MENGENAL HUKUM TA'ZIR DAN HUKUM PERLINDUNGAN ANAK INDONESIA
Ta’zir adalah hukuman yang tidak ditentukan oleh
al- qur’an dan hadits yang berkaitan dengan kejahatan yang melanggar hak Allah
dan hak hamba yang berfungsi untuk memberi pelajaran kepada si terhukum dan
mencegahnya untuk tidak mengulangi kejahatan yang serupa, penentuan jenis
pidana ta’zir ini diserahkan sepenuhnya kepada penguasa sesuai dengan
kemaslahatan menusia itu sendiri. Bagi kelompok JIL, hal ini dijadikan bahan Ghazwul fikri.[1]
Menurut hemat penulis, diantara jenis-jenis hukuman ta’zir yang telah
penulis kemukakan dalam pembahasan, tidak semuanya relevan untuk diterapkan
pada zaman ini, seperti hukuman jilid dan salib karena dinilai sangat keji.
Sementara mengenai hukuman mati dalam ta’zir, penulis sependapat dengan ulama’
yang membolehkannya sepanjang sejalan dengan kemaslahatan manusia. Tetapi
secara umum, mengenai jenis hukuman yang relevan untuk jarimah ta;zir ini harus
disesuaikan dengan kejahatan yang dilakukan agar hukuman dalam suatu peraturan
bisa parallel. Untuk menentukan hukuman yang relevan dan efektif, harus
mempertimbangkan agar hukuman itu mengandung unsure pembalasan, perbaikan, dan
perlindungan terhadap korban (Theori neo-klasik), serta dilakukan penelitian
ilmiyah terlebih dahulu.
Hukum Pidana
Islam (Fiqh Jinayah) adalah segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau
perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang-orang mukallaf (orang yang dapat
dibebani kewajiban). Sebagai hasil
dari pemahaman atas dalil-dalil hukum yang rinci
dari Al-Qur'an dan Alhadist. Hukum pidana
Islam oleh sebagian orang selalu dikatakan sebagai hukum yang tidak manusiawi,[2]
kejam, melanggar hak asasi manusia dan tidak relevan dengan perkembangan zaman.
Akibatnya ketika lahir keinginan untuk menetapkan Syarah Islam terjadilah
perdebatan tentang hal itu. Empat belas abad
yang lalu, di saat Islam mencapai puncaknya, Rasulullah SAW telah
memprediksikan tentang nasib ummat Islam di masa yang akan datang, sebagai
tanda nubuwwah beliau. Nasib ummat Islam pada masa itu digambarkan oleh
Rasulullah seperti seonggok makanan yang diperebutkan oleh sekelompok manusia
yang lapar lagi rakus. Sebagaimana tersebut dalam sebuah hadits, bahwa "Beberapa
kelompok manusia akan memperebutkan kalian seperti halnya orang-orang rakus
yang memperebutkan hidangan." Seorang sahabat
bertanya, "Apakah karena kami waktu itu sedikit, ya Rasulullah?".
Jawab Rasul : "Tidak! Bahkan waktu
itu jumlah kalian sangat banyak. Akan tetapi kalian waktu itu seperti buih
lautan. Dan sungguh, rasa takut dan gentar telah hilang dari dada musuh kalian.
Dan bercokollah dalam dada kalian penyakit wahn", yaitu"Cinta dunia dan takut mati". Penyakit cinta dunia inilah yang diperalat
untuk ghazwul fikri.
Ghazwul fikri, [3]
dimulai ketika kaum salib dikalahkan dalam sembilan kali peperangan besar.
Ketika Islam mulai menyebar luas meliputi wilayah Persi, Syiria, Palestina,
Mesir dan menyeberang daratan Eropa sampai Spanyol, maka kaum Salibis, Yahudi
dan orang-orang Paganis segera membendung laju kebenaran Islam. Mereka khawatir
kalau Islam akan menerangi seluruh
belahan dunia. Maka kemudian digelarlah peperangan yang panjang yang dikenal dengan nama perang
Salib. Kemenangan kaum muslimin tersebut sangat spektakuler, sebab pasukan
muslim yang diterjunkan dalam pertempuran berjumlah sedikit. Pasukan Khalid bin
Walid, misalnya pernah berperang dengan jumlah tentara sekitar 3000 personil,
sedangkan pasukan Romawi yang dihadapi berjumlah 100.000 personil, hampir 1
berbanding 35. Allah memenangkan kaum muslimin dalam pertempuran tersebut.
Selama perang salib yang berlangsung
delapan periode itu, tak sekalipun ummat Islam dapat dikalahkan. Mereka
berpikir keras bagaimana cara mengalahkan ummat Islam. Setelah melalui
pemikiran yang panjang akhirnya mereka mengambil kesimpulan sebagaimana
dikemukakan oleh Gladstone, salah seorang perdana menteri Inggris, "Selama
Al Qur'an ini ada di tangan ummat Islam, tidak mungkin Eropa akan menguasai
dunia Timur". Kekalahan demi
kekalahan itu akhirnya menyebabkan kaum salib menciptakan taktik baru. Di bawah
pimpinan Raja Louis XI, taktik baru tersebut dilancarkan. Caranya bukan lagi
berupa penyerangan fisik, tetapi musuh-musuh Allah itu mengirimkan
putera-putera terbaik mereka ke kota Makkah untuk mempelajari Islam. Niat atau
motivasi mereka tentu bukan untuk mengamalkan, melainkan untuk
menghancurkannya.[4]
Pembelajaran dengan niat jahat itu ternyata berhasil. Tafsir dikuasai, hadist
dimengerti, khazanah ilmu Islam digali. Setelah sampai ke tahap dan tingkat
ahli, para pembelajar Islam dari kaum Salib ini kembali ke Eropa, lalu
membentuk semacam Research and Development (Penelitian dan Pengembangan)
untuk mengetahui kelemahan umat Islam agar dapat mereka kuasai.
Kesungguhan mereka dalam mempelajari Islam tersebut memang
luar biasa. Sampai dalam sejarah diungkapkan kisah seorang pembelajar Islam
dari kaum salib yang rela meninggalkan anak istrinya hanya untuk berkeliling ke
negeri-negeri Islam guna mencari kelemahan negeri-negeri Islam itu. Di antara
pernyataan mereka ialah, "Percuma kita berperang melawan umat Islam selama
mereka berpegang teguh pada agama mereka. Jika komitmen mereka terhadap agama
mereka kuat, kita tidak dapat berbuat apa-apa. Oleh karena itu, tugas kita
sebetulnya adalah menjauhkan umat Islam dari agama mereka, barulah kita mudah
mengalahkan mereka.” Gleed Stones, mantan perdana menteri Inggris, juga
mengatakan hal yang sama, "Percuma memerangi umat Islam, kita tidak akan
mampu menguasainya selama di dada pemuda-pemuda Islam al-Qur'an masih
bergelora. Tugas kita kini adalah mencabut al-Qur'an hati mereka, baru kita
akan menang dan menguasai mereka.” Dalam konteks ini, al-Qur'an mengatakan,
artinya, "Sesungguhnya setan
bagimu merupakan musuh, maka perlakukanlah ia sebagai musuh. Sesungguhnya setan
itu mengajak hizb (golongan) nya agar mereka menjadi penghuni
neraka."[5].
Setan yang merupakan musuh umat
Islam itu, menurut ayat 112 Surat
al-An'aam, bukan hanya
dari kalangan jin dan Iblis saja, tetapi juga dari kalangan manusia. Setan-setan
manusia itu dahulu menghina dan memojokkan serta melecehkan Islam melalui lisan
mereka dengan cara sederhana tanpa dukungan hasil teknologi canggih. Tetapi
kini, penghinaan dan pemojokan serta pelecehan itu dilakukan dengan pers yang
mempergunakan sarana modern yang super canggih. [6]
Dahulu, para penjajah menyerang kaum Muslimin dengan senjata
bom, meriam dan peluru, dan serangan itu hingga kini sebetulnya masih tetap
berlangsung. Hanya yang dijadikan sasaran bukan lagi jasmani, tetapi aqidah
umat Islam. Salah satu tujuannya ialah bagaimana agar fikrah (ideologi) atau
'aqidah umat Islam rusak. Tujuan paling akhir ialah bagaimana agar Islam dan
umat Islam berhasil dihabisi riwayatnya dari bumi Allah subhanahu wata’ala
ini. Serangan inilah yang disebut ghazwul fikr. Dan senjata yang
dipergunakan bukan lagi bom atau peluru tetapi surat kabar, majalah, radio,
televisi dan media-media massa lainnya, baik cetak mau pun elektronik, baik
yang sederhana, mau pun yang super canggih. Ditemukan beberapa jenis
Ghazwul Fikri:
1) Perusakan Akhlaq
Dengan berbagai media
musuh-musuh Islam melancarkan program-program yang bertujuan merusak akhlaq
generasi muslim. Mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, sampai yang tua renta
sekalipun. Di antara bentuk perusakan itu adalah lewat majalah-majalah,
televisi, serta musik. Dalam media-media tersebut selalu saja disuguhkan
penampilan tokoh-tokoh terkenal yang pola hidupnya jelas-jelas jauh dari
nilai-nilai Islam. Mulai dari cara berpakaian, gaya hidup dan ucapan-ucapan yang
mereka lontarkan. Dengan cara itu,
mereka telah berhasil membuat idola-idola baru yang gaya hidupnya jauh dari
adab Islam. Hasilnya betul-betul luar biasa, banyak generasi muda kita yang
tergiur dan mengidolakan mereka.
2) Perusakan pola pikir
Dengan
memanfaatkan media-media tersebut di atas, mereka juga sengaja menyajikan
berita yang tidak jelas kebenarannya, terutama yang berkenaan dengan kaum
muslimin. Seringkali mereka memojokkan posisi kaum muslim tanpa alasan yang
jelas. Mereka selalu memakai kata-kata; teroris, fundamentalis untuk mengatakan
para pejuang kaum muslimin yang gigih mempertahankan kemerdekaan negeri mereka
dari penguasaan penjajah yang zhalim dan melampui batas. Sementara itu di sisi lain mereka mendiamkan setiap aksi para
perusak, penindas, serta penjajah yang sejalan dengan mereka; seperti Israel,
Atheis Rusia, Fundamentalis Hindu India, Serbia, serta yang lain-lainnya.
Apa-apa yang sampai kepada kaum muslimin di negeri-negeri lain adalah sesuatu
yang benar-benar jauh dari realitas. Bahkan, sengaja diputarbalikkan dari
kenyataan yang sesungguhnya.
3) Sekulerisasi Pendidikan
Hampir di
seluruh negeri muslim telah berdiri model pendidikan sekolah yang lepas dari
nilai-nilai keagamaan. Mereka sengaja memisahkan antara agama dengan ilmu
pengetahuan di sekolah. Sehingga muncullah generasi-generasi terdidik yang jauh
dari agamanya. Sekolah macam inilah yang mereka dirikan di bumi Islam pada masa
penjajahan (imperialisme), untuk menghancurkan Islam dari dalam tubuhnya
sendiri.
Ada beberapa
kelompok besar manusia yang dalam perjalanan sejarah selalu mengibarkan bendera
permusuhan dan perang terhadap kaum muslimin. Adapun kelompok-kelompok tersebut
adalah:
1) Orang-Orang Yahudi dan Nashrani
"Orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak akan pernah rela terhadap kalian, sehingga kalian mengikuti jejak mereka..." [7]
"Orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak akan pernah rela terhadap kalian, sehingga kalian mengikuti jejak mereka..." [7]
2) Orang-orang Musyrik
"Sesungguhnya telah kalian dapati orang-orang yang paling besar permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik...."[8]
"Sesungguhnya telah kalian dapati orang-orang yang paling besar permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik...."[8]
3) Orang-orang Munafik
"Apabila orang-orang munafiq datang kepadamu, mereka berkata: 'Kami mengakui, bahwa kamu benar-benar Rasulullah'. Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya', dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafiq itu benar-benar orang pendusta"[9]
"Orang-orang munafiq laki-laki dan perempuan, sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh berbuat yang mungkar dan melarang yang ma'ruf dan menggenggam tangannya (kikir). Mereka telah melupakan Allah, maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafiq itulah orang-orang yang fasik" [10]
"Apabila orang-orang munafiq datang kepadamu, mereka berkata: 'Kami mengakui, bahwa kamu benar-benar Rasulullah'. Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya', dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafiq itu benar-benar orang pendusta"[9]
"Orang-orang munafiq laki-laki dan perempuan, sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh berbuat yang mungkar dan melarang yang ma'ruf dan menggenggam tangannya (kikir). Mereka telah melupakan Allah, maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafiq itulah orang-orang yang fasik" [10]
Meskipun
mereka (musuh-musuh Islam) itu nampaknya berbeda, tetapi sesungguhnya di dalam
memerangi kaum muslimin mereka bersatu padu melakukan konspirasi
(persekongkolan) yang berskala internasional.
Mereka berusaha tanpa mengenal lelah dan berputus asa. Al-Quran menyatakan"Dan tiada henti-hentinya mereka selalu
memerangi kalian sehingga kalian murtad dari agama kalian, jika mereka
mampu...."[11]
Keuntungan Ghazwul Fikri bagi dunia Barat ialah:
1)
Dana yang dibutuhkan tidak sebesar dana yang diperlukan untuk perang fisik.
2)
Sasaran ghazwul fikri tidak terbatas.
3)
Serangannnya dapat mengenai siapa saja, dimana saja dan kapan saja.
4)
Tidak ada korban dari pihak penyerang.
5)
Sasaran yang diserang tidak merasakan bahwa sesungguhnya dirinya dalam kondisi
diserang.
6)
Dampak yang dihasilkan sangat fatal dan berjangka panjang.
7)
Efektif dan efisien.[12]
Yang
menjadi sasaran ghazwul Fikri adalah
pola pikir dan akhlaq. Apabila seseorang sering menerima pola pikir sekuler,
maka iapun akan berpikir ala sekuler. Bila sesorang sering dicekoki paham
komunis , materialis, fasis, marksis, liberalis, kapitalis atau yang lainnya,
maka merekapun akan berpikir dari sudut pandang paham tersebut. Sementara itu dalam hal akhlaq, boleh
jadi pada awalnya seseorang menolak terhadap suatu tata cara kehidupan
tertentu, namun karena tiap kali ia selalu mengkonsumsi tata cara tersebut,
maka lama kelamaan akan timbul perubahan dalam dirinya. Seperti contohnya
adanya pergaulan bebas antara wanita dan pria yang bukan muhrim, seperti terlihat dalam kehidupan
sehari-hari. Kmudian alat Ghazwul Fikri ialah:
1) Membius pandangan mata, dengan banyaknya disuguhkan wanita-wanita dari
kalangan artis dan pelacur. Mereka menjadikan ruang redaksi bagaikan rumah
bordil yang menggelar zina mata massal.
2) Pameran aurat di saluran televisi yang berlomba-lomba menyajikan
artis-artis, baik dengan pakaian biasa, ketat, pakaian renang, sampai yang
telanjang. Penonton diajak untuk tidak punya rasa malu, hilang iman, mengikuti
panggilan nafsu, dan menghidupkan dunia mimpi.[13]
3) Membudayakan ikhtilat. Sekumpulan
laki-laki dan wanita yang bukan muhrim, biasa bergumul jadi satu tanpa batas.
Tayangan semacam ini tak ubahnya mendekati zina, bahkan membuka transaksi zina.[14]
4) Membudayakan khalwat. Kisah-kisah
percintaan bertebaran di berbagai acara. Frekuensi suguhan kisah-kisah pacaran
dan kencan makin melegitimasi budaya khalwat.
5) Membudayakan tabarruj. Banyak pelaku di layar kaca yang mempertontonkan bagian
tubuhnya yang seharusnya ditutupi, untuk dinikmati para pemirsa.
Demikianlah bahaya ghazwul fikri. Ia akan menyeret
seseorang ke dalam jurang kesesatan dan kekafiran tanpa terasa. Ibaratnya
seutas rambut yang dicelupkan ke dalam adonan roti, kemudian ditarik dari
adonan tersebut. Tak akan ada sedikitpun adonan roti yang menempel pada rambut.
Rambut itu keluar dari adonan dengan halus sekali tanpa terasa. Demikianlah, seseorang
hanya tahu bahwa ternyata dirinya sudah berada dalam kesesatan, tanpa terasa! Apakah seorang ibu yang meninggalkan anaknya
begitu saja dan tidak merawat,
dengan kasih sayang disebut kasih sepanjang jalan? Apakah orang tua yang
menjadi germo bagi anaknya disebut orang tua yang mencintai dan paling tahu
kebutuhan anaknya? Apakah orang tua yang mengurung anaknya di rumah dan tidak
boleh bermain hanya boleh belajar dalam kamar disebut orang tua yang memahami
anak?
Untuk
meganalisis hal ini, ada kaidah-kaidah fiqih,[15] dalam khazanah keilmuan qawaid al
fiqhiyyah pada dasarnya terbagi dalam dua kategori. Pertama adalah
kaidah fiqih yang hanya diperuntukkan untuk masalah individu dan masalah ibadah
dalam arti hubungan vertikal antara setiap individu dengan Allah. Kedua, kaidah
fiqih yang memang sengaja dimunculkan untuk menyelesaikan beberapa masalah
terkait dengan hubungan yang bersifat horizontal antar manusia itu sendiri,
selain memang di dalamnya terdapat nilai-nilai hubungan vertikal karena
beberapa obyek yang menjadi kajian adalah hukum Islam yang tentu saja itu semua
bersumber dari Allah.
