KAEDAH KEBIJAKAN PIMPINAN DI PERKANTORAN YANG ANTI KORUPSI
(Muhammad Rakib Jamari)
KATA PENGANTAR
Ketika tulisan ini dibuat, penulis
masih menjadi widyaiswara LPMP Riau. Saat itu penulis melihat musim telah
berganti, kebiojakan sudah bermacam-macam. Yang naik menjadi pemimpin
seharusnya yang suka membaca dan menerapka dengan baik hasail bacaan yang baik
pula, terutama yang berkaitan dengan pemerataan kesemptan berkarya dan
berpendapatan sama dengan yang lain. Tida ada yang diistilahkan anak kandung,
anak tiri dan yang memperotes di black list. Kemudian santapan rohani penyejuk
kalbu seharusnya rutin tiap minggu dan dihayati. Bukan semata-mata
berlomba-lomba mengejar proyek. Untunglah di Riau hal itu belum pernah terjadi.
Karena itu tulisan ini hadir mengantisipasi untuk pemimpin Indonesia di segala
jurusan di masa yang akan datang.
Dalam rangka menuju tujauan advokasi pengwasan kebijakan publik, sebagai penggalian dan penguat landasan Islam, para widyaiswara dan ulama yang ada di manapun, perlu mengadakan bahtsu masa’il tentang kebijakan publik. Bahtusul masa’il merupakan tradisi ulama-ulama di Indonesia khususnya di kalangan S 2 dan S 3, serta Ulama). Bahtsul masa’il bertujuan mencari dalil dan ijtihad dari para pra sarjana dan ulama dan keputusan hukum dalam memandang permaslahan yang dibahas, termasuk dalam hal ini masalah yang berkaitan dengan kebijakan publik semua kantor , mulai dari penyelewengannya dan program yang tidak tepat guna. Menurut para ulama' masa’il ada sebagai sebuah kebutuhan dam respon atas kemajuan dan perkembangan zaman. Sebelum penulis lebih jauh memaparkan bagaimana ulama menggunakan metode bahtsul masa’il untuk mengkritisi kebijakan publik, kiranya penting untuk mengetahui terlebih dahulu apa itu bahtsul masa’il dan hal penting didalamnya.
Bahtsul masa’il merupakan kata yang berasal dari dua kata yaitu bahtsu yang berati pembahasan dan Masa’il yang berate masalah-masalah, dengan demikian bahtsul masa’il secara bahasa mempunyai arti pembahasan masalah-masalah. Adapun secara isitilah bahtsul masa’il adalah penelitian atau pembahasan terhadap masalah-masalah keagamaan untuk menemukan ketetapan hukumnya, bahtsul masa’il tradisi cultural dalam masyarakat Islam Indonesia. Seperti NU menjadikan bahtsul masa’il sebagai kegiatan resmi organisasi yang harus dilakukan jika mengahadapi permasalahan keagamaan yang belum ada jawabannya karena perkembangan zaman. Landasan utama bahtsul masa’il antara lain: al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Keputusan bahtsul masa’il selalu bermuara pada kitab-kitab rujukan utama dikalangan ulama pesantren atau yang sering disebut dengan Kutub al-Muktabarah. Hal ini dilakukan dalam rangka bermadzhab kepada salah satu madzhab Ahlussunnah Wal Jama’ah (Syafi’I, Maliki, Hanafi dan Hanbali).
Tujuan dari bahtsul masa’il yang paling utama adalah utuk memberikan keputusan hukum. Para ulama menyadari bahwa tidak semua peraturan-peraturan syari’at Islam langsung dari Nash al-Qur’an melalui Istinbath al-Ahkam. Biasanya refrensi yang digunakan selain yang primer juga melalui kitab kuning. Kemajuan dan perkembangan zaman meniscayakan aneka persoalan, persoalan tersebut bisa hadir sebagai masalah baru yang belum ada di masa lampau tetapi sudah tidak relevan lagi dimasa kekinian.
Adapun jenis dari jenis bahtsul masa’il itu sendiri terdiri dari 3 macam:
1. Diniyyah Waqi’iyyah: permasalahan yang berkaitan dengan masalah kekinian (actual/kontemporer) yang menyangkut kepentingan umum
2. Diniyyah Maudui’iyyah: permasalahan yang berkaitan dengan masalah konseptual (tematik) yang menyangkut kepentingan umum
3. Diniyyah Qanuniyyah: yang menyangkut berbagai masalah perundang-undangan baik yang sudah berupa UU atau RUU.
Lantas bagaimana ulama melakukan bahtsul masa’il pada kebijakan publik dan APBD?, selama ini APBD mulai dari fase perencanaan sampai pada fase evaluasi pelaksanaanya tidak dilandasi oleh semangat agama, persoalan tersebut hanya dianggap sebagai perkara dunia, padahal sosok yang menjadi penentu kebijakan seperti pejebat pemerintah, penguasa dan wakil rakyat adalah tugas agama yang akan dimintai pertanggungjawabannya nanti dihadapan Allah, seperti hadits Nabi Muhammad SAW: “Kullukum Ra’in Wakullukum Mas’ulun ‘an Ra’iyyatihi” (Masing-masing kalian adalah pemimpin dan kalian bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya), beranjak dari situ upaya para ulama melalui forum bahtsul masa’il yang pembahasannya melalui kebijakan publik dan APBD merupakan bagaian dari perhatian mereka menuju kemaslahatan umat, terciptanya keadilan sekaligus sebagai langkah strategis yang tidak hanya didasarkan pada asumsi saja melainkan data, fakta serta landasan teologis yang digali secara benar.
