SATU IBU BAPAK TAPI BISA MENJADI DUA RAS HITAM-PUTIH
- Jika senang, pada merpati,
- Letak ditangan, makanannya.
- Jika ingin, anak berbakti,
- Sempurnakan, pendidikannya.
Jika kebun, banyak hama,
Bakar saja, pakai suluh.
Anak yang tidak, diajarkan agama,
Orang tuanya, dijadikan musuh.
Tuhan menciptakan manusia berbeda warna kulit, beda suku bangsa, beda bakat, untuk saling ta'aruf. Di antara mereka yang paling mulia yang lebih dekat kepada Tuhannya. Intisari QS Al-Hujurat : 13
Anak bisa menjadi
penolong atau
penggugat orang tuanya. Beliau menceritakan, ada seorang bapak yang
tertatih-tatih berjalan di atas shirathal mustaqim, dan akhirnya kemudian
tergelincir, namun terselamatkan berkat doa tulus anaknya.
Memangnya anaknya
doa apa? Ternyata bukan doa yang macam2 loh, tampaknya hampir semua anak muslim
hafal doa ini. Yup, doa orang tua. Rabbighfirlii waliwaalidayya warhamhumaa
kamaa rabbayaanii shaghiiraah.
Sebaliknya, anak juga dapat menjadi
penggugat orang tuanya. Beliau menceritakan kisah di jaman Rasulullaah ketika
ada seorang anak yang hendak dihukum karena mencuri, namun anak tersebut
menginginkan keadilan dengan meminta ibunya yang dihukum, karena ibunyalah yang
mengajarkan ia untuk mencuri. Naudzubillaah. Dari latar belakang itulah beliau
mengajak untuk mengajarkan anak dengan sebaik2nya. Ibaratnya, maukah kita orang
tua nanti di surga dituntut anak kita hanya karena anak kita tidak beristinja
dengan baik dan benar, karena kesalahan/kekurangan ajaran kita? *menurut beliau
istinja yang tidak bersih berakibat sesuatu yang cukup fatal, tapi saya lupa
apa yah, kalo ga salah tidak diterima shalatnya, cmiiw .. *
Lalu siapakah anak itu? Ada perbedaan
pemahaman mengenai anak dalam kaidah Islam dengan anak dalam kaidah kehidupan
sehari-hari khususnya di Indonesia. Dalam Islam, anak adalah fase pemula dalam
rentang kehidupan manusia. Tepatnya ada dua fase menurut Islam dipandang dari
sisi hukum, fase pra baligh (belum dewasa), dan fase baligh (dewasa).
Pada fase baligh seseorang sudah bertanggungjawab secara langsung terhadap
seluruh ucapan, sikap, tindakan yang dia lakukan, baik kepada Allah maupun
aparat hukum di dunia. Maka sudah sepantasnya orang tua memperlakukan anak yang
telah memasuki fase baligh sebagai seorang dewasa.
Beliau kemudian menceritakan
pengalaman seorang teman perempuannya ketika mencapai masa baligh, kira2 di
awal SMP. Saat itu sang Ibu dari temannya meminta sang anak untuk berwudhu dan
memakai mukena. Setelah berwudhu dan memakai mukena, sang anak pun diajak sang
ibu untuk duduk berhadapan, kemudian keduanya saling berjabat tangan layaknya
ijab. Sang ibu pun kemudian berkata yang kurang lebih intinya adalah sebagai
berikut, “Nak, kini sudah tiba saatnya bagimu untuk bertanggung jawab atas
dirimu sendiri.
Selama ini jka engkau melakukan
kesalahan, Ibu lah yang menanggung dosa2mu. Namun kini kau sudah baligh, sudah
dewasa. Dan Ibu tidak bisa lagi membantumu mempertanggungjawabkan semua ucapan
dan perbuatanmu. Kini malaikat Rakib dan Atid di kanan kirimu siap untuk
mencatat semua amal perbuatanmu. Maka berhati2lah dalam melakukan sesuatu,
karena sungguh seluruhnya akan dicatat oleh kedua malaikat tersebut.”
Subhanallaah.
Saat ini banyak anak perempuan yang
memasuki masa baligh dalam usia muda. Dan umumnya orang tuanya menganggapnya
masih seperti anak kecil. Padahal hal tersebut adalah salah menurut ustadzah.
