PERTENTANGAN
ANTARA UU PERLINDUNGAN ANAK DENGAN HUKUM ISLAM
By Muhammad Rakib, S.H,M.Ag
NIM.
30891100007
S
3 UIN SUSKA RIAU.PEKANBARU
Menurut
analisis penulis antara konsep
Hukum Islam dan UU RI Nomor 23/2002, seakan-akan terjadi pertentangan secara
tekstual. Sedangkan secara kontekstual,
tampaknya tidak ada pertentangan,
karena hukuman fisik terhadap anak-anak dalam Islam, tidak mengandung
kekerasan, dan digunakan sebagai alternatif terakhir, sekaligus sebagai
antisipasi kerusakan (dar’al-mafâsid).[1]
Dar’al-mafâsid, artinya mencegah
kerusakan yang lebih besar. Tidak semua hukuamn fisik mengadung kekerasan.
Maksudnya memberikan hukuman fisik ringan kepada anak-anak, untuk mencegah
kejahatan yang mungkin akan dilakukannya, akan tetapi jangan sampai
menghasilkan manusia yang suka dengan tindak kekerasan di kemudian hari. Kalau
itu terjadi, berarti pendidikan akan melakukan kesalahan besar. Di tengah
budaya masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi disiplin, hukuman fisik
dianggap suatu yang sangat wajar dan masih banyak para orang tua atau para
pendidik yang memberikan hukuman fisik. Suatu data menyebutkan sepanjang
kwartal pertama 2007 terdapat 226 kasus kekerasan terhadap anak,[2] di sekolah.
Adapun rinciannya, kekerasan fisik 89 kasus, kekerasan seksual 118 kasus, dan
kekerasan psikis 210 kasus. Dari jumlah itu 226 kasus terjadi di sekolah.[3]
2. Perlindungan anak menurut UU Nomor
23 tahun 2002
Dalam UU Nomor 23 Tahun 2002, pasal 54 bahwa: Anak di dalam
dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang
dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah
yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya”. Redaksi
paal 54 ini, seakan akan bertentangan dengan Hukum Islam yang membolehkan
hukuman fisik terbatas, untuk melindungi dan
menjunjung tinggi kesucian kehidupan anak-anak. Hal ini diterangkan oleh
sejumlah ayat dan
hadits, yang memberikan landasan
hukum bahwa kehidupan manusia itu suci harus dipelihara, tidak boleh dihancurkan
(diakhiri) kecuali dilakukan untuk suatu sebab atau alasan yang benar, misalnya
pembelaaan diri yang dibenarkan. Berikutnya akan dianalisis
pandangan-pandangan ulama fiqh tentang kekerasan, argumentasi
methodologis (usul fiqh), solusi fikh, dan argumentasi fiqh yang penulis temukan dan disajikan dalam bentuk tabel :
TABEL 4.1
PERBEDAAN ANTARA UU PERLINDUNGAN ANAK
DAN HUKUM ISLAM
TENTANG HUKUMAN FISIK BAGI ANAK-ANAK
No
|
UU Nomor 23 Tahun 2002
|
Hukum Islam
|
1
|
Berdasarkan
HAM dan konvensi PBB tentang hak-hak anak.
|
Berdasarkan
Al-Quran dan Hadits
|
2
|
Keterangannya
bersifat global
|
Keterangannya bersifat
detil
|
3
|
Untuk
semua agama
|
Untuk
umat Islam dan dunia
|
4
|
Melarang
hukuman fisik, tanpa batas
|
Membolehkan
hukuman fisik, dengan batas-batas tertentu.
|
5
|
Bersifat
sekular rasionalis
|
Bersifat
sakral relegius
|
6
|
Memuat
sanksi hukuman penjara dan denda bagi yang melanggarnya.
|
Memuat
sanksi hukuman qishas dan ta’zir bagi
yang melanggarnya. [4]
|
Tabel ini merupakan hasil telaah penulis terhadap buku sumber primer dan sekunder
secara objektif. Pada baris nomor 5
dalam tabel ini, dibandingkan tentang dasar atau landasan atau fondasi dari UU
Nomor 23 Tahun 2002 adalah Hak Asasi
Manusia (HAM) dan Konvensi PBB tentang hak-hak anak, yang sudah diratifikasi
oleh Indonesia. Sedangkan Hukum Islam, dasarnya adalah al-Qur`an dan
Hadits. Dasar dan landasannya berbeda, tapi tujuannya sama, yaitu
memberikan perlindungan kepada anak-anak. Dalam Islam, anak-anak sampai umur tujuh
tahun, dibimbing bagaimana
melakukan shalat. Mereka biasanya lebih dipengaruhi oleh kebiasaan dan
didikan orang tuanya. Setelah mulai masuk sekolah, ia akan dibina oleh guru dan
dipengaruhi oleh lingkungan dan teman-temannya di sekolah. Kalau pembinaan
guru-gurunya baik dan pengaruh teman-temannya pun baik, maka jiwa anak terbina
dengan baik. Sebaliknya kalau pembinaan dari guru-gurunya hanya sekadarnya dan
pengaruh teman-temannya buruk maka si anak terbentuk dalam pola yang kurang
baik.
Di saat
seperti itu pembinaan ataupun kebiasaan kedua orang tua yang ditanamkan kepada
anak-anak selama masa tujuh tahun itu lambat laun terkikis lama-lama bisa
habis. Sedang pembinaan dari orang tua belum tentu berlanjut atau
setidak-tidaknya tidak ada peningkatan. Orang tua merasa anaknya sudah
disekolahkan pasti telah dibina oleh guru-gurunya di sekolah, padahal guru-guru
belum tentu membina anaknya dengan baik. Ada guru membekali otak dengan
ilmu teori dan itupun sifatnya menjurus
kepada materi keduniaan. Sedikit sekali yang menyangkut pembinaan rohani,
akhlaq, jiwa, hati, keimanan, keikhlasan atau akhlaq secara keseluruhan.
