DISERTASIKU ANALISIS HUKUM TENTANG MEMUKUL ANAK YANG TIDAK SHOLAT
PROFILKU
JATI DIRIKU.Drs.Muhammad Rakib Jamari,S.H.,M.Ag
Dosen Ilmu Hukum dan Perbandingan Agama Perguruan Tinggi Persada Bunda Pekanbaru-Riau-Indonesia
Nama
: Muhammad Rakib
Umur
: 54 tahun
Pekerjaan
: Dosen Persada Bunda dan Widyaiswara LPMP. Riau Pekanbaru- Indonesia,
sejak tahun 2000. Punya Yayasan Raksya Riau
HP. 0823 9038 1888
Lahir
: KUALA KAMPAR. Penyalai 31 Gustus 1959
Nama Orang tua : Janib Maryama
Pendidikan terakhir :
Program Doktor UIN Suska Riau Indonesia. Jurusan Hukum Islam. (Kandidat
doktor 2013)Mohon doa pembaca agar sukses atas izin Allah. Bimbingan Prof. Dr.
Sudirman, M.Djohan dan Prof.Dr.Syafrinaldi, M.CL.
ANAK
ANDA ADALAH PENGGUGAT ANDA
DISERTASIKU ANALISIS
HUKUM TENTANG MEMUKUL ANAK YANG TIDAK SHOLAT
A.Perlindungan
anak dalam Islam
1. Perlindungan
dari hukuman fisik.
Di masa hidupnya Rasulullah, di
masa Amirul Mukminin, dan di masa jayanya dinasti Umayyah dan Abbasiyah,
hukuman fisik oleh orang tua dan guru, yang digunakan untuk menghukum anak-anak adalah cambuk
kecil,[1]
untuk menakut-nakuti anak-anak yang
tidak disiplin belajar dan tidak shalat.
Menanamkan sikap kesatria dan bertanggungjawab,bersedia dihukum, mau mengakui
kesalahan, merupakan
salah satu bentuk manifestasi dari cita-cita hidup Islam untuk melestarikan,
menanamkan (internalisasi) dan mentransformasikan nilai-nilai Islam tersebut
kepada pribadi generasi penerusnya sehingga nilai-nilai cultural-religious yang
dicita-citakan tetap berfungsi dan berkembang dalam masyarakat dari
waktu-kewaktu. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah
bagaimanakah bentuk lembaga dan sistem pendidikan Islam pada masa khalifah
Harun ar-Rasyid dan al-Makmun?
Hukuman fisik
tidak banyak ditulis para ilmuwan. Lembaga
pendidikan Islam yang berkembang pada masa khalifah Harun ar-Rasyid berbentuk:
kuttab, pendidikan rendah di istana, halaqah, masjid, majelis, rumah sakit dan rumah-rumah ulama’, toko buku dan
perpustakaan. Sedangkan lembaga pendidikan Islam pada masa al-Makmun yaitu:
kuttab, pendidikan rendah di istana, halaqah, masjid, majlis, rumah sakit,
observatorium, khan, ribat, toko buku dan perpustakaan. Sistem pendidikan Islam
pada masa kedua khalifah ini meliputi: tujuan, kurikulum, metode, kehidupan
guru dan murid serta hubungan guru dan murid. Tujuan Pendidikan Islam pada masa
Pola hubungan guru dan murid tidak ditemui informasi tentang kekerasan
apapun. Karena didasarkan
pada prinsip demokratis dan kesucian batin serta akhlaqul karimah.
Dari data historis tersebut,
menurut analisis penulis angtara konsep Hukum Islam dan UU RI No 23,
secara tekstual seakan-akan terjadi
pertentangan secara tekstual. Sedangkan secara
kontekstual, “ tidak”, karena hukuman fisik terhadap anak-anak dalam
Islam, tidak mengandung kekerasan, dan digunakan sebagai alternatif terakhir,
sekaligus sebagai
antisipasi kerusakan (dar’ul
mafasid).[2]Dar’ul
mafasid, artinya mencegah kerusakan yang lebih
besar. Maksudnya memberikan hukuman fisik
kepada anak-anak adalah untuk mencegah kejahatan yang mungkin akan
dilakukannya, akan tetapi jangan sampai menghasilkan manusia yang suka dengan
tindak kekerasan dikemudian hari. Kalau itu terjadi, maka pendidikan saat ini
hanya menghasilkan kesalahan besar.
2.Melindungi
anak-anak dari kekerasan guru.
Dalam UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang UU Perlindungan Anak
pasal 54 menyebutkan: “Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi
dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau
teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan
lainnya”.
Apakah bertentangan
dengan Hukum Islam yang membolehkan hukuman fisik sekedarnya, untuk melindungi
dan menjunjung tinggi kesucian kehidupan
anak-anak. Hal ini dibuktikan dengan sejumlah ayat-ayat dalam al-Qur’an dan hadits. Berdasarkan ayat-ayat tersebut, Islam
memberikan landasan hukum yang jelas bahwa kehidupan manusia itu suci sehingga
haruslah dipelihara dan tidak boleh dihancurkan (diakhiri) kecuali dilakukan
untuk suatu sebab atau alasan yang benar, misalnya pembelaaan diri yang
dibenarkan. Berikutnya akan dianalisis pandangan-pandangan ulama fikh tentang kekerasan, argumentasi
methodologis (usul fikh), solusi fikh, dan argumentasi fikh. Berikut ini disajikan tabel :
Tabel 5
Perbedaan
antara UU Perlindungan Anak dan Hukum Islam, tentang hukuman fisik, bagi
anak-anak.
No
|
UU Nomor 23 Tahun 2002
|
Hukum Islam
|
1
|
Berdasarkan
HAM dan konvensi PBB tentang hak-hak anak.
|
Berdasarkan
Al-Quran dan Hadits
|
2
|
Keterangannya
bersifat global
|
Keterangannya bersifat
detil
|
3
|
Untuk
semua agama
|
Untuk
umat Islam dan dunia
|
4
|
Melarang
hukuman fisik, tanpa batas
|
Membolehkan
hukuman fisik, dengan batas-batas tertentu.
|
5
|
Bersifat
sekular rasionalis
|
Bersifat
sakral relegius
|
6
|
Memuat
sanksi hukuman penjara dan denda bagi yang melanggarnya.
|
Memuat
sanksi hukuman qishas dan ta’zir bagi
yang melanggarnya.
|
Keterangan tabel
5
Pada baris nomor 5 dalam tabel ini, dibandingkan
tentang dasar atau landasan atau fondasi dari UU Nomor 23 Tahun 2002
adalah Hak Asasi Manusia (HAM) dan
Konvensi PBB tentang hak-hak anak yang sudah diratifikasi oleh Indonesia.
Sedangkan Hukum Islam, dasarnya adalah
Al-Quran dan Hadits. Walaupun
dasarnya dan landasannya berbeda, tapi tujuannya sama, yaitu memberikan
perlindungan kepada anak-anak. Dalam Islam, anak-anak sampai umur tujuh tahun, dibimbing dan diberi contoh, bagaimana
melakukan shalat. Mereka biasanya lebih terpengaruh oleh kebiasaan dan
didikan orang tuanya. Namun setelah mulai masuk sekolah ia akan terbina oleh
gurunya dan terpengaruh oleh teman-temannya di sekolah. Kalau pembinaan
guru-gurunya baik dan pengaruh teman-temannya pun baik maka insya Allah jiwa
anak terbina dgn baik. Sebaliknya kalau pembinaan dari guru-gurunya hanya
sekadarnya dan pengaruh teman-temannya buruk maka si anak terbentuk dalam pola
yang kurang baik.
Di saat
seperti itu pembinaan ataupun kebiasaan kedua orang tuanya yang ditanamkan kepada si anak selama 7
tahun itu lambat laun terkikis lama-lama bisa habis. Sedang pembinaan dari
orang tua belum tentu berlanjut atau setidak-tidaknya tak ada peningkatan.
Karena orang tua merasa anaknya sudah disekolahkan pasti telah dibina oleh
guru-gurunya di sekolah. Wal hal guru-guru belum tentu membina si anak dgn
baik/ intensip. Apalagi kebanyakan pendidikan selama ini kurikulumnya hanya
sekadar menyampaikan pelajaran yg sasarannya hanya membekali otak dengan ilmu
teori dan itupun sifatnya lbh menjurus kepada materi keduniaan. Sedikit sekali
yang menyangkut pembinaan rohani akhlaq jiwa hati keimanan keikhlasan atau
akhlaq secara keseluruhan. Sehingga aspek ukhrawi justru terabaikan. Kemaslahatan manusia dapat terwujud
apabila terjamin kebutuhan pokok (dharuriyah), kebutuhan sekunder (hajiyah)
maupun kebutuhan pelengkapnya (tahsiniyah).[3] Yang diinginkan ialah:
1.
Mencari solusi
dengan fikih alternatif
Dalam konteks hukuman fisik , mirip dengan aborsi tak aman
yang menimbulkan tingginya kecelakaan, bukan
merupakan persoalan sederhana, tetapi memiliki dimensi sosial yang kompleks baik
secara fisik, psikis bagi yang bersangkutan maupun psiko-sosial bagi
lingkungannya. Fikih dalam hal ini harus berorientasi pada etika sosial yang
produk hukumnya tidak sekedar halal atau haram, boleh dan tidak boleh, tetapi
harus memberikan jawaban berupa solusi hukum terhadap persoalan-persoalan
sosial yang dihadapi perempuan. Dengan kata lain, diakui pula oleh K.H. Sahal
Mahfudz (2003):“Fikih sosial bertolak dari pandangan bahwa mengatasi masalah
sosial yang kompleks dipandang sebagai perhatian utama syari’at Islam”.[4]
Dalam konteks menetapkan kepastian
hukum mengenai tingginya angka
kematian ibu
akibat aborsi tak aman yang merupakan dua kondisi yang sama-sama membahayakan,
dapat dianalisa dengan menggunakan beberapa kaidah fikih, antara lain: Pertama, “Bahaya itu
menurut agama harus dihilangkan (al-dlarar yuzaalusyar’an)”; Kedua, “Bahaya yang
lebih berat dapat dihilangkan dengan memilih bahaya yang lebih ringan (al-dharar
al-asyadd yuzaalu bi al-dharar al-akhaff)” atau “Jika dihadapkan pada dua
kondisi yang sama-sama membahayakan, maka pilihlah bahaya yang lebih kecil
risikonya (Idza ta’aaradlat al-mafsadataani ruu’iyaa’dhamuhuma dlararan)”;
Ketiga, “Keterpaksaan
dapat memperbolehkan untuk melakukan hal-hal yang dilarang (al-dlaruraatu
tubiihul mahdzuraat)”; [5]Keempat, perubahan hukum
Islam dapat dilakukan dengan adanya perubahan zaman, perubahan tempat,
perubahan kondisi, perubahan niat dan kultur atau adat (taghayyir al-ahkam
bitaghayyur al-azminah wal-amkinah wal-ahwal wan-niyaat wal-‘awaaid)”[6].
2. Mengutamakan
pencegahan
Ada argumentasi klasik di kalangan ulama
bahwa pencegahan atau men- dahulukan prevensi (syaddu al-dzari’ah) lebih
baik. Dalam hal hukum aborsi,
melarang aborsi
dianggap lebih aman, karena ada kehawatiran kalau aborsi di- bolehkan akan dijadikan sebagai peluang bagi pelaku
seks di luar nikah mencari
jalan keluar.
Bila aborsi dibolehkan sama dengan memberikan kesempatan untuk
melakukan
perzinahan atau seks bebas. Pertanyaannya adalah bagaimana fikih
menjawab
realitas yang sudah terjadi berupa tingginya angka aborsi tak aman yang
jelas-jelas mengancam kematian, apakah masih relevan menjawab dengan
argumentasi
preventif. Pandangan tersebut nampak sangat tekstual karena hanya
berorientasi
pada teks tanpa melihat realitas sosial bahwa ada satu kondisi yang
mengancam
kematian perempuan yang perlu dijembatani supaya aborsi tak aman
tidak terjadi.
Di sinilah letak kesenjangannya antara teks fikih dan kenyataan di
lapangan.Argumentasi
klasik tersebut terpatahkan dengan ditemukannya fakta bahwa dari jumlah
rata-rata 2 juta kasus aborsi pertahun, 76.6% dilakukan oleh perempuan
berstatus menikah.[7]
Penelitian terakhir oleh Yayasan Kesehatan Perempuan (2003),87% klien aborsi
berstatus menikah.[8]
B. Status Anak sebagai subjek dan objek hukum Islam
1.Anak-anak bukan
subjek hukum.
Para ulama ushul fiqh menyatakan
bahwa anak-anak
statusnya belum bisa menjadi subjek hukum. Bukan mahkum alaihi. Yang
dimaksud dengan mahkum alaih adalah
seorang perbuatannya dikenai khitab Allah
SWT, yang disebut dengan mukallaf. Secara
etimologi, mukallaf berarti yang dibebani hukum. Dalam ushul fiqih, istilah
mukallaf disebut juga dengan mahkum alaih
(subjek hukum). Orang mukallaf adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak
hukum, baik yang berhubungan dengan perintah allah maupun dengan larangan-nya.
Seluruh tindakan mukallaf harus dipertanggung jawabkan. Apabila mengerjakan
perintah allah swt, ia mendapat imbalan pahala dan kewajibannya terpenuhi,
sedangkan apabila ia mengerjakan larangan Allah
SWT., ia mendapat risiko dosa dan kewajibannya belum terpenuhi.
2.
Dasar
penetapan subjek hukum
Anak-anak belum dikenai taklif (pembenanan
hukum) sebelum ia cakap untuk bertindak hukum. Untuk itu, para ulama ushul
fiqih, mengemukakan bahwa dasar pembebanan hukum adalah akal dan pemahaman.
Maksudnya, seorang baru dapat dibebani hukum apabila ia berakal dan dapat
memahami secara baik taklif yang ditujukan kepadanya. Dengan demikian, orang
yang tidak atau belum berakal, seperti orang gila dan anak kecil tidak
dikenakan taklif. Karena tidak atau belum berakal, mereka dianggap tidak dapat
memahami taklif fari syara’. Termasuk ke dalam hal ini adalah orang yang dalam
keadaan tidur, mabuk, dan lupa. Orang sedang tidur, mabuk dan mabuk tidak
dikenai taklif karena berada dalam keadaan tidak sadar (hilang akal). Hal ini,
sejalan dengan sabda Rasulullah SAW. : “diangkatkan pembebanan hukum dari tiga
(jenis orang), orang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai ia baligh, dan
gila sampai sembuh.”[9]
Dalam
hadits lain dikatakan : “ummatku tidak dibebani hukum apabila mereka terlupa,
tersalah, dan dalam keadaan terpaksa.”
3.
Syarat-syarat
taklif
Ada dua syarat sahnya memberi beban
kepada mukallaf, yaitu berikut ini :
a. Mukallaf dapat memahami dalil taklif, yaitu mampu memahami nash yang dibebankan dari Al-Qur’an dan
As-Sunnah secara langsung atau melalui perantaraan. Orang yang tidak mampu
memahami dalil taklif tidak dapat tumpuan yang dibebankan kepadanya dan
tujuannya tidak dapat mengarah kesana. Kemampuan memahami dalil itu hanya dapat
nyata dengan akal sehingga dengan akal tersebut adanya nash-nash yang
dibebankan dapat diterima pemahamannya karena akal merupakan alat memahami dan
menjangkau. Dengan akal tertujulah keinginan untuk mengikuti. Ketika akal itu
adalah hal yang sembunyi yang tidak dapat dijangkau oleh indera lahir, maka
syar’i telah menghubungkan beban taklif dengan hal nyata yang dapat dijangkau
oleh indera, yang menjadi tempat dugaan akal, yaitu sifat kedewasaan. Dengan demikian
barang siapa telah sampai pada keadaan dewasa dan tak tampak padanya
sifat-sifat yang merusak kekuatan akalnya, ia telah sempurna untuk diberi
beban. Atas dasar ini orang gila dan anak-anak tidak dapat deberi beban karena
tidak adanya akal yang menjadi alat memahami yang dibebankan. Juga orang yang
lupa, tidur, dan mabuk tidak dapat diberi beban.
Rasulullah SAW bersabda : “ Diangkatlah
pena itu (tidak digunakan untuk mencatat amal perbuatan manusia) dari tiga
orang, pertama dari orang yang tidur sampai ia bangun, kedua dari kanak-kanak
sampai dia dewasa dan ketiga dari orang gila sampai dia berakal.” Beliaupun
bersabda : “ Barangsiapa tidur sampai ia tertinggal melakukan shalat atau
lupa mengerjakannya, hendaklah dia mengerjakan shalat itu ketika ingat,
sesungguhnya ketika ingat itulah waktu shalat.” Adapun
kewajiban zakat, nafkah, jaminan (dhamman) atas anak-anak dan orang gila, bukan
berarti memberi beban kepadanya. Akan tetaping memberikan beban kepada walinya
agar melaksanakan kewajiban harta yang menjadi milik anak-anak dan orang gila
itu, seperti membayar pajak tanah dan irigasi dari harta miliknya. Adapun
firman Allah SWT. :
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan
mabuk,[10]
sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.....” [11]
Adapun Awaridl Muktasabah
(halangan yang dibuat sendiri) :
1. Mabuk, ialah hilangnya akal karena khamar atau yang
menyerupainya hingga kacau omongannya dan mengigau.
Mabuk menurut jalannya terbagi atas
dua macam :
a. Pertama yang jalannya tidak diharamkan seperti mabuknya
orang yang terpaksa minum khamar dan mabuk yang timbul dari obat-obatan. Ini
hukumnya sama dengan pingsan, tidak sah tindakannya, thalaqnya dan pembebasan
budaknya.
b. Kedua yang jalannya diharamkan dan ini tidak membatalkan
taklif sehingga berlakulah hukum-hukum bagi pemabuk dan ucapan-ucapannya
seperti thalaq, pembebasan budak, jual beli, pengakuan, mengawinkan anak kecil,
kawin, menghutangi dan minta dihutangi.
Hal itu karena akalnya sempurna,
hanya saja ia kehilangan pemahaman khitob oleh maksiat, maka tetaplah taklifnya
dalam hak dosa dan kewajiban mengqodlo bagi ibadah yang diqodlo secara syara’.
Muhamad ’Atthiyyah
Al-Abrasyi, mengemukakan bahwa ada 3 hal yang harus diperhatikan dalam
memberikan hukuman fisik (jasmaniah) terhadap anak, yaitu :
- Sebelum berumur 10 tahun, anak-anak tidak boleh
dipukul.
- Pukulan tidak lebih dari 3 kali. Yang dimaksud
dengan pukulan disini ialah dengan menggunakan lidi atau tongkat kecil
bukan dengan tongkat besar.
- Diberikan kesempatan besar kepada anak-anak untuk
tobat dari apa yang ia lakukan dan memperbaiki kesalahannya tanpa perlu
menggunakan pukulan atau merusak nama baiknya (menjadikan ia malu).[12]
Penulis mencoba sedikit membandingkan dan
mengaitkan dengan Teori
Hukuman yang sudah dinenal dunia Barat. Berdasarkan sudut pandang hukuman yang mendidik, maka timbullah beberapa teori tentang hukuman, di
antaranya ialah:
a. Teori Hukum Alam.
1. Teori hukum alam,
Umar
Muhammad Al-Taumy Al-syaibany bahwa “ alam natural bukan saja mencakup segala
mahluk yang akan tetapi juga merangkum sistem, peraturan atau undang-undang
alam yang semua bagian alam tunduk kepada dasar-dasarnya dan sesuatu itu
terjadi atau berlaku mengikuti ketentuan persyaratan disekelilingnya, sependapat
dengan penganjur Pendidikan Alam, yaitu
J.J. Rousseau. Rousseau tidak menghendaki hukuman yang dibuat-buat. Biarkan
alam sendiri yang menghukumnya. Yang dimaksud di sini ialah, bahwa hukuman itu
hendaknya merupakan akibat yang sewajarnya dari suatu perbuatan, hukuman harus
merupakan sesuatu yang natuur menurut hukum-hukum alam, sesuatu akibat logis
yang tidak dibuat-buat. Misalnya, anak yang senang memanjat pohon, adalah wajar
dan logis apabila suatu ketika ia jatuh. Jatuh ini adalah merupakan suatu
hukuman menurut alam sebagai akibat dari perbuatanya dari senang memanjat pohon
. [13]
2.
J.J. Rousseau dengan aliran
negativisme dalam pendidikan, berpendapat bahwa hukuman fisik bagi anak manusia tak
berguna. Semua pembawaan anak adalah baik. Ia membiarkan anak berkembang
sendiri dan menyerahkannya kepada alam. Kalau anak berbuat salah, biarlah alam
yang menghukumnya, anak akan menderita sebagai akibatnya. Hukuman semacam ini
dinamai hukum alam.
Contoh dari
hukuman alam adalah, anak bermain dengan air panas dan berakibat tersiram kakinya. Anak dibiarkan merasakan kakinya sakit,
hukuman lain tidak ada . Dari hukuman alam tersebut, anak akan menerima
pendidikan dan berusaha tidak menjalankan permainan yang berbahaya itu lagi,
atau ia meneruskannya akan tetapi ia berusaha mengelak.
b. Teori ganti rugi
1. Dalam hal ini, anak diminta untuk bertanggung jawab atau
menanggung risiko dari perbuatannya, misalnya anak yang mengotorkan atau
merobekkan buku milik kawannya, maka harus menggantinya. Anak yang
berkejar-kejaran di kelas, kemudian memecahkan jendela, maka ia harus mengganti
kaca jendela itu dengan kaca yang baru.
2. Teori ganti rugi,[14]
di mana anak harus mengganti kerugian akibat perbuatannya yang salah, misalnya
anak memecahkan kaca jendela tetangga, maka ia harus mengganti dengan uang
tabungannya.
1. Hukuman yang diberikan untuk menakut-nakuti anak agar anak
tidak melakukan pelanggaran atau perbuatan yang dilarang, dalam hal ini nilai
didik itu telah ada, hanya saja perlu diperhatikan bahwa hal ini harus dijaga
jangan sampai anak itu tidak berbuat kesalahan lagi hanya karena rasa takut
saja, melainkan tidak berbuat kesalahan lagi karena adanya kesadaran, sebab apabila
tidak berbuat kesalahan itu karena hanya takut, takut kepada bapak atau ibu
guru. Maka jika tidak ada bapak atau ibu guru, kemungkinan besar ia akan
mengulang kembali perbuatannya. Ia akan mengulangi perbuatannya secara
sembunyi-sembunyi. Jika terjadi demikian, maka dapat dikatakan bahwa nilai
didik dari hukuman tersebut sangat minim sekali.[16]
Teori menakutkan ialah memberi hukuman supaya menimbulkan
rasa takut pada anak;
3. teori ini bertujuan menimbulkan rasa takut kepada orang
lain. Biasanya hukuman dilaksanakan di muka umum. Pelanggaran kedua kalinya
dihukum lebih berat, sebab perulangan pelanggaran berarti jeranya pelanggar.
Begitulah hukuman makin lama makin berat, agar orang lain menjadi lebih takut.
Fungsi hukuman dengan teori hukuman menakuti ini terhadap orang lain juga
preventif.
d. Teori balas dendam
Macam-macam
hukuman yang paling jelek, yang paling jahat dan paling tidak dipertanggung
jawabkan dalam dunia pendidikan ialah hukuman yang didasarkan kepada rasa
sentimen. Sentimen ini dapat ditimbulkan oleh kekecewaan-kekecewaan
(frustasi) yang dialami oleh guru, baik mengenai hubungannya dengan orang-orang
lain, maupun hubungannya dengan para siswa secara langsung. Misalnya, karena
seorang guru merasa dikecewakan dalam hal cinta oleh seorang gadis atau pemuda,
maka ia melempiaskan kekecewaannya itu kepada para siswanya. Bagi guru muda,
tidak terkecuali pria atau wanita, mungkin merasa bahwa seorang siswa telah
dianggap sebagai saingan atau penghalang dari maksud-maksudnya, maka ia berusaha
mencari kesempatan untuk setiap saat akan menghukum-nya atau menjatuhkannya.
e. Teori memperbaiki
1.
Satu-satunya hukuman yang dapat
diterima oleh dunia pendidikan ialah hukuman yang bersifat memperbaiki, hukuman
yang bisa menyadarkan anak kepada keinsafan atas kesalahan yang telah
diperbuatnya. Dan dengan adanya keinsafan ini, anak akan berjanji di dalam
hatinya sendiri tidak akan mengulangi kesalahannya kembali. Hukuman yang
demikian inilah yang dikehendaki oleh dunia pendidikan. Hukuman yang bersifat
memperbaiki ini disebut juga hukuman yang bernilai didik atau hukuman
pedagogis.[17]
2. Teori inilah yang harus kita gunakan sebagai pendidik,
maksudnya untuk memperbaiki perbuatan anak yang buruk/salah.[18]
3. Teori ini bertujuan untuk memperbaiki. Adapun yang perlu
diperbaiki ialah hubungan antara pemegang kekuaaan dan pelanggar dan sikap
serta perbuatan pelanggar. Hubungan antara penguasa dengan umum yang tadinya
telah menjadi rusak dengan terjadinya pelanggaran oleh orang yang bersikap dan
berbuat salah itu perlu dibetulkan lagi. Rusaknya hubungan itu mengakibatkan
hilangnya kepercayaan penguasa terhadap pelanggar. Fungsi hukuman dengan teori
membetulkan ini korektif dan edukatif.
Di
dalam dunia pendidikan,[19]
pendidik tidak menganut teori hukuman lain
dari pada teori hukuman pembetulan. Hal ini sesuai dengan
tugas pendidik, yaitu membimbing anak didik agar berbuat dan bersikap luhur.
Tidak pada tempatnya pendidik menakut-nakuti dan membalas dendam anak didiknya.
Anak didik yang takut pada pendidiknya menutup diri baginya dan tidak bersedia
menerima petunjuk. Pendidik yang membalas dendam anak didiknya menganggap anak
didiknya sebagai musuh, bukan sebagai anak asuhannya.[20]
f. Teori melindungi
Teori
melindungi, anak dihukum untuk melindungi lingkungan,[21] atau masyarakat terhadap perbuatan-perbuatan salah yang
merusak/ merugikan lingkungan tersebut.[22]
g. Teori menjerakan
Teori
ini bertujuan agar pelanggar sesudah menjalankan hukumannya akan jera dan tidak
akan menjalankan pelanggaran lagi. Fungsi hukuman tersebut adalah preventif,
yaitu mencegah terulangnya pelanggaran sesudah pelanggar dikenai hukuman. Sebagian
pakar menerima hukuman sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan,
tapi tidak secara mutlak. Hukuman adalah instrumen sekunder dan diberikan dalam
kondisi serta syarat tertentu. Jadi, menurut mereka, kalau guru atau orangtua
masih bisa menangani anak didiknya dengan nasihat-nasihat atau dengan
penjelasan rasional, maka tidak perlu lagi memberikan hukuman. Hukuman itu
boleh diberikan setelah nasihat-nasihat verbal atau apa saja tidak lagi dapat
mengusik kesadarannya.
C. Hak dan kewajiban anak dalam Islam
1.Pengertian hak
Kata hak berasal dari bahasa Arab 'haqq' yang
memiliki beberapa makna. Di antaranya, hak bermakna 'ketetapan' atau
'kewajiban'. [23]Hal ini bisa
dipahami dari firman Allah.[24]
2.Hak anak.
Di dalam hadits dinyatakan:
Seorang anak diakikahkan pada
hari ketujuh dan diberi nama, dibersihkan dari penyakit, maka apabila dia sudah
berumur enam tahun hendaklah dididik, apabila sudah berumur sembilan tahun
hendaklah dipisahkan tempat tidurnya, apabila sudah berumur tiga belas tahun, hendaklah dipukul
apabila meninggalkan shalat dan puasa, dan apabila sudah berumur 16 tahun
hendaklah dinikahkan, kemudian dia memegang tangannya seraya mengatakan: aku
telah mendidik dan mengajarmu dan juga menikahkanmu, aku berlindung dari fitnah
yang kau bawa di dunia dan siksaanmu di akhirat.[25]
Di dalam hadits yang lain dinyatakan:
Segala sesuatu selain
dari zikir
adalah sia-sia, atau
melalaikan, kecuali empat hal: 1. Perjalan seorang dengan dua tujuan
.2. Memanah),3.
Mendidik kuda
tunggangan, bersenda-gurau dengan keluarganya, dan 4.Mengajarinya
anak berenang.[26]
Kesalahan
besar orang tua, jika berpendirian bahwa anak
tidak boleh mengungkapkan pendapat! Penerapannya bisa saja keliru bahwa haram hukumnya anak tidak
melaksanakan perintah orang tua selama tidak menyalahi aturan agama. Apakah
jika seorang anak yang harus menururti keinginan orang tua jika tidak boleh
memilih jurusan sekolah sesuai kemampuan anak dan hanya menuruti ego orang tua
agar bersekolah sesuai keinginan orang tua? Lalu bagaimana dengan orang tua
yang selalu mengumpat anaknya,[27]
dan selalu marah? Bagaimana orang tua yang sibuk bekerja lalu saat pulang ke
rumah menumpahkan kekesalan sementara anak tidak boleh melawan, tidak boleh
sakit hati? Bagaimana pula dengan orang tua yang mengutuki anak?
D.Sanksi Hukum
Terhadap Pelanggaran Hak
Anak-Anak Menurut Hukum Islam
Orang tua atau guru atau orang
dewasa lainnya yang yang melanggar hak anak-anak, berupa memukul atau
menzalimi, sebahagian ulama menyatakan, boleh diberlakukan hukum qishash. Ada
ungkapan yang menyatakan bahwa, Jika yang berhak menuntut balas
itu belum dewasa, ataukah gila, atau tidak ada ditempat. Dalam hal dewasa
ditunda sampai anak yang belum dewasa dan dalam hal tak adadi tempat ditunggu
sampai ada di tempat. Namun dalam hal ini ulama berbeda pendapat.Menurut
sebagian ulama Hanafiyah, pelaksanaan
hukuman Qisash menunggu
sampai ia dewasa
atau sembuh dari gilanya. Sebahagian yang berpendapat hukuman qishas dilaksanakan
oleh
qadhi (hakim) yang mewakili Mustahik tersebut.
Menurut Malikiyah pelaksanaan
hukuman qisash tidak
perlu menunggu anak tersebut dewasa atau sembuh dari gila. Alasannya adalah karena Qisash itu
tujuannya untuk mengobati rasa duka, dan untukmenghilangkannya
tidak bisa dilimpahkan kepada orang lain, baik itu hakim atau wali. [28]
Apabila dibandingkan dengan
hukuman terhadap orang dewasa yang melakukan pelanggaran hukum
pada Pasal
77 UU Nomor 23 Tahun 2002, dinyatakan bahwa: Setiap orang
yang dengan sengaja melakukan tindakan: 1.diskriminasi terhadap anak yang
mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik materiil maupun moril sehingga
menghambat fungsi sosialnya; atau 2. penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan
anak mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).[29]
Sedangkan di dalam hukum Islam, seperti
yang dinyatakan, Jurnal al Mawaddah Edisi 4 tahun ke-3, November
2009 “Ketahuilah, anakmu bukanlah tawanan perang,
bukan seorang budak,[30]
bukan seorang tahanan yang jahat, bukan musuh yang lihai, berbuat makar dan
bukan pula seorang penjahat yang seantiasa mencari kesempatan untuk
membahayakanmu.[31] Namun ia
adalah bagian dari tubuhnmu yang keluar dari sulbimu, seorang anak kecil yang
lemah dan akalnya belum sempurna, kesalahanya bukan dengan kesengajaan. Ia
membutuhkan rasa santun, lembut, kasih sayang dan maaf darimu. Tentang hal ini, terdapat kesamaan antara UU RI Nomor 23
Tahun dan Hukum Islam.
Tabel
5
Kesamaan UU
RI Nomor 23 Dan Hukum Islam
Tentang Hukuman Fisik
No
|
UU Nomor 23 Tahun 2002
|
Hukum Islam
|
1
|
Penegakkan
asas perlindungan anak
|
Penegakkan
asas perlindungan anak
|
2
|
Dapat
diubah sesuai dengan tuntutan zaman
|
Dapat
diubah sesuai dengan tuntututan zaman.
|
3
|
Diawasi
oleh negara dan masyarakat
|
Diawasi
oleh negara dan masyarakat
|
4
|
Anak-anak
ialah orang yang berumur di bawah 18 tahun
|
Anak-anak
ialah orang yang berumur di bawah 15
tahun
|
5
|
Bukan
kelach delik
|
Bukan
kelach delik
|
6
|
Mengandung
prinsip keseimbangan hubungan orang tua dan anak
|
Mengandung
prinsip keseimbangan hubungan orang tua dan anak
|
Keterangan
tabel 4
Pada baris pertama, diterangkan
tentang penegakan asas perlindungan anak-anak dari ketidaknyamanan akibat
perbuatan orang tua, guru, orang dewasa, bahwa di antara sesama temannya
sendiri. Kemudian pada baris kedua,
dinyatakan bahwa UU I Nomor.23 tahun
2002 dan hukum Islam sama-sama
dapat diubah, sesuai dengan tuntutan zaman.[32] Selanjutnya,
dikatakan: Lihatlah diri anda. Anda adalah orang dewasa yang berakal dan
pemimpin yang diamanati Allah untuk memelihara seorang anak yang tidak memiliki
apa-apa. Tidakkah anda merasa malu apabila sering memarahi da memukul anak anda
padahal dirimu yang sempurna dan berakal sempurna masih sering berbuat
kesalahan, baik di hadapan orang tua, mertua atau guru?” demikianlah penuturan
Abdur Rohman al Buthoni dalam pembahasan tentang : Bilakah anak harus dipukul?
Terkadang guru dan orang tua, dihadapkan pada kondisi di mana
anak-anak melakukan kenakalan yang membuat marah, kecewa dan jengkel.
Perasaan-perasaan itu kemudian mendorong untuk melakukan pemukulan kepada
mereka, mulai dari pukulan yang ringan sampai pukulan yang keras. Memang
Rasulullah SAW. pun membolehkan orang tua memukul anaknya sebagaimana hadits
(artinya): Perintahkan anak-anakmu
untuk melakukan sholat ketika berusia 7 tahun dan pukullah mereka jika
meninggalkannya ketika berusia 10 tahun.[33] Bagaimana Islam menuntun para orang tua untuk
mengamalkan hadits di atas? Ayah dan Ibu
serta guru-guru. Selanjutnya tentang masalah ini Abdur Rohman al Buthoni menurunkan sebuah
analisis:
a. Ketentuan dan aturan dalam memukul anak-anak
1.
Hendaknya
meyakini bahwa memukul adalah peritah Allah dan Rasul-Nya. Dengan demikian
perasaan, emosi dan rasa kesal yang berlebihan yang biasanya mendomiasi sikap
orang tua akan hilang ketika menerapkan metode ini.[34]
- Maksud dari memukul adalah tarbiyah/pendidikan
untuk memperbaiki anak, bukan melampiaskan amarah, menakut-nakuti,
mengancam atau yag semisalnya. Pukulan harus dilakukan dengan rasa cinta
kasih dan sayang disertai doa yang baik untuknya.
- Usia anak sudah 10 tahun dan sebab memukulnya
adalah karena dia meninggalkan sholat. Adapun penyebab selainnya, maka
dilakukan orang tua bila melihat ada maslahatnya (sisi positifnya),
misalnya anak tidak berhenti dari penyelewengan kecuali dengan dipukul.
- Tidak menyiksa dan tidak menyakitkan, serta
jangan memukul wajah.
- Hindari riya’ dan sum’ah (pamer) karena sebagian
orang tua berkeliling dengan tongkat mencari anaknya dalam keadaan marah
dan memukulnya sepanjang jalan untuk memperlihatkan kepada manusia bahwa
ia amat sungguh-sungguh, tegas dan sangat peduli dalam mentarbiyah dan
menghukum anak. Ini salah dan merupakan amal yang sia-sia.
- Berhubung pemukulan ini maksudnya adalah sebagai
obat,[35]
maka harus disesuaikan kadarnya dan tidak boleh melampaui batas. Artinya,
memukul sekali dan tidak boleh berkali-kali sehingga akan menyiksa.
Pemukulan dengan pelan sehingga tidak menyakitkan, dengan tangan biasa
tanpa alat dan bukan dengan kaki, bukan pula meninju atau bukan
menempeleng kepala.
b.Maqashid al-Syari’ah memukul anak yang tidak shalat.
Setiap yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya
pasti memiliki maqashid,[36] atau hikmah dan tujuan. Dalam hal
perintah dan larangan Allah, secara umum manusia terbagi menjadi dua golongan,
yaitu (1) orang yang cukup menerima nasihat dengan dalil kitab dan sunnah dan
(2) orang yang membangkang. Golongan yang kedua inilah yang perlu diterapkan
hukuman padanya. Firman Allah ta’ala (artinya):…Dan kami menurunkan besi
yang memiliki kekuatan yang sangat keras dan bermanfaat bagi manusia…[37]
Maqshid itu di antaranya bermakna
manfaat, misalnya manfaat besi adalah untuk memerangi orang-orang kafir dan
untuk menegakkan qishash. Ini adalah
manfaat yang sangat nampak, sebab manusia akan takut pada pedang sehingga
mereka pasrah pada agama Allah. Maka maqashid atau manfaat memukul anak karena
meninggalkan sholat, bertujuan untuk antara lain:
- Memberi pelajaran kepada anak bahwa hak Allah
adalah sangat lebih besar, sehingga segala sesuatu akan menjadi hina di
hadapan-Nya. Tubuh yag seharusnya dipelihara dan tidak boleh (haram)
disakiti menjadi halal dan harus merasakan sakit lantaran meremehkan hak
Penciptanya.
- Menampakkan kepada anak bahwa orang tua memiliki
kekuasaan dalam melazimkan hukum-hukum Allah kepada mereka, sehingga tidak
ada pilihan baginya kecuali pasrah dan menyerah kepada Rabbnya.
- Memberi pelajaran kepada anak bahwa manusia
setinggi apapun kedudukannya, status sosialnya dan nasab keturunannya,
tidak memiliki kebebasan mutlak dalam mengikuti kehendaknya yang
bertentangan dengan kehendak Allah.
c. Memukul anak yang sesuai dengan
maqashid al-syari’ah.
Ada perbedaan antara memukul
biasa, dengan memukul yang diatur
oleh syari’at.[38]
Memukul menurut kebiasaan sebagian orang tua atau pendidik yang gampang emosi
dan suka memukul. Suka memukul adalah akhlaq tercela. Perhatikan nasehat
Rasulullah SAW., kepada Fatimah binti Qois tatkala mengabarkan kepada beliau
bahwa dirinya dilamar oleh dua orang sahabat, salah satunya adalah Abu Jahm.
Maka Rasulullah bersabda,”Adapun Abu Jahm, maka ia suka memukul wanita (maksudnya
akhlaqnya tidak baik).” Dan ketahuilah bahwa maksud dari memukul adalah agar
anak takut, sehingga tunduk kepada perintah Allah bukan agar si anak takut
kepada bapaknya semata, sehingga makin berwibawa. Maksud memukul adalah agar
anak mengamalkan perintah Allah dengan ikhlas karena-Nya. Sesungguhnya tidak
ada manfaatnya bila seorang anak nampak taat kepada Allah di hadapan orang
tuanya sementara di balik itu ia tidak bertaqwa kepada-Nya.
d.Jangan melampaui batas
Orang-orang yang memukul anak-anak hendaknya takut kepada
Allah. Jangan sampai termasuk golongan
orang-orang yang tidak masuk surga atau bahkan tidak mencium baunya. Di
antaranya sekelompok manusia yang
memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia.[39]
Ada ulama fiqih yang menyatakan bahwa yang dimaksud ”orang yang boleh memukul,”
bisa saja guru, para polisi, satpam, mandor-mandor pada jaman sekarang ini.[40]
Mereka berkeliling dengan tongkat lalu memukul dan menendang siapa saja, hanya
karena mengatur dan megamankan. Lalu bagaimana caranya agar guru, polisi,
satpam dan para mandor mengamankan dan mengatur tanpa berbuat aniaya? Jawabnya,
dengan anjuran taqwa kepada Allah, nasihat dan pengarahan dengan lisan, dengan
cara yang baik atau dengan tangan tanpa menyakiti karena kezhaliman adalah kegelapan di akhirat!
