PERBANDINGAN SEJARAH ISLAM
DENGAN HUKUM ROMAWI
Pendahuluan
Syar’u Man
qoblana (Adanya syari’at lain, sebelum Islam)antara lain Hukum Romawi.
Teori
Receptio in Complexu
Teori receptio in complexu ini
dikemukakan oleh Mr. W.C. van den Berg, Guru Besar di Delf dan Penasihat
bahasa-bahasa Timur dan Hukum Islam pada Pemerintah kolonial Belanda.
Inti dari teori ini adalah sebagai
berikut: “Selama bukan sebaliknya dapat dibuktikan, menurut ajaran ini hukum
pribumi ikut agamanya, karena jika memeluk agama harus juga mengikuti hukum
agama itu dengan setia”.
Tegasnya menurut teori ini, kalau suatu
masyarakat itu memeluk suatu agama tertentu, maka hukum Adat masyarakat yang
bersangkutan adalah hukum agama yang dipeluknya itu. Kalau ada hal-hal yang
menyimpang dari hukum agama yang dipeluknya, maka hal ini dianggap sebagai
suatu “perkecualian/penyimpangan” dari hukum agama yang telah “in complexu
gerecipieerd” (diterima secara keseluruhan) itu.
Dengan berlandas pada teori yang
dikemukakannya itu, maka van den Berg menggambarkan hukum Adat itu sebagai
hukum yang terdiri hukum agama dan penyimpangan-penyimpangannya.
Teori van den Berg ini mendapat banyak
tentangan dari para sarjana, antara lain:
Prof.
Snouck Hurgronje dalam bukunya “De Atjehers” Jilid I;
Mr.
van Ossenbruggen dalam bukunya “Oorsprong en eerste ontwikkeling van testeer en
voog dijrecht”;
Mr.
I.A. Nederburgh dalam bukunya “Wet en Adat” Jilid I;
Mr.
C. van Vollenhoven dalam bukunya “Het Adat-recht van Nederlans Indie”;
dan
lain-lainnya.
Sebelum syari’at Islam terdapat banyak
syari’at dan undang-undang. Di antaranya ada yang diturunkan dari sisi Allah
SWT. yang di sebut dengan syari’at Ilahi atau samawi. Syari’at ini banyak
jumlahnya, karena setiap ummat tidak terlepas dari adanya seorang Rasul yang di
utus Allah SWT. untuk menyampaikan syari’at dan hukum-Nya. Firman Allah SWT.:
وَ
إِنْ
مِنْ أُمَّةٍ
إِلاَّ خَلاَ فِيْهَا
نَذِيْرٌ (فاطر: 24)
“Dan tidak ada
satu ummat pun kecuali telah ada padanya seorang pemberi peringatan.”
Seluruh syari’at Ilahi memiliki kesamaan
prinsip-prinsip agama dan aqidah, seperti iman kepada Allah dan menegaskan
ibadah kepada-Nya, ikhlas dalam beramal, iman kepada Hari Akhir, bersiap diri
dengan amal shaleh, dan memerangi kemusyrikan. Sejalan dengan hal tersebut,
syari’at samawi memiliki sumber yang sama, dasar aqidah dan tujuan umum yang
sama, namun berbeda dalam hukum-hukum praksis, terperinci, dan parsial yang
mengatur hubungan individu dengan pencipta-Nya, dan atau antarsesama manusia.
Selain hukum samawi di atas, ada pula
hukum yang dibuat atau di tetapkan oleh manusia, atau sering di sebut dengan
hukum positif. Salah satu hukum positif terbesar yang memiliki pengaruh cukup
kuat terhadap hukum-hukum sesudahnya adalah hukum Romawi, bahkan, para
orientalis pun mengkait-kaitkan bahwasannya hukum (Syari’at) Islam pun juga
telah terpengaruh oleh hukum Romawi tersebut. Islam yang di turunkan di Arab,
kemudian tumbuh dan berkembang di daerah Arab. Namun, setelah itu Islam
berkembang dan menyebar ke negeri-negeri tetangga dan negeri yang jauh, serta
berhasil membebaskan dan menguasai kawasan-kawasan yang sebelumnya tunduk kepada
Negara Romawi Timur, seperti Syam dan Mesir. Sebagai akibat dari pembebasan
wilayah tersebut, secara otomatis syari’at Islam menggantikan hukum Romawi yang
sebelumnya berlaku di kawasan-kawasan tersebut.
Melihat kondisi demikian, para
orientalis lantas berpendapat bahwa syari’at Islam dan hukum Romawi ada saling
keterkaitan satu dengan yang lain. Sebagian besar orientalis mengatakan bahwa
syari’at Islam terpengaruh oleh hukum Romawi. sebagaimana Prof. Dr. Abdul Karim
Zaidan dalam bukunya Pengantar Studi Syari’ah yang mengutip perkataan dari Goldziher, Von Kremer, dan Scheldon Amos yang
mengatakan bahwa “Syari’at Islam di ambil dari hukum Romawi. Berdasarkan
kaidah-kaidah hukum Romawi inilah para fuqaha’ membangun struktur hukum
syari’at Islam.” Tidak hanya itu, Scheldon Amos juga mengatakan bahwa:
“Syari’at Muhammad tidak lain adalah hukum Romawi Imperium Timur, yang direvisi
agar sejalan dengan kondisi politik di dalam kerajaan-kerajaan Arab…”
Kelompok lain mengemukakan pendapat yang berbeda akan tetapi masih dalam
penafsiran yang sama, mereka berpendapat bahwa syari’at Islam terpengaruh oleh
hukum Romawi dalam sebagian hukumnya. Mereka yang berpendapat demikian adalah
para tokoh yang menganut teori “keterpengaruhan.” Ironisnya, pendapat yang
demikian belakangan di ikuti oleh para beberapa pakar hukum dan fiqh seperti
Ali Al-Badawi, DR. Abdul Razaq al-Sanburi, Dr. Syafiq Syahata, dan Prof.
Muhammad Salam Madkur (Mesir).
Pandangan Orientalis Mengenai Hubungan
Syari’ati Islam dengan Hukum Romawi
Para orientalis yang berpendapat bahwa
syari’at Islam terpengaruh oleh hukum Romawi menggunakan sejumlah
argumen-argumen sebagai berikut: Pertama, mereka mengatakan bahwa Nabi memiliki
pengetahuan luas mengenai hukum Romawi Bizantium yang diterapkan di Imperium Romawi
Timur. Melalui pengetahuan ini, hukum-hukum itu terserap ke dalam syari’at
Islam, dan ikut mewarnai syari’at Islam yang ada sekarang.
Kedua, mereka berpendapat bahwa di
Caesarea, Beirut, Konstantinopel dan Iskandaria telah ada sejumlah institute
hukum Romawi. Begitu juga telah ada sejumlah mahkamah di kawasan Romawi dan
penerapan hukumnya berjalan selaras dengan hukum Romawi. Hal ini dikarenakan
berbagai institusi pendidikan dan mahkamah tersebut masih tetap setelah
pembebasan kawasan itu oleh Islam. Sehingga para ahli fiqh kaum Muslimin
mempelajari hukum-hukum yang ada di mahkamah-mahkamah itu dan mengenal
pendapat-pendapat ahli hukum institusi pendidikan tersebut, kemudian mereka
menukil berbagai pendapat hukum tersebut ke dalam hukum fiqh Islam.