Sehingga aspek ukhrawi justru
terabaikan. Kemaslahatan manusia dapat
terwujud apabila terjamin kebutuhan pokok (dharûriyah/necessary interests)
yang meliputi hifzh ‘ala al-dîn, al-nafs, al-nasl, al’aql wa al-mâl,
kebutuhan sekunder (hâjjiyah/supporting needs) maupun kebutuhan
pelengkapnya (tahsîniyyah/complementary interests).[5]
.3. Solusi Problema Perlindungan Anak melalui Fikih
Hukuman
fisik bukan merupakan
persoalan sederhana, tetapi memiliki dimensi sosial yang kompleks, baik
secara fisik maupun psikis bagi anak didik maupun psikososial bagi lingkungannya.
Fikih dalam hal ini, berorientasi pada etika sosial yang produk hukumnya tidak
sekedar halal atau haram, boleh dan tidak boleh, tetapi memberikan jawaban
berupa solusi hukum terhadap persoalan-persoalan sosial yang dihadapi anak-anak
dan perempuan. Fikih sosial bertolak dari pandangan bahwa mengatasi masalah
sosial yang kompleks dipandang sebagai perhatian utama syari’at Islam.[6]
Dalam konteks menetapkan kepastian
hukum mengenai tingginya angka kekerasan terhadap anak-anak yang tampaknya tidak aman di rumah atau di sekolah dan
merupakan kondisi yang membahayakan. Hal
ini dapat dianalisis dengan menggunakan beberapa kaidah fikih, antara lain: Pertama, bahaya itu harus dihilangkan الضَـــرَرُ يُـــزَالُ . Kedua, bahaya yang lebih berat,
dapat dihilangkan dengan memilih bahaya yang lebih ringan اِذَا
تَعَارَضَ مَفْسَـــدَتَانِ رُوْعِيَ اَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكَــــابِ
اَخَفِّهَا
“Jika
dihadapkan pada dua kondisi yang sama-sama membahayakan, maka pilihlah bahaya
yang lebih kecil risikonya. Ketiga,
keterpaksaan dapat memperbolehkan untuk melakukan hal-hal yang dilarang (al-dlaruraatu
tubiihul mahdzuraat). [7]
Keempat, perubahan hukum Islam
dapat dilakukan. Dengan adanya perubahan zaman, perubahan tempat, perubahan
kondisi, perubahan niat dan kultur atau adat (taghayyur al-ahkam
bitaghayyur al-azminah wal-amkinah wal-ahwal wan-niyaat wal-‘awaaid).[8]
4.Pencegahan kekerasan terhadap anak-anak
Ada argumentasi klasik di
kalangan ulama bahwa pencegahan atau mendahulukan prevensi (syaddu
al-dzari’ah) lebih baik. Dalam hal
hukum aborsi, melarang aborsi
dianggap lebih aman, karena ada kehawatiran kalau aborsi dibolehkan akan
dijadikan sebagai peluang bagi pelaku seks di luar nikah mencari jalan keluar.
Bila aborsi dibolehkan sama dengan memberikan kesempatan untuk melakukan
perzinahan atau seks bebas. Pertanyaannya adalah bagaimana fikih menjawab
realitas yang sudah terjadi berupa tingginya angka aborsi tak aman yang
jelas-jelas mengancam kematian, apakah masih relevan menjawab dengan argumentasi
preventif. Pandangan tersebut nampak sangat tekstual karena hanya berorientasi
pada teks tanpa melihat realitas sosial bahwa ada satu kondisi yang mengancam kematian perempuan
yang perlu dijembatani supaya aborsi tak aman tidak terjadi. Di sinilah letak
kesenjangannya antara teks fikih dan kenyataan di lapangan. sebagian pakar
pendidikan menganggap hukuman untuk anak-anak dan remaja masih diperlukan dan
masih bisa diandalkan,[9]
seperti yang tergambar dalam tabel berikut ini:
TABEL
4.2
PRO KONTRA HUKUMAN FISIK TERHADAP ANAK-ANAK
No
|
Pro
|
Kontra
|
Konvergensi
/Gabungan.[10]
|
1
|
Sebahagian psikolog
Marjorie
Gannoe
|
Sebagian filosuf
Plato dan Jean Jacke Rousseo
dan
Jean Soto
|
Islam
Berdasarkan
Al-Quran dan
Hadits
|
2
|
Tokoh-tokoh
PendidikanMiliter
|
Nasrani
Tokoh-tokoh
Peneliti
|
Yahudi Berdasarkan
Taurat
|
Posisi Islam, [11] pada
konsep komvergensi, mengabungkan antara pro, [12] dan kontra, tapi tidak sekedar
gabungan, bahkan bersikap moderat (wasathan) berkaitan dengan
fitrah manusia. Aristoteles yang pro dengan hukuman fisik, mengatakan, "Rasa takut akan hukuman
itu lebih efektif untuk membina manusia, dari ajakan-ajakan untuk berbuat baik. Hal
ini diakui oleh orang yang mengutamakan
nalarnya. Pembuat peraturan untuk mendisiplinkan anak, berkewajiban
mengajak kepada tingkah laku yang
nyata, dan memberikan hukuman kepada
anak didik yang melanggar."Powelson mengatakan, "Tanpa rasa takut
alias rasa hormat atas wacana hukuman maka pendidikan tidak akan berjalan
efektif."Karena pendidikan
adalah pembiasaan dan pemaksaan adalah termasuk salah satu cara di dalamnya.[13]
B. Status Anak sebagai Subjek dan Objek Hukum Islam
1.Anak-Anak
bukan Subjek Hukum
Para
ulama ushul fiqh menyatakan bahwa anak-anak statusnya belum bisa menjadi subjek
hukum. Bukan mahkum alaihi, yang perbuatannya dikenai khitab
Allah SWT, bukan mukallaf. Secara etimologi, mukallaf berarti yang dibebani hukum. Istilah mukallaf disebut
juga dengan mahkum alaih (subjek
hukum). Orang mukallaf, mampu
bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah maupun dengan larangan. Apabila mengerjakan
perintah, ia mendapat imbalan pahala dan kewajibannya terpenuhi, apabila mengerjakan larangan Allah SWT., ia mendapat ganjaran
pula.