Aturan yang paling populer selama ini
ialah anak-anak harus berhati-hati dengan ‘kekeramatan’ orang tua. Tapi patut diingat, secara religi ada lima,[41] kejahatan orangtua yang wajib dihindarkan. Pertama,
apabila suka memaki. Kedua menghina anak sendiri. Ketiga
melebihkan anak dari yang lain. Keempat mendoakan keburukan anak.
Kelima tidak memberi pendidikan anak. Merupakan kemuliaan bangsa, jika
orang tua dan guru, mampu menjadikan generasi muda, cerdas lahir batin, bermoral mulia dan berbhakti kepada orangtua,
sesama, bangsa dan semesta.
Hukuman itu untuk menyadarkan bukan untuk melakukan pembalasan. Hukuman itu agar anak-anak menyadari kekeliruan mereka dan agar tidak mengulangi perbuatan jeleknya, bukan untuk melakukan balas dendam. Hukuman dalam pendidikan jangan dikelirukan dengan balas dendam. Jean Soto menulis, "Semua penderitaan manusia, ketidakadilan, dan sebagainya berakar dari hukuman-hukuman dan kekerasan-kekerasan yang diterima oleh anak-anak dari orangtua mereka. Karena itu hukuman-hukuman itu harus dihapus sama sekali agar penderitaan umat manusia ini bisa sirna."
Hukuman itu untuk menyadarkan bukan untuk melakukan pembalasan. Hukuman itu agar anak-anak menyadari kekeliruan mereka dan agar tidak mengulangi perbuatan jeleknya, bukan untuk melakukan balas dendam. Hukuman dalam pendidikan jangan dikelirukan dengan balas dendam. Jean Soto menulis, "Semua penderitaan manusia, ketidakadilan, dan sebagainya berakar dari hukuman-hukuman dan kekerasan-kekerasan yang diterima oleh anak-anak dari orangtua mereka. Karena itu hukuman-hukuman itu harus dihapus sama sekali agar penderitaan umat manusia ini bisa sirna."
Tetapi argumentasi beliau ini bisa dijawab dengan; pertama-tama , itu hanyalah klaim dan belum tentu bisa dibuktikan secara ilmiah. Yang kedua , seandainya kita terima pernyataan seperti itu bahwa penderitaan manusia itu berakar dari hukuman-hukuman keras yang diterima dari orangtuanya, maka akarnya adalah terlalu kerasnya hukuman tersebut dan bukan hukuman biasa. Hukuman ekstrim itulah yang menjadi sumber penderitaan umat manusia. [42]
Russel menambahkan, "Hukuman fisik yang ringan memang tidak begitu berbahaya, tapi tetap saja tidak ada gunanya dalam pendidikan. Hukuman seperti itu baru efektif kalau bisa menyadarkan si anak. Sementara hukuman fisik seperti itu biasanya tidak bisa membuat jera. Hukuman fisik itu membuat si anak merasa terpaksa memperbaiki diri dan bukan atas niatnya sendiri." Jawabannya bahwa anak-anak akan menyadari kekeliruannya melalui hukuman itu, dan kemudian dia akan lebih mengerti bahwa perbuatannya tidak disenangi orang lain dan karena ia ingin diterima oleh orang lain, ia akan berusaha menyesuaikan keinginannya dengan keinginan orang lain, supaya bisa mendapatkan bantuan atau memperoleh apa yang diinginkannya dari orang lain. Dengan demikian, hukuman fisik yang ringan pun masih ada gunanya jika diberikan dengan kadar dan waktu yang tepat.[43]
Argumen lain yang disodorkan oleh kelompok penentang adalah bahwa pendidikan yang dijalankan dengan menanamkan rasa takut kepada si anak, akan membuat si anak seperti robot yang harus mengikuti suatu perintah. Proses pendidikan seperti itu sangat membahayakan perkembangan jiwa si anak, karena akan melahirkan anak-anak yang bermental budak yang harus tunduk terhadap segala perintah. Hal ini masih bisa dibantah dengan kenyataan bahwa memang anak-anak tidak boleh dididik dengan sistem perbudakan, tapi tidak semua hukuman itu akan melahirkan kondisi demikian. Kalau hukuman itu dijalankan dengan benar dan dengan memperhatikan seluruh syarat-syaratnya maka tidak akan lahir anak-anak seperti. itu. Seorang anak yang terus-menerus melakukan perbuatan yang buruk padahal sudah sering kali diperingatkan agar tidak melakukan perbuatan tersebut mau tidak mau harus dihentikan dengan hukuman, sebab kalau kebiasaan buruknya tidak segera dihentikan, maka sang anak malah akan semakin berani. Tentunya hukuman itu harus ringan dan mengena kepada sasaran.
Alasan lain menurut kelompok tersebut bahwa hukuman fisik itu sama sekali tidak mendidik, sebab hukuman itu tidak menghilangkan motivasi buruknya. Memang ia akan mengurungkan niatnya karena perasaan takut, tapi di dalam batinnya keinginan itu tetap ada. Ketika rasa takut itu hilang si anak akan kembali mengulangi perbuatan buruknya. Pukulan itu mungkin dihadapi oleh si anak dengan pura-pura berjanji akan menghentikan kebiasaan buruknya. Karena itu patut diingat statemen mereka bahwa hukuman juga akan melahirkan anak-anak yang asosial, penakut serta pasif.
Pernyataan bahwa hukuman itu tidak menghentikan apa yang bergetar di dalam batin. Untuk menghentikan kenakalan-kenakalannya, hal ini harus dipelajari apa sebetulnya yang menjadi latar belakang kenakalan-kenakalannya dan dicari solusinya sehingga anak-anak itu tidak mengulangi perbuatan buruknya.[44] Tetapi jika si anak tetap saja mengulangi perilaku jeleknya, maka tidak ada cara lain selain memberinya hukuman. Rasa takut akan hukuman itu dapat menghentikan keinginan atau minimal mengurangi minatnya untuk berbuat buruk. Kalau hukuman itu diberikan secara proporsional, tidak akan melahirkan hal-hal yang tidak diharapkan. Memang benar seorang anak harus tumbuh dalam keceriaan dan kebebasan tapi pada saat yang sama anak-anak juga harus diajari bahwa di dunia ini tidak semua orang bisa hidup dengan kebebasan mutlak, apalagi kalau kebebasan itu dapat merugikan orang lain.
Hukuman adalah Instrumen
Sekunder .Sebagian pakar menerima hukuman sebagai bagian yang tak terpisahkan
dari pendidikan, tapi tidak secara mutlak. Hukuman adalah instrumen sekunder
dan diberikan dalam kondisi serta syarat tertentu. Jadi, menurut mereka, kalau
guru atau orangtua masih bisa menangani anak didiknya dengan nasihat-nasihat
atau dengan penjelasan rasional, maka tidak perlu lagi memberikan hukuman.
Hukuman itu boleh diberikan setelah nasihat-nasihat verbal atau apa saja tidak
lagi dapat mengusik kesadarannya. [45]
Dalam kaitan ini, Russel menulis, "Saya sendiri secara pribadi ingin mengatakan bahwa hukuman dalam proses pendidikan sangat tidak berarti, bahkan mungkin hanya masuk sebagai alternatif kedua." John Locke menulis, "Benar bahwa hukuman fisik kadang-kadang diperlukan. Tetapi harus disadari bahwa tujuan sebuah pendidikan adalah mendidik moral. Yang harus kita lakukan adalah membuat si anak tersebut merasa malu berbuat nakal dan bukan malah takut akan hukuman. Hukuman yang terlalu keras melatih anak-anak menjadi patuh secara lahiriahnya saja."[46]
A.L Gary Gore menulis, "Ada kalanya orang dewasa harus memberikan hukuman kepada anak-anak. Misalnya jika anak-anak usia sekolah atau sudah agak dewasa mengganggu ayah dan ibu atau adik mereka yang sedang tidur. Sebelumnya mereka sudah diperingatkan tapi tetap saja meneruskan kenakalannya, maka anak-anak itu harus diberi hukuman.." Sebaliknya orangtua selayaknya menggunakan hukuman ini dengan cara dan strategi yang tepat. Kalau hukuman itu dilaksanakan ketika orangtua dalam puncak kemarahan dan tanpa pertimbangan terhadap kondisi dan psikologi anak-anak, maka bisa-bisa hukuman itu akan merusakkan hubungan orangtua dan anak. Si anak akan kehilangan kepercayaan dan juga akan mendendam. Hukuman asal-asalan terhadap anak karena tidak mematuhi keinginan orangtua malah akan melukai hatinya. Sehingga timbul dalam diri si anak keinginan untuk membalas rasa sakit hatinya itu. Sebelum menjatuhkan hukuman terhadap anak-anak sebaiknya pertimbangkanlah secara baik-baik dan pelajari manfaat dan mudaratnya secara seksama. Hukuman apa dan dalam kondisi bagaimana hukuman itu patut diberikan dan tidak patut diberikan terhadap anak-anak.
Pakar pendidikan ini ingin mengatakan bahwa hukuman memang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam membina anak-anak, malahan dalam situasi tertentu mutlak diperlukan sekali. Tetapi pada saat yang sama ia sama sekali tidak setuju secara mutlak dengan hukuman fisik. Ia tidak keberatan dengan hukuman-hukuman non-fisik tapi bukan hukuman non-fisik yang berat.
Ia menambahkan, "Perlu diingat bahwa jangan sekali-kali memberikan hukuman yang akan merendahkan harga diri anak, seperti hukuman badan, ancaman dengan siksaan atau apa saja demi menghancurkan keinginan buruknya. Hindarilah hukuman-hukuman seperti memukul, atau menyekap anak di ruangan yang gelap dan sempit." [47]
Secara yuridis, Undang-undang tentang perlindungan guru telah termuat dalam UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen. Hal ini terlihat jelas pada Bab VII pasal 39 yang menyebutkan bahwa pemerintah, masyarakat, organisasi profesi, dan atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas. Hal ini terlihat bahwa eksistensi UU No.14/2005 telah memuat perlindungan,[48] terhadap guru atas profesinya. Namun implementasi terhadap undang-undang tersebut masih belum terlaksana.
Islam menerima hukuman sebagai bagian dari sistem pendidikan. Ada beberapa kategori hukuman dalam Islam: Hukuman non-fisik seperti ancaman, peringatan atas
orang-orang yang berdosa dengan siksaan di hari akhirat, denda, dan diat.
Ayat-ayat al-Quran mengilustrasikan dalam berbagai kesempatan tentang kabar
gembira untuk orang-orang yang beriman dan ancaman akhirat untuk orang-orang
yang berdosa. Bahkan nabi sendiri diperkenalkan sebagai pembawa kabar gembira
dan pembawa peringatan. Hukuman jenis
kedua yaitu hukuman fisik yang bersyarat,[49]
seperti hukuman penjara, pengasingan, kisas, pukulan, hukuman potong yang
aturannya telah ditetapkan oleh syariat.
Dalam pembunuhan yang disengaja si wali yang dibunuh bisa meminta hukuman kisas terhadap hakim. Dalam pembunuhan yang tidak disengaja si pembunuh wajib menyerahkan denda (diat) kepada wali yang dibunuh. Perempuan dan laki-laki yang berzina akan mendapatkan hukuman cambuk sebanyak seratus kali deraan. Perilaku homo seksualitas (liwâth) yang disengaja dalam kondisi tertentu akan mendapatkan hukuman mati. Peminum khamar dalam kondisi tertentu akan mendapatkan hukuman cambuk seratus kali, mencuri dalam kondisi tertentu akan mendapatkan hukuman potong tangan. Siapa saja yang dengan sengaja mengakibatkan anggota badan orang lain terpotong akan dikisas oleh hakim syar'i, yaitu dipotong anggota badan yang sama, tapi kalau secara tidak sengaja maka ia harus membayar denda dalam jumlah tertentu. Untuk mengetahui lebih lengkap tentang aturan-aturan hukuman Islam, Anda bisa merujuk kitab-kitab fikih. Hukuman jenis ketiga yaitu ta'zîr. Ta'zîr adalah hukuman fisik yang ketentuannya diatur oleh seorang hakim tetapi tentunya lebih ringan dari had. Dalam kasus pelanggaran yang hukumannya tidak ditentukan oleh syariat, sang hakim tidak bisa memberikan hukuman yang sesuai dengan pelanggaran itu hanya demi kemaslahatan umum, tapi ia bisa memberikan hukuman yang kurang dari had. Contohnya kalau seorang laki-laki mencium anak atau perempuan yang bukan istrinya dengan penuh nafsu, sang hakim syar'i dapat menjatuhkan hukuman ta'zîr . Demikian juga terhadap seorang laki-laki dan perempuan (bukan muhrim) yang tidur terlentang di atas ranjang. Secara umum siapa saja yang melakukan dosa besar maka ia bisa dijatuhi hukuman ta'zîr dari sang hakim. Seperti yang Anda simak, bahwa Islam memberi tempat bagi hukuman fisik,[50] dan non-fisik dan itu bagian dari pendidikan yang penting dan demi memelihara keadilan dan ketenteraman masyarakat. Islam melegalkan hukuman-hukuman itu bukan sebagai bentuk balas dendam kepada orang-orang yang berdosa, namun untuk menjaga stabilitas sosial dan hak-hak manusia.
Hukuman dalam jarimah ta’zir tidak ditentukan ukurannnya atau kadarnya,
artinya untuk menentukan batas terendah dan tertinggi diserahkan sepenuhnya
kepada hakim (penguasa). Dengan demikian, syari’ah mendelegasikan kepada hakim
untuk menentukan bentuk-bentuk dan hukuman kepada pelaku jarimah.[51]
Abd al-
Qodir Awdah membagi jarimah ta’zir menjadi tiga, yaitu :
1)
Jarimah hudud dan
qishash diyat yang mengandung unsur
shubhat atau tidak memenuhi syarat, namun hal itu sudah dianggap sebagai
perbuatan maksiat, seperti pencurian harta (syirkah), pembunuhan ayah terhadap anaknya, dan percurian yang
bukan harta benda.
2)
Jarimah ta’zir yang jenis jarimahnya ditentukan oleh nas,
tetapi sanksinya oleh syari’ah diserahkan kepada penguasa, seperti sumpah
palsu, saksi palsu, mengurangi timbangan, menipu, mengingkari janji,
menghianati amanah, dan menghina agama.
3)
Jarimah ta’zir dimana jenis jarimah dan sanksinya secara
penuh menjadi wewenang penguasa demi terealisasinya kemaslahatan umat. Dalam
hal ini unsur akhlak menjadi perimbangan yang paling utama. Misalnya
pelanggaran terhadap peraturan lingkungan hidup, lalu lintas, dan pelanggaran
terhadap pemerintah lainnya.
Dalam menetapkan jarimah ta’zir,
prinsip utama yang menjadi acuan penguasa adalah menjaga kepentingan umum dan
melindungi setiap anggota masyarakat dari kemudharatan (bahaya). Di samping itu,
penegakkan jarimah ta’zir harus sesuai dengan prinsip syar’i.[52]Hukuman-hukuman
ta’zir banyak jumlahnya, yang dimulai
dari hukuman paling ringan sampai hukuman yang terberat. Hakim diberi wewenang
untuk memilih diantara hukuman-hukuman tersebut, yaitu hukuman yang sesuai
dengan keadaan jarimah serta diri pembuatnya. Hukuman-hukuman ta’zir antara lain.
1.
Hukuman mati
Pada dasarnya
menurut syari’ah Islam, hukuman ta’zir adalah
memberikan pengajaran (ta’dib) dan tidak sampai membinasakan. Oleh karena itu, dalam hukuman ta’zir tidak boleh ada
pemotongan anggota badan atau penghilangan nyawa. Akan tetapi beberapa fuqaha memberikan pengecualian dari aturan umum tersebut,
yaitu kebolehan dijatuhkan hukuman mati jika kepentingan umum menghendaki
demikian, atau kalau pemberantasan tidak bisa terlaksana kecuali dengan jalan
membunuhnya, seperti mata-mata, pembuat fitnah, residivis yang membahayakan.
Namun menurut sebagian fuqaha yang lain dalam
jarimah ta’zir tidak ada hukuman mati.[53]
2.
Hukuman Jilid
Di kalangan fuqaha terjadi
perbedaan tentang batas tertinggi hukuman jilid dalam ta’zir. Menurut pendapat
yang terkenal di kalangan ulama’ Maliki, batas tertinggi diserahkan kepada
penguasa karena hukuman ta’zir didasarkan atas kemaslahatan masyarakat dan atas
dasar berat ringannya jarimah. Imama Abu Hanifah dan Muhammad berpendapat bahwa
batas tertinggi hukuman jilid dalam ta’zir adalah 39 kali, dan menurut Abu Yusuf adalah 75 kali. Sedangkan di kalangan
madzhab Syafi’i ada tiga pendapat. Pendapat pertama sama dengan pendapat
Imam Abu Hanifah dan Muhammad. Pendapat kedua sama dengan pendapat Abu Yusuf. Sedangkan pendapat yang ketiga, hukuman jilid pada
ta’zir boleh lebih dari 75 kali, tetapi tidak sampai seratus kali, dengan
syarat lain bahwa jarimah ta’zir yang dilakukan hampir sejenis dengan jarimah
hudud.
Dalam mazhab Hambali ada lima pendapat. Tiga diantaranya
sama denga pendapat madzhab Imam Syafi’i. pendapat ke empat mengatakan bahwa
jilid yang diancam atas sesuatu perbuatan jarimah tidak boleh menyamai hukuman
yang dijatuhkan terhadap jarimah lain yang sejenis, tetapi tidak boleh melebihi
hukuman jarimah lain yang tidak sejenisnya. Pendapat ke lima mengatakan bahwa
hukuman ta’zir tidak boleh melebihi 10 kali. Alasannya ialah hadits dari Abu
Darda sebagai berikut :
“Seseorang tidak
boleh dijilid lebih dari sepuluh kali, kecuali dalam salah satu hukuman hudud”
3.
Hukuman (Penjara Kurungan)
Ada dua macam hukuman
dalam hukum Islam. Pembagian ini didasarkan pada lama waktu hukuman.
Pertama, hukuman tahanan terbatas. Batas terendah dari hukuman ini adalah satu
hari, sedangkan batas tertinggi, ulama’ berbeda pendapat. Ulama Syafi’iyyah
menetapkan batas tertingginya satu tahun, karena mereka mempersamakannya dengan
pengasingan dalam jarimah zina. Sementara ulama-ulama lain menyerahkan semuanya
kepada penguasa berdasarkan maslahat.[54]Kedua,
hukuman tahanan tidak terbatas. Sudah disepakati
bahwa hukuman tahanan ini tidak ditentukan terlebih dahulu, melainkan
berlangsung terus sampai terhukum mati atau taubat dan baik pribadinya. Orang
yang dikenakan hukuman ini adalah penjahat yang berbahaya atau orang yang
berulang-ulang melakukan jarimah-jarimah yang berbahaya.
b)
Perbedaan jarimah ta’zir dengan
hudud
Perbedaan
yang menonjol antara jarimah hudud, qishas, dan jarimah ta’zir:
1.
Dalam jarimah hudud tidak ada pemaafan, baik oleh perseorangan maupun oleh ulul
amri. Sedangkan jarimah ta’zir kemungkinan pemaafan itu ada, baik oleh
perorangan maupun oleh ulul amri, bila hal itu lebih maslahat.
2.
Dalam jarimah ta’zir hakim dapat memilih hukuman yang
lebih tepat bagi si pelaku sesuai dengan kondisi pelaku, situasi, dan tempat
kejahatan. Sedangkan dalam jarimah hudud yang diperhatikan oleh hakim hanyalah
kejahatan material.
3.
Pembuktian jarimah hudud dan qishas harus dengan saksi
atau pengakuan, sedangkan pembuktian jarimah ta’zir sangat luas kemungkinannya.
4.
Hukuman Had
maupun qishas tidak dapat dikenakan kepada anak kecil, karena syarat
menjatuhkan had si pelaku harus sudah baligh sedangkan ta’zir itu bersifat
pendidikan dan mendidik anak kecil boleh.
Sebagai perbandingan, hukuman bagi anak sebagai pelaku tindak pidana (“Anak
Nakal”)[55]
dengan ancaman pidana mati, menurut hukum positif, tidak
akan dikenai pidana mati maupun pidana penjara seumur hidup. Hal ini didasarkan
pada Pasal 26 ayat (2) UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
(“UU 3/1997”) yang menyatakan: “Apabila
Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, melakukan tindak pidana yang diancam dengan
pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada
anak tersebut paling lama 10 (sepuluh) tahun.” Bagaimana
sanksi hukum bagi anak berumur 14 tahun yang melakukan pembunuhan,[56]
pencurian motor? Apakah dibebaskan dengan syarat? Apakah bebas tanpa
syarat jika pihak korban menarik kembali tuntutannnya? Jika bebas tanpa syarat,
berhakkah pihak polisi menahan anak tersebut? Jika tidak apa yang harus saya
lakukan sebagai wali anak tersebut, mengingat pihak polisi bersikukuh
menahannya! Dalam kasus anak
berumur 14 (empat belas) tahun maka sanksi yang dijatuhkan dapat saja
berupa pidana. [57]
Namun
pada hakekatnya, segala bentuk penanganan terhadap anak yang melanggar hukum
harus dilakukan dengan memprioritaskan kepentingan terbaik untuk si anak. Oleh
karena itu, keputusan yang diambil Hakim (apabila kasus diteruskan sampai
persidangan) harus adil dan proporsional, serta tidak semata-mata dilakukan
atas pertimbangan hukum, tapi juga mempertimbangkan berbagai faktor lain,
seperti kondisi lingkungan sekitar, status sosial anak, dan keadaan keluarga.
Hal-hal ini dijamin serta diatur dalam UU Pengadilan Anak. Misalnya adalah pada
saat polisi melakukan penangkapan dan pemeriksaan, ia wajib untuk menghubungi
dan mendatangkan seorang petugas Bapas (Balai Pemasyarakatan, biasa juga
disebut PK atau Petugas Kemasyarakatan). Petugas Bapas berfungsi hampir sama
seperti probation officer. Polisi wajib menyertakan hasil Litmas
(Penelitian Kemasyarakatan) yang dibuat oleh petugas Bapas dalam Berita Acara
Pemeriksaannya. Tanpa Litmas, Jaksa harus menolak BAP dan meminta
kelengkapannya kembali.
Tabel 7
Tabel ini dapat menunjukkan hukum kebiasaan
internasional yang dapat dijadikan parameter untuk menentukan usia
pertanggungjawaban pidana.[58]
Nama Negara
|
Usia Minimal Tanggung Jawab Kriminal
|
Austria
|
14
|
Belgia
|
18
|
Denmark
|
15
|
Inggris
|
10
|
Finlandia
|
15
|
Perancis
|
13
|
Jerman
|
14
|
Yunani
|
12
|
Irlandia
|
7
|
Itali
|
14
|
Luxemburg
|
18
|
Belanda
|
12
|
Irlandia
Utara
|
8
|
Portugal
|
16
|
Skotlandia
|
8
|
Spanyol
|
16
|
Swedia
|
15
|
Melihat kecenderungan
praktek-praktek negara berdasarkan tabel di atas dapat disimpulkan bahwa
rata-rata negara tersebut menetapkan usia pertanggungjawaban pidana minimal
di atas 12 tahun. Dengan demikian, dapat dikatakan usia 12 tahun sebagai
batas minimal usia pertanggungjawab tindak pidana telah menjadi hukum kebiasaan
internasional (international customary law).[59]Berbeda halnya dengan anak yang dikenakan
hukuman mati.[60]
Jika
dibandingkan dengan Hukum Islam, anak-anak yang membunuh, tidak dikenakan
hukuman, jika belum mumayyiz. Bukan hanya kejahatan membunuh, tapi juga segala
jenis kejahatan yang disebut had dan jarimah.
Adapun jenis atau macam-macam
perbuatan jarimah yaitu perbuatan
yang masuk ke dalamnya, sebagai
berikut:
1.
Mencuri
Mencuri pada
fikih jarimah terbagi menjadi dua, yaitu :
1)
mencuri yang dikenakan had
2)
mencuri yang dikenakan hukuman ta'zir.[61]
Mencuri yang
dikenakan had menurut pendapat Fuqaha’ adalah perbutan
mukalaf mengambil harta orang lain secara sembunyi-sembunyi dari tempat
penyimpanannya dan mencapai satu nishab dan orang yang mencuri tak mempunyai
andil kepemilikan terhadap barang tersebut. Dari definisi
diatas, dapat dirumuskan bahwa pencurian yang dikenakan harus memenuhi
unsur-unsur sebagai berikut:
1)
mengambil harta orang lain
2) pengambilannya secara sembunyi-sembunyi
3)
harta itu disimpan di tempat penyimpanannya
4)
pelaku adalah mukallaf
5)
barang yang dicuri mencapai satu nishab
6)
pelaku tidak mempunyai andil kepemilikan atas harta yang dicuri. Had
mencuri Allah berfirman
dalam Alquran Surat Al-Maidah : 38 dinyatakan bahwa
pencuri
laki-laki dan pencuri perempuan potonglah kedua tangannya sebagai pembalasan
bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah dan Allah
Mahaperkasa lagi Bijaksana”
Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda:"
Jika ia mencuri (kali pertama) maka potonglah salah satu tangannya, kemudian
jika ia mencuri yang kedua potonglah salah satu kakinya, kemudian jika ia
mencuri (yang ketiga) potonglah tangannya kemudian jika ia mencuri maka
potonglah kakinya.
Jika pencuri masih mencuri lagi kelima kalinya, maka menurut sebagian ulama seperti imam Syafi'i dan Imam Malik, orang itu dikenakan ta'zir.[62] Namun Abu Hanifah dan Imam Ahmad berpendapat hukuman potong tangan hanya dapat dilakukan pada kali pertama dan kedua sedangkan pencurian ketiga dan seterusnya dikenai ta'zir. Pencurian yang dapat dikenai had adalah jika barang yang dicuri mencapai nilai seperempat dinar atau tiga dirham atau setara dengan emas seberat 3.34 gram. Berdasarkan Hadist Riwayat Bukari dan Muslim:
Jika pencuri masih mencuri lagi kelima kalinya, maka menurut sebagian ulama seperti imam Syafi'i dan Imam Malik, orang itu dikenakan ta'zir.[62] Namun Abu Hanifah dan Imam Ahmad berpendapat hukuman potong tangan hanya dapat dilakukan pada kali pertama dan kedua sedangkan pencurian ketiga dan seterusnya dikenai ta'zir. Pencurian yang dapat dikenai had adalah jika barang yang dicuri mencapai nilai seperempat dinar atau tiga dirham atau setara dengan emas seberat 3.34 gram. Berdasarkan Hadist Riwayat Bukari dan Muslim:
”Tangan pencuri
tidak dipotong kecuali dalam pencurian mencapai seperempat dinar atau lebih.” Seseorang
dinyatakan benar-benar mencuri secara syar'i jika terbukti dengan salah satu
dari tiga kemungkinan di bawah ini :
1. Kesaksian dari dua orang saksi laki-laki yang adil dan merdeka
2. pengakuan dari pelaku
3. sumpah dari yang mengadukan perkara
1. Kesaksian dari dua orang saksi laki-laki yang adil dan merdeka
2. pengakuan dari pelaku
3. sumpah dari yang mengadukan perkara
Adakah pemberian maaf dalam
pencurian. Ulama sepakat
bahwa pemilik barang yang dicuri dapat memaafkan pencurinya sehingga bebas dari
had sebelum kasusnya sampai ke
pengadilan. Sebab sebelum sampai pengadilan,
had mencuri adalah had hamba dan jika sampai ke pengadilan
berubah menjadi had Allah. "Diriwayatkan
oleh Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya;" sesungguhnya Rasulullah
SAW bersabda: "Maafkanlah had-had
selama masih berada di tanganmu, adapun had yang sudah sampai di telingaku maka
wajib dilaksanakan."
Khamr, secara bahasa,
khamr artinya sesuatu yang menutupi, sedangkan menurut dalam itilah fiqh yaitu
segala macam yang memabukan, menutupi akal. Sebagaimana
sabda Rsulullah SAW yang artinya kurang lebih; " Tiap-tiap yang memabukkan
adalah khamr dan setiap khamr adalah haram." [63] Dengan
demikian yang dinamakan khmar tidak hanya terbatas pada minuman keras tetapi
mencakup segala jenis barang yang memabukan seperti yang
telah kita kenal mulai dari Miras, Narkotik, Ganja,
Putaw, Sabu-Sabu .[64]
Adapun penyebab gugurnya had qadzaf adalah:
1)
penuduh dapat membuktikan dengan empat orang saksi bahwa tertuduh telah
benar-benar berzina.
2)
dengan cara li'an jika tertuduh adalah istri penuduh
3)
pengakuan dari si tertuduh bahwa tuduhan adalah benar.
4) Zin
Kifarat secara
bahasa berarti menutup. Sedangkan secara istilah yaitu sejumlah denda yang
wajib dibayar oleh seseorang yang melakukan
perbuatan tertentu yang dilarang oleh Allah. Kifarat adalah hak Allah sebagai
tanda tobat. Membunuh adalah menghilangkan nyawa seseorang baik
dengan sengaja atau tidak sengaja dengan alat yang mematikan atau tidak
mematikan. Dalam Fiqh Islam Pembunuhan di bagi ke dalam tiga
macam:
1)
Pembunuhan sengaja (qatl’amd), yaitu suatu pembunuhan yang dilakukan dengan
sengaja oleh pelaku.
2)
Pembunuhan semi-sengaja (Syibhul amd),
yaitu kesengajaan melakukan penyerangan tanpa maksud membunuh tetapi
menyebabkan terbunuh. Seperti seseorang memukul orang lain dengan alat yang
tida biasa mematikan tetapi yang kena pukul kemudian meninggal.
3)
Pembunuhan tersalah yaitu pembunuhan karena kekeliruan semata, seperti niatnya
menembak hewan buruan aan tetapi mengenai seseorang yang akhirnya meninggal.
Sedangkan hukuman
bagi pelaku pembunuhan ialah:
1)
Pembunuhan sengaja dikenai hukuman Qishas pembunuh harus dibunuh juga. Akan
tetapi bila kelurga korban memaafkan, maka si pelaku wajib membayar diyat mughaladhah yang diberikan kepada
korban secara tunai.
2)
Pembunuhan semi-sengaja tidak dikenakan qishas
tetapi dikenakan diyat mughaladhoh yang boleh diangsur selama 3 tahun.
3)
Pembunuhan tersalah, tidak dikenai qishas tetapi dikenai diyat mukhafafah
Hukum pidana Islam, secara umum,
pengertian jinayat sama dengan hukum pidana pada hukum positif, yaitu hukum
yang mengatur perbuatan yang berkaitan dengan jiwa atau anggota badan, seperti
membunuh, melukai dan lain sebagainya. Jarimah (kejahatan) dalam hukum pidana
Islam (jinayat) meliputi, jarimah hudud, qishas
diyat, dan ta’zir.
Ta’zir adalah hukuman yang tidak ditentukan oleh
al- qur’an dan hadits yang berkaitan dengan kejahatan yang melanggar hak Allah
dan hak hamba yang berfungsi untuk memberi pelajaran kepada si terhukum dan
mencegahnya untuk tidak mengulangi kejahatan yang serupa, penentuan jenis
pidana ta’zir ini diserahkan sepenuhnya kepada penguasa sesuai dengan
kemaslahatan menusia itu sendiri. Bagi kelompok JIL, hal ini dijadikan bahan Ghazwul fikri.[65]
Menurut hemat penulis, diantara jenis-jenis hukuman ta’zir yang telah
penulis kemukakan dalam pembahasan, tidak semuanya relevan untuk diterapkan
pada zaman ini, seperti hukuman jilid dan salib karena dinilai sangat keji.
Sementara mengenai hukuman mati dalam ta’zir, penulis sependapat dengan ulama’
yang membolehkannya sepanjang sejalan dengan kemaslahatan manusia. Tetapi
secara umum, mengenai jenis hukuman yang relevan untuk jarimah ta;zir ini harus
disesuaikan dengan kejahatan yang dilakukan agar hukuman dalam suatu peraturan
bisa parallel. Untuk menentukan hukuman yang relevan dan efektif, harus
mempertimbangkan agar hukuman itu mengandung unsure pembalasan, perbaikan, dan
perlindungan terhadap korban (Theori neo-klasik), serta dilakukan penelitian
ilmiyah terlebih dahulu.
Hukum Pidana
Islam (Fiqh Jinayah) adalah segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau
perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang-orang mukallaf (orang yang dapat
dibebani kewajiban). Sebagai hasil
dari pemahaman atas dalil-dalil hukum yang rinci
dari Al-Qur'an dan Alhadist. Hukum pidana
Islam oleh sebagian orang selalu dikatakan sebagai hukum yang tidak manusiawi,[66]
kejam, melanggar hak asasi manusia dan tidak relevan dengan perkembangan zaman.
Akibatnya ketika lahir keinginan untuk menetapkan Syarah Islam terjadilah
perdebatan tentang hal itu. Empat belas abad
yang lalu, di saat Islam mencapai puncaknya, Rasulullah SAW telah
memprediksikan tentang nasib ummat Islam di masa yang akan datang, sebagai
tanda nubuwwah beliau. Nasib ummat Islam pada masa itu digambarkan oleh
Rasulullah seperti seonggok makanan yang diperebutkan oleh sekelompok manusia
yang lapar lagi rakus. Sebagaimana tersebut dalam sebuah hadits, bahwa "Beberapa
kelompok manusia akan memperebutkan kalian seperti halnya orang-orang rakus
yang memperebutkan hidangan." Seorang sahabat
bertanya, "Apakah karena kami waktu itu sedikit, ya Rasulullah?".
Jawab Rasul : "Tidak! Bahkan waktu
itu jumlah kalian sangat banyak. Akan tetapi kalian waktu itu seperti buih
lautan. Dan sungguh, rasa takut dan gentar telah hilang dari dada musuh kalian.
Dan bercokollah dalam dada kalian penyakit wahn", yaitu"Cinta dunia dan takut mati". Penyakit cinta dunia inilah yang diperalat
untuk ghazwul fikri.
Ghazwul fikri, [67]
dimulai ketika kaum salib dikalahkan dalam sembilan kali peperangan besar.
Ketika Islam mulai menyebar luas meliputi wilayah Persi, Syiria, Palestina,
Mesir dan menyeberang daratan Eropa sampai Spanyol, maka kaum Salibis, Yahudi
dan orang-orang Paganis segera membendung laju kebenaran Islam. Mereka khawatir
kalau Islam akan menerangi seluruh
belahan dunia. Maka kemudian digelarlah peperangan yang panjang yang dikenal dengan nama perang
Salib. Kemenangan kaum muslimin tersebut sangat spektakuler, sebab pasukan
muslim yang diterjunkan dalam pertempuran berjumlah sedikit. Pasukan Khalid bin
Walid, misalnya pernah berperang dengan jumlah tentara sekitar 3000 personil,
sedangkan pasukan Romawi yang dihadapi berjumlah 100.000 personil, hampir 1
berbanding 35. Allah memenangkan kaum muslimin dalam pertempuran tersebut.
Selama perang salib yang berlangsung
delapan periode itu, tak sekalipun ummat Islam dapat dikalahkan. Mereka
berpikir keras bagaimana cara mengalahkan ummat Islam. Setelah melalui
pemikiran yang panjang akhirnya mereka mengambil kesimpulan sebagaimana
dikemukakan oleh Gladstone, salah seorang perdana menteri Inggris, "Selama
Al Qur'an ini ada di tangan ummat Islam, tidak mungkin Eropa akan menguasai
dunia Timur". Kekalahan demi
kekalahan itu akhirnya menyebabkan kaum salib menciptakan taktik baru. Di bawah
pimpinan Raja Louis XI, taktik baru tersebut dilancarkan. Caranya bukan lagi
berupa penyerangan fisik, tetapi musuh-musuh Allah itu mengirimkan
putera-putera terbaik mereka ke kota Makkah untuk mempelajari Islam. Niat atau
motivasi mereka tentu bukan untuk mengamalkan, melainkan untuk
menghancurkannya.[68]
Pembelajaran dengan niat jahat itu ternyata berhasil. Tafsir dikuasai, hadist
dimengerti, khazanah ilmu Islam digali. Setelah sampai ke tahap dan tingkat
ahli, para pembelajar Islam dari kaum Salib ini kembali ke Eropa, lalu
membentuk semacam Research and Development (Penelitian dan Pengembangan)
untuk mengetahui kelemahan umat Islam agar dapat mereka kuasai.
Kesungguhan mereka dalam mempelajari Islam tersebut memang
luar biasa. Sampai dalam sejarah diungkapkan kisah seorang pembelajar Islam
dari kaum salib yang rela meninggalkan anak istrinya hanya untuk berkeliling ke
negeri-negeri Islam guna mencari kelemahan negeri-negeri Islam itu. Di antara
pernyataan mereka ialah, "Percuma kita berperang melawan umat Islam selama
mereka berpegang teguh pada agama mereka. Jika komitmen mereka terhadap agama
mereka kuat, kita tidak dapat berbuat apa-apa. Oleh karena itu, tugas kita
sebetulnya adalah menjauhkan umat Islam dari agama mereka, barulah kita mudah
mengalahkan mereka.” Gleed Stones, mantan perdana menteri Inggris, juga
mengatakan hal yang sama, "Percuma memerangi umat Islam, kita tidak akan
mampu menguasainya selama di dada pemuda-pemuda Islam al-Qur'an masih
bergelora. Tugas kita kini adalah mencabut al-Qur'an hati mereka, baru kita
akan menang dan menguasai mereka.” Dalam konteks ini, al-Qur'an mengatakan,
artinya, "Sesungguhnya setan
bagimu merupakan musuh, maka perlakukanlah ia sebagai musuh. Sesungguhnya setan
itu mengajak hizb (golongan) nya agar mereka menjadi penghuni
neraka."[69].
Setan yang merupakan musuh umat
Islam itu, menurut ayat 112 Surat
al-An'aam, bukan hanya
dari kalangan jin dan Iblis saja, tetapi juga dari kalangan manusia. Setan-setan
manusia itu dahulu menghina dan memojokkan serta melecehkan Islam melalui lisan
mereka dengan cara sederhana tanpa dukungan hasil teknologi canggih. Tetapi
kini, penghinaan dan pemojokan serta pelecehan itu dilakukan dengan pers yang
mempergunakan sarana modern yang super canggih. [70]
Dahulu, para penjajah menyerang kaum Muslimin dengan senjata
bom, meriam dan peluru, dan serangan itu hingga kini sebetulnya masih tetap
berlangsung. Hanya yang dijadikan sasaran bukan lagi jasmani, tetapi aqidah
umat Islam. Salah satu tujuannya ialah bagaimana agar fikrah (ideologi) atau
'aqidah umat Islam rusak. Tujuan paling akhir ialah bagaimana agar Islam dan
umat Islam berhasil dihabisi riwayatnya dari bumi Allah subhanahu wata’ala
ini. Serangan inilah yang disebut ghazwul fikr. Dan senjata yang
dipergunakan bukan lagi bom atau peluru tetapi surat kabar, majalah, radio,
televisi dan media-media massa lainnya, baik cetak mau pun elektronik, baik
yang sederhana, mau pun yang super canggih. Ditemukan beberapa jenis
Ghazwul Fikri:
1) Perusakan Akhlaq
Dengan berbagai media
musuh-musuh Islam melancarkan program-program yang bertujuan merusak akhlaq
generasi muslim. Mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, sampai yang tua renta
sekalipun. Di antara bentuk perusakan itu adalah lewat majalah-majalah,
televisi, serta musik. Dalam media-media tersebut selalu saja disuguhkan
penampilan tokoh-tokoh terkenal yang pola hidupnya jelas-jelas jauh dari
nilai-nilai Islam. Mulai dari cara berpakaian, gaya hidup dan ucapan-ucapan yang
mereka lontarkan. Dengan cara itu,
mereka telah berhasil membuat idola-idola baru yang gaya hidupnya jauh dari
adab Islam. Hasilnya betul-betul luar biasa, banyak generasi muda kita yang
tergiur dan mengidolakan mereka.