Dalam analisis
mengenai kaidah ini, terdapat dua kata yang saling terkait, yang pertama yaitu tasharrul
imam (kebijakan pemimpimn) dan yang kedua adalah al maslahat (maslahat).
Tetapi dari dua hal tersebut terdapat kata kunci yang menentukan arah dari
konsep kebijakan yersebut, yaitu maslahat..Oleh karena itu, hal pokok yang
menjadi kajian dalam permasalahan ini adalah bagaimana sebenarnya konsep
maslahat, dimana maslahat inilah yang nantinya akan membawa dan mengantarkan
kepada sebuah kebijakan yang akan dibuat oleh seorang pemimpin.
Ketika memperhatikan
kaidah tasharruful imam ‘ala al ra’iyyah manutun bi al malahat yang
berarti bahwa kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung pada
kemaslahatan, maka ada dua kata yang tidak hanya memerikan makna secara retorik
saja, tetapi dua kata yang sekaligus memberikan gambaran dan batasan serta
suatu konsep yang dimaksud. Dua kata tersebut adalah tasharruful imam (kebijakan
dari seorang pemimpin) dan al maslahat (kemaslahatan). Maka dalam hal
ini akan lebih banyak mengkaji tentang bagaimana konsep kemaslahatan yang akan
dijadikan sebagai landasan tehadap pembuatan suatu kebijakan.
Kaidah ushul fiqih yang menyatakan Tasharruful Imam ‘Ala al- Ra’iyyati Manutun Bi al- Maslahah .Kaidah ini
merupakan kaidah yang mempunyai aspek horizontal, karena dalam implementasinya
memerlukan hubungan antara seorang pemimpin dengan masyarakat atau rakyat yang
dipimpin. Perlu diketahui makna dari kaidah tersebut, kaidah yang berbunyi tasharruful
imam ‘ala al ra’iyyati manuutun bi al maslahat mempunyai pengertian retorik
(harfiyyah) kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung
pada maslahat.
Lebih jauh dari
sekedar pengetian retorik tersebut, maka ada pengertian yang lebih luas adalah
segala aspek kehidupan yang meliputi kepentingan rakyat dalam suatu kelompok
atau golongan tertentu harus ditetapkan dengan mekanisme syura (musyawarah).
Hal ini sebagai terjemahan dari pernyataan kaidah tesebut yang menekankan pada
aspek kemaslahatan, karena metode musyawarah adalah salah satu bentu yang riil
untuk mencapai dan medapatkan suatu kemaslahatan untuk bersama. Hal ini yang
juga ditekankan dalam firman Allah.[16]
Artinya: Bagi orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan
mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara
mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada
mereka. Sebuah contoh yang bisa dijadikan sebagai referensi bagi berlakunya
asas tersebut adalah apa yang dikatakan oleh Umar bin Khattab yang diriwayatkan
oleh Sa’in bin Mansur; “sungguh
aku menempatkan diri dalam mengurus harta Allah seperti kedudukan seorang wali
anak yatim, jika aku membutuhkan maka aku mengambil daripadanya, jika aku dalam
kemudahan aku mengembalikannya, dan jika aku berkecukupan maka aku menjauhinya.
Kaidah ini menegaskan bahwa seorang pemimpin harus
mengedepankan aspek kemaslahatan rakyat bukan mengikuti keinginan hawa
nafsunya, atau keinginginan keluarganya atau kelompoknya. Kaidah ini juga
diperkuat dengan QS. An-Nisa’ (4) : 58 yang menyatakan bahwa Allah mewajibkan manusia, menyampaikan amanah
dan berkewajiban berlaku adil. Maksud dari
ayat 58 ini Allah SWT menerangkan bahwa melaksanakan amanat dan tanggung jawab
adalah perintah Allah kepada seluruh hamba-Nya,
termasuk yang diperintahkan juga adalah menghukum dengan adil antara semua
manusia dan Allah adalah sebaik-baik Pemberi pengajaran akan keadilan itu. Maka
hendaklah orang beriman menjadikan keadilan Allah sebagai standar, bukan yang
lainnya di dalam melaksanakan hukum, sementara Allah tetap mengawasi dan
memperhatikan bagaimana melaksanakan
perintahNya, firman Allah: “Sesungguhnya Allah sebaik-baik yang memberi
pengajaran kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha
melihat”.
Yang dimaksud dengan amanat di sini
ialah tugas-tugas yang telah dipercayakan kepada manusia sebagai khalifah.
Termasuk menetapkan hukum di antara manusia supaya menetapkan keputusan dengan
adil dengan berpegang teguh kepada kitab Allah dan sunnah Rasul. Dalam cakupan yang lebih luas, kata amanat
bisa berarti kesanggupan melaksanakan dan menegakkan dien, sebagaimana firman
Allah dalam Surat Al-Ahzab:72.Ayat tersebut berbicara mengenai pemberian amanat kepada
orang yang memang layak untuk menerima amanat tersebut dan juga ayat tersebut
memberikan penekanan terhadap pentingnya penegakan hukum dalam satu kalangan
masyarakat.[17]
Hal ini menjadi satu bagian penting dalam pembahasan kemaslahatan yang hendak
dicapai dalam suatu lingkungan masyarakat.[18]
Mengenai keadilan[19],
keadilan dua kacam, pertama adalah keadilan distributive
dan keadilan commutative. Keadilan
distributive memberikan gambaran untuk memberikan keadilan sesuai dengan haknya
masing-masing, dengan kata lain kemaslahatan fardiyyah dan bukan kemaslahatan
secara umum. Tapi keadilan commutative memberikan
keadilan secara umum kepada siapa saja. Salah satu prinsip keadilan yang
merupakan bagian dari kemaskahatan menajdi satu teori yang dianut oleh Islam
dalam menentukan kebijakan hukum Islam, bahwa Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil.
Salah satu contoh lain dijelaskan dalam kitab al -asybah wa al- nadhair. Syekh Imam Jalaluddin Abdurrrahman bin Abi Bakr As- Suyuti mengungkapkan contoh yang sederhana, bahwa dalam suatu negara
apabila ada keinginan untuk menghilangkan tentara dalam anggaran program
kenegaraan dengan alasan yang dibolehkan maka hal itu diperbolehkan, tetapi
kalau sekiranya alasan yang akan digunakan sebagai landasan peniadaan hal
tesebut tidak diperbolehkan atau bahkan tidak dalam kategori penting dan
dharurat maka peniadaan tersebut tidak diperbolehkan. Kemudian contoh yang lain
adalah soal pembagian zakat, seorang imam atau pemimpin yang masih dalam
keadaan mampu tidak boleh mengutamakan dirinya dalam menerima zakat dari pada
rakyat yang notabene lebih memutuhkan.[20]
Dalam konteks kontemporer, kaidah tersebut tentunya tidak
boleh terlepas dari jiwa seorang pemimpin. Oleh karena itulah setiap kebijakan
yang mengandung manfaat dan maslahat bagi rakyat maka itulah yang direncanakan,
dilaksanakan, diorganisasikan, dan dinilai/ dievaluasi kemajuannya. Sebaliknya
kebojakan yang mendatangkan mudharat dan mafsadah bagi rakyat, itlah yang harus
disingkirkan dan dijauhi. Dalam upaya-upaya pemabangunan misalnya, membuat
irigasi untuk petani, membuka laangan kerja yang padat karya, melindungi huta
lindung, menjaga ligkungan, mengangkat pegawai yang benar-benar amanah dan
professional dan lain sebagainya.[21]
Dalam mendukung kaidah tersebut,
tentu diperlukan kaidah pelengkap yang bisa mendukung dan sejalan dalam
pemaknaan terhadap kaidah tersebut. Diantara kaidah-kaidah yang diperkukan
untuk mendukung kaidah tersebut adalah kaidah yang berbunyi; ikhtiyarul
amstal fal alstal (memilih yang representative dan lebih representative
lgi). Kaidah ini memberikan gambaran kepada sikap yang harus diambil dan
diimplementasikan oleh seorang pemimpin dalam membuat sebuah kebijakan, yaitu
harus dilakukan
dan dipilih mana yang representative untuk bisa dilaksanakan terlebih dahulu.
Artinya memang kebutuhan masyarakat yang sedemikian banyak, mana yang lebih
representative untuk dilaksanakan dan diprioritaskan lebih dulu.
Di samping
mengenai substansi yang hendak dicapai dari sebuah kemaslahatan yang ada, maka
pada dasarnya terdapat factor lain yang memberikan kontribusi terhadap
itercapainya sebuah maslahat. Diantaranya adalah factor mekanisme system
kekuasaan dan jalannya pemerintaha yang sistematis. Misalnya dalam fiqh
siyasah, terdapat pembagian kekuasaan sejak zaman kekhalifahan.[22]
Pembagian kekuasaan itu terus berkembang maka kemudian muncul berbagai lembaga
kekuasaan dalam sebuah Negara. Ada khalifah (presiden)sebagai lembaga kekuasaan
eksekutif (al- hai’ah al- tanfidhiyyah), dan lembaga legislative atau alh al- halli wa al- aqdi (al- hai’ah al- tasyri’iyah) dan lembaga
yudikatif (al- hai’ah al- qadhaiyyah), bahkan lembaga pengawasan (al -hai’ah al- muraqabah).
Mengenai
permasalahan ini, maka dalam kaidah hukum Islam terdapat kaidah yang bebrunyi al
wilayah al khassah aqwa min al wilayah al ‘ammah (kekuasaan yang lebih
khusus lebih kuat (kedudukannya) dari pada kekuasaan umum). Maksud kaidah
tersebut adalah bahwa lembaga-lembaga yang khusus lebih kuat kekuasaannya
daripada lembaga-lembaga yang umum. Contohnya: camat lebih kuat kekuasaanya
dalam wilayahnya daripada gubernur , wali nasab lebih kuar kekuasaannya
terhadap anak-anaknya dari pada pengadilan agama dan seterusnya. Pada intinya
dalam kaidah inti ini adalah bahwa, segala sesuatu yang menyangkut kepentingan
umum, maka harus dicarikan solusi terbaiknya demi kemaslahatan. Solusi terbaik
yang dapat ditawarkan bisa meliputi substansi dari permasalahan yang sedang
dibahas dan mekanisme dalam pelaksanaannya. Ibarata dalam sebuah system hukum
maka ada hukum formil dan hukum materiil yang tidak boleh lepas salah satunya.
Lalu kemudian pertanyaannya adalah, maslahat yang seperti apa yang mengikat
seorang pemimpin untuk selalu memasukkan konsep tersebut dalam pertimbangan
utama atau prioritas utama dalam mengambil setiap kebijakan?
Perlunya, analisis konsep maslahat ,menurut
beberapa pandangan dan konsep mengenai maslahat yang ada sebenarnya telah
disampaikan oleh banyak dari kalangan para pakar di bidangnya, tetapi karena
batasan yang ada maka dalam kesempatan kali ini kajian akan lebih difokuskan
pada salah satu konsep atau teori tentang maslahat yang disampaikan dan
dikemukakan oleh Najmuddin At- Tufi. Diantara beberapa pandangan
beliau tentang konsep maslahata adalah sebagai berikut:
1.Pengertian Maslahat.
Dalam pandangan
at-Tufi Bahasan lafadz maslahat berdasarkan wazan
maf'alatun dari kata shalah. Artinya,
bentuk sesuatu dibuat sedemikian rupa sesuai dengan kegunaannya. Misalnya, pena
dibuat sedemikian rupa agar dapat digunakan untuk menulis. Pedang dibikin
sedemikian rupa sehingga bisa dipakai untuk memenggal. Sedangkan definisi
maslahat adalah sarana yng menyebabkan adanya maslahat dan manfaat. Misalnya,
perdagangan adalah sarana untuk mencapai keuntungan. Pengertian Tasharruful Imam ‘Ala al- Ra’iyah Manutun
Bi al- Maslahah
Berdasarkan syari'at adalah sesuatu yang menjadi penyebab
untuk sampai kepada maksud syar'i, baik berupa ibadat maupun adat. Kemudian,
maslahat ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu perbuatan yang memang merupakan
kehendak syari', yakni ibadat dan apa yang dimaksudkan untuk kemanfaatan semua
umat manusia dan tatanan kehidupan, seperti adat istiadat.[23]
2.Bidang hukum berlakunya maslahat
Mengenai lapangan hukum mu'amalat
dan yang sejenisnya, dalil yang diikuti adalah maslahat. Maslahat dan
dalil-dalil syari'at lainnya, terkadang senada dan terkadang bertentangan. Jika
senada, memang hal itu baik seperti senadanya antara nas, ijma' dan maslahat
mengenai ketetapan hukum daruri yang berjumlah lima. Hukum-hukum kulli yang dharuri itu ialah dibunuhnya orang yang membunuh, dibunuhnya
orang yang murtad, pencuri dipotong tangannya, peminum dihukum dera dan
orang yang menuduh orang baik berbuat zina harus dijatuhi hukuman hadd,
dan contoh-contoh lain yang serupa dalam hal dalil-dalil syari'at senada dengan
maslahat. Jika ternyata tidak senada dan bertentangan, jika ada kemungkinan
dipadukan harus dilakukan perpaduan antara nas, ijma' dan maslahat. Misalnya,
jika terdapat sebagian dalil yang mempunyai kemiripan dengan maslahat,
lakukanlah antara dalil dan maslahat itu sesuatu pemaduan. Syaratnya, tidak
boleh mempermainkan dalil, dan maslahat yang dituju harus benar-benar hakiki.
Jika ternyata di antara keduanya tidak bisa dipadukan, yang didahulukan adalah
maslahat atas dalil-dalil syari'at lainnya. Sebab, Rasulullah saw. bersabda, la
darara wa la dirara. Makna hadis ini khusus dimaksudkan untuk menghilangkan
mudarat untuk memelihara maslahat yang menjadi tujuan utama hukum syari'at,
sehingga wajib didahulukan. Sedangkan dalil-dalil lainnya, tidak ubahnya
sebagai sarana. Jadi, tujuan harus didahulukan daripada sarana.
At-Tufi
menganggap bahwa maslahat hanya ada pada masalah-masalah yang berkaitan dengan
mu'amalat dan yang sejenis - bukan pada masalah-masalah yang berhubungan dengan
ibadat atau yang serupa. Sebab, masalah ibadat hanya hak Syari'. Tidak mungkin
seseorang mengetahui hakekat yang terkandung di dalam ibadat, baik kualitas
maupun kuantitas, waktu atau tempat, kecuali hanya berdasarkan petujuk resmi
Syari'. Kewajiban hamba hanyalah menjalankan apa saja yang telah diperintahkan
oleh Tuhannya. Sebab, seseorang pembantu tidak akan dikatakan sebagai seorang
yang taat jika tidak menjalankan perintah yang telah diucapkan oleh tuannya,
atau mengerjakan apa saja yang sudah menjadi tugasnya. Demikian halnya dalam
masalah ibadat. Karenanya, ketika para filosof telah mulai mempertuhankan akal,
dan mulai menolak syari'at, Allah swt. amat murka terhadap mereka. Mereka
tersesat jauh dari kebenaran. Bahkan mereka sangat menyesatkan.[24]
Berbeda
halnya dengan kaum mukallaf, hak-hak mereka di dalam memutuskan hukum adalah
perpaduan antara siyasah dan syari'ah yang sengaja oleh pencipta dicanangkan
untuk maslahat umat manusia. Itulah yang menjadi ukuran berpikir mereka. Kami tidak mengatakan
bahwa syari'at lebih mengetahui maslahat-maslahat manusia karena dalil-dalilnya
harus diambil dan diamalkan sesuai dengan pengertiannya. [25] Maslahat termasuk salah satu dalil syari'at, bahkan boleh
dikatakan sebagai dalil terkuat dan teristimewa. Karenanya kami lebih
mendahulukan maslahat.
Berdasarkan
uraian di atas, jelaslah menurut at-Tufi bahwa maslahat-maslahat yang tidak
dapat diketahui adalah maslahat yang terkandung di dalam masalah ibadat. Namun,
mengenai maslahat yang bertalian dengan kehidupan sosial kaum mukallaf dan
hak-hak mereka, hal ini dapat diketahui oleh mereka melalui akal pikiran
mereka. Dengan kata lain, jika kami tidak melihat dalil syari'at yang tidak
menyebutkan maslahatnya, kami berpegang bahwa syari'at telah membolehkan kami
untuk mencari maslahat sendiri.
Apakah hukuman
fisik bagi anak-anak, mengandung kemaslahatan? Kemaslahatan
membawa manfaat bagi kehidupan
remaja, sedangkan mafsadah mengakibatkan mudharat
bagi kehidupan.[26]
Apa yang disebut dengan maslahat perlu mendapat kriteria dan batasan-batasan
tertentu sehingga keberadaan maslahat tidak dijadikan sebagai satu “tempat berlindung” untuk bisa melegalisasi permasalahan-permaslahan
yang sebenarnya tidak masuk dalam kategori maslahat. Menurut jumhur ulama’,
untuk kriteria maslahat apabila dilihat
akan muncul sebagai beikut:
1. kemaslahatan
itu harus diukur kesesuaiannya dengan maqashid al syariah, dalil-dalil kulli,
(general dari Al Qur’an dan Al-
Sunnah), semangat ajaran, dan kaidah kulliyah hukum Islam.
