HUKUMAN TIDAK TERPISAHKAN
DARI PEMBINAAN ANAK-ANAK
Muhammad Rakib,S.H.,M.Ag
NIM. 30891100007
S 3 UIN SUSKA RIAU.PEKANBARU
BAHAN RENUNGAN
Hukuman
memang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam membina anak-anak, malahan
dalam situasi tertentu mutlak diperlukan. Tetapi pada saat yang sama ia sama
sekali tidak setuju secara mutlak dengan hukuman fisik. Ia tidak keberatan
dengan hukuman-hukuman non-fisik tapi bukan hukuman non-fisik yang berat. Ia
menambahkan, "Perlu diingat bahwa
jangan sekali-kali memberikan hukuman yang akan merendahkan harga diri anak,
seperti hukuman badan, ancaman dengan siksaan atau apa saja demi menghancurkan
keinginan buruknya. Hindarilah hukuman-hukuman seperti memukul, atau menyekap
anak di ruangan yang gelap dan sempit."[1]
Secara yuridis, Undang-undang
tentang perlindungan guru telah
termuat dalam UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen. Hal ini terlihat jelas pada
Bab VII pasal 39 yang menyebutkan bahwa pemerintah, masyarakat, organisasi
profesi, dan atau satuan pendidikan, wajib memberikan perlindungan terhadap
guru dalam pelaksanaan tugas. Hal ini terlihat bahwa eksistensi UU No.14/2005
telah memuat perlindungan,[2] terhadap guru
atas profesinya. Namun implementasi terhadap undang-undang tersebut masih belum
terlaksana. Islam
menerima hukuman sebagai bagian dari sistem pendidikan. Ada beberapa kategori
hukuman dalam Islam:
Hukuman non-fisik seperti ancaman, peringatan atas orang-orang yang berdosa
dengan siksaan di hari akhirat, denda, dan diat. Ayat-ayat al-Quran
mengilustrasikan dalam berbagai kesempatan tentang kabar gembira untuk
orang-orang yang beriman dan ancaman akhirat untuk orang-orang yang berdosa.
Bahkan nabi sendiri diperkenalkan sebagai pembawa kabar gembira dan pembawa
peringatan. Hukuman jenis kedua yaitu
hukuman fisik yang bersyarat,[3] seperti hukuman
penjara, pengasingan, kisas, pukulan, hukuman
aturannya telah ditetapkan oleh syariat.
Dalam pembunuhan yang disengaja
wali yang dibunuh bisa meminta hukuman qishas
terhadap hakim. Dalam pembunuhan yang tidak disengaja si pembunuh wajib
menyerahkan denda (diat) kepada wali yang dibunuh. Perempuan dan
laki-laki yang berzina akan mendapatkan hukuman cambuk sebanyak seratus kali
deraan. Perilaku homo seksualitas (liwâth) yang disengaja dalam kondisi
tertentu akan mendapatkan hukuman mati. Peminum khamar dalam kondisi tertentu
akan mendapatkan hukuman cambuk seratus kali, mencuri dalam kondisi tertentu
akan mendapatkan hukuman potong tangan.
Siapa saja yang dengan sengaja
mengakibatkan anggota badan orang lain terpotong akan dikisas oleh hakim
syar'i, yaitu dipotong anggota badan yang sama, tapi kalau secara tidak sengaja
maka ia harus membayar denda dalam jumlah tertentu. Untuk mengetahui lebih
lengkap tentang aturan-aturan hukuman Islam, Anda bisa merujuk kitab-kitab
fikih. Hukuman jenis ketiga yaitu ta'zîr.
Ta'zîr adalah hukuman fisik yang
ketentuannya diatur oleh seorang hakim tetapi tentunya lebih ringan dari
had. Dalam kasus pelanggaran yang
hukumannya tidak ditentukan oleh syariat, sang hakim tidak bisa memberikan
hukuman yang sesuai dengan pelanggaran itu hanya demi kemaslahatan umum, tapi
ia bisa memberikan hukuman yang kurang dari had. Contohnya kalau seorang
laki-laki mencium anak atau perempuan yang bukan istrinya dengan penuh nafsu,
sang hakim syar'i dapat menjatuhkan hukuman ta'zîr .
Laki-laki dan perempuan (bukan
muhrim) yang tidur terlentang di atas ranjang. Secara umum siapa saja yang
melakukan dosa besar maka ia bisa dijatuhi hukuman ta'zîr dari sang hakim.