2) Perusakan pola pikir
Dengan
memanfaatkan media-media tersebut di atas, mereka juga sengaja menyajikan
berita yang tidak jelas kebenarannya, terutama yang berkenaan dengan kaum
muslimin. Seringkali mereka memojokkan posisi kaum muslim tanpa alasan yang
jelas. Mereka selalu memakai kata-kata; teroris, fundamentalis untuk mengatakan
para pejuang kaum muslimin yang gigih mempertahankan kemerdekaan negeri mereka
dari penguasaan penjajah yang zhalim dan melampui batas. Sementara itu di sisi lain mereka mendiamkan setiap aksi para
perusak, penindas, serta penjajah yang sejalan dengan mereka; seperti Israel,
Atheis Rusia, Fundamentalis Hindu India, Serbia, serta yang lain-lainnya.
Apa-apa yang sampai kepada kaum muslimin di negeri-negeri lain adalah sesuatu
yang benar-benar jauh dari realitas. Bahkan, sengaja diputarbalikkan dari
kenyataan yang sesungguhnya.
3) Sekulerisasi Pendidikan
Hampir di
seluruh negeri muslim telah berdiri model pendidikan sekolah yang lepas dari
nilai-nilai keagamaan. Mereka sengaja memisahkan antara agama dengan ilmu
pengetahuan di sekolah. Sehingga muncullah generasi-generasi terdidik yang jauh
dari agamanya. Sekolah macam inilah yang mereka dirikan di bumi Islam pada masa
penjajahan (imperialisme), untuk menghancurkan Islam dari dalam tubuhnya
sendiri.
Ada beberapa
kelompok besar manusia yang dalam perjalanan sejarah selalu mengibarkan bendera
permusuhan dan perang terhadap kaum muslimin. Adapun kelompok-kelompok tersebut
adalah:
1) Orang-Orang Yahudi dan Nashrani
"Orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak akan pernah rela terhadap kalian, sehingga kalian mengikuti jejak mereka..." [71]
"Orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak akan pernah rela terhadap kalian, sehingga kalian mengikuti jejak mereka..." [71]
2) Orang-orang Musyrik
"Sesungguhnya telah kalian dapati orang-orang yang paling besar permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik...."[72]
"Sesungguhnya telah kalian dapati orang-orang yang paling besar permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik...."[72]
3) Orang-orang Munafik
"Apabila orang-orang munafiq datang kepadamu, mereka berkata: 'Kami mengakui, bahwa kamu benar-benar Rasulullah'. Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya', dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafiq itu benar-benar orang pendusta"[73]
"Orang-orang munafiq laki-laki dan perempuan, sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh berbuat yang mungkar dan melarang yang ma'ruf dan menggenggam tangannya (kikir). Mereka telah melupakan Allah, maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafiq itulah orang-orang yang fasik" [74]
"Apabila orang-orang munafiq datang kepadamu, mereka berkata: 'Kami mengakui, bahwa kamu benar-benar Rasulullah'. Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya', dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafiq itu benar-benar orang pendusta"[73]
"Orang-orang munafiq laki-laki dan perempuan, sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh berbuat yang mungkar dan melarang yang ma'ruf dan menggenggam tangannya (kikir). Mereka telah melupakan Allah, maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafiq itulah orang-orang yang fasik" [74]
Meskipun
mereka (musuh-musuh Islam) itu nampaknya berbeda, tetapi sesungguhnya di dalam
memerangi kaum muslimin mereka bersatu padu melakukan konspirasi
(persekongkolan) yang berskala internasional.
Mereka berusaha tanpa mengenal lelah dan berputus asa. Al-Quran menyatakan"Dan tiada henti-hentinya mereka selalu
memerangi kalian sehingga kalian murtad dari agama kalian, jika mereka
mampu...."[75]
Keuntungan Ghazwul Fikri bagi dunia Barat ialah:
1)
Dana yang dibutuhkan tidak sebesar dana yang diperlukan untuk perang fisik.
2)
Sasaran ghazwul fikri tidak terbatas.
3)
Serangannnya dapat mengenai siapa saja, dimana saja dan kapan saja.
4)
Tidak ada korban dari pihak penyerang.
5)
Sasaran yang diserang tidak merasakan bahwa sesungguhnya dirinya dalam kondisi
diserang.
6)
Dampak yang dihasilkan sangat fatal dan berjangka panjang.
7)
Efektif dan efisien.[76]
Yang
menjadi sasaran ghazwul Fikri adalah
pola pikir dan akhlaq. Apabila seseorang sering menerima pola pikir sekuler,
maka iapun akan berpikir ala sekuler. Bila sesorang sering dicekoki paham
komunis , materialis, fasis, marksis, liberalis, kapitalis atau yang lainnya,
maka merekapun akan berpikir dari sudut pandang paham tersebut. Sementara itu dalam hal akhlaq, boleh
jadi pada awalnya seseorang menolak terhadap suatu tata cara kehidupan
tertentu, namun karena tiap kali ia selalu mengkonsumsi tata cara tersebut,
maka lama kelamaan akan timbul perubahan dalam dirinya. Seperti contohnya
adanya pergaulan bebas antara wanita dan pria yang bukan muhrim, seperti terlihat dalam kehidupan
sehari-hari. Kmudian alat Ghazwul Fikri ialah:
1) Membius pandangan mata, dengan banyaknya disuguhkan wanita-wanita dari
kalangan artis dan pelacur. Mereka menjadikan ruang redaksi bagaikan rumah
bordil yang menggelar zina mata massal.
2) Pameran aurat di saluran televisi yang berlomba-lomba menyajikan
artis-artis, baik dengan pakaian biasa, ketat, pakaian renang, sampai yang
telanjang. Penonton diajak untuk tidak punya rasa malu, hilang iman, mengikuti
panggilan nafsu, dan menghidupkan dunia mimpi.[77]
3) Membudayakan ikhtilat. Sekumpulan
laki-laki dan wanita yang bukan muhrim, biasa bergumul jadi satu tanpa batas.
Tayangan semacam ini tak ubahnya mendekati zina, bahkan membuka transaksi zina.[78]
4) Membudayakan khalwat. Kisah-kisah
percintaan bertebaran di berbagai acara. Frekuensi suguhan kisah-kisah pacaran
dan kencan makin melegitimasi budaya khalwat.
5) Membudayakan tabarruj. Banyak pelaku di layar kaca yang mempertontonkan bagian
tubuhnya yang seharusnya ditutupi, untuk dinikmati para pemirsa.
Demikianlah bahaya ghazwul fikri. Ia akan menyeret
seseorang ke dalam jurang kesesatan dan kekafiran tanpa terasa. Ibaratnya
seutas rambut yang dicelupkan ke dalam adonan roti, kemudian ditarik dari
adonan tersebut. Tak akan ada sedikitpun adonan roti yang menempel pada rambut.
Rambut itu keluar dari adonan dengan halus sekali tanpa terasa. Demikianlah, seseorang
hanya tahu bahwa ternyata dirinya sudah berada dalam kesesatan, tanpa terasa! Apakah seorang ibu yang meninggalkan anaknya
begitu saja dan tidak merawat,
dengan kasih sayang disebut kasih sepanjang jalan? Apakah orang tua yang
menjadi germo bagi anaknya disebut orang tua yang mencintai dan paling tahu
kebutuhan anaknya? Apakah orang tua yang mengurung anaknya di rumah dan tidak
boleh bermain hanya boleh belajar dalam kamar disebut orang tua yang memahami
anak?
Untuk
meganalisis hal ini, ada kaidah-kaidah fiqih,[79] dalam khazanah keilmuan qawaid al
fiqhiyyah pada dasarnya terbagi dalam dua kategori. Pertama adalah
kaidah fiqih yang hanya diperuntukkan untuk masalah individu dan masalah ibadah
dalam arti hubungan vertikal antara setiap individu dengan Allah. Kedua, kaidah
fiqih yang memang sengaja dimunculkan untuk menyelesaikan beberapa masalah
terkait dengan hubungan yang bersifat horizontal antar manusia itu sendiri,
selain memang di dalamnya terdapat nilai-nilai hubungan vertikal karena
beberapa obyek yang menjadi kajian adalah hukum Islam yang tentu saja itu semua
bersumber dari Allah.
Dalam analisis
mengenai kaidah ini, terdapat dua kata yang saling terkait, yang pertama yaitu tasharrul
imam (kebijakan pemimpimn) dan yang kedua adalah al maslahat (maslahat).
Tetapi dari dua hal tersebut terdapat kata kunci yang menentukan arah dari
konsep kebijakan yersebut, yaitu maslahat..Oleh karena itu, hal pokok yang
menjadi kajian dalam permasalahan ini adalah bagaimana sebenarnya konsep
maslahat, dimana maslahat inilah yang nantinya akan membawa dan mengantarkan
kepada sebuah kebijakan yang akan dibuat oleh seorang pemimpin.
Ketika memperhatikan
kaidah tasharruful imam ‘ala al ra’iyyah manutun bi al malahat yang
berarti bahwa kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung pada
kemaslahatan, maka ada dua kata yang tidak hanya memerikan makna secara retorik
saja, tetapi dua kata yang sekaligus memberikan gambaran dan batasan serta
suatu konsep yang dimaksud. Dua kata tersebut adalah tasharruful imam (kebijakan
dari seorang pemimpin) dan al maslahat (kemaslahatan). Maka dalam hal
ini akan lebih banyak mengkaji tentang bagaimana konsep kemaslahatan yang akan
dijadikan sebagai landasan tehadap pembuatan suatu kebijakan.
Kaidah ushul fiqih yang menyatakan Tasharruful Imam ‘Ala al- Ra’iyyati Manutun Bi al- Maslahah .Kaidah ini
merupakan kaidah yang mempunyai aspek horizontal, karena dalam implementasinya
memerlukan hubungan antara seorang pemimpin dengan masyarakat atau rakyat yang
dipimpin. Perlu diketahui makna dari kaidah tersebut, kaidah yang berbunyi tasharruful
imam ‘ala al ra’iyyati manuutun bi al maslahat mempunyai pengertian retorik
(harfiyyah) kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung
pada maslahat.
Lebih jauh dari
sekedar pengetian retorik tersebut, maka ada pengertian yang lebih luas adalah
segala aspek kehidupan yang meliputi kepentingan rakyat dalam suatu kelompok
atau golongan tertentu harus ditetapkan dengan mekanisme syura (musyawarah).
Hal ini sebagai terjemahan dari pernyataan kaidah tesebut yang menekankan pada
aspek kemaslahatan, karena metode musyawarah adalah salah satu bentu yang riil
untuk mencapai dan medapatkan suatu kemaslahatan untuk bersama. Hal ini yang
juga ditekankan dalam firman Allah.[80]
Artinya: Bagi orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan
mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara
mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada
mereka. Sebuah contoh yang bisa dijadikan sebagai referensi bagi berlakunya
asas tersebut adalah apa yang dikatakan oleh Umar bin Khattab yang diriwayatkan
oleh Sa’in bin Mansur; “sungguh
aku menempatkan diri dalam mengurus harta Allah seperti kedudukan seorang wali
anak yatim, jika aku membutuhkan maka aku mengambil daripadanya, jika aku dalam
kemudahan aku mengembalikannya, dan jika aku berkecukupan maka aku menjauhinya.
Kaidah ini menegaskan bahwa seorang pemimpin harus
mengedepankan aspek kemaslahatan rakyat bukan mengikuti keinginan hawa
nafsunya, atau keinginginan keluarganya atau kelompoknya. Kaidah ini juga
diperkuat dengan QS. An-Nisa’ (4) : 58 yang menyatakan bahwa Allah mewajibkan manusia, menyampaikan amanah
dan berkewajiban berlaku adil. Maksud dari
ayat 58 ini Allah SWT menerangkan bahwa melaksanakan amanat dan tanggung jawab
adalah perintah Allah kepada seluruh hamba-Nya,
termasuk yang diperintahkan juga adalah menghukum dengan adil antara semua
manusia dan Allah adalah sebaik-baik Pemberi pengajaran akan keadilan itu. Maka
hendaklah orang beriman menjadikan keadilan Allah sebagai standar, bukan yang
lainnya di dalam melaksanakan hukum, sementara Allah tetap mengawasi dan
memperhatikan bagaimana melaksanakan
perintahNya, firman Allah: “Sesungguhnya Allah sebaik-baik yang memberi
pengajaran kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha
melihat”.
Yang dimaksud dengan amanat di sini
ialah tugas-tugas yang telah dipercayakan kepada manusia sebagai khalifah.
Termasuk menetapkan hukum di antara manusia supaya menetapkan keputusan dengan
adil dengan berpegang teguh kepada kitab Allah dan sunnah Rasul. Dalam cakupan yang lebih luas, kata amanat
bisa berarti kesanggupan melaksanakan dan menegakkan dien, sebagaimana firman
Allah dalam Surat Al-Ahzab:72.Ayat tersebut berbicara mengenai pemberian amanat kepada
orang yang memang layak untuk menerima amanat tersebut dan juga ayat tersebut
memberikan penekanan terhadap pentingnya penegakan hukum dalam satu kalangan
masyarakat.[81]
Hal ini menjadi satu bagian penting dalam pembahasan kemaslahatan yang hendak
dicapai dalam suatu lingkungan masyarakat.[82]
Mengenai keadilan[83],
keadilan dua kacam, pertama adalah keadilan distributive
dan keadilan commutative. Keadilan
distributive memberikan gambaran untuk memberikan keadilan sesuai dengan haknya
masing-masing, dengan kata lain kemaslahatan fardiyyah dan bukan kemaslahatan
secara umum. Tapi keadilan commutative memberikan
keadilan secara umum kepada siapa saja. Salah satu prinsip keadilan yang
merupakan bagian dari kemaskahatan menajdi satu teori yang dianut oleh Islam
dalam menentukan kebijakan hukum Islam, bahwa Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil.
Salah satu contoh lain dijelaskan dalam kitab al -asybah wa al- nadhair. Syekh Imam Jalaluddin Abdurrrahman bin Abi Bakr As- Suyuti mengungkapkan contoh yang sederhana, bahwa dalam suatu negara
apabila ada keinginan untuk menghilangkan tentara dalam anggaran program
kenegaraan dengan alasan yang dibolehkan maka hal itu diperbolehkan, tetapi
kalau sekiranya alasan yang akan digunakan sebagai landasan peniadaan hal
tesebut tidak diperbolehkan atau bahkan tidak dalam kategori penting dan
dharurat maka peniadaan tersebut tidak diperbolehkan. Kemudian contoh yang lain
adalah soal pembagian zakat, seorang imam atau pemimpin yang masih dalam
keadaan mampu tidak boleh mengutamakan dirinya dalam menerima zakat dari pada
rakyat yang notabene lebih memutuhkan.[84]
Dalam konteks kontemporer, kaidah tersebut tentunya tidak
boleh terlepas dari jiwa seorang pemimpin. Oleh karena itulah setiap kebijakan
yang mengandung manfaat dan maslahat bagi rakyat maka itulah yang direncanakan,
dilaksanakan, diorganisasikan, dan dinilai/ dievaluasi kemajuannya. Sebaliknya
kebojakan yang mendatangkan mudharat dan mafsadah bagi rakyat, itlah yang harus
disingkirkan dan dijauhi. Dalam upaya-upaya pemabangunan misalnya, membuat
irigasi untuk petani, membuka laangan kerja yang padat karya, melindungi huta
lindung, menjaga ligkungan, mengangkat pegawai yang benar-benar amanah dan
professional dan lain sebagainya.[85]
Dalam mendukung kaidah tersebut,
tentu diperlukan kaidah pelengkap yang bisa mendukung dan sejalan dalam
pemaknaan terhadap kaidah tersebut. Diantara kaidah-kaidah yang diperkukan
untuk mendukung kaidah tersebut adalah kaidah yang berbunyi; ikhtiyarul
amstal fal alstal (memilih yang representative dan lebih representative
lgi). Kaidah ini memberikan gambaran kepada sikap yang harus diambil dan
diimplementasikan oleh seorang pemimpin dalam membuat sebuah kebijakan, yaitu
harus dilakukan
dan dipilih mana yang representative untuk bisa dilaksanakan terlebih dahulu.
Artinya memang kebutuhan masyarakat yang sedemikian banyak, mana yang lebih
representative untuk dilaksanakan dan diprioritaskan lebih dulu.
Di samping
mengenai substansi yang hendak dicapai dari sebuah kemaslahatan yang ada, maka
pada dasarnya terdapat factor lain yang memberikan kontribusi terhadap
itercapainya sebuah maslahat. Diantaranya adalah factor mekanisme system
kekuasaan dan jalannya pemerintaha yang sistematis. Misalnya dalam fiqh
siyasah, terdapat pembagian kekuasaan sejak zaman kekhalifahan.[86]
Pembagian kekuasaan itu terus berkembang maka kemudian muncul berbagai lembaga
kekuasaan dalam sebuah Negara. Ada khalifah (presiden)sebagai lembaga kekuasaan
eksekutif (al- hai’ah al- tanfidhiyyah), dan lembaga legislative atau alh al- halli wa al- aqdi (al- hai’ah al- tasyri’iyah) dan lembaga
yudikatif (al- hai’ah al- qadhaiyyah), bahkan lembaga pengawasan (al -hai’ah al- muraqabah).
Mengenai
permasalahan ini, maka dalam kaidah hukum Islam terdapat kaidah yang bebrunyi al
wilayah al khassah aqwa min al wilayah al ‘ammah (kekuasaan yang lebih
khusus lebih kuat (kedudukannya) dari pada kekuasaan umum). Maksud kaidah
tersebut adalah bahwa lembaga-lembaga yang khusus lebih kuat kekuasaannya
daripada lembaga-lembaga yang umum. Contohnya: camat lebih kuat kekuasaanya
dalam wilayahnya daripada gubernur , wali nasab lebih kuar kekuasaannya
terhadap anak-anaknya dari pada pengadilan agama dan seterusnya. Pada intinya
dalam kaidah inti ini adalah bahwa, segala sesuatu yang menyangkut kepentingan
umum, maka harus dicarikan solusi terbaiknya demi kemaslahatan. Solusi terbaik
yang dapat ditawarkan bisa meliputi substansi dari permasalahan yang sedang
dibahas dan mekanisme dalam pelaksanaannya. Ibarata dalam sebuah system hukum
maka ada hukum formil dan hukum materiil yang tidak boleh lepas salah satunya.
Lalu kemudian pertanyaannya adalah, maslahat yang seperti apa yang mengikat
seorang pemimpin untuk selalu memasukkan konsep tersebut dalam pertimbangan
utama atau prioritas utama dalam mengambil setiap kebijakan?
Perlunya, analisis konsep maslahat ,menurut
beberapa pandangan dan konsep mengenai maslahat yang ada sebenarnya telah
disampaikan oleh banyak dari kalangan para pakar di bidangnya, tetapi karena
batasan yang ada maka dalam kesempatan kali ini kajian akan lebih difokuskan
pada salah satu konsep atau teori tentang maslahat yang disampaikan dan
dikemukakan oleh Najmuddin At- Tufi. Diantara beberapa pandangan
beliau tentang konsep maslahata adalah sebagai berikut:
1.Pengertian Maslahat.
Dalam pandangan
at-Tufi Bahasan lafadz maslahat berdasarkan wazan
maf'alatun dari kata shalah. Artinya,
bentuk sesuatu dibuat sedemikian rupa sesuai dengan kegunaannya. Misalnya, pena
dibuat sedemikian rupa agar dapat digunakan untuk menulis. Pedang dibikin
sedemikian rupa sehingga bisa dipakai untuk memenggal. Sedangkan definisi
maslahat adalah sarana yng menyebabkan adanya maslahat dan manfaat. Misalnya,
perdagangan adalah sarana untuk mencapai keuntungan. Pengertian Tasharruful Imam ‘Ala al- Ra’iyah Manutun
Bi al- Maslahah
Berdasarkan syari'at adalah sesuatu yang menjadi penyebab
untuk sampai kepada maksud syar'i, baik berupa ibadat maupun adat. Kemudian,
maslahat ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu perbuatan yang memang merupakan
kehendak syari', yakni ibadat dan apa yang dimaksudkan untuk kemanfaatan semua
umat manusia dan tatanan kehidupan, seperti adat istiadat.[87]
2.Bidang hukum berlakunya maslahat
Mengenai lapangan hukum mu'amalat
dan yang sejenisnya, dalil yang diikuti adalah maslahat. Maslahat dan
dalil-dalil syari'at lainnya, terkadang senada dan terkadang bertentangan. Jika
senada, memang hal itu baik seperti senadanya antara nas, ijma' dan maslahat
mengenai ketetapan hukum daruri yang berjumlah lima. Hukum-hukum kulli yang dharuri itu ialah dibunuhnya orang yang membunuh, dibunuhnya
orang yang murtad, pencuri dipotong tangannya, peminum dihukum dera dan
orang yang menuduh orang baik berbuat zina harus dijatuhi hukuman hadd,
dan contoh-contoh lain yang serupa dalam hal dalil-dalil syari'at senada dengan
maslahat. Jika ternyata tidak senada dan bertentangan, jika ada kemungkinan
dipadukan harus dilakukan perpaduan antara nas, ijma' dan maslahat. Misalnya,
jika terdapat sebagian dalil yang mempunyai kemiripan dengan maslahat,
lakukanlah antara dalil dan maslahat itu sesuatu pemaduan. Syaratnya, tidak
boleh mempermainkan dalil, dan maslahat yang dituju harus benar-benar hakiki.
Jika ternyata di antara keduanya tidak bisa dipadukan, yang didahulukan adalah
maslahat atas dalil-dalil syari'at lainnya. Sebab, Rasulullah saw. bersabda, la
darara wa la dirara. Makna hadis ini khusus dimaksudkan untuk menghilangkan
mudarat untuk memelihara maslahat yang menjadi tujuan utama hukum syari'at,
sehingga wajib didahulukan. Sedangkan dalil-dalil lainnya, tidak ubahnya
sebagai sarana. Jadi, tujuan harus didahulukan daripada sarana.
At-Tufi
menganggap bahwa maslahat hanya ada pada masalah-masalah yang berkaitan dengan
mu'amalat dan yang sejenis - bukan pada masalah-masalah yang berhubungan dengan
ibadat atau yang serupa. Sebab, masalah ibadat hanya hak Syari'. Tidak mungkin
seseorang mengetahui hakekat yang terkandung di dalam ibadat, baik kualitas
maupun kuantitas, waktu atau tempat, kecuali hanya berdasarkan petujuk resmi
Syari'. Kewajiban hamba hanyalah menjalankan apa saja yang telah diperintahkan
oleh Tuhannya. Sebab, seseorang pembantu tidak akan dikatakan sebagai seorang
yang taat jika tidak menjalankan perintah yang telah diucapkan oleh tuannya,
atau mengerjakan apa saja yang sudah menjadi tugasnya. Demikian halnya dalam
masalah ibadat. Karenanya, ketika para filosof telah mulai mempertuhankan akal,
dan mulai menolak syari'at, Allah swt. amat murka terhadap mereka. Mereka
tersesat jauh dari kebenaran. Bahkan mereka sangat menyesatkan.[88]
Berbeda
halnya dengan kaum mukallaf, hak-hak mereka di dalam memutuskan hukum adalah
perpaduan antara siyasah dan syari'ah yang sengaja oleh pencipta dicanangkan
untuk maslahat umat manusia. Itulah yang menjadi ukuran berpikir mereka. Kami tidak mengatakan
bahwa syari'at lebih mengetahui maslahat-maslahat manusia karena dalil-dalilnya
harus diambil dan diamalkan sesuai dengan pengertiannya. [89] Maslahat termasuk salah satu dalil syari'at, bahkan boleh
dikatakan sebagai dalil terkuat dan teristimewa. Karenanya kami lebih
mendahulukan maslahat.
Berdasarkan
uraian di atas, jelaslah menurut at-Tufi bahwa maslahat-maslahat yang tidak
dapat diketahui adalah maslahat yang terkandung di dalam masalah ibadat. Namun,
mengenai maslahat yang bertalian dengan kehidupan sosial kaum mukallaf dan
hak-hak mereka, hal ini dapat diketahui oleh mereka melalui akal pikiran
mereka. Dengan kata lain, jika kami tidak melihat dalil syari'at yang tidak
menyebutkan maslahatnya, kami berpegang bahwa syari'at telah membolehkan kami
untuk mencari maslahat sendiri.
Apakah hukuman
fisik bagi anak-anak, mengandung kemaslahatan? Kemaslahatan
membawa manfaat bagi kehidupan
remaja, sedangkan mafsadah mengakibatkan mudharat
bagi kehidupan.[90]
Apa yang disebut dengan maslahat perlu mendapat kriteria dan batasan-batasan
tertentu sehingga keberadaan maslahat tidak dijadikan sebagai satu “tempat berlindung” untuk bisa melegalisasi permasalahan-permaslahan
yang sebenarnya tidak masuk dalam kategori maslahat. Menurut jumhur ulama’,
untuk kriteria maslahat apabila dilihat
akan muncul sebagai beikut:
1. kemaslahatan
itu harus diukur kesesuaiannya dengan maqashid al syariah, dalil-dalil kulli,
(general dari Al Qur’an dan Al-
Sunnah), semangat ajaran, dan kaidah kulliyah hukum Islam.
2. kemaslahatan
itu harus meyakinkan, dalam arti harus berdasarkan penelitian yang akurat,
hinga tidak meragukan lagi.
3. kemaslahatan
itu harus memberi kemanfaatan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, bukan
sebagian masyarakat kecil.
4. kemaslahatan
itu memberikan kemudahan, bukan mendatangkan kesulitan dalam arti dapat
dilaksanakan.[91]
a.Maslahat dan Batasan- Batasannya
Para ahli ushul
fiqh membagi maslahat menjadi tiga macam, yaitu: maslahah mu'tabarah,
maslahah mulghah dan maslahah mursalah. Maslahah mu'tabarah adalah maslahat yang terdapat pada hukum yang
ditetapkan oleh nash, seperti
maslahat pada hukum qishash. Hukum ini ditetapkan oleh QS. Al-Baqarah ayat 178 dan 179. Hikmah dari maslahat yang
ditimbulkan oleh qishash ialah melestarikan hidup manusia. Begitu juga
maslahat yang terdapat pada hukum potong tangan pencuri dan maslahat yang ada
pada hukum Had al-qadzaf (hukuman seseorang yang menuduh berzina).
Semua maslahat
ini telah diterangkan dalam Nash Al-Qur'an. Jadi, memotong tangan pencuri itu
sendiri merupakan maslahat dan ia disebut maslahat
mu'tabarah karena maslahat itu bersumber dari syariah. Sedangkan maslahah mulghah
adalah maslahat yang dianggap invalid oleh syariah atau dengan kata lain
bahwa maslahat itu merupakan maslahat yang keberadaanya diingkari oleh syariah,
seperti maslahat zina. Kenikmatan yang didapat dari zina, secara material bisa
disebut maslahah tetapi ia dibatalkan oleh sya-riah melalui nash-nash yang ada.
Demikian juga maslahat riba, minum arak dan lain sebagainya.
Adapun maslahah mursalah
ialah maslahat yang keberadaanya secara langsung tidak ditetapkan oleh nash
tetapi sekaligus juga tidak ada nash yang dengan jelas membatalkannya. Seperti
keharusan untuk membuat akte nikah bagi kedua pasangan yang melakukan akad
nikah. Karena tanpa akte nikah, hakim atau pemerintah tidak menerima gugatan
terhadap hal-hal yang berkaitan dengan pernikahan. Akte nikah dalam hal ini
disebut maslahat mursalah. Contoh lain ialah pengumpulan Al-Qur'an oleh Abu
Bakar yang kemudian dibukukan oleh penerusnya, Utsman.
Di antara ketiga
maslahat ini hanya maslahat mu'tabarah,[92] saja yang
disepakati ulama sebagai maslahat yang dapat dipakai untuk menetapkan suatu
hukum. Sedangkan dalam maslahat mursalah, para ulama terbagi dalam tiga
golongan. Golongan pertama berpendapat bahwa maslahat mursalah tidak boleh
menjadi dalil (argumentasi) suatu hukum. Golongan kedua berpendapat bahwa maslahat mursalah boleh dijadikan dalil
suatu hukum. Sedangkan golongan ketiga berpendapat bahwa maslahat mursalah
boleh dijadikan sebagai dalil dari suatu hukum dengan syarat bahwa suatu
maslahat terkandung dalam maslahat dharuriat (primer), qhathiyah (pasti)
dan kulliyah (menyeluruh).[93]
Yang dimaksud dharuriat ialah maslahat yang masuk
dalam bagian maqashid syariah yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan
harta. Dan yang dimaksud dengan qhatiyyah ialah maslahat yang terjadi dengan
pasti dan tanpa diragukan lagi. Sedangkan maslahat kulliyah ialah suatu
maslahat yang luas dan menyeluruh daya jangkaunya. Contoh
dari maslahah mursalah yang dharuriah
qath'iyah kulliyah ini ialah suatu
kasus di mana pasukan kafir mengepung wilayah Islam. Untuk berlindung dari
serangan tentara Islam, mereka menjadikan para tawanan muslim sebagai perisai
hidup. Dalam kasus seperti ini, membunuh para tawanan muslim yang dijadikan
perisai hidup disebut maslahah mursalah. Kasus ini telah memenuhi tiga kriteria
yang disyaratkan di atas.
Kriteria dharurah dalam kasus tersebut adalah
memelihara agama. Penyerangan orang kafir terhadap negara Islam sudah barang
tentu akan mengganggu eksistensi agama dan umat Islam. Kriteria qath'iyyah juga terdapat dalam kasus
ini, yaitu perkiraan bahwa seandainya para tawanan muslim dan tentara kafir
tidak dibunuh, sudah pasti pasukan kafir tersebut akan menguasai semua wilayah
Islam. Dan yang terakhir adalah kriteria kulliyah, yaitu seandainya para
tawanan muslim tidak dibunuh, maka justru ketika berhasil mengu-asai wilayah
Islam, orang-orang kafir itu akan membunuh semua umat Islam termasuk para
tawanan muslim tadi.[94]
Untuk mengetahui kapan suatu maslahat itu dianggap valid (mu'tabarah) dan bisa dijadikan landasan suatu hukum, ada lima
syarat atau batasan yang bisa dijadikan titik tolak. Kelima syarat tersebut
ialah:
1. Maslahat
tidak bertentangan dengan maqasid syariah.
2. Maslahat
tidak bertentangan dengan nash Al-Quran.
3. Maslahah
tidak bertentangan hadits Nabi.
4. Maslahat
tidak bertentangan dengan qiyas (analogi).
5. Maslahat
tidak bertentangan dengan maslahat lainnya yang lebih penting atau maslahat
yang sejajar dengannya.
Kelima syarat
ini merupakan batasan atau standar yang digunakan untuk membedakan antara maslahah mu'tabarah (yang dapat
dijadikan dasar hukum) dan maslahah mulghah (yang tidak dapat dijadikan dasar
hukum).(7 Seorang mujtahid harus benar-benar menguasai dan mendalami
batasan-batasan di atas. Dan di sinilah tingkat kejeniusan seorang mujtahid
diuji. Peta penguasaannya terhadap nash dapat diukur dari sejauh mana ia bisa
menggunakan batasan-batasan itu dalam beristinbath sebagaimana mestinya.
Kesimpulan para ahli ushul fiqh yang mengatakan bahwa setiap
hukum pasti akan berujung pada suatu maslahat.[95]
Hukum memang tidak pernah lepas dari maslahat, tetapi maslahat tidaklah
merupakan dasar hukum yang berdiri sendiri. Kedudukan maslahat tidak seperti
kedudukan Al-Qur’an, Sunnah Nabawiyah, ijma’ dan qiyas sebagai dalil mustaqil
(berdiri sendiri). Mengapa? Karena maslahat pada dasarnya hanyalah merupakan
makna umum yang secara implisit berada dibalik hukum-hukum juz’iy (parsial). Sementara hukum-hukum juz’iy itu sendiri tidak
akan ada tanpa melalui proses istinbath.
Sedangkan yang
dimaksud dengan istinbath ialah proses pengambilan hukum dari dalil-dalil
syar'i. Maka, secara simpel bisa dikatakan bahwa maslahat merupakan ekspresi
dari hukum dan hukum merupakan ekspresi dari nash (dalil syara'). Karenanya,
wujud dan keberadaan maslahat sangat tergantung pada dalil-dalil syara'. Untuk
itu maslahat tidak bisa menjadi dasar hukum yang berdiri sendiri sebagaimana
halnya dalil syara lainnya. Lebih dari itu, keberadaan maslahat dalam
hukum-hukum syari'at itu ditemukan lewat istiqra' terhadap semua hukum far'iyah. Dari istiqra' tersebut, para ulama mendapatkan suatu kesimpulan bahwa
semua hukum syariat pasti akan kembali kepada satu tujuan yaitu menjaga
kemaslahatan umat manusia di dunia dan akherat.
b. Kaidah Fiqih dalam Realitas Kontemporer
Penerapan teori maslahat at-Tufi dalam realitas kontemporer adalah hadits mengenai dilarangnya wanita untuk menjadi pemimpin negara (Lan
yufliha wallau Amrahum Imroatan). Mengenai hadits
Abu Bakrah di atas, dari segi metodologi kritik hadis, ia adalah sahih. Pertanyaan yang harus dijawab
ialah bagaimana kita harus memahami hadits.
Di sini ditawarkan satu pendapat bahwa hadis-hadis dapat dikategorikan sebagai
termasuk umurud dun-ya dan keuniversalannya
tidak didukung oleh kenyataan harus ditafsirkan menurut semangatnya dan dalam
konteks sosio-historisnya. Kalau tidak ia akan menjadi kering, memosil dan
tidak bermakna. Untuk itu jika preseden-preseden historis terutama dari
kebijaksanaan-kebijaksanaan Umar seperti mengenai masalah kharaj di mana ia mengubah praktek Rasulullah yang memberikan
tanah-tanah kepada para prajurit yang mendapatkannya yang kemudian oleh Umar
praktek itu dirubah di mana tanah-tanah tidak ia berikan kepada prajurit. Umar
tidak memahami hadis-hadis Rasulullah dalam arti harfiyahnya melainkan dalam
semangatnya. Dengan kalimat yang lebih teknis, hadis-hadis itu harus dipahami
menurut illatnya, sekalipun illat-illat itu harus dicari melalui ijtihad
(artinya tidak dinaskan).
Hadis-hadis
semacam ini cukup banyak terutama dalam masalah kemasyarakatan dan politik
(mu'amalah), seperti hadis al-Aimmah min Quraisy yang oleh Ibn Khaldun
dipahami melalui teori sejarahnya yang terkenal itu, yaitu teori asabiyah.
Secara singkat menurut Ibn Khaldun Nabi menyerahkan imamah kepada kaum Quraisy
karena pada waktu itu hanya merekalah yang memiliki asabiyah yang diperlukan
bagi kelangsungan sebuah tata politik. Teori Ibn Khaldun ini dapat diperluas
lagi dengan menyatakan : karena orang-orang Quraisylah yang memiliki pengalaman
dan pengetahuan tentang masalah-masalah politik dan ekonomi waktu itu wajarlah
Rasul menyerahkan imamah kepada mereka.
Hadis Abu
Bakrah di atas pun kiranya dapat ditafsirkan dengan cara yang sama. Pada zaman
Rasulullah wanita tidak begitu beruntung, bahkan anak wanita yang lahir dikubur
hidup-hidup. Rasulullah sendiri berjuang untuk membebaskan kaum wanita. Walapun
beliau telah banyak berhasil, suatu struktur sosial yang sudah begitu kokoh dan
melembaga tidak dapat dirubah total seratus persen dalam waktu singkat, seperti
lembaga perbudakan misalnya. Bahkan sampai beberapa abad kemudian posisi kaum
wanita belum begitu menguntungkan. Mereka dikurung di rumah dengan sangat
ketat. Apabila seorang lelaki hendak meninggalkannya, ia mengutus seorang
wanita pemantau untuk melihat dan menyelidiki kelayakannya, sedangkan si lelaki
itu tidak akan pernah dapat melihatnya sebelum akad nikah. Wanita-wanita itu
hanya dapat dipandang oleh mata keluarga mereka. Dari segi pendidikan mereka
juga kurang beruntung.
Kaum
lelaki malah lebih tertarik untuk mendidik dan mengajar budak karena faktor
komersial, sebab budak yang terampil terutama pandai tulis baca akan mahal
harganya. Hanya kalangan amat terbatas saja yang mendidik wanita. Pendek kata
wanita tidak keluar dari tembok-tembok rumah suami atau orang tuanya. Artinya
mereka tidak tahu menahu mengenai urusan masyarakat. Jadi dengan demikian
wajarlah Rasulullah menyatakan bahwa suatu kaum yang menyerahkan urusannya
kepada orang yang tidak banyak memahami soal-soal kemasyarakatan akan mengalami
kegagalan.
Akan tetapi
sekarang situasi telah jauh berubah dan wanita telah banyak yang pandai dan
terlibat secara inten dalam berbagai lapangan kehidupan. Jadi mereka sudah tahu
seluk beluk masalah. Karena menurut teori hukum Islam, hukum itu berlaku
menurut ada-tidaknya illatnya, maka dapatlah dikatakan bahwa tidak melanggar
hukum Islam, wanita yang karena keca-kapannya menjadi kepala pemerintahan, karena
illat mengapa Rasulullah dulu melarang telah hilang. Dengan mempergunakan
pandangan at-Tufi nampak hadis yang tidak memperbolehkan wanita menjadi
pemimpin negara tersebut bersifat kondisional, artinya larangan Nabi dalam
hadis tersebut dilatarbelakangi olah adat Arab dan sekitarnya, sehingga bila
adat berubah, illat larangan hilang; syarat-syarat yang ditunjuk dalam nas
terpenuhi dan situasi tertentu memungkinkan, larangan tersebut dapat berubah
menjadi sesuatu yang dibolehkan.
Syari'at
seperti tersurat dalam ayat Al qur’an yang menyatakan bagian masing-masin
adalah 2:1 antara pewaris pria dan wanita, secara teoritis bisa saja diubah,
dimodifikasi. Dalam kenyataan, hal itu sudah banyak terjadi dan diakui sah
bahkan oleh kalangan ortodoksi sendiri, melalui terobosan wasiyat dalam
pola perbandingan mana saja yang dikehendaki. Boleh jadi, sesuai dengan adanya
ketentuan yang lebih tegas bahwa pola perbandingan warisan secara positif
ditentukan 2:2 sesuai dengan, kenyataan masyarakat di mana kontribusi pihak
wanita (istri) dalam perekonomian rumah tangga kini acap kali sama besar dengan
kontribusi pria (suami) sendiri. Jika itu yang dituntut, maka
perbandingan positif 2:2 saja, tanpa memberikan peluang untuk pola perbandingan
lain seperti dalam terobosan wasiyat, akan jauh lebih sulit dan kaku
untuk meraih keadilan. Sebab, pada kasus-kasus tertentu, misalnya pihak pewaris
pria adalah orang kaya raya sedang pewaris wanitanya masih sangat sengsara,
perbandingan yang adil pasti bukan sekedar 2:2 tetapi bahkan 2:0 untuk pewaris
wanita.
Sementara
itu, ayat tentang pembagian waris yang dipersoalkan itu dipahami menurut
semangat utamanya ketentuan usul al-fiqh
bahwa ayat-ayat mufasar dan muhkam (qat'i
ad-dalalah) harus dipegangi sebagai dasar konstitutif hukum syar'i ada juga
mendapat gugatan. Misalnya Kassim Ahmad mengatakan bahwa justru ayat-ayat
mufassar yang terperinci itu hanya contoh penerapan sezaman yang boleh saja
berubah. Yang menjadi dasar pokok adalah ayat-ayat mujmal. Misalnya dalam kasus
waris, ayat yang menyatakan bahwa wanita dan lelaki mendapat bagian dari
peninggalan orang tua dan kerabat mereka (Q.S. 4:7) adalah prinsip umum. Sedang
ayat bahwa bagian wanita separoh lelaki (Q.S.4:11-12) adalah contoh penerapan
pada waktu itu terhadap prinsip umum itu. Jadi Kassim Ahmad ingin membalikkan
kaidah usul sehingga ayat mufassar tidak qath'i
dan
yang qat'i adalah ayat mujmal.