2. kemaslahatan
itu harus meyakinkan, dalam arti harus berdasarkan penelitian yang akurat,
hinga tidak meragukan lagi.
3. kemaslahatan
itu harus memberi kemanfaatan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, bukan
sebagian masyarakat kecil.
4. kemaslahatan
itu memberikan kemudahan, bukan mendatangkan kesulitan dalam arti dapat
dilaksanakan.[27]
a.Maslahat dan Batasan- Batasannya
Para ahli ushul
fiqh membagi maslahat menjadi tiga macam, yaitu: maslahah mu'tabarah,
maslahah mulghah dan maslahah mursalah. Maslahah mu'tabarah adalah maslahat yang terdapat pada hukum yang
ditetapkan oleh nash, seperti
maslahat pada hukum qishash. Hukum ini ditetapkan oleh QS. Al-Baqarah ayat 178 dan 179. Hikmah dari maslahat yang
ditimbulkan oleh qishash ialah melestarikan hidup manusia. Begitu juga
maslahat yang terdapat pada hukum potong tangan pencuri dan maslahat yang ada
pada hukum Had al-qadzaf (hukuman seseorang yang menuduh berzina).
Semua maslahat
ini telah diterangkan dalam Nash Al-Qur'an. Jadi, memotong tangan pencuri itu
sendiri merupakan maslahat dan ia disebut maslahat
mu'tabarah karena maslahat itu bersumber dari syariah. Sedangkan maslahah mulghah
adalah maslahat yang dianggap invalid oleh syariah atau dengan kata lain
bahwa maslahat itu merupakan maslahat yang keberadaanya diingkari oleh syariah,
seperti maslahat zina. Kenikmatan yang didapat dari zina, secara material bisa
disebut maslahah tetapi ia dibatalkan oleh sya-riah melalui nash-nash yang ada.
Demikian juga maslahat riba, minum arak dan lain sebagainya.
Adapun maslahah mursalah
ialah maslahat yang keberadaanya secara langsung tidak ditetapkan oleh nash
tetapi sekaligus juga tidak ada nash yang dengan jelas membatalkannya. Seperti
keharusan untuk membuat akte nikah bagi kedua pasangan yang melakukan akad
nikah. Karena tanpa akte nikah, hakim atau pemerintah tidak menerima gugatan
terhadap hal-hal yang berkaitan dengan pernikahan. Akte nikah dalam hal ini
disebut maslahat mursalah. Contoh lain ialah pengumpulan Al-Qur'an oleh Abu
Bakar yang kemudian dibukukan oleh penerusnya, Utsman.
Di antara ketiga
maslahat ini hanya maslahat mu'tabarah,[28] saja yang
disepakati ulama sebagai maslahat yang dapat dipakai untuk menetapkan suatu
hukum. Sedangkan dalam maslahat mursalah, para ulama terbagi dalam tiga
golongan. Golongan pertama berpendapat bahwa maslahat mursalah tidak boleh
menjadi dalil (argumentasi) suatu hukum. Golongan kedua berpendapat bahwa maslahat mursalah boleh dijadikan dalil
suatu hukum. Sedangkan golongan ketiga berpendapat bahwa maslahat mursalah
boleh dijadikan sebagai dalil dari suatu hukum dengan syarat bahwa suatu
maslahat terkandung dalam maslahat dharuriat (primer), qhathiyah (pasti)
dan kulliyah (menyeluruh).[29]
Yang dimaksud dharuriat ialah maslahat yang masuk
dalam bagian maqashid syariah yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan
harta. Dan yang dimaksud dengan qhatiyyah ialah maslahat yang terjadi dengan
pasti dan tanpa diragukan lagi. Sedangkan maslahat kulliyah ialah suatu
maslahat yang luas dan menyeluruh daya jangkaunya. Contoh
dari maslahah mursalah yang dharuriah
qath'iyah kulliyah ini ialah suatu
kasus di mana pasukan kafir mengepung wilayah Islam. Untuk berlindung dari
serangan tentara Islam, mereka menjadikan para tawanan muslim sebagai perisai
hidup. Dalam kasus seperti ini, membunuh para tawanan muslim yang dijadikan
perisai hidup disebut maslahah mursalah. Kasus ini telah memenuhi tiga kriteria
yang disyaratkan di atas.
Kriteria dharurah dalam kasus tersebut adalah
memelihara agama. Penyerangan orang kafir terhadap negara Islam sudah barang
tentu akan mengganggu eksistensi agama dan umat Islam. Kriteria qath'iyyah juga terdapat dalam kasus
ini, yaitu perkiraan bahwa seandainya para tawanan muslim dan tentara kafir
tidak dibunuh, sudah pasti pasukan kafir tersebut akan menguasai semua wilayah
Islam. Dan yang terakhir adalah kriteria kulliyah, yaitu seandainya para
tawanan muslim tidak dibunuh, maka justru ketika berhasil mengu-asai wilayah
Islam, orang-orang kafir itu akan membunuh semua umat Islam termasuk para
tawanan muslim tadi.[30]
Untuk mengetahui kapan suatu maslahat itu dianggap valid (mu'tabarah) dan bisa dijadikan landasan suatu hukum, ada lima
syarat atau batasan yang bisa dijadikan titik tolak. Kelima syarat tersebut
ialah:
1. Maslahat
tidak bertentangan dengan maqasid syariah.
2. Maslahat
tidak bertentangan dengan nash Al-Quran.
3. Maslahah
tidak bertentangan hadits Nabi.
4. Maslahat
tidak bertentangan dengan qiyas (analogi).
5. Maslahat
tidak bertentangan dengan maslahat lainnya yang lebih penting atau maslahat
yang sejajar dengannya.
Kelima syarat
ini merupakan batasan atau standar yang digunakan untuk membedakan antara maslahah mu'tabarah (yang dapat
dijadikan dasar hukum) dan maslahah mulghah (yang tidak dapat dijadikan dasar
hukum).(7 Seorang mujtahid harus benar-benar menguasai dan mendalami
batasan-batasan di atas. Dan di sinilah tingkat kejeniusan seorang mujtahid
diuji. Peta penguasaannya terhadap nash dapat diukur dari sejauh mana ia bisa
menggunakan batasan-batasan itu dalam beristinbath sebagaimana mestinya.
Kesimpulan para ahli ushul fiqh yang mengatakan bahwa setiap
hukum pasti akan berujung pada suatu maslahat.[31]
Hukum memang tidak pernah lepas dari maslahat, tetapi maslahat tidaklah
merupakan dasar hukum yang berdiri sendiri. Kedudukan maslahat tidak seperti
kedudukan Al-Qur’an, Sunnah Nabawiyah, ijma’ dan qiyas sebagai dalil mustaqil
(berdiri sendiri). Mengapa? Karena maslahat pada dasarnya hanyalah merupakan
makna umum yang secara implisit berada dibalik hukum-hukum juz’iy (parsial). Sementara hukum-hukum juz’iy itu sendiri tidak
akan ada tanpa melalui proses istinbath.
Sedangkan yang
dimaksud dengan istinbath ialah proses pengambilan hukum dari dalil-dalil
syar'i. Maka, secara simpel bisa dikatakan bahwa maslahat merupakan ekspresi
dari hukum dan hukum merupakan ekspresi dari nash (dalil syara'). Karenanya,
wujud dan keberadaan maslahat sangat tergantung pada dalil-dalil syara'. Untuk
itu maslahat tidak bisa menjadi dasar hukum yang berdiri sendiri sebagaimana
halnya dalil syara lainnya. Lebih dari itu, keberadaan maslahat dalam
hukum-hukum syari'at itu ditemukan lewat istiqra' terhadap semua hukum far'iyah. Dari istiqra' tersebut, para ulama mendapatkan suatu kesimpulan bahwa
semua hukum syariat pasti akan kembali kepada satu tujuan yaitu menjaga
kemaslahatan umat manusia di dunia dan akherat.
b. Kaidah Fiqih dalam Realitas Kontemporer
Penerapan teori maslahat at-Tufi dalam realitas kontemporer adalah hadits mengenai dilarangnya wanita untuk menjadi pemimpin negara (Lan
yufliha wallau Amrahum Imroatan). Mengenai hadits
Abu Bakrah di atas, dari segi metodologi kritik hadis, ia adalah sahih. Pertanyaan yang harus dijawab
ialah bagaimana kita harus memahami hadits.
Di sini ditawarkan satu pendapat bahwa hadis-hadis dapat dikategorikan sebagai
termasuk umurud dun-ya dan keuniversalannya
tidak didukung oleh kenyataan harus ditafsirkan menurut semangatnya dan dalam
konteks sosio-historisnya. Kalau tidak ia akan menjadi kering, memosil dan
tidak bermakna. Untuk itu jika preseden-preseden historis terutama dari
kebijaksanaan-kebijaksanaan Umar seperti mengenai masalah kharaj di mana ia mengubah praktek Rasulullah yang memberikan
tanah-tanah kepada para prajurit yang mendapatkannya yang kemudian oleh Umar
praktek itu dirubah di mana tanah-tanah tidak ia berikan kepada prajurit. Umar
tidak memahami hadis-hadis Rasulullah dalam arti harfiyahnya melainkan dalam
semangatnya. Dengan kalimat yang lebih teknis, hadis-hadis itu harus dipahami
menurut illatnya, sekalipun illat-illat itu harus dicari melalui ijtihad
(artinya tidak dinaskan).
Hadis-hadis
semacam ini cukup banyak terutama dalam masalah kemasyarakatan dan politik
(mu'amalah), seperti hadis al-Aimmah min Quraisy yang oleh Ibn Khaldun
dipahami melalui teori sejarahnya yang terkenal itu, yaitu teori asabiyah.
Secara singkat menurut Ibn Khaldun Nabi menyerahkan imamah kepada kaum Quraisy
karena pada waktu itu hanya merekalah yang memiliki asabiyah yang diperlukan
bagi kelangsungan sebuah tata politik. Teori Ibn Khaldun ini dapat diperluas
lagi dengan menyatakan : karena orang-orang Quraisylah yang memiliki pengalaman
dan pengetahuan tentang masalah-masalah politik dan ekonomi waktu itu wajarlah
Rasul menyerahkan imamah kepada mereka.
Hadis Abu
Bakrah di atas pun kiranya dapat ditafsirkan dengan cara yang sama. Pada zaman
Rasulullah wanita tidak begitu beruntung, bahkan anak wanita yang lahir dikubur
hidup-hidup. Rasulullah sendiri berjuang untuk membebaskan kaum wanita. Walapun
beliau telah banyak berhasil, suatu struktur sosial yang sudah begitu kokoh dan
melembaga tidak dapat dirubah total seratus persen dalam waktu singkat, seperti
lembaga perbudakan misalnya. Bahkan sampai beberapa abad kemudian posisi kaum
wanita belum begitu menguntungkan. Mereka dikurung di rumah dengan sangat
ketat. Apabila seorang lelaki hendak meninggalkannya, ia mengutus seorang
wanita pemantau untuk melihat dan menyelidiki kelayakannya, sedangkan si lelaki
itu tidak akan pernah dapat melihatnya sebelum akad nikah. Wanita-wanita itu
hanya dapat dipandang oleh mata keluarga mereka. Dari segi pendidikan mereka
juga kurang beruntung.
Kaum
lelaki malah lebih tertarik untuk mendidik dan mengajar budak karena faktor
komersial, sebab budak yang terampil terutama pandai tulis baca akan mahal
harganya. Hanya kalangan amat terbatas saja yang mendidik wanita. Pendek kata
wanita tidak keluar dari tembok-tembok rumah suami atau orang tuanya. Artinya
mereka tidak tahu menahu mengenai urusan masyarakat. Jadi dengan demikian
wajarlah Rasulullah menyatakan bahwa suatu kaum yang menyerahkan urusannya
kepada orang yang tidak banyak memahami soal-soal kemasyarakatan akan mengalami
kegagalan.
Akan tetapi
sekarang situasi telah jauh berubah dan wanita telah banyak yang pandai dan
terlibat secara inten dalam berbagai lapangan kehidupan. Jadi mereka sudah tahu
seluk beluk masalah. Karena menurut teori hukum Islam, hukum itu berlaku
menurut ada-tidaknya illatnya, maka dapatlah dikatakan bahwa tidak melanggar
hukum Islam, wanita yang karena keca-kapannya menjadi kepala pemerintahan, karena
illat mengapa Rasulullah dulu melarang telah hilang. Dengan mempergunakan
pandangan at-Tufi nampak hadis yang tidak memperbolehkan wanita menjadi
pemimpin negara tersebut bersifat kondisional, artinya larangan Nabi dalam
hadis tersebut dilatarbelakangi olah adat Arab dan sekitarnya, sehingga bila
adat berubah, illat larangan hilang; syarat-syarat yang ditunjuk dalam nas
terpenuhi dan situasi tertentu memungkinkan, larangan tersebut dapat berubah
menjadi sesuatu yang dibolehkan.
Syari'at
seperti tersurat dalam ayat Al qur’an yang menyatakan bagian masing-masin
adalah 2:1 antara pewaris pria dan wanita, secara teoritis bisa saja diubah,
dimodifikasi. Dalam kenyataan, hal itu sudah banyak terjadi dan diakui sah
bahkan oleh kalangan ortodoksi sendiri, melalui terobosan wasiyat dalam
pola perbandingan mana saja yang dikehendaki. Boleh jadi, sesuai dengan adanya
ketentuan yang lebih tegas bahwa pola perbandingan warisan secara positif
ditentukan 2:2 sesuai dengan, kenyataan masyarakat di mana kontribusi pihak
wanita (istri) dalam perekonomian rumah tangga kini acap kali sama besar dengan
kontribusi pria (suami) sendiri. Jika itu yang dituntut, maka
perbandingan positif 2:2 saja, tanpa memberikan peluang untuk pola perbandingan
lain seperti dalam terobosan wasiyat, akan jauh lebih sulit dan kaku
untuk meraih keadilan. Sebab, pada kasus-kasus tertentu, misalnya pihak pewaris
pria adalah orang kaya raya sedang pewaris wanitanya masih sangat sengsara,
perbandingan yang adil pasti bukan sekedar 2:2 tetapi bahkan 2:0 untuk pewaris
wanita.
Sementara
itu, ayat tentang pembagian waris yang dipersoalkan itu dipahami menurut
semangat utamanya ketentuan usul al-fiqh
bahwa ayat-ayat mufasar dan muhkam (qat'i
ad-dalalah) harus dipegangi sebagai dasar konstitutif hukum syar'i ada juga
mendapat gugatan. Misalnya Kassim Ahmad mengatakan bahwa justru ayat-ayat
mufassar yang terperinci itu hanya contoh penerapan sezaman yang boleh saja
berubah. Yang menjadi dasar pokok adalah ayat-ayat mujmal. Misalnya dalam kasus
waris, ayat yang menyatakan bahwa wanita dan lelaki mendapat bagian dari
peninggalan orang tua dan kerabat mereka (Q.S. 4:7) adalah prinsip umum. Sedang
ayat bahwa bagian wanita separoh lelaki (Q.S.4:11-12) adalah contoh penerapan
pada waktu itu terhadap prinsip umum itu. Jadi Kassim Ahmad ingin membalikkan
kaidah usul sehingga ayat mufassar tidak qath'i
dan
yang qat'i adalah ayat mujmal.
Di samping itu
ada juga yang memasukkan hadis itu ke dalam kaidah fiqh.Ruang lingkup kaidah
ini sangat luas, mencakup sebagian besar dari masalah-masalah fiqh, bahkan
merupakan pokok dalam syari'at Islam, seorang yang akan meng-istinbat-kan
suatu hukum harus berpegang pada kaidah ini, karena ia merupakan dasar bagi
menghilangkan kerusakan dan menarik maslahat. Banyak hukum yamg di-istinbat-kan
dari kaidah ini. [32]
Berdasarkan
contoh-contoh hukum yang ditetapkan berdasarkan kaidah la darara wa la
dirara, menunjukkan bahwa hukum mu'amalat Islam sangat berusaha menjauhkan
kemudaratan manusia baik bersifat perorangan maupun kolektif, guna mewujudkan
maslahat. Keterangan ini menunjukkan pula bahwa la dharara wa la dhirara, baik
kedudukannya sebagai hadis maupun kaidah fiqh telah diamalkan para ulama guna
mewujudkan maslahat, bahkan merupakan pegangan pokok bagi setiap orang yang
akan meng-istinbat-kan suatu hukum dalam bidang mu'amalat. Bahkan ada
pula yang berpendapat bahwa hadis tersebut harus diletakkan pada akhir setiap
nas, sebagai pengecualian, sehingga nas itu berarti: "jangan kamu kerjakan
ini, melainkan jika maslahat nyata menghendaki. Jangan kamu berbuat demikian,
melainkan bila maslahat menghendaki". Pendirian
at-Tufi, bahwa apabila maslahat yang bersumber dari hadis yang telah disebutkan
dan didukung pula oleh nas-nas syara' lainnya, jika bertentangan dengan
dalil-dalil syara'- terutama nas dan tidak dapat dikompromikan - hendaklah
maslahat lebih diutamakan, dengan cara takhsis atau tabyin nas
dan ijma' atau dalil-dalil syara' lainnya, bukan dengan cara mempermainkan
dalil-dalil itu. Pendirian at-Tufi ini, pada
hakekatnya mendahulukan suatu hadis yang didukung oleh nas-nas syara' lainnya
atas dalil-dalil syara' lainnya. Atau meninggalkan dalil syara' karena ada
dalil syara' yang lebih kuat. Dapat pula dikatakan, bahwa hadis di atas yang
didukung oleh nas-nas syara' lainnya, dapat dijadikan sebagai dalil untuk
pengecualian terhadap dalil-dalil syara' lainnya dalam rangka mewujudkan dan
memelihara maslahat. Teori meninggalkan suatu dalil karena ada dalil yang lebih
kuat atau mengecualikan dalil yang bersifat umum dengan dalil yang bersifat
khusus, oleh para ulama usul al-fiqh disebut istihsan.