“Islam memberi tempat bagi hukuman fisik”,[4] dan non-fisik
sebagai bagian dari pendidikan yang penting dan demi memelihara keadilan dan
ketenteraman masyarakat. Islam melegalkan hukuman-hukuman itu bukan sebagai
bentuk balas dendam kepada orang-orang yang berdosa, namun untuk menjaga
stabilitas sosial dan hak-hak manusia. Hukuman
dalam jarimah ta’zir tidak ditentukan
ukurannnya oleh Al-quran dan hadits, artinya untuk menentukan batas terendah
dan tertinggi diserahkan sepenuhnya kepada hakim (penguasa). Dengan demikian,
syari’ah mendelegasikan kepada hakim untuk menentukan bentuk-bentuk dan hukuman
kepada pelaku jarimah. Abd al- Qadir Awdah membagi jarimah ta’zir menjadi tiga, yaitu :
1) Jarimah hudud dan
qishash diyat yang mengandung unsur
shubhat atau tidak memenuhi syarat, namun hal itu sudah dianggap sebagai
perbuatan maksiat, seperti pencurian harta (syirkah), pembunuhan ayah terhadap anaknya, dan percurian yang
bukan harta benda.
2) Jarimah ta’zir yang jenis jarimahnya ditentukan oleh nas,
tetapi sanksinya oleh syari’ah diserahkan kepada penguasa, seperti sumpah
palsu, saksi palsu, mengurangi timbangan, menipu, mengingkari janji,
menghianati amanah, dan menghina agama.
3) Jarimah ta’zir dimana jenis jarimah dan sanksinya secara
penuh menjadi wewenang penguasa demi terealisasinya kemaslahatan umat. Dalam
hal ini unsur akhlak menjadi perimbangan yang paling utama. Misalnya
pelanggaran terhadap peraturan lingkungan hidup, lalu lintas, dan pelanggaran
terhadap pemerintah lainnya.[5]
Dalam menetapkan jarimah ta’zir, prinsip utama yang
menjadi acuan penguasa adalah menjaga kepentingan umum dan melindungi setiap
anggota masyarakat dari kemudharatan (bahaya). Di samping itu, penegakkan
jarimah ta’zir harus sesuai dengan
prinsip syar’i.[6]Hukuman-hukuman
ta’zir banyak jumlahnya, yang dimulai
dari hukuman paling ringan sampai hukuman yang terberat. Hakim diberi wewenang
untuk memilih diantara hukuman-hukuman tersebut, yaitu hukuman yang sesuai
dengan keadaan jarimah serta diri pembuatnya. Hukuman ta’zir antara lain.
1. Hukuman
mati
Pada dasarnya
menurut syari’ah Islam, hukuman ta’zir adalah
memberikan pengajaran (ta’dib) dan
tidak sampai membinasakan. Dalam hukuman ta’zir tidak boleh ada pemotongan
anggota badan atau penghilangan nyawa. Akan tetapi beberapa fuqaha’ memberikan pengecualian dari aturan umum tersebut, yaitu
kebolehan dijatuhkan hukuman mati jika kepentingan umum menghendaki demikian,
atau kalau pemberantasan tidak bisa terlaksana kecuali dengan jalan
membunuhnya, seperti mata-mata, pembuat fitnah, residivis yang membahayakan.
Namun menurut sebagian fuqaha’ yang lain dalam jarimah ta’zir tidak ada hukuman mati.[7]
2.
Hukuman cambuk
Di kalangan fuqaha’ terjadi perbedaan tentang batas tertinggi hukuman jilid
dalam ta’zir. Menurut pendapat yang
terkenal di kalangan ulama’ Maliki, batas tertinggi diserahkan kepada penguasa
karena hukuman ta’zir didasarkan atas
kemaslahatan masyarakat dan atas dasar berat ringannya jarimah. Imama Abu
Hanifah dan Muhammad berpendapat bahwa batas tertinggi hukuman jilid dalam ta’zir adalah 39 kali, dan menurut Abu Yusuf adalah 75 kali. Sedangkan di kalangan madzhab Syafi’i ada tiga pendapat. Pendapat
pertama sama dengan pendapat Imam Abu Hanifah dan Muhammad. Pendapat kedua sama
dengan pendapat Abu Yusuf. Sedangkan pendapat yang ketiga, hukuman jilid pada ta’zir boleh lebih dari 75 kali, tetapi
tidak sampai seratus kali, dengan syarat lain bahwa jarimah ta’zir yang
dilakukan hampir sejenis dengan jarimah
hudud.