Di samping itu
ada juga yang memasukkan hadis itu ke dalam kaidah fiqh.Ruang lingkup kaidah
ini sangat luas, mencakup sebagian besar dari masalah-masalah fiqh, bahkan
merupakan pokok dalam syari'at Islam, seorang yang akan meng-istinbat-kan
suatu hukum harus berpegang pada kaidah ini, karena ia merupakan dasar bagi
menghilangkan kerusakan dan menarik maslahat. Banyak hukum yamg di-istinbat-kan
dari kaidah ini. [96]
Berdasarkan
contoh-contoh hukum yang ditetapkan berdasarkan kaidah la darara wa la
dirara, menunjukkan bahwa hukum mu'amalat Islam sangat berusaha menjauhkan
kemudaratan manusia baik bersifat perorangan maupun kolektif, guna mewujudkan
maslahat. Keterangan ini menunjukkan pula bahwa la dharara wa la dhirara, baik
kedudukannya sebagai hadis maupun kaidah fiqh telah diamalkan para ulama guna
mewujudkan maslahat, bahkan merupakan pegangan pokok bagi setiap orang yang
akan meng-istinbat-kan suatu hukum dalam bidang mu'amalat. Bahkan ada
pula yang berpendapat bahwa hadis tersebut harus diletakkan pada akhir setiap
nas, sebagai pengecualian, sehingga nas itu berarti: "jangan kamu kerjakan
ini, melainkan jika maslahat nyata menghendaki. Jangan kamu berbuat demikian,
melainkan bila maslahat menghendaki". Pendirian
at-Tufi, bahwa apabila maslahat yang bersumber dari hadis yang telah disebutkan
dan didukung pula oleh nas-nas syara' lainnya, jika bertentangan dengan
dalil-dalil syara'- terutama nas dan tidak dapat dikompromikan - hendaklah
maslahat lebih diutamakan, dengan cara takhsis atau tabyin nas
dan ijma' atau dalil-dalil syara' lainnya, bukan dengan cara mempermainkan
dalil-dalil itu. Pendirian at-Tufi ini, pada
hakekatnya mendahulukan suatu hadis yang didukung oleh nas-nas syara' lainnya
atas dalil-dalil syara' lainnya. Atau meninggalkan dalil syara' karena ada
dalil syara' yang lebih kuat. Dapat pula dikatakan, bahwa hadis di atas yang
didukung oleh nas-nas syara' lainnya, dapat dijadikan sebagai dalil untuk
pengecualian terhadap dalil-dalil syara' lainnya dalam rangka mewujudkan dan
memelihara maslahat. Teori meninggalkan suatu dalil karena ada dalil yang lebih
kuat atau mengecualikan dalil yang bersifat umum dengan dalil yang bersifat
khusus, oleh para ulama usul al-fiqh disebut istihsan.
Metode istihsan ini telah dipraktekkan oleh
para ulama usul, terutama yang paling terkenal banyak mempergunakannya adalah
mazhab Hanafi. Istihsan ini dipergunakan dalam penetapan hukum dalam bidang
perdagangan, peradilan atau urusan kemasyarakatan, politik dan lapangan hukum
yang serupa. Oleh para ulama' usul, hukum-hukum tersebut disebut hukum
mu'amalah. Demikian pula halnya at-Tufi dengan teorinya itu, hanya tertuju pada
lapangan mu'amalah dan yang sejenisnya.
Tujuan segala
hukum syara' baik yang bersumber dari nas atau qiyas maupun lainnya, ialah
memelihara maslahat manusia. Apabila maslahat itu bertentangan dengan nas atau
dengan qiyas, berartilah pertentangan antara dua maslahat yang kedua-duanya
dii'tibarkan syara'. Kita telah mengetahui bahwa menurut kebiasaan syara'
mendahulukan yang lebih kuat maslahatnya ketika berlawanan..[97]
Sebagaimana
diketahui menurut at-Tufi bahwa dalam lapangan ibadah merupakan hak mutlak
Allah untuk menentukan segala sesuatunya dan manusia hanya melaksanakan ibadah
itu sesuai dengan petunjuk yang telah ditetapkan. Dengan demikian dalil dalam
bidang ibadah tidak dapat atau tidak perlu diubah. Berbeda dengan dalil dalam
lapangan ibadah, dalil-dalil syara' dalam bidang mu'amalat dan yang sejenisnya,
dalam pandangan at-Tufi nilai efektivitasnya sebagai sarana dapat diukur oleh
akal pikiran manusia.
Jika dalam saat
tertentu (waktu) dan kondisi tertentu (ruang), apabila suatu sarana tidak lagi
efektif untuk mencapai tujuan, perlu diadakan perubahan, sehingga tujuan semula
tetap tercapai, yaitu maslahat. Pandangan demikian, merujuk pada kondisi sosial
dan pertimbangan perubahan sosial (social change) sebagai sarana untuk mencapai
maslahat yang merupakan tujuan Allah dalam menetapkan hukum-hukum-Nya. At-Tufi
yang membedakan syari'at menjadi ibadat, muqaddarat dan mu'amalat, memberikan
jalan keluar bahwa dalam masalah mu'amalat, penentuan boleh tidaknya sesuatu
ditekankan pada maslahat umum dengan mempertimbangkan unsur-unsur
darurat, illat-illat, adat, syarat karena situasi tertentu.
Pendapat yang
mengatakan bahwa hukum mu'amalah Islam dalam kehidupan masyarakat modern yang
dijadikan ukuran adalah substantif makna yang terkandung dalam suatu hukum.
Hukum mu'amalah Islam dapat diterapkan apabila suatu masalah itu sama atau
masih sama antara yang dimaksudkan oleh dalil dan masalah baru di mana hukum
hendak diterapkan. Metode inilah yang dikenal dengan konsep tahqiq al-manat dalam
usul al-fiqh, suatu metode penerapan Al-qur’an dengan permasalahan yang sedang dihadapi. Ia sangat erat
hubungannya dengan ijtihad tatbiqi. [98] Ijtihad tatbiqi,
dapat berlaku pada setiap hukum, baik yang dinilai qat'i, terinci maupun yang
bersifat zanni. Ia merupakan praktek dari praktisi hukum dalam menerapkan hukum
yang siap pakai, baik secara langsung dari wahyu maupun yang melalui ijtihad
mujtahid. Dalam penerapannya seorang pelaksana hukum dituntut kejeliannya
apakah makna hukum yang siap pakai itu sama dengan masalah yang sedang
dihadapi. Apabila dinilai tidak sama, maka hukum tidak dapat dilaksanakan.
Dengan demikian yang menjadi obyek kajian adalah perbuatan manusia dengan
segala bentuk obyek perbuatan itu, juga manusia itu sendiri sebagai pelaku
perbuatan dengan segala kondisi dan perubahannya.
Bertitik tolak
dari pernyataan bahwa tujuan hukum Islam adalah untuk maslahat hidup manusia
menimbulkan persoalan tentang hubungan nas Alquran atau Sunnah Rasul dengan
maslahat merupakan salah satu permasalahan yang pelik dan penting. Ijtihad atas
dasar maslahat sebagai tujuan hukum Islam sering memungkinkan tidak
diterapkannya ketentuan nas menurut apa adanya, tetapi diterapkan dengan cara
lain atau bahkan tidak diterapkan sama sekali.
Untuk
pengembangan maslahat dalam legislasi Indonesia kontemporer erat kaitannya
dengan pengembangan budaya hukum Islam. Dalam pengembangan budaya hukum Islam
di Indonesia kaum muslimin dihadapkan pada kemungkinan, yaitu hukum positif
Islam yang terbatas pada mempermasalahkan hukum yang berlaku bagi kaum
muslimin, dan nilai-nilai hukum Islam, yang akan berlaku bagi seluruh warga
negara, bahkan mungkin seluruh penduduk (termasuk yang bukan warga negara).
Kedua alternatif tersebut akan mempengaruhi pembentukan hukum nasional pada masa
yang akan datang.
Berpangkal tolak
dari kerangka pemikiran bahwa hukum positif Islam pada masa mendatang adalah
hukum yang bersumber dari nilai-nilai agama Islam dan dihubungkan pula dengan
teori peringkatan hukum, maslahat dalam hukum Islam dapat diterjemahkan sebagai
maslahat rakyat dalam segala aspeknya, mencakup bidang yang begitu luas,
seperti ekonomi, hukum, politik dan sebagainya (mu'amalah). Dan maslahat
menempati posisi sebagai nilai-nilai Islam (norma hukum) yang abstrak atau
cita-cita hukum. Oleh karena itu, dibutuhkan formulasi asas-asas, peraturan
(perundang-undangan) atau bentuk legislasi lainnya sebagai norma antara yang
merupakan kreativitas ijtihad yang disesuaikan dengan situasi, kondisi, budaya
dan kurun waktu. Semua hasil penerapan dan penegakan norma antara tersebut
menjadi hukum positif yang merupakan norma konkret (living law) masyarakat.
Apabila
formulasi dan aplikasi suatu peraturan perundang-undangan dalam berbagai bidang
seperti ekonomi, politik, hukum (norma antara) mampu mewujudkan maslahat rakyat
banyak dalam arti sebenarnya dan dapat pula merekayasa tercapainya cita-cita
kehidupan rakyat banyak, berarti aturan-aturan tersebut masih mungkin dan dapat
dipertahankan. Akan tetapi, jika sebaliknya, justru formulasi dan aplikasi berbagai
peraturan perundang-undangan dalam berbagai lapangan kehidupan rakyat banyak
itu tidak mampu lagi menampung aspirasi kerakyatan dikarenakan adanya faktor
perubahan situasi dan kondisi, perlu diganti dengan aturan-aturan yang baru
yang betul-betul aspiratif. Dengan demikian, maslahat rakyat merupakan
cita-cita atau tujuan yang hendak diwujudkan, sedangkan peraturan-peraturan
undang-undang merupakan sarana untuk mewujudkan cita-cita kerakyatan. Oleh
karena itu efektivitas suatu sarana dapat dipantau oleh masyarakat. Dalam
kaitan ini, yang terpenting adalah bagaimana nilai-nilai Islam dapat terpatri dalam kehidupan bernegara, masyarakat, bangsa,
keluarga dan individu, kemudian mengakkan keadilan sosial dan menciptakan suatu
masyarakat egalitarian, jauh dari eksploitasi manusia atas manusia lain maupun
eksploitasi golongan atas golongan lain. Dengan kata lain, hukum Islam tidak
dalam norma, melainkan dalam substansinya.
Maslahat Menjadi
syarat utama dalam pengambilan setiap kebijakan yang diambil oleh para penguasa
atau pemimpin. Maslahat yang bisa dikategorikan sebagai landasan dalam
pengambilan hukum mempunyai beberapa syarat yang harus terpenuhi, diantara
syarat-syarat tersebu dikemukakan oleh MUI dan jumhur ulama’ sendiri. Diantara
konsep maslahat yang banyak dipakai adalah konsep yang digagas dari Najmuddin At tufi. Dalam pemikirannya, At-Tufi berpendirian
bahwa maslahat adalah tujuan penetapan hukum Islam dalam lapangan mu'amalah,
apabila penerapan nas atau ijma' sesuai dengan bunyi tekstualnya bertentangan
dengan maslahat dan tidak dapat dikompromikan, maslahat hendaklah lebih
diutamakan daripada dalil-dalil syara'.
Maslahat
merupakan tujuan sedangkan dalil-dalil syara' merupakan sarana untuk mencapai
tujuan, karena itu tujuan hendaklah lebih diutamakan daripada sarana. Dalam
perspektif pembaruan (reaktualisasi) hukum Islam dalam bidang mu'amalah dewasa
ini, maslahat tokoh tersebut dapat dijadikan rujukan dengan cara mendasarkan
konsep maslahat tersebut sebagai substansi yang disarikan dari Alquran dan hadis
serta dapat dipertanggungjawabkan secara keagamaan. Konsep tersebut memberikan
jalan keluar bahwa dalam masalah mu'amalah umat Islam,seperti kehidupan sosial,
ekonomi, politik dan lain-lain, penentuan boleh tidaknya sesuatu ditekankan
pada maslahat umum dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi kehidupan
manusia sebagai praktisi hukum.
b.Analisis Saddu
al-dzari’ah
UU RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak sesungguhnya merupakan upaya melindungi anak Indonesia dari perlakuan yang
sewenang-wenang. Namun, eksistensinya seringkali dijadikan “alat” untuk
menjustifikasi kesalahan anak. Kondisi ini berdampak semakin sulitnya guru
melaksanakan tugas kependidikan untuk menegakkan kedisiplinan, terutama membina
kepribadian anak dengan akhlak yang terpuji. Bila dalam pendidikan dikenal pemberian penghargaan (reward) dan
hukuman (funishment), sebagai salah satu alat pendidikan, maka dengan adanya UU
Perlindungan Anak dan KPAI, seakan dunia pendidikan kehilangan salah satu alat
dalam melaksanakan proses pendidikan. Padahal, eksistensi reward dan funishment
sangat penting dalam pencapaian tujuan pendidikan.
Adanya KPAI dan UU
Perlindungan Anak secara yuridis melarang adanya tindakan kekerasan terhadap
peserta didik. Padahal, sebagai seorang pendidik, guru/dosen memiliki otoritas
akademik di dalam kelas untuk menegakkan disiplin agar tercapai tujuan
pembelajaran yang dilaksanakan. Di sisi lain, seringkali terlupakan adalah
alasan hukuman yang dilakukan guru. Untuk itu, perlu dilakukan uji materi (judicial review) terhadap UU
Perlindungan Anak, khususnya pasal 80, 81, dan 82. Sebab, belum tentu tindakan
guru murni kesalahannya, akan tetapi akibat kesalahan yang dilakukan peserta
didiknya.
Perlakuan terhadap
guru, sebagai tenaga pendidik, mereka
seringkali berada pada posisi yang dilematis, antara tuntutan profesi dan
perlakukan masyarakat. Mereka dituntut untuk mampu menghantarkan peserta didik
mencapai tujuan pendidikan. Namun tatkala mereka berupaya untuk menegakkan kedisplinan,
mereka dihadang oleh UU Perlindungan Anak dan KPAI. Jika mereka gagal
menegakkan kedisiplinan peserta didiknya dan gagal menghantarkan peserta didik
pada pencapaian tujuan pendidikan, kembali pendidik akan menjadi kambing hitam
dan tumbal atas kegagalan tersebut.
Tatkala guru ingin melakukan
hukuman terhadap muridnya dalam rangka menegakkan kedisiplinan, maka secara
sepontan orang tua dan masyarakat mengkategorikannya sebagai tindakan melanggar
HAM dan UU Perlindungan Anak. Mereka kemudian melaporkan tindakan guru tersebut
kepada polisi atau kepada KPAID. Dengan kekuatan tersebut, acapkali guru tidak
mendapatkan perlindungan terhadap profesinya. Akibat adanya KPAID dan UU
Perlindungan Anak, eksistensi guru berada pada posisi sangat pasif dan menjadi
sosok yang serba salah.[99]
Urgensi UU Guru dan Dosen, secara yuridis, UU
Perlindungan Guru dan Dosen telah termuat dalam UU No 14/2005. Hal ini terlihat
jelas pada Bab VII pasal 39 yang menyebutkan bahwa Pemerintah, masyarakat, organisasi
profesi, dan/atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru
dalam pelaksanaan tugas.Adapun maksud Perlindungan Profesi yang diamanatkan
dalam UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen adalah perlindungan terhadap
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang tidak sesuai dengan peraturan dan
perundang-undangan yang berlaku, pemberian imbalan yang tidak wajar, pembatasan
dalam menyampaikan pandangan, pelecehan terhadap profesi, dan
pembatasan/pelarangan lain yang dapat menghambat guru dalam melaksanakan
tugasnya. Sementara perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja meliputi
perlindungan terhadap risiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja,
kesehatan, dan/atau resiko lainnya.
Berangkat dari paparan
di atas, terlihat bahwa eksistensi UU No 14/2005 telah memuat perlindungan
terhadap guru atas profesinya. Namun, implementasi terhadap UU tersebut masih
belum terlaksana. UU tersebut lebih banyak disoroti sebagai kekuatan hukum atas
peningkatan kesejahteraan guru/dosen, sementara perlindungan terhadap profesi
guru/dosen seringkali lepas dari perhatian. Jalan Tengah.
Ahli hukum, tidak mungkin, menutup mata terhadap tindakan
oknum guru yang kurang mendidik dengan memberikan hukuman di luar nilai
pendidikan. Mereka meletakkan peserta didiknya sebagai penjahat yang harus
dihabisi, bukan sosok yang perlu dibimbing dan diperbaiki. Demikian pula sikap
orang tua/masyarakat yang mulai mengalami pergeseran dalam memandang profesi
guru. Mereka terlalu banyak menuntut guru agar dapat mengahntarkan peserta
didik sebagai masyarakat terdidik, namun tidak seiring dengan penghargaan dan
perlindungan yang diberikan.
Ada beberapa langkah yang
perlu diperhatikan guru dalam menghadapi murid yang bersalah, sebelum mereka
menetapkan hukuman, yaitu; Pertama, perlu memberikan laporan kepada orang tua
murid perihal prilaku anak mereka dengan cara pemanggilan secara langsung.
Tahapan ini dilakukan sebanyak 2 kali dengan ikut melibatkan guru BK. Kedua,
bila selama 2 kali pemanggilan tidak menunjukan perubahan dan kerjasama yang
baik, seorang guru bisa memberikan hukuman dengan syarat : (1). Hukuman tidak
pada tempat yang vital. (2) hukuman dilakukan dalam bentuk yang mendidik. (3)
hukuman dilaksanakan secara adil dan ikut mempertimbangkan aspek psikologis
peserta didik.[100]
Hukuman
fisik menurut kajian fiqih, merupakan saddu al-Dzari’ah. Karena memukul anak
yang tidak salat atau karena berulang kali melanggar aturan sekolah, merupakan
bagian dari upaya menolak dan mencegah kenakalan, keburukan(dar’al mafasid).Dalam perjalanan sejarah
Islam, para ulama mengembangkan berbagai teori, metode, dan prinsip hukum yang
sebelumnya tidak dirumuskan secara sistematis, baik dalam Alquran maupun
Sunnah. Upaya para ulama tersebut berkaitan erat dengan tuntutan realita sosial
yang semakin hari semakin kompleks. Berbagai persoalan baru bermunculan yang
sebelumnya tidak dibahas secara spesifik dalam Alquran dan Hadits Nabi.
Di antara
metode penetapan hukum yang dikembangkan para ulama adalah sadd al-dzari’ah dan fath al-dzari’ah. Metode sadd al-dzari’ahmerupakan upaya
preventif agar tidak terjadi sesuatu yang menimbulkan dampak negatif. Metode
hukum ini merupakan salah satu bentuk kekayaan khazanah intelektual Islam yang
–sepanjang pengetahuan penulis–tidak dimiliki oleh agama-agama lain. Selain
Islam, tidak ada agama yang memiliki sistem hukum yang didokumentasikan dengan
baik dalam berbagai karya yang sedemikian banyak. Tentang analisis kata
“memukul” dalam Islam, penulis temukan ada tiga macam:
1.Memukul
anak dengan cara yang benar
Menurut penulis, memukul anak, dengan cara yang benar,
merupakan bagian dari saddu al-zari’ah.Hukum
Islam tidak hanya mengatur tentang perilaku manusia yang sudah dewasa, tetapi
juga yang belum dewasa. Hal ini bukan berarti bahwa hukum Islam cenderung
mengekang kebebasan manusia. Tetapi karena memang salah satu tujuan hukum Islam
adalah untuk mewujudkan kemaslahatan dan menghindari kerusakan (mafsadah).
Jika
suatu perbuatan yang belum dilakukan diduga keras akan menimbulkan kerusakan (mafsadah), maka dilaranglah hal-hal
yang mengarahkan kepada perbuatan tersebut. Metode hukum inilah yang kemudian
dikenal dengan sadd al-dzari’ah.
Sebaliknya, jika suatu perbuatan diduga kuat akan menjadi sarana terjadinya
perbuatan lain yang baik, maka diperintahkanlah perbuatan yang menjadi sarana
tersebut. Hal inilah yang kemudian dikenal dengan istilah fath adz-dzariah.Adapaun pengertian saddu al-Dzari’ah:
1.
Secara Etimologis
Kata sadd al-dzari’ah(سد
الذريعة) merupakan bentuk
frase (idhafah) yang
terdiri dari dua kata, yaitu sadd (سَدُّ)dan al-dzari’ah (الذَّرِيْعَة).
Secara etimologis, kata as-sadd
(السَّدُّ)merupakan
kata benda abstrak (mashdar)
dari سَدَّ يَسُدُّ سَدًّا. Kata as-saddtersebut berarti menutup sesuatu yang cacat
atau rusak dan menimbun lobang. Sedangkan al-dzari’ah (الذَّرِيْعَة) merupakan kata benda (isim) bentuk tunggal yang berarti
jalan, sarana (wasilah) dan
sebab terjadinya sesuatu. Bentuk jamak dari al-dzari’ah adalah al-dzara’i
(الذَّرَائِع).
Karena itulah, dalam beberapa kitab usul fikih, seperti Tanqih al-Fushul fi Ulum al-Ushul karya al-Qarafi, istilah yang
digunakan adalah sadd al-dzara’i.
Pada awalnya, kata al-adzari’ah dipergunakan untuk
unta yang dipergunakan orang Arab dalam berburu. Si unta dilepaskan oleh sang
pemburu agar bisa mendekati binatang liar yang sedang diburu. Sang pemburu
berlindung di samping unta agar tak terlihat oleh binatang yang diburu. Ketika
unta sudah dekat dengan binatang yang diburu, sang pemburu pun melepaskan
panahnya. Karena itulah, menurut Ibn al-A’rabi, kata al-dzari’ah
kemudian digunakan sebagai metafora terhadap segala sesuatu yang mendekatkan
kepada sesuatu yang lain.
2.
Secara Terminologi
Menurut
al-Qarafi, sadd al-dzari’ahadalah memotong jalan kerusakan (mafsadah) sebagai cara untuk
menghindari kerusakan tersebut. Meski suatu perbuatan bebas dari unsur
kerusakan (mafsadah), namun
jika perbuatan itu merupakan jalan atau sarana terjadi suatu kerusakan (mafsadah), maka kita harus mencegah
perbuatan tersebut. Dengan ungkapan yang senada, menurut asy-Syaukani, adz-dzari’ah adalah masalah atau perkara yang
pada lahirnya dibolehkan namun akan mengantarkan kepada perbuatan yang dilarang
(al-mahzhur). Dalam
karyanya al-Muwafat, asy-Syatibi
menyatakan bahwa sadd al-dzari’ah adalah menolak sesuatu yang boleh (jaiz) agar tidak mengantarkan kepada
sesuatu yang dilarang (mamnu’).
Menurut Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, sadd adz-dzari’ah adalah
meniadakan atau menutup jalan yang menuju kepada perbuatan yang terlarang.
Sedangkan menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, jalan atau perantara tersebut
bisa berbentuk sesuatu yang dilarang maupun yang dibolehkan.
Dari
beberapa contoh pengertian di atas, jelaslah
bahwa sebagian ulama seperti asy-Syathibi dan asy-Syaukani mempersempit al-dzari’ah sebagai
sesuatu yang awalnya diperbolehkan. Namun al-Qarafi dan Mukhtar Yahya
menyebutkan al-dzari’ah secara
umum dan tidak mempersempitnyahanya sebagai sesuatu yang diperbolehkan. Di
samping itu, Ibnu al-Qayyim juga mengungkapkan adanya adz-dzari’ah yang
pada awalnya memang dilarang. Klasifikasi al-dzariah
oleh Ibnu al-Qayyim tersebut akan dibahas lebih lanjut di halaman
berikutnya.
Dari
berbagai pandangan di atas, bisa dipahami bahwa sadd al-dzari’ahadalah
menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya
diperbolehkan maupun dilarang untuk mencegah terjadinya perbuatan lain yang
dilarang. Kedudukan saddu
al-zari’ah, sebagaimana halnya dengan qiyas, dilihat dari aspek
aplikasinya, sadd al-dzari’ahmerupakan salah satu metode pengambilan
keputusan hukum (istinbath al-hukm) dalam
Islam. Namun dilihat dari di sisi produk hukumnya, sadd al-dzari’ah adalah salah satu sumber hukum.
Tidak semua
ulama sepakat dengan sadd al-dzariah sebagai
metode dalam menetapkan hukum. Secara umum berbagai pandangan ulama tersebut
bisa diklasifikasikan dalam tiga kelompok, yaitu 1) yang menerima sepenuhnya;
2) yang tidak menerima sepenuhnya; 3) yang menolak sepenuhnya.
Kelompok pertama, yang menerima sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan
hukum, adalah mazhab Maliki dan mazhab Hambali. Para ulama di kalangan Mazhab
Maliki bahkan mengembangkan metode ini dalam berbagai pembahasan fikih dan
ushul fikih mereka sehingga bisa diterapkan lebih luas. Imam al-Qarafi (w. 684
H), misalnya, mengembangkan metode ini dalam karyanya Anwar al-Buruq fi
Anwa’al-Furuq. Begitu pula
Imam asy-Syathibi (w. 790 H) yang menguraikan tentang metode ini dalam
kitabnya al-Muwafaqat.
Kelompok kedua, yang tidak menerima sepenuhnya sebagai metode dalam
menetapkan hukum, adalah mazhab Hanafi dan mazhab Syafi’i. Dengan kata lain,
kelompok ini menolak sadd al-dzari’ah sebagai metode istinbath
pada kasus tertentu, namun menggunakannya pada kasus-kasus yang lain.
Contoh kasus Imam Syafii menggunakan sadd
al-dzari’ah, adalah ketika beliau melarang seseorang mencegah
mengalirnya air ke perkebunan atau sawah. Hal ini menurut beliau akan menjadi
sarana (dzari’ah) kepada
tindakan mencegah memperoleh sesuatu yang dihalalkan oleh Allah dan juga dzariah kepada tindakan mengharamkan
sesuatu yang dihalalkan oleh Allah. Padahal air adalah rahmat dari Allah yang
boleh diakses oleh siapapun.
Contoh kasus penggunaan sadd
al-dzari’ah oleh mazhab Hanafi adalah tentang wanita yang masih dalam iddah karena ditinggal mati suami. Si
wanita dilarang untuk berhias, menggunakan wewangian, celak mata, pacar, dan
pakaian yang mencolok. Dengan berhias, wanita itu akan menarik lelaki. Padahal
ia dalam keadaan tidak boleh dinikahi. Karena itulah, pelarangan itu merupakan sadd
al-dzari’ahagar tidak terjadi perbuatan yang diharamkan, yaitu pernikahan
perempuan dalam keadaan iddah.
Sedangkan kasus paling menonjol yang
menunjukkan penolakan kelompok ini terhadap metode sadd al-dzari’ah adalah transaksi-transaksi jual beli berjangka
atau kredit (buyu’ al-ajal). Dalam
kasus jual beli transaksi berjangka, misalnya sebuah showroom menjual
mobil secara kredit selama 3 tahun dengan harga Rp. 150 juta kepada seorang
konsumen. Setelah selesai transaksi, keesokan harinya sang konsumen membutuhkan
uang karena keperluan penting dan mendesak. Ia pun menjual beli mobil itu
kepada pihak showroom. Oleh pihak showroom, mobil itu dibeli secara tunai dengan harga Rp. 100 juta.
Transaksi seperti inilah yang oleh
mazhab Maliki dan Hambali dilarang karena terdapat unsur riba yang sangat
kentara. Pada kenyataannya, transaksi jual beli tersebut adalah penjualan mobil
secara kredit seharga Rp. 150 juta dan secara tunai seharga Rp. 100 juta.
Barang yang diperjualbelikan seolah sia-sia dan tidak bermakna apa-apa.
Sementara bagi mazhab Hanafi, transaksi semacam itu juga dilarang. Namun mereka
menolak menggunakan sadd al-dzari’ah dalam
pelarangan tersebut.Pelarangannya berdasarkan alasan bahwa harga barang yang
dijual tersebut belum jelas, karena terdapat dua harga. Di samping itu, si
konsumen yang menjual kembali mobil sebenarnya juga belum sepenuhnya memiliki
barang tersebut karena masih dalam masa kredit. Dengan demikian, transaksi kedua
yang dilakukan si konsumen dengan pihak showroom
adalah transaksi yang tidak sah (fasid).
Perbedaan dua harga itu juga mengandung unsur riba.
Bagi mazhab Syafii, transaksi jual
beli kredit seperti adalah sah secara formal. Adapun aspek batin dari niat buruk
si penjual untuk melakukan riba, misalnya, adalah urusan dosanya sendiri dengan
Allah. Yang menjadi patokan adalah bagaimana lafaz dalam akad, bukan niat dan
maksud si penjual yang tidak tampak. Tidak boleh melarang sesuatu akad hanya
berdasarkan dugaan terhadap maksud tertentu yang belum jelas terbukti.
Kelompok ketiga, yang menolak sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan
hukum, adalah mazhab Zahiri. Hal ini sesuai dengan prinsip mereka yang hanya
menetapkan hukum berdasarkan makna tekstual (zahir al-lafzh). Sementara sadd al-dzariahadalah
hasil penalaran terhadap sesuatu perbuatan yang masih dalam tingkatan dugaan,
meskipun sudah sampai tingkatan dugaan yang kuat. Dengan demikian, bagi mereka
konsep sadd al-dzariah adalah
semata-mata produk akal dan tidak berdasarkan pada nash secara langsung.[101] Konsep
sadd al-dzari’ah tidak bisa berfungsi untuk menetapkan boleh atau tidak
boleh sesuatu. Pelarangan atau pembolehan hanya bisa ditetapkan berdasarkan nash dan ijma’ (qath’i). Sesuatu yang telah
jelas diharamkan oleh nash tidak
bisa berubah menjadi dihalalkan kecuali dengan nash lain yang jelas atau ijma’. Hukum harus ditetapkan
berdasarkan keyakinan yang kuat dari nash yang jelas atau ijma’. Hukum tidak
bisa didasarkan oleh dugaan semata.
Contoh kasus penolakan kalangan al-Zhahiri dalam penggunaan sadd
al-dzariahadalah ketika Ibnu Hazm begitu keras menentang ulama Hanafi dan
Maliki yang mengharamkan perkawinan bagi lelaki yang sedang dalam keadaan sakit
keras hingga dikhawatirkan meninggal. Bagi kalangan Hanafi dan Maliki,
perkawinan itu akan bisa menjadi jalan (dzari’ah)
bagi wanita untuk sekedar mendapatkan warisan dan menghalangi ahli waris
lain yang lebih berhak. Namun bagi Ibnu Hazm, pelarangan menikah itu
jelas-jelas mengharamkan sesuatu yang jelas-jelas halal. Betapapun menikah dan
mendapatkan warisan karena hubungan perkawinan adalah sesuatu yang halal.
Meskipun terdapat ketidaksepakatan
ulama dalam penggunaan sadd al-dzari’ah, namun secara umum mereka menggunakannya dalam banyak kasus. Sebagaimana
yang diungkapkan oleh Wahbah az-Zuhaili, kontroversi di kalangan empat mazhab:
Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali, hanya berpusat pada satu kasus, yaitu
jual beli kredit. Selain kasus itu, para ulama empat mazhab banyak menggunakan sadd
adz-dzari’ah dalam
menetapkan berbagai hukum tertentu.
Adapun
tentang mazhab Zhahiri yang menolak mentah-mentah sadd adz-dzari’ah, hal itu karena mereka memang sangat berpegang
teguh pada prinsip berpegang kepada Kitabullah dan Sunah. Dengan kata lain,
semua perbuatan harus diputuskan berdasarkan zhahir nash dan zhahir perbuatan. Namun tentu terlalu
berpegang secara tekstual kepada tekstual nash juga bisa berbahaya. Hal itu karena sikap demikian justru
bisa mengabaikan tujuan syariah untuk menghindari mafsadah dan meraih mashalahah.
Jika memang mafsadah jelas-jelas
bisa terjadi, apalagi jika telah melewati penelitian ilmiah yang akurat, maka sadd
al-dzari’ah adalah sebuah metode hukum yang perlu dilakukan.
Dengan
sadd al-dzari’ah, timbul
kesan upaya mengharamkan sesuatu yang jelas-jelas dihalalkan seperti yang
dituding oleh mazhab al-Zahiri. Namun agar tidak disalahpahami demikian, harus
dipahami pula bahwa pengharaman dalam sadd
adz-dzariah adalah karena faktor eksternal (tahrim li ghairih). Secara substansial, perbuatan
tersebut tidaklah diharamkan, namun perbuatan tersebut tetap dihalalkan. Hanya karena faktor eksternal (li ghairih) tertentu, perbuatan itu menjadi haram. Jika
faktor eksternal yang merupakan dampak negatif tersebut sudah tidak ada, tentu
perbuatan tersebut kembali kepada hukum asal, yaitu halal.[102]
Sadd
al-dzariah menghasilkan pandangan ulama yang
melarang wanita untuk berkiprah lebih luas di masyarakat, seperti larangan
wanita ke luar rumah demi mencegah bercampur dengan lelaki yang bukan
mahram.Sinyalemen Elliwarti Maliki itu mungkin memang ada benarnya. Tapi
sebenarnya yang perlu dipersalahkan bukanlah sadd al-dzari’ah-nya, namun orang yang menerapkannya.
Suatu putusan hukum yang berdasarkan sadd al-dzariahtentu masih bisa
dicek kembali bagaimana thuruq
al-istinbath-nya. Jika memang dampak negatif yang dikhawatirkan terjadi
tersebut, ternyata tidak terbukti, maka tentu saja keputusan tersebut bisa
dikoreksi kembali. Sedangkan tudingan bahwa sadd adz-dzari’ah menimbulkan sikap defensif, tentu perlu
pembuktian empirik lebih lanjut.
Adapun dalil yang menjadi dasar hukum saddu al-Zari’ah:
1.
Alquran
Janganlah kamu memaki
sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, Karena mereka nanti akan
memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan
setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah tempat kembali,
lalu dia memberitakan
kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.[103] Pada
ayat di atas, mencaci maki tuhan atau sembahan agama lain adalah al-dzari’ah
yang akan menimbulkan adanya
sesuatu mafsadah yang dilarang,
yaitu mencaci maki Tuhan. Sesuai dengan teori psikologi mechanism defense, orang yang Tuhannya dicaci kemungkinan
akan membalas mencaci Tuhan yang diyakini oleh orang sebelumnya mencaci. Karena
itulah, sebelum balasan caci maki itu terjadi, maka larangan mencaci Tuhan lain merupakan tindakan
preventif (sadd adz-dzari’ah).
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): “Raa’ina”,
tetapi katakanlah: “Unzhurna”, dan “Dengarlah”. Dan bagi orang-orang yang kafir
siksaan yang pedih.[104] Pada surah al-Baqarah ayat 104 di atas, bisa dipahami adanya
suatu bentuk pelarangan terhadap sesuatu perbuatan karena adanya kekhawatiran
terhadap dampak negatif yang akan terjadi. Kata raa ‘ina berarti:
“Sudilah kiranya kamu memperhatikan kami.” Saat para sahabat menggunakan kata
ini terhadap Rasulullah, orang Yahudi pun memakai kata ini dengan nada mengejek,[105] dan menghina Rasulullah SAW. Mereka menggunakannya dengan
maksud kata raa’ina, sebagai bentuk isim fail dari masdar kata ru’unah yang
berarti bodoh atau tolol. Karena itulah, Tuhan pun menyuruh para sahabat Nabi
SAW mengganti kata raa’ina yang
biasa mereka pergunakan dengan unzhurna yang juga berarti sama dengan raa’ina. Dari latar belakang dan
pemahaman demikian, ayat ini menurut al-Qurthubi dijadikan dasar dari sadd
al-dzari’ah.
2.
Sunah
Ini
dijadikan oleh Imam Syathibi sebagai salah satu dasar hukum bagi konsep sadd
al-dzari’ah. Berdasarkan
hadits tersebut, menurut tokoh ahli fikih danHadis Spanyol itu, dugaan (zhann) bisa
digunakan sebagai dasar untuk penetapan hukum dalam konteks sadd al-dzari’ah.
3.
Kaidah Fiqih
Di antara kaidah fikih yang bisa dijadikan dasar penggunaan sadd
al-dzari’ahadalah
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِ
الْمَصَالِحِ.
Menolak keburukan (mafsadah)
lebih diutamakan daripada meraih kebaikan (maslahah)
Kaidah
ini merupakan ketetapan asasi yang bisa mencakup
masalah-masalah turunan di bawahnya. Berbagai kaidah lain juga bersandar pada
kaidah ini. Karena itulah, sadd al-dzari’ah pun
bisa disandarkan kepadanya. Hal ini juga bisa dipahami, karena dalam sadd
al-dzari’ah terdapat unsur mafsadah
yang harus dihindari.
4.
Logika
Secara logika, ketika seseorang
membolehkan suatu perbuatan, maka mestinya ia juga membolehkan segala hal yang
akan mengantarkan kepada hal tersebut. Begitupun sebaliknya, jika seseorang
melarang suatu perbuatan, maka mestinya ia pun melarang segala hal yang bisa
mengantarkan kepada perbuatan tersebut. Hal ini senada dengan ungkapan Ibnu
Qayyim dalam kitab A’lâm al-Mûqi’în:
”Ketika Allah melarang suatu hal, maka Allah pun akan melarang dan mencegah
segala jalan dan perantara yang bisa mengantarkan kepadanya. Hal itu untuk
menguatkan dan menegaskan pelarangan tersebut. Namun jika Allah membolehkan
segala jalan dan perantara tersebut, tentu hal ini bertolak belakang dengan
pelarangan yang telah ditetapkan.”
Dilihat
dari aspek akibat yang timbulkan, Ibnu al-Qayyim mengklasifikasikan adz-dzari’ah,[106] menjadi empat macam, yaitu:1.
Suatu perbuatan yang memang pada dasarnya pasti menimbulkan kerusakan (mafsadah). Hal ini misalnya
mengonsumsi minuman keras yang bisa mengakibatkan mabuk dan perbuatan zina yang
menimbulkan ketidakjelasan asal usul keturunan.
2. Suatu perbuatan yang pada
dasarnya diperbolehkan atau dianjurkan (mustahab),
namun secara sengaja dijadikan sebagai perantara untuk terjadi sesuatu
keburukan (mafsadah). Misalnya
menikahi perempuan yang sudah ditalak tiga agar sang perempuan boleh dikawini (at-tahlil). Contoh lain
adalah melakukan jual beli dengan cara tertentu yang mengakibatkan muncul unsur
riba.
3. Suatu perbuatan yang pada
dasarnya diperbolehkan namun tidak disengaja untuk menimbulkan suatu keburukan (mafsadah), dan pada umumnya
keburukan itu tetap terjadi meskipun tidak disengaja. Keburukan (mafsadah) yang kemungkinan terjadi
tersebut lebih besar akibatnya daripada kebaikan (maslahah) yang diraih. Contohnya adalah mencaci maki berhala
yang disembah oleh orang-orang musyrik.
4. Suatu perbuatan yang pada
dasarnya diperbolehkan namun terkadang bisa menimbulkan keburukan (mafsadah). Kebaikan yang
ditimbulkan lebih besar akibatnya daripada keburukannya. Misalnya, melihat
perempuan yang sedang dipinang dan mengkritik pemimpin yang zalim. Sedangkan
dilihat dari aspek kesepakatan ulama, al-Qarafi dan asy-Syatibi membagi al-dzari’ah menjadi tiga macam,
yaitu:
1.
Sesuatu yang telah disepakati untuk tidak dilarang meskipun bisa menjadi jalan
atau sarana terjadinya suatu perbuatan yang diharamkan. Contohnya menanam
anggur, meskipun ada kemungkinan untuk dijadikan khamar; atau hidup bertetangga
meskipun ada kemungkinan terjadi perbuatan zina dengan tetangga.
2.