Bandingkan dengan Usamah bin Zaid. Pemuda hebat yang pada usia belianya, 13tahun,
sudah dipercayakan oleh Rasulullaah memimpin pasukan perang Islam. Tidak
tanggung-tanggung, kala itu musuhnya adalah sekutu bangsa2 besar, yakni
Quraisy, Persia dan Romawi. Subhanallaah.
Ada yang tahu mengapa diperintahkan
untuk mengajarkan shalat kepada anak ketika umur 10tahun, kemudian
dipersilahkan untuk memukul anak umur 10tahun yang tidak shalat? Ternyata
memang usia tersebut pada jaman sekarang ini, sudah masuk usia baligh
(khususnya untuk perempuan). Bahkan sudah ada yang menjadi baligh di usia 8,
9tahun. Oleh karena itu memang sudah saatnya untuk bersikap tegas kepada
mereka, menyikapi mereka yang sudah harus dianggap orang tua sebagai orang
dewasa.
Sedikit membahas tentang `memukul
anak.`. Memukul walau diperintahkan, tapi bukan berarti jadi landasan orang tua
memukul anak. Karena Rasulullaah sendiri tidak pernah memukul anaknya. Nabi
Ayyub sendiri yang bernazar untuk memukul istrinya 1000kali jika sembuh dari
sakit, pada akhirnya memohon wahyu dulu dari Allah untuk memukul sitrinya, ga
langsung asal pukul saja. Dan pada akhirnya Allah memerintahkan Nabi Ayyub
untuk mengumpulkan 1000 batang padi kering, mengikatnya kemudian memukulkannya
sekali kepada istrinya, yang melambangkan nazar 1000 kali pukulannya. Jadi
tidak segampang dan seringan itu untuk memukul, walau diperintahkan. Karena
Islam penuh kasih sayang, bukan?
Sang ustadzah pun kemudian menjabarkan
pendidikan dan pengasuhan anak dalam tiga bagian per 6tahun. Untuk 6tahun
pertama, utamakanlah kasih sayang dan disiplin. Limpahkan kasih sayang,
pelihara disiplin untuk segala hal. Contoh, disiplin dalam makan, buang air,
tidur dan sebagainya. Pada 6tahun ke dua, kenalkanlah Allah dalam hidupnya.
Jelaskanlah hukum-hukum Islam, seperti halal dan haram, aurat, wudhu, shalat,
mencuri, mahram, juga surga dan neraka.
Ajarkan dan biasakanlah ia dengan
Al-Quran. Ajarkan juga mengenai hak-hak orang tua. Kenalkanlah dengan tokoh2
teladan dalam Islam. Ajarkan norma2 dalam masyarakat, dan tak lupa kembangkan
rasa percaya diri dan tanggung jawab. Pada 6tahun terakhir, perlakukanlah anak
sebagai seorang yang telah dewasa. Yang tak kalah penting, kenalkanlah ia
dengan teman yang baik. Sebetulnya poinnya tidak sesedikit ini, tapi yang
sempat tercatat hanya yang telah saya tuliskan di atas. Maaf yaa..
Nah , ternyata tindakan kita yang
mereka perhatikan, lebih mudah untuk dipahami dan tertanam dalam diri anak,
dibandingkan ucapan kita. Oleh karena itu hati-hati lah para orang tua dalam
bertindak dan bertingkah laku.
Terakhir, beliau
menutup dengan sebuah kalimat yang cukup dalam. Tutur beliau, “Yang penting itu
bukanlah seberapa cerdas anak kita, namun lihatlah betapa cerdasnya anak kita”.
Subhanallaah.
HINDARI
SANKSI FISIK & MENTAL PADA ANAK
Pertengkaran diantara anak-anak
bersaudara adalah hal biasa. Anak-anak siapapun dia: adik, kakak atau anak
tunggal semua suka melanggar aturan. Ketika di tegur, ludah belum kering sudah
di ulang lagi. Endingnya, keluarlah jerit tangis yang memekakkan telinga.