2. Dasar Penetapan Subjek Hukum
Anak-anak belum dikenai taklif
(pembenanan hukum) karena belum cakap
untuk bertindak hukum. Untuk itu, para ulama ushul fiqih, mengemukakan bahwa
dasar pembebanan hukum adalah akal dan pemahaman. Seseorang dapat dibebani hukum apabila dapat memahami
secara baik taklif yang ditujukan kepadanya. Dengan demikian, orang yang tidak
atau belum berakal, yaitu orang gila dan anak kecil tidak dikenakan taklif.
Tidak dapat memahami syara’. Begitu pula
orang yang tidur, mabuk, dan lupa. Orang
yang mabuk, tidak sadar (hilang akal). Sabda Rasulullah SAW. :
رفع القلم عن ثلاث: عن النائم حتي يستيقظ و عن الصبي حتي يحتلم وعن المجنون حتي يفيق )رواه البخاري وأبوداوود والترمذي والنسائ وابن ماجة والدارقطني)”
Artinya, Diangkatkan pembebanan
hukum dari tiga (jenis orang), orang tidur sampai bangun, anak kecil sampai baligh, gila sampai sembuh.[14]
Dalam hadits lain dikatakan :
رُفِعَ
الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ عَنْ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنْ الصَّبِيِّ
حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنْ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ
Artinya, Umatku tidak dibebani hukum
apabila mereka terlupa, tersalah, dan dalam keadaan terpaksa. [15]
3. Syarat-Syarat
bagi Subjek Hukum
Ada
dua syarat sahnya memberi beban kepada mukallaf, yaitu berikut ini :
a. Mukallaf dapat memahami dalil taklif, yaitu mampu memahami nash yang dibebankan dari Al-Qur’an dan
As-Sunnah secara langsung atau melalui perantaraan. Orang yang tidak mampu
memahami dalil taklif tidak dapat tumpuan yang dibebankan kepadanya dan
tujuannya tidak dapat mengarah kesana. Kemampuan memahami dalil itu hanya dapat
nyata dengan akal sehingga dengan akal tersebut adanya nash-nash yang
dibebankan dapat diterima pemahamannya karena akal merupakan alat memahami dan
menjangkau. Dengan akal tertujulah keinginan untuk mengikuti. Ketika akal itu
adalah hal yang sembunyi yang tidak dapat dijangkau oleh indera lahir, maka
syar’i telah menghubungkan beban taklif dengan hal nyata yang dapat dijangkau
oleh indera, yang menjadi tempat dugaan akal, yaitu sifat kedewasaan. Dengan
demikian barang siapa telah sampai pada keadaan dewasa dan tak tampak padanya
sifat-sifat yang merusak kekuatan akalnya, ia telah sempurna untuk diberi
beban.
Kewajiban
zakat, nafkah, jaminan (dhamman) terhadap
anak-anak dan orang gila, bukan berarti memberi beban kepadanya, tetapi
memberikan beban kepada walinya agar melaksanakan kewajiban harta yang menjadi
milik anak-anak dan orang gila itu, antara lain, membayar pajak tanah dan irigasi
dari harta miliknya. Dalam kaitan itu, firman Allah SWT. Dalam surah al-Nisâ
ayat 43 menjelaskan :
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan
mabuk,[16]
sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan...”
Awaridl
Muktasabah (halangan yang dibuat sendiri)
adalah mabuk. Mabuk ialah hilangnya akal karena khamar atau yang menyerupainya
hingga kacau omongan dan mengigau. Menurut Hamka, mabuk tentu luas artinya,
yaitu segala sesuatu segala kekacauan fikiran atau fikiran yagn tidak bulat,
hati yagn bercabang kepada yang lain atau fikiran yagn sedang susah dibawa ke
dalam sembahyang.[17]
Mabuk menurut jalannya terbagi atas dua macam :
Pertama
yang jalannya tidak diharamkan seperti mabuknya orang yang terpaksa minum
khamar dan mabuk yang timbul dari obat-obatan. Ini hukumnya sama dengan
pingsan, tidak sah tindakannya, thalaqnya dan pembebasan budaknya. Kedua yang
jalannya diharamkan dan ini tidak membatalkan taklif sehingga berlakulah
hukum-hukum bagi pemabuk dan ucapan-ucapannya seperti thalaq, pembebasan budak,
jual beli, pengakuan, mengawinkan anak kecil, kawin, menghutangi dan minta
dihutangi. Hal itu karena akalnya sempurna, hanya saja ia kehilangan pemahaman
khitob oleh maksiat, maka tetaplah taklifnya dalam hak dosa dan kewajiban mengqodlo bagi ibadah yang diqadla secara syara’. Muhamad ’Atthiyyah Al-Abrasyi, mengemukakan
bahwa ada 3 hal yang harus diperhatikan dalam memberikan hukuman fisik terhadap
anak, yaitu :
1.
Sebelum berumur 10 tahun, anak-anak
tidak boleh dipukul.
2.
Pukulan tidak lebih dari tiga kali. Yang dimaksud
dengan pukulan disini ialah dengan menggunakan lidi atau tongkat kecil bukan
dengan tongkat besar dan tidak sampai menyakiti dan menimbulkan cedera.
3.