Dalam mazhab Hanbali ada lima pendapat. Tiga di antaranya
sama dengan pendapat madzhab Imam Syafi’i. Pendapat keempat mengatakan bahwa jilid yang diancam atas sesuatu
perbuatan jarimah tidak boleh menyamai hukuman yang dijatuhkan terhadap jarimah
lain yang sejenis, tetapi tidak boleh melebihi hukuman jarimah lain yang tidak
sejenisnya. Pendapat ke lima mengatakan bahwa hukuman ta’zir tidak boleh melebihi 10 kali. Alasannya adalah hadits dari
Abu Darda’ sebagai berikut : “Seseorang
tidak boleh dijilid lebih dari sepuluh kali, kecuali dalam
salah satu hukuman hudud”
3. Hukuman Kurungan
Ada dua macam hukuman
dalam hukum Islam. Pembagian ini didasarkan pada lama waktu hukuman.
Pertama, hukuman tahanan terbatas. Batas terendah dari hukuman ini adalah satu
hari, sedangkan tentang batas tertinggi, ulama’ berbeda pendapat. Ulama
Syafi’iyyah menetapkan batas tertingginya satu tahun, karena mereka
mempersamakannya dengan pengasingan dalam jarimah
zina. Sementara ulama-ulama lain menyerahkan semuanya kepada penguasa
berdasarkan maslahat.[8]Kedua,
hukuman tahanan tidak terbatas. Sudah disepakati
bahwa hukuman tahanan ini tidak ditentukan terlebih dahulu, melainkan
berlangsung terus sampai terhukum mati atau taubat dan baik pribadinya. Orang
yang dikenakan hukuman ini adalah penjahat yang berbahaya, atau orang yang
berulang-ulang melakukan jarimah yang berbahaya.
b)
Perbedaan jarimah ta’zir dengan hudud
Perbedaan
yang menonjol antara jarimah hudud,
qishas, dan jarimah ta’zir:
1.
Dalam jarimah hudud
tidak ada pemaafan, baik oleh perseorangan
maupun oleh ulul amri. Sedangkan
jarimah ta’zir kemungkinan pemaafan
itu ada, baik oleh perorangan maupun oleh ulul amri, bila hal itu lebih
maslahat.
2.
Dalam jarimah ta’zir hakim dapat memilih hukuman yang
lebih tepat bagi si pelaku sesuai dengan kondisi pelaku, situasi, dan tempat
kejahatan. Sedangkan dalam jarimah hudud
yang diperhatikan oleh hakim hanyalah kejahatan material.
3.
Pembuktian jarimah hudud dan qishas harus dengan saksi
atau pengakuan, sedangkan pembuktian jarimah ta’zir sangat luas kemungkinannya.
4.
Hukuman Had
maupun qishas tidak dapat dikenakan kepada anak kecil, karena syarat
menjatuhkan had si pelaku harus sudah baligh sedangkan ta’zir itu bersifat pendidikan dan mendidik anak kecil boleh.
Sebagai perbandingan, hukuman
bagi anak sebagai pelaku tindak pidana
“Anak Nakal”[9]
dengan ancaman pidana mati, menurut hukum positif, tidak akan dikenai pidana
mati maupun pidana penjara seumur hidup. Hal ini didasarkan pada Pasal 26 ayat (2) UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang menyatakan: “Apabila anak nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a,
melakukan tindak pidana yang diancam
dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada
anak tersebut paling lama 10 (sepuluh) tahun.” Bagaimana sanksi
hukum bagi anak berumur 14 tahun yang melakukan pembunuhan,[10]
pencurian motor? Apakah dibebaskan dengan syarat? Apakah bebas tanpa syarat
jika pihak korban menarik kembali tuntutannnya? Jika bebas tanpa syarat,
berhakkah pihak polisi menahan anak tersebut? Jika tidak apa yang harus saya
lakukan sebagai wali anak tersebut, mengingat pihak polisi bersikukuh
menahannya! Dalam kasus anak
berumur 14 (empat belas) tahun maka sanksi yang dijatuhkan dapat saja
berupa pidana. [11]
7.