Ketiga, mereka mengatakan bahwa setelah
Imperium Romawi ditaklukkan oleh umat Islam, para ulama syari’at menyebar di
Imperium Romawi. Penyebaran ini sangat memungkinkan mereka bergaul dengan para
ahli hukum Romawi dan mempelajari hukum-hukumnya, di samping penduduk negeri
yang ditaklukkan juga sudah terbiasa dengan hukum tersebut. Dengan demikian,
para fuqaha’ itu mengadopsi kaidah-kaidahnya pada berbagai hubungan hukum
tersebut di negeri-negeri itu, demi menjaga tradisi masyarakat setempat.
Keempat, para orientalis berpendapat
bahwa hukum Romawi secara tidak langsung mempengaruhi syari’at Islam melalui
hukum Jahiliyah dan kitab Talmud Yahudi, yaitu kitab syari’at agama Yahudi.
Karena hukum Jahiliyah terpengaruh oleh ukum Romawi maka sebagian kaidahnya
terserap ke dalam hukum Jahiliyah sebagaimana telah terserap ke dalam Talmud.
Karena syari’at Islam mengakui sebagian undang-undang bangsa Arab Jahiliyah
maka berarti sebagian kaidah hukum Romawi telah terserap ke dalam hukum-hukum
syari’at Islam.
Kelima, mereka mengatakan bahwa di
antara bukti nyata terpengaruhnya syari’at Islam oleh hukum Romawi adalah
kemiripan yang kita amati dalam system undang-undang, hukum dan kaidah yang ada
di dalam syari’at Islam dan hukum Romawi. Hal ini berarti bahwa syari’at yang
muncul kemudian (syari’at Islam) itulah yang menukil berbagai aturan dan hukum
dari undang-undang terdahulu (hukum Romawi) karena yang datang kemudian itulah
yang mencontoh kepada yang pertama, bukan sebaliknya.
Kritik Terhadap Pandangan Orientalis
Mengenai Hubungan Syari’at Islam dan Hukum Romawi
Pandangan para orientalis yang
mengatakan bahwa syari’at Islam terpengaruh oleh hukum Romawi pada dasarnya
adalah merupakan tuduhan yang tidak benar dan tidak didukung oleh pengetahuan
dan penelitian. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa Nabi dilahirkan di rumah
seorang Arab asli dan di Makkah yang merupakan negeri Arab murni. Tidak ada
pengaruh tradisi atau pun hukum Romawi. Nabi tidak pernah meninggalkan Makkah
ke luar Jazirah Arab kecuali dua kali sebelum kenabian, yaitu pada saat keluar
bersama pamannya Abu Thalib ke Syam untuk berdagang hingga sampai ke Bashra,
dan pada saat Nabi pergi ke Syam dalam rangka menjalankan perdagangan Khadijah,
bersama pembantunya Maisaroh. Di samping itu semua, syari’at Islam adalah wahyu
yang diturunkan dari Allah. Jadi mustahil wahyu ini tercantum dengan hukum
Romawi atau selainnya.
Ditinjau secara
historis, para orientalis yang mengatakan bahwa syari’at Islam terpengaruh oleh
berbagai mahkamah dan institusi pendidikan sangatlah lemah, Prof. Dr. Abdul
Karim Zaidan yang mengutip dari Dr. Shufi Hasan Abu Thalib menyatakan bahwa
Kaisar Romawi Gestanian menerbitkan undang-undang pada 16 Desember 533 M.
berkenaan pembubaran seluruh institusi pendidikan hukum di Imperium Romawi
kecuali institute Roma, Konstantinopel dan Beirut. Dari ketiga institusi ini
tidak ada yang memiliki pengaruh terhadap fiqh Islam atau fuqaha’ kaum
Muslimin. Dakwaan para orientalis yang mengatakan bahwa fuqaha’ Muslimin
terpengaruh oleh institute di Iskandaria tidaklah benar, karena sebelum umat
Islam membebaskan kawasan ini pada tahun 641 M. institute tersebut telah
dibubarkan terlebih dahulu dengan adanya undang-undang Gestanian.
Adapun mereka yang berpendapat bahwa
dengan menyebarnya fuqaha’ di kawasan-kawasan yang dikuasai oleh Islam kemudian
mereka (baca: fuqaha’ Muslimin) mempelajari hukum Romawi juga sebenarnya tidak
memiliki cukup argument yang kuat, karena pada penjelesan di atas bahwa para
fuqaha’ Muslimin tidak pernah bersinggungan dengan dan terpengaruh oleh
institute-instiut hukum Romawi yang mereka (orientalis) dakwakan. Sebagaimana
yang kita ketahui bahwa syari’at Islam adalah hukum yang wajib di terapkan di
negeri Islam kepada seluruh penduduk negeri dan orang-orang yang bermukim di
Negeri Islam. Seorang qadhi (hakim) Muslim tidak dapat memutuskan perkara
dengan selain syari’at Islam. Begitu juga seorang faqih tidak dapat memberikan
fatwa hukum selain dengan syari’at Islam.
Pada argumentasi yang mengatakan bahwa
legislasi hukum Romawi terserap ke dalam syari’at Islam melalui Arab Jahiliyah
juga tidak di dasari dengan alasan yang kuat. Karena masyarakat Arab Jahiliyah
pada waktu itu berhubungan dengan tetangga mereka dari penduduk Negara Romawi,
namun hubungan ini sangat lemah dan terbatas, komunikasi mereka dengan
bangsa-bangsa Romawi sangat lemah, karena mayoritas masyarakat Arab tidak
mengenal baca tulis dan tidak menguasai bahasa-bahasa asing. Oleh karena itu,
semua hubungan bangsa Arab dengan bangsa-bangsa Negara Romawi tidak memberikan
pengaruh apapun dalam bidang hukum.
Sedangkan mereka yang berpendapat bahwa
sebagian syari’at Islam adalah mengutip dari kitab Talmud juga sebenarnya tidak
memiliki cukup bukti, karena kedua hukum tersebut saling bertolak belakang,
sebagai contoh di dalam masalah perkawinan. Nikah dalam ajaran Yahudi adalah sebuah
akad yang bersifat tormalistik, tidak bisa terlaksana kecuali telah melalui
sekian banyak formalitas yang telah ditentukan, seperti ucapan dua pelaku akad
dengan ungkapan-ungkapan khusus dalam bahasa Ibrani, pencatatan akad,
pensuciannya melalui cara sembahyang keagamaan khusus yang dihadiri sejumlah
laki-laki tertentu. Perkawinan tidak dapat dilaksanakan pada hari-hari besar
Yahudi dan hari Sabtu. Sedangkan pernikahan dalam fiqh Islam terlaksana dengan
sikap saling rela, hadirnya dua saksi, dan tidak mensyaratkan banyak formalitas
tertentu. Jadi jelas bahwa hukum Yahudi berbeda dari syari’at Islam secara
mendasar.