Metode istihsan ini telah dipraktekkan oleh
para ulama usul, terutama yang paling terkenal banyak mempergunakannya adalah
mazhab Hanafi. Istihsan ini dipergunakan dalam penetapan hukum dalam bidang
perdagangan, peradilan atau urusan kemasyarakatan, politik dan lapangan hukum
yang serupa. Oleh para ulama' usul, hukum-hukum tersebut disebut hukum
mu'amalah. Demikian pula halnya at-Tufi dengan teorinya itu, hanya tertuju pada
lapangan mu'amalah dan yang sejenisnya.
Tujuan segala
hukum syara' baik yang bersumber dari nas atau qiyas maupun lainnya, ialah
memelihara maslahat manusia. Apabila maslahat itu bertentangan dengan nas atau
dengan qiyas, berartilah pertentangan antara dua maslahat yang kedua-duanya
dii'tibarkan syara'. Kita telah mengetahui bahwa menurut kebiasaan syara'
mendahulukan yang lebih kuat maslahatnya ketika berlawanan..[33]
Sebagaimana
diketahui menurut at-Tufi bahwa dalam lapangan ibadah merupakan hak mutlak
Allah untuk menentukan segala sesuatunya dan manusia hanya melaksanakan ibadah
itu sesuai dengan petunjuk yang telah ditetapkan. Dengan demikian dalil dalam
bidang ibadah tidak dapat atau tidak perlu diubah. Berbeda dengan dalil dalam
lapangan ibadah, dalil-dalil syara' dalam bidang mu'amalat dan yang sejenisnya,
dalam pandangan at-Tufi nilai efektivitasnya sebagai sarana dapat diukur oleh
akal pikiran manusia.
Jika dalam saat
tertentu (waktu) dan kondisi tertentu (ruang), apabila suatu sarana tidak lagi
efektif untuk mencapai tujuan, perlu diadakan perubahan, sehingga tujuan semula
tetap tercapai, yaitu maslahat. Pandangan demikian, merujuk pada kondisi sosial
dan pertimbangan perubahan sosial (social change) sebagai sarana untuk mencapai
maslahat yang merupakan tujuan Allah dalam menetapkan hukum-hukum-Nya. At-Tufi
yang membedakan syari'at menjadi ibadat, muqaddarat dan mu'amalat, memberikan
jalan keluar bahwa dalam masalah mu'amalat, penentuan boleh tidaknya sesuatu
ditekankan pada maslahat umum dengan mempertimbangkan unsur-unsur
darurat, illat-illat, adat, syarat karena situasi tertentu.
Pendapat yang
mengatakan bahwa hukum mu'amalah Islam dalam kehidupan masyarakat modern yang
dijadikan ukuran adalah substantif makna yang terkandung dalam suatu hukum.
Hukum mu'amalah Islam dapat diterapkan apabila suatu masalah itu sama atau
masih sama antara yang dimaksudkan oleh dalil dan masalah baru di mana hukum
hendak diterapkan. Metode inilah yang dikenal dengan konsep tahqiq al-manat dalam
usul al-fiqh, suatu metode penerapan Al-qur’an dengan permasalahan yang sedang dihadapi. Ia sangat erat
hubungannya dengan ijtihad tatbiqi. [34] Ijtihad tatbiqi,
dapat berlaku pada setiap hukum, baik yang dinilai qat'i, terinci maupun yang
bersifat zanni. Ia merupakan praktek dari praktisi hukum dalam menerapkan hukum
yang siap pakai, baik secara langsung dari wahyu maupun yang melalui ijtihad
mujtahid. Dalam penerapannya seorang pelaksana hukum dituntut kejeliannya
apakah makna hukum yang siap pakai itu sama dengan masalah yang sedang
dihadapi. Apabila dinilai tidak sama, maka hukum tidak dapat dilaksanakan.
Dengan demikian yang menjadi obyek kajian adalah perbuatan manusia dengan
segala bentuk obyek perbuatan itu, juga manusia itu sendiri sebagai pelaku
perbuatan dengan segala kondisi dan perubahannya.
Bertitik tolak
dari pernyataan bahwa tujuan hukum Islam adalah untuk maslahat hidup manusia
menimbulkan persoalan tentang hubungan nas Alquran atau Sunnah Rasul dengan
maslahat merupakan salah satu permasalahan yang pelik dan penting. Ijtihad atas
dasar maslahat sebagai tujuan hukum Islam sering memungkinkan tidak
diterapkannya ketentuan nas menurut apa adanya, tetapi diterapkan dengan cara
lain atau bahkan tidak diterapkan sama sekali.
Untuk
pengembangan maslahat dalam legislasi Indonesia kontemporer erat kaitannya
dengan pengembangan budaya hukum Islam. Dalam pengembangan budaya hukum Islam
di Indonesia kaum muslimin dihadapkan pada kemungkinan, yaitu hukum positif
Islam yang terbatas pada mempermasalahkan hukum yang berlaku bagi kaum
muslimin, dan nilai-nilai hukum Islam, yang akan berlaku bagi seluruh warga
negara, bahkan mungkin seluruh penduduk (termasuk yang bukan warga negara).
Kedua alternatif tersebut akan mempengaruhi pembentukan hukum nasional pada masa
yang akan datang.
Berpangkal tolak
dari kerangka pemikiran bahwa hukum positif Islam pada masa mendatang adalah
hukum yang bersumber dari nilai-nilai agama Islam dan dihubungkan pula dengan
teori peringkatan hukum, maslahat dalam hukum Islam dapat diterjemahkan sebagai
maslahat rakyat dalam segala aspeknya, mencakup bidang yang begitu luas,
seperti ekonomi, hukum, politik dan sebagainya (mu'amalah). Dan maslahat
menempati posisi sebagai nilai-nilai Islam (norma hukum) yang abstrak atau
cita-cita hukum. Oleh karena itu, dibutuhkan formulasi asas-asas, peraturan
(perundang-undangan) atau bentuk legislasi lainnya sebagai norma antara yang
merupakan kreativitas ijtihad yang disesuaikan dengan situasi, kondisi, budaya
dan kurun waktu. Semua hasil penerapan dan penegakan norma antara tersebut
menjadi hukum positif yang merupakan norma konkret (living law) masyarakat.
Apabila
formulasi dan aplikasi suatu peraturan perundang-undangan dalam berbagai bidang
seperti ekonomi, politik, hukum (norma antara) mampu mewujudkan maslahat rakyat
banyak dalam arti sebenarnya dan dapat pula merekayasa tercapainya cita-cita
kehidupan rakyat banyak, berarti aturan-aturan tersebut masih mungkin dan dapat
dipertahankan. Akan tetapi, jika sebaliknya, justru formulasi dan aplikasi berbagai
peraturan perundang-undangan dalam berbagai lapangan kehidupan rakyat banyak
itu tidak mampu lagi menampung aspirasi kerakyatan dikarenakan adanya faktor
perubahan situasi dan kondisi, perlu diganti dengan aturan-aturan yang baru
yang betul-betul aspiratif. Dengan demikian, maslahat rakyat merupakan
cita-cita atau tujuan yang hendak diwujudkan, sedangkan peraturan-peraturan
undang-undang merupakan sarana untuk mewujudkan cita-cita kerakyatan. Oleh
karena itu efektivitas suatu sarana dapat dipantau oleh masyarakat. Dalam
kaitan ini, yang terpenting adalah bagaimana nilai-nilai Islam dapat terpatri dalam kehidupan bernegara, masyarakat, bangsa,
keluarga dan individu, kemudian mengakkan keadilan sosial dan menciptakan suatu
masyarakat egalitarian, jauh dari eksploitasi manusia atas manusia lain maupun
eksploitasi golongan atas golongan lain. Dengan kata lain, hukum Islam tidak
dalam norma, melainkan dalam substansinya.
Maslahat Menjadi
syarat utama dalam pengambilan setiap kebijakan yang diambil oleh para penguasa
atau pemimpin. Maslahat yang bisa dikategorikan sebagai landasan dalam
pengambilan hukum mempunyai beberapa syarat yang harus terpenuhi, diantara
syarat-syarat tersebu dikemukakan oleh MUI dan jumhur ulama’ sendiri. Diantara
konsep maslahat yang banyak dipakai adalah konsep yang digagas dari Najmuddin At tufi. Dalam pemikirannya, At-Tufi berpendirian
bahwa maslahat adalah tujuan penetapan hukum Islam dalam lapangan mu'amalah,
apabila penerapan nas atau ijma' sesuai dengan bunyi tekstualnya bertentangan
dengan maslahat dan tidak dapat dikompromikan, maslahat hendaklah lebih
diutamakan daripada dalil-dalil syara'.
Maslahat
merupakan tujuan sedangkan dalil-dalil syara' merupakan sarana untuk mencapai
tujuan, karena itu tujuan hendaklah lebih diutamakan daripada sarana. Dalam
perspektif pembaruan (reaktualisasi) hukum Islam dalam bidang mu'amalah dewasa
ini, maslahat tokoh tersebut dapat dijadikan rujukan dengan cara mendasarkan
konsep maslahat tersebut sebagai substansi yang disarikan dari Alquran dan hadis
serta dapat dipertanggungjawabkan secara keagamaan. Konsep tersebut memberikan
jalan keluar bahwa dalam masalah mu'amalah umat Islam,seperti kehidupan sosial,
ekonomi, politik dan lain-lain, penentuan boleh tidaknya sesuatu ditekankan
pada maslahat umum dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi kehidupan
manusia sebagai praktisi hukum.
b.Analisis Saddu
al-dzari’ah
UU RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak sesungguhnya merupakan upaya melindungi anak Indonesia dari perlakuan yang
sewenang-wenang. Namun, eksistensinya seringkali dijadikan “alat” untuk
menjustifikasi kesalahan anak. Kondisi ini berdampak semakin sulitnya guru
melaksanakan tugas kependidikan untuk menegakkan kedisiplinan, terutama membina
kepribadian anak dengan akhlak yang terpuji. Bila dalam pendidikan dikenal pemberian penghargaan (reward) dan
hukuman (funishment), sebagai salah satu alat pendidikan, maka dengan adanya UU
Perlindungan Anak dan KPAI, seakan dunia pendidikan kehilangan salah satu alat
dalam melaksanakan proses pendidikan. Padahal, eksistensi reward dan funishment
sangat penting dalam pencapaian tujuan pendidikan.
Adanya KPAI dan UU
Perlindungan Anak secara yuridis melarang adanya tindakan kekerasan terhadap
peserta didik. Padahal, sebagai seorang pendidik, guru/dosen memiliki otoritas
akademik di dalam kelas untuk menegakkan disiplin agar tercapai tujuan
pembelajaran yang dilaksanakan. Di sisi lain, seringkali terlupakan adalah
alasan hukuman yang dilakukan guru. Untuk itu, perlu dilakukan uji materi (judicial review) terhadap UU
Perlindungan Anak, khususnya pasal 80, 81, dan 82. Sebab, belum tentu tindakan
guru murni kesalahannya, akan tetapi akibat kesalahan yang dilakukan peserta
didiknya.
Perlakuan terhadap
guru, sebagai tenaga pendidik, mereka
seringkali berada pada posisi yang dilematis, antara tuntutan profesi dan
perlakukan masyarakat. Mereka dituntut untuk mampu menghantarkan peserta didik
mencapai tujuan pendidikan. Namun tatkala mereka berupaya untuk menegakkan kedisplinan,
mereka dihadang oleh UU Perlindungan Anak dan KPAI. Jika mereka gagal
menegakkan kedisiplinan peserta didiknya dan gagal menghantarkan peserta didik
pada pencapaian tujuan pendidikan, kembali pendidik akan menjadi kambing hitam
dan tumbal atas kegagalan tersebut.
Tatkala guru ingin melakukan
hukuman terhadap muridnya dalam rangka menegakkan kedisiplinan, maka secara
sepontan orang tua dan masyarakat mengkategorikannya sebagai tindakan melanggar
HAM dan UU Perlindungan Anak. Mereka kemudian melaporkan tindakan guru tersebut
kepada polisi atau kepada KPAID. Dengan kekuatan tersebut, acapkali guru tidak
mendapatkan perlindungan terhadap profesinya. Akibat adanya KPAID dan UU
Perlindungan Anak, eksistensi guru berada pada posisi sangat pasif dan menjadi
sosok yang serba salah.[35]
Urgensi UU Guru dan Dosen, secara yuridis, UU
Perlindungan Guru dan Dosen telah termuat dalam UU No 14/2005. Hal ini terlihat
jelas pada Bab VII pasal 39 yang menyebutkan bahwa Pemerintah, masyarakat, organisasi
profesi, dan/atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru
dalam pelaksanaan tugas.Adapun maksud Perlindungan Profesi yang diamanatkan
dalam UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen adalah perlindungan terhadap
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang tidak sesuai dengan peraturan dan
perundang-undangan yang berlaku, pemberian imbalan yang tidak wajar, pembatasan
dalam menyampaikan pandangan, pelecehan terhadap profesi, dan
pembatasan/pelarangan lain yang dapat menghambat guru dalam melaksanakan
tugasnya. Sementara perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja meliputi
perlindungan terhadap risiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja,
kesehatan, dan/atau resiko lainnya.
Berangkat dari paparan
di atas, terlihat bahwa eksistensi UU No 14/2005 telah memuat perlindungan
terhadap guru atas profesinya. Namun, implementasi terhadap UU tersebut masih
belum terlaksana. UU tersebut lebih banyak disoroti sebagai kekuatan hukum atas
peningkatan kesejahteraan guru/dosen, sementara perlindungan terhadap profesi
guru/dosen seringkali lepas dari perhatian. Jalan Tengah.
Ahli hukum, tidak mungkin, menutup mata terhadap tindakan
oknum guru yang kurang mendidik dengan memberikan hukuman di luar nilai
pendidikan. Mereka meletakkan peserta didiknya sebagai penjahat yang harus
dihabisi, bukan sosok yang perlu dibimbing dan diperbaiki. Demikian pula sikap
orang tua/masyarakat yang mulai mengalami pergeseran dalam memandang profesi
guru. Mereka terlalu banyak menuntut guru agar dapat mengahntarkan peserta
didik sebagai masyarakat terdidik, namun tidak seiring dengan penghargaan dan
perlindungan yang diberikan.
Ada beberapa langkah yang
perlu diperhatikan guru dalam menghadapi murid yang bersalah, sebelum mereka
menetapkan hukuman, yaitu; Pertama, perlu memberikan laporan kepada orang tua
murid perihal prilaku anak mereka dengan cara pemanggilan secara langsung.
Tahapan ini dilakukan sebanyak 2 kali dengan ikut melibatkan guru BK. Kedua,
bila selama 2 kali pemanggilan tidak menunjukan perubahan dan kerjasama yang
baik, seorang guru bisa memberikan hukuman dengan syarat : (1). Hukuman tidak
pada tempat yang vital. (2) hukuman dilakukan dalam bentuk yang mendidik. (3)
hukuman dilaksanakan secara adil dan ikut mempertimbangkan aspek psikologis
peserta didik.[36]
Hukuman
fisik menurut kajian fiqih, merupakan saddu al-Dzari’ah. Karena memukul anak
yang tidak salat atau karena berulang kali melanggar aturan sekolah, merupakan
bagian dari upaya menolak dan mencegah kenakalan, keburukan(dar’al mafasid).Dalam perjalanan sejarah
Islam, para ulama mengembangkan berbagai teori, metode, dan prinsip hukum yang
sebelumnya tidak dirumuskan secara sistematis, baik dalam Alquran maupun
Sunnah. Upaya para ulama tersebut berkaitan erat dengan tuntutan realita sosial
yang semakin hari semakin kompleks. Berbagai persoalan baru bermunculan yang
sebelumnya tidak dibahas secara spesifik dalam Alquran dan Hadits Nabi.
Di antara
metode penetapan hukum yang dikembangkan para ulama adalah sadd al-dzari’ah dan fath al-dzari’ah. Metode sadd al-dzari’ahmerupakan upaya
preventif agar tidak terjadi sesuatu yang menimbulkan dampak negatif. Metode
hukum ini merupakan salah satu bentuk kekayaan khazanah intelektual Islam yang
–sepanjang pengetahuan penulis–tidak dimiliki oleh agama-agama lain. Selain
Islam, tidak ada agama yang memiliki sistem hukum yang didokumentasikan dengan
baik dalam berbagai karya yang sedemikian banyak. Tentang analisis kata
“memukul” dalam Islam, penulis temukan ada tiga macam:
1.Memukul
anak dengan cara yang benar
Menurut penulis, memukul anak, dengan cara yang benar,
merupakan bagian dari saddu al-zari’ah.Hukum
Islam tidak hanya mengatur tentang perilaku manusia yang sudah dewasa, tetapi
juga yang belum dewasa. Hal ini bukan berarti bahwa hukum Islam cenderung
mengekang kebebasan manusia. Tetapi karena memang salah satu tujuan hukum Islam
adalah untuk mewujudkan kemaslahatan dan menghindari kerusakan (mafsadah).