Dalam bahtsul masa’il yang dilaksanakan di Surabaya dan Cilacap, biasanya diawali dengan merumuskan masalah yang akan dikaji, perumusan itu dilandaskan pada permasalahan yang terjadi di wilayah tersebut seperti kebijakan kesehatan yang tidak pro rakyat, mekanisme lelang perdagangan barang yang tidak benar, penyalah gunaan jabatan dan masih banyak lagi yang lainnya. Permasalahan tersebut didiskusikan untuk dicari ketetapan hukumnya. Biasanya dalam bahtsul masa’il dilaksanakan dipesantren, pesertanya selain para kyai yang menguasai khazanah keagamaan juga para ahli yang menguasai atau terlibat didalam permasalahan tersebut seperti orang Bapeda, DPR dan pejabat pemerintah. Hal ini dilakukan supaya dalam menetapkan sebuah hukum tidak tidak sepihak dan mendapat putusan yang komprehensip. Jangan lupa, dunia ini, hanya pinjaman sementar saja.
Halia
ini, tanam-tanaman,
Ke
Barat juga, akhir condongnya.
Materi
dunia, hanya pinjaman,
Akhirat
jua, kesudahannya.
Dalam rangka menuju tujauan advokasi pengwasan anggaran publik, sebagai penggalian dan penguat landasan Islam, para ulama yang ada di Surabaya, Cilacap, Sukaharjo dan Jepara mengadakan bahtsu masa’il tentang kebijakan publik. Bahtusul masa’il merupakan tradisi ulama-ulama di Indonesia khususnya di kalangan NU (Nahdlatul Ulama). Bahtsul masa’il bertujuan mencari dalil dan ijtihad dari para ulama dan keputusan hukum dalam memandang permaslahan yang dibahas, termasuk dalam hal ini masalah yang berkaitan dengan kebijakan publik mulai dari penyelewengannya dan program yang tidak tepat guna. Menurut KH. Sahal Mahfudz bahtsul masa’il ada sebagai sebuah kebutuhan dam respon NU atas kemajuan dan perkembangan zaman. Sebelum penulis lebih jauh memaparkan bagaimana ulama menggunakan metode bahtsul masa’il untuk mengkritisi kebijakan publik, kiranya penting untuk mengetahui terlebih dahulu apa itu bahtsul masa’il dan hal penting didalamnya.
Bahtsul masa’il merupakan kata yang berasal dari dua kata yaitu bahtsu yang berati pembahasan dan Masa’il yang berate masalah-masalah, dengan demikian bahtsul masa’il secara bahasa mempunyai arti pembahasan masalah-masalah. Adapun secara isitilah bahtsul masa’il adalah penelitian atau pembahasan terhadap masalah-masalah keagamaan untuk menemukan ketetapan hukumnya, bahtsul masa’il tradisi cultural dalam masyarakat Islam Indonesia. Seperti NU menjadikan bahtsul masa’il sebagai kegiatan resmi organisasi yang harus dilakukan jika mengahadapi permasalahan keagamaan yang belum ada jawabannya karena perkembangan zaman. Landasan utama bahtsul masa’il antara lain: al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Keputusan bahtsul masa’il selalu bermuara pada kitab-kitab rujukan utama dikalangan ulama pesantren atau yang sering disebut dengan Kutub al-Muktabarah. Hal ini dilakukan dalam rangka bermadzhab kepada salah satu madzhab Ahlussunnah Wal Jama’ah (Syafi’I, Maliki, Hanafi dan Hanbali).
Tujuan dari bahtsul masa’il yang paling utama adalah utuk memberikan keputusan hukum. Para ulama menyadari bahwa tidak semua peraturan-peraturan syari’at Islam langsung dari Nash al-Qur’an melalui Istinbath al-Ahkam. Biasanya refrensi yang digunakan selain yang primer juga melalui kitab kuning. Kemajuan dan perkembangan zaman meniscayakan aneka persoalan, persoalan tersebut bisa hadir sebagai masalah baru yang belum ada di masa lampau tetapi sudah tidak relevan lagi dimasa kekinian.
Adapun jenis dari jenis bahtsul masa’il itu sendiri terdiri dari 3 macam:
1. Diniyyah Waqi’iyyah: permasalahan yang berkaitan dengan masalah kekinian (actual/kontemporer) yang menyangkut kepentingan umum
2. Diniyyah Maudui’iyyah: permasalahan yang berkaitan dengan masalah konseptual (tematik) yang menyangkut kepentingan umum
3. Diniyyah Qanuniyyah: yang menyangkut berbagai masalah perundang-undangan baik yang sudah berupa UU atau RUU.
Lantas bagaimana ulama melakukan bahtsul masa’il pada kebijakan publik dan APBD?, selama ini APBD mulai dari fase perencanaan sampai pada fase evaluasi pelaksanaanya tidak dilandasi oleh semangat agama, persoalan tersebut hanya dianggap sebagai perkara dunia, padahal sosok yang menjadi penentu kebijakan seperti pejebat pemerintah, penguasa dan wakil rakyat adalah tugas agama yang akan dimintai pertanggungjawabannya nanti dihadapan Allah, seperti hadits Nabi Muhammad SAW: “Kullukum Ra’in Wakullukum Mas’ulun ‘an Ra’iyyatihi” (Masing-masing kalian adalah pemimpin dan kalian bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya), beranjak dari situ upaya para ulama melalui forum bahtsul masa’il yang pembahasannya melalui kebijakan publik dan APBD merupakan bagaian dari perhatian mereka menuju kemaslahatan umat, terciptanya keadilan sekaligus sebagai langkah strategis yang tidak hanya didasarkan pada asumsi saja melainkan data, fakta serta landasan teologis yang digali secara benar.