Adapun pendapat terakhir yang mengatakan
bahwa ada kemiripan antara syari’at Islam dengan hukum Romawi tidak dilandasi
dengan argument yang kuat, sehingga argument tersebut menjadi gugur dan
tertolak karena, (1) sebagian kaidah yang memiliki kemiripan, seperti kaidah
kewajiban menghadirkan bukti-bukti atas penggugat, juga kaidah tentang haramnya
mengambil harta orang lain dengan cara tidak benar, hal ini dinilai termasuk
kaidah yang tersebar luas di semua undang-undang. Kaidah ini bersumber dari
petunjuk akal sehat dan tuntutan keadilan. Mengabaikan kaidah ini dalam
pembuatan hukum menunjukkan adanya kekurangan dan ketidakadilan. Oleh karena itu,
kemiripan dalam masalah ini tidak membuktikan bahwa syari’at yang datang
kemudian mengambil dari syari’at terdahulu. (2) kemiripan yang ada dalam system
hukum di antara dua syari’at tidak membutikan secara pasti bahwa salah satunya
menyerap system dari yang lain. Karena bisa jadi ia tumbuh dalam kemiripan
kondisi sosiologis yang dilalui masing-masing syari’at. Sebagaimana akal yang
sehat memiliki kesamaan dalam banyak model pemikirannya. (3) meskipun ada
kemiripan lahiriah dalam system hukum, namun ada banyak perbedaan signifikan di
antara syari’at Islam dan hukum Romawi. Hal ini menunjukkan kemandirian
masing-masing dan perbedaan keduanya menyangkut sumber-sumber hukum. (4) di
dalam syari’at Islam terdapat system hukum yang tidak ada bandingannya dalam hukum
Romawi, seperti system hukum waqaf dan syuf’ah, dan pemberlakuan penyusuan
sebagai faktor penghalang perkawinan. (5) hukum Romawi dengan sistemnya yang
beraneka ragam, terpaku pada procedural dan formalitas. Sedang dalam syari’at
Islam berpijak pada ketentuan yang fleksibel dalam mu’amalah dan terbebas dari
formalitas sejak dari semula. (6) prinsip umum yang berlaku dalam hukum Romawi
adalah pemisahan antara hukum dan moral. Misalnya, nash-nash eksplisit yang
tertera dalam ensiklopedi Gestanian yang mengakui dengan jelas bahwa
penyalahgunaan hak tidak dianggap sebagai tindakan illegal. Bertolak belakang
dengan kaidah-kaidah syari’ah Islam yang berpijak pada nilai-nilai moral dan
membuka diri untuk terserapnya prinsip-prinsip moral ke dalam system hukumnya.
Hukum Romawi mengakui system “siapa yang lebih dahulu” sebagai sarana
mendapatkan kepemilikan dengan syarat-syarat tertentu karena lemahnya hubungan
antara hukum dan moral. Sedangkan syari’at Islam menolak pengakuan konsep ini
kaena nilai-nilai moral yang berlaku dalam syari’at tidak membolehkan
pengalihan hasil perampasan (ghasab) menjadi hak milik, dan tidak membolehkan
berlalunya waktu sebagai faktor yang mengakibatkan kepemilikan.
Penutup
Dari pemaparan
di atas dapat di simpulkan bahwa syari’at Islam tidak ada kaitannya dengan
hukum Romawi sebagaimana di lontarkan oleh para orientalis. Syari’at Islam
tumbuh secara mandiri, dan fiqihnya berkembang secara terpisah dari hukum yang
berawal dari adat kebiasaan. Syari’at Islam menyandarkan hukum-hukumnya pada
sumber-sumber tertetu yang tidak merujuk kepada hukum asing, dan sejalan dengan
kaidah-kaidah permanen yang menjadi landasan ilmu ushul fiqh.
Perbedaan antara syari’at Islam dan
hukum Romawi ini sangat mendasar, karena syari’at bersandar pada wahyu Ilahi.
Hal ini menjadi pembeda yang paling jelas antara syari’at dan lainnya, dan
membuat jurang pemisah antara syari’at Islam dan hukum Romawi serta hukum
positif lainnya.
Dengan semua itu, syari’at Islam
mencakup aturan-aturan hukum yang tidak dicakup oleh hukum Romawi hingga masa
akhir perkembangannya. Karena semua itu, dan mengingat realitas syari’at Islam
yang membedakannya dari selainnya, sesungguhnya syari’at Islam merupakan
syari’at yang berdiri sendiri dan tidak terpengaruh oleh undang-undang apa pun.
SISTEM STUDI
FIQIH DAN PERKEMBANGAN PEMIKIRAN FIQIH
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Hukum islam yang
sebenarnya tidak lain adalah fiqh
Islam, atau syari’at Islam yaitu ”koleksi daya upaya para fuqaha
dalam menerapkan syari’at islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat “[1]
مَجْمُوْعُ مُحَا وَلاَتِ الْفُقَهَاءِ
لِتَطْبِيْقِ الشَّرِيْعَةِ عَلَى حَاجأتِ
الْمُجْتَمَعِ
“Koleksi
daya upaya para ahli hukum untuk nenerapkan syari’at atas kebuthan masyarakat”.
Syari’ah berasal dari bahasa arab yang antara lain berarti jalan yang lurus, menurut fuqaha syari’ah berarti hukum atau
ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dan diwahyukan oleh Allah kepada RasulNya,
yaitu Muhammad Saw untuk hambanya yang memiliki tujuan suci agar mereka menaati
tiga hal prinsip, yaitu prinsip keimanan, baik yang berkaitan dengan akidah,
ibadah, dan mu’amalah maupun yang berkaitan dengan akhlak.
Pada satu sisi, syari’ah
juga diidentikkan denagn din (agama) dan milah. Lebih luas syari’ah dapat juga
dipahami sebagai apa saja yang telah ditetapkan oleh Allah SWT untuk hambanya
dengan perantara Rasulullah Muhammad Saw, baik berupa akidah, ibadah, akhlak,
mu’amalah, serta sistem kehidupan yang mengatur hubungna mereka denagn Tuhannya
dan antar sesama makhluk, agar dapat terwujud kebahagiaan dunia maupun akhirat.[2]
Dalam al-Mausatu
al’arabiyah al muyassaroh disebutkan bahwa: syari’ah dahulu secara mutlak
diartikan ”ajaran-ajaran islam yang terdiri dari akidah, dan hukum-hukum
amaliah” yang kini telah dikhususkan dengan istilah :
مجموعة
الأحكام ألشرعية العملية المستبطة من الكتا ب والسنة أو الرأي والاجماع
“Sejumlah
hukum syar’i yang amaliah (praktis) yang diistinbat dari al-Kitab (Qur’an) dan
Sunnah atau Ra’yu dan Ijma’”.
Pergaulatan antara realitas dan wahyu
memunculkan dua bidang kajian utama studi hukum islam. Bidang pertama adalah
studi fiqh(‘ilmu al-fiqh) yang mempertemukan realitas dan pemikiran manusia.