Jika
suatu perbuatan yang belum dilakukan diduga keras akan menimbulkan kerusakan (mafsadah), maka dilaranglah hal-hal
yang mengarahkan kepada perbuatan tersebut. Metode hukum inilah yang kemudian
dikenal dengan sadd al-dzari’ah.
Sebaliknya, jika suatu perbuatan diduga kuat akan menjadi sarana terjadinya
perbuatan lain yang baik, maka diperintahkanlah perbuatan yang menjadi sarana
tersebut. Hal inilah yang kemudian dikenal dengan istilah fath adz-dzariah.Adapaun pengertian saddu al-Dzari’ah:
1.
Secara Etimologis
Kata sadd al-dzari’ah(سد
الذريعة) merupakan bentuk
frase (idhafah) yang
terdiri dari dua kata, yaitu sadd (سَدُّ)dan al-dzari’ah (الذَّرِيْعَة).
Secara etimologis, kata as-sadd
(السَّدُّ)merupakan
kata benda abstrak (mashdar)
dari سَدَّ يَسُدُّ سَدًّا. Kata as-saddtersebut berarti menutup sesuatu yang cacat
atau rusak dan menimbun lobang. Sedangkan al-dzari’ah (الذَّرِيْعَة) merupakan kata benda (isim) bentuk tunggal yang berarti
jalan, sarana (wasilah) dan
sebab terjadinya sesuatu. Bentuk jamak dari al-dzari’ah adalah al-dzara’i
(الذَّرَائِع).
Karena itulah, dalam beberapa kitab usul fikih, seperti Tanqih al-Fushul fi Ulum al-Ushul karya al-Qarafi, istilah yang
digunakan adalah sadd al-dzara’i.
Pada awalnya, kata al-adzari’ah dipergunakan untuk
unta yang dipergunakan orang Arab dalam berburu. Si unta dilepaskan oleh sang
pemburu agar bisa mendekati binatang liar yang sedang diburu. Sang pemburu
berlindung di samping unta agar tak terlihat oleh binatang yang diburu. Ketika
unta sudah dekat dengan binatang yang diburu, sang pemburu pun melepaskan
panahnya. Karena itulah, menurut Ibn al-A’rabi, kata al-dzari’ah
kemudian digunakan sebagai metafora terhadap segala sesuatu yang mendekatkan
kepada sesuatu yang lain.
2.
Secara Terminologi
Menurut
al-Qarafi, sadd al-dzari’ahadalah memotong jalan kerusakan (mafsadah) sebagai cara untuk
menghindari kerusakan tersebut. Meski suatu perbuatan bebas dari unsur
kerusakan (mafsadah), namun
jika perbuatan itu merupakan jalan atau sarana terjadi suatu kerusakan (mafsadah), maka kita harus mencegah
perbuatan tersebut. Dengan ungkapan yang senada, menurut asy-Syaukani, adz-dzari’ah adalah masalah atau perkara yang
pada lahirnya dibolehkan namun akan mengantarkan kepada perbuatan yang dilarang
(al-mahzhur). Dalam
karyanya al-Muwafat, asy-Syatibi
menyatakan bahwa sadd al-dzari’ah adalah menolak sesuatu yang boleh (jaiz) agar tidak mengantarkan kepada
sesuatu yang dilarang (mamnu’).
Menurut Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, sadd adz-dzari’ah adalah
meniadakan atau menutup jalan yang menuju kepada perbuatan yang terlarang.
Sedangkan menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, jalan atau perantara tersebut
bisa berbentuk sesuatu yang dilarang maupun yang dibolehkan.
Dari
beberapa contoh pengertian di atas, jelaslah
bahwa sebagian ulama seperti asy-Syathibi dan asy-Syaukani mempersempit al-dzari’ah sebagai
sesuatu yang awalnya diperbolehkan. Namun al-Qarafi dan Mukhtar Yahya
menyebutkan al-dzari’ah secara
umum dan tidak mempersempitnyahanya sebagai sesuatu yang diperbolehkan. Di
samping itu, Ibnu al-Qayyim juga mengungkapkan adanya adz-dzari’ah yang
pada awalnya memang dilarang. Klasifikasi al-dzariah
oleh Ibnu al-Qayyim tersebut akan dibahas lebih lanjut di halaman
berikutnya.
Dari
berbagai pandangan di atas, bisa dipahami bahwa sadd al-dzari’ahadalah
menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya
diperbolehkan maupun dilarang untuk mencegah terjadinya perbuatan lain yang
dilarang. Kedudukan saddu
al-zari’ah, sebagaimana halnya dengan qiyas, dilihat dari aspek
aplikasinya, sadd al-dzari’ahmerupakan salah satu metode pengambilan
keputusan hukum (istinbath al-hukm) dalam
Islam. Namun dilihat dari di sisi produk hukumnya, sadd al-dzari’ah adalah salah satu sumber hukum.
Tidak semua
ulama sepakat dengan sadd al-dzariah sebagai
metode dalam menetapkan hukum. Secara umum berbagai pandangan ulama tersebut
bisa diklasifikasikan dalam tiga kelompok, yaitu 1) yang menerima sepenuhnya;
2) yang tidak menerima sepenuhnya; 3) yang menolak sepenuhnya.
Kelompok pertama, yang menerima sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan
hukum, adalah mazhab Maliki dan mazhab Hambali. Para ulama di kalangan Mazhab
Maliki bahkan mengembangkan metode ini dalam berbagai pembahasan fikih dan
ushul fikih mereka sehingga bisa diterapkan lebih luas. Imam al-Qarafi (w. 684
H), misalnya, mengembangkan metode ini dalam karyanya Anwar al-Buruq fi
Anwa’al-Furuq. Begitu pula
Imam asy-Syathibi (w. 790 H) yang menguraikan tentang metode ini dalam
kitabnya al-Muwafaqat.
Kelompok kedua, yang tidak menerima sepenuhnya sebagai metode dalam
menetapkan hukum, adalah mazhab Hanafi dan mazhab Syafi’i. Dengan kata lain,
kelompok ini menolak sadd al-dzari’ah sebagai metode istinbath
pada kasus tertentu, namun menggunakannya pada kasus-kasus yang lain.
Contoh kasus Imam Syafii menggunakan sadd
al-dzari’ah, adalah ketika beliau melarang seseorang mencegah
mengalirnya air ke perkebunan atau sawah. Hal ini menurut beliau akan menjadi
sarana (dzari’ah) kepada
tindakan mencegah memperoleh sesuatu yang dihalalkan oleh Allah dan juga dzariah kepada tindakan mengharamkan
sesuatu yang dihalalkan oleh Allah. Padahal air adalah rahmat dari Allah yang
boleh diakses oleh siapapun.
Contoh kasus penggunaan sadd
al-dzari’ah oleh mazhab Hanafi adalah tentang wanita yang masih dalam iddah karena ditinggal mati suami. Si
wanita dilarang untuk berhias, menggunakan wewangian, celak mata, pacar, dan
pakaian yang mencolok. Dengan berhias, wanita itu akan menarik lelaki. Padahal
ia dalam keadaan tidak boleh dinikahi. Karena itulah, pelarangan itu merupakan sadd
al-dzari’ahagar tidak terjadi perbuatan yang diharamkan, yaitu pernikahan
perempuan dalam keadaan iddah.
Sedangkan kasus paling menonjol yang
menunjukkan penolakan kelompok ini terhadap metode sadd al-dzari’ah adalah transaksi-transaksi jual beli berjangka
atau kredit (buyu’ al-ajal). Dalam
kasus jual beli transaksi berjangka, misalnya sebuah showroom menjual
mobil secara kredit selama 3 tahun dengan harga Rp. 150 juta kepada seorang
konsumen. Setelah selesai transaksi, keesokan harinya sang konsumen membutuhkan
uang karena keperluan penting dan mendesak. Ia pun menjual beli mobil itu
kepada pihak showroom. Oleh pihak showroom, mobil itu dibeli secara tunai dengan harga Rp. 100 juta.
Transaksi seperti inilah yang oleh
mazhab Maliki dan Hambali dilarang karena terdapat unsur riba yang sangat
kentara. Pada kenyataannya, transaksi jual beli tersebut adalah penjualan mobil
secara kredit seharga Rp. 150 juta dan secara tunai seharga Rp. 100 juta.
Barang yang diperjualbelikan seolah sia-sia dan tidak bermakna apa-apa.
Sementara bagi mazhab Hanafi, transaksi semacam itu juga dilarang. Namun mereka
menolak menggunakan sadd al-dzari’ah dalam
pelarangan tersebut.Pelarangannya berdasarkan alasan bahwa harga barang yang
dijual tersebut belum jelas, karena terdapat dua harga. Di samping itu, si
konsumen yang menjual kembali mobil sebenarnya juga belum sepenuhnya memiliki
barang tersebut karena masih dalam masa kredit. Dengan demikian, transaksi kedua
yang dilakukan si konsumen dengan pihak showroom
adalah transaksi yang tidak sah (fasid).
Perbedaan dua harga itu juga mengandung unsur riba.
Bagi mazhab Syafii, transaksi jual
beli kredit seperti adalah sah secara formal. Adapun aspek batin dari niat buruk
si penjual untuk melakukan riba, misalnya, adalah urusan dosanya sendiri dengan
Allah. Yang menjadi patokan adalah bagaimana lafaz dalam akad, bukan niat dan
maksud si penjual yang tidak tampak. Tidak boleh melarang sesuatu akad hanya
berdasarkan dugaan terhadap maksud tertentu yang belum jelas terbukti.
Kelompok ketiga, yang menolak sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan
hukum, adalah mazhab Zahiri. Hal ini sesuai dengan prinsip mereka yang hanya
menetapkan hukum berdasarkan makna tekstual (zahir al-lafzh). Sementara sadd al-dzariahadalah
hasil penalaran terhadap sesuatu perbuatan yang masih dalam tingkatan dugaan,
meskipun sudah sampai tingkatan dugaan yang kuat. Dengan demikian, bagi mereka
konsep sadd al-dzariah adalah
semata-mata produk akal dan tidak berdasarkan pada nash secara langsung.[37] Konsep
sadd al-dzari’ah tidak bisa berfungsi untuk menetapkan boleh atau tidak
boleh sesuatu. Pelarangan atau pembolehan hanya bisa ditetapkan berdasarkan nash dan ijma’ (qath’i). Sesuatu yang telah
jelas diharamkan oleh nash tidak
bisa berubah menjadi dihalalkan kecuali dengan nash lain yang jelas atau ijma’. Hukum harus ditetapkan
berdasarkan keyakinan yang kuat dari nash yang jelas atau ijma’. Hukum tidak
bisa didasarkan oleh dugaan semata.
Contoh kasus penolakan kalangan al-Zhahiri dalam penggunaan sadd
al-dzariahadalah ketika Ibnu Hazm begitu keras menentang ulama Hanafi dan
Maliki yang mengharamkan perkawinan bagi lelaki yang sedang dalam keadaan sakit
keras hingga dikhawatirkan meninggal. Bagi kalangan Hanafi dan Maliki,
perkawinan itu akan bisa menjadi jalan (dzari’ah)
bagi wanita untuk sekedar mendapatkan warisan dan menghalangi ahli waris
lain yang lebih berhak. Namun bagi Ibnu Hazm, pelarangan menikah itu
jelas-jelas mengharamkan sesuatu yang jelas-jelas halal. Betapapun menikah dan
mendapatkan warisan karena hubungan perkawinan adalah sesuatu yang halal.
Meskipun terdapat ketidaksepakatan
ulama dalam penggunaan sadd al-dzari’ah, namun secara umum mereka menggunakannya dalam banyak kasus. Sebagaimana
yang diungkapkan oleh Wahbah az-Zuhaili, kontroversi di kalangan empat mazhab:
Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali, hanya berpusat pada satu kasus, yaitu
jual beli kredit. Selain kasus itu, para ulama empat mazhab banyak menggunakan sadd
adz-dzari’ah dalam
menetapkan berbagai hukum tertentu.
Adapun
tentang mazhab Zhahiri yang menolak mentah-mentah sadd adz-dzari’ah, hal itu karena mereka memang sangat berpegang
teguh pada prinsip berpegang kepada Kitabullah dan Sunah. Dengan kata lain,
semua perbuatan harus diputuskan berdasarkan zhahir nash dan zhahir perbuatan. Namun tentu terlalu
berpegang secara tekstual kepada tekstual nash juga bisa berbahaya. Hal itu karena sikap demikian justru
bisa mengabaikan tujuan syariah untuk menghindari mafsadah dan meraih mashalahah.
Jika memang mafsadah jelas-jelas
bisa terjadi, apalagi jika telah melewati penelitian ilmiah yang akurat, maka sadd
al-dzari’ah adalah sebuah metode hukum yang perlu dilakukan.
Dengan
sadd al-dzari’ah, timbul
kesan upaya mengharamkan sesuatu yang jelas-jelas dihalalkan seperti yang
dituding oleh mazhab al-Zahiri. Namun agar tidak disalahpahami demikian, harus
dipahami pula bahwa pengharaman dalam sadd
adz-dzariah adalah karena faktor eksternal (tahrim li ghairih). Secara substansial, perbuatan
tersebut tidaklah diharamkan, namun perbuatan tersebut tetap dihalalkan. Hanya karena faktor eksternal (li ghairih) tertentu, perbuatan itu menjadi haram. Jika
faktor eksternal yang merupakan dampak negatif tersebut sudah tidak ada, tentu
perbuatan tersebut kembali kepada hukum asal, yaitu halal.[38]
Sadd
al-dzariah menghasilkan pandangan ulama yang
melarang wanita untuk berkiprah lebih luas di masyarakat, seperti larangan
wanita ke luar rumah demi mencegah bercampur dengan lelaki yang bukan
mahram.Sinyalemen Elliwarti Maliki itu mungkin memang ada benarnya. Tapi
sebenarnya yang perlu dipersalahkan bukanlah sadd al-dzari’ah-nya, namun orang yang menerapkannya.
Suatu putusan hukum yang berdasarkan sadd al-dzariahtentu masih bisa
dicek kembali bagaimana thuruq
al-istinbath-nya. Jika memang dampak negatif yang dikhawatirkan terjadi
tersebut, ternyata tidak terbukti, maka tentu saja keputusan tersebut bisa
dikoreksi kembali. Sedangkan tudingan bahwa sadd adz-dzari’ah menimbulkan sikap defensif, tentu perlu
pembuktian empirik lebih lanjut.
Adapun dalil yang menjadi dasar hukum saddu al-Zari’ah:
1.
Alquran
Janganlah kamu memaki
sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, Karena mereka nanti akan
memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan
setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah tempat kembali,
lalu dia memberitakan
kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.[39] Pada
ayat di atas, mencaci maki tuhan atau sembahan agama lain adalah al-dzari’ah
yang akan menimbulkan adanya
sesuatu mafsadah yang dilarang,
yaitu mencaci maki Tuhan. Sesuai dengan teori psikologi mechanism defense, orang yang Tuhannya dicaci kemungkinan
akan membalas mencaci Tuhan yang diyakini oleh orang sebelumnya mencaci. Karena
itulah, sebelum balasan caci maki itu terjadi, maka larangan mencaci Tuhan lain merupakan tindakan
preventif (sadd adz-dzari’ah).
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): “Raa’ina”,
tetapi katakanlah: “Unzhurna”, dan “Dengarlah”. Dan bagi orang-orang yang kafir
siksaan yang pedih.[40] Pada surah al-Baqarah ayat 104 di atas, bisa dipahami adanya
suatu bentuk pelarangan terhadap sesuatu perbuatan karena adanya kekhawatiran
terhadap dampak negatif yang akan terjadi. Kata raa ‘ina berarti:
“Sudilah kiranya kamu memperhatikan kami.” Saat para sahabat menggunakan kata
ini terhadap Rasulullah, orang Yahudi pun memakai kata ini dengan nada mengejek,[41] dan menghina Rasulullah SAW. Mereka menggunakannya dengan
maksud kata raa’ina, sebagai bentuk isim fail dari masdar kata ru’unah yang
berarti bodoh atau tolol. Karena itulah, Tuhan pun menyuruh para sahabat Nabi
SAW mengganti kata raa’ina yang
biasa mereka pergunakan dengan unzhurna yang juga berarti sama dengan raa’ina. Dari latar belakang dan
pemahaman demikian, ayat ini menurut al-Qurthubi dijadikan dasar dari sadd
al-dzari’ah.
2.
Sunah
Ini
dijadikan oleh Imam Syathibi sebagai salah satu dasar hukum bagi konsep sadd
al-dzari’ah. Berdasarkan
hadits tersebut, menurut tokoh ahli fikih danHadis Spanyol itu, dugaan (zhann) bisa
digunakan sebagai dasar untuk penetapan hukum dalam konteks sadd al-dzari’ah.