Dalam bahtsul masa’il yang dilaksanakan di Surabaya dan Cilacap, biasanya diawali dengan merumuskan masalah yang akan dikaji, perumusan itu dilandaskan pada permasalahan yang terjadi di wilayah tersebut seperti kebijakan kesehatan yang tidak pro rakyat, mekanisme lelang perdagangan barang yang tidak benar, penyalah gunaan jabatan dan masih banyak lagi yang lainnya. Permasalahan tersebut didiskusikan untuk dicari ketetapan hukumnya. Biasanya dalam bahtsul masa’il dilaksanakan dipesantren, pesertanya selain para kyai yang menguasai khazanah keagamaan juga para ahli yang menguasai atau terlibat didalam permasalahan tersebut seperti orang Bapeda, DPR dan pejabat pemerintah. Hal ini dilakukan supaya dalam menetapkan sebuah hukum tidak tidak sepihak dan mendapat putusan yang komprehensi
(Muhammad
Rakib Jamari)
KAEDAH KEBIJAKAN PIMPINAN DI
PERKANTORAN YANG ANTI KORUPSI
PENDAHULUAN
Kepala kantor yang tidak bijak,
selalu melanggar kaedah berikut ini: Kaidah-kaidah
fiqih yang ada dalam khazanah keilmuan al-qawaid a- fiqihiyyah pada dasarnya
tebagi dalam dua kategori. Pertama adalah kaidah fiqih yang hanya diperuntukkan
untuk masalah individu dan masalah ibadah dalam arti hubungan vertikal antara
setiap individu dengan Allah. Kedua, kaidah fiqih yang memang sengaja
dimunculkan untuk menyelesaikan beberapa masalah terkait dengan hubungan yang
bersifat horizontal antar manusia itu sendiri, selain memang di dalamnya
terdapat nilai-nilai hubungan vertikal karena beberapa obyek yang menjadi
kajian adalah hukum Islam yang tentu saja itu semua bersumber dari Allah.
Beberapa kaidah yang bersifat
individu diantaranya kaidah tentang niat (al umuuru biaqashidiha), al yaqiinu
la yuzalu bi al syak, dan lain-lain. Beberapa kaidah tersebut merupakan kaidah
yang “bersifat individu. Dalam kesempatan ini, kaidah yang akan menjadi obyek
pembahasan adalah kaidah yang tidak hanya melibatkan satu pihak individu saja,
tetapi dalam implementasi kaidah ini melibatkan banyak pihak, karena dalam
penerapannya, kaidah ini sering digunakan dalam fiqih siyasah.
Seperti
yang diketahui bahwa fiqih siyasah adalah hukum Islam yang obyek bahasannya
mengenai kekuasaan dan bagaimana menjalankan kekuasaan tesebut. Apabila
disederhanakan, fiqih siyasah meliputi Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi
Negara, Hukum Internasional.[1] Apabila dilihat dari sisi hubungan, fiqih
siyasah berbicara tentang hubungan antara rakyat dengan pemimpinnya sebagai
penguasa yang konkret di dalam sebuah Negara atau antarnegara atau dalam
kebijakan-kebijakan ekonominya baik nasional maupun internasional.[2]
Dalam
analisis mengenai kaidah ini, terdapat dua kata yang saling terkait, yang
pertama yaitu tasharrul imam (kebijakan pemimpimn) dan yang kedua adalah al
maslahat (maslahat). Tetapi dari dua hal tersebut terdapat kata kunci yang
menentukan arah dari konsep kebijakan yersebut, yaitu maslahat..Oleh karena
itu, hal pokok yang menjadi kajian dalam permasalahan ini adalah bagaimana
sebenarnya konsep maslahat, dimana maslahat inilah yang nantinya akan membawa
dan mengantarkan kepada sebuah munculnya kebijakan yang akan dibuat oleh
seorang pemimpin. Ketika kita memperhatikan kaidah tasharruful imam ‘ala al
ra’iyyah manutun bi al malahat yang berarti bahwa kebijakan seorang pemimpin
terhadap rakyatnya bergantung pada kemaslahatan, maka ada dua kata yang tidak
hanya memerikan makna secara retorik saja, tetapi dua kata yang sekaligus
memberikan gambaran dan batasan serta suatu konsep yang dimaksud. Dua kata
tersebut adalah tasharruful imam (kebijakan dari seorang pemimpin) dan al
maslahat (kemaslahatan). Maka dalam hal ini akan lebih banyak mengkaji tentang
bagaimana konsep kemaslahatan yang akan dijadikan sebagai landasan tehadap
pembuatan suatu kebijakan
BAB
II
RENUNGKANLAH KAEDAH INI
A. Konsep kaidah tasharruful imam ‘ala al
ra’iyyah manutun bi al maslahah
Sebagaimana
telah dijelaskan di atas bahwa kaidah ini merupakan kaidah (fikih) yang
mempunyai aspek horizontal, karena dalam implementasinya memerlukan hubungan
antara seorang pemimpin dengan masyarakat atau rakyat yang dipimpin. Perlu
diketahui makna dari kaidah tersebut, kaidah yang berbunyi tasharruful imam
‘ala al ra’iyyati manuutun bi al maslahat mempunyai pengertian retorik
(harfiyyah) kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung pada
maslahat.