Studi fiqh berangkat dari realitas sosial menuju hasil ijtihad atau dari hasil
.lijtihad menuju realiatas sosial, sebagai contoh realitas mengemukakan kasus
pernikahan dibawah umur. Kasusu ini dihubungkan dengan hasil ijtihad ulama’.
Ternyata, ia pernah dibahas dan hasil pembahasannya menjadi jawaban dari kasus
tersbut. Selain itu, hasil pembahasan tersebut juga disosialisasikan kepada
masyarakat, bahkan kekuatan hukumnya ditingkatkan hingga menjadi peraturan
perundang-undangan. Dengan kekuatan ini, pernikahan dibawah umur tidak saja
dihukumi haram, tetapi juga terancam sanksi.[3]
PEMBAHASAN
Mahmud syaltut dalam
bukunya “al-islamu aqidah wa syari’ah“ memberi pengertian “syari’ah” dengan
tegas dan terinci sebagai berikut:
ألشريعة هي النظم التى شرعها الله او
شرع اصولها ليأخذ الانسان بهانفسه فى على قته بريهوعلاقته بأخيه المسلم وعلاقته
بأخيه الانسا ن وعلاقة بالكون وعلا قته
بالحيا ت
Artinya:
Syari’ah ialah segala peraturan yang telah
disyari’atkan Allah, atau Ia telah mensyari’atkan dasar-dasarnya, agar manusia melaksanakannya,
untuk dirinya sendiri, dalam berkomunikasi dengan Tuhan, berkomunikasi dengan
sesama muslim, berkomunikasi dengan sesama manusia, dan berkomunikasi dengan
alam semesta dan berkomunikasi dalam kehidupan.[4]
Tasyri’ menurut bahasa berarti penetapan atau pemberlakuan. Sementara itu,
pengertian tasyri’menurut istilah syara’ dan
undang-undang adalah pembuatan atau pembentukan undang-undang yang berlangsung
sejak diutus Rasullah Saw dan berakhir hingga wafatnya. Tasyri’ akan menjelasak
bagaimana cara seseorang ulama menetapkan suatu ketentuan hukum atau fiqh yang
bersumber pada nash atau syari’ah, baik yang bersumber dari wahyu Allah ataupun
dari penjelasan Rasulullah dengan mengkait-kaitkan kondisi sosio kultural yang
melingkupinya. Oleh karena itu, rentang dan lingkup kajian tarikh tasyri’
dimulai sejak pertama kali wahyu diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw hingga
masa kini.[5]
Hukum islam memiliki kekuatan untuk mendorong umat islam untuk mematuhi
atau tunduk kepadanya. Hal ini disebabkan oleh karena ketentuan-ketentuan dalam
hukum islam mempunyai dua macam sanksi, yakni balasan didunia dan balasan di
akhirat. Dasar-dasar hukum dalam pembentukan hukum islam adalah berdasarkan
al-Qur’an dan al-Hadits.[6]
Sejarah
Tasyri’ al-Islami
Pada hakikatnya tarikh atau sejarah tasyri’/penetapan hukum tumbuh dan
berkembang dimasa Nabi Saw sendiri karena Nabi mempunyai wewenang untuk
mentasyri’kan hukum dan berakhir dengan wafat Nabi Saw. Dan dalam hal ini, Nabi
Saw berpegang kepada wahyu, para fuqaha, ahli-ahli fiqh hanyalah menerapkan
kaidah-kaidah kulliyah, kaidah-kaidah yang umum meliputi keseluruhan, kepada
masalah-masalah juz-iyah, kejadian-kejadian yang detail dengan
mengistinbathkan, mengambil hukum dari nash-nash syara’, atau ruhnya, di kala tidak
terdapat nash-nashnya yang jelas.[7]
Periode-periode sejarah
hukum islam terdapat enam bagian, antara lain:
1.
Tasyri’ pada masa
Rasulullah SAW (610-632 M.).
Periode ini hanya
berlangsung beberapa tahun saja,walaupun demikian periode ini membawa
pengaruh-pengaruh atau kesan-kesan yang besar dan penting sekali, sebab pada
periode ini sudah mennggalkan beberapa ketetapan hukum dalam al-Qur’an dan
as-sunah, dan juga sudah meninggalkan berbagai dasar atau pokok tasyrik yang
menyeluruh, disamping sudah menunjuk berbagai sumber dan dalil hukum yang
digunakan untuk mengetaui hukum bagi suatu persoalan yang belum ada ketetapan
hukumnya.
Dengan demikian periode
Rasul ini sudah meninggalkan dasar pembentukan Undang-undang yang sempurna.
Periode ini terdiri dari dua fase atau masa yang masing-masing mempunyai corak
yang berbeda-beda, yaitu:
1.
Fase Makkah
Fase pertama adalah Fase
Makkah yakni semenjak Rosulullah masih menetapkan di Makkah sampai beliau
berhijrah ke Madinah. Dalam fase ini umat islam masih sedikit, masih lemah
keadaannya dan belum bisa membentuk umat yang mempunyai pemerintahan yang kuat.
Oleh karena itu perhatian Rosulullah SAW hanya dicurahkan kepada penyebaran
da’wah untuk mengakui Allah serta berusaha memalingkan perhatian manusia dari
menyembah berhala dan patung.
2.
Fase Madinah
Fase kedua adalah fase
Madinah, yakni semenjak Rosulullah berhijrah ke Madinah sampai beliau wafat.
Pada fase ini islam sudah kuat dan jumlah umat islam pun bertambah banyak.
Sudah terbentuk suatu umat yang sudah mempunyai suatu pemerintahan.[8]
1.
Tasyri’ pada masa sahabat
atau al-Khulafa’ur Rasyidin (632-661M.).
Periode ini dimulai sejak
wafatnya Rosulullah Saw. dan berakhir pada pertengahan abad ke-2 Hijriah.
Dalam periode inilah
timbulnya penafsiran nash-nash yang diterima dari Rasul dan terbukalah pintu
istinbath terhadap masalah-masalah yang tidak ada nashnya yang jelas. Dalam
periode ini islam berkembang sangat luas mulai dari timur ke barat serta utara
ke selatan, meliputi: irak,Syiria, Mesir, Afrika, dan lain-lain. Para
sahabat pada periode ini menafsirkan nash-nash hukum baik dari Al-Qur’an maupun
Hadits, yang kemudian menjadi pegangan untuk menafsirkan dan menjelaskan
nash-nash tersebut. Selain Al-Qur’an dan hadis,sumber hukum pada periode ini
adalah Ijma’ dan Ar-ra’yu para sahabat.
1.
Tasyri’ pada masa sahabat
kecil dan tabi’in(661-750M.).
Di akhir abad pertama,
terdapat golongan tabi’in yang selalu menyertai para sahabat yang mempunyai
keahlian dalam bidang fatwa dan tasyri’. Dari para sahabat itulah dari para
tabi’in mempelajari Al-qur’an dan menerima riwayat hadits serta dan
macam-macam fatwa. sumber tasyri’ di masa ini ada empat macam:
1.
Al-Qur’an
2.
Al-Hadits
3.
Al-Ijma’
4.