3.
Kaidah Fiqih
Di antara kaidah fikih yang bisa dijadikan dasar penggunaan sadd
al-dzari’ahadalah
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِ
الْمَصَالِحِ.
Menolak keburukan (mafsadah)
lebih diutamakan daripada meraih kebaikan (maslahah)
Kaidah
ini merupakan ketetapan asasi yang bisa mencakup
masalah-masalah turunan di bawahnya. Berbagai kaidah lain juga bersandar pada
kaidah ini. Karena itulah, sadd al-dzari’ah pun
bisa disandarkan kepadanya. Hal ini juga bisa dipahami, karena dalam sadd
al-dzari’ah terdapat unsur mafsadah
yang harus dihindari.
4.
Logika
Secara logika, ketika seseorang
membolehkan suatu perbuatan, maka mestinya ia juga membolehkan segala hal yang
akan mengantarkan kepada hal tersebut. Begitupun sebaliknya, jika seseorang
melarang suatu perbuatan, maka mestinya ia pun melarang segala hal yang bisa
mengantarkan kepada perbuatan tersebut. Hal ini senada dengan ungkapan Ibnu
Qayyim dalam kitab A’lâm al-Mûqi’în:
”Ketika Allah melarang suatu hal, maka Allah pun akan melarang dan mencegah
segala jalan dan perantara yang bisa mengantarkan kepadanya. Hal itu untuk
menguatkan dan menegaskan pelarangan tersebut. Namun jika Allah membolehkan
segala jalan dan perantara tersebut, tentu hal ini bertolak belakang dengan
pelarangan yang telah ditetapkan.”
[1] Pengertian Ghazwul Fikri. Akar kata Ghazwul fikri berasal dari kata ghazw dan al-fikr, yang
secara harfiah dapat diartikan "Perang Pemikiran". Yang dimaksud
ialah upaya-upaya gencar pihak musuh-musuh Allah subhanahu wata’ala
untuk meracuni pikiran umat Islam agar umat Islam jauh dari Islam, lalu
akhirnya membenci Islam, dan pada tingkat akhir Islam diharapkan habis sampai
ke akar-akarnya. Upaya ini telah berlangsung sejak lama dan terus berlanjut
hingga kini. Lihat M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, Cet. XXIII (Bandung,Mizan :
2002),47
[2] Barat menuduh bahwa Hukum Islam
tidak manusiawi, bahkan melanggar HAM. Bagi Barat, hukum penjara adalah hukum
yang paling manusiawi dan sesuai dengan HAM. Namun dengan uraian di atas,
terungkap jelas bahwa Hukum Sipil yang berasal dari Barat lah yang tidak
manusiawi, bahkan justru yang melanggar HAM. Dan fakta membuktikan bahwa hukum
penjara tidak efektif, nihil solutif dan kontra produktif. Karenanya, penjara
tidak menjadi hukum andalan dalam Hukum Islam, bahkan pilihan hukum terakhir yang
terburuk. Hukum Sipil miskin Dimensi Sosial maupun Dimensi Ekonomi, apalagi
Dimensi Ukhrowi. Sedeang Hukum Islam kaya dimensi, baik duniawi mau pun
ukhrowi. Selain itu, Hukum Islam sangat praktis dan dinamis, sehingga
sanksi-sanksi hukumnya menjadi mudah dipahami dan ringan diimplementasikan.
Misalnya, pemabuk dicambuk, pencuri dipotong tangan, perampok tanpa membunuh
dipotong kaki dan tangan secara silang, perampok dengan membunuh dibunuh dan
disalib jasadnya sebelum dikuburkan, penzina yang muhshon dirajam hingga mati,
penzina yang tidak muhshon dicambuk seratus kali dan diasingkan setahun, pelaku
Qodzaf dicambuk delapan puluh kali, pemberontak diperangi, pembunuhan dan
penganiayaan ada dua opsi yaitu Qishosh atau Diyat. Sdengan selain pidana di
atas dihukum dengan hukum ta'zir, yaitu sesuai dengan ijtihad hakim atau
ketetapan undang2 negara, selama tidak bertentangan dengan Syariat Islam. Hukum
Ta'zir ini beragam, mulai dari yang ringan seperti dijemur dan bakti sosial,
hingga yang berat seperti kerja paksa.Lihat Nasruddin Umar,
Argumen Kesetaraan Jender, Perspektif Al-Quran, (Disertasi), Jakarta, (Penerbit
Paramadina : 2001), 105
[3] Paling tidak, ada ‘empat’ hal yang
termasuk dalam program al-ghazwul-fikri. Pertama,
Tasykik yakni gerakan yang
berupaya menciptakan keraguan dan pendangkalan akidah kaum Muslimin terhadap
agamanya. Misalnya, dengan terus-menerus menyerang (melecehkan) Al-Qur’an dan
Hadits, melecehkan Nabi Muhammad Saw atau mengampanyekan bahwa hukum Islam
tidak sesuai dengan tuntutan zaman. Kedua,
Tasywih yakni gerakan yang
berupaya menghilangkan kebanggaaan kaum Muslimin terhadap agamanya. Caranya,
memberikan gambaran Islam secara buruk sehingga timbul rasa rendah diri di
kalangan ummat Islam. Di sini, mereka melakukan pencintraan negatif tentang
agama dan ummat Islam lewat media massa dan lain-lain, sehingga Islam terkesan
menyeramkan, kejam, sadis, radikal dan lain sebagainya. Ketiga, Tadzwib
yakni pelarutan budaya dan pemikiran. Di sini, kaum kuffar dan munafiqin melakukan
pencampuradukkan antara hak dan batil, antara ajaran Islam dan non-Islam.
Sehingga ummat Islam yang awam kebingungan mendapatkan pedoman hidupnya. Dan, keempat, Taghrib
yakni “pembaratan” dunia Islam, mendorong ummat Islam agar menerima pemikiran
dan budaya Barat, seperti sekularisme, pluralisme, nasionalisme dan lain
sebagainya. Lihat juga TM.Hasbi Ash-Shiddieqi, 0p.Cit.,55
[6] Walau sikap kepura-puraan Snouck akhirnya terbongkar,
tapi pola penjajahan dengan cara ghazwul fikri seperti itu terus berkembang
hingga kini. Madzhab Selebritis.Wajah baru penjajahan juga berbentuk budaya. Misalnya,
penyebaran film-film, iklan, majalah, video klip, internet termasuk gaya hidup
(life style). Jangan heran bila musik-musik Barat seperti; ska, rock,
underground, metal, R&B secara pelan-pelan menggeser musik-musik Islam.
Melalui budaya, Amerika memaksakan kehendak. Kalau perlu ancaman embargo bila
tidak mau menjualan film-film Hollywood ke negeri ketiga, khususnya Islam.
Secara cepat pula industri film yang didominasi Yahudi ini kemudian menjadi
trendsetter gaya hidup ummat manusia di seluruh dunia. Secara cepat pula, gaya
hidup Barat dan Hollywood menjadi peradaban baru. Dengan dalih globalisasi,
seolah-olah apa yang kita tonton, dan yang kita makan dan apa yang kita pakai
atau dikenal dengan semboyan 3 F (food, fashion, and fun), haruslah memakai
standar Barat dan Hollywood. Dalam bukunya Jihad vs McWorld, Benjamin R. Barber
mengatakan, apa yang terjadi di dunia hari ini adalah pem-Barat-an budaya
(westernisasi). MTV, McDonald, celana jeans, musik ska, dan R & B dan
film-film Hollywood kini dinikmati oleh warga dunia ketiga. Budaya Barat tidak
lagi milik segolongan orang Amerika, tapi sudah milik dunia. Termasuk
negeri-negeri Islam.
[12] Untuk mewujudkan agenda Basl yaitu
mendirikan negara nasional Yahudi di Palestina yang dijamin oleh undang-undang
publik. Untuk itu perlu disusun beberapa langkah berikut ini: Pertama,
menggalang dan mengembangkan pemukiman Yahudi di Palestina dan mendirikan
perumahan-perumahan. Kedua, koordinasi Yahudi internasional dan legalisasi
hubungan yang mengikat mereka dengan organisasi dan institusi Zionis. Ketiga,
menyebarkan spirit nasionalisme, mengembangkan rasa dan kesadaran nasional
Yahudi internasional. Keempat, mengambil langkah-langkah semestinya untuk
mendapatkan dukungan dan persetujuan negara-negara asing berkenaan dengan
konsep negara nasional Yahudi di Palestina. Samir Syathara, 100 tahun
Konferensi Basl, al Mujtama, 1267, 16/9/1997
[13] Epistemologis
Hukum Islam memandang jika kebenaran mutlak bersumber dari Tuhan
(wahyu), karena rasionalitas manusia itu terbatas sehingga tidak semua
kebenaran bisa dibuktikan secara rasional. Dan hingga kini, Al-Qur’an terus dan
akan tetap sejalan dengan perkembangan sains, karena Al-Qur’an merupakan wahyu
Tuhan yang otentik. Sedangkan Barat memandang kebenaran secara
materialis-empiris (tampak dan terbukti). Hal ini dikarenakan Barat mengalami
tragedi spiritual yang amat buruk, di mana para ilmuwan sains pada tahun
1600-an M (seperti Galileo dan Copernicus) dihukum karena dianggap telah
menentang Gereja, sehingga komunitas ilmuwan akhirnya sepakat bahwa kebenaran
sejati akan didapat jika mereka berlepas diri dari dogma Gereja dan menggunakan
rasionalitas mereka untuk membuktikan kebenaran secara empiris. Perbedaan
Islam dan Barat jelas akan menimbulkan benturan hebat dalam peradaban dunia
seperti yang disebutkan Samuel P. Huntington. Salah satu akibatnya,
negara-negara dunia yang men-declare sebagai negara Islam atau negara
dengan mayoritas penduduk Islam akan cenderung menolak sistem Barat. Dan
telah kita ketahui bersama bahwa potensi energi dunia tersimpan di rahim bumi
negara-negara Islam, sehingga dalam konteks ini hasrat barat untuk menguasai
minyak bumi menjadi terhambat.
[14] Hifdz al-Nasl, menjaga keturunan, yakni dianjurkannya nikah demi menjaga keturunan,
juga diharamkannya zina karena merusak keturunan.
Adalah Thahir Ibnu ‘Asyur seorang pakar maqashid syari’ah yang berasal
dari Tunisia. Secara umum gagasan Ibnu ‘Asyur hampir sama dengan wacana yang
ditawarkan oleh al-syathibi, hanya saja beliau telah berjasa dalam
mengembangkan disiplin ilmu maqashid syari’ah dan menjadikannya sebagai
disiplin ilmu baru yang terpisah dengan ilmu ushul fiqh. Beliau diberi gelar
sebagai ‘guru kedua’ setelah al-Syathibi yang dijuluki ‘guru pertama’. Beliau
telah berhasil mengembangkan teori maqashid yang sebelumnya hanya berkutat pada
kajian juz’iyyah dan kulliyah menjadi lebih luas, yakni dengan melebarkan
pembahasan maqashid kedalam ‘maqashid syariah khusus tentang muamalat’ yang
didalamnya mengupas berbagai isu-isu maqashid seputar maqashid hukum keluarga,
maqashid penggunaan harta, maqashid hukum perundangan, dan kesaksian dan
lain-lain. Lihat Asmawi, op.cit.,129
Definisi Tafsir Maqashid. Term tafsir maqashidi bagi sebagian kalangan bisa
dibilang belum akrab ditelinga, karena kajian maqashid syari’ah yang berkembang
di Indonesia belum menyentuh kepada kajian maqashid dalam metode penafsiran.
Para ‘pengobral maslahat’ (sebutan yang biasa disematkan kepada Jaringan Islam
Liberal) pun hanya mengkaji maqashid syariah dalam ranah ushul fikih. Disamping
itu di Indonesia belum banyak-untuk mengatakan tidak ada- pakar maqashid
syariah. Hal ini berbeda dengan kajian maqashid syariah di Maroko, Mesir, dan
negara-negara timur tengah lainnya.. Kata maqashidi dalam ‘tafsir maqashidi’
adalah kata maqhashid yang dibubuhi ya’ nisbah. Berarti tafsir maqashidi adalah
tafsir yang menggunakan pendekatan maqashid syari’ah, atau dengan kata lain
tafsir maqashidi adalah sebuah tafsir yang menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an
dengan menguak dan memepertimbangkan maqashid syari’ah. Hal ini sedikit yang
membedakan tafsir maqashidi dengan
tafsir-tafsir konvensional lainnya. Seperti tafsir falsafi yang hanya berkutat
dengan teori-teori filsafat atas sebuah hikmah saja. Atau juga tafsir sufi yang
mengedepankan pendakian kontemplatif sang sufi dalam menyibak teks-teks
suci.Tafsir maqashidi tidak mengabaikan teori-teori baku tentang penafsiran,
seperti asbab nuzul, ‘am-khos, mujmal-mubayyan dst. Di samping itu tafsir
maqashidi juga hirau akan perangkat-perangkat ilmu-ilmu umum seperti sosiologi,
antropologi, dan filsafat.
[15] Beberapa kaidah yang “bersifat
individu” dalam beberapa kesempatan sebelumnya telah banyak dibahas. Memberikan
hukuman fisik kepada anak, menyangkut tentang niat (al umuuru biaqashidiha),
al yaqiinu la yuzalu bi al syak, dan lain-lain. Beberapa kaidah tersebut
merupakan kaidah yang “bersifat individu. Dalam kesempatan ini, kaidah yang
akan menjadi obyek pembahasan adalah kaidah yang tidak hanya melibatkan satu
pihak individu saja, tetapi dalam implementasi kaidah ini melibatkan banyak
pihak, karena dalam penerapannya, kaidah ini sering digunakan dalam fiqh
siyasah. Seperti yang diketahui bahwa fiqh siyasah adalah hukum Islam yang
obyek bahasannya mengenai kekuasaan dan bagaimana menjalankan kekuasaan
tesebut. Apabila disederhanakan, fiqh siyasah meliputi Hukum Tata Negara, Hukum
Administrasi Negara, Hukum Internasional.3 Apabila dilihat dari sisi hubungan,
fiqih siyasah berbicara tentang hubungan antara rakyat dengan pemimpinnya
sebagai penguasa yang konkret di dalam sebuah Negara atau antarnegara atau
dalam kebijakan-kebijakan ekonominya baik nasional maupun internasional. Abu Abdillah Ahmad bin Al-Isawi,
op.cit, 579
[19] Pengertian
ini, filsafat Aristoteles
mengatakan bahwa keadilan dibagi menjadi dua, pertama adalah keadilan
distributive dan keadilan commutative. Keadilan distributive memberikan
gambaran untuk memberikan keadilan sesuai dengan haknya masing-masing, dengan
kata lain kemaslahatan fardiyyah dan bukan kemaslahatan secara umum.
[23]
Najamuddin at Tufi. 1954. Syarh al-Hadis Arba'in an-Nawaiyah dalam
Mustafa Zaid. al-Maslahat fi at-Tasyri'i al-Islami wa Najmuddin at-Tufi.(Bagian
Lampiran) Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi, ; 243
Kepada rakyatnya, merujuk
kepada kemaslahatan.
[28] Maslahah mursalah” berada di
tengah-tengah antara “maslahah mu’tabarah” dan “maslahah mughah”, maka tidaklah
menghubungkannya dengan “maslahah mu’tabarah” itu lebih utama daripada
menghubungkannya dengan “maslahah mulghah”. Kerana ini, “maslahah mursalah”
tidaklah boleh menjadi dalil Syarak, kerana tiada dalil yang menunjukkan bahawa
ia termasuk dalam “maslahah mu’tabarah” dan bukannya “maslahah mulghah”.
[30] Kassim Ahmad.. Hadis
Satu Penilaian Semula. Selangor: (Media Intelek SDN BHD, Malaysia, 1986) ,67
[31] Sementara
Imam Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i mengatakan :“ orang yang
meninggalkan adalah fasik dan tidak kafir”, namun, mereka berbeda pendapat
mengenai hukumannya, menurut Imam Malik dan Syafi’i “diancam hukuman mati
sebagai hadd”, dan menurut Imam Abu Hanifah “diancam hukuman
ta’zir, bukan hukuman mati”. Apabila masalah ini termasuk masalah yang
diperselisihkan, maka yang wajib adalah dikembalikan kepada kitab Allah
subhaanahu wa ta’aala dan sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam, karena
Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman : “Tentang sesuatu apapun yang kamu
perselisihkan, maka putusannya dikembalikan kepada Allah.” ( QS. As Syura, 10
).
[32] Qawaid merupakan
bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian dalam bahasa Indonesia disebut dengan istilah kaidah yang berarti
aturan atau patokan. Dalam bahasa arab, kaidah memilik banyak arti diataranya: al-asas (dasar atau
pondasi), al-Qanun (peraturan dan kaidah dasar), al-Mabda’ (prinsip),
dan al-nasaq (metode atau cara). Al Qi’dah (cara
duduk, yang baik atau yang buruk), Qo’id
ar rojul (Istrinya), Dzul Qo’dah
(nama salah satu bulan qomariyah yang mana orang orab tidak mengadakan perjalanan
didalamnya) dan lain sebagainya.Dari seluruh arti tadi dapat kita simpulkan
bahwa kaidah secara bahasa artinya tidak akan keluar dari dasar atau pondasi
dan tempat sesuatu.