Sesuatu yang disepakati untuk dilarang, seperti mencaci maki berhala bagi orang
yang mengetahui atau menduga keras bahwa penyembah berhala tersebut akan
membalas mencaci maki Allah seketika itu pula. Contoh lain adalah larangan
menggali sumur di tengah jalan bagi orang yang mengetahui bahwa jalan tersebut
biasa dilewati dan akan mencelakakan orang.
3.
Sesuatu yang masih diperselisihkan untuk dilarang atau diperbolehkan, seperti
memandang perempuan karena bisa menjadi jalan terjadinya zina; dan jual beli
berjangka karena khawatir ada unsur riba. Ada perbedaan al-Zari’ah dan muqaddimah.Wahbah
al-Zuhaili membedakan antara al-dzari’ah dengan muqaddimah. Beliau mengilustrasikan
bahwa al-dzari’ah adalah laksana tangga yang menghubungkan ke loteng.
Sedangkan muqaddimah adalah
laksana fondasi yang mendasari tegaknya dinding.
Dengan
demikian, al-dzariah dititikberatkan kepada bahwa ia sekedar sarana dan
jalan untuk mengantarkan kepada perbuatan tertentu yang menjadi tujuannya. Ia
bisa menjadi suatu perbuatan terpisah yang berdiri sendiri. Sedangkan muqaddimah dititikberatkan kepada
bahwa ia merupakan suatu perbuatan hukum yang memang bagian dari rangkaian
perbuatan hukum tertentu. Muqaddimah merupakan
perbuatan pendahuluan yang merupakan bagian tak terpisahkan dari rangkaian
perbuatan. Misalnya, sa’i merupakan
sesuatu perbuatan pendahuluan yang diwajibkan dalam rangkaian haji. Sementara
itu, haji sendiri merupakan kewajiban.
Kebalikan dari sadd al-dzari’ah adalah
fath al-dzari’ah. Hal
ini karena titik tolak yang digunakan adalah al-dzari’ah. Dalam mazhab Maliki dan Hambali, adz-dzari’ah memang ada yang dilarang dan ada
yang dianjurkan. Hal ini
diungkapkan oleh al-Qarafi yang notabene dari mazhab Malik dan Ibnu al-Qayyim
al-Jauzi yang notabene dari mazhab Hambali. Al-dzari’ah adakalanya
dilarang sehingga pelarangan itu disebut sadd al-dzari’ah; adakalanya dianjurkan atau
diperintahkan sehingga anjuran atau perintah itu disebut fath al-dzari’ah.
Secara
terminologis, bisa dipahami bahwa fath
adz-dzari’ah adalah menetapkan hukum atas suatu perbuatan tertentu yang
pada dasarnya diperbolehkan, baik dalam bentuk membolehkan (ibahah), menganjurkan (istihab), maupun mewajibkan (ijab) karena perbuatan
tersebut bisa menjadi sarana terjadinya perbuatan lain yang memang telah
dianjurkan atau diperintahkan. Apa kaitan sadd
al-zari’ah dengan penelitian yang berkaitan dengan hukuman fisik? [107].
Kaitannya ialah hukuman fisik itu, memang merupakan sarana untuk mencegah
kejaahatan, maka hukumya wajib, karena mencegah kejahatan itu, wajib hukumnya, “ Lil
wasa’ili, hukmul maqashid,”.Contoh
dari fath adz-dzari’ah adalah
bahwa jika mengerjakan shalat Jum’at adalah wajib, maka wajib pula berusaha
untuk sampai ke masjid dan meninggalkan perbuatan lain. Contoh lain adalah jika
menuntut ilmu adalah sesuatu yang diwajibkan, maka wajib pula segala hal yang
menjadi sarana untuk tercapai usaha menuntut ilmu, seperti membangun sekolah
dan menyusun anggaran pendidikan yang memadai.
Namun yang juga harus digarisbawahi
adalah bahwa betapapun al-dzariah (sarana) lebih rendah tingkatannya
daripada perbuatan yang menjadi tujuannya. Pelaksanaan atau pelarangan suatu
sarana tergantung pada tingkat keutamaan perbuatan yang menjadi tujuannya. Pembahasan
tentang fath al-dzariah tidak mendapat porsi yang banyak di kalangan
ahli ushul fiqih. Hal
itu karena fath al-dzariah hanyalah
hasil pengembangan dari konsep sadd al-dzari’ah. Sementara sadd al-dzari’ah sendiri
tidak disepakati oleh seluruh ulama sebagai metode istinbath hukum. Hal
itu karena bagi sebagian mereka, terutama di kalangan ulama Syafi’iyyah,
masalah sadd al-dzari’ah dan fath
al-dzari’ah masuk dalam bab penerapan kaidah:
مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إلاَّ
بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
Jika suatu kewajiban tidak
sempurna dilaksanakan tanpa suatu hal tertentu, maka hal tertentu itu pun wajib
pula untuk dilaksanakan .
Kaidah tersebut berkaitan pula
dengan masalah muqaddimah (pendahuluan)
dari suatu pekerjaan yang telah dibahas sebelumnya. Hal ini pula yang menjadi
salah satu faktor yang membuat perbedaan pendapat ulama terhadap kedudukan sadd
al-dzari’ah dan fath al-dzari’ah. Apa yang dimaksudkan al-dzari’ah
oleh ulama Maliki dan Hambali, ternyata bagi ulama Syafi’i adalah
sekedar muqaddimah. Cara menentukan al-Dzari’ah. Guna menentukan apakah suatu perbuatan dilarang atau tidak,
karena ia bisa menjadi sarana (adz-dzariah) terjadinya suatu perbuatan lain yang dilarang, maka secara
umum hal itu bisa dilihat dari dua hal, yaitu:
1. Motif atau tujuan yang
mendorong seseorang untuk melaksanakan suatu perbuatan, apakah perbuatan itu
akan berdampak kepada sesuatu yang dihalalkan atau diharamkan. Misalnya, jika
terdapat indikasi yang kuat bahwa seseorang yang hendak menikahi seorang janda
perempuan talak tiga adalah karena sekedar untuk menghalalkan si perempuan
untuk dinikahi oleh mantan suaminya terdahulu, maka pernikahan itu harus
dicegah. Tujuan pernikahan tersebut bertentangan dengan tujuan pernikahan yang
digariskan syara’ yaitu demi membina keluarga yang langgeng.
2. Akibat yang terjadi dari
perbuatan, tanpa harus melihat kepada motif dan niat si pelaku. Jika akibat
atau dampak yang sering kali terjadi dari suatu perbuatan adalah sesuatu yang
dilarang atau mafsadah, maka
perbuatan itu harus dicegah. Misalnya, masalah pemberian hadiah (gratifikasi)
yang diawasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Berdasarkan beberapa
peristiwa yang sebelumnya terjadi, seorang pejabat yang mendapat hadiah
kemungkinan besar akan mempengaruhi keputusan atau kebijakannya terhadap si
pemberi hadiah. Karena itulah, setiap pemberian hadiah (gratifikasi) dalam
batasan jumlah tertentu harus dikembalikan ke kas negara.
Sadd al-dzari’ahdan fath al-dzariah adalah suatu perangkat hukum
dalam Islam yang sangat bagus jika diterapkan dengan baik, sesuai dengan
rambu-rambu syara’, Keduanya
bisa menjadi perangkat yang betul-betul bisa digunakan untuk menciptakan
kemaslahatan umat dan menghindarkan kerusakan umat. Apalagi jika diterapkan
oleh penguasa yang memang hendak menciptakan kesalehan sosial secara luas di
tengah masyarakat, bukan demi kepentingan kelompok dan pribadinya.
Setiap perbuatan yang secara sadar
dilakukan oleh seseorang pasti mempunyai tujuan tertentu yang jelas, tanpa
mempersoalkan apakah perbuatan yang dituju itu baik atau buruk, mendatangkan
manfaat atau menimbulkan mudharat. Sebelum sampai pada pelaksanaan perbuatan
yang dituju itu ada serentetan perbuatan yang mendahuluinya yang harus
dilaluinya.
Bila seseorang hendak mendapatkan ilmu pengetahuan, maka ia harus belajar. Untuk sampai dapat belajar, ia mesti melalui beberapa fase kegiatan seperti mencari guru, menyiapkan tempat dan alat-alat belajarnya. Kegiatan pokok dalam hal ini adalah belajar atau menuntut ilmu, sedangkan kegiatan lain itu disebut perantara, jalan atau pendahuluan.
Bila seseorang berbuat zina, ada hal-hal yang mendahuluinya, seperti rangsangan yang mendorong berbuat zina dan penyediaan kesempatan untuk melakukan zina itu. Dalam hal ini zina disebut perbuatan pokok yang dituju, sedangkan hal-hal yang mendahuluinya disebut perantara atau pendahuluan.
2.Pengertian Saddu al-dz
Dzari’ah
Saddudz al-Dzari’ah terdiri atas dua perkataan, yaitu saddu dan dzari’ah. Kata Saddu menurut bahasa berarti menutup, penghalang, hambatan atau sumbatan, sedang adz-dzari’ah berarti wasilah atau jalan ke suatu tujuan. Dengan demikian, saddudz-dzari’ah secara bahasa berarti menutup jalan kepada suatu tujuan atau menghambat atau menghalangi atau menyumbat semua jalan yang menuju kepada kerusakan atau maksiat .
Menurut istilah Usul Fiqih,seperti dikemukakan ‘Abdul-Karim Zaidan, saddudz-dzari’ah berarti menutup jalan yang membawa kepada kebinasaan atau kejahatan..Ibnu Qayyim mengatakan bahwa pembatasan pengertian dzari’ah kepada sesuatu yang dilarang saja tidak tepat, karena ada juga dzari’ah yang ditujukan kepada yang dianjurkan. Oleh sebab itu, menurutnya pengertian dzari’ah mengandung dua pengertian, yaitu: yang dilarang disebut Saddudz-dzari’ah dan yang dituntut untuk dilaksanakan disebut Fathudz-dzari’ah Imam al-Syathibi men-definisikan dzari’ah dengan:
Melakukan suatu pekerjaan yang
semula mengandung kemaslahatan untuk menuju kepada suatu kemafsadatan.
Maksudnya, seseornag melakukan pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan karena
mengandung suatu kemaslahatan, tapi tujuan yang akan ia capai berakhir pada
suatu kemafsadatan. Contohnya dalam masalah zakat. Sebelum waktu haul (batas
waktu perhitungan zakat sehingga wajib mengeluarkan zakat) datang seseorang
yang memiliki sejumlah harta yang wajib dizakatkan, menghibahkan sebagian harta
kepada anaknya, sehingga berkurang nisab harta itu dan ia taerhindar dari
kewajiban zakat.
Pada dasarnya menghibahkan harta kepada anak atau orang lain dianjurkan oleh syara’, karena perbuatan ini merupakan salah satu akad tolong menolong. Akan tetapi, karena tujuan hibah dilakaukan itu adalah untuk menghindari kewajban yaitu membayar zakat., maka perbuatan ini dilarang. Pelarangan ini didasarkan pemikiran bahwa hibah yang hukumnya sunah menggugurkan zakat yang hukumnya wajib. Tujuan penetapan hukum secara saddudz-dzari’ah ialah untuk memudahkan tercapainya kemaslahatan atau jauhnya kemungkinan terjadinya kerusakan, atau terhindarnya diri dari kemungkinan berbuat maksiat. Hal ini sesuai dengan tujuan ditetapkan hukum atas para mukalaf,[108] yaitu untuk mencapai kemaslahatan dan menjauhkan diri dari kerusakan. Untuk mencapai tujuan ini syariat menetapkan perintah-perintah dan larangan-larangan.
Dalam memenuhi perintah dan
menghentikan larangan itu, ada yang dapat dikerjakan secara langsung dan ada
pula yang tidak dapat dilaksanakan secara langsung. Perlu ada hal yang harus
dikerjakan sebelumnya. Inilah yang dimaksud dengan kaidah: Semua yang menyempurnakan perbuatan
wajib, maka ia tiada lain hanyalah wajib pula. Sebagai contoh ialah kewajiban mengerjakan shalat yang lima
waktu. Seseorang baru dapat mengerjakan shalat itu bila telah belajar shalat
terlebih dahulu, tanpa belajar ia tidak akan dapat mengerjakannya. Dalam hal
ini tampak bahwa belajar shalat itu sendiri tidak wajib. Tetapi karena ia
menentukan apakah kewajiban itu dapat dikerjakan atau tidak, sangat tergantung
kepadanya. Berdasarkan hal ini dapat ditetapkanlah hukum wajib belajar shalat,
sebagaimana halnya hukum shalat itu sendiri.
Demikian pula halnya dengan larangan. Ada perbuatan itu yang dilarang secara langsaung dan ada yang dilarang secara tidak langsung. Yang dilarang secara langsung, ialah seperti minum khamer, berzina dan sebagainya. Yang dilarang secara tidak langsung seperti membuka warung yang menjual minuman khamer, berkhalwat antara laki-laki dan perempuan yang tidak ada hubungan mahram.[109]
3.
Dasar hukum saddudz-al-dzari’ah
Dasar hukum dari saddudz-dzari’ah adalah Al-Qur’an dan Hadits, Dalam Alquran yang artinya : Dan janganlah kamu mencaci sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Menurut Q.S Al- An’am : 108
bahwa mencaci berhala tidak dilarang oleh Allah, tetapi ayat ini melarang kaum muslimin mencaci dan menghina berhala, karena larangan ini dapat menutup pintu kearah tindakan orang-orang musyrik mencaci dan memaki Allah secara melampaui batas Firman Allah SWT :
…….Dan janganlah mereka
”memukulkan” kaki mereka ( ) agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan……[110]
Wanita
menghentakkan kakinya sehingga terdengar gemerincing gelang kakinya tidaklah
dilarang, tetapi perbuatan itu akan menarik hati laki-laki untuk mengajaknya
berbuat zina, maka perbuatan itu dilarang pula sebagai usaha untuk menutup
pintu yang menuju kearah perbuatan zina.
c) Nabi Muhammad SAW bersabda: yang artinya: Ketahuilah, taman larangan Allah adalah (perbuatan) maksiat yang (dilakukan) kepada-Nya. Barang siapa yang menggembalakan (ternaknya) sekitar taman larangan itu, ia akan terjerumus ke dalammya.[111]
3. Obyek saddudz al-dzari’ah
Perbuatan yang mengarah kepada perbuatan melarang ada kalanya :
a. Perbuatan itu pasti menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang
b. Perbuatan itu mungkin menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang
Macam yang pertama tidak ada persoalan dan perbuatan ini jelas dilarang mengerjakannya sebagaimana perbuatan itu sendiri dilarang. Macam yang kedua inilah yang merupakan obyek sadduz dzari’ah, karena perbuatan tersebut sering mengarah kepada perbuatan dosa. Dalam hal ini para ulama harus meneliti seberapa jauh perbuatan itu mendorong orang yang melakukannya untuk mengerjakan perbuatan dosa. Dalam hal ini ada tiga kemungkinan, yaitu :
1. Kemungkinan besar perbuatan itu menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang.
2. Kemungkinan kecil perbuatan itu menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang.
3. Sama kemungkinan dikerjakannya atau tidak dikerjakannya perbuatan terlarang.
Pada nomor 1 disebut dzarii’ah qawiyah (jalan yang kuat), sedang nomor 2 dan 3 disebut dzari’ah dha’ifah (jalan yang lemah) .Tidak ada dalil yang jelas dan pasti baik dalam bentuk nash maupun ijma’ ulama tentang boleh atau tidaknya menggunakan saddudz-dzari’ah. Oleh karena itu, dasar pengambilannya hanya semata-mata ijtihad dengan berdasarkan pada tindakan hati-hati dalam beramal dan jangan sampai melakukan perbuatan yag dapat menimbulkan kerusakan. Kemudian yang dijadikan pedoman dalam tindakan hati-hati itu adalah factor manfaat dan mudharat, baik dan buruk. Dasar pegangan ulama untuk menggunakan saddudz-al-zari’ah adalah kehati-hatian dalam beramal ketika menghadapi perbenturan antara maslahat dan mafsadat. Bila maslahat yang dominan, maka boleh dilakukan. Bila sama kuat diantara keduanya, maka untuk menjaga kehati-hatian harus diambil perinsip yang berlaku.[112]
Memukul anak atau guru memberikan hukuman fisik terhadap muridnya, dianalogikan kepada memukul istri, karena kata-kata memukul anak tidak terdapat di dalam ayat, sedangkan kata memukul istri, ada teksnya di dalam al-Quran. Syaikh Abdurrazaq Al-Abbad menjelaskan bahwa sebagian suami yang masih awam menyangka bahwa kata “memukul” itu ditafasirkan, “menampakkan kekuatannya,” kepada sang istri sehingga menjadikannya takut adalah metode yang terbaik untuk mendidik sang istri. Oleh karenanya, ada sebagian orang Arab masa lalu, tatkala malam pertama langsung memukul istrinya agar istrinya tahu kekuatannya dan takut kepadanya di kemudian hari. Sebagian lagi ada yang di malam pertama mendatangkan ayam jantan dan dinampakkan di hadapan istrinya lalu dengan sekali genggaman maka iapun mematahkan leher ayam jantan tersebut. Hal ini tidak lain adalah untuk menakut-nakuti istrinya.
Apakah anak boleh ditakut-takuti dengan hukuman fisik seperti itu?
Sebagaimana yang beliau sampaikan dalam syarah kitab "Al-Kabaair" karya Al-Dzhabi.
Sebagian suami langsung memukul istrinya jika melakukan kesalahan. Memang benar
bahwasanya Islam membolehkan untuk memukul istri sebagaimana firman Allah:
.Wanita-wanita
yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan jauhilah mereka di
tempat tidur dan “ pukullah” mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka
janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha
Tinggi lagi Maha Besar.[113]
Sebagian suami yang suka memukuli istrinya
selalu mengulang-ngulang ayat ini, seakan-akan mereka berkata kami sedang
menjalankan perintah Allah.Namun janganlah dipahami dari ayat ini bahwasanya
memukul wanita itu adalah wajib, bahkan yang terbaik adalah tidak memukul
mereka.[114]Rasulullah
shallallahu 'alihi wa sallam bersabda:Artinya: “Janganlah kalian
memukul para wanita (istri-istri kalian!”. Lalu
Umarpun datang menemui Nabi .SAW. dan berkata, “Para istri berani dan
membangkang suami-suami mereka !!”, maka Nabi shallallahu 'alihi wa sallam pun
memberi keringanan untuk memukul mereka, maka para istripun dipukul. Para istripun banyak yang
berdatangan menemui istri-istri Nabi shallallahu 'alihi wa sallam (para
ummahatul mukminin) mengeluhkan tentang suami mereka. Nabi shallallahu 'alihi
wa sallam pun berkata, “Sungguh para istri banyak yang telah mendatangi
istri-istri Muhammad shallallahu 'alihi wa sallam mengeluhkan tentang
suami-suami mereka (para suami yang memukul) bukanlah yang terbaik diantara
kalian”[115]Beliau
juga berkata:
“Jika seandainya sang suami tidak memukul maka
hal ini lebih aku sukai karena sabda Nabi
SAW “Orang-orang terbaik diantara kalian tidak akan memukul”[116]Jika
seorang suami memilih untuk memberikan hukuman fisik.[117]
istrinya dalam rangka mendidiknya maka diperbolehkan dalam syari’at, namun
syari’at tatkala membolehkan hal ini bukan berarti membolehkannya tanpa kaidah
dan syarat. Oleh karena itu pemukulan tidak boleh dilakukan kecuali mengikuti
kaidah-kaidah yang dibenarkan, diantaranya:
Sang istri memang benar-benar bersalah (bermaksiat) menurut syari’at
Karena sebagian suami memerintahkan istrinya untuk melakukan hal yang diharamkan oleh Allah, tatkala sang istri menolak untuk mentaatinya maka iapun memukulnya, ia menyangka apa yang dilakukannya adalah boleh. Dalam kondisi seperti ini berarti sang suami telah mengumpulkan dua kesalahan, yang pertama ia telah memerintahkan istrinya untuk berbuat perkara yang haram, dan yang kedua ia telah melakukan pemukulan yang tidak sesuai dengan kaidah syari’at.
Berkata Ibnul ‘Arabi, “Termasuk yang paling bagus yang pernah aku dengar tentang tafsiran ayat ini adalah perkataan Sa’id bin Jubair, ia berkata, “Ia (sang suami) menasehati sang istri maka jika ia menerima nasehat (maka tercapailah maksud). Namun jika ia tidak menerima nasehat maka sang suami menghajarnya.[118] Jika ia berubah (maka tercapailah maksud) namun jika ia tidak berubah maka sang suami memukulnya. Berkata Ibnu Hajar, “Jika sang suami mencukupkan dengan ancaman (tanpa memukul) maka lebih afdhol. Jika masih memungkinkan untuk mencapai tujuan dengan isyarat (perkataan keras) maka janganlah ia berpindah pada tindakan (pemukulan) karena hal itu menyebabkan rasa saling menjauh yang bertentangan dengan sikap mempergauli istri dengan baik”[119]
Pukulan harus sesuai dengan kesalahan yang dilakukan. Kesalahan yang banyak dilakukan oleh para istri biasanya merupakan kesalahan yang ringan dan tidak terus-terusan. Kesalahan seperti ini tidaklah menjadikan sang istri berhak untuk dipukul. Tujuan dari pemukulan adalah untuk mengobati,[120] bukan untuk menghina sang istri apalagi untuk melepaskan dendam yang telah terpendam. Apalagi yang sangat disayangkan sebagian suami memukul istrinya dihadapan anak-anaknya sehingga anak-anakpun belajar jadi berani terhadap ibunya atau timbul hal-hal yang lain yang merupakan penyakit psikologi pada anak-anak. Dan bayangkanlah wahai para pembaca yang budiman..bagaimanakah perasaan seorang wanita yang selalu dipukul oleh suaminya apalagi di hadapan anak-anaknya…?
Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, “…Kemudian hal ini juga memberi pengaruh terhadap anak-anak. Anak-anak jika melihat percekcokan yang terjadi antara ayah dan ibunya maka mereka akan merasa sakit dan terganggu, dan jika mereka melihat kasih sayang antara ayah dan ibunya maka mereka akan riang gembira…”[121].Betapa banyak anak-anak yang akhirnya tidak terawat dan menjadi anak-anak jalanan dikarenakan cekcok yang terjadi antara kedua orang tua mereka:
Menjauhi pemukulan terhadap tempat-tempat yang rawan seperti perut, kepala, dada, dan wajah.[122] Kebanyakan suami yang tukang memukul istri jika marah maka mereka akan mengambil apa saja yang ada di dekat mereka untuk dihantamkan kepada istri mereka. Terkadang mereka mengambil panci, atau piring, atau gelas, dan terkadang sesuatu dari besi…. Dan terkadang benda-benda itu dihantamkan ke wajah wanita?. Padahal Nabi shallallahu 'alihi wa sallam melarang memukul wajah secara mutlak, bahkan Nabi shallallahu 'alihi wa sallam melarang memukul wajah hewan.
Pukulan yang tidak mangandung unsur kekerasan, menurut Atha’ bertanya kepada Ibnu Abbas, “Apa yang dimaksudkan dengan pukulan yang tidak membahayakan?” Beliau menjawab, “Gunakan siwak dan sejenisnya.” Yakni memukulnya dengan siwak dan sejenisnya. Hendaknya sang ayah atau sang suami menghindari lokasi-Iokasi berbahaya seperti kepala, perut, juga wajah. Karena Nabi melarang memukul wajah secara umum. Dalam hadits Mu’awiyyah bin Hidah – rodhiyallohu ‘anhu – disebutkan bahwa ia bertanya, “Wahai Rasulullah, apa hak Istri atas diri kami?” Beliau menjawab, “Hendaknya engkau memberinya makanan sebagaimana yang engkau makan dan memberinya pakaian sebagaimana yang engkau kenakan; jangan engkau menjelek-jelekkannya dan jangan memukul sembarangan.” Yakni (dalam riwayat lain). ‘jangan memukul wajah.”[123]
Dari Jabir, ia berkata, “Rasulullah melarang memukul di wajah dan memberi alamat (dengan menggores) di wajah”[124]
Berkata Imam An-Nawawi, “Adapun pemukulan di wajah maka dilarang pada seluruhnya…, pada manusia, keledai, kuda, unta, begol, kambing, dan yang lainnya. Akan tetapi pada manusia lebih terlarang lagi karena wajah manusia tempat terkumpulnya keindahan padahal wajah itu lembut (halus) yang mudah nampak bekas pemukulan. Terkadang bekas tersebut menjadikan wajah menjadi jelek atau bahkan terkadang mengganggu panca indra yang lain”.[125]
Jika Rasulullah SAW melarang memukul
wajah hewan, maka bagaimanakah dengan memukul wajah manusia.. Bagaimana lagi jika wajah seorang
wanita?. Oleh karena itu Rasulullah melarang secara khusus untuk memukul wajah
istri. Seseorang
bertanya kepada Nabi SAW, “Apa hak seorang wanita terhadap suaminya?”, Rasulullahberkata, “Memberi makan kepadanya, memberi
pakaian, dan tidak memukul wajahnya, tidak menjelekannya,[126]
serta tidak meng-hajr (menjauhi istrinya dari tempat tidur) kecuali di
dalam rumah”[127].
Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani.
Bagaimana dengan suami yang memukul wajah istri dengan apa saja yang ada ditangannya?. Ini menunjukkan lemahnya agama dan pendeknya akal sang suami. Pemukulan tidak boleh sampai mematahkan tulang, tidak sampai merusak anggota tubuh, dan tidak sampai mengeluarkan darah. Pemukulan terhadap istri adalah obat maka harus diperhatikan jenis pemukulannya, kapan dilakukan pemukulan tersebut, bagaimana cara pemukulan tersebut, dan ukuran pemukulan tersebut.
Bagaimana dengan suami yang memukul wajah istri dengan apa saja yang ada ditangannya?. Ini menunjukkan lemahnya agama dan pendeknya akal sang suami. Pemukulan tidak boleh sampai mematahkan tulang, tidak sampai merusak anggota tubuh, dan tidak sampai mengeluarkan darah. Pemukulan terhadap istri adalah obat maka harus diperhatikan jenis pemukulannya, kapan dilakukan pemukulan tersebut, bagaimana cara pemukulan tersebut, dan ukuran pemukulan tersebut.
“Dan merupakan hak kalian agar mereka (istri-istri kalian) untuk tidak membiarkan seorangpun yang kalian benci untuk masuk ke dalam rumah kalian, dan jika mereka melakukan maka “pukullah” mereka dengan pukulan yang tidak membekas”[128]
Syaikh Utsaimin mengomentari hadits ini, “Jika perkara yang besar ini (yaitu sang istri memasukan seorang lelaki ke dalam rumahnya tanpa izin suami-pen) dan sang wanita hanya dipukul dengan pukulan yang tidak keras maka bagaimana lagi dengan bentuk-bentuk ketidaktaatan istri yang lain (yang lebih ringan)??, maka (tentunya) lebih utama tidak dipukul hingga membekas...” [129]
Berkata Ibnul ‘Arobi, “ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ yaitu pukulan yang tidak ada bekasnya di badan berupa darah maupun patah”[130] Yang sangat menyedihkan sebagian suami yang keras hatinya memukul istrinya seperti memukul hewan?[131]
Rasulullah SAW.,bersabda,“Janganlah salah seorang dari kalian mencambuk, memukul istrinya sebagaimana mencambuk (memukul) seorang budak lantas ia menjimaknya di akhir hari”[132]Ibnu Katsir berkata, “Ini merupakan ancaman bagi para lelaki jika mereka berbuat sewenang-wenang terhadap wanita tanpa ada sebab karena sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar yang merupakan wali para wanita dan Allah akan membalas siapa saja yang menzholimi mereka dan menganiaya mereka” menurut Tafsir Ibnu Katsir I/493, dalam Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja. Karena itu maka Wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).
Kemudian dinyatakan, “Wanita-wanita
yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pukullah mereka.Kemudian jika mereka mentaatimu,
maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah
Maha Tinggi lagi Maha Besar.” QS. 4:34.Ayat ini, memberi tentang memukul istri yang tidak patuh, pada
perintah suami, di mana perintah suami tidak untuk kejelekan istri tetapi untuk
kebaikan istri dan keluarga. Dalam pergaulan hidup tentu suami yang baik
menghendaki istri bergaul dalam komunitas yang baik pula. Terkadang banyak
istri yang bergaul secara salah tanpa sepengetahuan suami. Dalam hal ini jika
ada kecenderungan istri ke arah sana (pergaulan yang tidak baik) maka suami
harus menasehati dan jangan memukul, karena dalam kalimat diatas kata
menasehati lebih dulu daripada memukul. Dan tahap dalam menasehati ini tentu
tidak hanya sekali, tetapi harus berulang kali sampai istri sadar. Nah, jika
istri sudah dinasehati tetapi masih bergaul secara salah, maka suami boleh
memukul. Ayat tentang ini ada
asbanunnuzulnya.[133]
Yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana arti dari memukul
tersebut. Banyak kalangan yang salah mengartikan arti memukul sebagai sesuatu
yang menakutkan. kata “Pukullah”,[134]
adalah kata umum. Dan masing-masing manusia mengartikan sendiri-sendiri dari
kata ini. Adapun maksud dan arti “memukul”
:
1. Membenturkan benda ke tubuh
2. Membenturkan kepalan tangan
(tangan) ke tubuh
Dari dua arti diatas tentu masih bernuansa umum, karena benda
yang dipakai juga tidak jelas, apakah besar, sedang atau kecil. Apakah bendanya
panjang atau pendek. Dalam membenturkan tangan juga tidak jelas apakah dengan
kekuatan penuh, sedang atau lemah. Ayat diatas tidak ada keterangan bagaimana
harus memukul. Dalam
pemahaman Islam mengenai konteks ayat diatas tentu arti memukul adalah
membenturkan sesuatu benda atau tangan ke pihak istri dimana pukulan itu bisa
menyadarkan pihak istri. Dan tentu masing-masing pukulan akan berbeda tentunya,
karena ada istri yang dicubit saja langsung sadar, ada yang dipukul pelan saja
sudah sadar, dan ada yang dipukul keras, baru sadar dan yang terakhir tadi tentu sejelek-jelek pukulan. [135]
Bagaimana jika
sudah dipukul dengan segala tingkatan pukulan tidak mau sadar?. Islam melarang
untuk menyakiti manusia apalagi istri dengan keras (lebih jauh), untuk itu jika
memang demikian daripada takut nanti melukai istri lebih lanjut maka
diperbolehkah bercerai meski itu sangat dibenci oleh Allah. Memukul peminum khamar,memang
diberlakukan hukum hudud, seorang
muslim yang kedapatan dan terbukti meminum khamar oleh pengadilan (mahkamah syar`iyah) hukumannya adalah
dipukul.[136]
Bentuk hukuman ini bersifat mahdhah,
artinya bentuknya sudah menjadi ketentuan dari Allah SWT. Sehingga tidak boleh
diganti dengan bentuk hukuman lainnya seperti penjara atau denda uang dan sebagainya.
Dalam
istilah fiqih disebut hukum hudud,
yaitu hukum yang bentuk, syarat, pembuktian dan tatacaranya sudah diatur oleh
Allah SWT.[137] Hudud jamak dari hadd, arti
aslinya batas antara dua hal. Menurut bahasa
bisa juga cegahan. Sedangkan menurut
syari'at yang dimaksud ialah hukuman yang telah ditetapkan dalam al qur'an
sebagai hak Allah. Ketetapan Allah SWT mengenai hukuman zina pada (Qs.
An-Nisa':15-16). Kegunaannya untuk mencegah perbuatan keji, antara perbuatan
zina, dan semua perbuatan mesum
seperti, : zina, homosek dan yang sejenisnya. Keji menurut
pendapat Muslim dan mujahid, bahwa
yang dimaksud dengan perbuatan keji ialah musahaqah
(homosek antara wanita dengan wanita). Menurut Jumhur Mufassirin jalan yang
lain itu, itu ialah dengan turunnya ayat 2 surat An Nur. Dasar pensyariatannya adalah hadits
Nabi SAW berikut ini :
"Siapa yang minum khamar
maka pukullah". Hadits ini termasuk jajaran hadits
mutawatir, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi pada tiap
thabawatnya (jenjang) dan mustahil ada terjadi kebohongan diantara mereka. Di
tingkat shahabat, hadits ini diriwayatkan oleh 12 orang shahabat yang berbeda.
Mereka adalah Abu Hurairah, Muawiyah, Ibnu Umar, Qubaishah bin Zuaib, Jabir,
As-Syarid bin suwaid, Abu Said Al-Khudhri, Abdullah bin Amru, Jarir bin
Abdillah, Ibnu Mas`ud, Syarhabil bin Aus dan Ghatif ibn Harits.
Syarat diberlakukannya hudud bagi peminum khamar, para
ulama sepakat bahwa agar hukuman pukul atau cambuk itu dapat terlanksana,
syarat dan ketentuannya harus terpenuhi terlebih dahulu. Tidak asal ada orang
minum khamar lantas segera dicambuk. Di antara syarat dan ketentuannya antara
lain :
1. Berakal
Peminumnya adalah seorang yang waras atau berakal. Sehingga
orang gila bila meminum minuman keras maka tidak boleh dihukum hudud.[138]
2. Baligh
Peminum itu orang yang sudah baligh, sehingga bila seorang
anak kecil di bawah umur minum minuman keras, maka tidak boleh dihukum
hudud. [139]
3. Muslim
Hanya orang yang beragama Islam saja yang bila minum minuman
keras yang bisa dihukum hudud. Sedangkan non muslim tidak bisa dihukum bahkan
tidak bisa dilarang untuk meminumnya.
4. Bisa memilih
Peminum itu dalam kondisi bebas bisa memilih dan bukan dalam
keadaan yang dipaksa.
5. Tidak dalam kondisi darurat
Maksudnya bila dalam suatu kondisi darurat dimana seseorang
bisa mati bila tidak meminumnya, maka pada saat itu berlaku hukum darurat.
Sehingga pelakunya dalam kondisi itu tidak bisa dijatuhi hukuman hudud.
6. Tahu bahwa itu adalah khamar
Bila seorang minum minuman yang dia tidak tahu bahwa itu
adalah khamar, maka dia tidak bisa dijatuhi hukuman hudud.
Jumlah Pukulan
Ada perbedaan pendapat dikalangan ulama dalam menentukan
jumlah pukulan.
1. Jumhur fuqoha
Jumhur ulama sepakat bahwa peminum khamar yang memenuhi
syarat untuk dihukum, maka bentuk hukumannya adalah dicambuk sebanyak 80 kali.
Pendapat mereka didasarkan kepada perkataan
Ali ra."Bila seseroang
minum khamar maka akan mabuk. Bila mabuk maka meracau. Bila meracau maka tidak
ingat. Dan hukumannya adalah 80 kali cambuk.[140]
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Ali ra. berkata,
"Rasulullah SAW mencambuk
peminum khamar sebanyak 40 kali. Abu bakar juga 40 kali. Sedangkan Utsman 80
kali. Kesemuanya adalah sunnah. Tapi yang ini (80 kali) lebih aku
sukai",menurut HR. Muslim.
2. Imam Asy-Syafi`i.
Sedangkan
Imam Asy-Syafi`i ra. berpendapat bahwa hukumannya adalah cambuk sebanyak 40
kali. Dari Anas ra. berkata bahwa
Rasulullah SAW mencambuk kasus minum khamar dengan pelepah dan sandal sebanyak
40 kali".[141] Apakah benda atau alat untuk
memukul maupun mencambuk? Para ulama
mengatakan bahwa untuk memukul peminum khamar, bisa digunakan beberapa alat
antara lain : tangan kosong, sandal, ujung pakaian atau cambuk.[142]
Ibnu Qayim berkata,"Sabda Rasulullah SAW, 'Tidak boleh memukul lebih dari sepuluh kali
kecuali dalam masalah hudud' maksudnya dalam hal jinayat (pidana kriminal
seperti mencuri, yang merupakan hak Allah.
Jika ada yang bertanya, "Kapan harus memukul di bawah sepuluh kali jika yang dimaksud hudud dalam hadits tersebut adalah jinayah?"
Jawabannya adalah saat seorang suami memukul isterinya atau budaknya atau anaknya atau pegawainya dengan tujuan mendidik atau semacamnya. Maka ketika itu tidak boleh memukul lebih dari sepuluh kali. Ini merupakan kesimpulan terbaik dari hadits ini." [143] Selayaknya hal tersebut dilakukan tidak di depan orang lain untuk melindungi kehormatan sang anak atas dirinya dan orang lain dari teman-temannya atau selainnya. Juga hendaknya diketahui bahwa dalam perjalanan hubungan bapak dengan anak-anaknya dan pengajarannya bahwa sang bapak memukul sang anak semata-mata bertujuan agar dia taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Tujuannya semata-mata untuk kebaikannya secara sempurna dan perhatiannya dalam mendidiknya sesuai ketentuan syari agar jangan sampai timbul perasaan benci sang anak terhadap perkara syar'i yang berat dia lakukan dan karena meninggalkannya dia dipukul.
Syaikh Ibn Baz berkata, "Perhatikanlah keluarga dan jangan lalai dari mereka wahai hamba Allah. Hendaknya kalian bersungguh-sungguh untuk kebaikan mereka. Perintahkan putera puteri kalian untuk melakukan shalat saat berusia tujuh tahun, pukullah mereka saat berusia sepuluh tahun dengan pukulan yang ringan yang dapat mendorong mereka untuk taat kepada Allah dan mem-biasakan mereka menunaikan shalat pada waktunya agar mereka istiqomah di jalan Allah dan mengenal yang haq sebagaimana hal itu dijelaskan dari riwayat shahih dari Nabi SAW. [144]
Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, "Nabi Muhammad SAW, telah memerintahkan agar kita memerintahkan anak-anak kita melakukan shalat saat mereka berusia tujuh tahun, atau kita memukul mereka, saat mereka berusia sepuluh tahun. Padahal ketika itu mereka belum berusia baligh. Tujuannya adalah agar mereka terbiasa melakukan ketaatan dan akrab dengannya. Sehingga terasa mudah dilakukan apabila mereka telah besar dan mereka mencintainya. Begitu pula dengan perkara-perkara yang tidak terpuji, tidak selayaknya mereka dibiasakan sejak kecil meskipun mereka belum baligh, agar mereka tidak terbiasa dan akrab ketika sudah besar."
Beliau juga berkata, "Perintah ini bermakna wajib. Akan tetapi dibatasi apabila pemukulan itu mendatangkan manfaat. Karena kadang-kadang, anak kecil dipukul tapi tidak bermanfaat pukulan tersebut. Hanya sekedar jeritan dan tangis yang tidak bermanfaat. Kemudian, yang dimaksud pukulan adalah pukulan yang tidak melukai. Pukulan yang mendatangkan perbaikan bukan mencelakakan."[145]
Beliau juga berkata, "Tidak boleh dipukul dengan pukulan melukai, juga tidak boleh memukul wajah atau di bagian yang dapat mematikan. Hendaknya dipukul di bagian punggung atau pundak atau semacamnya yang tidak membahayakannya. Memukul wajah mengandung bahaya, karena wajah merupakan bagian teratas dari tubuh manusia dan paling mulia.[146]
Syaikh Fauzan berkata, "Pukulan merupakan salah satu sarana pendidikan. Sorang guru boleh memukul, seorang pendidik boleh memukul, orang tua juga boleh memukul sebagai bentuk pengajaran dan peringatan. Seorang suami juga boleh memukul isterinya apabila dia membangkang. Akan tetapi hendaknya memiliki batasan. Misalnya tidak boleh memukul yang melukai yang dapat membuat kulit lecet, mematahkan tulang. Cukup pukulan seperlunya." . [147]
Penting juga diperhatikan bahwa pembinaan terhadap anak, bukan hanya karena dia meninggalkan shalat saja, tapi juga jika sikapnya meremehkan syarat-syaratnya, rukun-rukunnya dan wajibnya. Kadang sang anak shalat, tapi shalatnya dia jamak, atau dia shalat tanpa wudhu, atau tidak benar shalatnya. Maka ketika itu hendaknya diajarkan semua perkara shalat dan memastikan bahwa dia menunaikan kewajiban, syarat dan rukunnya. Jika mereka lalai dalam sebagiannya, maka kita kuatkan lagi nasehatnya, diajarkan terus menerus. Jika masih juga lalai, boleh diperingatkan dengan pukulan hingga shalatnya benar.