Al-Qiyas (al-ijtihad
dengan jalan qiyas atau dengan jalan istinbath yang lain)
Para ulama mufti
berrhenti pada nash yang mereka peroleh dalam al-Qur’an dan Sunnah. Mereka
tidak beranjak lagi dari nash-nash itu. Apabila mereka tidak mendapati
al-Qur’an dan Hadits mengenai suatu peristiwa yang memerlukan keputusan hukum,
akan tetapi mereka mengetahui bahwa ulama salaf telah berijma’ mengenai hukum
itu, mereka pun mengamalkan nya berdasarkan ijma’ ulama’ salaf tersebut.[9]
1.
Tasyri’ pada masa
at-tabi’ut- tabi’in (750-1258M.).
Kondisi hukum pada masa
ini mulai berjalan pada kekuatan yang komprehensif, melangkah dalam wilayah
yang luas sehingga hukum hampir menjadi kesatuan yang independen dalam
keistimewaannya dan sempurna kematangannya dari sebelumnya.
Pada periode ini, periode
pertumbuhan kekuatan, kematangan pemikiran, kehidupan ilmiah yang luas,
pembahasan yang mendalam dan menghasilkan, keindahan fiqih , ijtihad mutlaq.
Pada masa ini, dibukukan ilmu-ilmu al-qur’an, Sunnah, Kalam, Bahasa dan
bermunculan ahli qori’, ahli hadits dan lain-lain. Pembinaan hukum pada masa
ini menjadi cabang ilmu pengetahuan. Didalamnya lahir para fuqaha’ yang menjadi
tumpuan para taqlid keagamaan dan lahir berbagai madrasah yang kemudian
diwarnai oleh dua warna:
1.
Ashhabul
Hadits, yaitu: Malik ibn Anas,
Sufyan Ats-Tsauri, Ahmad dan Daud.
mereka ini lebih
mendahulukan nash hadits atas qiyas jali dan qiyas khafi.[10]
1.
Ashhabul
Ra’yu, yaitu: sahabat-sahabat
Abu Hanifah. Mereka ini mendahulukan qiyas jali dan hadis ahad. Madrasatur
ra’yi berkembang disamping Madrasatul Hadits yang seakan-akan dua madrasah
tersebut masing-masing berdiri sendiri dan bersaing-saingan. Dengan datangnya
asy-Syafi’i madrasah ini ditempa dalam satu aturan dan dibuat menjadi satu
pengertian. dasar ra’yu dan Hadits dua pengertian yang diambil dari satu
pengertian pokok dan keduanya merupakan asas bagi hukum islam.
Kemudian yang dapat
bertahan diantara madzhab-madzhab itu hanyalah empat madzhab yaitu: Madzhab
Malik, Madzhab Abu Hanifah, Madzhab Asy- Syafi’ dan Madzhab Ibn Hambal.
1.
Tasyri’ pada masa tarjih
Pada periode ini, wilayah
kekuasaan islam telah terbagi-bagi dalam berbagai bagian dan setiap bagian
dipimpin oleh seorang gubernur (Amirul Mu’minin). Akibat pembagian ini, umat
islam tertimpa kelemahan dan kemerosotan karena negara-negara ini saling
berbantah-bantahan, banyak terjadi fitnah, ujian berturut-turut, terputusnya
berbagai sarana transportasi, permusuhan dan perpecahan banyak yang terjadi.
Pada periode ini, tidak ada mujahid mustaqil dan usaha para ulama ketika itu
dapat diringakaskan pada tiga hal, yaitu penta’lilan (mengeluarkan ilat-ilat
hukum), tarjih dan dukungan terhadap madzhab.
1.
Tasyri’ pada masa taqlid
(mulai tahun 310 H.).[11]
Masa ini adalah lesunya
himmah ulama untuk mencapai ijtihad mutlak dan kembali kepada dasar tasyri’
yang asasi untuk mengeluarkan hukum-hukumnya yang tidak ada nash nya dari suatu
dalil syari’at. Pada masa ini ulama membatasi diri dalam mengikuti acara yang
telah dibentangkan oleh para mujtahidin yang telah lalu dan pada masa ini ulama
islam dipengaruhi oleh faktor-faktor politik dan pengaruh ari luar. Semua
pengaruh itu menolak kemerdekaan berfikir dan menyeret kepada taqlid, menjadi
pengikut madzhab-madzhab yang ada.
Kegunaan
mempelajari hukum islam
Dari beberapa penjelasan
tentang hukum islam, dapat diketahui bahwa mempelajari hukum islam mempunyai
beberapa kegunaan, antara lain[12]:
1.
Mengetahui pertumbuhan
dan perkembangan hukum.
2.
Mengetahui sumber-sumber
hukum dan madzhab-madzhabnya serta mengungkapkan keistimewaan dan
tujuan-tujuannya.
3.
Mengetahui kaum muslimin
terdahulu dalam mengerahkan kemampuan dan semangat mereka dalam mempertahankan
syari’at dan berusaha mengungkap rahasia-rahasianya.
4.
Menyelidiki hukum dan
hikmah-hikmah yang dapat memenuhi kebutuhan hidup manusia.
5.
Mengetahui para fuqaha’,
para mujtahid dan sejarah kehidupan intelektual dalam kapasitasnya sebagai para
pejuang dan pembela agama islam.
Pembagian
Hukum Syar’i
1.
Hukum
Taklifi
yaitu hukum syar’i yang
mengandung tuntutan (untuk dikerjakan atau ditinggalkan oleh paramukallaf. Atau yang mengandung pilihan antara
yang dikerjakan dan ditinggalkan.[13]
Hukum taklifi dibagi
menjadi lima macam yaitu:
1.
Ijab, yaitu firman yang menuntut
melakukan sesuatu perbuatan denagn tuntutan pasti. Misalnya, firman Allah dalm
surah al-Baqarah (2): 43:
وَأَقِيْمُوا الصَّلا ةَ وَأ
تُوالزَّكَا ةَ وَأَرْكَعُوْا مَعَالرَّاكِعِ
يْنَ
Dan
dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah beserta orang-orang yang
ruku’.
2.
Nadb, yaitu firman Allah yang menuntun
melakukan suatu perbuatan dengan perbuatan yang tidak pasti, tetapi beruap
anjuran untuk berbuat. Misalnya, firman Allah dalam surat al-Baqarah (2): 282:
يَأَيُّهاَالَّذِيْنَ ءَامَنُوْا
اِذَاتَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ الَى أَجَلٍ مُسَمًّى
فَاكّتُبُوْهُ
Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang telah ditentukan, hendaknya kamu menuliskannya.
3.
Tahrim, yaitu firman yang menuntut untuk
tidak melakukan sesuatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti. Misalnya, firman
Allah dalam surah al-Maidah: 3
حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمُالْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الخِنْزِيْرِ
Diharamkan
bagimu (memakan) bangkai, darah, dan daging babi.
4.
Karahah, yaitu firman Allah yang menuntut
untuk tidak melakukan sesuatu perbuatan denagn tuntutan yang tidak pasti,
tetapi hanya berupa anjuran untuk tidak berbuat. Misalnya, firman Allah dalam
surah al-Maidah: 101:
لاَ تَسْأ لُوْا عَنْ أَشْيَاءِ أَ نْ
تُبْدَ لَكُمْ
تَسُوءكُمْ
Janganlah
kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu niscaya
menyusahkanmu.