Perilaku anak di bawah sepuluh tahun memang labil. Terkadang patuh, terkadang
tanpa rasa bersalah melanggar aturan yang telah di tetapkan. Secara psikologis,
si kecil masih mengalami proses pengembangan moral. Ini memungkinkan mereka
dapat membedakan mana yang benar dan salah, serta melakukan keduanya sekaligus.
Begitulah anak-anak. Mereka lebih menyukai yang enak dan menyenangkan, tanpa
memikirkan benar atau salahnya. Fitrahnya manusia cenderung pada kebaikan.
Begitu pun anak-anak. Umumnya, anak merasa takut setelah melakukan kesalahan.
Ini menjadi sisi yang berguna untuk menuntun perilaku baiknya. Karena tak
jarang si kecil justru menutupi kekeliruannya dengan berbohong. Jadi, jangan
keliru menyikapinya. Tanggapi pengakuan ini dengan sabar, karena ia telah
berusaha untuk jujur.
Ajaklah berdiskusi mengapa
tindakannya itu dianggap sebagai suatu kekeliruan. Tapi jangan hanya bisa
menyalahkan. Berikan juga pujian karena telah berlaku jujur. Sebaliknya,
berilah anak sanksi jika ia melanggar aturan. Biasanya anak lebih konsekwen
jika sanksi yang akan diberikan di diskusikan dulu. Atau, biarkan anak memilih
sendiri sanksi untuk kesalahannya. Dalam menerapkan sanksi, orangtua harus
konsisten. Jika sekali saja lolos dari sanksi maka wibawa aturan akan luntur.
Dalam menerapkan sanksi, hindarilah
jenis sanksi yang mengarah pada kekerasan, baik secara lahiriah maupun secara
mental. Kekerasan lahiriah misalnya berupa pemukulan, tendangan ataua
pengurungan. Sedangkan kekerasan mental berupa pemberian julukan buruk,
misalnya si nenek sihir, si egois, si goblok! Jangan juga menyebut kelainan
fisik si anak seperti si peyang, si cebol, atau si tukang ngompol. Hukuman
seperti ini akan berdampak amat dalam pada si kecil. Hukuman fisik akan
berujung pada trauma yang berpotensi mengganggu kejiwaannya. Adapun hukuman
psikis akan mengganggu perkembangan mentalnya.
Disiplin pada anak sejak dini memang di
perlukan, selama hal tersebut dilakukan secara wajar, sesuai aturan agama dan
mempertimbangkan usia maupun perkembangan anak. Yang juga perlu diperhatikan
adalah memprioritaskan hal-hal apa dari sekian banyak hal yang akan di buat
aturannya. Jangan sampai kita berharap terlalu banyak (tidak realistis) pada
anak-anak kita untuk disiplin dalam segala hal yang jelas sangat sulit untuk
mereka lakukan. Bukankah sebagai pribadi yang dewasa kita juga perlu waktu
untuk dapat berdisiplin? kita juga belum tentu sanggup dan dapat menerima
dengan lapang dada ketika pasangan kita menerapkan disiplin yang kaku pada kita
dalam banyak hal tanpa kompromi, apalagi menggunakan kekerasan? Bagaimana
dengan anak-anak kita, buah hati kita, apakah sanggup dan lapang dada
mendapatkan perlakuan yang keras dari kita? Tentu saja mereka hanya korban,
yang belum punya daya untuk menolak atau membalas. Mungkin ada anak yang
sepertinya tampak kuat, acuh bahkan menjadi kebal dengan bentakan dan pukulan
orang tuanya, tetapi hatinya tidak sekuat fisiknya. Ada konflik psikologis yang
bisa terjadi pada diri anak-anak kita yang mungkin bisa terbawa sampai mereka
dewasa.
Saya yakin kita sebagai orang tua tidak
berharap demikian. Sebagai contoh, anak perlu latihan disiplin dalam hal menyikat
gigi, tidak jajan sembarangan, bangun pagi, berpakaian, makan, mandi,
bergiliran dengan teman, menonton tivi, bermain, membeli mainan, tidak
mengganggu adik dan lainnya. Ternyata jika di perhitungkan, ada banyak hal yang
kita harapkan pada anak. Tapi semoga kita tetap menjadi orang tua yang
bijaksana dan menetapkan standart yang realistis bagi anak-anak kita. Berilah
mereka waktu dan kesempatan untuk mencapai standart tersebut. Sebagai orang
dewasa pun tentunya kita berharap mendapatkan kesempatan dari orang lain untuk
mencapai suatu standart bukan ? Anak perlu rentang waktu, kesempatan, dorongan
dan lingkungan yang kondusif untuk memiliki kebiasaan yang baik dalam banyak
hal. Anak tidak akan merasa nyaman jika terlalu banyak di atur, dilarang,
dimaki dan hal-hal negatif lainnya.
