun 1998, dengan undang undang
tersebut maka fungsi fatwa DSN-MUI lebih otoritatif sekaligus merupakan
positivisasi terhadap hasil ijtihad sehingga dipandang mengikat semua pihak,
antara lain Bank Indonesia dan pihak-pihak terkait lainnya untuk menerima
bagian dari jalan Islam dalam bidang ekonomi Islam di Indonesia.
Prinsip-prinsip
Umum Fatwa DSN Majelis Ulama Indonesia
Prinsip
fatwa DSN-MUI dalam tataran teoritis memang tidak dimaksudkan untuk melakukan
pembaruan hukum ekonomi Islam dalam arti menciptakan hukum baru yang sama
sekali tetapi lebih pada menguji validitas „illah yang terhadap dalam
kitab-kitab mu?tamad dan pendapat ulama terdahulu, jika „illahnya masih
dipandang relevan dengan kondisi kekinian maka pendapat ulama tersebut akan
dipakai, sedangkan jika „illahnya dianggap sudah tidak cocok lagi dengan
kondisi kekinian maka pendapat tersebut ditinggalkan. Walaupun demikian manhaj
istinbatul hukm-nya tetap dipakai oleh DSN-MUI. Sehingga kadang-kadang ada
beberapa fatwa DSN-MUI dianggap tidak sejalan dengan pendapat lahiriah ulama
terdahulu dalam kitab-kitab fikih mu?tabarah. Dan fatwa tentang ekonomi syariah
yang ditetapkan oleh DSN-MUI selain dibangun di atas manhaj tertentu juga tidak
terlepas dari landasan umum hukum ekonomi syariah.
Setidaknya
ada tujuh prinsip yang dijadikan landasan dalam penetapan-penetapan fatwa hukum
ekonomi syariah sama halnya dengan prinsip mu?ammalah pada umumnya, yaitu :
1. Pertama
adalah Al-maslahah, artinya aktifitas ekonomi syariah harus dilakukan atas
dasar pertimbangan mendatangkan manfaat dan menghindarkan mudharat (jalb
al-mashalih wa dar?u al-mafasid). Konsekuensi dari prinsip ini adalah bahwa segala
bentuk mu?amalat yang dapat merusak atau mengganggu kehidupan masyarakat tidak
dibenarkan, seperti perjudian, penjualan narkotika secara tidak sah, prostitusi
dan sebagainya.
2. Kedua
adalah Ar-ridha, artinya aktifitas perekonomian syariah harus dilakukan atas
dasar sukarela (taradhi), dengan tanpa mengandung unsur paksaan (ikrah). Kaidah
saling sukarela antara pihak yang melakukan transaksi ini merupakan prinsip
yang fundamental dalam setiap aktifitas perekonomian syariah, sehingga kedua
belah pihak dapat terhindar dari aktifitas ekonomi yang di dalamnya terdapat
unsur tekanan, paksaan, penipuan atau ketidakjujuran. Namun demikian, semua
aktifitas perekonomian yang didasarkan atas prinsip saling rela itu tidak
secara otomatis dianggap sah secara syar?i, karena pada dasarnya saling rela
merupakan prinsip dalam aktifitas perekonomian, bukan menjadi penyebab
dibolehkannya sesuatu yang dilarang (ar-ridha ruknun li al-„aqdi wa laisa
sababan li al-hilli). Selain itu, aktifitas ekonomi syariah juga harus didasarkan
atas prinsip ketidak-terpaksaan (ghair ikrah). Prinsip ini merupakan prinsip
dasar dalam fiqh mu?amalat dan merupakan prinsip dasar pula dalam hukum
perjanjian (akad). Pihak-pihak yang melakukan akad mempunyai kebebasan untuk
membuat suatu perjanjian, baik dalam menentukan yang diperjanjikan (obyek
perjanjian) maupun syarat-syaratnya, termasuk menetapkan cara-cara penyelesaian
jika terjadi sengketa. Kebebasan menentukan syarat-syarat ini dibenarkan selama
tidak bertentangan dengan ketentuan syari?ah lainnya.
3. Ketiga
adalah ‘Adamul-Gharar, artinya praktik perekonomian syariah harus jauh dari
tipu daya (?adam al-gharar). Dalam fikih klasik Imam al-Khithabi menyatakan
bahwa setiap jual-beli yang tidak diketahui maksudnya dan tidak bisa diukur
maka itu termasuk gharar. Misalnya menjual ikan yang masih di lautan, atau
menjual burung yang masih terbang di udara, atau menjual barang dalam bungkus
yang tidak diketahui kondisinya. Setiap transaksi ekonomi yang mengandung
penipuan (gharar fahisy) maka dianggap tidak sah.