Adapun secara istilah banyak sekali
defenisi yang di buat oleh para ulama, tetapi yang paling lengkap dan paling
baik menurut penyusun adalah:”Suatu
perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagian-bagiannya.“
[33]
Tetapi dalam musyawarah Nasional MUI yang ke VII tahun 2005, dalam keputusannya
No. 6/MUNAS/VII/MUI/10/2005 memberikan riteria sebagai berikut. 1. kemaslahatan
menurut hukum Islam adalah tercitanya tujuan syari’ah (maqashid al
syari’ah), yang diwujudkan dalam bentuk terpeliharanya lima kebutuhan
primer (al dharuriyyat al khamsah), yaitu: agama, jiwa, akal, harta, dan
keturunan. 2. kemaslahatan yang
dibenarkan oleh syari’at adalah kemslahatan yang tidak betentangan dengan nash 3.
yang berhak menentukan maslahat atau tidaknya sesuau menurut syari’ah adalah
lembaga yang mempunyai kompetensi di bidang syari’ah dan dilakukan melalui ijtihad
jam’i.
[34]
Ijtihad
seringkali hanya diartikan sebagai upaya penyimpulan hukum yang dilakukan oleh
seorang mujtahid. Dalam kenyataannya, bila ijtihad hanya dipahami satu sisi
saja, maka akan terjadi kesalahpahaman terhadap syariah. Oleh karenanya, ijtihad tatbiqi harus dikembangkan pula
sebagai upaya maksimal dalam merealisasikan hukum hasil istinbat ke dalam
realitas kehidupan.Salah seorang ulama yang telah memberikan peninggalan konsep
ijtihad tatbiqi adalah Abu Ishaq al-Syatibi. Menurutnya, ijtihād ta¯bīqī merupakan ijtihad dengan menggunakan
dua konsepsi besar, yakni tahqīq al-manā¯ dan al-nadhar ila ma`ālāt al-af’āl. Permasalahan ijtihad merupakan hal yang selalu aktual untuk dicermati dan
dikaji. Akan tetapi, pembahasan seringkali hanya terbatas pada sisi penyimpulan
hukum sehingga terkesan bahwa syariah adalah hukum yang kaku. Hal in kemudian
berkembang menjadi pemahaman yang kurang tepat dalam memandang syariah terutama
terkait dengan posisinya pada dunia modern saat ini. Sementara, istilah ijtihad
tatbiqi seringkali dipahami sebagai upaya pemberlakuan hukum di masyarakat
sebagaimana undang-undang atau peraturan daerah diberlakukan. Ijtihad tatbiqi dan mendudukkanny sesuai dengan apa yang sudah dikonsepkan
sebelumnya oleh ulama terdahulu. Dalam kaitan ini, konsep ijtihad tatbiqi yng
telah dikemukakan oleh al-Syatibi menjadi hal yang menarik untuk dikaji. Kata ijtihād ta¯bīqī berasal dari dua kata berbahasa Arab, yakni kata “ijtihād” dan kata “ta¯bīqī”. Secara etimologis, kata ijtihad
merupakan bentuk masdar dari kata ijtahadapengerahan seluruh
kekuatan, kemampuan, kesanggupan). Secara terminologis, para ulama ahli usul
fiqh mengungkapnya dengan berbagai definisi. Al-Fairūz Ābādi (wafat 476 H)
mendefinisikan ijtihad sebagai ا(mengerahkan
segala kemampuan untuk menemukan hukum syara’). Al-Āmidi (wafat 631 H) (mengerahkan seluruh kemampuan dalam menemukan
suatu dugaan dalam hukum syara’ yang dirasa sudah tidak ada lagi kemampuan
untuk mendapatkan lebih dari itu). Al-Ghazāli (wafat 505 H) mendefinisikan
ijtihad sebagai pengerahan seorang mujtahid akan seluruh
kemampuannya untuk menemukan pengetahuan tentang hukum syara’.
[35] Menghukum anak,
menjadi serba salah, karena salah hukum,
dapat menimbulkan fitnah, seperti yang diisyaratka QS Al-Taghabun: 14. Al-Imam
At-Tirmidzi t dalam Sunan-nya (no. 3317) membawakan asbabun nuzul (sebab
turunnya) surah At-Taghabun ayat 14 ini, dari
riwayat Ibnu ‘Abbas c. Tatkala ada yang bertanya kepada Ibnu ‘Abbas c tentang
ayat ini, beliau menyatakan: “Mereka adalah orang-orang yang telah berislam dari
penduduk Makkah dan mereka ingin menda-tangi Nabi I, namun istri dan anak
mereka enggan ditinggalkan mereka. Ketika mereka pada akhirnya mendatangi
Rasulullah I, mereka melihat orang-orang yang lebih dahulu berhijrah telah
tafaqquh fid dien (mendalami agama), mereka pun berkeinginan untuk memberi
hukuman kepada istri dan anak-anak mereka. Allah I lalu menurunkan ayat 6:Namun riwayat asbabun nuzul ini dha’if (lemah)
sebagaimana dinyatakan oleh Asy-Syaikh Al-’Allamah Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i t,
dalam karya beliau Ash-Shahihul Musnad min Asbabin Nuzul (. 249).
[36] Bila UU No 20/2003 menuntut
pencapaian kualitas yang maksimal, menuntut pendidik menjadi profesional, seyogianya diiringi dengan adanya UU
Profesi Pendidik. Meskipun dalam UU No 14/2005 secara tegas telah melindungi
profesi guru dan dosen, namun dalam dataran implementasi kekuatan UU tersebut
masih tak terlihat berkontribusi terhadap nasib guru/dosen sebagai tenaga
pendidik. Untuk itu, sudah pada saat dan tempatnya jika guru/dosen membangun
kekuatan solidaritas untuk mendorong pemerintah memperbaiki kondisi kerja
guru/dosen dan melindungi profesi mereka dengan kekuatan hukum yang jelas.
Bunadi Hidayat,op.cit.,178
[37] Ibnu Hazm (994-1064 M), salah seorang tokoh
ulama dari mazhab Zahiri, bahkan menulis satu pembahasan khusus untuk menolak
metode sadd adz-dzari’ah dalam kitabnya al-Ahkam fi Ushul al-Ihkam. Ia menempatkan sub pembahasan
tentang penolakannya terhadap sadd
adz-dzari’ah dalam pembahasan tentang al-ihtiyath (kehati-hatian dalam beragama). Sadd
adz-dzari’ah lebih merupakan anjuran untuk bersikap warga dan menjaga
kehormatan agama dan jiwa agar tidak tergelincir pada hal-hal yang dilarang.
[38]Terkait
dengan kedudukan sadd al-dzari’ah, Elliwarti Maliki, seorang doktor
wanita pertama asal Indonesia lulusan al-Azhar, Kairo, menganggap bahwa sadd al-dzari’ah merupakan metode istinbath hukum yang mengakibatkan
kecenderungan sikap defensif (mempertahankan diri) di kalangan umat Islam. Pada
gilirannya, hal ini bisa menimbulkan ketidakberanian umat untuk berbuat sesuatu
karena takut terjerumus dalam mafsadah.
Di samping itu, produk-produk fikih dengan berdasarkan sadd
al-dzari’ahcenderung menjadi bias gender.
[41] Menurut bahasa سخر berarti “mengejek, mencemoohkan,
menghina”.
Pengertian dalam Islam tentang penghinaan itu memiliki pengertian yang berbeda-beda. Untuk itu kita harus mengidentifikasikan dahulu kata penghinaan dengan lafadz Arabnya, sedangkan hal-hal yang tercakup dalam arti penghinaan itu lafadnya berbeda-beda. Penghinaan itu berasal dari kata “hina” yang artinya : a. Merendahkan, memandang redah atau hina dan tidak penting terhadap orang lain. b. Menjelekan/memburukan nama baik orang lain, menyinggung perasaannya dengan cara memaki-maki atau menistakan seperti dalam tulisan surat kabar yang dipandang mengandung unsur menghina terhadap orang lain. Menurut Al Ghozali bahwa penghinaan adalah : “Menghina orang lain dihadapan manusia dengan menghinakan dirinya di hadapan Allah Swt.pada Malaikat dan Nabi-nabinya. Jadi intinya peng-hinaan adalah merendahkan dan meremehkan harga diri serta kehormatan orang lain di hadapan orang banyak”. Lihat M.Quraish Shihab, op.cit., 241
Pengertian dalam Islam tentang penghinaan itu memiliki pengertian yang berbeda-beda. Untuk itu kita harus mengidentifikasikan dahulu kata penghinaan dengan lafadz Arabnya, sedangkan hal-hal yang tercakup dalam arti penghinaan itu lafadnya berbeda-beda. Penghinaan itu berasal dari kata “hina” yang artinya : a. Merendahkan, memandang redah atau hina dan tidak penting terhadap orang lain. b. Menjelekan/memburukan nama baik orang lain, menyinggung perasaannya dengan cara memaki-maki atau menistakan seperti dalam tulisan surat kabar yang dipandang mengandung unsur menghina terhadap orang lain. Menurut Al Ghozali bahwa penghinaan adalah : “Menghina orang lain dihadapan manusia dengan menghinakan dirinya di hadapan Allah Swt.pada Malaikat dan Nabi-nabinya. Jadi intinya peng-hinaan adalah merendahkan dan meremehkan harga diri serta kehormatan orang lain di hadapan orang banyak”. Lihat M.Quraish Shihab, op.cit., 241
LEMBAR PENGESAHAN
PENULISAN DISERTASI HUKUM
ISLAM
ANALISIS YURIDISTENTANG
HUKUMAN FISIK
TERHADAP ANAK-ANAK
(Perbandingan
Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Dan Hukum Islam)
Disusundandiajukanoleh
:
Mhd.Rakib
Nim : 08 S3 007
TelahdisetujuiolehPembimbinguntukdilakukan
UjianTertutupHukum
Islam
PadaTanggal
:
DOSEN PEMBIMBING
Pembimbing IPembimbing II
Prof.Dr.SudirmanM.DJohan,
M.A. Prof.Dr.
Syafrinaldi, M.CL
Mengetahui
Direktur
Pascasarjana UIN Suska
Prof.Dr. Mahdini, M.A.
Pernyataan Keaslian Karya
ilmiah
Dengan
pernyataan ini saya, yang bertantangan
di bawah ini dengan sesungguhnya:
Nama :
Mhd.Rakib
NIM :
08 S3007
Status :
Mahasiswa S 3 UIN Suska Riau
Menyatakanbahwakaryailmiah
/ disertasiiniadalahaslihasilkaryasayasendiridanKaryaIlmiahinibelumpernahdiajukansebagaipemenuhanpersyaratanuntukmenempuhgelarKesarjanaan
Strata Tiga (S3) dariUniversitas Islam Negeri Sultan SyarifKasim, Riau.
maupunPerguruanTinggi lain.
Semuainformasi
yang dimuatdalamkaryaIlmiahini yang berasaldaripenulis lain baik yang
dipublikasikanatautidak, telahdiberikanpenghargaandenganmengutipnamasumberpenulissecarabenardansemuaisidarikaryaIlmiah
/ Tesisinisepenuhnyamenjaditanggungjawabsayasebagaipenulis.
Pekanbaru, 18Maret
2012
Penulis
Mhd.Rakib
Wahai orang-orang yang beriman,
sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh
bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu memaafkan dan
tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.(Q S.al-Taghabun 64:14)
Apabilasudahberumur“tigabelastahun”,apabilameninggalkanshalatdanpuasa.hendaklahdipukul(H.R.
Ibnu Hiban.)
Imam Syafe’idalamsyairnyamenyatakan
فقيها و صوفيافكنليسواحدا * فإني و
حـــق اللهإيـــاكأنــــصح
فذالكقاسلم يـــذققـلــبهتقى * وهذاجهولكيفذوالجهليصلح
Berusahalahengkaumenjadiseorang
yang mempelajariilmufiqihdanjugamenjalanitasawuf,
danjanganlahkauhanyamengambilsalahsatunya.
ABSTRAK
Penelitianinidilakukanberdasarkanfenomenaadanyakegelisahan
orang tuadan guru-guru, yang tidakmendapatkanpelindunganhukum, ketikamemberikanhukumanfisik,
terhadapanak-anak di seluruh Indonesia.Tanpahukumanfisik, anak-anaktertentu,
cenderungmenjadisemena-menaterhadapteman-temannya, bahkan guru-gurunya. MenurutHukum
Islam, anak-anak yang tidaksalatdantidakpuasa, ataumelanggaraturandisiplin, bolehdikenakanhukumanfisik,
tentusajadenganukuran-ukuran yang telahditetapkan.
Di Indonesia, sejaktahun 2002, orang tuadan guru, dapatdikenakan hukuman penjara, jika memberikanhukumanfisikterhadap anak-anak. Tapikebiasaanmemukulitutetapberlangsungsampaihariini,
bahkanterusmenerusmenjadimasalah.Karena
itu, disertasi ini mengungkapkan permasalahan yang
ditimbulkannya, serta sebab-sebab masihbertahannyaberbagaimodel hukuman ini.Sipatnya mendesak
untuk ditelti, karena korbannyaterusberjatuhan. Masalah pokoknyaadalah
hukuman fisik, yang dilarang oleh undang-undang, yang diperkuat oleh konvensi PBB untuk hak-hak anak.
Penulis menggunakan metode analisis, yang merupakan
pengembangan dari metode deskriptif.
Fokus untuk mendeskripsikan, membahas, mengkritisi dari sisi formal dan
material terhadap Undang-Undang RI, Nomor 23 tahun 2002 yang dibandingkan dengan hukum Islam.Sedangkan
temuan baru adalah yang berkaitan dengan
teori Gunnoe, yang menyatakan bahwa anak umur 6 tahun boleh dipukul ringan. Walaupun
dalam Hukum Islam anak tidak shalat, boleh dipukul ringan pada umur sepuluh tahun. Teori Gunneo ini,
secara tidak lansung, terkait dengan maqashid
al-syari’ah.
Kata
kunci: Hukuman fisik dan Hukum Islam
ABSTRACT
This study was conducted based on the phenomenon of the anxiety of parents and teachers, who do not get legal protection, while providing physical punishment of children across Indonesia. Without physical punishment, certain children, tend to become abusive towards her friends, even her teachers. According to Islamic law, children who are not praying and not fasting, or breaking the rules of discipline, corporal punishment may be imposed, of course with the measures that have been established.
In Indonesia, since 2002, parents and teachers, may be imprisoned, if the physical punishment of children. But the habit of hitting it persists to this day, and even continues to be a problem. Therefore, this dissertation reveals the problems it caused, and still causes the persistence of the various models of this sentence. Sipatnya urged to ditelti, as victims continue to fall. The underlying problem is physical punishment, which is forbidden by the law, which is reinforced by the UN convention for the rights of children.
The author uses the method of analysis, which is the development of a descriptive method. Focus to describe, discuss, criticize in terms of formal and material to the RI Act, No. 23 of 2002 as compared with Islamic law. While the new findings is related to the theory Gunnoe, who claimed that 6 year olds should be beaten lightly. Although the Islamic law children do not pray, be struck lightly at the age of ten years. Gunneo this theory, if only indirectly, linked to al-Shari'ahmaqashid.
Keywords: Physical punishment and Islamic Law
KATA PENGANTAR
Berkat rahmat dan hidayah Allah Yamg
Mahakuasa penulis dapat menyelesaikan penyusunan disertasi ini, dengan judul:“ANALISIS
YURIDIS TENTANG HUKUMAN
FISIK TERHADAP ANAK-ANAK(Perbandingan Antara Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
dan Hukum Islam). Penelitian ini,
dilakukan berdasarkan fenomena kekerasan yang terjadi ditengah-tengah masyarakat,
berupa hukuman fisik oleh orang tua dan guru, terhadap anak-anak, untuk
menanamkan disiplin terhadap anak-anak binaannya.
Tidak dapat dielakkankejadian nyata, khususnya di
Kepri,tersiar di surat kabar Sijori, Batam, Selasa, 03 November 2009. Gara-gara tidak bisa membaca,seorang murid SD di Ranai-Natuna
dihukum dengan dipaksa meminum air liur
di depan kelas.Berbagai
tindakan kekerasan dan pelecehan yang terjadi pada anak, dalam istilah psikologi
dan kriminologi kerap disebut sebagai child
abuse, perlakuan kejam pada anak. Ada empat model child abuse. Pertama emotional abuse, perlakuan ini muncul dengan
modus membiarkan dalam kondisi tidak menyenangkan yang dialaminya. Kedua,
Verbal abuse, terjadi ketika si ibu –atau siapa saja yang dekat saat itu dengan
anak-, membalas atau merespon reaksi anak dengan kata-kata perintah dan
larangan, misalnya menyuruh anak itu untuk “diam” .Sebaliknya guru-guru saat
ini, merasa tidak dilindungi oleh undang-undang, ketika melaksanakan
profesinya, khususnya ketika harus menegakkan disiplin, di mana anak didiknya
harus diberikan sanksi hukuman, yang kadang-kadang dituduh melakukan kekerasan,
sehingga dilaporkan kepada pihak kepolisian. Bahkanguru-guru dituntut dengan
hukuman penjara, atau denda sampai puluhan juta rupiah.