Anak-anak juga merasa tertekan jika pada usia
mereka yang sangat muda, mereka dituntut untuk berbuat baik, tapi cara yang di
lakukan orang tua tidak baik. Disadari atau tidak, dalam hal ini orang tua
tidak menjadi contoh yang baik bagi anak, terutama dalam mengontrol emosi.
Islam mengajarkan kepada kita untuk menjadi model bagi anak-anak. Rasulullah Saw
adalah teladan kita. Beliau merupakan pribadi berdisiplin tinggi, tetapi beliau
tetap bersikap lembut pada anak-anak dan sangat menghargai proses bukan?kita
harus lebih fokus pada pengembangan disiplin anak dengan menghargai proses
mereka menuju kebaikan dan disiplin, bukan dengan menuntut hasil pembentukan
disiplin anak secara tepat dan dengan kekerasan. Tiap anak bersifat unik. Namun
demikian, prinsip dasar disiplin relatif sama.
Disiplin akan efektif jika orang tua menjadi
model yang ditiru sikap dan perilakunya. Jadi bukan hanya menyuruh, tapi tidak
menjadi teladan yang baik. Disiplin pada anak perlu diikuti dengan pemberian
pujian terhadap perilaku anak yang baik secara spesifik, bervariasi dan
berkesinambungan. ( Sumber: Majalah Sabili )
Sementara Imam
Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i mengatakan :“ orang yang meninggalkan adalah
fasik dan tidak kafir”, namun, mereka berbeda pendapat mengenai hukumannya,
menurut Imam Malik dan Syafi’i “diancam hukuman mati sebagai hadd”, dan menurut
Imam Abu Hanifah “diancam hukuman ta’zir, bukan hukuman mati”.
Apabila masalah
ini termasuk masalah yang diperselisihkan, maka yang wajib adalah dikembalikan
kepada kitab Allah subhaanahu wa ta’aala dan sunnah Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wassalam, karena Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman :
وما اختلفتم فيه من
شيء فحكمه إلى الله
“Tentang sesuatu
apapun yang kamu perselisihkan, maka putusannya dikembalikan kepada Allah.” (
QS. As Syura, 10 ).
Dan Allah Ta'ala
juga berfirman :
فإن تنازعتم في شيء
فردوه إلى الله والرسول إن كنتم تؤمنون بالله واليوم الآخر ذلك خير وأحسن تأويلا
“Jika kamu
belainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah ( Al
Qur’an ) dan Rasul ( As Sunnah ), jika kamu benar benar beriman kepada Allah
dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama ( bagimu ) dan lebih baik
akibatnya.” ( QS. An Nisa’, 59 ).
Oleh karena
masing masing pihak yang berselisih pendapat, ucapannya tidak dapat dijadikan
hujjah terhadap pihak lain, sebab masing masing pihak menganggap bahwa dialah
yang benar, sementara tidak ada salah satu dari kedua belah pihak yang
pendapatnya lebih patut untuk diterima, maka dalam masalah tersebut wajib
kembali kepada juri penentu diantara keduanya, yaitu Al Qur’an dan Sunnah
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam.
Kalau kita
kembalikan perbedaan pendapat ini kepada Al Qur’an dan As Sunnah, akan kita
dapatkan bahwa Al Qur’an maupun As Sunnah keduanya menunjukkan bahwa orang yang
meninggalkan shalat adalah kafir, dan kufur akbar yang menyebabkan ia keluar
dari islam.
PERTAMA : DALIL
DARI AL QUR’AN :
Allah subhaanahu
wa ta’aala berfirman dalam surat At Taubah :
فإن تابوا وأقاموا
الصلاة وآتوا الزكاة فإخوانكم في الدين
“Jika mereka
bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu ) adalah
saudara saudaramu seagama.” ( QS. At Taubah, 11 ).