4. Keempat
adalah Al-Khidmah, artinya aktifitas ekonomi syariah harus mampu mewujudkan
pelayanan sosial (tahqiq al-khidmah al-ijtima?iyah). Aktifitas ekonomi syariah
harus diorientasikan pada terciptanya pelayanan sosial yang bisa meringankan beban
kaum yang lemah secara ekonomi atau At-Ta?awun. Prinsip ini harus menjadi
tujuan dari setiap aktifitas ekonomi syariah, karena dalam ekonomi syariah
selain diperbolehkan untuk menambah keuntungan dan kekayaan yang berlimpah,
juga harus memperhatikan kondisi sosial di sekitarnya.
5. Kelima
adalah Al-Adilu, artinya setiap aktifitas ekonomi harus mengarah pada
terciptanya keadilan dan keseimbangan (al-?adlu wa at-tawazun). Ekonomi syariah
harus dilaksanakan dengan memelihara nilai keadilan dan menghindari unsur-unsur
kezaliman. Segala bentuk aktifitas ekonomi yang mengandung unsur penindasan
tidaklah dibenarkan. Setiap aktifitas ekonomi harus memperhatikan keseimbangan
antara pihak-pihak yang melakukan transaksi. Prinsip ini menekankan perlu
adanya keseimbangan sikap dalam melakukan aktifitas perekonomian. Misalnya,
setiap upaya untuk mendapatkan keuntungan tentu saja di situ ada resiko-resiko
kerugian yang harus ditanggungnya. Jika keuntungan yang diharapkan lebih besar,
di situ faktor resiko kerugiannya juga lebih besar. Sebaliknya, setiap
transaksi bisnis yang mempunyai resiko besar, biasanya juga menjanjikan
keuntungan yang besar pula. Harus ada sikap proporsional antara upaya meraih
keuntungan dan kesiapan untuk menanggung kerugian, sesuai kaidah al-ghunmu
bil-ghurmi wal-ghurmu bil-ghunmi.
6. Keenam
adalah Al-Ibahah, artinya segala bentuk aktifitas dalam ekonomi (mu'amalat)
pada dasarnya hukumnya adalah boleh (mubah), kecuali jika ditentukan lain oleh
suatu dalil. Prinsip dalam kaidah tersebut merupakan landasan dalam menentukan
hukum suatu transaksi ekonomi. Dan kaidah ini menunjukkan bahwa hukum Islam
memberi kesempatan luas bagi perkembangan bentuk dan macam mu?amalat baru
sesuai dengan perkembangan kebutuhan hidup masyarakat.
7. Ketujuh
adalah Al-Istirbah, artinya aktifitas ekonomi syariah juga harus memperhatikan
prinsip profitable (al-istirbah), karena setiap kegiatan ekonomi tentunya
mengharapkan adanya keuntungan. Jadi, tidak logis jika transaksi ekonomi tidak
mengharapkan keuntungan. Methodologi Pembaruan Hukum Ekonomi Syariah DSN-MUI
Bidang ekonomi syariah merupakan lahan baru untuk ijtihad karena
perkembangannya yang begitu cepat dan masih sedikitnya pendapat ahli fikih
tentang masalah ini. Untuk merespons hal ini dilakukan ijtihad jama?i melalui perumusan
fatwa Dewan Syariah Nasional MUI. Dalam proses penetapan fatwa ini, DSN-MUI
mempergunakan tiga pendekatan, yaitu:
-
pendekatan nash qath?i;
-
pendekatan qauli, dan;
-
pendekatan manhaji.
Pendekatan
nash qath?i dilakukan dengan berpegang kepada nash al-Qur?an atau al-Hadits
dalam menetapkan suatu masalah yang sudah terdapat dalam nash al-Qur?an ataupun
al-Hadits secara jelas. Apabila masalah itu tidak terdapat dalam nash al-Qur?an
maupun al-Hadits, maka proses perumusan fatwa dilakukan dengan pendekatan qauli
dan manhaji. Pendekatan qauli dilakukan apabila permasalahan yang ada telah
ditemukan jawabannya melalui pendapat ahli fikih yang terdapat dalam al-kutub
al-mu?tabarah yang „illah hukumnya sesuai dengan yang terjadi saat ini dan
hanya terdapat satu pendapat (qaul). Dalam kondisi seperti itu maka fatwa akan
memakai pendapat ulama tersebut. Namun jika pendapat yang ada dianggap tidak
cocok lagi untuk dipegangi karena ta?assur atau ta?adzdzur al-„amal atau
shu?ubah al-„amal, sangat sulit untuk dilaksanakan, atau karena illat-nya
berubah, maka dalam hal ini perlu dilakukan telaah ulang (i?adah an-nadhar)
pendapat tersebut.