Komnas
Perlindungan Anak mencatat terjadinya 688 kasus kekerasan pada anak, 381
meliputi kekerasan fisik dan psikologis. Dan 80 persen pelaku kekerasan adalah
ibu kandung korban.Keluarga dan orang terdekat (significant others) yang
seharusnya melindungi dan menyayangi anak justru terkadang menjadi penyebab
anak menemui ajalnya. Lantas bagaimana? Lazimnya interaksi antara orangtua dan
anak dalam kehidupan sehari-hari melahirkan model transformasi nilai atau
bahkan pewarisan budaya yang dianut orangtua. Nilai-nilai itulah yang kemudian
dijadikan sebagai pegangan bagi anak untuk berinteraksi dengan dunia yang lebih
luas pada fase kehidupan selanjutnya. Dengan begitu jelas nilai-nilai yang
dimiliki orangtua memberi pengaruh besar terhadap kehidupan seorang anak
memiliki pengaruh langsung terhadap anak, dibanding nilai-nilai masyarakat.
Studi yang penulis
lakukan, memilki aspek kebaruan atau hal yang “baru” yaitu adanya sedikit keterkaitan teori di luar hukum, dengan maqashid al-syari’ah, misalnya teori
yang mengatakan bahwa anak yang dipukul waktu kecil, akan lebih sukses dan
lebih kuat daya juangnya di masa depan. Teori itu disebut teori Gunnoe, berasal dari ahli psikologi Inggris yang bernama Marjorie Gunnoe. Kemudian penulis
mengungkapkan sisi kesamaan dan perbedaan antara UU Perlindungan anak dan Hukum
Islam.Apa pula hukumnya memberikan hukuman fisik terhadap anak-anak?.Hal ini
sangat mendesak untuk dijawab. Karena terjadi di seluruh wilayah nusantara,
dengan berbagai macam variasi.Inilah
arti pentingnya kehadiran disertasi ini.
Diertasi ini, sudah menggunakan lebih kurang 660 catatan kaki, dan 675 halaman. Setelah penulisan
draftnya selesai,penulis melakukan konsultasi dengan Bapak Dr.Arravi Abduh,M.A., sebagai
sekretaris PPS, UIN Suska Riau. Penulis melakukan konsultasi
beberapakali dengan Prof.Dr. Amir Lutfi dan Prof. Dr. Alayiddin Koto, MA. Kemudian penulis diberi dua orang pembimbing tetap, yaitu Bapak Prof.Dr.Sudirman M.Djohan M.A dan
Prof.Dr.Syafrinaldi,M.Cl.Akhirnya penulis
mengucapkan terima kasih kepadasemua pihak
yang telah berjasa kepada penulis, mulai sejak awal masa kuliah penulis ,
sampai disertasi ini selesai, antara
lain:
1. Prof. Dr. H.Muhammad Nazir, M.A., Rektor UIN Suska Riau, karena pada
masa kepemimpinan beliau, dibuka program doktor (S 3) di UIN Suska Riau, di Pekanbaru,
sehingga penulis yang juga tinggal
diPekanbaru, mendapatkan kesempatanmengikuti program ini, tanpa hambatan
apapun.
2. Prof. Dr. Mahdini, M.A., karena telah mempermudah urusan admintsrasi
perkuliahan, sehingga semua kegiatan berjalan sesuai menurut yang semestinya.
3. Prof.Dr.Sudirman
M.Djohan M.A., karena telah mengoreksi setiap bab, bahkan setiap lembar dari draft
disertasi ini, sehingga mengurangi kejanggalan kata dan pragraf yang penulis tampilkan.
4. Prof.Dr.Syafrinaldi,M.CL. karena telah
meluangkan waktu begitu di sela kesibukan beliau sebagai direktur Pascasarjana
UIR dan sekaligus, dekan fakultas hukum UIR, pada pertengahan tahun 2012.
Perubahan demi perubahan yang beliau turunkan dalam koreksian beliau, dirasakan
samgat menambah wawasan penulis.
5. Kepala perpustkaan
pascasarjana UIN Suska, karena telah meminjamkan banyak buku yang penulis
perlukan.
6. Deci Masdiani, M.Pd.,Kepala
Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan(LPMP) Provinsi Riau, di mana penulis bertugas
sehari-hari,karena izinnya penulis dapat meinggalkan tugas di kantor,
secara legal dan tidak mengganggu tugas pokok penulis sebagami widyaiswara.
7.
Dra. Syarifah Yusuf, Kepala SMP Tunas Harapan Yayasan Masjid Al-Mujahdin
Labuhbaru Pekanbaru- Riau, sekaligus sebagai pendamping penulis dalam rumah
tangga, dan telah dikaruniai empat orang putra-putri. Penulismerasasangattermotivasidengandanterbantudalambidangdanadansaranauntukmerampungkanpenulisandisertasiini.
Masih banyak nama lain
yang berjasa yang membantu penulis dalam penyelesaian disertasi ini, yang belum
disebutkan, karena ingin menyederhanakansebagaimanalayaknyasebuah kata pengantar.
Kepada yang belumdisebutnamanya, penulis hanya mendoakan kepada Allah, semoga jasa mereka diberi ganjaran yang
baik di sisi Allah SWT.
Pekanabaru23Maret 2012.
Muhammad Rakib
DAFTAR ISI
Motto........................................................................................................................................................................ i
ABSTRAK............................................................................................................................................................... ii
KATA
PENGANTAR......................................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar
Belakang.............................................................................................................................................. 1
B.Rumusan masalah....................................................................................................................................... 6
1.Konseppelaranganhukumanfisik............................................................................. 10
2.Ukurananak-anakdandewasa................................................................................... 10
3.Maqashid
al-syari’ah yang terkaitdenganhukumanfisik.......................................... 11
C.Signifikansi penelitian............................................................................................................................... 11
D.Tinjauan Pustaka......................................................................................................................................... 24
1.Reviewliterature........................................................................................................... 24
2.Penelitianterdahulu...................................................................................................... 29
a. MaimunahNuh, tahun 2001........................................................................................ 29
b.Teguh Budi Setia, tahun 2004..................................................................................... 30
c. Anisah, tahun 2007........................................................................................... 30
d. M.FazenAnshori, 2008............................................................................................... 30
3.
Hukumanfisikdalamkonteks Indonesia...................................................................... 32
E.Metode
Penelitian........................................................................................................................................ 34
1.ObyekPenelitian........................................................................................................... 34
2.Sumber
data................................................................................................................. 35
3.DataSekunder.............................................................................................................. 26
4.Datatertier.................................................................................................................... 27
5.Fokuspenelitian............................................................................................................ 37
6.Analisis data............................................................................................................ 40
BAB
II TINJAUAN
TEORETIS TENTANG HUKUMAN FISIK
MENURUT HUKUM ISLAM
A.Tinjauan Dari Sumber Hukum
Islam.............................................................................................. 41
1.Al-Quran............................................................................................................................................................. 41
1.1.Kehujjahan Al-Qur’an.......................................................................................... 41
1.2. Ayat –AyatHukum Di dalam Al-Quran.................................................................. 45
1.3.KeharusanMengikutiHukumQur’an......................................................................... 46
1.4..Ayat
- muhkamatdanmutasyabihat
1.5.Tafsir Al-Qur’an
2.Al-Sunnah.................................................................................................................... 49
2.1.Pengertian
al-sunnah......................................................................................... 49
2.2.Tindakanpribadi Muhammad SAW.................................................................. 50
2.3.Kakateristik Hukum Islam........................................................................................................ 50
2.3 1.Moderat............................................................................................................................................... 50
2.3.2.stiqamah.......................................................................................................................................... 51
2.3.3.Wasthan................................................................................................................................................ 51
2.3.4.Aman............................................................................................................................................................ 52
2.3.5.Kuat............................................................................................................................................................. 53
2.3.6.Persatuan.................................................................................................................................................. 53
B. Keistimwaan
Hukum Islam................................................................................................................... 54
1.DidasarkanpadawahyuIlahi................................................................................... 55
2.Komprehensip.............................................................................................................. 55
3.Terkaitdenganmasalah moral/ akhlak........................................................................... 55
4. Adanyaorientasikolektivitas................................................................ 55
4.1.Ciri-ciri khusushukum Islam
4.1.1.Rabbaniyyah.......................................................................................................... 56
4.1.2.Insaniyyah.............................................................................................................. 57
4.1.3.Syumuliyah............................................................................................................
4.1.4.Wasathiyyah.......................................................................................................... 59
4.1.5.Waqi’iyyah............................................................................................................. 59
4.1.6.Tatawwu................................................................................................................ 60
C.Maqasid al-
Syari’ah Dalam Hukum Islam................................................................................... 68
1.Pengertianmaqashid
al-syari’ah......................................................................................... 68
2.Intisarimaqashid al-syari’ah......................................................................................... 70
3.Subjek dan Objek Hukum
Islam.......................................................................................................... 71
3.1.Orangdewasa.............................................................................................................................................. 71
3.2.Mmampumemahamihokum....................................................................................... 72
2.3.Orang
yang berakal................................................................................................... 72
3.4.Mampumenerimabebantaklif.................................................................................... 72
3.4.1.Esensi HukumPidana Islam....................................................................................................... 81
3.4.2.Kemaslahatanmasyarakat....................................................................................... 81
3.4.3.Ketertiban.............................................................................................................. 82
3.4.4..Karakteristik Hukum Islam...................................................................................................... 85
3.4.5. Sanksinya dunia akhirat.................................................................................... 85
3.4.6.Penerapanhukum Islam bersifat universal.............................................................. 85
3.4.7.Menetapkanhukumbersifatrealistis........................................................................ 86
4.Subjek dan Objek Hukum
Pidana Islam......................................................................................... 89
4.1. Subjekhukumpidana Islam ...................................................................... 89
4.2.Objekhukumpidana Islam……………..................................................................... 91
5.Hukum Hudud................................................................................................................................................ 95
5.1.Pengertianhudud................................................................................................................................ 95
5.2.Gabunganhak
Allah danmanusia.......................................................................... 98
5.3.Adaptasi HAM dalamhud............................................................................... 99
5.4.Hududmenegakkankamauanpencipta.............................................................. 103
5.6.HukumTa’zir.................................................................................................................................... 103
5.6.1.Untukdisiplin ...................................................................... 103
5.6.2.Untukta’dib ...................................................................... 104
5.6.3.Untukmencegahmaksiat.................................................................................... 105
5.6.4. Batasanumur yang
dapatdikenakanta’zir......................................................... 107
6.Asas-asas yang terkandungdalampenerapanjarimah................................................... 115
6.1.AsasLegalitas........................................................................................................... 115
6.2.Asaspradugatakbersalah........................................................................................ 117
6.3.Asaslaranganmemindahkankesalahankepada
orang lain .................................. 117
7.PemabagianJarimahta’zir............................................................................................. 125
BAB III IDENTIFIKASI UNDANG-UNDANG RI NOMOR 23 TAHUN
2002
A.Ruang
lingkup Perlindungan anak Indonesia........................................................................... 131
1.Tuntutanpenghapusanhukumanfisik............................................................................ 132
2.Hukumanfisikbermasalah............................................................................................. 132
3.Batasan perlindungan terhadap hukuman fisik............................................................ 133
4. Kepidanaandankeperdataananak-anak....................................................................... 135
5.
Anak-anakmenjadikorban yang kekerasan................................................................. 136
B. Urgensi Undang-Undang Perlindungan Anak.......................................................................... 137
1. Menjamin,
terpenuhinyahak-hakanak................................................................................................. 137
2.Setiapanakharusdidengarpendapatnya........................................................................ 138
C.Signifikansi
Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002.................................................... 142
1. Tidak ada lagi anak-anak yang boleh dipukul............................................................ 142
2.Menghapuskankekerasan
di luarkeluarga.................................................................... 143
D.Sanksi
Hukum Terhadap Pelanggaran UU Nomor 23
Tahun 2002.......................... 155
1.Penjara
lima belastahun................................................................................................ 154
2.Denda.......................................................................................................................... 155
BAB IV KETENTUAN PERLINDUNGAN ANAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN PER BANDINGANNYA DENGAN UU NOMOR 23
TAHUN 2002
A.Perlindungan Anak..................................................................................................................................... 180
1.Perlindungandarihukumanfisik.......................................................................................................... 181
2.Melindungi anak-anak dari kekerasan guru................................................................ 182
3.Solusiperlindungananakmelaluifikih............................................................................ 184
4.Pencegahankekerasanterhadapanak-anak.................................................................... 186
B.Status
Anak Dalam Subjek dan Objek Hukum Islam............................................................. 188
1.Anak-anak
bukansubjekhokum.................................................................................... 188
2. Dasarpenetapansubjekhokum...................................................................................... 189
3. Syarat-syaratbagisubjekhukumtaklif.................................................................................. 189
4.
Teori-teorihukumandisiplinbagianak-anak.............................................................. 192
4.1. Teorihukumalam...................................................................................................... 192
4.2.
Teorigantirugi........................................................................................................... 193
4.3.
Teorimenakut-nakuti................................................................................................ 194
4.4.
Teoribalasdendam.................................................................................................... 195
4.5.
Teorimemperbaiki.................................................................................................... 196
4.6.
Teorimelindungi....................................................................................................... 197
4.7. Teoripemberianefekjera............................................................................................ 198
C.Hak-Hak
dan Kewajiban Anak............................................................................................................. 196
1.Pengertianhak.............................................................................................................. 196
2.Hak-hakanak................................................................................................................ 199
3.Maqashid
al-Syari’ahmemukulanak yang tidakshalat.................................................. 200
4.
Memukulanak yang sesuaidenganmaqashid al-syari’ah.............................................. 201
5. Memukulyang
melampauibatas................................................................................... 203
6. Memukulanaksebagaiinstrumendisiplinsekunder.................................................... 207
7.Memukulanak yang melanggarhukum......................................................................... 217
8.Hukuman pukulan bagian dari ta’zir ........................................................................... 224
9.Kritikterhadaphukumanfisikanak-anak........................................................................ 229
9.1.PerusakanAkhlaq.............................................................................................. 230
9.2. Perusakanpolapiker.................................................................................................. 230
9.3. Adanyasekulerisasipendidikan................................................................................ 231
9.4.
Kritikpembela HAM terhadaphukumanfisikterhadapanak-anak..................... 232
9.5. Analisishukumandarikaedahfiqhiyah....................................................................... 236
9.6.Analisiskonsepmaslahah................................................................................... 242
9.6.1.Pengertian Maslahat............................................................................................... 242
9.6.2.Berlakunya maslahat ............................................................................................. 243
9.6.3.
Masalahatdalam kaidah fiqih dalam realitas......................................................... 247
9.6.4.Analisis
masalahahdanSaddu al-dzari’ah............................................... 250
D.SanksiHukumTerhadapPelanggaranHakAnak-AnakMenurutHukum
IslamdanUU.Nomor 23 Tahun 2002
1.Diberlakukanqishash.................................................................................................... 254
2.
Didendaseratusjuta..................................................................................................... 255
3.Ketentuandanaturandalammemukulanak-anak............................................................ 258
3.1.Perintah Allah........................................................................................................... 258
3.2.Usiaanaksudah 10 tahun........................................................................................... 259
3.3.Tidakmenyiksa.................................................................................................. 259
3.4.Hindaririya’ dansum’ah (pamer)....................................................................... 259
3.5.Hukumanpukulansebagaiobat................................................................................... 259
E.Perbandingansanksihukumterhadappelanggaranhakanak-anak
1.Sanksi umum................................................................................................................ 292
2. Sanksi khusus.............................................................................................................. 293
3.Sanksihukum
yang sesuaidengansyari’at..................................................................... 299
4.Sanksi yang
mengandungfalsafah moral..................................................................... 302
BAB V KESIMPULAN
A.Kesimpulan
1.Hukumanfisikterhadapanak-anakmenuruthukum
Islam.............................................. 308
2. UU Nomor 23 Tahun 2002 dengantegasmelaranghukumanfisik................................ 308
3.Maqashid al-syari’ahpadahukumanfisik.............................................. 310
B.Implikasi......................................................................................................................................................... 311
1.Kritikterhadapteori
HAM Barat.................................................................................. 311
2.Pengaruh
internal daneksternal.................................................................................... 311
3.Hukum
Islam tidakbertentangandengan UU RI No.23 Th 2002................................ 312
C.Rekomendasi............................................................................................................................................... 312
1.Kepadaorang
tuadanpihakpesantrenatausekolah............................................................................ 312
2.Kepadapara
hakim di pengadilan............................................................................... 313
3.KepadaKementerianPendidikandanKebudyaan......................................................... 313
GLOSSARY.................................................................................................................. 315
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................... 322
LAMPIRAN.......................................................................................................................................................... 344
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Perbedaan UU RI Nomor 23 Tahun dan Hukum Islam.................. 183
2. Pro kontra hukuman fisik terhadap anak-anak.............................. 187
3. Kesamaan UU RI Nomor 23 Tahun dan Hukum Islam.................... 257
4.
Kebiasaaninternasional , usiapertanggungjawabanpidana......... 219
5. Kemiripan kata memukul dalam Al-Quran dan hadits.................. 295
6.
Perbedaanbatasusiadewasamenurutundang-undang................... 298
7.
Tempatterjadinyahukumanfisikataubullyng.................................... 306
8.
Bentukkekerasanbullying...................................................................... 306
No comments:
Post a Comment