Diberikan kesempatan besar kepada anak-anak untuk
tobat dari apa yang ia lakukan dan memperbaiki kesalahannya tanpa perlu
menggunakan pukulan atau merusak nama baiknya (menyebabkan malu).[18]
Penulis membandingkan dan
mengaitkan dengan teori hukuman yang sudah dikenal dunia Barat, berdasarkan sudut pandang hukuman yang mendidik, maka timbullah beberapa teori tentang hukuman.
4. Teori-Teori Hukuman Disiplin Terhadap Anak-Anak
4.1. Teori Hukum Alam
Menurut Umar Muhammad Al-Taumy Al-Syaibany
bahwa “hukum alam bukan
saja mencakup segala makhluk, tetapi juga
merangkum sistem, peraturan atau undang-undang alam yang semua bagian alam
tunduk kepada dasar-dasarnya dan sesuatu itu terjadi atau berlaku mengikuti
ketentuan persyaratan disekelilingnya,[19]
sependapat dengan penganjur pendidikan alam, yaitu J.J. Rousseau. Rousseau tidak menghendaki hukuman
yang dibuat-buat. Biarkan alam sendiri yang menghukumnya. Yang dimaksud di sini
ialah, bahwa hukuman itu hendaknya merupakan akibat yang sewajarnya dari suatu
perbuatan, hukuman harus merupakan sesuatu yang natuur menurut hukum-hukum
alam, akibat logis yang tidak dibuat-buat. Anak yang senang memanjat pohon,
adalah wajar dan logis apabila suatu ketika ia jatuh. Jatuh ini adalah
merupakan suatu hukuman menurut alam sebagai akibat dari perbuatanya dari
senang memanjat pohon . [20]
2. Teori Bakat Alam
J.J. Rousseau dengan aliran nativisme dalam pendidikan, berpendapat bahwa hukuman fisik bagi anak manusia, tidak berguna. Semua
pembawaan anak adalah baik. Ia membiarkan anak berkembang sendiri dan
menyerahkannya kepada alam. Kalau anak berbuat salah, biarlah alam yang menghukumnya,
anak akan menderita sebagai akibatnya. Hukuman semacam ini dinamai hukum alam.
Contoh dari hukuman alam adalah, anak bermain dengan air panas dan berakibat
tersiram kakinya. Anak dibiarkan merasakan kakinya sakit, hukuman lain tidak
ada . Dari hukuman alam , anak akan menerima pendidikan dan berusaha tidak
menjalankan permainan berbahaya lagi. Ia
berusaha mengelak.
4.2. Teori
Ganti Rugi
Dalam hal
ini, anak diminta untuk bertanggung jawab atau menanggung risiko dari
perbuatannya, misalnya anak yang mengotorkan atau merobekkan buku milik
kawannya, maka harus menggantinya. Anak yang berkejar-kejaran di kelas,
kemudian memecahkan jendela, maka ia harus mengganti kaca jendela itu dengan
kaca yang baru. Teori ganti rugi,[21]
di mana anak harus mengganti kerugian akibat perbuatannya yang salah, misalnya
anak memecahkan kaca jendela tetangga, maka ia harus mengganti dengan uang
tabungannya.
4.3. Teori
Menakut-Nakuti.[22]
Hukuman yang diberikan untuk menakut-nakuti anak agar anak
tidak melakukan pelanggaran atau perbuatan yang dilarang, dalam hal ini nilai
didik itu telah ada, hanya saja perlu diperhatikan bahwa hal ini harus dijaga
jangan sampai anak itu tidak berbuat kesalahan lagi hanya karena rasa takut
saja, melainkan tidak berbuat kesalahan lagi karena adanya kesadaran, sebab
apabila tidak berbuat kesalahan itu karena hanya takut, takut kepada bapak atau
ibu guru. Maka jika tidak ada bapak atau ibu guru, kemungkinan besar ia akan
mengulang kembali perbuatannya. Ia akan mengulangi perbuatannya secara
sembunyi-sembunyi. Jika terjadi demikian, maka dapat dikatakan bahwa nilai
didik dari hukuman tersebut sangat minim sekali.[23]
Teori menakutnakuti ialah memberi hukuman supaya menimbulkan rasa takut pada
anak, sehingga mencegah dirinya berbuat salah.
Teori
ini bertujuan menimbulkan rasa takut kepada orang lain. Biasanya hukuman
dilaksanakan di muka umum. Pelanggaran kedua kalinya dihukum lebih berat, sebab
perulangan pelanggaran berarti jeranya pelanggar. Begitulah hukuman makin lama
makin berat, agar orang lain menjadi lebih takut. Fungsi hukuman dengan teori
hukuman menakuti ini terhadap orang lain juga preventif.
4.4. Teori
balas dendam
Macam-macam
hukuman yang paling jelek, yang paling jahat dan paling tidak dipertanggungjawabkan
dalam dunia pendidikan ialah hukuman yang didasarkan kepada rasa sentimen. Sentimen ini dapat ditimbulkan
oleh kekecewaan-kekecewaan (frustasi) yang dialami oleh guru, baik mengenai
hubungannya dengan orang-orang lain, maupun hubungannya dengan para siswa
secara langsung. Misalnya, karena seorang guru merasa dikecewakan dalam hal
cinta, melempiaskan kekecewaannya itu
kepada para siswanya. Bagi guru muda,
mungkin merasa bahwa seorang siswa telah dianggap sebagai saingan atau
penghalang dari maksud-maksudnya, berusaha mencari kesempatan menghukumnya.[24]
4.5. Teori
memperbaiki
Satu-satunya
hukuman yang dapat diterima oleh dunia pendidikan ialah hukuman yang bersifat
memperbaiki, hukuman yang bisa menyadarkan anak kepada keinsafan atas kesalahan
yang telah diperbuatnya. Dan dengan adanya keinsafan ini, anak akan berjanji di
dalam hatinya sendiri tidak akan mengulangi kesalahannya kembali. Hukuman yang
demikian inilah yang dikehendaki oleh dunia pendidikan. Hukuman yang bersifat
memperbaiki ini disebut juga hukuman yang bernilai didik atau hukuman
pedagogis.[25]
Teori inilah yang harus kita gunakan sebagai pendidik, maksudnya untuk
memperbaiki perbuatan anak yang buruk/salah.[26]
Teori ini bertujuan untuk
memperbaiki. Adapun yang perlu diperbaiki ialah hubungan antara pemegang
kekuaaan dan pelanggar dan sikap serta perbuatan pelanggar. Hubungan antara
penguasa dengan umum yang tadinya telah menjadi rusak dengan terjadinya
pelanggaran oleh orang yang bersikap dan berbuat salah itu perlu dibetulkan
lagi. Rusaknya hubungan itu mengakibatkan hilangnya kepercayaan penguasa
terhadap pelanggar. Fungsi hukuman dengan teori membetulkan ini korektif dan
edukatif.