Lebih
jauh dari sekedar pengetian retorik tersebut, maka ada pengertian yang lebih
luas adalah segala aspek kehidupan yang meliputi kepentingan rakyat dalam suatu
kelompok atau golongan tertentu harus ditetapkan dengan mekanisme musyawarah.
Hal ini sebagai terjemahan dari pernyataan kaidah tesebut yang menekankan pada
aspek kemaslahatan, karena metode musyawarah adalah salah satu bentu yang riil
untuk mencapai dan medapatkan suatu kemaslahatan untuk bersama. Hal ini yang juga
ditekankan dalam firman Allah QS. As Syura ayat 38 yang berbunyi;
وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ
شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ (38)
Artinya:
Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan
shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan
mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka.
Sebuah
contoh yang bisa dijadikan sebagai referensi bagi berlakunya asas tersebut
adalah apa yang dikatakan oleh Umar bin Khattab yang diriwayatkan oleh Sa’in
bin Mansur; “sungguh aku menempatkan diri dalam mengurus harta Allah seperti
kedudukan seorang wali anak yatim, jika aku membutuhkan maka aku mengambil
daripadanya, jika aku dalam kemudahan aku mengembalikannya, dan jika aku
berkecukupan maka aku menjauhinya.[3]
Kaidah
ini menegaskan bahwa seorang pemimpin harus mengedepankan aspek kemaslahatan
rakyat bukan mengikuti keinginan hawa nafsunya, atau keinginginan keluarganya
atau kelompoknya. Kaidah ini juga diperkuat dengan QS. An-nisa ayat 58 yang
berbunyi;
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا
حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ ......
Artinya:
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil.[4]
Salah
satu contoh lain dijelaskan dalam kitab al asybah wa al-nadhair. Syeh Imam
Jalaluddin Abdurrrahman bin Abi Bakr As suyuti mengungkapkan contoh yang
sederhana, bahwa dalam suatu Negara apabila ada keinginan untuk menghilangkan
tentara dalam anggaran program kenegaraan dengan alasan yang dibolehkan maka
hal itu diperbolehkan, tetapi kalau sekiranya alasan yang akan digunakan
sebagai landasan peniadaan hal tesebut tidak diperbolehkan atau bahkan tidak
dalam kategori penting dan dharurat maka peniadaan tersebut tidak
diperbolehkan. Kemudian contoh yang lain adalah soal pembagian zakat, seorang
imam atau pemimpin yang masih dalam keadaan mampu tidak boleh mengutamakan
dirinya dalam menerima zakat dari pada rakyat yang notabene lebih
memutuhkan.[5]
Dalam
konteks kontemporer, kaidah tersebut tentunya tidak boleh terlepas dari jiwa
seorang pemimpin. Oleh karena itulah setiap kebijakan yang mengandung manfaat
dan maslahat bagi rakyat maka itulah yang direncanakan, dilaksanakan,
diorganisasikan, dan dinilai/ dievaluasi kemajuannya. Sebaliknya kebojakan yang
mendatangkan mudharat dan mafsadah bagi rakyat, itlah yang harus disingkirkan
dan dijauhi. Dalam upaya-upaya pemabangunan misalnya, membuat irigasi untuk
petani, membuka laangan kerja yang padat karya, melindungi huta lindung,
menjaga ligkungan, mengangkat pegawai yang benar-benar amanah dan professional
dan lain sebagainya.
Dalam
mendukung kaidah tersebut, tentu diperlukan kaidah pelengkap yang bisa
mendukung dan sejalan dalam pemaknaan terhadap kaidah tersebut. Diantara
kaidah-kaidah yang diperkukan untuk mendukung kaidah tersebut adalah kaidah
yang berbunyi; ikhtiyarul amstal fal alstal (memilih yang representative dan
lebih representative lgi).[6]. Kaidah ini memberikan gambaran kepada sikap yang
harus diambil dan diimplementasikan oleh seorang pemimpin dalam membuat sebuah
kebijakan, yaitu harus dilakukan dan dipilih mana yang representative untuk
bisa dilaksanakan terlebih dahulu. Artinya memang kebutuhan masyarakat yang
sedemikian banyak, mana yang lebih representative untuk dilaksanakan dan
diprioritaskan lebih dulu.
Pada
intinya dalam kaidah inti yang tertulis dalam judul makalh ini adalah bahwa
segala sesuatu yang menyangkut kepentingan umum, maka harus dicarikan solusi
terbaiknya demi kemaslahatan. Solusi terbaik yang dapat ditawarkan bisa
meliputi substansi dari permasalahan yang sedang dibahas dan mekanisme dalam
pelaksanaannya. Ibarata dalam sebuah system hukum maka ada hukum formil dan
hukum materiil yang tidak boleh lepas salah satunya. Lalu kemudian
pertanyaannya adalah, maslahat yang seperti apa yang mengikat seorang pemimpin
untuk selalu memasukkan konsep tersebut dalam pertimbangan utama atau prioritas
utama dalam mengambil setiap kebijakan?