Apabila
jawaban terhadap masalah yang dimintakan fatwa tidak dapat dipenuhi oleh nash
qath?i dan pendapat yang ada dalam al-kutub al-mu?tabarah, maka penetapan fatwa
dilakukan melalui pendekatan manhaji, yakni dengan menggunakan metode: al-jam?u
wat taufiq, tarjihi, ilhaqi dan istinbathi. Jika dalam masalah yang dimintakan
fatwa itu terjadi khilafiyah di kalangan imam madzhab, maka penetapan fatwa
didasarkan pada hasil usaha penemuan titik temu di antara pendapat-pendapat
madzhab melalui metode al-jam?u wa al-taufiq. Namun jika usaha al-jam?u wa
al-taufiq tidak berhasil, maka penetapan fatwa dilakukan melalui metode
tarjihi, yaitu dengan menggunakan metode muqaran al-madzahib dan dengan
menggunakan kaedah-kaedah ushul fiqh al-muqaran.
Ketika satu
masalah atau satu kasus belum ada qaul yang menjelaskan secara persis dalam
al-kutub al-mu?tabarah namun terdapat padanannya dari masalah tersebut, maka
penetapan fatwa dilakukan melalui metode ilhaqi, yaitu menyamakan suatu masalah
yang terjadi dengan kasus padanannya dalam al-kutub al-mu?tabarah. Jika metode
ilhaqi ini tidak bisa dilakukan karena tidak ada mulhaq bih dalam al-kutub
al-mu?tabarah, maka penyelesainnya dilakukan dengan metode istinbathi. Metode
istinbathi ini dilakukan dengan memberlakukan metode qiyasi, istishlahi,
istihsani dan sadd al-dzari?ah.
Di samping
metode-metode tersebut, secara umum penetapan fatwa harus pula memperhatikan
kemaslahatan umum (mashalih „ammah) dan maqashid al-syari?ah. Metode-metode di
atas selama ini telah mencukupi untuk dijadikan kerangka paradigmatik dalam
menjawab permasalahan ekoomi yang muncul melalui fnatwa DSN-MUI.
Dalam
menguplaud pendapat fukoha klasik, ada kaidah-kaidah yang secara spesifik
mendasari banyak fatwa DSN-MUI, yaitu kaidah tafriq al-halal min al-haram dan
i?adah an-nadhar.
a. Tafriq
al-halal nin al-haram
Kaidah ini
relevan dikembangkan di bidang ekonomi syariah, mengingat bahwa kegiatan
ekonomi syariah belum bisa terlepas sepenuhnya dari sistem ekonomi konvensional
yang ribawi. Paling tidak, lembaga ekonomi syariah akan berhubungan dengan
ekonomi konvensional yang ribawi dari aspek permodalan, pengembangan produk,
maupun keuntungan yang diperoleh. Kaidah tafriq al-halal min al-haram
(pemisahan unsur halal dari yang haram) dapat dilakukan sepanjang yang
diharamkan tidak lebih besar atau dominan dari yang halal. Bila unsur haram dan
halal telah dapat diidentifikasi maka unsur haram harus dikeluarkan.
b. I’adah
al-nadhar
Pembaruan
hukum ekonomi syariah juga dapat dikembangkan dengan mengedepankan teori i?adah
al-nadhar (telaah ulang) dengan cara menguji kembali alasan hukum („illah) dari
pendapat ulama terdahulu tentang suatu masalah. Telaah ulang ini dilakukan,
karena „illah hukumnya telah berubah atau karena beberapa pendapat para ulama
terdahulu dipandang tidak aplikatif dan tidak memadai dengan kondisi
kontemporer. Pendapat itu dianggap sudah tidak cocok lagi untuk dipedomani,
karena sulit diimplementasikan (ta?assur, ta?adzdzur aw shu?ubah al-amal).
Salah satu cara yang bisa dipakai untuk melakukan telaah ulang adalah dengan
menguji kembali pendapat yang mu?tamad dengan mempertimbangkan pendapat hukum
yang selama ini dipandang lemah (marjuh bahkan mahjur), karena adanya „illah
hukum yang baru dan atau pendapat tersebut lebih membawa kemaslahatan.
Selanjutnya pendapat tersebut dijadikan pedoman (mu?tamad) dalam menetapkan
hukum.
[2]
Dalam studi agama-agama
pada umumnya, Emile Durkheim menyatakan: “In
fect, they feel that the real function of religion is not to make us thi nk, to
enrich our knowledge…but rather, it is to make us act, to aid us to live”,
Emile Durkheim, The
Elementary Forms of Religious Life, terj. Joseph Ward Swaim (New York: The
Free Press, 1969), 463-4.