Di dalam dunia pendidikan,[27]
pendidik tidak menganut teori hukuman lain dari pada teori hukuman pembetulan.
Hal ini sesuai dengan tugas pendidik, yaitu membimbing anak didik agar berbuat
dan bersikap luhur. Tidak pada tempatnya pendidik menakut-nakuti dan membalas
dendam anak didiknya. Anak didik yang takut pada pendidiknya menutup diri
baginya dan tidak bersedia menerima petunjuk. Pendidik yang membalas dendam
anak didiknya menganggap anak didiknya sebagai musuh, bukan sebagai anak
asuhannya.[28]
4.6. Teori
melindungi
Teori
melindungi, anak dihukum untuk melindungi lingkungan,[29] atau masyarakat terhadap perbuatan-perbuatan salah yang
merusak/ merugikan lingkungan tersebut.[30]
4.7. Teori
menjerakan
Teori
ini bertujuan agar pelanggar sesudah menjalankan hukumannya akan jera dan tidak
akan menjalankan pelanggaran lagi. Fungsi hukuman tersebut adalah preventif,
yaitu mencegah terulangnya pelanggaran sesudah pelanggar dikenai hukuman.
Sebagian pakar menerima hukuman sebagai bagian yang tak terpisahkan dari
pendidikan, tapi tidak secara mutlak. Hukuman adalah instrumen sekunder dan
diberikan dalam kondisi serta syarat tertentu. Jadi, menurut mereka, kalau guru
atau orangtua masih bisa menangani anak didiknya dengan nasihat-nasihat atau
dengan penjelasan rasional, maka tidak perlu lagi memberikan hukuman. Hukuman itu
boleh diberikan setelah nasihat-nasihat verbal atau apa saja tidak lagi dapat
mengusik kesadarannya.
C. Hak dan kewajiban anak dalam Islam
1.Pengertian hak
Kata hak berasal dari bahasa Arab 'haqq' yang
memiliki beberapa makna. Di antaranya, hak bermakna 'ketetapan' atau
'kewajiban'. [31]Hal ini bisa
dipahami dari firman Allah, surah al-Anfal ayat 8 :
Agar
Allah menetapkan yang hak (Islam) dan membatalkan yang batil (syirik) walaupun orang-orang yang
berdosa (musyrik)
itu tidak menyukainya. [32]
2.Hak-hak anak
Di dalam hadits dinyatakan:
Seorang anak diakikahkan pada
hari ketujuh dan diberi nama, dibersihkan dari penyakit, maka apabila dia sudah
berumur enam tahun hendaklah dididik, apabila sudah berumur sembilan tahun hendaklah
dipisahkan tempat tidurnya, apabila sudah berumur “ tiga belas tahun”, hendaklah dipukul apabila
meninggalkan shalat dan puasa, dan apabila sudah berumur 16 tahun hendaklah
dinikahkan, kemudian dia memegang tangannya seraya mengatakan: aku telah mendidik
dan mengajarmu dan juga menikahkanmu, aku berlindung dari fitnah yang kau bawa
di dunia dan siksaanmu di akhirat.[33]
Di
dalam hadits ini dinyatakan:
Apabila sudah berumur “ tiga belas tahun”, hendaklah dipukul apabila
meninggalkan shalat dan puasa.Segala
sesuatu selain dari zikir
adalah sia-sia, atau
melalaikan, kecuali empat hal: 1. Perjalan seorang dengan dua tujuan.
2. Memanah,
3. Mendidik
kuda tunggangan, bersenda-gurau dengan keluarganya, dan 4. Mengajarinya
anak berenang.[34]
Kesalahan besar orang tua, jika berpendirian
bahwa anak tidak boleh mengungkapkan pendapat! Penerapannya bisa saja keliru
bahwa haram hukumnya anak tidak melaksanakan perintah orang. Apakah jika
seorang anak yang harus menururti keinginan orang tua jika tidak boleh memilih
jurusan sekolah sesuai kemampuan anak dan hanya menuruti ego orang tua agar
bersekolah sesuai keinginan nya? Ada pula tindakan orang tua yang selalu
mengumpat anaknya,[35]
dan selalu marah-marah? Bagaimana orang tua yang sibuk bekerja lalu saat pulang
ke rumah menumpahkan kekesalan, sementara anak tidak boleh melawan, tidak boleh
sakit hati.