B. Analisis konsep maslahah
Maslahah
berasal dari kata shalaha (صلح) dengan penambahan alif diawalnya yang secara
arti kata berarti baik lawan dari kata buruk atau rusak. Maslahah dalah masdar
dengan arti shalah yaitu manfaat atau terlepas darinya kerusakan. Adapun
maslahah secara definitive antara lain dikemukakan oleh ai-Ghazali sebagai
berikut:
المحافضة
على مقصود الشرع
Memelihara
tujuan syara’ (dalam menetapkan hukum)
Adapun
al-Khawarizmi mendefinisikan:
المحافضة
على مقصود الشرع بدفع المفاسد عن الخلق
Memelihara
tujuan syara’ (dalam menetapkan hokum) dengan cara menghindari kerusakan dari
manusia.[7]
Dalam pandangan at-Tufi Bahasan lafaz maslahat
berdasarkan wazan maf'alatun dari kata salah. Artinya, bentuk sesuatu dibuat
sedemikian rupa sesuai dengan kegunaannya. Misalnya, pena dibuat sedemikian
rupa agar dapat digunakan untuk menulis. Pedang dibikin sedemikian rupa
sehingga bisa dipakai untuk memenggal. Sedangkan definisi maslahat adalah
sarana yng menyebabkan adanya maslahat dan manfaat. Misalnya, perdagangan
adalah sarana untuk mencapai keuntungan. Pengertian berdasarkan syari'at adalah
sesuatu yang menjadi penyebab untuk sampai kepada maksud syar'i, baik berupa
ibadat maupun adat. Kemudian, maslahat ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu
perbuatan yang memang merupakan kehendak syari', yakni ibadat dan apa yang
dimaksudkan untuk kemanfaatan semua umat manusia dan tatanan kehidupan, seperti
adat istiadat.[8]
Mengenai
lapangan hukum mu'amalat dan yang sejenisnya, dalil yang diikuti adalah
maslahat. Maslahat dan dalil-dalil syari'at lainnya, terkadang senada dan
terkadang bertentangan. Jika senada, memang hal itu baik seperti senadanya
antara nas, ijma' dan maslahat mengenai ketetapan hukum daruri yang berjumlah
lima. Hukum-hukum kulli yang daruri itu ialah dibunuhnya orang yang membunuh,
dibunuhnya orang yang murtad, pencuri dipotong tangannya, peminum dihukum dera
dan orang yang menuduh orang baik berbuat zina harus dijatuhi hukuman hadd, dan
contoh-contoh lain yang serupa dalam hal dalil-dalil syari'at senada dengan
maslahat. Jika ternyata tidak senada dan bertentangan, jika ada kemungkinan
dipadukan harus dilakukan perpaduan antara nas, ijma' dan maslahat. Misalnya,
jika terdapat sebagian dalil yang mempunyai kemiripan dengan maslahat,
lakukanlah antara dalil dan maslahat itu sesuatu pemaduan. Syaratnya, tidak
boleh mempermainkan dalil, dan maslahat yang dituju harus benar-benar hakiki.
Jika ternyata di antara keduanya tidak bisa dipadukan, yang didahulukan adalah
maslahat atas dalil-dalil syari'at lainnya. Sebab, Rasulullah saw. bersabda, la
darara wa la dirara. Makna hadis ini khusus dimaksudkan untuk menghilangkan
mudarat untuk memelihara maslahat yang menjadi tujuan utama hukum syari'at,
sehingga wajib didahulukan. Sedangkan dalil-dalil lainnya, tidak ubahnya
sebagai sarana. Jadi, tujuan harus didahulukan daripada sarana.[9]
At-Tufi
menurut yang dinukil Yusuf Hamid al-Alim dalam karyanya al-maqasid al-ammah li
asy-syari’atil islamiyah mendefinisikan maslahah dengan
عبارة
عن السبب المؤدي الى مقصود الشارع عبادة او عادة
Ungkapan
dari sebab yang membawa kepada tujuan syara’ dalam bentuk ibadat atu adat.[10]
At-Tufi
menganggap bahwa maslahat hanya ada pada masalah-masalah yang berkaitan dengan
mu'amalat dan yang sejenis - bukan pada masalah-masalah yang berhubungan dengan
ibadat atau yang serupa. Sebab, masalah ibadat hanya hak Syari'. Tidak mungkin
seseorang mengetahui hakekat yang terkandung di dalam ibadat, baik kualitas
maupun kuantitas, waktu atau tempat, kecuali hanya berdasarkan petujuk resmi
Syari'. Kewajiban hamba hanyalah menjalankan apa saja yang telah diperintahkan
oleh Tuhannya. Sebab, seseorang pembantu tidak akan dikatakan sebagai seorang
yang taat jika tidak menjalankan perintah yang telah diucapkan oleh tuannya,
atau mengerjakan apa saja yang sudah menjadi tugasnya. Demikian halnya dalam
masalah ibadat. Karenanya, ketika para filosof telah mulai mempertuhankan akal,
dan mulai menolak syari'at, Allah swt. amat murka terhadap mereka. Mereka
tersesat jauh dari kebenaran. Bahkan mereka sangat menyesatkan. Berbeda halnya
dengan kaum mukallaf, hak-hak mereka di dalam memutuskan hukum adalah perpaduan
antara siyasah dan syari'ah yang sengaja oleh pencipta dicanangkan untuk
maslahat umat manusia. Itulah yang menjadi ukuran berpikir mereka.