5.
Ibahah, yaitu firman Allah yang memberi
kebebasan kepada mukallaf untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu
perbuatan. Misalnya, firman Allah dalam surat al-Baqarah: 235:
وَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيْمَا
عَرَضْتُمْ بهَ من خطيةِ
النِّسَاء
Dan
tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran.
Kelima hukum tersebut
menimbulkan efek itulah yang dinamakan al-ahkam al-khamsah oleh ahli fiqih, yaitu: wajib, haram, mandub, makruh, dan
mubah.
2.
Hukum
Wadh’i
Yaitu titah Allah yang menjadikan
sesuatu sebagai sebab bagi adanya sesuatu yang lain, atau sebagai syarat bagi
sesuatu yang lain atau juga sebagai penghalang bagi adanya sesuatu yang lain
tersebut[14].
Hukum dibagi menjadi tiga:
1.
Sebab, yaitu segala sesuatu yang
dijalankan oleh syar”i sebagai alasan bagi ada dan tidaknya hukum.sebab dibagi
menjadi dua diantaranya:
1.
Sebab yang diluar
kemampuan mukalaf. Misalnya: keadaan terpaksa menjadi
sebab bolehnya memakan bangkai.
2.
Sebab yang berada dalam
kesanggupan mukalaf. Sebab ini dibagi dua:
- Yang termasuk dalam
hukum taklifi, seperti menyaksikan bulan menjadi sebab wajib melaksanakan
puasa.
- Yang termasuk dalam
hukum wadh’i seperti perkawinan menjadi sebabnya
hak warisan antara suami istri dan menjadi sebab haramnya mengawini mertua.[15]
2. Syarat, yaitu segala sesuatu
yang tergantung adanya hukum dengan adanya sesuatu tersebut, dan tudak adanya
sesuatu itu mengakibatkan tidak ada pula hukum.
Ulama’ ushuliyyin membagi
syarat menjadi beberapa bagian:
1.
Syarat
hakiki (syar’i), yaitu
segala pekerjaan yang diperintahkan sebelm mengerjakan yang lain dan pekerjaan
itu tidak diterima (sah) bila pekerjaan yang pertama belum dilakukan. Misalnya
wudhu menjadi syarat sahnya shalat. Syarat ini dibagi dua bagian:
A.
Syarat untuk
menyempurnakan sebab. Misalnya, adanya unsur kesengajaan dan permusuhan adalah
dua buah syarat bagi pembunuhan yang menjadi sebab wajibnya hukuman qishas.
B.
Syarat untuk
menyempurnakan musabbab. Misalnya, bersuci adalah syarat yang wajib disebabkan
telah masuknya waktu shalat.
2.
Syarat
ja’li, yaitu segala syarat
yang dibuat oleh orang-orang yang mengadakan transaksi dan dijadikan tempat
bergantungnya serta terwujudnya transaksi tersebut. Misalnya seorang pembeli
membuat syarat bahwa ia mau mebeli sesuatu barang dari seorang penjual dengan
syaratboleh dengan cara mencicil.
3.Mani’, adalah segala sesuatu
yang dengan adanya dapat meniadakan hukum atau dapat membatalkan sebab hukum.
Mani’ dibagi menjadi dua macam:
1.
Mani’ terhadap hukum.
Misalnya perbedaan agama antara pewaris dengan yang akan diwarisi adalah mani’
(penghalang) hukum pusaka mempusakai sekalipun sebab untuk saling mempusakai
sudah ada, yaitu perkawinan.
2.
Mani’ terhadap sebab
hukum. Misalnya, seseorang yang memiliki harta senisab wajib mengeluarka
zakatnya namun jika keadaan orang tersebut terdapat banyak hutang menjadikan
penghalang seseorang untuk mengeluarkan zakat.[16]
4.Sah
dan Batal
Secara harfiah, sah
berarti lepas tanggung jawab atau gugur kewajiban didunia serta memperoleh
pahala dan ganjaran di akhirat. Sah berarti setiap perbuatan yang telah
memenuhi rukun dan syarat serta dilaksanakan menurut ketentuan yang ditetapkan
syara’, dan perbuatan yang kurang rukun dan syarat serta bertentangan dengan
ketentuan syara’ dinamakan batal.
5.Azimah dan Rukhshah
Azimah adalah
peraturan-peraturan Allah yang asli dan terdiri atas hukum-hukum yang berlaku
umum. Misalnya, bangkai menurut hukum asalnya adalah haram dimakan oleh semua
orang. Sedangkan Rukhshah adalah peraturan-peraturan yang tidak dilaksanakan
karena adanya hal-hal yang memberatkan dalam menjalankan azimah/ pengecualiam
hukum-hukum pokok. Rukhsahah diberikan oleh syar’i sebagai keringanan bagi
mukallaf sehingga mereka bebas memilih antara azimah dan rukhshah. Rukhshah
hukumnya mubah/ boleh sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan yang menyebabkan
kebolehan seseorang untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu.
Ulama ushul fiqh mengelompokkan rukhshah kepada empat bagian:
1.
Pembolehan sesuatu yang
dilarang (diharamkan) dalam keadaan darurat atau karena hajat yang sangat
mendesak sebagai keringanan mukalaf. Misalnya barang siapa yang dipaksa
mengucapkan kata-kata yang mengkafirkan, dibolehkan baginya mengucapkan
kata-kata tersebut selama hatinya tetap beriman kepada Allah.
2.
Pembolehan
meninggalkan yang wajib karena uzur, diman jika melaksanakan kewajiban iu
akanmenimbulkan kesulitan bagi si mukalaf. Misalnya orang sakit atau orang yang
sedang dalam perjalanan dibolehkan tidak berpuasa di bulan Ramadhan.
3.
Pemberian pengecualian
sebagian berkaitan karena menyangkut kebutuhan masyarakat dalam perikehidupan
muamalat (sehari-hari). Misalnya transaksi jual beli yang belum ada pada saat
perikatan diadakan tapi harganya sudah dibayar dulu.
4.
Pembatalan hukum-hukum
yang merupakan beban yang memberatkan bagi umat terdahulu, misalnya memotong
bagian kain yang kena najis.[17]
Prinsip-prinsip
Hukum Islam
Prinsip-prinsip hukum
Islam diantaranya adalah[18]:
1.
Menegakkan maslahat
Mashlahat adalah
perolehan manfaat dan penolakan terhadap kesulitan. Dan dia adalah dasar semua
kaidah yang dikembangkan dalam hukum Islam.
1.
Menegakkan keadilan
(tahqiq al-‘adalah). Pengertian pokok keadilan meliputi mauzun yaitu perimbangan, musawah (persamaan), penuaian hak sesuai dengan kewajiban yang diemban dan keadilan
Allah.
2.
Tidak menyulitkan (‘adam
al-haraj). Diantara cara meniadakan kesulitan adalah sebagai beriku[19]t:
A.