Memukul Anak yang Melanggar Hukum
Pada hakekatnya, segala bentuk
penanganan terhadap anak yang melanggar hukum harus dilakukan dengan
memprioritaskan kepentingan terbaik untuk si anak. Karena itu, keputusan yang
diambil hakim (apabila kasus diteruskan sampai persidangan) harus adil dan
proporsional, serta tidak semata-mata dilakukan atas pertimbangan hukum, tapi
juga mempertimbangkan berbagai faktor lain, seperti kondisi lingkungan sekitar,
status sosial anak, dan keadaan keluarga. Hal-hal ini dijamin serta diatur
dalam UU Pengadilan Anak.
Pada saat polisi melakukan
penangkapan dan pemeriksaan, ia wajib menghubungi dan mendatangkan seorang
petugas Bapas (Balai Pemasyarakatan, biasa juga disebut PK atau Petugas
Kemasyarakatan). Petugas Bapas berfungsi hampir sama seperti probation
officer. Polisi wajib menyertakan hasil Litmas (Penelitian Kemasyarakatan)
yang dibuat oleh petugas Bapas dalam Berita Acara Pemeriksaannya. Tanpa Litmas,
Jaksa harus menolak BAP dan meminta kelengkapannya kembali, untuk mengetahui
usia pelaku sebenarnya, untuk disesuaikan dengan hukum kebiasaan internasional:
TABEL 4.3
KEBIASAAN INTERNASIONAL TENTANG PARAMETER
UNTUK MENENTUKAN USIA PERTANGGUNGJAWABAN
PIDANA
Nama Negara
|
Usia Minimal Tanggung Jawab Kriminal
|
Austria
|
14
|
Belgia
|
18
|
Denmark
|
15
|
Inggris
|
10
|
Finlandia
|
15
|
Perancis
|
13
|
Jerman
|
14
|
Yunani
|
12
|
Irlandia
|
7
|
Itali
|
14
|
Luxemburg
|
18
|
Belanda
|
12
|
Irlandia
Utara
|
8
|
Portugal
|
16
|
Skotlandia
|
8
|
Spanyol
|
16
|
Swedia
|
15
|
Melihat kecenderungan
praktek-praktek negara berdasarkan tabel di atas dapat disimpulkan bahwa
rata-rata negara,
tersebut menetapkan usia pertanggungjawaban pidana minimal di atas 12
tahun. Dengan demikian, dapat dikatakan usia 12 tahun sebagai batas minimal
usia pertanggungjawab tindak pidana telah menjadi hukum kebiasaan internasional.[12] Berbeda halnya dengan anak yang dikenakan hukuman mati.[13] Jika dibandingkan dengan Hukum
Islam, anak-anak yang membunuh, tidak dikenakan hukuman, jika belum mumayyiz. Bukan hanya kejahatan
membunuh, tapi juga segala jenis kejahatan yang disebut had dan jarimah. Adapun jenis atau macam-macam
perbuatan jarimah
yaitu perbuatan yang masuk ke
dalamnya, sebagai
berikut:
1. Mencuri
Hukuman bagi anak yang mencuri menurut fikih jarimah
terbagi menjadi dua, yaitu :
1)
Mencuri yang dikenakan had
2)
Mencuri yang dikenakan hukuman ta'zir.[14]
Mencuri yang dikenakan had
menurut pendapat Fuqaha’ adalah perbuatan mukalaf mengambil harta orang lain
secara sembunyi-sembunyi dari tempat penyimpanannya dan mencapai satu nishab
dan orang yang mencuri tak mempunyai andil kepemilikan terhadap barang
tersebut. Ada hadits dari Abu Hurairah
ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda:" Jika ia mencuri (kali pertama) potonglah salah satu tangannya, kemudian jika
ia mencuri yang kedua potonglah salah satu kakinya, kemudian jika ia mencuri
(yang ketiga) potonglah tangannya kemudian jika ia mencuri maka potonglah
kakinya. Jika pencuri masih mencuri lagi kelima kalinya, maka menurut sebagian
ulama seperti imam Syafi'i dan Imam Malik, orang itu dikenakan ta'zir.[15]
Namun Abu Hanifah dan Imam Ahmad berpendapat hukuman potong tangan hanya dapat
dilakukan pada kali pertama dan kedua sedangkan pencurian ketiga dan seterusnya
dikenai ta'zir. Pencurian yang dapat
dikenai had adalah jika barang yang dicuri mencapai nilai seperempat dinar atau
tiga dirham atau setara dengan emas seberat 3.34 gram. Berdasarkan Hadist
Riwayat Bukari dan Muslim:
”Tangan pencuri
tidak dipotong kecuali dalam pencurian mencapai seperempat dinar atau lebih.”