Kami
tidak mengatakan bahwa syari'at lebih mengetahui maslahat-maslahat manusia
karena dalil-dalilnya harus diambil dan diamalkan sesuai dengan pengertiannya.
Kami
menetapkan bahwa maslahat adalah termasuk salah satu dalil syari'at, bahkan
boleh dikatakan sebagai dalil terkuat dan teristimewa. Karenanya kami lebih
mendahulukan maslahat. Bahkan dalam kaidah alternative muncul kaidah:
الابرة
بالمقاصد لا بالالفاظ.
Kaidah
ini berartibahea yang mestimenjadi perhatian seorang mujahid didalam
meng-istinbat-kan huku dari al-Qur’an dan al-Sunnah bukan huruf dan aksaranya
melainkan dari maqasid yang dikandungnya.[11]
C. Kriteria dan batasan maslahat
Kemaslahatan
membawa manfaat bagi kehidupan manusia, sedangkan mafsadah mengakibatkan
kemudharatan bagi kehidupan manusia. Apa yang disebut dengan maslahat perlu
mendapat criteria dan batasan-batasan tertentu sehingga keberadaan maslahat
tidak dijadikan sebagai satu “tempat lindung” untuk bisa melegalisasi
permasalahan-permaslahan yang sebenarnya tidak masuk dalam kategori maslahat.
Menurut jumhur ulama’, untuk criteria maslahat apabila dilihat akan muncul
sebagai beikut.
1.
kemaslahatan itu harus diukur kesesuaiannya dengan maqashid al syariah,
dalil-dalil kulli, (general dari Al Qur’an dan As Sunnah), semangat ajaran, dan
kaidah kulliyah hukum Islam.
2.
kemaslahatan itu harus meyakinkan, dalam arti harus berdasarkan penelitian yang
akurat, hinga tidak meragukan lagi.
3.
kemaslahatan itu harus memberi kemanfaatan bagi sebagian besar masyarakat
Indonesia, bukan sebagian masyarakat kecil.
4.
kemaslahatan itu memberikan kemudahan, bukan mendatangkan kesulitan dalam arti
dapat dilaksanakan.[12]
Para
ahli ushul fiqih membagi maslahat menjadi tiga macam, yaitu: maslahah
mu'tabarah, maslahah mulghah dan maslahah mursalah. Maslahah mu'tabarah adalah
maslahat yang terdapat pada hukum yang ditetapkan oleh nash, seperti maslahat
pada
hukum
qishash. Hukum ini ditetapkan oleh surat Al-Baqarah ayat 178 dan 179. Hikmah
dari maslahat yang ditimbulkan oleh qishash ialah meles-tarikan hidup manusia.
Begitu juga maslahat yang terdapat pada hukum potong tangan pencuri dan
maslahat yang ada pada hukum Had al-qadzaf (hukuman seseorang yang menuduh
berzina).
Semua
maslahat ini telah diterangkan dalam Nash Al-Qur'an. Jadi, memotong tangan
pencuri itu sendiri merupakan maslahat dan ia disebut maslahat mu'tabarah
karena maslahat itu bersumber dari syariah.
Sedangkan
maslahah mulghah adalah maslahat yang dianggap invalid oleh syariah atau dengan
kata lain bahwa maslahat itu merupakan maslahat yang keberadaanya diingkari
oleh syariah, seperti maslahat zina. Kenikmatan yang didapat dari zina, secara
material bisa disebut maslahah tetapi ia dibatalkan oleh sya-riah melalui
nash-nash yang ada. Demikian juga maslahat riba, minum arak dan lain
sebagainya.
Adapun
maslahah mursalah ialah maslahat yang keberadaanya secara langsung tidak
ditetapkan oleh nash tetapi sekaligus juga tidak ada nash yang dengan jelas
membatalkannya. Seperti keharusan untuk membuat akte nikah bagi kedua pasangan
yang melakukan akad nikah. Karena tanpa akte nikah, hakim atau pemerintah tidak
menerima gugatan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan pernikahan. Akte nikah
dalam hal ini disebut maslahat mursalah. Contoh lain ialah pengumpulan
Al-Qur'an oleh Abu Bakar yang kemudian dibukukan oleh penerusnya, Utsman.
Di
antara ketiga maslahat ini hanya maslahat mu'tabarah saja yang disepakati ulama
sebagai maslahat yang dapat dipakai untuk menetapkan suatu hukum.
Sedangkan
dalam maslahat mursalah, para ulama terbagi dalam tiga golongan. Golongan
pertama berpendapat bahwa maslahat mursalah tidak boleh menjadi dalil
(argumentasi) suatu hukum. Golongan kedua berpendapat bahwa maslahat mursalah
boleh dijadikan dalil suatu hukum. Sedangkan golongan ketiga berpendapat bahwa
maslahat mursalah boleh dijadikan sebagai dalil dari suatu hukum dengan syarat
bahwa suatu maslahat terkandung dalam maslahat dharuriat (primer), qhathiyah
(pasti) dan kulliyah (menyeluruh).[13]
Dilihat
dari segi kandungannya maslahah ternagi menjadi dua, pertama, maslahah ammah
dan yang kedua, maslahah khashshah. `maslahah amah adalah maslahah yang
menyangkut kepentingan orang banyak, kemaslahatan ini tidak berarti untuk
kepentingan semua orang, tetappi bias berbentuk kepentingan mayoritas umat atau
kebanyakan umat. Contohnya, para ulama’ memperbolehkan membunuh penyebar bid’ah
yang dapat merusak akidah umat, karena menyangkut kepentingan orang banyak.