Pengguguran kewajiban,
yaitu dalam keadaan tertentu kewajiban ditiadakan, mislanya ketidak wajiban
melakukan ibadah haji bagi yang bangkrut.
B.
Pengurangan kadar yang
telah ditentukan, misalnya qashar sholat bagi yang sedang dalam perjalanan.
C.
Penukaran, yaitu
penukaran kewajiban yang satu dengan yang lainnya. Misalnya kewajiban berwudhu
dan mandi diganti denagn tayammum.
D.
Mendahulukan, yaitu
mengerjakan sesuatu sebelum waktu yang telah ditentukan secara umum (asal),
seperti jama’ taqdim melaksanakan shalat ashar pada waktu shalat dhuhur.
E.
Menangguhkan, yaitu
mengerjakan sesuatu setelah waktunya yang asal telah tiada, seperti jama’
ta’khir melaksanakan shalat dhuhur pada waktu ashar.
F.
Perubahan, yaitu bentuk
perbuatan berubah-ubah sesuai dengan situasi yang sedang dihadapi, seperti
shalat khauf.
3.
Menyedikitkan beban
(taqlil al-takalif)
Taqlil
al-takalif secara terminologi
adalah:
تَقْلِيْلُ طَلَبِ اللّهِ لِلْفِعْلِ
حَتَّى يُعْتَبَرَطاَعَ
ةً وَامْتِثالالاوامرالله
Menyedikitkan
tuntutan Allah untuk berbuat, mengerjakan perintahNya dan menjauhi laranganNya.
Dasar taqlil al-takalif adalah surat al-Maidah (5) ayat
101 yang menegaskan bahwa orang-orang beriman dilarang bertanya kepada Rasul Allah
tentang hal yang bila diwajibkan akan menyulitkan mereka.
1.
Berangsur-angsur (tadrij)
Hukum islam dibentuk
secara gradual atau tadrij, dan didasarkan pada al-Qur’an yang diturunkan
secara berangsur-angsur. Prinsip tadrij memberikan jalan kepada kita untuk
melakukan pembaruan karena hidup manusia mengalami perubahan. Perubahan yang
dimaksud adalah memperbarui pemahaman keagamaan secara sistematis sesuai denagn
perkembangan manusia dalam berbagai bidang, terutama teknologi.[20]
Tarikh Tasyri' : Tinjaauan Ahli Sejarah
tentang Periodisasi Perkembangan Hukum Islam
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam konteks
apapun, tarikh (sejarah) dianggap sebagai entitas yang sangat mendasar dalam
kehidupan. Sejarah adalah gambaran riil dari potret kehidupan yang sangat
varian dan dinamis. Akumulasi perilaku sosial keagamaan maupun perilaku sosial
lainnya dalam kehidupan masyarakat plural dapat diamati dan dikritisi melalui
fakta empirik peninggalan sejarah kehidupan manusia. Dengan demikian semua
perilaku sosial, baik perilaku positif maupun negatif akan dapat dilacak
melalui data-data historis. Atas dasar ini, fungsi maupun kontribusi sejarah
bagi generasi kemudian adalah memberikan pelajaran mendasar bagi kehidupannya
yang tentu dianggap mampu memberikan inspirasi bagi praktik kehidupan yang akan
datang. Dengan demikian sejarah pada hakikatnya tidak bisa lepas dari kehidupan
manusia. Sejarah akan menjadi inspirasi kehidupan mereka, dan kehidupan mereka
pada gilirannya juga akan menjadi sejarah baru bagi generasi yang akan datang.
Inilah potret sebuah kehidupan yang selalu terdaur ulang (siklus), perputaran
yang tiada henti.Sejarah mewarnai realitas dan realitas mewarnai sejarah,
sebuah proses dialektik yang dinamis.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah pengertian Tarikh Tasyri’ itu ?
2.
Apa saja macam-macam Tarikh Tasyri’ ?
3.
Bagaimana karakteristik atau sifat dari ilmu Tarikh Tasyri’ ?
4.
Bagaimana periodisasi perkembangan hukum Islam ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Tarikh Tasyri’
Tarikh artinya catatan tentang
perhitungan tanggal hari, bulan dan tahun. Lebih popular dan sederhana
diartikan sebagai sejarah, riwayat atau kitab.
Sedangkan tasyri’ artinya pembentukan
dan penetapan perundang-undangan yang mengatur hokum perbuatan dan hal-hal yang
terjadi tentang berbagai keputusan serta peristiwa yang terjadi di kalangan
mereka.[1]
Bila kata
tasyri’ dikaitkan dengan kata syari’at, maka ia memiliki makna: “sebuah proses
pembentukan dan penetapan hokum-hukum syari’at”, atau bisa bermakna cara,
sumber dan jalan yang ditempuh didalam merumuskan dan membentuk hukum-hukum
yang mengatur hubungan manusia dengan Allah dan manusia dengan sesame
makhluknya.[2]
Dengan demikian, secara sederhana tarikh
tasyri’ diartikan sebagai sejarah terbentuknya perundang-undangan dalam Islam,
atau sejarah pembentukan hukum Islam.
B.
Macam-macam Tasyri’
Tasyri’ terdiri atas dua macam:
1.
2
Tasyri’ al-Habiy yaitu penetapan
perundang-undangan atau hokum yang bersumber dari Allah dengan perantaraan para
Rasul dari kitab-kitabnya.
2.
Tasyri’ al-Wadh’iy yaitu penetapan perundang-undangan atau hukum yang
bersumber dari kekuatan pemikiran atau ijtihad manusia.[3]
C.
Tujuan Tarikh Tasyri’
Tujuan mempelajari Tarikh Tasyri’ adalah
sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui latar belakang munculnya suatu hukum atau sebab-sebab
ditetapkannya suatu hukum syari’at, dalam hal ini penetapan hukum atas suatu
masalah yang terjadi pada periode Rasulullah saw adalah tidak sama atau memungkinkan
adanya perbedaan dengan periode-periode setelahnya.
2.
Untuk mengetahui dan mampu memaparkan sejarah perkembangan hukum dari
periode Rasulullah saw sampai sekarang.
3.
Dalam rangka meningkatkan pengetahuan terhadap hukum Islam.
4.
Agar membangkitkan dan menghidupkan kembali semangat kita dalam
mempelajari tarikh tasyri’.[4]
5.
Agar kita mampu memahami perkembangan syari’at Islam.
6.
Agar kita tidak salah dalam memahami hukum Islam tersebut.
D.
Sifat dan karakteristik Tasyri’
1.
Sempurna
Kesempurnaan hukum Islam dapat dilihat
dimana syariat Islam diturunkan dalam bentuk yang umum dan mengglobal
permasalahannya. Penetapan al-Qur’an mengenai hukum dalam bentuk yang global
dan simpel dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada para ulama untuk
berijtihad sesuai dengan panggilan, tuntutan dan kebutuhan situasi dan kondisi.
Mengenai hukum-hukum yang lebih rinci, syariat Islam hanya menetapkan kaidah
dan memberikan patokan dasar umum.
2.