Dan dalam surat
Maryam, Allah berfirman :
فخلف من بعدهم خلف
أضاعوا الصلاة واتبعوا الشهوات فسوف يلقون غيا إلا من تاب وآمن وعمل صالحا فأولئك يدخلون
الجنة ولا يظلمون شيئا
“Lalu datanglah
sesudah mereka pengganti (yang jelek) yang menyia nyiakan shalat dan
memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan, kecuali
orang yang bertaubat, beriman dan beramal shaleh, maka mereka itu akan masuk
surga dan tidak akan dirugikan sedikitpun.” (QS. Maryam, 59-60 ).
Relevansi ayat
kedua, yaitu yang terdapat dalam surat Maryam, bahwa Allah berfirman tentang
orang orang yang menyia nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya : ”
kecuali orang yang bertaubat, beriman …”. Ini menunjukkan bahwa mereka ketika
menyia nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsu adalah tidak beriman.
Dan relevansi
ayat yang pertama, yaitu yang terdapat dalam surat At Taubah, bahwa kita dan
orang orang musyrik telah menentukan tiga syarat :
· Hendaklah
mereka bertaubat dari syirik.
· Hendaklah
mereka mendirikan shalat, dan
· Hendaklah
mereka menunaikan zakat.
Allah Ta’ala
berfirman,
َخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ
خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا
إِلَّا مَنْ تَابَ وَآَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا
“Maka datanglah
sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan
memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui al ghoyya, kecuali
orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh.” (QS. Maryam : 59-60)
Ibnu Mas’ud
radhiyallahu ‘anhuma mengatakan bahwa ‘ghoyya’ dalam ayat tersebut adalah
sungai di Jahannam yang makanannya sangat menjijikkan, yang tempatnya sangat
dalam. (Ash Sholah, hal. 31)
Pada ayat
selanjutnya juga, Allah telah mengatakan,
إِلَّا مَنْ تَابَ
وَآَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا
”kecuali orang
yang bertaubat, beriman dan beramal saleh”. Maka seandainya orang yang
menyiakan shalat adalah mu’min, tentu dia tidak dimintai taubat untuk beriman.
Jika mereka
bertaubat dari syirik, tetapi tidak mendirikan shalat dan tidak pula menunaikan
zakat, maka mereka bukanlah saudara seagama dengan kita.
Begitu pula,
jika mereka mendirikan shalat, tetapi tidak menunaikan zakat maka mereka pun
bukan saudara seagama dengan kita.
Persaudaraan
seagama tidak dinyatakan hilang atau tidak ada, melainkan jika seseorang keluar
secara keseluruhan dari agama ; tidak dinyatakan hilang atau tidak ada karena
kefasikan dan kekafiran yang sederhana tingkatannya.
Cobalah anda
perhatikan firman Allah subhaanahu wa ta’aala dalam ayat Qishash karena
membunuh :
فمن عفي له من أخيه
شيء فاتباع بالمعروف وأداء إليه بإحسان
“Maka barang
siapa yang diberi maaf oleh saudaranya, hendaklah ( yang memaafkan ) mengikuti
dengan cara yang baik, dan hendaklah ( yang diberi maaf ) membayar ( diyat )
kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik ( pula ).” ( QS. Al Baqarah, 178
).
Dalam ayat ini,
Allah subhaanahu wa ta’aala menjadikan orang yang membunuh dengan sengaja
sebagai saudara orang yang dibunuhnya, padahal pidana membunuh dengan sengaja
termasuk dosa besar yang sangat berat hukumannya, Karena Allah Subhaanahu wa
ta’aala berfirman :
ومن يقتل مؤمنا متعمدا
فجزاؤه جهنم خالدا فيها وغضب الله عليه ولعنه وأعد له عذابا أليما
“Dan barang siapa
yang membunuh seorang mu’min dengan sengaja, maka balasannya ialah neraka
jahannam, kekal ia didalamnya dan Allah murka kepadanya dan mengutukinya serta
menyediakan azab yang besar baginya.” ( QS. An Nisa’, 93 ).