4. Makna Memukul Anak yang Tidak Shalat
Setiap yang diperintahkan Allah dan
Rasul-Nya pasti memiliki maqashid,[36]
atau hikmah dan tujuan. Dalam hal
perintah dan larangan Allah, secara umum manusia terbagi menjadi dua golongan,
yaitu (1) orang yang cukup menerima nasihat dengan dalil kitab dan sunnah dan
(2) orang yang membangkang. Golongan yang kedua inilah yang perlu diterapkan
hukuman padanya. Maqashid itu di antaranya bermakna manfaat, misalnya manfaat
besi adalah untuk memerangi orang-orang kafir dan untuk menegakkan qishash. Ini adalah manfaat yang sangat
nampak, sebab manusia akan takut pada pedang sehingga mereka pasrah pada agama
Allah. Maqashid atau manfaat memukul anak karena meninggalkan
sholat, bertujuan untuk antara lain:
1.
Memberi pelajaran kepada anak bahwa
hak Allah adalah sangat lebih besar, sehingga segala sesuatu akan menjadi hina
di hadapan-Nya. Tubuh yag seharusnya dipelihara dan tidak boleh (haram)
disakiti menjadi halal dan harus merasakan sakit lantaran meremehkan hak
Penciptanya.
2.
Menampakkan kepada anak bahwa orang
tua memiliki kekuasaan dalam melazimkan hukum-hukum Allah kepada mereka,
sehingga tidak ada pilihan baginya kecuali pasrah dan menyerah kepada Rabbnya.
[1]Benturan antara mashlahat dan mafsadat,
dalam artian kalau ingin mengerjakan kemaslahatan tersebut, mesti melakukan
mafsadatnya. Jika hal ini yang terjadi, secara umum dapat diurai kan sebagai
berikut: 1. Apabila mafsadatnya lebih besar dibanding maslahatnya, maka
meng-hindari mafsadat itu dikedepankan daripada meraih kemaslahatan tersebut.
2. Apabila maslahatnya jauh lebih besar dibandingkan dengan mafsadat yang akan
timbul, maka meraih maslahat itu lebih diutamakan daripada menghindari
mafsadatnya. Oleh karena itu, jihad berperang melawan orang kafir disyari’at
kan, karena meskipun ada mafsadatnya yaitu hilangnya harta, jiwa dan lainnya,
namun maslahat me negakkan kalimat Alloh di muka bumi jauh lebih utama dan
lebih besar. 3. Apabila maslahat dan mafsadat seimbang, maka secara umum saat
itu menolak mafsadat lebih didahulukan daripada meraih kemaslahatan yang ada.
Berdasarkan kaidah umum: (Menghilangkan mafsadat itu lebih dida-hulukan
daripada mengambil sebuah maslahat).Untuk mengetahui perincian permasalahan ini
lihat kembali kaidah (Tidak
boleh berbuat sesuatu yang membahayakan).Lihat Asmawi, Perbandingan Usul Fqih, (Jakarta , Penerbit Amzah : 2011), hlm. 57.
[3]Seto
Mulyadi, Kekerasan Fisik Terhadap Anak,
Diskusi di Jakarta,majalah Forum Keadilan,
Rabu (3/5 2011).
[4]
Lihat Indah SY, Anak di bawah umur diputuskan
bersalah oleh PN Surabya, dengan memvonis 6 (enam) bulan, membebankan biaya perkara Rp. 1000 (Seribu
Rupiah) dan denda Rp. 1.000 (Seribu Rupiah), selain memenuhi Pasal 290 KUHP
hakim juga berdasarkan pada pertimbangan hal-hal yang mem beratkan dan pada
hal-hal yang meringankan. Menurut
UU perlindungan anak No. 23 Tahun 2002 pasal 81 dan 82 pelakunya dijatuhi
dengan hukuman penjara paling singkat 3 tahun dan hukuman penjara paling lama
15 tahun dan denda paling sedikit Rp. 60.000.000 (Enam Puluh Juta Rupiah) dan
paling banyak Rp. 300.000.000 (Tiga Ratus Juta Rupiah). Tentang Pencabulan
Dalam Perspektif UU No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Hukum Pidana
Islam" Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan tentang apa
Pertimbangan Hakim Dalam Memutuskan Perkara No. 33/Pid.B/2008/PN.Sby
dan.Bagaimana Perspektif UU No. 23 Tahun
2002 Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Surabaya No. 33/Pid. B/2008/PN.Sby
serta Bagaimana Perspektif Hukum Pidana Islam Terhadap Putusan Pengadilan
Negeri Surabaya No. 33/Pid.B/2008/PN.Sby. Lihat Indah SY,
Pukullah Anakmu dengan Cinta, (Jakarta,
PT.Jaya Pustaka,
2010),
hlm134.
[9]Khoja
Nashiruddin Thusi mengatakan, "Ajari ia (anak-anak) dengan keras agar
tidak melakukan perbuatan buruk. Jangan sampai dari kecil sudah terbiasa
melakukan perbuatan jelek.Mereka itu suka berdusta, memiliki sifat hasud, suka
mencuri, suka mengadu domba, dan jugabandel, suka mencampuri urusan orang lain.
Setelah memberikan pendidikan yang sangat keras maka didiklah agar mereka
memiliki sikap sopan-santun. Jadi didiklah anak-anak sejak kecil dengan
disiplin. Jangan lupa pula untuk memuji sikap-sikap yang baik darinya,
waspadailah agar anak-anak tidak memiliki kebiasaan buruk karena seperti
peribahasa Al-Insânu hârisun 'ala ma' muni'a (manusia itu penasaran dengan
larangan). Manusia itu suka terhadap hal-hal yang menyenangkan dan tidak tahan
dengan penderitaan. Seorang pendidik harus bisa membuat anak didiknya sadar
dengan perbuatannya sehingga tidak berani lagi mengulangi perbuatan
buruknya."