[3] Memang harus diakui bahwa selama ini ada semacam
kerancuan tata makna dalam perbendaharaan hukum Islam, kadangkala disebut
shari’ah dan suatu saat diterjemahkan fiqih. Shufi Hasan Abu Thalib dalam Bayna
al-Shari’ah al-Islamiyah wa al-Qanun al-Rûmî, misalnya, lebih berselera menyebut hokum Islam dengan istilah
“shari’ah” dari pada “fiqih”. Sebaliknya Mushthafâ Ahmad Zarqâ dalam al-Fiqh
al-Islam fi al-Tsaubih al-Jadid lebih
suka menggunakan term “fiqh” dari pada “shari’ah”. Hal demikian terjadi pula
dalam kepustakaan Inggris, di mana hokum Islam terkadang diterjemahkan dengan Islamic
Law, seperti karya JND Anderson, Islamic
Law in the Modern World, dan
terkadang pula dengan memakai istilah Islamic Jurisprudence seperti karya Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudence.
[9]
Baca misalnya Ann Elizabeth
Mayer, “The Syari’a: A Methodology or A
Body of Subtantive Rules?” Dalam Islamic
Law and Jurisprudence, ed. Nicholas Heer (Seattle and London: University
of Washington Press, 1990), 192-97; juga Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries (New Delhi: Academy of
Law & Religion, 1987),46
[10] Moh. Mahfud MD, “Politik Hukum: Perbedaan Konsepsi
Hukum Barat dan Hukum Islam,” dalam Al-Jami’ah, Vol VI,
No. 63 (1999), 29-49. Perlu dicatat bahwa dalam perbandingan ini Mahfud hanya
mengambil konsep al-Maududi, seorang pemikir Muslim literalis, tentang hukum
Islam. Oleh karenanya, menganggap pemikirannya seorang diri sebagai representasi
konsep Islam secara umum belum cukup memadai tanpa menyertakan dan
mengeksplorasi konsep-konsep yang berbeda dari para pemikir Muslim lainnya yang
lebih moderat.
[12] Salah satu proponen mazhab positivisme, John Austin,
mendeskripsikan hukum sebagai “The law as the Command of Government (the law as command the
lawgiver). Implikasi dari pandangan
ini adalah kendati di dalam masyarakat terdapat begitu banyak norma-norma
sosial religius yang dipedomani dan ditaati, tidak begitu saja dapat
dikategorikan sebagai hukum, sebelum ia diformalkan oleh lembaga khusus yang
ditunjuk untuk itu. Dianutnya paradigma positivisme hukum di Indonesia, dapat
dirujuk pada prinsip legalitas yang tercantum dalam pasal 1 KUHP Pidana.
[20] A. Syafi’i Ma’arif (ketua PP Muhammadiyah) dan Hasyim
Muzadi (ketua PBNU) jauh-jauh hari sebelum sidang tahunan MPR 2002 menegaskan,
NU dan Muhammadiyah tidak mendukung pemberlakuan syari’at Islam di Indonesia
dalam arti formalisasi yang akan mengarah kepada pembentukan negara Islam.
lihat Zuly Qodir, Pemberlakuan Syari’at Islam: Belajar dari Propinsi Nangroe Aceh
Darussalam, Kompas, 24-4, 2002.
[21] Inti pemikiran madzhab ini adalah bahwa “hukum yang
baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat”.
Sesuai di sini berarti bahwa hukum itu mencerminkan nilai
yang hidup di dalam masyarakat. Lebih jauh baca W. Friedmann, Legal
Theory, 4th Edition (London: Stevens and Sons
Limited, 1960), 194-204.
[22] Madzhab ini (sociological
jurisprudence) hendaknya dibedakan
dengan apa yang kita kenal dengan “sosiologi hukum”. Perbedaan di antara ke
duanya adalah kalau sociological jurisprudenceitu merupakan suatu madzhab dalam filsafat hukum yang mempelajari
pengaruh timbal balik antara hukum dan masyarakat dan sebaliknya sedang
sosiologi hukum adalah cabang sosiologi yang mempelajari pengaruh masyarakat
kepada hukum dan sejauh mana gejala-gejala yang ada dalam masyarakat itu dapat
mempengaruhi hukum. Dengan kata lain, kalau sociological jurisprudencecara pendekatannya dari hukum ke masyarakat, sedang sosiologi hukum
sebaliknya dari masyarakat ke hukum. Lihat Roscoe Pound, “Kata Pengantar”, dalam
Georges Gurvith, Sosiologi Hukum,
terj. Sumantri Mertodipuro (Jakarta: Bhratara, 1988), x-xi.
No comments:
Post a Comment