Seseorang dinyatakan benar-benar mencuri secara syar'i jika terbukti dengan
salah satu dari tiga kemungkinan di bawah ini :
1.
Kesaksian dari dua orang saksi laki-laki yang adil dan merdeka
2.
pengakuan dari pelaku
3.
sumpah dari yang mengadukan perkara
Adakah pemaafan dalam pencurian. Ulama
sepakat bahwa pemilik barang yang dicuri dapat memaafkan pencurinya sehingga
bebas dari had sebelum kasusnya
sampai ke pengadilan. Sebab sebelum sampai pengadilan, had mencuri adalah had hamba dan jika sampai ke pengadilan
berubah menjadi had Allah. "Diriwayatkan
oleh ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya
dari kakeknya;" sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: "Maafkanlah had-had
selama masih berada di tanganmu, adapun had
yang sudah sampai di telingaku maka wajib dilaksanakan."
Khamr, secara bahasa,
khamr artinya sesuatu yang menutupi, sedangkan menurut dalam itilah fiqh yaitu segala macam yang memabukkan,
menutupi akal. Sebagaimana sabda Rsulullah SAW.,bahwa " Tiap-tiap yang memabukkan adalah khamr dan setiap khamr
adalah haram." [16]
Dengan demikian yang dinamakan khmar tidak hanya terbatas pada minuman keras
tetapi mencakup segala jenis barang yang memabukan seperti yang telah kita
kenal mulai dari Miras, Narkotik, Ganja, Putaw, Sabu-Sabu .[17]
Adapun penyebab
gugurnya had qadzaf jika:
1)
Penuduh dapat membuktikan dengan empat orang saksi bahwa tertuduh telah benar-benar berzina.
2)
Dengan cara li'an jika tertuduh
adalah istri penuduh
3)
Pengakuan dari si tertuduh bahwa tuduhan adalah benar.
Kifarat secara bahasa berarti menutup. Sedangkan secara istilah yaitu
sejumlah denda yang wajib dibayar oleh seseorang yang melakukan perbuatan
tertentu yang dilarang oleh Allah. Kifarat adalah hak Allah sebagai tanda
tobat. Membunuh adalah menghilangkan nyawa seseorang baik dengan sengaja atau
tidak sengaja dengan alat yang mematikan atau tidak mematikan. Dalam Fiqh Islam
Pembunuhan di bagi ke dalam tiga macam:
1) Pembunuhan
sengaja (qatl’amd), yaitu suatu
pembunuhan yang dilakukan dengan
sengaja oleh pelaku.
2) Pembunuhan
semi-sengaja (Syibhul amd), yaitu
kesengajaan melakukan penyerangan tanpa maksud membunuh tetapi menyebabkan
terbunuh. Seperti seseorang memukul orang lain, dengan alat yang tidak biasa
mematikan tetapi yang kena pukul kemudian meninggal.
3) Pembunuhan
tersalah yaitu pembunuhan karena kekeliruan semata, seperti niatnya menembak
hewan buruan aan tetapi mengenai seseorang yang akhirnya meninggal.
Sedangkan hukuman bagi pelaku pembunuhan
ialah:
1) Pembunuhan
sengaja, dikenai hukuman qishas. Pembunuh harus dibunuh juga. Akan tetapi bila keluarga korban memaafkan, maka si pelaku wajib membayar diyat mughaladhah yang diberikan kepada
korban secara tunai.
2) Pembunuhan
semi-sengaja tidak dikenakan qishas
tetapi dikenakan diyat mughaladhoh yang boleh diangsur selama 3 tahun.
[1]Menurut data Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak,
pada 2011 telah terjadi 1.851 pengaduan ABH yang diajukan ke pengadilan. Hampir
89,8 persen kasus ABH berakhir pada pe¬mi¬danaan atau diputus pidana. Data lain
yang dirilis Ke¬men¬terian Hukum dan HAM 2010 menunjukkan bahwa di 16 Lapas di
Indonesia ditemukan 6.505 ABH yang diajukan ke pengadilan dan 4.622 ABH di
antaranya mendekam dipenjara. Jumlah ini mungkin jauh lebih besar karena angka
ini hanya bersumber dari laporan 29 Balai Pemasyarakatan (Bapas), sementara di
Indonesia terdapat 62 Bapas, Rakyat Merdeka, 19 Januari 2012.