[12]Tidak akan mati
kalau engkau memukulnya dengan rotan. Engkau memukulnya dengan rotan, tetapi
engkau menyelamatkan nyawanya dari dunia orang mati” Kitab Taurat, Amsal 23:13. Tetapi bukan berarti bahwa orang tua
atau guru boleh dengan semena-mena menggunakan haknya untuk memukul anak.Tidak
semua penggunaan hukuman atau hukuman fisik itu tidak berfaedah. Alkitab
mengajarkan, “Siapa tidak menggunakan tonngkat, benci kepada anaknya; tetapi
siapa mengasihi anaknya menghajar dia pada waktunya” Taurat Amsal 13:24. Lihat Al-Kitab,Percetakan Lembaga
Al-Kitab Indonesia, (Ciluar, Bogor :1982), hlm. 717.
[13]Argumentasi
klasik tersebut terpatahkan dengan ditemukannya fakta bahwa dari jumlah
rata-rata 2 juta kasus aborsi pertahun, 76.6% dilakukan oleh perempuan
berstatus menikah.[13] Penelitian
terakhir oleh Yayasan Kesehatan Perempuan (2003),87% klien aborsi berstatus
menikah. Ninuk Widyantoro. 2003. Pengakhiran Kehamilan Tak Diinginkan yang
Aman Berbasis Konseling, Jakarta: Yayasan Kesehatan Perempuan. Lihat juga
Khalid bin Ali Al-Musyaiqih, op.cit. ,
hlm. 189
[16]Asbab
al-nuzulnya : Ketika telah turun ayat 43 surat Al-Nisa’ dan hukum khamar ialah
haram, tetapi tidak secara mutlak. Para shahabat saat itu masih ada sebahagian
dari mereka yang masih meminum khamar dan mabuk-mabukkan yang mengakibatkan
prilaku mereka sangat jauh dari aturan. Oleh karena itulah pada tahapan
selanjutnya Allah menurunkan ayat 90 surat Al Maidah yang berisi pengharaman
khamar secara mutlak. Dalam ayat ini Allah mengharamkan khamar melalui beberapa
sebutan, yakni : Rijsu (رجس ) yang
berarti al najasah ( النجاسة ) najis dan najis merupakan sesuatu yang dilarang
oleh Allah (diharamkan). Kedua, Allah mengkategorikan meminum khamar ke dalam
perbuatan yang selalu dilakukan oleh Syaitan. Dengan turunnya ayat ini semua para ulama sepakat bahwa hukum dari khamar itu ialah haram. Penerapan metode
tadrij dalam hukum Islam. Ibnu Katsir, Lubab al-Tafsir
min Ibni Katsir, Penerjemah M.Abdul Ghoffar E.M., Tafsir Ibnu Katsir,
(Jakarta: Pustaka Imam al-Syafi’i, Cetakan I, Jilid 2, Juli 2009), hlm. 87, dan
Hamka, Tafsir al-Azhar, (Singapura: Pustaka Nasional, Cetakan V, Jilid 2,
2003), hlm. 1227.
[21]Membiasakan anak dengan
pakaian yang syar’i. Anak-anak dibiasakan
menggunakan pakaian sesuai dengan jenis kelaminnya. Anak laki-laki menggunakan
pakaian laki-laki dan anak perempuan menggunakan pakaian perempuan. Jauhkan
anak-anak dari model-model pakaian Barat yang tidak syar’i, bahkan ketat dan
menunjukkan aurat. Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang meniru suatu kaum,
maka dia termasuk kaum itu. (HR. Abu Daud).
[22]Hal ini sesuai
dengan yang dikatakan oleh Umar Muhammad Al-Taumy Al-syaibany bahwa “ alam
natural bukan saja mencakup segala mahluk yang akan tetapi juga merangkum
sistem, peraturan atau undang-undang alam yang semua bagian alam tunduk kepada
dasar-dasarnya dan sesuatu itu terjadi atau berlaku mengikuti ketentuan
persyaratan disekelilingnya. Umar Muhammad Al-Taumy Al-Syaibany, Falsafah
Pendidikan Islam, diterjemahkan oleh Hasan Langgulung, (Jakarta, Bulan
Bintang, 1979), hlm. 58.
[27]Hukuman pun
sering diterima siswa manakala mereka melanggar tata tertib yang telah
disepakati. Hukuman itu dimaksudkan sebagai upaya mendisiplinkan siswa terhadap
peraturan yang berlaku. Sebab, dengan sadar pendidik memegang prinsip bahwa
disiplin itu merupakan kunci sukses hari depan. Apakah bentuk-bentuk hukuman
bisa dikembangkan untuk mendisiplinkan siswa? Pertanyaan seperti inilah menjadi
dilema bagi kaum pendidik dalam mengemban kewajiban dan
tanggung jawabnya. Apabila sanksi hukuman sama sekali tidak diadakan
niscaya perilaku siswa akan lebih semrawut. Orang dapat
menduga-duga, ada penerapan hukuman saja siswa yang melanggar masih banyak,
apalagi jika sanksi hukuman ditiadakan. Tambah ruwet. Jika hukuman itu diadakan
menuntut konsekuensi bagi para pendidik itu sendiri. Maksudnya, pendidik harus
benar-benar bisa sebagai suri tauladan bagi anak didiknya. Penerapan aturan
hukuman bagi para siswa yang melanggar tetapi tidak diikuti kedisiplinan
pendidik, bagaikan halilintar di waktu siang bolong, banyak yang menyepelekan. UU menyebutkan “ Pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan. Lihat Undang-Undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003.
[29]Hukuman sebagai salah satu teknik pengelolaan kelas
sebenarnya masih terus menjadi bahan perdebatan. Akan tetapi, apa pun alasannya, hukuman
sebenarnya tetap diperlukan dalam keadaan sangat terpaksa, katakanlah semacam
pintu darurat yang suatu saat mungkin diperlukan. Hukuman merupakan alat
pendidikan represif, disebut juga alat pendidikan korektif, yaitu bertujuan
untuk menyadarkan anak kembali kepada hal-hal yang benar dan/atau yang tertib.