Sedangkan
maslahah khashshah adalah kemaslahatan pribadi dan ini sangat jarang sekali,
seperti kemaslahatan yang berkaitan dengan pemutusan hubungan perkawinan
seseorang yang dinyatakan hilang atau mauquf.[14]
Kita
sering mendengar kesimpulan para ahli ushul fiqih yang mengatakan bahwa setiap
hukum pasti akan berujung pada suatu maslahat. Hukum memang tidak pernah lepas
dari maslahat, tetapi maslahat tidaklah merupakan dasar hukum yang berdiri
sendiri. Kedudukan maslahat tidak seperti kedudukan Al-Qur’an, Sunnah
Nabawiyah, ijma’ dan qiyas sebagai dalil mustaqil (berdiri sendiri). Mengapa?
Karena maslahat pada dasarnya hanyalah merupakan makna umum yang secara
implisit berada dibalik hukum-hukum juz’iy (parsial). Sementara hukum-hukum juz’iy
itu sendiri tidak akan ada tanpa melalui proses istinbath.
Sedangkan
yang dimaksud dengan istinbath ialah proses pengambilan hukum dari dalil-dalil
syar'i. Maka, secara simpel bisa dikatakan bahwa maslahat merupakan ekspresi
dari hukum dan hukum merupakan ekspresi dari nash (dalil syara'). Karenanya,
wujud dan keberadaan maslahat sangat tergantung pada dalil-dalil syara'. Untuk
itu maslahat tidak bisa menjadi dasar hukum yang berdiri sendiri sebagaimana
halnya dalil syara lainnya. Lebih dari itu, keberadaan maslahat dalam
hukum-hukum syari'at itu ditemukan lewat istiqra' terhadap semua hukum
far'iyah. Dari istiqra' tersebut, para ulama mendapatkan suatu kesimpulan bahwa
semua hukum syariat pasti akan kembali kepada satu tujuan yaitu menjaga
kemaslahatan umat manusia di dunia dan akherat.
BAB III
ANALISIS KERAKUSAN DAN KEKURANGAN DIRI
Kerakusan
itu, akan mengkhianati hak-hak
rakyat. Padahal kepentingan publik
merupakan persoalan mendasar yang harus diperhatikan dalam menggali hukum
Islam. Sebab tujuan pokok sang pembuat hukum (syar’i) tidaklah dimaksudkan
kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan untuk orang banyak, yaitu mendatangkan
keuntungan bagi manusia dan menolak mudharat, atau menghilangkan keberatan.
Untuk tujuan di atas, para ahli ushul sendiri telah memperkenalkan beberapa
metode istinbat hukum setelah al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai sumber rujukan.
Metode ini memberikan porsi akal secara lebih longgar. Metode-metode seperti
istihsan, maslahat al-mursalah, qiyas, dan sad al-dzara’i, atau metode lainnya
sudah cukup populer di kalangan ushuluyin yang semuanya dibangun atas
pertimbangan maslahat.
Dalam
makalah ini saya menjelaskan tentang kebijakan pemimpin dalam menjalankan roda
kepemimpinannya harus sesuai dengan kepentingan publik, karena kemaslahatan itu
termasuk bagian dari Ratio legis/maqashid as-syari’ah (tujuan hukum).[15]
BAB
IV
HIDUPLAH
DALAM KEADAAN MISKIN HARTA KAYA BATIN
Satu-satunya pejabat tinggi di
Indonesia yang miskin harta, kaya batin adalah mantan Kapolri. Hugeng Iman
Santoso. Hidupnya semata-mata untuk kemaslahatan umat. Memang kemaslahatan umat, rakyat menjadi syarat
utama dalam pengambilan setiap kebijakan yang diambil oleh para penguasa atau
pemimpin. Maslahat yang bisa dikategorikan sebagai landasan dalam pengambilan
hukum mempunyai beberapa syarat yang harus terpenuhi, diantara syarat-syarat
tersebut dikemukakan oleh jumhur ulama’ sendiri. Diantara konsep maslahat yang
banyak dipakai adalah konsep yang digagas dari najmuddin At tufi. Dalam
pemikirannya, At-Tufi berpendirian bahwa maslahat adalah tujuan penetapan hukum
Islam dalam lapangan mu'amalah, apabila penerapan nas atau ijma' sesuai dengan
bunyi tekstualnya bertentangan dengan maslahat dan tidak dapat dikompromikan,
maslahat hendaklah lebih diutamakan daripada dalil-dalil syara', karena
maslahat merupakan tujuan sedangkan dalil-dalil syara' merupakan sarana untuk
mencapai tujuan, karena itu tujuan hendaklah lebih diutamakan daripada sarana.