Al-Mubarkafuri
dalam kitabnya Tuhfatul Ahwadzi mengutip pendapat Al-‘Alaqi, dengan mengatakan: Berkata
Al-‘Alaqi: … yang dimaksud dengan pukulan (di hadits tersebut) adalah pukulan
yang tidak menyakitkan, dan harus menghindari bagian wajah.[148]
Pukulan yang tidak menyakitkan batasannya adalah pukulan yang tidak menyebabkan bekas atau memar, apalagi menyebabkan sobeknya kulit, pecahnya tulang, atau menimbulkan cacat. Sedangkan pukulan yang tidak boleh mengena wajah adalah pukulan baik secara langsung, misalnya tonjokan atau tamparan, atau menggunakan alat pemukul seperti kayu, rotan, kabel, besi. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi saw berikut. Dari Abi Hurairah dari Nabi saw, beliau ber-sabda: Apabila salah seorang dari kalian memukul maka hindarilah memukul bagian wajah .[149]Apakah hukuman ini bisa diterapkan oleh selain orang tua, seperti misalnya guru di sekolah atau ustadz di pesantren?[150] dan apakah hukuman ini bisa diterapkan untuk hal lain seperti saat anak didik tidak ikut shalat berjama'ah, ber-shaff dengan tidak lurus, mengantuk saat membaca Al-Qur'an, melanggar disiplin bahasa, tidak masuk kelas tanpa izin.?
Untuk
yang pertama jawabannya tidak bisa, syara' hanya memberikan "kewenangan
menghukum" tersebut hanya kepada orang tua tidak kepada yang lainnya.
Kedua, hukuman tersebut tidak bisa diterapkan untuk pelanggaran-pelanggaran
lainnya sebagaimana yang disebutkan. Menurut para ulama, syara' menjadikan
hukuman demikian ini hanya pada syari'at shalat dan tidak pada
syari'at-syari'at lainya, tidak lain karena kewajiban shalat merupakan
kewajiban yang sangat besar bagi seorang muslim dan akan terasa berat apabila
tidak ada pembiasaan sejak dini. Dimana ketika seorang anak sudah memasuki masa
baligh, maka meninggalkan shalat dengan sengaja sudah menjadi dosa besar
baginya.
C. Hukuman oleh suami terhadap isterinya
Syara’ hanya mengizinkan para suami untuk menghukum istrinya yang nusyuz (membangkang),[151] dengan tiga macam hukuman, yaitu me-nasihatinya, memisahkannya dari ranjang (pisah ranjang), dan pukulan. berdasarkan ayat:
………….wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.[152]
Asbabunnuzul ayat ini ialah: Ibnu Abu Hatim mengetengahkan
dari Hasan, katanya, "Seorang wanita datang kepada Nabi saw. mengadukan
suaminya karena telah memukulnya, maka sabda Rasulullah saw., 'Berlaku hukum
kisas,' maka Allah pun menurunkan, 'Kaum lelaki menjadi pemimpin atas kaum
wanita...' sampai akhir ayat." (Q.S. An-Nisa 34.) Demikianlah wanita itu
kembali tanpa kisas. Ibnu Jarir mengetengahkan pula dari beberapa jalur dari
Hasan, yang pada sebagiannya terdapat bahwa seorang laki-laki Ansar memukul
istrinya, hingga istrinya itu pun datang menuntut kisas. Nabi saw. pun
menitahkan hukum kisas di antara mereka, maka turunlah ayat, "Dan
janganlah kamu mendahului Alquran sebelum diputuskan mewahyukannya
bagimu." (Q.S. Thaha 114) dan turunlah ayat, "Kaum lelaki menjadi
pemimpin kaum wanita..." Dan dikeluarkan pula yang serupa dengan ini dari
Ibnu Juraij dan Saddiy. Ibnu Murdawaih mengetengahkan juga dari Ali, katanya,
"Seorang laki-laki Ansar datang kepada Nabi saw. dengan membawa istrinya,
maka kata istrinya, 'Wahai Rasulullah! Dia ini memukul saya hingga berbekas
pada wajah saya.' Jawab Rasulullah, 'Tidak boleh ia berbuat demikian', maka
Allah swt. pun menurunkan ayat, 'Kaum lelaki menjadi pemimpin kaum
wanita...sampai akhir ayat.' (Q.S. An-Nisa 34) Maka hadis-hadis ini menjadi
saksi, yang masing-masingnya menguatkan yang lainnya."
Tabel 8
Kemiripan ayat
dan hadits tentang hukuman pukulan
dari segi urutan kata.
No
|
QS An-Nisa’ (4) : 34
|
Hadits
|
1
|
Dinasehati isterimu
|
Disuruh anakmu
|
2
|
Pisahkan dari tempat tidur
|
Pisahkan tidurnya
|
3
|
Pukullah isterimu
|
Pukullah mereka
|
Dari tiga tingkatan, pernyataan
dari ayat Al-Quran dan hadits
tersebut, yang penulis soroti adalah
yang nomor tiga, karena ada kata
“ Pukullah mereka”. Kaitannya, dengan penelitian ini ialah , kata pukulan itu,
termasuk kekerasan menurut HAM dan UU RI
Nomor 23 Tahun 2002. Akan tetapi menurut analisis penulis, sebenarnya ada hukuman pukulan yang tidak masuk kategori
kekerasan fisik, yaitu memukul yang tidak berdarkan emosi, tidak gores, tidak
berbekas, dan tidak boleh memukul wajah.
Ada tiga
jenis hukuman, yang dapat dilakukan kepada isteri, secara
bertahap, tidak menerapkan hukuman berikutnya jika dengan hukuman pertama si
istri bisa berubah. Nasihat adalah nasihat yang menyadarkan, jika tidak
‘mempan’ maka dengan pisah ranjang, jika tidak juga mempan maka dengan pukulan
yang tidak menyakitkan dan tidak diwajah. Hukuman terakhir ini tidak jauh beda
dengan hukuman macam ke dua di atas, yaitu hukuman bersifat ta'dib (edukasi)
bukan hukuman bersifat ta'dzib
(penyiksaan). Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat tersebut menjelaskan sifat
pukulan tersebut, mengutip perkataan ulama:
Dari penelaahan penulis terhadap nash-nash baik Al-Qur'an maupun As-Sunnah tidak ditemukan sama sekali adanya peluang bagi para pendidik untuk menghukum anak-didiknya, selain hanya bagi orang tua terhadap anaknya sendiri, itupun sangat terbatas. Apa yang bisa diperbuat oleh para pendidik ketika menjumpai anak didiknya melanggar, baik terhadap hukum syara' maupun terhadap peraturan-peraturan administratif setempat, untuk anak-anak ditinjau dari segi usianya.
Batasan yang
diajukan dalam menelaah mengenai pengertian anak / remaja, berdasarkan dari pendapat
pakar-pakar psikologi oleh Andi Mappiaremengutip Elizabeth B. Hurlock dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku(Undang-Undang
nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan Anak)menyebutkan bahwa
pengertian remaja adalah suatu batasan usia dengan rentangusia antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan
21 (dua puluh satu) tahun. Sedangkan pengertian anak adalah seseorang
yang belum berusia 18 (delapanbelas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sehingga dalambatasan konsep
penulisan hukum ini adalah bagi anak / remaja dalam rentang usiaantara 13 – 21
tahun. Di bawah ini tabel perbandinmgan
batas usia menurut undang-undang.
Secara yuridis formal, masalah
pertanggung jawaban mengenai kenakalananak
atau remaja yang dapat menimbulkan kejahatan ini telah memperolehpedoman yang
baku dalam hukum. Pertama-tama adalah hukum pidana yang pengaturannya
tersebar dalam beberapa pasal, dan sebagian pasal yang bersifatembrional adalah
Pasal 45, 46 dan 47 KUHP. Di samping itu KUH Perdata punmengatur tentang kenakalan anak atau remaja terutama dalam Pasal 302
dansegala pasal yang ditunjuk serta terkait dengan masalah kenakalan anak atauremaja
ini. Kondisi dualistik tersebut membawa konsekuensi logis yang berbedadi dalam
sebutannya, walaupun pada prinsip dasarnya sama.Kenakalan anak atau remaja yang
melawan kaedah hukum tertulis yaknidalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) disebut sebagai “Anak Negara” dan
sesuai dengan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang HukumPerdata disebut
sebagai “Anak Sipil”.Berkaitan dengan perbuatan kejahatan dan pelanggaran yang
dilakukanoleh anak atau remaja di bawah
usia 16 tahun, KUHP Indonesia mengaturnyadalam Pasal 45 KUHP sebagai
berikut :“Dalam hal penuntutan pidana
terhadap orang yang belum dewasa karenamelakukan suatu perbuatan sebelum
umur 16 tahun, hakim dapat menentukan,memerintahkan supaya yang bersalah
dikembalikan kepada orang tuanya, waliatau pemeliharanya tanpa pidana apapun,
atau memerintahkan supaya yangbersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa
pidana apapun, jika perbuatanmerupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran
berdasarkan pasal-pasal ;
42489, 490,
492, 496, 497, 503, 505, 514, 517, 519, 526, 531, 532, 536, dan 540,serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan bersalah
karena melakukankejahatan atau pelanggaran tersebut di atas, dan
putusannya menjadi tetap,atau menjatuhkan pidana pada yang bersalah”.21
Pasal 45 KUHP di atas dapat dipandang memadai sebagai pasal yangmemuat beberapa ketentuan yuridis
mengenai anak atau remaja di bawah usia 16tahun yang telah melakukan perbuatan
pidana. Ketentuan-ketentuan yang tertuang di
dalamnya menyangkut syarat-syarat penuntutan serta kemungkinan-kemungkinan yang dapat dipilih oleh hakim di
dalam membuat atau memberiputusan apabila :
1. Merupakan kejahatan sebagaimana termaktub dalam buku kedua KUHPidana.
2. Merupakan pelanggaran terhadap salah satu pasal dalam KUH Pidana
;Pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503, 505, 514, 517, 519, 526, 531, 532,536, dan 540.
Jika dikaji dari segi syarat-syarat
penuntutannya, maka Pasal 45 KUHPmemuat empat (4) hal yang harus dipenuhi,
yakni :1. Anak yang dituntut belum cukup
umur (minderjarig) atau lebih dikenalbelum dewasa.2. Tuntutan tersebut
mengenai perbuatan pidana yang telah dilakukan olehanak yang bersangkutan pada waktu ia belum berumur 16 tahun danpenuntutan
tersebut hanya dapat dilakukan sebelum anak mencapai umur 18 tahun.3. Perbuatan
tersebut merupakan :
Kejahatan-kejahatan kekerasan, pencurian,penipuan, penggelapan dan pemerasan.
Salah satu pelanggaran
dalam pasal 489,
490, 492, 496, 497, 503, 505, 514, 517, 519, 526, 531, 532, 536,dan 540 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia.4.
Belum kadaluwarsa, yakni belum lewat dua tahun sejak dinyatakanbersalah karena
melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaransebagaimana ditunjuk oleh pasal 45 KUHP.Berikut ini penulis sajikan
dalam bentuk tabel.
Tabel 8
Perbandingan Batas Usia Dewasa Menurut Undang-Undang
Skema batas usia dewasa
Bandingkan ketentuan umur
yang disebut di dalam hadits ini:
“Dari Amr bin
Syu’aib ayahnya dari kakeknya bahwa Rasulullah Saw pernah berkata suruhlah
anak-anakmu melakukan shalat sejak usia tujuh tahun dan Pukullah jika tidak mau
sholat di usia sepuluh tahun, serta pisahkan tempat tidur mereka.[154]
Hukuman untuk anak-anak, tentu saja, hal yang
bisa dilakukan adalah tindakan “yang
bukan berupa hukuman, melainkan konsekwensi logis”
yang sejalan dengan syari'at Islam. Misalnya ketika ada seorang santri atau
siswa melanggar disiplin administratif berupa lalai atau berbohong saat meminta
izin, tindakan yang bisa ditempuh misalnya menasihati dengan nasihat yang baalighoh dengan
kata-kata yang menyentuh, tanpa amarah atau membentak-bentak dengan
mengangkat suara, hingga seorang anak menyadari sendiri kesalahannya dan
menyesalinya.
Kemudian
ciptakan
suasana agara murid, mau meminta maaf
seraya bertaubat kepada Allah swt, pendidik bisa memintanya untuk membaca istighfar sebanyak-banyaknya saat itu,
atau membangunkannya untuk shalat taubat di malam harinya. Apabila kesalahan
sudah mencapai tingkatan yang sangat parah, dan pendidik melihat hal itu
berdampak buruk bagi anak-anak didik lainya, selanjutnya bisa menempuh jalan
untuk memulangkannya atau mengeluarkannya dari lembaga. Hal ini sebagaimana
dilakukan oleh Imam Al-Hasan Al-Bashri terhadap bekas muridnya yaitu Washil bin
'Atho' tatkala beliau menjumpainya menyimpang dan tidak ada harapan untuk
kembali ke jalan yang lurus, Al-Hasan Al-Bashri tidak menjatuhkan hukuman apa
pun terhadap dirinya, beliau hanya mengusirnya dari majlis ilmu yang beliau
bina.
Terkait hukuman fisik, memang bukan main-main, dalam bentuk apapun, karena menyakiti sesama muslim adalah dosa di sisi Allah swt. Sedangkan antara para pendidik dan para santri atau siswa pada hakikatnya adalah sesama muslim, yang tidak boleh saling menyakiti satu sama lain. Rasulullah saw bersabda:
Dari Anas bin Malik, Rasulullah saw bersabda: Siapa-siapa yang menyakiti seorang muslim maka sungguh ia telah menyakitiku, dan siapa siapa yang telah menyakitiku maka sungguh ia telah menyakiti Allah swt .[155]
'Uqubah Syar'iyyah, (hukuman)
yang sesuai syari'at ini mungkin penting untuk diketahui sebagai acuan dalam
memberlakukan hukuman selama proses pendidikan. Dengan harapan, hukuman yang
kita terapkan terhadap anak didik kita yang melanggar aturan berjalan efektif
sesuai dengan fitrah syari’at, bukan hukuman yang kontraproduktif, yaitu
hukuman yang justru melanggar syari’at itu sendiri, yang pada akhirnya bukan
hanya pelanggar aturan yang berdosa tapi juga yang menghukum, selain juga tidak
ada bekas ketaatan terhadap penghukum yang dia sendiri tidak taat kepada sang
Al-Hakim Asy-Syari’ Allah ‘Azza wa Jalla. Tentu kita tidak menginginkan kondisi
yang semacam demikian itu.
Pertama, perlu tahu macam-macam hukuman yang ada dalam Islam. Secara garis besar dia digolongkan menjadi tiga macam: hukuman oleh pemerintah terhadap rakyatnya, hukuman oleh orang tua terhadap anaknya, dan hukuman oleh suami terhadap isterinya. Adapun terkait hukuman oleh tuan terhadap hamba-sahayanya, tidak kami bahas untuk memperingkas tulisan ini.
Pertama, perlu tahu macam-macam hukuman yang ada dalam Islam. Secara garis besar dia digolongkan menjadi tiga macam: hukuman oleh pemerintah terhadap rakyatnya, hukuman oleh orang tua terhadap anaknya, dan hukuman oleh suami terhadap isterinya. Adapun terkait hukuman oleh tuan terhadap hamba-sahayanya, tidak kami bahas untuk memperingkas tulisan ini.
Ada ta’zir, dalam bentuk, kepala-kepala murid atau santri yang dicukur,[156] dengan acak-acakan, setelah itu tubuh mereka basah kuyup dengan bau
yang tidak sedap, ya mereka disiram air comberan. Tak cukup sampai disitu,
mereka masih harus berdiri semalaman. “Ritual” itu harus mereka jalankan untuk
“menebus” kesalahan yang mereka.
Ta’zir adalah sebuah hukuman yang dijatuhkan pada santri yang melanggar aturan pondok pesantren. Ta’zir disini lebih diartikan sebagai bentuk hukuman yang berupa kekerasan fisik. Bentuknya bisa bermacam-macam tergantung kebijakan masing-masing pesantren. Entah bagaimana sejarahnya, budaya ini menjadi begitu membumi di kalangan pesantren. Mengamati fenomena tersebut, ada satu kekhawatiran, jika kemudian tradisi itu akan terus berlanjut sampai sekarang. Sebuah institusi pendidikan, apalagi sebuah pesantren yang seharusnya mengajarkan nilai-nilai luhur pada masyarakat sudah tidak sepantasnya melakukan tindakan yang menurut saya lebih mengarah pada tindakan yang anarkis. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana mengubah tradisi tersebut menjadi satu hal yang lebih mendidik dan “humanis”, ini menyangkut dengan hukuman yang ditimpakan kepada mereka yang sudah tidak relevan lagi.
Selain hal di atas, kenapa masyarakat di lingkungan pesantren masih banyak yang menggunakan cara tersebut? Tradisi ta’zir, hampir sama dengan budaya perpeloncoan,[157] saat memasuki tahun ajaran baru bagi siswa sekolah yang sekarang sudah mulai ditinggalkan. Perpeloncoan kemudian diganti dengan cara-cara yang lebih arif semisal olahraga, permaian dan sebagainya. Tampaknya masyarakat sudah bisa menilai bahwa bahwa cara-cara tradisional seperti perpeloncoan merupakan cara yang sudah tidak relevan lagi dan tidak mendidik. Tapi hal itu tidak terjadi pada pondok pesantren. Adanya tradisi ta’zir yang sampai sekarang masih dilestarikan adalah satu bentuk-paling tidak menurut opini masyarakat adalah budaya feodal yang sampai saat ini masih berjalan. Menurut Siti Rofi'ah dar UIN Semarang, dari hasil pengamatan terhadap beberapa (21) pesantren yang ada di Salatiga 17 di antaranya masih menggunakan cara ta’zir untuk menghukum santrinya. Ini menunjukkan bahwa cara tersebut masih sangat “diminati” dan dianggap sebagai cara yang ampuh serta efektif untuk mengatasi masalah pelanggaran yang dilakukan santri.
Landasan filosofis dari dibuatnya sebuah hukuman itu adalah untuk membuat pelaku pelanggaran jera dan menjadi lebih baik dari sebelumnya. Di sini Ta’zir sudah tidak mampu memenuhi hal itu. Bahkan dari informasi yang ada, para santri yang sudah pernah terkena ta’zir kebanyakan tidak menjadi jera bahkan malah menjadi semakin penasaran dan kebal dengan hukuman itu. Akhirnya tujuan hukuman itu sendiri tidak tercapai.
Untuk merubahnya, tentunya harus dimulai pada persoalan yang paling mendasar, yaitu bagaimana tokoh-tokoh pembuat kebijakan dalam pesantren (para pengurus yang juga termasuk santri, dan paling utama adalah Kyai sebagai tokoh sentral dalam sebuah pesantren) memahami esensi sebuah hukuman dan bagaimana efisiensinya terhadap obyek yang terkena hukuman, dalam hal ini adalah santri. Apakah cara-cara seperti ta’zir masih tepat dipertahankan, atau jangan-jangan hanya menjadi tradisi turun temurun yang sia-sia?
Pada awalnya, ta’zir sangat efektif diberlakukan dalam sebuah pesantren, sampai-sampai banyak pesantren di Indonesia menggunakan cara ta’zir sebagai bentuk hukuman. Akan tetapi dalam konteks sekarang, dengan setting sosial yang berbeda, tampaknya masyarakat di lingkungan pesantren harus mempertimbangkan ulang perihal ta’zir tersebut. Persoalan seperti apa metode yang tepat untuk hukuman tergantung dari keadaan. Yang jelas menurut , hukuman dijatuhkan bukan hanya sebagai cara agar membuat kapok bagi pelanggar, akan tetapi lebih pada pembelajaran agar pelanggar tahu arti kesalahan yang dia perbuat dan mempunyai kesadaran agar tidak mengulanginya. Cara ini akan lebih indah dan menyentuh dibandingkan cara-cara kasar yang hanya menjadikan fisik sebagai sasarannya.
Ta’zir (hukuman) dalam pondok
pesantren, perlu direformasi, karena begitu banyaknya santri yang
tidak mentaati aturan-aturan yang berlaku dalam pondok pesantren. Setiap santri
yang melakukan pelanggaran maka akan dita’zir sesuai dengan tingkat pelanggaran
yang dilakukan santri tersebut. Akan tetapi ada juga ta’zir yang diberikan
santri tidak adil,[158]
semisal ada santri yang melanggar aturan podok pesantren tetapi karena santri
tersebut kenal atau teman dekat dengan si penta’zir maka ta’zir-an yang
diberikan kepada santri tersebut lebih ringan dari pada santri yang tidak dekat
dengan si penta’zir. Kebanyakan santri saat ini ketika
dita’zir akan semakin parah bisa juga santri balik mengancam, semisal lapor
pada pihak berwajib dan tidak jarang juga santri-santri yang tidak melanggar
terkena imbasnya.
Tidak patut pendidikan
yang diberlakukan di negara
ini, melanggar hukum
yang sudah ditentukan. Jika dilihat dari hukum yang berlaku di negara ini,masih ada yang melanggar HAM, karena terkadang ta’zir yang diberikan kepada santri tidak sesuai dengan tingkat pelanggaran yang
dilakukan oleh santri tersebut. Misalnya ketika libur pondok telah
usai dan saat kembali ke pondok santri yang terlambat akan dicukur gundul atau
beli semen satu bal. Dan ada juga aturan-aturan tertentu di pondok pesantren
yang bertolak belakang dengan negara
RI, negara yang seperti apa HAM dan hukum dan
aturan-aturan yang diberlakukan di dalamnya.[159]
Penulis berpendapat, hukuman fisik
di madrasah dan sekolah, harus di-hapuskan. Kalau ada hukuman yang bersifat
mendidik kenapa harus menggunakan hukuman dengan kekerasan, karena kebanyakan
ta’zir yang menggunakan kekerasan akan
membuat santri lebih parah, tingkat
pelanggarannya dan bisa juga santri-santri yang dita’zir menyimpan dendam.
Karena apabila dilihat santri saat ini, terkadang tidak sadar bahwa ta’zir yang diberikan kepadanya itu
bermaksud baik agar kesalahan, tidak diulang kembali.
Analisis Perilaku Bullying di Sekolah Dasar, adalah tentang apa yang mesti dilakukan
untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan bullying
di sekolah? Pertama, di lingkungan sekolah harus dibangun kesadaran dan
pemahaman tentang bullying dan
dampaknya kepada semua stakeholder di
sekolah, mulai dari murid, guru, kepala sekolah, pegawai sekolah hingga
orangtua. Sosialisasi tentang program anti bullying
perlu dilakukan dalam tahap ini sehingga semua stakeholder memahami dan
pengerti apa itu bullying dan
dampaknya.
Kemudian harus dibangun sistem atau
mekanisme untuk mencegah dan menangani kasus bullying di sekolah. Dalam tahap ini perlu dikembangkan aturan
sekolah atau kode etik sekolah yang mendukung lingkungan sekolah yang aman dan
nyaman bagi semua anak dan mengurangi terjadinya bullying serta sistem penanganan korban konflik bullying di setiap sekolah.[160]
Sistem ini akan mengakomodir bagaimana seorang anak yang menjadi korban bullying bisa melaporkan kejadian yang
dialaminya tanpa rasa takut atau malu, lalu penanganan bagi korban bullying.
Tabel 2. Tempat Terjadinya Bullying
Kekerasan (Bullying)
|
Jumlah Kasus
|
Persentase
|
Di Sekolah
|
226
|
54,20%
|
Di Luar Sekolah
|
191
|
45,80%
|
Total
|
417
|
100%
|
Sumber : Komnas Perlindungan
Anak, 2007
Tabel 3. Bentuk bullying
Kekerasan (Bullying)
|
Jumlah Kasus
|
Persentase
|
Kekerasan Fisik
|
89
|
21,34%
|
Kekerasan
Seksual
|
118
|
28.30%
|
Kekerasan
Psikis
|
210
|
50,36%
|
Total
|
417
|
100%
|
Sumber : Komnas Perlindungan
Anak, 2007
Tidak kalah
pentingnya adalah menghentikan praktek-praktek kekerasan di sekolah dan di
rumah yang mendukung terjadinya bullying
seperti pola pendidikan yang ramah anak dengan penerapan positive discipline di rumah dan di
sekolah. Langkah ini membutuhkan komitmen yang kuat dari guru dan orangtua
untuk menghentikan praktek-praktek kekerasan dalam mendidik anak. Pelatihan
tentang metode positif disiplin perlu dilakukan kepada guru dan orangtua dalam
tahap ini.Terakhir adalah membangun kapasitas
anak-anak kita dalam hal melindungi dirinya dari pelaku bullying dan tidak menjadi pelaku. Untuk itu anak-anak bisa
diikutkan dalam pelatihan anti Bullying
serta berpartisipasi aktif dalam kampanye anti bullying di sekolah. Dalam tahap ini metode dari anak untuk anak (child
to child) dapat diterapkan dalam kampanye dan pelatihan.
[1] Hukuman fisik dapat dihindari dengan kekuatan bai’at
kepada guru. Masalah
bai’at cukup ramai dalam dunia dakwah, simpang siur pendapat dalam masalah ini
cukup membuat bingung para penganut jama’ah dakwah bahkan para aktivisnya.
Namun sangat disayangkan kebanyakan mereka tatkala membahas masalah yang satu
ini tidak merujuk kepada penjelasan para ulama Ahlussunnah.
Bahkan mereka mengambil hadits-hadits Nabi SAW., dalam masalah ini, lalu mereka memahaminya dengan akal pikiran mereka sendiri. Lebih parah jika kemudian disesuaikan dengan kepentingan pribadinya, kelompoknya atau pahamnya, sehingga bai’at menjadi jaring atau tali pengikat para pengikut jama’ah dakwah untuk tidak lepas darinya. Kalau tetap saja lepas maka… Tak sedikit orang dianggap kafir dan diberlakukan padanya hukum-hukum orang kafir di dunia dan akhirat karena tidak berbai’at. Lihat Irpan Ubaidillah, bahwa Harun ar-Rasyid dan al-Makmun berorientasi pada aspek kemaslahatan duniawiyah dan ukhrawiyah., pada masa Harun al-Rasyid dan al-Makmun status sosial guru ditentukan berdasarkan kompetensi, profesionalitas dan akhlaqul karimah. Sedangkan kehidupan murid pada masa ini yaitu belajar langsung di depan syaikh, diskusi dan Rihlah Ilmiah. Irpan Ubaidillah, Disertasi, Studi Tentang Pendidikan Islam Pada masa Daulah Abbasiyah,(Surakarta, Univerversitas Muhammadiyah : 2001),256 .
Bahkan mereka mengambil hadits-hadits Nabi SAW., dalam masalah ini, lalu mereka memahaminya dengan akal pikiran mereka sendiri. Lebih parah jika kemudian disesuaikan dengan kepentingan pribadinya, kelompoknya atau pahamnya, sehingga bai’at menjadi jaring atau tali pengikat para pengikut jama’ah dakwah untuk tidak lepas darinya. Kalau tetap saja lepas maka… Tak sedikit orang dianggap kafir dan diberlakukan padanya hukum-hukum orang kafir di dunia dan akhirat karena tidak berbai’at. Lihat Irpan Ubaidillah, bahwa Harun ar-Rasyid dan al-Makmun berorientasi pada aspek kemaslahatan duniawiyah dan ukhrawiyah., pada masa Harun al-Rasyid dan al-Makmun status sosial guru ditentukan berdasarkan kompetensi, profesionalitas dan akhlaqul karimah. Sedangkan kehidupan murid pada masa ini yaitu belajar langsung di depan syaikh, diskusi dan Rihlah Ilmiah. Irpan Ubaidillah, Disertasi, Studi Tentang Pendidikan Islam Pada masa Daulah Abbasiyah,(Surakarta, Univerversitas Muhammadiyah : 2001),256 .
[2] Benturan antara maslahat dan mafsadat, dalam artian
kalau ingin mengerjakan kemaslahatan tersebut maka mesti melakukan mafsadatnya.
Jika hal ini yang terjadi maka secara umum dapat diurai kan sebagai berikut: 1.
Apabila mafsadatnya lebih besar dibanding maslahatnya, maka meng-hindari mafsadat itu dikedepankan daripada meraih
kemaslahatan tersebut. 2. Apabila maslahatnya jauh lebih
besar dibandingkan dengan mafsadat yang akan timbul, maka meraih maslahat itu lebih diutamakan daripada
menghindari mafsadatnya. Oleh karena itu, jihad berperang
melawan orang kafir disyari’at kan, karena meskipun ada
mafsadatnya yaitu hilangnya harta, jiwa dan lainnya, namun maslahat me negakkan kalimat Alloh di muka bumi jauh lebih utama
dan lebih besar. 3. Apabila maslahat dan mafsadat seimbang, maka secara
umum saat itu menolak mafsadat lebih didahulukan daripada meraih kemaslahatan
yang ada. Berdasarkan kaidah umum: (Menghilangkan mafsadat itu lebih dida-hulukan daripada mengambil sebuah maslahat).Untuk
mengetahui perincian permasalahan ini lihat kembali kaidah (Tidak
boleh berbuat sesuatu yang membahayakan).Lihat Asmawi, Perbandingan Usul Fqih, (Jakarta ,
Penerbit Amzah : 2011),57
Madzhab Manhaji. Pidato
Promovendus pada Penerimaan Gelar Doktor Honoris Causa dalam Bidang Fikih
Sosial di UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta, 18 juni. Jakarta: Universitas Islam
Negeri, 18.
Qayyim Al-Juuziyyah). 1980. ‘Alaam
al-Muwaqqi’iin ’an Rabbi al-‘Alamiin. Cairo: Mathabi’ Al-
Islam, jilid 3, 3.
Makalah Seminar Penguatan Hak-Hak
Reproduksi Perempuan, PP Fatayat NU dan Ford Foundation, Jakarta, 1 September
2001
Konseling. Jakarta:
Yayasan Kesehatan Perempuan.Lihat juga
Khalid bin Ali Al-Musyaiqih, op.cit. ,189
[10] Asbab al-nuzulnya : Ketika telah turun ayat 43 surat
Al-Nisa’ dan hukum khamar ialah haram,
tetapi tidak secara mutlak. Para shahabat saat itu masih ada sebahagian dari
mereka yang masih meminum khamar dan mabuk-mabukkan yang mengakibatkan prilaku
mereka sangat jauh dari aturan. Oleh karena itulah pada tahapan selanjutnya
Allah menurunkan ayat 90 surat Al Maidah yang berisi pengharaman khamar secara
mutlak. Dalam ayat ini Allah mengharamkan khamar melalui beberapa sebutan,
yakni : Rijsu (رجس ) yang berarti al najasah ( النجاسة ) najis dan najis
merupakan sesuatu yang dilarang oleh Allah (diharamkan). Kedua, Allah
mengkategorikan meminum khamar ke dalam perbuatan yang selalu dilakukan oleh Syaitan. Dengan turunnya ayat ini semua para ulama sepakat bahwa hokum dari
khamar itu ialah haram. Penerapan
metode Tadrij dalam penerapan hukum Islam di Peradilan Indonesia.
[14]
Membiasakan Anak
dengan Pakaian yang Syar’i.Hendaknya anak-anak dibiasakan meng-gunakan pakaian sesuai dengan jenis kelaminnya. Anak
laki-laki menggunakan pakaian laki-laki dan anak perempuan menggunakan pakaian
perempuan. Jauhkan anak-anak dari model-model pakaian barat yang tidak syar’i,
bahkan ketat dan menunjukkan aurat.Tentang hal ini, Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang meniru sebuah kaum, maka dia termasuk
mereka.” Shahih, HR. Abu Daud,
[15] Hal ini sesuai
dengan yang dikatakan oleh Umar Muhammad Al-Taumy Al-syaibany bahwa “ alam
natural bukan saja mencakup segala mahluk yang akan tetapi juga merangkum
sistem, peraturan atau undang-undang alam yang semua bagian alam tunduk kepada
dasar-dasarnya dan sesuatu itu terjadi atau berlaku mengikuti ketentuan
persyaratan disekelilingnya. Umar Muhammad Al-Taumy Al-Syaibany, Falsafah
Pendidikan Islam, Hasan Langgulung, (Jakarta, Bulan Bintang 1979),58.
[19] Hukuman pun sering diterima siswa manakala
mereka melanggar tata tertib yang telah disepakati. Hukuman itu
dimaksudkan sebagai upaya mendisiplinkan siswa terhadap peraturan yang
berlaku. Sebab, dengan sadar pendidik memegang prinsip bahwa disiplin itu
merupakan kunci sukses hari depan. Apakah bentuk-bentuk hukuman bisa
dikembangkan untuk mendisiplinkan siswa? Pertanyaan seperti inilah menjadi
dilema bagi kaum pendidik dalam mengemban kewajiban dan
tanggung jawabnya. Apabila sanksi hukuman sama sekali tidak diadakan
niscaya perilaku siswa akan lebih semrawut. Orang dapat
menduga-duga, ada penerapan hukuman saja siswa yang melanggar masih banyak,
apalagi jika sanksi hukuman ditiadakan. Tambah ruwet. Jika hukuman itu diadakan
menuntut konsekuensi bagi para pendidik itu sendiri. Maksudnya, pendidik harus
benar-benar bisa sebagai suri tauladan bagi anak didiknya. Penerapan aturan
hukuman bagi para siswa yang melanggar tetapi tidak diikuti kedisiplinan
pendidik, bagaikan halilintar di waktu siang bolong, banyak yang menyepelekan. UU menyebutkan “ Pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan. Lihat Undang-Undang Sisdiknas No.
20 tahun 2003
[21] Hukuman sebagai salah satu teknik
pengelolaan kelas sebenarnya masih terus menjadi bahan perdebatan. Akan tetapi,
apa pun alasannya, hukuman sebenarnya tetap diperlukan dalam keadaan sangat
terpaksa, katakanlah semacam pintu darurat yang suatu saat mungkin diperlukan.
Hukuman merupakan alat pendidikan represif, disebut juga alat pendidikan
korektif, yaitu bertujuan untuk menyadarkan anak kembali kepada hal-hal yang
benar dan/atau yang tertib. Alat pendidikan represif diadakan bila terjadi
suatu perbuatan yang diangap bertentangan dengan peraturan-peraturan atau suatu
perbuatan yang dianggap melanggar peraturan. Penguatan negatif dan penghapusan
sebenarnya bernilai hukuman juga. Menyajikan stimulus tidak menyenangkan dalam
pemakaian teknik penguatan negatif maupun tidak memberikan penguatan yang
diharapkan siswa dalam teknik penghapusan, pada dasarnya adalah hukuman
walaupun tidak langsung. Kalau penguatan negatif dan penghapusan dapat
dikatakan hukuman tidak langsung, maka yang dimaksud dengan hukuan di sini
adalah hukuman langsung, dalam arti dapat dengan segera menghentikan tingkah laku
siswa yang menyimpang.
[23] Kerusakan anak-anak itu
kebanyakan bersumber dari orang tua yang membiarkan mereka dan tidak
mengajarkan kewajiban-kewajiban dan sunnah din ini kepada mereka. Mereka tidak
memperhatikan masalah-masalah agama tersebut saat masih kecil, sehingga saat
sudah besar mereka sulit meraih manfaat dari pelajaran agama dan tidak bisa
memberikan manfaat bagi orang tua mereka.” Tuhfatul Maudud, I: 229.Lihat
Muhammad Al-Ghazali, op.cit.,463
[27] Pakar pendidikan ini ingin mengatakan bahwa hukuman
memang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam membina anak-anak, malahan
dalam situasi tertentu mutlak diperlukan sekali. Tetapi pada saat yang sama ia
sama sekali tidak setuju secara mutlak dengan hukuman fisik. Ia tidak keberatan
dengan hukuman-hukuman non-fisik tapi bukan hukuman non-fisik yang berat.Ia
menambahkan, “Perlu diingat bahwa jangan sekali-kali memberikan hukuman yang
akan merendahkan harga diri anak, seperti hukuman badan, ancaman dengan siksaan
atau apa saja demi menghancurkan keinginan buruknya.
[30]
Menghukum anak saat dia melakukan kesalahan. Apabila
pada suatu kali anak menyalahi perilaku terpuji, selayaknya pendidik tidak
membongkar dan membeberkan kesalahan-kesalahannya itu. Mengungkapan rahasianya
itu mungkin akan membuatnya semakin berani melanggar. Jika anak mengulangi
kesalahan yang sama, tegurlah dengan halus dan tunjukkan urgensi
kesalahannya.Menegur dan mencela secara berkesinambungan dan mengungkit-ungkit
kesalahan yang dilakukannya membuat anak menjadi pembangkang. Sehubungan dengan
hal tersebut Al-Ghazali menegaskan ”Jangan terlampau banyak mencela setiap saat
karena perkataan tidak lagi berpengaruh dalam hatinya. Hendaknya guru atau
orang tua menjaga kewibawaan nasehatnya.”Seorang pendidik harus mengetehui cara
pertumbuhan akal manusia yang bertahap hingga ia mampu mensejalankan
pertumbuhan itu dengan pengajarannya terhadap anak didik. Ia menasehatkan agar
tidak kasar dalam memperlakukan anak didik yang masih kecil, mencubit tubuh
dalam pengajaran merusak anak didik, khususnya anak kecil. Perlakuan kasar dan
keras terhadap anak kecil dapat menyebabkan kemalasan dan mendorong mereka
untuk berbohong serta memalingkan diri dari ilmu dan pengajaran. Oleh karena
itu pendidik harus memperlakukan anak didik dengan kelembutan dan kasih sayang
serta tegas dalam waktu-waktu yang diutuhkan untuk itu.
[32]
Adapun yang dimaksud oleh Yusuf Qardhawi, dengan istilah ini ialah hukum-hukum yang menglami
perubahan. Perubahan disini maksudnya ialah hukum-hukum yang mengalami
perubahan dengan perubahannya zaman, keadaan dan tempat. Terjadinya perubahan
hukum karena perubahan dalam masyarakat. Dalam satu kaedah, disebutkan sebagai berikut
.: Fatwa (hukum) dapat berubah
karena perubahan zaman, tempat, keadaan dan adat (‘urf).
[34]
Usia anak sudah 10 tahun dan sebab memukulnya adalah karena dia
meninggalkan sholat. Adapun penyebab selainnya, maka dilakukan orang tua bila
melihat ada maslahatnya (sisi positifnya), misalnya anak tidak berhenti dari
penyelewengan kecuali dengan dipukul. Ini ketetpan Allah,
bukan ketetapan guru atau mufti. Imam Ibnu Qayyim berkata "
Seorang mufti dan seorang hakim (penguasa, qadhi) tidak akan bisa berfatwa dan
memutuskan perkara dengan kebenaran, kecuali bila memadukan dua pemahaman
(fiqih). Pertama : memahami dan mengerti betul waqi' (realita), serta
menyimpulkan ilmu tentang hakekat realita yang ada dengan qarinah, amarah dan 'alamat (bukti-bukti
dan data-data) sehingga ilmunya meliputi realita. Kedua :
memahami apa yang wajib (kewajiban syariat) atas realita, yaitu memahami hukum
Allah yang ditetap
kan dalam kitab-Nya atau melalui lesan
Rasul-Nya atas realita tersebut. Baru kemudian menerapkan yang satu (hukum
syariat, pent) atas yang lain (realita)
[35] Arti penting teori maqashid al-syari’ah yang
pertama tersebut dianggap dapat memberi napas bagi produk-produk fiqih para
ulama yang terlalu terpaku pada teks dan tanpa mengindahkan konteks. Misalnya hukuman
fisik bagi anak yang tidak shalat, merupakan obat bagi kemalasannya. Lebih
dari itu juga dapat menepis anggapan sementara orang bahwa hukum Islam adalah
hukum yang mati, ambigu, bahkan terkadang, menurut mereka, kurang manusiawi
(al-Turabi, 2000: 18). Oleh karena itulah, teori ushul fiqih dan maqashid al-syari’ah harus
dikawinkan untuk mengatasinya. Selanjutnya, dengan metodologi
Imam al-Syathibi dalam al-Muwafaqat-nya yang mencoba menggabungkan teori-teori ushul
fiqih dengan maqashid al-syari’ah akan menjadi penghubung sekaligus jembatan untuk
meng-“ishlahkan” kedua kecenderungan di atas. Memisahkan maqashid al-syari’ah dari teori-teori ushul fiqh merupakan kesalahan karena tidak semua persoalan
dapat diselesaikan dengan maqashid al-syari’ah an.sich,. Apa yang
dikemukakan Thahir bin Asyur dalam bukunyaMaqashid
al-Syari’ah al-Islamiyyah yang
secara yakin menjadikan maqashid
al-syari’ah ini sebagai ilmu mustaqil yang
terlepas dari ilmu ushul fiqh (Asyur, 1999: 180), kata Darusmanwiati,
adalah tidak benar, karena teori-teori dan kerangka yang dikemukakan Asyur
sendiri, disadari atau tidak, adalah teori-teori ushul fiqh itu sendiri hanya
dengan format yang berbeda (Darusmanwiati, Islamlib: 309). Sebenarnya, maqashid
al-syari’ah telah dikembangkan
oleh para mujtahid sebelum al-Syathibi dan bahkan dikembangkan dan
disempurnakan juga oleh para pemikiran kontemporer zaman ini. Kata al-maqashid sendiri
menurut Ahmad Raisuni, pertama kali digunakan oleh al-Turmudzi al-Hakim, ulama
yang hidup pada abad ke-3. Dialah, menurut Raisuni, yang pertama kali
menyuarakan maqashid al-syari’ah melalui buku-bukunya, al-Shalah wa Maqashiduhu, al-Haj wa Asraruh, al-‘Illah, ‘Ilal
al-Syari’ah, ‘Ilal al-‘Ubudiyyah dan
juga bukunya al-Furuq yang kemudian diadopsi oleh Imam al-Qarafi
menjadi judul buku karangannya (al-Raisani, 1995: 32).