Alat pendidikan represif diadakan bila terjadi suatu perbuatan yang diangap
bertentangan dengan peraturan-peraturan atau suatu perbuatan yang dianggap
melanggar peraturan. Penguatan negatif dan penghapusan sebenarnya bernilai hukuman
juga. Menyajikan stimulus tidak menyenangkan dalam pemakaian teknik penguatan
negatif maupun tidak memberikan penguatan yang diharapkan siswa dalam teknik
penghapusan, pada dasarnya adalah hukuman walaupun tidak langsung. Kalau
penguatan negatif dan penghapusan dapat dikatakan hukuman tidak langsung, maka
yang dimaksud dengan hukuan di sini adalah hukuman langsung, dalam arti dapat
dengan segera menghentikan tingkah laku siswa yang menyimpang.Lihat Andri
Priyatna, Let’s End Bullying,Memahami,
Mencegah Dan Mengatasi Kekerasan Bullying,(PT.Alex Media Komputindo, 2010),
hlm. 117.
[31]Kerusakan anak-anak kebanyakan bersumber dari orang tua yang
membiarkan mereka dan tidak mengajarkan kewajiban-kewajiban dan sunnah din ini kepada mereka. Mereka tidak
memperhati kan masalah-masalah agama tersebut saat masih kecil, sehingga saat
sudah besar mereka sulit meraih manfaat dari pelajaran agama dan tidak bisa
memberikan manfaat bagi orang tua mereka.” Tuhfatul Maudud, I: 229.Lihat
Muhammad Al-Ghazali, op.cit., hlm. 463.
[33]H.R.Ibnu
Hiban. Bandingkan pula hadits Rasulullah secara rinci tentang fase-fase
perkembangan anak sekaligus cara atau metode yang harus diterapkan sesuai
dengan perkembangan anak. Rasulullah SAW bersabda artinya : “Berkata Anas
bersabda Nabi Muhammad SAW, anak itu pada hari ketujuh dari lahirnya
disembelihkan aqiqah, diberi nama dan dicukur rambutnya. Kemudian setelah umur
6 tahun dididik kesusilaan, setelah umur 9 tahun dipisahkan tempat tidurnya,
bila telah berumur 13 tahun dipukul karena meninggalkan sholat dan puasa, serta
umur 16 tahun hendaklah orang tua mengawinkannya, kemudian orang tua berjabatan
tangan dan berikrar, saya telah mendidik, mengajar dan mengawinkan kamu, ya
Allah lindungilah aku dari fitrahmu di dunia dan siksaanmu di akhirat”.
[35]Pakar pendidikan
ini ingin mengatakan bahwa hukuman memang merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dalam membina anak-anak, malahan dalam situasi tertentu mutlak diperlukan
sekali. Tetapi pada saat yang sama ia sama sekali tidak setuju secara mutlak
dengan hukuman fisik. Ia tidak Dia keberatan dengan hukuman-hukuman non-fisik
tapi bukan hukuman non-fisik yang berat.Ia menambahkan, “Perlu diingat bahwa
jangan sekali-kali memberikan hukuman yang akan merendahkan harga diri anak,
seperti hukuman badan, ancaman dengan siksaan atau apa saja demi menghancurkan
keinginan buruknya. Kemudian, jangan menghukum anak di saat marah. Lihat Ayah
Edi Wahono, Mengapa Anak Saya Suka
Melawan dan Susah Diatur, (PT.Gramedia Widiasarana Indonesia, 2010), hlm.
31.
[36]Sudah tidak asing di kalangan para ulama yang
berkecimpung dalam juresprudensi Islam (ushul al-fiqh) mengenai
teori maqashid al-Syari’ah yang disistematisasi dan
dikembangkan oleh al-Syathibi. Bahkan Musthafa Said al-Khin dalam bukunya al-Kafi
al-Wafi fi Ushul al-Fiqh al-Islamy membuat kategorisasi baru dalam
aliran Ilmu Ushul Fiqh. Bila sebelumnya hanya dikenal dua aliran saja,
yaitu Mutakallimin dan fuqahaatau Syafi’iyyah dan Hanafiyyah,
maka al-Khin membaginya menjadi lima bagian:Mutakallimin, Hanafiyyah, al-Jam’i, Takhrij
al-Furu’ ‘alal Ushul dan Sya-thibiyyah (al-Khin, 2000:
8). Dengan demikian, pembagian tersebut telah menempatkan pemikiran Imam
al-Syathibi dalam al-Muwafaqat menjadi salah satu bagiatn
corak aliran yang terpisah dari aliran ushul fiqih lainnya. Hal ini karena
dalam coraknya, al-Syathibi mencoba menggabungkan teori-teori (nadhariyyat)
ushul fiqh dengan konsep maqashid al-syari’ah sehingga
produk hukum yang dihasilkan lebih hidup dan lebih kontekstual. Menurut
Darusmanwiati, Ada dua nilai penting apabila model al-Syathibi ini dikembangkan
para ulama sekarang dalam menggali hukum: Pertama, dapat men-jembatani
antara “aliran kanan” dan “aliran kiri”. “Aliran kanan” yang dimaksud adalah
mereka yang tetap teguh berpegang pada konsep-konsep ilmu ushul fiqh sedangkan
“aliran kiri” adalah mereka yang terakhir ini vokal dengan idenyatajdid
ushul al-fiqh dalam pengertian perlu adanya dekonstruksi ushul fiqih
demi menghasilkan produk fiqih yang lebih kapabel …. Kedua, model
al-Syathibi ini akan lebih menghasilkan produk hukum yang dalam istilah Ibnu
al-Qayyim, al fiqh al-hayy, fiqih yang hidup. Karena itu, fiqih
yang terlalu teksbook yang penulis istilahkan dengan Fiqh
Ushuly akan berubah menjadi Fiqh Maqashidy Darusmanwiati,
Islamlib: 309.
No comments:
Post a Comment