Kemudian cobalah
anda perhatikan firman Allah subhaanahu wa ta’aala tentang dua golongan dari
kaum mu’minin yang berperang :
وإن طائفتان من المؤمنين
اقتتلوا فأصلحوا بينهما, فإن بغت إحداهما على الأخرى فقاتلوا التي تبغي حتى تفيء إلى
أمر الله، فإن فاءت فأصلحوا بينهما بالعدل وأقسطوا إن الله يحب المقسطين، إنما المؤمنون
إخوة فأصلحوا بين أخويكم .
“Dan jika ada dua
golongan dari orang orang mu’min berperang, maka damaikanlah antara keduanya,
jika salah satu dari dua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang
lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu
kembali ( kepada perintah Allah ), maka damaikanlah antara keduannya dengan
adil dan berlaku adillah, sesungguhnya Allah menyukai orang orang yang berbuat
adil, sesungguhnya orang orang mu’min adalah bersaudara, karena itu damaikanlah
antara kedua saudaramu…” ( QS. Al Hujurat, 9 ).
Di sini Allah
subhaanahu wa ta’aala menetapkan persaudaraan antara pihak pendamai dan kedua
pihak yang berperang, padahal memerangi orang mu’min termasuk kekafiran,
sebagaimana disebutkan dalam hadits shoheh yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori
dan periwayat yang lain, dari Ibnu Mas’ud rodhiallohu ‘anhu, bahwa Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda :
سباب المسلم فسوق
وقتاله كفر
“Menghina seorang
Muslim adalah kefasikan, dan memeranginya adalah kekafiran.”
Namun kekafiran
ini tidak menyebabkan keluar dari Islam, sebab andaikata menyebabkan keluar
dari islam maka tidak akan dinyatakan sebagai saudara seiman. Sedangkan ayat
suci tadi telah menunjukkan bahwa kedua belah pihak sekalipun berperang mereka
masih saudara seiman.
Dengan demikian
jelaslah bahwa meninggalkan shalat adalah kekafiran yang menyebabkan keluar
dari Islam, sebab jika hanya merupakan kefasikan saja atau kekafiran yang
sederhana tingkatannya ( yang tidak menyebabkan keluar dari Islam ) maka
persaudaraan seagama tidak dinyatakan hilang karenanya, sebagaimana tidak
dinyatakan hilang karena membunuh dan memerangi orang mu’min.
Jika ada
pertanyaan : apakah anda berpendapat bahwa orang yang tidak menunaikan zakat
pun dianggap kafir, sebagaimana pengertian yang tertera dalam surat At Taubah
tersebut ?
Jawabnya adalah
: orang yang tidak menunaikan zakat adalah kafir, menurut pendapat sebagian
ulama, dan ini adalah salah satu pendapat yang diriwayatkan dari Imam Ahmad
Rahimahullah.
Akan tetapi
pendapat yang kuat menurut kami ialah yang mengatakan bahwa ia tidak kafir,
namun diancam hukuman yang berat, sebagaimana yang terdapat dalam hadits hadits
Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam, seperti hadits yang dituturkan oleh Abu
Hurairah rodhiallohu ‘anhu, bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam ketika
menyebutkan hukuman bagi orang yang tidak mau membayar zakat, disebutkan
dibagian akhir hadits :
" ثم يرى سبيله
إما إلى الجنة وإما إلى النار ".
“ … Kemudian ia
akan melihat jalannya, menuju ke sorga atau ke neraka.”
Hadits ini diriwayatkan
secara lengkap oleh Imam Muslim dalam bab “dosa orang yang tidak mau membayar
zakat”.
Ini adalah dalil
yang menunjukkan bahwa orang yang tidak menunaikan zakat tidak menjadi kafir,
sebab andaikata menjadi kafir, tidak akan ada jalan baginya menuju sorga.
Dengan demikian
manthuq (yang tersurat) dari hadits ini lebih didahulukan dari pada mafhum (
yang tersirat ) dari ayat yang terdapat dalam surat At Taubah tadi, karena
sebagaimana yang telah dijelaskan dalam ilmu ushul fiqh bahwa manthuq lebih
didahulukan dari pada mafhum.
KEDUA : DALIL
DARI AS SUNNAH :
1- Diriwayatkan
dari Jabir bin Abdillah rodhiallohu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wassalam bersabda :
" إن بين الرجل
وبين الشرك والكفر ترك الصلاة ".