[36] Sudah tidak asing di kalangan para ulama yang
berkecimpung dalam juresprudensi Islam (ushul
al-fiqh) mengenai teori maqashid al-Syari’ah yang
disistematisasi dan dikembangkan oleh al-Syathibi. Bahkan Musthafa Said al-Khin
dalam bukunya al-Kafi al-Wafi fi
Ushul al-Fiqh al-Islamy membuat
kategorisasi baru dalam aliran Ilmu Ushul Fiqh. Bila sebelumnya hanya dikenal
dua aliran saja, yaitu Mutakallimin dan fuqahaatau Syafi’iyyah dan Hanafiyyah, maka al-Khin membaginya menjadi lima bagian:Mutakallimin, Hanafiyyah, al-Jam’i, Takhrij al-Furu’ ‘alal Ushul dan Sya-thibiyyah (al-Khin,
2000: 8). Dengan demikian, pembagian tersebut telah menempatkan
pemikiran Imam al-Syathibi dalam al-Muwafaqat menjadi salah satu bagiatn corak aliran yang
terpisah dari aliran ushul fiqih lainnya. Hal ini karena dalam coraknya,
al-Syathibi mencoba menggabungkan teori-teori (nadhariyyat) ushul
fiqh dengan konsep maqashid al-syari’ah sehingga produk hukum yang dihasilkan lebih
hidup dan lebih kontekstual. Menurut Darusmanwiati, Ada dua
nilai penting apabila model al-Syathibi ini dikembangkan para ulama sekarang
dalam menggali hukum: Pertama, dapat men-jembatani
antara “aliran kanan” dan “aliran kiri”. “Aliran kanan” yang dimaksud adalah
mereka yang tetap teguh berpegang pada konsep-konsep ilmu ushul fiqh sedangkan
“aliran kiri” adalah mereka yang terakhir ini vokal dengan idenyatajdid ushul al-fiqh dalam
pengertian perlu adanya dekonstruksi ushul fiqih demi menghasilkan produk fiqih
yang lebih kapabel …. Kedua, model al-Syathibi ini akan lebih menghasilkan produk
hukum yang dalam istilah Ibnu al-Qayyim, al fiqh al-hayy,
fiqih yang hidup. Karena itu, fiqih yang terlalu teksbook yang
penulis istilahkan dengan Fiqh
Ushuly akan berubah
menjadi Fiqh Maqashidy Darusmanwiati, Islamlib:
309.
[38] Suruhlah anak-anakmu untuk
melaksanakan shalat pada usia tujuh tahun, dan pukullah mereka jika tidak mau
melaksanakannya pada usia sepuluh tahun, serta pisahkanlah tempat tidur
mereka.”[Hadits shahih, diriwayatkan oleh Ahmad (II/ 180, 187), Abu Dawud
(no. 495), Al-Hakim (I/197), Al-Baihaqi (III/84), Ibnu Abi Syaibah (no. 3482),
Ad-Daruquthni (I/230), Al-Khathib (II/278), dan Al-‘Uqaili (II/167), dari
‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu’anhuma. Lihat juga Shahihul Jami’
(no. 5868)] Ada
beberapa syarat yang harus dipenuhi berkaitan dengan pukulan
kepada anak ini, yaitu:
a. Anak mengerti atas alasan apa dia dipukul. b. Orang yang memukulnya adalah walinya, misalkan ayahnya. c. Tidak boleh memukul anak secara berlebihan. d. Kesalahan yang dilakukan oleh sang anak memang patut untuk mendapatkan hukuman. e. Pukulan dimaksudkan untuk mendidik anak, bukan untuk melampiaskan kemarahan.[Lihat Al-Qaulul Mufid (II/473-474) dan Bekal Menanti Si Buah Hati , 55-56
a. Anak mengerti atas alasan apa dia dipukul. b. Orang yang memukulnya adalah walinya, misalkan ayahnya. c. Tidak boleh memukul anak secara berlebihan. d. Kesalahan yang dilakukan oleh sang anak memang patut untuk mendapatkan hukuman. e. Pukulan dimaksudkan untuk mendidik anak, bukan untuk melampiaskan kemarahan.[Lihat Al-Qaulul Mufid (II/473-474) dan Bekal Menanti Si Buah Hati , 55-56
[41]
Editor Tribun Pontianak.Co.id - Peristiwa
kaburnya model cilik, Ruvita Sari Siahaan, 9 Januari 2012 lalu, tak ubahnya
drama sarat makna kehidupan.
Pelajaran hidup, terutama bagi orangtua di
tengah kehidupan global yang "lebih" mendewakan materi daripada
nilai-nilai religi dan budaya.
Vita, sapaan akrab Ruvita Sari, nekat kabur ke
Sorong, Papua Barat bukan tanpa sebab. Kenekatan model iklan berusia 13 tahun
ini, berlatar tekanan psikis hebat dari ibunya, Ny Lily.Setelah ditemukan
polisi di rumah orangtua angkatnya, Bunda Maya di Sorong, Kamis (26/1/2012)
sore, Vita mengaku sering dipukul ibunya kalau menolak syuting.Tidak sampai di situ, sang ibunda "terlalu" mengatur
selera dan kehidupan anak. Mulai urusan busana hingga rileks (jalan-jalan),
Vita perlu menangis. Vita pun mengalami memar akibat pukulan sang ibu, manakala
model iklan cokelat pasta itu pulang pukul 21.00 WIB. Sang Ibu tak mengelak, mengakui pernah
juga menarik rambut Vita dan menjepret kaki putrinya menggunakan karet.
Benarkah cara orangtua pada buah hatinya ini? Prinsipnya, tak seorang orangtua
pun di muka bumi, ingin menzalimi anak kandungnya.Harimau yang paling buas
sekalipun, tak pernah memakan anak-anaknya, meski kelaparan. Kaum sufi
psikologi maupun agama, justru meyakini cinta orangtua kepada anak, lebih besar
dibanding cinta anak kepada orangtuanya.
[42] Adapun pukulan yang dimaksud
adalah: a. Pukulan
yang dapat diterima oleh si anak, yakni pukulan yang ringan, b. Pukulan yang tidak menimbulkan
bekas atau luka pada tubuh si anak, c.
Pukulan di bagian tubuh, kecuali wajah. [Lihat
Menanti Buah Hati, hal. 347-348). Bersikap adil kepada semua anak
dan bersabar dalam menghadapi mereka. Orang tua terkadang memiliki
kecenderungan pada salah satu atau sebagian anak dibandingkan dengan anak-anak
lainnya, baik dalam hal materi maupun imateri. Padahal, sikap orang tua yang
demikian itu tidak akan memberikan dampak yang baik bagi kejiwaan anak-anaknya.
Sebab akan ada anak yang merasa tidak disayangi dan tersisihkan, sementara dia
melihat saudaranya mendapatkan perlakuan berbeda dari orang tuanya. Hal seperti
ini akan sangat mungkin untuk memicu perselisihan bahkan permusuhan antar
sesama saudara. Dan sikap seperti ini juga berarti menzhalimi mereka. [Lihat Ensiklopedi
Adab Islam (I/201)] Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Aku tidak mau
menjadi saksi atas perbuatan zhalim, bertakwalah kalian kepada Allah dan
bersikap adillah kepada anak-anak kalian.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh
Bukhari (no. 2586, 2587) dan Muslim (no. 1623), dari Nu’man bin Basyir radhiyallahu’anhu] Selain itu, orang tua juga harus
menyadari bahwa anak adalah fitnah (ujian) bagi orang tua maka hendaknya orang
tua dapat bersabar dalam menghadapi gangguan dari anak-anaknya. Allah ‘Azza
wa Jalla berfirman, Artinya:
“Dan ketahuilah! Sesungguhnya harta-hartamu dan anak-anakmu adalah fitnah
(ujian/cobaan bagimu). Dan sesungguhnya Allah (yang) disisi-Nyalah terdapat
ganjaran yang besar.” (Qs. Al-Anfal: 28) Artinya: “Hanya saja
harta-hartamu dan anak-anakmu adalah fitnah (ujian/cobaan bagimu). Dan
sesungguhnya Allah (yang) disisi-Nyalah terdapat ganjaran yang besar.”
(Qs. Ath-Taghabun: 15).Terutama
bagi pasangan orang tua yang memiliki anak perempuan, hendaknya mereka bersabar
dalam mengasuh dan mendidiknya, karena anak perempuan yang diasuh dengan baik
oleh orang tuanya dapat menjadi penghalang bagi kedua orang tuanya dari api
Neraka. Dan hal ini telah dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam sabdanya berikut ini,. Artinya: “Barang siapa diuji
dengan anak-anak perempuan lalu dia memberi asuhan yang baik kepada mereka,
maka anak-anak perempuan itu akan menjadi penghalang antara dirinya dari
Neraka.”[Hadits shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (no. 1418, 5998) dan
Muslim (no. 2629)]
[43] Apabila manusia telah meninggal, maka
terputuslah amalnya, kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang
bermanfaat, dan anak shalih yang mendo’akan kebaikan baginya.”
[Hadits shahih, diriwayatkan oleh Muslim (no. 1631),
Ahmad (II/372), Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad (no. 38), Abu Dawud
(no. 2880), An-Nasa’i (VI/251), Tirmidzi (no. 1376), dan Al-Baihaqi (VI/278)
dari Abu Hurairah.
[44]
Sudah tidak asing lagi di beberapa pondok,pengurus atau pihak pondok
menetapkan aturan dng cara menta'zir yg salah satunya dng menarik uang(denda)
bagi santri yang melanggar aturan yang telah ditetapkan pihak pondok. Contoh
pada pesantren di Jawa,karena , mereka
para kiyai tahu hukum menta'zir dengan uang, sehingga timbul pertanyaan: 1. bagaimanakah hukum
menta'zir dengan meng-gunakan uang(mendenda).....2. jika tidak boleh,apakah ada
cara lain yang membolehkanya,mungkin dengan hilah(mreka daya hukum)? 3. hukum
helah yang diperbolehkan seperti apa kriteria yang diperbolehkan menurut
syar'i? Ternyata di dalam madzhab Syafi'i menghukum dengan denda uang itu tidak
boleh,tapi menurut pendapat imam malik boleh menghukum dengan denda
uang.....Batas pukulan mendidik yaitu dari pantat ke bawah,kalau pun organ atas
yaitu hanya kuping dengan cara dijewer. Ibnu Qayyim Al Jauziyah –rahimahullah- mengatakan, ”Kaum muslimin bersepakat bahwa meninggalkan shalat lima waktu
dengan sengaja adalah dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari
dosa membunuh, merampas harta orang lain, berzina, mencuri, dan minum minuman
keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah
serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.” (Ash Sholah
wa Hukmu Tarikiha, Ibnul Qayyim,. 7
[45] Anak yang menjadi dambaan setiap
keluarga adalah rizki sekaligus ujian dari Allah Ta’ala kepada
hamba-hamba-Nya. Bahkan Allah Ta’ala menyebutkan dalam firman-Nya
bahwa anak adalah salah satu kesenangan dan perhiasan dunia, Artinya: “Harta dan anak-anak
adalah perhiasan kehidupan dunia.” (Qs. Al-Kahfi: 46) Kehadiran anak di tengah-tengah
keluarga merupakan amanah yang sangat besar bagi kedua orang tuanya. Oleh
karenanya, para orang tua dituntut untuk senantiasa memperhatikan perkembangan
jasmani dan rohani sang buah hati. Namun, belakangan sering kita temui
peristiwa-peristiwa memilukan yang menimpa anak-anak akibat perbuatan orang
tuanya.
[47] Menurut
data Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak, pada 2011 telah terjadi 1.851
pengaduan ABH yang diajukan ke pengadilan. Hampir 89,8 persen kasus ABH
berakhir pada pe¬mi¬danaan atau diputus pidana. Data lain yang dirilis
Ke¬men¬terian Hukum dan HAM 2010 menunjukkan bahwa di 16 La¬pas di Indonesia
ditemukan 6.505 ABH yang diajukan ke penga¬dilan dan 4.622 ABH di antara¬nya
mende¬kam dipenjara. Jumlah ini mung¬kin jauh lebih besar karena angka ini
hanya bersumber dari laporan 29 Balai Pe¬masyarakatan (Bapas), se¬mentara di
Indonesia terdapat 62 Bapas (Rakyat Merdeka, 19 Januari 2012).
[48]
Secara yuridis,
Undang-undang tentang perlindungan Guru telah termuat dalam UU No.14/2005
tentang Guru dan Dosen. Hal ini terlihat jelas pada Bab VII pasal 39 yang
menyebutkan bahwa pemerintah, masyarakat, organisasi profesi, dan atau satuan
pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru.
[49] Secara yuridis, Undang-undang
tentang perlindungan Guru telah termuat dalam UU No.14/2005 tentang Guru dan
Dosen. Hal ini terlihat jelas pada Bab VII pasal 39 yang menyebutkan bahwa
pemerintah, masyarakat, organisasi profesi, dan atau satuan pendidikan wajib
memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas. Hal ini terlihat
bahwa eksistensi UU No.14/2005 telah memuat perlindungan terhadap guru atas
profesinya. Namun implementasi terhadap undang-undang tersebut masih belum
terlaksana.Lihat Bunadi Hidayat, Pemidanaan Aanak Di Bawah
Umur,(Bandung, PT.Alumni : 2010), 115
[50] Secara tidak
sadar orangtua menghukum anaknya
dengan emosi dan cara yang kasar, seperti langsung memukulnya. Tindakan seperti
ini kurang dibenarkan, karena bagaimana pun didikan orangtua turut menciptakan kondisi anak
pada masa mendatang.Rasulullah SAW mengajarkan tanggapan bagaimana seharusnya orangtua menghukum anak,
yakni orangtua menunjukan kesalahan dengan pengarahan
secara langsung, menunjukan kesalahan dengan isyarat,
hardikan dan pukulan. Hukumsn pukulan adalah jalan terakhir untuk
menghukum anak agar jera, namun pukulan tersebut harus didasari rasa kasih sayang. Bunadi Hidayat,
op.cit, 183
[51] Menurut sbagian madzhab hanafi boleh menta'zir dengan
pakai uang tapi bila sudah taubat, harus dikembalikan uangnya.fiqh ala al madyhab al arba'ah 5/
401.Yang tidak memperbolehkan silahkan dicek di kitab tanwir al quluub,hasyiyah al jamal ala al manhaj dan gyoyah talkhis
almurod hamisyi bughyah. “Dan tidak
boleh menta’zir (menghukum) dengan mencukur jenggot atau dengan mengambil
harta”.(Tanwiir al-Quluub , 2001),
392
[52] Ta’zir tidak boleh dengan mengambil harta”. Hasyiyah
al-Jamal V/164 “Dan haram menta’zir dengan mencukur jenggot, memotong anggauta
dan melukainya, Ta’zir diharamkan juga dengan mengambil atau merusak harta
benda karena tidak terdapati ketetapan syara’ yang demikian dari prilaku yang
dapat diikuti dan karena tujuan diperlakukan menta’zir demi mengajari tatakrama
yang tidak ada ketentuan dengan merusak harta benda berbeda menurut Imam
Taqiyuddin yang memperkenankan ta’zir dengan mengambil atau merusak harta
benda”. Mathaalib Ulin Nuhaa VI/224
[53]
Seorang
sahaya menganiaya sahaya lainnya, maka bagi sahaya yang menganiaya diperlakukan
ta’zir dari sayyidnya sesuai petunjuk hakim atau yang ditempatkan pada posisinya
dengan dipenjara, dipukul, atau dinaikkan keledai dengan berbalik dan
semacamnya.Janganlah memberikan balasannya pada sahaya yang dianiaya, dan tidak
diperbolehkan menta’zir dengan mengambil harta benda menurut kami
(Syafi’iyyah). Bughyah al-Mustarsyidiin , 532
[54]
“Bentuk
Ta’zir bisa dengan berupa dipenjarakan atau pukulan yang tidak menyakitkan,
menampar, atau mencelanya dengan ucapan atau diasingkan dalam kurun kurang
setahun didaerah yang panas atau kurang dari kurun separoh tahun didaerah yang
dingin atau diberdirikan dalam satu majlis atau dibuka penutup kepalanya atau
dicoreng hitam mukanya atau dicukur rambutnya bagi orang yang tidak suka potong
rambut tapi tidak dicukur jenggotnya meskipun menurut kami hal demikian adalah
makruh menurut pendapat yang paling shahih, atau dinaikkan pada keledai dengan
berbalik dan diarak berkeliling ditengah-tengah orang banyak dan mengancamnya
dengan aneka siksaan-siksaan lainnya”.Nihaayah al-Muhtaaj VIII/21
[55]
Mengenai berapa lama pidana penjara dijatuhkan
kepada anak nakal, Pasal 26 ayat (1)
UU 3/1997 menentukan bahwa pidana penjara yang dapat dijatuhkan
kepada anak nakal adalah paling lama
1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.Jadi,
harus dilihat kembali pada ketentuan pidananya. Misalnya, jika anak tersebut
dijerat dengan Pasal 359 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang
berbunyi: “Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang
lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana
kurungan paling lama satu tahun.” Sehingga, pidana untuk anak nakal
yang melakukan pembunuhan dan dijerat dengan Pasal 359 KUHP adalah paling lama 2,5 (dua setengah) tahun.
[56]
Pengadilan anak-anak Mencatut Demi Hukuman Mati?Pada tahun 1995, seorang
bocah di Lumajang dijerat pasal dengan ancaman hukuman mati. Kini urusan
hidup-mati Ma’ruf – bukan nama sebenarnya – yang masih berusia 14 tahun,
sepenuhnya berada ditangan majelis hakim. Sebab, Jaksa Imam Sudarmadji menuduh
Ma’ruf telah melakukan pembunuhan berencana terhadap Buyar, teman sekampungnya.
Artinya, anak ke empat pasangan Sariman-Sarmi ini diancam hukuman mati
atau pidana penjara seumur hidup. Untuk perbuatan itu, ancaman hukuman paling
ringan adalah penjara 20 tahun. Menurut
dakwaan jaksa, perbuatan itu terjadi pada tanggal 9 April silam, di persawahan
desa Mlawang, Kecamatan Klakah, Lumajang. Pembunuhan itu terjadi akibat
perkelahian di antara mereka dengan menggunakan clurit. Hujaman clurit
tersangka menjadi penyebab kematian korban. Sumber : www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1995/08/14/0007.html
[57]
Dalam kasus
ini, jika anak ditahan sebaiknya segera ditanyakan apakah ia telah ditemui oleh
seorang petugas Bapas. Dan apakah padanya telah diberikan haknya untuk tetap
memperoleh penasehat hukum, karena petugas Bapas bukanlah seorang penasehat
hukum. Harus diingat, anak berhak memperoleh dan negara wajib memberikan proses
hukum yang cepat.Apabila pihak korban akan menarik tuntutannya, penyelesaian di
luar proses hukum sangat mungkin untuk dilakukan karena petugas hukum, dalam
hal ini polisi, yang terlibat dalam proses peradilan anak diberi keleluasaan
untuk melakukan diskresi (sewaktu-waktu menghentikan proses hukum) demi
kepentingan anak.
[60]
Komite HAM PBB (Human Rights Committee)
dalam Komentar Umum No. 6 menegaskan bahwa “ekspresi tentang kejahatan yang
paling serius harus diartikan secara terbatas, bahwa pidana mati hanya
dilaksanakan sebagai tindakan luar biasa. UU Nomor 23 tahun 2002 Pasal 2 menyatakan bahwa asas
dan tujuan perlindungan anak salah satunya berlandaskan pada prinsip-prinsip
KHA : a) non diskriminasi; b) kepentingan yang terbaik
bagi anak; c) hak untuk hidup,
kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan d)
penghargaan terhadap pendapat anak.Dalam konteks anak yang berkonflik dengan
hukum, undang-undang ini mewajibkan negara untuk memberikan perlindungan khusus
(Pasal 59).
[61] Hukuman tidak dimaksudkan untuk
sebuah pembalasan dan pembebasan dari dosa. Hukuman lebih dimaksudkan sebagai
cara mencegah orang untuk berbuat kejahatan. Teori ini dikenal dalam hukum
Islam sebagai “zawajir”, pencegahan, penghentian (deterrence). Ahli hukum Islam
klasik Al Mawardi (w. 1075 M), mengatakan : “Hukuman-hukuman pidana (hudud)
adalah “zawajir” (pencegahan) yang ditetapkan Tuhan agar orang tidak melanggar
hukum dan memperingatkan orang akan ancaman adanya rasa sakit jika dia
melanggarnya”. Hal ini menurutnya jauh lebih luas efek positifnya bagi sistem
kehidupan dibanding sekedar untuk menghukum pelakunya.( Fathi,14).
[62] Seorang
memukul gurunya atau petugas, ia
diaggap melakukan jarimah ganda, walaupun pelakunyamenganggap melakukan jarimah
tunggal, hal ini dikarenakan yang dipukul adalah petugas sehinnga oleh
hukum dianggap berbuat jarimah ganda yaitu memukul orang dan melawan
petugas. Gabungan
anggapan (concurcus idealis) Gabungan jarimah itu karena hanya
bersifat anggapan, sedang pelakunya hanya hanya berbuat satu jarimah. Pertimbangan fuqaha tentang
eksistensi gabungan hukuman yang berdasarkanatas dua teori :Teori saling
memasuki atau melengkapi. Dalam teori ini yang dimaksudkan oleh menulis, bahwa
pelaku jarimah dikenakan suatuhukuman, walaupun melakukan tindakan kejahatan ganda,
karena perbuatan satu denganyang lainnya dianggap saling melengkapi atau saling
memasuki. Teori ini ada dua pertimbangannya. Bila
pelaku hanya melakukan tindakan kejahatan sejenis sebelum diputuskan oleh hakim, maka hukumannya dapat
dijatuhkan satu macam saja, jika satu hukumandianggap cukup. Akan tetapi jika
ia belum insaf atau jera dan mengulangi lagi, maka iadapat dikenakan hukuman
lagi. Lihat Bunadi
Hidayat, Pemidanaan Anak Di Bawah umur,(Bandung PT.Alumni : 2010), 135
[64] Akibat
Menggunakan Shabu-shabu : Merusak
organ-organ tubuh terutama otak, dan syaraf yang mengatur
pernafasan. Banyak yang mati karena sesak nafas, dan tiba2 berhenti
bernafas karena syaraf yang mengendalikan pernafasan sudah rusak dan tidak ada
lagi instruksi untuk bernafas, sehingga nafasnya putus/berhenti, dan
mati. Paranoid, otak suah dipakai berpikir dan konsentrasi, jet
lag dan tidak mau makan.Rasa gembira / euforia, Rasa harga diri
meningkat.Banyak bicara, Kewaspadaan meningkat, denyut jantung cepat.
- Pupil mata melebar.
- Tekanan darah meningkat, berkeringat/rasa dingin
- Mual/muntah, (Dalam waktu 1 jam setelah pemakai
gelisah)
- Delirium/kesadaran berubah (pemakai baru, lama, dosis
tinggi),
- Perasaan dikejar-kejar.
- Perasaan dibicarakan orang.
- Agresif dan sifat bermusuhan.
- Rasa gelisah.
- Tak bisa diam, (Dalam waktu 24 jam).
- Gangguan irama detak jantung.
- Perdarahan otak.
- Hiperpireksia atau syok pada pembuluh darah jantung
yang berakibat meninggal.
[65] Pengertian Ghazwul Fikri. Akar kata Ghazwul fikri berasal dari kata ghazw dan al-fikr, yang
secara harfiah dapat diartikan "Perang Pemikiran". Yang dimaksud
ialah upaya-upaya gencar pihak musuh-musuh Allah subhanahu wata’ala
untuk meracuni pikiran umat Islam agar umat Islam jauh dari Islam, lalu
akhirnya membenci Islam, dan pada tingkat akhir Islam diharapkan habis sampai
ke akar-akarnya. Upaya ini telah berlangsung sejak lama dan terus berlanjut
hingga kini. Lihat M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, Cet. XXIII (Bandung,Mizan :
2002),47
[66] Barat menuduh bahwa Hukum Islam
tidak manusiawi, bahkan melanggar HAM. Bagi Barat, hukum penjara adalah hukum
yang paling manusiawi dan sesuai dengan HAM. Namun dengan uraian di atas,
terungkap jelas bahwa Hukum Sipil yang berasal dari Barat lah yang tidak
manusiawi, bahkan justru yang melanggar HAM. Dan fakta membuktikan bahwa hukum
penjara tidak efektif, nihil solutif dan kontra produktif. Karenanya, penjara
tidak menjadi hukum andalan dalam Hukum Islam, bahkan pilihan hukum terakhir yang
terburuk. Hukum Sipil miskin Dimensi Sosial maupun Dimensi Ekonomi, apalagi
Dimensi Ukhrowi. Sedeang Hukum Islam kaya dimensi, baik duniawi mau pun
ukhrowi. Selain itu, Hukum Islam sangat praktis dan dinamis, sehingga
sanksi-sanksi hukumnya menjadi mudah dipahami dan ringan diimplementasikan.
Misalnya, pemabuk dicambuk, pencuri dipotong tangan, perampok tanpa membunuh
dipotong kaki dan tangan secara silang, perampok dengan membunuh dibunuh dan
disalib jasadnya sebelum dikuburkan, penzina yang muhshon dirajam hingga mati,
penzina yang tidak muhshon dicambuk seratus kali dan diasingkan setahun, pelaku
Qodzaf dicambuk delapan puluh kali, pemberontak diperangi, pembunuhan dan
penganiayaan ada dua opsi yaitu Qishosh atau Diyat. Sdengan selain pidana di
atas dihukum dengan hukum ta'zir, yaitu sesuai dengan ijtihad hakim atau
ketetapan undang2 negara, selama tidak bertentangan dengan Syariat Islam. Hukum
Ta'zir ini beragam, mulai dari yang ringan seperti dijemur dan bakti sosial,
hingga yang berat seperti kerja paksa.Lihat Nasruddin Umar,
Argumen Kesetaraan Jender, Perspektif Al-Quran, (Disertasi), Jakarta, (Penerbit
Paramadina : 2001), 105
[67] Paling tidak, ada ‘empat’ hal yang
termasuk dalam program al-ghazwul-fikri. Pertama,
Tasykik yakni gerakan yang
berupaya menciptakan keraguan dan pendangkalan akidah kaum Muslimin terhadap
agamanya. Misalnya, dengan terus-menerus menyerang (melecehkan) Al-Qur’an dan
Hadits, melecehkan Nabi Muhammad Saw atau mengampanyekan bahwa hukum Islam
tidak sesuai dengan tuntutan zaman. Kedua,
Tasywih yakni gerakan yang
berupaya menghilangkan kebanggaaan kaum Muslimin terhadap agamanya. Caranya,
memberikan gambaran Islam secara buruk sehingga timbul rasa rendah diri di
kalangan ummat Islam. Di sini, mereka melakukan pencintraan negatif tentang
agama dan ummat Islam lewat media massa dan lain-lain, sehingga Islam terkesan
menyeramkan, kejam, sadis, radikal dan lain sebagainya. Ketiga, Tadzwib
yakni pelarutan budaya dan pemikiran. Di sini, kaum kuffar dan munafiqin melakukan
pencampuradukkan antara hak dan batil, antara ajaran Islam dan non-Islam.
Sehingga ummat Islam yang awam kebingungan mendapatkan pedoman hidupnya. Dan, keempat, Taghrib
yakni “pembaratan” dunia Islam, mendorong ummat Islam agar menerima pemikiran
dan budaya Barat, seperti sekularisme, pluralisme, nasionalisme dan lain
sebagainya. Lihat juga TM.Hasbi Ash-Shiddieqi, 0p.Cit.,55
[70] Walau sikap kepura-puraan Snouck akhirnya terbongkar,
tapi pola penjajahan dengan cara ghazwul fikri seperti itu terus berkembang
hingga kini. Madzhab Selebritis.Wajah baru penjajahan juga berbentuk budaya. Misalnya,
penyebaran film-film, iklan, majalah, video klip, internet termasuk gaya hidup
(life style). Jangan heran bila musik-musik Barat seperti; ska, rock,
underground, metal, R&B secara pelan-pelan menggeser musik-musik Islam.
Melalui budaya, Amerika memaksakan kehendak. Kalau perlu ancaman embargo bila
tidak mau menjualan film-film Hollywood ke negeri ketiga, khususnya Islam.
Secara cepat pula industri film yang didominasi Yahudi ini kemudian menjadi
trendsetter gaya hidup ummat manusia di seluruh dunia. Secara cepat pula, gaya
hidup Barat dan Hollywood menjadi peradaban baru. Dengan dalih globalisasi,
seolah-olah apa yang kita tonton, dan yang kita makan dan apa yang kita pakai
atau dikenal dengan semboyan 3 F (food, fashion, and fun), haruslah memakai
standar Barat dan Hollywood. Dalam bukunya Jihad vs McWorld, Benjamin R. Barber
mengatakan, apa yang terjadi di dunia hari ini adalah pem-Barat-an budaya
(westernisasi). MTV, McDonald, celana jeans, musik ska, dan R & B dan
film-film Hollywood kini dinikmati oleh warga dunia ketiga. Budaya Barat tidak
lagi milik segolongan orang Amerika, tapi sudah milik dunia. Termasuk
negeri-negeri Islam.
[76] Untuk mewujudkan agenda Basl yaitu
mendirikan negara nasional Yahudi di Palestina yang dijamin oleh undang-undang
publik. Untuk itu perlu disusun beberapa langkah berikut ini: Pertama,
menggalang dan mengembangkan pemukiman Yahudi di Palestina dan mendirikan
perumahan-perumahan. Kedua, koordinasi Yahudi internasional dan legalisasi
hubungan yang mengikat mereka dengan organisasi dan institusi Zionis. Ketiga,
menyebarkan spirit nasionalisme, mengembangkan rasa dan kesadaran nasional
Yahudi internasional. Keempat, mengambil langkah-langkah semestinya untuk
mendapatkan dukungan dan persetujuan negara-negara asing berkenaan dengan
konsep negara nasional Yahudi di Palestina. Samir Syathara, 100 tahun
Konferensi Basl, al Mujtama, 1267, 16/9/1997
[77] Epistemologis
Hukum Islam memandang jika kebenaran mutlak bersumber dari Tuhan
(wahyu), karena rasionalitas manusia itu terbatas sehingga tidak semua
kebenaran bisa dibuktikan secara rasional. Dan hingga kini, Al-Qur’an terus dan
akan tetap sejalan dengan perkembangan sains, karena Al-Qur’an merupakan wahyu
Tuhan yang otentik. Sedangkan Barat memandang kebenaran secara
materialis-empiris (tampak dan terbukti). Hal ini dikarenakan Barat mengalami
tragedi spiritual yang amat buruk, di mana para ilmuwan sains pada tahun
1600-an M (seperti Galileo dan Copernicus) dihukum karena dianggap telah
menentang Gereja, sehingga komunitas ilmuwan akhirnya sepakat bahwa kebenaran
sejati akan didapat jika mereka berlepas diri dari dogma Gereja dan menggunakan
rasionalitas mereka untuk membuktikan kebenaran secara empiris. Perbedaan
Islam dan Barat jelas akan menimbulkan benturan hebat dalam peradaban dunia
seperti yang disebutkan Samuel P. Huntington. Salah satu akibatnya,
negara-negara dunia yang men-declare sebagai negara Islam atau negara
dengan mayoritas penduduk Islam akan cenderung menolak sistem Barat. Dan
telah kita ketahui bersama bahwa potensi energi dunia tersimpan di rahim bumi
negara-negara Islam, sehingga dalam konteks ini hasrat barat untuk menguasai
minyak bumi menjadi terhambat.
[78] Hifdz al-Nasl, menjaga keturunan, yakni dianjurkannya nikah demi menjaga keturunan,
juga diharamkannya zina karena merusak keturunan.
Adalah Thahir Ibnu ‘Asyur seorang pakar maqashid syari’ah yang berasal
dari Tunisia. Secara umum gagasan Ibnu ‘Asyur hampir sama dengan wacana yang
ditawarkan oleh al-syathibi, hanya saja beliau telah berjasa dalam
mengembangkan disiplin ilmu maqashid syari’ah dan menjadikannya sebagai
disiplin ilmu baru yang terpisah dengan ilmu ushul fiqh. Beliau diberi gelar
sebagai ‘guru kedua’ setelah al-Syathibi yang dijuluki ‘guru pertama’. Beliau
telah berhasil mengembangkan teori maqashid yang sebelumnya hanya berkutat pada
kajian juz’iyyah dan kulliyah menjadi lebih luas, yakni dengan melebarkan
pembahasan maqashid kedalam ‘maqashid syariah khusus tentang muamalat’ yang
didalamnya mengupas berbagai isu-isu maqashid seputar maqashid hukum keluarga,
maqashid penggunaan harta, maqashid hukum perundangan, dan kesaksian dan
lain-lain. Lihat Asmawi, op.cit.,129
Definisi Tafsir Maqashid. Term tafsir maqashidi bagi sebagian kalangan bisa
dibilang belum akrab ditelinga, karena kajian maqashid syari’ah yang berkembang
di Indonesia belum menyentuh kepada kajian maqashid dalam metode penafsiran.
Para ‘pengobral maslahat’ (sebutan yang biasa disematkan kepada Jaringan Islam
Liberal) pun hanya mengkaji maqashid syariah dalam ranah ushul fikih. Disamping
itu di Indonesia belum banyak-untuk mengatakan tidak ada- pakar maqashid
syariah. Hal ini berbeda dengan kajian maqashid syariah di Maroko, Mesir, dan
negara-negara timur tengah lainnya.. Kata maqashidi dalam ‘tafsir maqashidi’
adalah kata maqhashid yang dibubuhi ya’ nisbah. Berarti tafsir maqashidi adalah
tafsir yang menggunakan pendekatan maqashid syari’ah, atau dengan kata lain
tafsir maqashidi adalah sebuah tafsir yang menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an
dengan menguak dan memepertimbangkan maqashid syari’ah. Hal ini sedikit yang
membedakan tafsir maqashidi dengan
tafsir-tafsir konvensional lainnya. Seperti tafsir falsafi yang hanya berkutat
dengan teori-teori filsafat atas sebuah hikmah saja. Atau juga tafsir sufi yang
mengedepankan pendakian kontemplatif sang sufi dalam menyibak teks-teks
suci.Tafsir maqashidi tidak mengabaikan teori-teori baku tentang penafsiran,
seperti asbab nuzul, ‘am-khos, mujmal-mubayyan dst. Di samping itu tafsir
maqashidi juga hirau akan perangkat-perangkat ilmu-ilmu umum seperti sosiologi,
antropologi, dan filsafat.
[79] Beberapa kaidah yang “bersifat
individu” dalam beberapa kesempatan sebelumnya telah banyak dibahas. Memberikan
hukuman fisik kepada anak, menyangkut tentang niat (al umuuru biaqashidiha),
al yaqiinu la yuzalu bi al syak, dan lain-lain. Beberapa kaidah tersebut
merupakan kaidah yang “bersifat individu. Dalam kesempatan ini, kaidah yang
akan menjadi obyek pembahasan adalah kaidah yang tidak hanya melibatkan satu
pihak individu saja, tetapi dalam implementasi kaidah ini melibatkan banyak
pihak, karena dalam penerapannya, kaidah ini sering digunakan dalam fiqh
siyasah. Seperti yang diketahui bahwa fiqh siyasah adalah hukum Islam yang
obyek bahasannya mengenai kekuasaan dan bagaimana menjalankan kekuasaan
tesebut. Apabila disederhanakan, fiqh siyasah meliputi Hukum Tata Negara, Hukum
Administrasi Negara, Hukum Internasional.3 Apabila dilihat dari sisi hubungan,
fiqih siyasah berbicara tentang hubungan antara rakyat dengan pemimpinnya
sebagai penguasa yang konkret di dalam sebuah Negara atau antarnegara atau
dalam kebijakan-kebijakan ekonominya baik nasional maupun internasional. Abu Abdillah Ahmad bin Al-Isawi,
op.cit, 579
[83] Pengertian
ini, filsafat Aristoteles
mengatakan bahwa keadilan dibagi menjadi dua, pertama adalah keadilan
distributive dan keadilan commutative. Keadilan distributive memberikan
gambaran untuk memberikan keadilan sesuai dengan haknya masing-masing, dengan
kata lain kemaslahatan fardiyyah dan bukan kemaslahatan secara umum.
[87]
Najamuddin at Tufi. 1954. Syarh al-Hadis Arba'in an-Nawaiyah dalam
Mustafa Zaid. al-Maslahat fi at-Tasyri'i al-Islami wa Najmuddin at-Tufi.(Bagian
Lampiran) Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi, ; 243
Kepada rakyatnya, merujuk
kepada kemaslahatan.
[92] Maslahah mursalah” berada di
tengah-tengah antara “maslahah mu’tabarah” dan “maslahah mughah”, maka tidaklah
menghubungkannya dengan “maslahah mu’tabarah” itu lebih utama daripada
menghubungkannya dengan “maslahah mulghah”. Kerana ini, “maslahah mursalah”
tidaklah boleh menjadi dalil Syarak, kerana tiada dalil yang menunjukkan bahawa
ia termasuk dalam “maslahah mu’tabarah” dan bukannya “maslahah mulghah”.
[94] Kassim Ahmad.. Hadis
Satu Penilaian Semula. Selangor: (Media Intelek SDN BHD, Malaysia, 1986) ,67
[95] Sementara
Imam Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i mengatakan :“ orang yang
meninggalkan adalah fasik dan tidak kafir”, namun, mereka berbeda pendapat
mengenai hukumannya, menurut Imam Malik dan Syafi’i “diancam hukuman mati
sebagai hadd”, dan menurut Imam Abu Hanifah “diancam hukuman
ta’zir, bukan hukuman mati”. Apabila masalah ini termasuk masalah yang
diperselisihkan, maka yang wajib adalah dikembalikan kepada kitab Allah
subhaanahu wa ta’aala dan sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam, karena
Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman : “Tentang sesuatu apapun yang kamu
perselisihkan, maka putusannya dikembalikan kepada Allah.” ( QS. As Syura, 10
).