Universal
Syariat Islam bersifat Universal
meliputi seluruh alam tanpa tapal batas, tidak dibatasi oleh wilayah dan
kawasan tertentu, seperti ajaran para Nabi terdahulu. Hukum Islam berlaku bagi
orang Arab dan non Arab, kulit putih dan kulit hitam.
3.
Elastis dan Dinamis
Syariat Islam bersifat elastis meliputi
segala bidang dan lapangan kehidupan manusia. Permasalahan kemanusiaan,
kehidupan jasmani dan rohani, hubungan interaksi sesame makhluk, hubungan
makhluk dengan Khalik, Pencipta serta tuntunan hidup dunia dan akhirat
terkandung dalam ajaran-Nya.
4.
Sistematis
Syariat Islam bersifat sistematis
artinya ia berhubungan antara satu dengan yang lainnya secara logis.
5.
Ta’abbudi dan Ta’aqquli
Syariat Islam
dapat dibedakan dalam dua bentuk yaitu bentuk ibadah yang fungsi utamanya untuk
mendekatkan manusia kepada Allah, yakni beriman kepada-Nya dan segala
konsekuensinya berupa ibadah yang mengandung sifat ta’abbudi, makna (ide dan
konsep) yang terkandung didalamnya tidak dapat dinalar atau irrasional. Hal
yang dapat dipahami dari sifat ta’abbud ini hanyalah kepatuhan pada perintah
Allah, merendahkan diri kepada-Nya dan mengagungkan-Nya. Dan yang kedua
berbentuk mu’amalah yang didalamnya terkandung sifat ta’aqquli. Ini bersifat
duniawi yang maknanya dapat dipahami oleh nalar atau rasional, maka manusia
dapat melakukannya dengan bantuan nalar dan pemikiran manusia. Illat dari
mu’amalah yang bersifat ta’aqquli dapat dirasionalkan dengan melihat ada
maslahat atau mudarat terkandung didalamnya. Sesuatu dilarang karena ada
mudaratnya dan diperintahkan karena ada maslahat didalamnya.[5]
E.
Tinjaauan Ahli Sejarah tentang Periodisasi Perkembangan Hukum Islam
Sejarah merupakan salah satu cara untuk
mengetahui peristiwa yang telah lalu dengan mempelajari secara kronologis untuk
mengetahui sejarah hukum Islam khususnya masalah periodesasi sejarah hukum
Islam. Para ahli sejarah (muarrikhin) berbeda pendapat. Menurut al-Khudhari,
Hukum Islam dalam sejarahnya melalui enam fase tasyri’ (legislasi) yang
mempunyai ciri tersendiri sesuai dengan perkembangan yang dilalui oleh
masyarakat Islam.
1.
Fase kerasulan Nabi Muhammad dimana segala sesuatu tentang hukum
dikembalikan kepada beliau.
2.
Fase para sahabat Nabi yang senior (kibar ash-shahabah), mulai dari saat
kematian Nabi sampai akhir masa Khulafa’ Rasyidin.
3.
Fase para permulaan nabi yang junior (shighar ash-shahabah), mulai dari
permulaan masa Umawi sampai lebih kurang satu abad setelah Hijrah.
4.
Fase fiqh menjadi ilmu tersendiri, mulai dari abad kedua hijrah sampai
akhir abad ketiga.
5.
Fase perdebatan mengenai berbagai masalah hukum di kalangan fuqaha’,
mulai dari awal abad keempat atas dunia Islam pada abad ketujuh Hijrah (1258 M)
6.
Fase taqlid (mengikuti kepada pendapat imam-imam terdahulu), mulai dari
kejatuhan Dinasti ‘Abbasiyah sampai sekarang.[6]
6
Sedangkan menurut Abdul Wahab Khallaf,
terbagi kepada empat periode:
1.
Periode Rasulullah Saw yaitu periode pertumbuhan dan pembentukan yang
berlangsung selama kurang lebih 22 tahun beberapa bulan, sejak pelantikannya
sebagai rasul Allah pada tahun 610 M sampai wafatnya tahun 632 M
2.
Periode sahabat yaitu periode penjelasan, pencerahan dan penyempurnaan
yang berlangsung sekitar 90 tahun, sejak wafatnya Rasul Saw tahun 11 H/632 M
sampai akhir abad pertama 101 H atauh 720 M.
3.
Periode tadwin atau kodifikasi yaitu periode kodifikasi atau pembukuan
atau tampilnya para imam mujtahid. Periode ini dikenal sebagai masa puncak
keemasannya yang berlangsung selama kurang lebih 250 tahun, yakni dari tahun
101-350 H/720-971 M.
4.
Periode taklid, yaitu periode statis dan kebekuan yang berlangsung sejak
pertengahan abad ke 4 H yakni sekitar tahun 351 H dan tidak seorang pun yang
tahu masa berakhkirnya kecuali Allah.[7]
PENUTUP
Kesimpulan
Dari beberapa
pembahasan di atas dapat diambil beberapa kesimpulan, bahwasanya pengertian
syariah adalah hukum yang ditetapkan oleh Allah melalui rasul-Nya untuk
hamba-Nya, agar mereka mentaati hukum itu atas dasar iman, baik yang berkaitan
dengan aqidah, amaliyah (ibadah dan muamalah), dan yang berkaitan dengan
akhlak. Sedangkan tasyri’ adalah pembuatan/pembentukan Undang-undang untuk
mengetahui hukum-hukum bagi perbuatan orang dewasa, dan ketentuan-ketentuan
hukum serta peristiwa yang terjadi di
kalangan mereka.
Adapun tasyri’
dibagi menjadi dua macam, yaitu : Tasyri’ Samawi dan Tasyri’ Wadh’i. Tarikh
tasyri’ memiliki lima karakteristik yaitu, sempurna, universal, elastis dan
dinamis, sistematis dan ta’abbudi ta’aqqulli.
Periodesasi tarikh tasyri’ dibagi atas enam
periode antara lain : masa Rasulullah, masa sahabat, masa tabi’in, masa at-baut
tabi’in, masa ulama murajjihun dan masa ulama muqallidun. Sementara itu tarikh
tasyri’ berguna untuk kemaslahatan manusia
7
[1] Abdul Wahab Khallaf, Sejarah
Pembentukan & Perkembangan Hukum Islam, (PT RajaGrafindo Persada: Jakarta,
Cet.2 2002), hal.1
[2] Jaenal Aripin & Azharudin
Lathif, Filsafat Hukum Islam: Tasyri’ dan Syar’i. (UIN Jakarta Press: 2006),
hal. 31
[3] Abdul Wahab Khallaf, Sejarah
Pembentukan & Perkembangan Hukum Islam,… hal.1-2
[4]
http://saepudinonline.wordpress.com/2010/03/22/pengertian-tarikh-tasyri’.24
Maret 2013
[5] Abdul Wahab Khallaf, Sejarah
Pembentukan & Perkembangan Hukum Islam,… hal.2-5
[6] Rifyal Ka’bah, Hukum Islam Di
Indonesia, Universitas Yarsi, Jakarta, 1999, hal 51-52
[7] Abdul Wahab Khallaf, Sejarah
Pembentukan & Perkembangan Hukum Islam,… hal. 7-8
No comments:
Post a Comment