“Sesungguhnya (
batas pemisah ) antara seseorang dengan kemusyrikan dan kekafiran adalah
meninggalkan shalat.” ( HR. Muslim, dalam kitab al iman ).
2- Diriwayatkan
dari Buraidah bin Al Hushaib rodhiallohu ‘anhu, ia berkata : aku mendengar
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda :
" العهد الذي
بيننا وبينهم الصلاة فمن تركها فقد كفر ".
“Perjanjian
antara kita dan mereka adalah shalat, barang siapa yang meninggalkannya maka
benar benar ia telah kafir.” ( HR. Abu Daud, Turmudzi, An Nasai, Ibnu Majah dan
Imam Ahmad ).
Yang dimaksud
dengan kekafiran di sini adalah kekafiran yang menyebabkan keluar dari Islam,
karena Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam menjadikan shalat sebagai
batas pemisah antara orang orang mu’min dan orang orang kafir, dan hal ini bisa
diketahui secara jelas bahwa aturan kafir tidak sama dengan aturan Islam,
karena itu, barang siapa yang tidak melaksanakan perjanjian ini maka dia
termasuk golongan orang kafir.
1. Ambillah dosis
EPA secukupnya
EPA
adalah bahan kimia dalam minyak ikan yang merupakan makanan bagi otak, setiap
orang pasti sudah mengetahuinya, jadi mengapa tidak memberikannya kapsul minyak
ikan setiap hari untuk meningkatkan kekuatannya. Riset menunjukan bahwa minyak
ikan dapat memfasilitasi peningkatan aktivitas pada otak, memperlancar
peredaran darah, meningkatkan memori dan konsentrasi.
2. Kerjakan sebuah
teka teki
Teka-teki
silang, Sudoku atau yang lainnya dapat membuat otak Anda tetap pada kondisi
terbaik. Sama seperti otot, jika Anda tidak berlatih secara reguler, ia akan
kehilangan kemampuannya untuk bekerja secara maksimal.
3. Pergi berjalan
kaki
Tidak
ada yang dapat mengalahkan udara segar yang dapat menyegarkan pikiran yang
dapat mengurangi percakapan mental yang mengganggu logika dan pikiran
konstruktif. Sebuah perjalanan di pinggiran kota, dekat sungai atau sekedar di
taman akan membantu Anda menyingkirkan awan kelabu dan membantu pikiran Anda
tetap jernih.
4. Mempelajari
bahasa baru
Mempelajari
bahasa baru dapat sindrom dementia (kemunduran otak) sampai dengan empat tahun
menurut artikel yang dimuat pada New Scientist. Alasan pasti untuk hal ini
belum diketahui, namun dipercaya bahwa ia memiliki hubungan erat dengan
peningkatan perdaran darah dan koneksi saraf yang baik.
5. Tertawa
Tawa bukan saja
merupakan obat terbaik, ia juga dapat meningkatkan fungsi otak dan menstimulasi
kedua sisi otak pada saat yang bersamaan. Pastikan Anda tertawa setiap harinya.
6. Menjadi
kreatifif
Melukislah
atau pelajari alat musik yang baru, bergabunglah dengan kelas kesenian walaupun
Anda yakin Anda payah dalam hal tersebut. Menjadi kreatif memungkinkan Anda
untuk menemukan solusi baru untuk permasalahan yang sudah lama dan meningkatkan
kesadaran pada saat yang bersamaan.
7. Belajar melempar
barang
Riset dari
Universitas Regensburg di Jerman memindai otak dari seorang juggler (pemain
sulap yang melemparkan barang) dan menemukan bahwa kegiatan ini dapat
meningkatkan struktur otak. Setelah berlatih selama tiga bulan, otak akan
menunjukan peningkatan signifikan pada dua bagian, yaitu bagian mid-portal dan
posterior intraprietal sulcus kiri.
8. Berhubungan
dengan sifat keanak-anakan Anda
Einstein
pernah berkata bahwa imajinasi lebih penting daripada pengetahuan dan ia
menggunakannya pada beberapa eksperimen yang akhirnya membuatnya menemukan
perhitungan paling terkenal sepanjang masa (E=MC2).
No comments:
Post a Comment