[96] Qawaid merupakan
bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian dalam bahasa Indonesia disebut dengan istilah kaidah yang berarti
aturan atau patokan. Dalam bahasa arab, kaidah memilik banyak arti diataranya: al-asas (dasar atau
pondasi), al-Qanun (peraturan dan kaidah dasar), al-Mabda’ (prinsip),
dan al-nasaq (metode atau cara). Al Qi’dah (cara
duduk, yang baik atau yang buruk), Qo’id
ar rojul (Istrinya), Dzul Qo’dah
(nama salah satu bulan qomariyah yang mana orang orab tidak mengadakan perjalanan
didalamnya) dan lain sebagainya.Dari seluruh arti tadi dapat kita simpulkan
bahwa kaidah secara bahasa artinya tidak akan keluar dari dasar atau pondasi
dan tempat sesuatu.
Adapun secara istilah banyak sekali
defenisi yang di buat oleh para ulama, tetapi yang paling lengkap dan paling
baik menurut penyusun adalah:”Suatu
perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagian-bagiannya.“
[97]
Tetapi dalam musyawarah Nasional MUI yang ke VII tahun 2005, dalam keputusannya
No. 6/MUNAS/VII/MUI/10/2005 memberikan riteria sebagai berikut. 1. kemaslahatan
menurut hukum Islam adalah tercitanya tujuan syari’ah (maqashid al
syari’ah), yang diwujudkan dalam bentuk terpeliharanya lima kebutuhan
primer (al dharuriyyat al khamsah), yaitu: agama, jiwa, akal, harta, dan
keturunan. 2. kemaslahatan yang
dibenarkan oleh syari’at adalah kemslahatan yang tidak betentangan dengan nash 3.
yang berhak menentukan maslahat atau tidaknya sesuau menurut syari’ah adalah
lembaga yang mempunyai kompetensi di bidang syari’ah dan dilakukan melalui ijtihad
jam’i.
[98]
Ijtihad
seringkali hanya diartikan sebagai upaya penyimpulan hukum yang dilakukan oleh
seorang mujtahid. Dalam kenyataannya, bila ijtihad hanya dipahami satu sisi
saja, maka akan terjadi kesalahpahaman terhadap syariah. Oleh karenanya, ijtihad tatbiqi harus dikembangkan pula
sebagai upaya maksimal dalam merealisasikan hukum hasil istinbat ke dalam
realitas kehidupan.Salah seorang ulama yang telah memberikan peninggalan konsep
ijtihad tatbiqi adalah Abu Ishaq al-Syatibi. Menurutnya, ijtihād ta¯bīqī merupakan ijtihad dengan menggunakan
dua konsepsi besar, yakni tahqīq al-manā¯ dan al-nadhar ila ma`ālāt al-af’āl. Permasalahan ijtihad merupakan hal yang selalu aktual untuk dicermati dan
dikaji. Akan tetapi, pembahasan seringkali hanya terbatas pada sisi penyimpulan
hukum sehingga terkesan bahwa syariah adalah hukum yang kaku. Hal in kemudian
berkembang menjadi pemahaman yang kurang tepat dalam memandang syariah terutama
terkait dengan posisinya pada dunia modern saat ini. Sementara, istilah ijtihad
tatbiqi seringkali dipahami sebagai upaya pemberlakuan hukum di masyarakat
sebagaimana undang-undang atau peraturan daerah diberlakukan. Ijtihad tatbiqi dan mendudukkanny sesuai dengan apa yang sudah dikonsepkan
sebelumnya oleh ulama terdahulu. Dalam kaitan ini, konsep ijtihad tatbiqi yng
telah dikemukakan oleh al-Syatibi menjadi hal yang menarik untuk dikaji. Kata ijtihād ta¯bīqī berasal dari dua kata berbahasa Arab, yakni kata “ijtihād” dan kata “ta¯bīqī”. Secara etimologis, kata ijtihad
merupakan bentuk masdar dari kata ijtahadapengerahan seluruh
kekuatan, kemampuan, kesanggupan). Secara terminologis, para ulama ahli usul
fiqh mengungkapnya dengan berbagai definisi. Al-Fairūz Ābādi (wafat 476 H)
mendefinisikan ijtihad sebagai ا(mengerahkan
segala kemampuan untuk menemukan hukum syara’). Al-Āmidi (wafat 631 H) (mengerahkan seluruh kemampuan dalam menemukan
suatu dugaan dalam hukum syara’ yang dirasa sudah tidak ada lagi kemampuan
untuk mendapatkan lebih dari itu). Al-Ghazāli (wafat 505 H) mendefinisikan
ijtihad sebagai pengerahan seorang mujtahid akan seluruh
kemampuannya untuk menemukan pengetahuan tentang hukum syara’.
[99] Menghukum anak,
menjadi serba salah, karena salah hukum,
dapat menimbulkan fitnah, seperti yang diisyaratka QS Al-Taghabun: 14. Al-Imam
At-Tirmidzi t dalam Sunan-nya (no. 3317) membawakan asbabun nuzul (sebab
turunnya) surah At-Taghabun ayat 14 ini, dari
riwayat Ibnu ‘Abbas c. Tatkala ada yang bertanya kepada Ibnu ‘Abbas c tentang
ayat ini, beliau menyatakan: “Mereka adalah orang-orang yang telah berislam dari
penduduk Makkah dan mereka ingin menda-tangi Nabi I, namun istri dan anak
mereka enggan ditinggalkan mereka. Ketika mereka pada akhirnya mendatangi
Rasulullah I, mereka melihat orang-orang yang lebih dahulu berhijrah telah
tafaqquh fid dien (mendalami agama), mereka pun berkeinginan untuk memberi
hukuman kepada istri dan anak-anak mereka. Allah I lalu menurunkan ayat 6:Namun riwayat asbabun nuzul ini dha’if (lemah)
sebagaimana dinyatakan oleh Asy-Syaikh Al-’Allamah Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i t,
dalam karya beliau Ash-Shahihul Musnad min Asbabin Nuzul (. 249).
[100] Bila UU No 20/2003 menuntut
pencapaian kualitas yang maksimal, menuntut pendidik menjadi profesional, seyogianya diiringi dengan adanya UU
Profesi Pendidik. Meskipun dalam UU No 14/2005 secara tegas telah melindungi
profesi guru dan dosen, namun dalam dataran implementasi kekuatan UU tersebut
masih tak terlihat berkontribusi terhadap nasib guru/dosen sebagai tenaga
pendidik. Untuk itu, sudah pada saat dan tempatnya jika guru/dosen membangun
kekuatan solidaritas untuk mendorong pemerintah memperbaiki kondisi kerja
guru/dosen dan melindungi profesi mereka dengan kekuatan hukum yang jelas.
Bunadi Hidayat,op.cit.,178
[101] Ibnu Hazm (994-1064 M), salah seorang tokoh
ulama dari mazhab Zahiri, bahkan menulis satu pembahasan khusus untuk menolak
metode sadd adz-dzari’ah dalam kitabnya al-Ahkam fi Ushul al-Ihkam. Ia menempatkan sub pembahasan
tentang penolakannya terhadap sadd
adz-dzari’ah dalam pembahasan tentang al-ihtiyath (kehati-hatian dalam beragama). Sadd
adz-dzari’ah lebih merupakan anjuran untuk bersikap warga dan menjaga
kehormatan agama dan jiwa agar tidak tergelincir pada hal-hal yang dilarang.
[102]Terkait
dengan kedudukan sadd al-dzari’ah, Elliwarti Maliki, seorang doktor
wanita pertama asal Indonesia lulusan al-Azhar, Kairo, menganggap bahwa sadd al-dzari’ah merupakan metode istinbath hukum yang mengakibatkan
kecenderungan sikap defensif (mempertahankan diri) di kalangan umat Islam. Pada
gilirannya, hal ini bisa menimbulkan ketidakberanian umat untuk berbuat sesuatu
karena takut terjerumus dalam mafsadah.
Di samping itu, produk-produk fikih dengan berdasarkan sadd
al-dzari’ahcenderung menjadi bias gender.
[105] Menurut bahasa سخر berarti “mengejek, mencemoohkan,
menghina”.
Pengertian dalam Islam tentang penghinaan itu memiliki pengertian yang berbeda-beda. Untuk itu kita harus mengidentifikasikan dahulu kata penghinaan dengan lafadz Arabnya, sedangkan hal-hal yang tercakup dalam arti penghinaan itu lafadnya berbeda-beda. Penghinaan itu berasal dari kata “hina” yang artinya : a. Merendahkan, memandang redah atau hina dan tidak penting terhadap orang lain. b. Menjelekan/memburukan nama baik orang lain, menyinggung perasaannya dengan cara memaki-maki atau menistakan seperti dalam tulisan surat kabar yang dipandang mengandung unsur menghina terhadap orang lain. Menurut Al Ghozali bahwa penghinaan adalah : “Menghina orang lain dihadapan manusia dengan menghinakan dirinya di hadapan Allah Swt.pada Malaikat dan Nabi-nabinya. Jadi intinya peng-hinaan adalah merendahkan dan meremehkan harga diri serta kehormatan orang lain di hadapan orang banyak”. Lihat M.Quraish Shihab, op.cit., 241
Pengertian dalam Islam tentang penghinaan itu memiliki pengertian yang berbeda-beda. Untuk itu kita harus mengidentifikasikan dahulu kata penghinaan dengan lafadz Arabnya, sedangkan hal-hal yang tercakup dalam arti penghinaan itu lafadnya berbeda-beda. Penghinaan itu berasal dari kata “hina” yang artinya : a. Merendahkan, memandang redah atau hina dan tidak penting terhadap orang lain. b. Menjelekan/memburukan nama baik orang lain, menyinggung perasaannya dengan cara memaki-maki atau menistakan seperti dalam tulisan surat kabar yang dipandang mengandung unsur menghina terhadap orang lain. Menurut Al Ghozali bahwa penghinaan adalah : “Menghina orang lain dihadapan manusia dengan menghinakan dirinya di hadapan Allah Swt.pada Malaikat dan Nabi-nabinya. Jadi intinya peng-hinaan adalah merendahkan dan meremehkan harga diri serta kehormatan orang lain di hadapan orang banyak”. Lihat M.Quraish Shihab, op.cit., 241
[106]
Ada mazhab yang menolak mentah-mentah sadd adz-dzari’ah,
hal itu karena mereka memang sangat berpegang teguh pada prinsip berpegang
kepada Kitabullah dan Sunah. Dengan kata lain, semua perbuatan harus diputuskan
berdasarkan zhahir nash dan zhahir perbuatan. Namun tentu
terlalu berpegang secara tekstual kepada tekstual nash juga bisa
berbahaya. Hal itu karena sikap demikian justru bisa mengabaikan tujuan syariah
untuk menghindari mafsadah dan meraih mashalahah. Jika memang mafsadah
jelas-jelas bisa terjadi, apalagi jika telah melewati penelitian ilmiah
yang akurat, maka sadd adz-dzari’ah adalah sebuah metode hukum yang
perlu dilakukan. Dengan sadd adz-dzari’ah, timbul kesan upaya
mengharamkan sesuatu yang jelas-jelas dihalalkan seperti yang dituding oleh
mazhab az-Zahiri. Namun agar tidak disalahpahami demikian, harus dipahami pula
bahwa pengharaman dalam sadd adz-dzariah adalah karena faktor eksternal (tahrim
li ghairih). Secara substansial, perbuatan tersebut tidaklah diharamkan,
namun perbuatan tersebut tetap dihalalkan. Hanya karena faktor
eksternal (li ghairih) tertentu, perbuatan itu menjadi haram.
Jika faktor eksternal yang merupakan dampak negatif tersebut sudah tidak ada,
tentu perbuatan tersebut kembali kepada hukum asal, yaitu halal.
[107]
Kaitannya ialah hukuman fisik itu,
memang merupakan sarana untuk mencegah kejaahatan, maka hukumya wajib, karena
mencegah kejahatan itu, wajib hukumnya, “ Lil wasa’ili, hukmul maqashid,”
Hukum sarana, sama de-ngan hukum tujuan. Ahmad Djazuli, Kaedah Usul Fiqih, (Jakarta
PT. Grafindo, 1997),231
[108] Dengan apakah hukumnya diketahui? Dalam perbedaan pendapat ini terdapat tiga mazhab dialangan ulama,
yaitu: 1. Mazhab Asya’irah yaitu para pengikut Abu Al-Hasan Al-Asy’ari. Yakni:
bahwasanya akal tidak mungkin mengetahui hukum Allah pad aperbuatan-perbuatan
mukallaf kecuali dengan perantaraan para rasul-Nya dan kitab-kitab-Nya. Dasar mazhab ini adalah: bahwasanya yang baik dari perbuatan mukallaf
ialah sesuatu yang ditunjuki oleh syari’ bahwa hal itu adalah baik dengan jalan
memperolehnya atau menunut pengerjaannya. Sedangkan yang buruk adalah sesuatu
yang ditunjukin oleh syari’, bahwa hal yang itu buruk dengan jalan menutut
untuk meninggalkannya. Yang baik bukanlah yang dipandang baik oleh akal, dan
bukan pula yang buruk adalah yang dipandang buruk oleh akal.jadi, ukuran baik
dan buruk dalam mazhab ini adalah syara’ bukan akal.
2.
Mazhab Mu’tazilah, yaitu para pengikut Washil bin ‘Atha’. Yakni :
bahwasanya akal dapat mengetahui hukum Allah tentang perbuatan-perbuatan
mukallaf dengan sendirinya tanpa perantaraan para Rasul-Nya dan
kitab-kitab-Nya.
[109] Menjual khamer pada hakekatnya
tidak dilarang, tetapi perbuatan itu membuka pintu yang menuju kepada minum
khamer, maka perbuatan itupun dilarang. Demikian pula halnya dengan berkhalwat
yang dapat membuka jalan kepada perbuatan zina, maka iapun dilarang. Dengan
menetapkan hukumnya sama dengan perbuatan yang sebenarnaya, maka tertutuplah
pintu atau jalan yang menuju kearah perbuatan-perbuatan maksiat.
.
[111]
H.R. Bukhari dan Muslim. Hadits ini
menerangkan bahwa mengerjakan perbuatan yang dapat mengarah kepada perbuatan
maksiat lebih besar kemungkinan akan terjerumus mengerjakan kemaksiatan itu
daripada kemungkinan dapat memelihara diri dari perbuatan itu. Tindakan yang
paling selamat ialah melarang perbuatan yang mengarah kepada perbuatan maksiat
itu.
[114] Ibnul ‘Arobi berkata, “Atho’
berkata, “Janganlah sang suami memukul istrinya, meskipun jika ia
memerintah istrinya dan melarangnya ia tidak taat, akan tetapi hendaknya ia
marah kepada istrinya” [Ahkamul Qur’an I/536] Berkata Al-Qodhi, “Ini di antara
fakihnya ‘Atho’…ia mengetahui bahwasanya perintah untuk memukul dalam ayat ini
adalah untuk menjelaskan bahwa hukumnya adalah dibolehkan (bukan diwajibkan)”
[Ahkamul Qur’an I/536
[115] HR Abi Dawud II/245 no 2146,
Ibnu Majah no 1985 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani, dari hadits sahabat
Abdullah bin Abi Dzubab] Dalam
hadits yang lain Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam bersabda, “Orang-orang
terbaik diantara kalian tidak akan memukul” [HR Al-Hakim dalam Al-Mustadrok
II/208 no 2775, Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Baihaqi Al-Kubro VII/304 no 14553
dari Shohabiah Ummu Kultsum binti Abu Bakar As-Shiddiq. Imam Asy-Syafi’I
berkata, “Sabda Nabi shallallahu 'alihi wa sallam “Orang-orang terbaik diantara
kalian tidak akan memukul” merupakan dalil bahwa memukul wanita hukumnya adalah
mubah (dibolehkan) dan tidak wajib mereka dipukul. Dan kami memilih apa yang
telah dipilih oleh Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam, maka kami suka jika
seorang suami tidak memukul istrinya tatkala mulut istrinya lancang kepadanya
atau yang semisalnya” Al-Umm V/194
[117] Berkata Ibnu Hajar, “Jika sang
suami mencukupkan dengan ancaman (tanpa memukul) maka lebih afdhol. Dan jika
masih memungkinkan untuk mencapai tujuan dengan isyarat (perkataan keras) maka
janganlah ia berpindah pada tindakan (pemukulan) karena hal itu menyebabkan
rasa saling menjauh yang bertentangan dengan sikap mempergauli istri dengan
baik” Fathul Bari IX/304
[118] Berkata Ibnu Hajar, “Jika sang
suami mencukupkan dengan ancaman (tanpa memukul) maka lebih afdhol. Dan jika
masih memungkinkan untuk mencapai tujuan dengan isyarat (perkataan keras) maka
janganlah ia berpindah pada tindakan (pemukulan) karena hal itu menyebabkan
rasa saling menjauh yang bertentangan dengan sikap mempergauli istri dengan
baik” [Fathul Bari IX/304
[126]Ada yang mengatakan maksudnya adalah tidak mengatakan
“Wajahmu jelek” atau mengatakan, “Semoga Allah menjelekkan wajahmu”. Syaikh
Ibnu Utsaimin mengatakan, “Maksudnya adalah janganlah sang suami mensifati sang
istri dengan keburukan. Dan zhohir hadits menunjukan bahwa sang suami tidak
mensifati istrinya dengan keburukan baik yang berkaitan dengan tubuhnya ataupun
dengan akhlaknya. Yang berkaitan dengan tubuhnya misalnya ia mensifati
kejelekan di matanya atau hidungnya atau telinganya atau tingginya atau
pendeknya. Yang berkaitan dengan akhlaknya misalnya ia mengatakan kepada
istrinya, “Kamu goblok”, “Kamu gila” dan yang semisalnya. Karena jika sang
suami mensifatai istrinya dengan keburukan maka hal ini akan menjadikan sang
istri terus mengingat celaannya tersebut hingga waktu yang lama” (Syarah
Bulughul Maram kaset no 12)
[127] HR Abu Dawud no 2142 dan Ibnu
Majah no 1850 dari hadits Mu’awiyah bin Haidah.Ibnu
Hajar menyatakan hadits ini bisa dijadikan hujjah, Al-Fath IX/301
[131]Berkata Ibnu Hajar, “(yaitu)
kemungkinan jauhnya terjadi hal ini (digabungkannya) dua perkara dari seorang
yang memiliki akal, yaitu memukul istri dengan keras kemudian menjimaknya di
akhir harinya atau akhir malam. Padahal jimak hanyalah baik jika disertai
kecondongan hati dan keinginan untuk berhubungan, dan biasanya orang yang
dicambuk lari dari orang yang mencambuknya…dan jika harus memukul maka
hendaknya dengan pukulan yang ringan dimana tidak menimbulkan pada sang istri
rasa yang amat sangat untuk lari (menjauh), maka janganlah ia berlebih-lebihan
dalam memukul dan jangan juga kurang dalam memberi pelajaran bagi sang istri”
[Fathul Bari IX/303, lihat juga HR Al-Bukhari V/2009]Barangsiapa yang berbuat
aniaya dengan memukul istrinya padahal istrinya telah taat kepadanya, atau dia
memukul istrinya karena merasa tinggi dan ingin merendahkan istrinya maka
sesungguhnya Allah lebih tinggi darinya dan akan membalasnya. Allah berfirmam, jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan
untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.QS.
4:34.
[133]
Ibnu Abu
Hatim mengetengahkan dari Hasan, katanya, "Seorang wanita datang kepada
Nabi saw. mengadukan suaminya karena telah memukulnya, maka sabda Rasulullah
saw., 'Berlaku hukum kisas,' maka Allah pun menurunkan, 'Kaum lelaki menjadi
pemimpin atas kaum wanita...' sampai akhir ayat." (Q.S. An-Nisa 34.)
Demikianlah wanita itu kembali tanpa kisas. Ibnu Jarir mengetengahkan pula dari
beberapa jalur dari Hasan, yang pada sebagiannya terdapat bahwa seorang
laki-laki Ansar memukul istrinya, hingga istrinya itu pun datang menuntut
kisas. Nabi saw. pun menitahkan hukum kisas di antara mereka, maka turunlah
ayat, "Dan janganlah kamu mendahului Alquran sebelum diputuskan
mewahyukannya bagimu." (Q.S. Thaha 114) dan turunlah ayat, "Kaum
lelaki menjadi pemimpin kaum wanita..." Dan dikeluarkan pula yang serupa
dengan ini dari Ibnu Juraij dan Saddiy. Ibnu Murdawaih mengetengahkan juga dari
Ali, katanya, "Seorang laki-laki Ansar datang kepada Nabi saw. dengan
membawa istrinya, maka kata istrinya, 'Wahai Rasulullah! Dia ini memukul saya
hingga berbekas pada wajah saya.' Jawab Rasulullah, 'Tidak boleh ia berbuat
demikian', maka Allah swt. pun menurunkan ayat, 'Kaum lelaki menjadi pemimpin
kaum wanita...sampai akhir ayat.' (Q.S. An-Nisa 34) Maka hadis-hadis ini
menjadi saksi, yang masing-masingnya menguatkan yang lainnya."
[134] Bahwasanya Abdullah bin
‘Umar radhiallahu ‘anhuma apabila mendapati salah seorang anggota keluarganya
bermain dadu, beliau memukulnya dan memecahkan dadu itu.
(HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 1273. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata dalam Shahih Al-Adabul Mufrad: shahihul isnad mauquf) Begitu pula Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, sebagaimana penuturan Syumaisah Al-’Atakiyyah: “Pernah disebutkan tentang pendidikan bagi anak yatim di sisi ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, maka beliau pun berkata, ‘Sungguh, aku pernah memukul anak yatim yang ada dalam asuhanku hingga dia telungkup menangis di tanah.” HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 142, dan dikatakan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Adabul Mufrad: shahihul isnad. Akan tetapi, ada yang perlu diperhatikan dalam hal ini. Orang tua tidak diperkenankan memukul wajah. Hal ini secara umum dilarang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana dalam hadits Abi Hurairah radhiallahu ‘anhu: “Apabila salah seorang di antara kalian memukul, hendaknya menghindari wajah.”HR. Al-Bukhari no. 2559 dan Muslim no. 2612.
(HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 1273. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata dalam Shahih Al-Adabul Mufrad: shahihul isnad mauquf) Begitu pula Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, sebagaimana penuturan Syumaisah Al-’Atakiyyah: “Pernah disebutkan tentang pendidikan bagi anak yatim di sisi ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, maka beliau pun berkata, ‘Sungguh, aku pernah memukul anak yatim yang ada dalam asuhanku hingga dia telungkup menangis di tanah.” HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 142, dan dikatakan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Adabul Mufrad: shahihul isnad. Akan tetapi, ada yang perlu diperhatikan dalam hal ini. Orang tua tidak diperkenankan memukul wajah. Hal ini secara umum dilarang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana dalam hadits Abi Hurairah radhiallahu ‘anhu: “Apabila salah seorang di antara kalian memukul, hendaknya menghindari wajah.”HR. Al-Bukhari no. 2559 dan Muslim no. 2612.
[135] Para ulama mengatakan bahwa ini adalah larangan
memukul wajah secara tegas. Karena wajah merupakan sesuatu yang lembut yang
terkumpul padanya seluruh keindahan. Anggota-anggota tubuh yang ada di wajah
demikian berharga, dan sebagian besar penginderaan seseorang diperoleh dengan
anggota tubuh tersebut. Sehingga terkadang pukulan di wajah bisa menghilangkan
atau mengurangi fungsi anggota tubuh itu, terkadang pula menjadikan wajah
cacat. Sementara cacat di wajah itu sendiri demikian buruk karena nampak jelas
dan tidak mungkin ditutupi. Dan pada umumnya pukulan di wajah itu tidak lepas
dari kemungkinan timbulnya cacat. Termasuk pula dalam larangan ini seseorang
yang memukul istri, anak, ataupun budaknya dalam rangka mendidik, hendaknya dia
hindari wajah. (Syarh Shahih Muslim, 16/164) Hal lain yang
perlu diperhatikan pula, pukulan pada si anak adalah semata-mata dalam rangka
mendidik. Yang dimaksud dengan pukulan yang mendidik adalah pukulan yang tidak
membahayakan. Sehingga tidak diperkenankan seorang ayah memukul anaknya dengan
pukulan yang melukai, tidak boleh pula pukulan yang bertubi-tubi tanpa ada
keperluan. Namun bila dibutuhkan, misalnya sang anak tidak mau menunaikan
shalat kecuali dengan pukulan, maka sang ayah boleh memukulnya dengan pukulan
yang membuat jera, namun tidak melukai. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam memerintahkan orang tua untuk memukul bukan untuk menyakiti si anak,
melainkan untuk mendidik dan meluruskan mereka. (Syarh Riyadhish Shalihin,
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 2/123-124). Semua
ini perlulah kiranya untuk diketahui oleh orang tua yang hendak mengarahkan
anak-anak mereka, mengingat tanggung jawab yang dibebankan ke pundak mereka,
manakala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Ketahuilah, setiap kalian adalah penanggung jawab dan
akan ditanyai tentang tanggung jawabnya. Seorang pemimpin yang memimpin manusia
adalah penanggung jawab dan kelak akan ditanya tentang mereka. Seorang
laki-laki adalah penanggung jawab atas keluarganya dan kelak dia akan ditanya
tentang mereka. Seorang istri adalah penanggung jawab rumah tangga dan anak-anak
suaminya, dan kelak akan ditanya. Seorang hamba sahaya adalah penanggung jawab
harta tuannya dan kelak dia akan ditanya tentangnya. Ketahuilah, setiap kalian
adalah penanggung jawab dan kelak akan ditanyai tentang tanggung jawabnya.”HR. Al-Bukhari no. 5188 dan
Muslim no. 1829
[136] "Perintahkan anak-anak
kalian untuk melakukan shalat saat usia mereka tujuh tahun, dan pukullah mereka
saat usia sepuluh tahun. Dan pisahkan tempat tidur mereka."
(Dishahihkan oleh al-Albani dalam Irwa'u Ghalil, no. 247) Ibnu
Qudamah rahimahullah berkata dalam kitab Al-Mughni (1/357): "Perintah dan
pengajaran ini berlaku bagi anak-anak agar mereka terbiasa melakukan shalat dan
tidak meninggalkannya ketika sudah baligh." As-Subki
berkata, "Wali bagi anak diwajibkan memerintahkan anaknya untuk melakukan
shalat saat mereka berusia tujuh tahun dan memukulnya (apabila masih belum
melaksanakan shalat) saat mereka berusia sepuluh tahun.Kami tidak mengingkari
wajibnya perintah terhadap perkara yang tidak wajib, atau memukul terhadap
perkara yang tidak wajib. Jika kita boleh memukul binatang untuk mendidik
mereka, apalagi terhadap anak? Hal itu semata-mata untuk kebaikannya dan agar
dia terbiasa sebelum masuk usia balig." (Fatawa As-Subki, 1/379)
Maka anak kecil dan budak anak kecil diperintahkan untuk melakukan shalat saat mereka berusia tujuh tahun dan dipukul saat mereka berusia sepuluh tahun. Sebagaimana mereka juga diperintahkan untuk berpuasa Ramadan dan dimotivasi untuk melakukan segala kebaikan, seperti membaca Al-Quran, shalat sunah, haji dan umrah, memperbanyak membaca tasbih, tahlil, takbir dan tahmid serta melarang mereka dari semua bentuk kemaksiatan. Disyaratkan dalam masalah memukul anak yang tidak shalat yaitu pukulan yang tidak melukai, tidak membuat kulit luka, atau tidak membuat tulang atau gigi menjadi patah. Pukulan di bagian punggung atau pundak dan semacamnya. Hindari memukul wajah karena diharamkan memukul wajah berdasarkan larangan Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Pukulan hendaknya tidak lebih dari sepuluh kali, tujuannya semata untuk pendidikan dan jangan perlihatkan pemberian hukuman kecuali jika dibutuhkan menjelaskan hal tersebut karena banyaknya penentangan anak-anak atau banyak yang melalaikan shalat, atau semacamnya. Dari Abu Burdah Al-Anshari, dia mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, "Seseorang tidak boleh dipukul lebih dari sepuluh kali kecuali dalam masalah hudud (hukuman tetap) dari Allah Ta'ala." (HR. al-Bukhari, no. 6456, Muslim, no. 3222)
Ibnu Qayim rahimahullah berkata,"Sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, 'Tidak boleh memukul lebih dari sepuluh kali kecuali dalam masalah hudud' maksudnya dalam hal jinayat (pidana kriminal seperti mencuri, dll) yang merupakan hak Allah. Jika ada yang bertanya, "Kapan harus memukul di bawah sepuluh kali jika yang dimaksud hudud dalam hadits tersebut adalah jinayah?"Jawabannya adalah saat seorang suami memukul isterinya atau budaknya atau anaknya atau pegawainya dengan tujuan mendidik atau semacamnya. Maka ketika itu tidak boleh memukul lebih dari sepuluh kali. Ini merupakan kesimpulan terbaik dari hadits ini." (I'lamul Muwaqqi'in, 2/23)
Selayaknya hal tersebut dilakukan tidak di depan orang lain untuk melindungi kehormatan sang anak atas dirinya dan orang lain dari teman-temannya atau selainnya. Juga hendaknya diketahui bahwa dalam perjalanan hubungan bapak dengan anak-anaknya dan pengajarannya bahwa sang bapak memukul sang anak semata-mata bertujuan agar dia taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Tujuannya semata-mata untuk kebaikannya secara sempurna dan perhatiannya dalam mendidiknya sesuai ketentuan syari agar jangan sampai timbul perasaan benci sang anak terhadap perkara syar'i yang berat dia lakukan dan karena meninggalkannya dia dipukul.
Syaikh Ibn Baz berkata, "Perhatikanlah keluarga dan jangan lalai dari mereka wahai hamba Allah. Hendaknya kalian bersungguh-sungguh untuk kebaikan mereka. Perintahkan putera puteri kalian untuk melakukan shalat saat berusia tujuh tahun, pukullah mereka saat berusia sepuluh tahun dengan pukulan yang ringan yang dapat mendorong mereka untuk taat kepada Allah dan membiasakan mereka menunaikan shalat pada waktunya agar mereka istiqomah di jalan Allah dan mengenal yang haq sebagaimana hal itu dijelaskan dari riwayat shahih dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam.(Majmu Fatawa Bin Baz, 6/46) Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, "Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah memerintahkan agar kita memerintahkan anak-anak kita melakukan shalat saat mereka berusia tujuh tahun, atau kita memukul mereka saat mereka berusia sepuluh tahun. Padahal ketika itu mereka belum berusia balig. Tujuannya adalah agar mereka terbiasa melakukan ketaatan dan akrab dengannya. Sehingga terasa mudah dilakukan apabila mereka telah besar dan mereka men-cintainya. Begitu pula dengan perkara-perkara yang tidak terpuji, tidak selayaknya mereka dibiasakan sejak kecil meskipun mereka belum balig, agar mereka tidak terbiasa dan akrab ketika sudah besar." (Fatawa Nurun ala Darb, 11/386) Beliau juga berkata, "Perintah ini bermakna wajib. Akan tetapi dibatasi apabila pemukulan itu mendatangkan manfaat. Karena kadang-kadang, anak kecil dipukul tapi tidak ber-manfaat pukulan tersebut. Hanya sekedar jeritan dan tangis yang tidak bermanfaat. Kemudian, yang dimaksud pukulan adalah pukulan yang tidak melukai. Pukulan yang mendatangkan perbaikan bukan mencelakakan." (Liqo Al-Bab Al-Maftuh, 95/18)
[137] Keterangan ayat tentang Hudud. (Perempuan yang berzina dan laki - laki berzina) kedua
- duanya bukan muhshan atau orang yang
terpelihara dari berzina disebabkan telah kawin. Hadd bgi pelaku zina muhshan
adalah dirajam, menurut keterangan dari sunnah.(maka deralah tiap - tiap
seorang dari keduanya seratus kali dera) yakni seratus
kali pukulan.Jika dikatakan Jalahadu artinya ia memukul kulit seseorang; makna
yang dimaksud adalah mendera. kemudian ditambahkan hukuman bagi pelaku zina
yang bukan muhshan ini menurut keterangan dari Sunnah, yaitu harus diasingkan
atau dibuang selama satu tahun penuh. bagi hamba sahaya hanya dikenakan hukuman
separuh dari hukuman orang yang merdeka tadi. Lihat Mucktar Yahya,
op.cit.,511
[138]
Ta'zir adalah jenis hukuman, bukan bentuk
hukuman. Bentuk hukuman bisa dalam bentuk cambuk, rajam atau diasingkan. Tapi
kalau kita bicara tentang jenis hukuman, maka jenis hukuman itu ada 2 macam,
yaitu hukum hudud dan hukum ta'zir. Sedangkan bentuknya bisa saja cambuk, rajam
atau lainnya. Beda Ta'zir dengan
Hudud .Jadi padanan dari hukum ta'zir
bukan cambuk, melainkan hukum hudud. Hukum hudud
adalah hukum yang semua aturannya langsung ditetapkan Allah. Mulai dari batasan
pelanggaran, pembuktian, syarat saksi hingga pada bentuk hukumannya. Semua ditetapkan Allah SWT bahkan nabi SAW tidak
punya hak untuk mengubahnya.Contoh hudud adalah ketentuan memotong tangan
pencuri. Allah secara langsung menetapkan hukuman buat pencuri. Bahkan ketika
seorang wanita dari Bani Makhzum mencuri dan para shahabat berpandangan untuk meminta
keringanan dari nabi untuk tidak dipotong tangannya, beliau SAW menolak
keringanan itu seraya menjelaskan bahwa ketentuan potong tangan bukan
wewenangnya. Hukum ta'zir adalah hukuman yang semua ketentuannya
ditetapkan oleh hakim. Meski tetap mengacu kepada syariat dari Allah SWT juga.
Namun khusus untuk hukuman ta'zir, hakim mendapatkan hak lebih besar untuk
menentukan bentuk dan beratnya hukuman.Contohnya adalah hukuman buat pelaku
zina yang kurang buktinya, misalnya tidak ada 4 orang saksi yang memenuhi
syarat. Mereka ini tidak bisa dirajam meski melakukan zina, bila tidak ada
saksinya. Tetapi karena jelas-jelas melakukan kemesuman, maka hakim berhak
untuk menjatuhkan hukuman 'pelajaran' kepada mereka, misalnya dicambuk 10 kali. Hukuman ta'zir ini bukan untuk menghukum kasus zina,
melainkan tindakan mesum yang boleh jadi belum memenuhi derajat zina.Maka salah
satu peran hukuman ta'zir ini adalah agar para pelaku hukum hudud yang kurang
syaratnya tidak lolos begitu saja. Maklumlah, kita tahu bahwa untuk menjatuhkan
hukum hudud, diperlukan syarat yang sangat njelimet dan nyaris bisa-bisa semua
tertuduh bebas.
[139] Hukum Hudud
telah sekian lama dipropagandakan oleh media-media barat dan musuh-musuh Islam
agar masyarakat melihatnya sebagai ganas dan tidak sesuai diamalkan dalam zaman
yang serba moden ini. Sedangkan Hukum Hudud
dan undang-undang
Islam
lain yang Allah perintahkan dalam AlQuran untuk dilaksanakan adalah relevan
sepanjang zaman hinggalah ke Hari Kiamat, dan ianya WAJIB untuk dilaksanakan. Hudud
ialah satu cabang dari undang-undang jenayah Islam. Di dalam perundangan
jenayah Islam terdapat tiga jenis hukuman iaitu Hudud, Qisas dan Ta'zir.Hudud
ialah kesalahan jenayah yang melanggar hak-hak Allah iaitu melanggar
batas-batas yang telah ditetapkan oleh Allah dan hukumannya adalah berdasarkan
kepada nas, sama ada melalui AlQuran atau AlHadits. Ia meliputi keperluan
menjaga agama, nyawa, akal, keturunan dan harta benda.
"Itu adalah Hudud (had-had) dari Allah, barangsiapa ta'at kepada Allah dan Rasul-Nya, nescaya Allah memasukkannya ke dalam syurga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar." Surah An-Nisaa'(4) : Ayat 13.
"Itu adalah Hudud (had-had) dari Allah, barangsiapa ta'at kepada Allah dan Rasul-Nya, nescaya Allah memasukkannya ke dalam syurga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar." Surah An-Nisaa'(4) : Ayat 13.
[142]
Sang
anak tidak mau menunaikan shalat kecuali dengan pukulan, maka sang ayah boleh
memukulnya dengan pukulan yang membuat jera, namun tidak melukai. Karena
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang tua untuk memukul
bukan untuk menyakiti si anak, melainkan untuk mendidik dan meluruskan mereka.
Dalam Syarh Riyadhish Shalihin, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 2/123-124.
[150]
Pada
saat anak sudah masuk masa baligh maka hukuman pukulan tersebut tidak berlaku
lagi, hukuman bagi mukallaf yang melakukan keharaman selain terkait hudud dan
jinayat adalah hukuman ta'zir oleh khalifah, tidak boleh lagi dilakukan oleh
orang tua. Jadi, hukuman pukulan oleh orang tua terhadap anak yang meninggalkan
shalat ini hanya berlaku saat anak sudah memasuki usia 10 tahun hingga anak
memasuki masa baligh.Abu
A’la Al-Maududi, op.cit.,155
[151]
Kecintaan kepada istri, tanpa disadari banyak menggiring suami ke bibir
jurang petaka. Betapa banyak suami yang memusuhi orang tuanya demi membela
istrinya. Betapa banyak suami yang berani menyeberangi batasan-batasan syariat
karena terlalu menuruti keinginan istri. Malangnya, setelah hubungan
kekerabatan berantakan, karir hancur, harta tak ada lagi yang tersisa, banyak
suami yang belum juga menyadari kesalahannya. Ummu Ishaq Al-Atsariyyah) Majalah AsySyariah Edisi 027
[156] Kepala
anak-anak yang dicukur dengan acak-acakan, setelah itu tubuh
mereka basah kuyup dengan bau yang tidak sedap. Mereka disiram air comberan. Tak cukup sampai
disitu, mereka masih harus berdiri semalaman. “Ritual” itu harus mereka
jalankan untuk “menebus” kesalahan yang mereka perbuat. Itulah sedikit menggambarkan bagaimana para santri
menjadi “korban” dari sebuah sistem, sebuah tradisi, yang sampai sekarang masih
banyak terjadi di kalangan beberapa pondok
pesantren. Tradisi itu adalah ta’zir.
[158]
Di zaman yang sudah berubah ini
tentu ta’zir-an bukan cara utama untuk mendidik santri saat ini, berbeda dengan
santri-santri yang dahulu, jika santri dahulu dita’zir maka santri tersebut
bisa menerima dengan ikhlas.
karena sadar memang perbuatannya itu salah dan si penta’zir dahulu memang
benar-benar adil tanpa pilih kasih.
[159] http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2238623-ta-zir-di-pesantren-melanggar/#ixzz1rbrOfowR
[160] Anak sekolah membolos? apa hukumanya?
kalau di negeri kita paling banter pemanggilan orang tua murid ke sekolah dan
diberi pengarahan, ujung-ujungnya paling parah adalah skors. Tapi di Inggris, murid membolos sekolah orang tua dipenjara. Sudah lebih dari
11.000 orang tua di Inggris mendapatkan sanksi karena membiarkan anak mereka
bolos sekolah. Hukum ini diberlakukan oleh pemerintah Inggris bahkan pemerintah
setempat masih menganggap hukum ini terlalu ringan, lebih fantastis lagi mereka
akan memperketat peraturan tentang bolos sekolah ini, seperti yang dikutip dari
vivanews.com. Dilansir laman The Guardian, Selasa
8 November 2011, terdapat 11.757 orang tua yang
dihukum karena ketidakhadiran anak mereka di sekolah. Angka ini meningkat dari
tahun lalu di mana 11.188 orangtua dijatuhi sanksi serupa.Sebanyak 25 orangtua
di antaranya dihukum penjara, dengan vonis terlama 90 hari. Sejumlah 9.000
orang divonis bersalah dan dua pertiga di antaranya dijatuhi denda. Denda
maksimal untuk kejahatan ini
adalah 850 poundsterling atau sekitar Rp12 juta. Lebih dari 400 orangtua
mendapatkan hukuman kerja sosial,
dan 53 lainnya ditangguhkan hukumannya.Jumlah
orangtua yang dihukum akibat anak yang membolos di Inggris dari tahun ke tahun bertambah jumlahnya.
Pada tahun 2005, tercatat hanya 4.000 orangtua yang dihukum. Jumlah orangtua
yang dipenjara konstan, sekitar 15 hingga 20-an.
No comments:
Post a Comment