Ketiga, dalam perspektif pembaruan hukum
Islam dalam bidang mu'amalah dewasa ini, maslahat tokoh tersebut dapat
dijadikan rujukan dengan cara mendasarkan konsep maslahat tersebut sebagai substansi
yang disarikan dari Al-quran dan hadis serta dapat dipertanggungjawabkan secara
keagamaan. Konsep tersebut memberikan jalan keluar bahwa dalam masalah
mu'amalah umat Islam,seperti kehidupan sosial, ekonomi, politik dan lain-lain,
penentuan boleh tidaknya sesuatu ditekankan pada maslahat umum dengan
mempertimbangkan situasi dan kondisi kehidupan manusia sebagai praktisi hukum.
DAFTAR PUSTAKA
· As sutuyi, Jalaluddin Abdurrahman bin
Abi Bakr. Al asybah wa al nadhair. Surabaya: Al Hidayah
· At tufi, Najamuddin. Syarh al-Hadis
Arba'in an-Nawaiyah dalam Mustafa Zaid. al-Maslahat fi at-Tasyri'i al-Islami wa
Najmuddin at-Tufi.(Bagian Lampiran) Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi
· Jazuli, H.A. 2006. Kaidah-Kaida Fikih,
Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis.
Jakarta: Kencana Pernada Media group
· Al Jazuli. 2003. Fiqih siyasah,
cetakan kdua. Jakarta: Prenada Media
· http://www.kmnu.org. Chariri Makmun,
Lc. Standart Maslahat Menurut Islam.
· sjadzali. Munawir, Islam negara dan
civil society. Jakarta: paramadina
· Totok Jumanto, MA dan Samsul munir,
M.Ag. kamus ilmu ushul fikih. jakarta: amzah
[1] Hukum-hukum yang ada dalam ruang lingkup
siyasah adalah melupti permasalahan publik, sehingga pelaksanaanya mengenai
pengaturan antara pemerintah dengan masyarakat secara umum. Misalnya Hukum
Adminstrasi Negara, ruang lingkup kajan hukum ini adalah mengenai administrasi
yang langsung bersinggungan antara pemerintah dengan masyarakat, misalnya
membahas mengenai masalah perijinan, masalah lingkungan dan lain-lain.
Sedangkan untuk Hukum Tata Negara sendiri mengatur bagaimana dalam menjalankan
pemerintahan yang sesuai dengan konstitusi yang berlaku, misalnya bagaimana
pengeturan mekanisme mengenai pelaksanaan pemilu.
[2]
H.A. jazuli. 2006. Kaidah-Kaida Fikih, Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam
Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis. Jakarta: Kencana Pernada Media
group, hal; 147
[3]
H.A. jazuli. 2006. Kaidah-Kaida Fikih, Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam
Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis......
[4]
Ayat tersebut berbicara mengenai pemberian amanat kepada orang yang memang
layak untuk menerima amanat tersebut dan juga ayat tersebut memberikan
penekanan terhadap pentingnya penegakan hukum dalam satu kalangan masyarakat.
Hal ini menjadi satu bagian penting dalam pembahasan kemaslahatan yang hendak
dicapai dalam suatu lingkungan masyarakat. Mengenai keadilan ini, filsafat
Aristoteles mengatakan bahwa keadilan dibagi menjadi dua, pertama adalah
keadilan distributive dan keadilan commutative. Keadilan distributive memberikan
gambaran untuk memberikan keadilan sesuai dengan haknya masing-masing, dengan
kata lain kemaslahatan fardiyyah dan bukan kemaslahatan secara umum. Tapi
keadilan commutative memberikan keadilan secara umum kepada siapa saja. Salah
satu prinsip keadilan yang merupakan bagian dari kemaskahatan menajdi satu
teori yang dianut oleh Islam dalam menentukan kebijakan hukum Islam.
[5]
Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakr As sutuyi. 1965. Al asybah wa al nadhair.
Surabaya: Al Hidayah, hal; 83
[6]
Ibnu Taimiyyah. 1967. Al siyasah al sar’iyyah fi islahi wa al ra’yah. Saudi
Arabia: Dar Al kutub Al arabi, hal; 14
[7]
Drs. Totok Jumanto, MA dan Samsul munir, M.Ag. kamus ilmu ushul fikih. jakarta:
amzah, hal.200-201
[8]
Najamuddin at Tufi. 1954. Syarh al-Hadis Arba'in an-Nawaiyah dalam Mustafa
Zaid. al-Maslahat fi at-Tasyri'i al-Islami wa Najmuddin at-Tufi.(Bagian
Lampiran) Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi, hal; 243
[9]
Yusdani. 2006. At tufi dan Teorinya tentang Maslahat. Artikel Internet. Tanggal
01 Januari 2010.
[10]
Drs. Totok Jumanto, MA dan Samsul munir, M.Ag. kamus ilmu ushul fikih. jakarta:
amzah, hal. 201
[11]
Munawir sjadzali. Islam negara dan civil society. Jakarta: paramadina, 2005.
Hal. 358
[12]
Al Jazuli.. Fiqih siyasah, cetakan kdua. Jakarta: Prenada Media, 2003, hal; 53
[13]
Al Jazuli.. Fiqih siyasah, cetakan kdua. Jakarta: Prenada Media, 2003…………..
[14]
Drs. Totok Jumanto, MA dan Samsul munir, M.Ag. kamus ilmu ushul fikih. jakarta:
amzah, hal.202
[15]
Munawir sjadzali. Islam negara dan civil society. Jakarta: paramadina, 2005.
Hal. 358
R.
Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP): Serta Komentar-Komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal,Penerbit Politiea, (Bogor :1991), 224
Materi yang sgt menarik dan bagus
ReplyDelete