[2]Secara
yuridis, Undang-undang tentang perlindungan guru telah termuat dalam UU
No.14/2005 tentang Guru dan Dosen. Hal ini terlihat jelas pada Bab VII pasal 39
yang menyebutkan bahwa pemerintah, masyarakat, organisasi profesi, dan atau
satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru.
[3]Secara
yuridis, Undang-undang tentang perlindungan Guru telah termuat dalam UU
No.14/2005 tentang Guru dan Dosen. Hal ini terlihat jelas pada Bab VII pasal 39
yang menyebutkan bahwa pemerintah, masyarakat, organisasi profesi, dan atau
satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan
tugas. Hal ini terlihat bahwa eksistensi UU No.14/2005 telah memuat
perlindungan terhadap guru atas profesinya. Namun implementasi terhadap
undang-undang tersebut masih belum terlaksana.Lihat Bunadi Hidayat, Pemidanaan Aanak Di Bawah Umur,(Bandung,
PT.Alumni : 2010), hlm. 115.
[4]Secara
tidak sadar orangtua menghukum anaknya dengan emosi dan cara yang kasar, seperti langsung memukulnya.
Tindakan seperti ini kurang dibenarkan, karena bagaimana pun didikan orangtua
turut menciptakan kondisi anak
pada masa mendatang.Rasulullah SAW mengajarkan tanggapan bagaimana seharusnya orangtua
menghukum anak, yakni orangtua menunjukan
kesalahan dengan pengarahan secara langsung, menunjukan kesalahan dengan isyarat, hardikan dan pukulan. Hukumsn pukulan adalah jalan terakhir untuk
menghukum anak agar jera, namun pukulan tersebut harus didasari rasa
kasih sayang. Bunadi Hidayat, op.cit,
hlm. 183.
[5]Menurut sbagian
madzhab Hanafi boleh menta'zir dengan pakai uang tapi bila sudah taubat, harus
dikembalikan uangnya.fiqh ala al madzhab
al-arba'ah 5/ 401.Yang tidak memperbolehkan silahkan dicek di kitab tanwir al quluub,hasyiyah al jamal ala al
manhaj dan gyoyah talkhis a-lmurod hamisyi bughyah. “Dan tidak boleh
menta’zir (menghukum) dengan mencukur jenggot atau dengan mengambil harta”.(Tanwiir al-Quluub , 2001), hlm. 392.
[6]Ta’zir tidak boleh dengan mengambil harta”. Hasyiyah
al-Jamal V/164 “Dan haram menta’zir dengan mencukur janggut, memotong anggauta
dan melukainya, Ta’zir diharamkan juga dengan mengambil atau merusak harta
benda karena tidak terdapati ketetapan syara’ yang demikian dari prilaku yang
dapat diikuti dan karena tujuan diperlakukan menta’zir demi mengajari tatakrama
yang tidak ada ketentuan dengan merusak harta benda berbeda menurut Imam
Taqiyuddin yang memperkenankan ta’zir dengan mengambil atau merusak harta benda”.
Mathaalib Uli al-Nuhaa, Jilid VI, hlm. 224.
[7]Seorang
sahaya menganiaya sahaya lainnya, maka bagi sahaya yang menganiaya diperlakukan
ta’zir dari sayyidnya sesuai petunjuk hakim atau yang ditempatkan pada
posisinya dengan dipenjara, dipukul, atau dinaikkan keledai dengan berbalik dan
semacamnya.Janganlah memberikan balasannya pada sahaya yang dianiaya, dan tidak
diperbolehkan menta’zir dengan mengambil harta benda menurut kami
(Syafi’iyyah). Bughyah al-Mustarsyidiin ,tt, hlm. 532.
[8]Bentuk Ta’zir bisa dengan berupa dipenjarakan
atau pukulan yang tidak menyakitkan, menampar, atau mencelanya dengan ucapan
atau diasingkan dalam kurun kurang setahun didaerah yang panas atau kurang dari
kurun separoh tahun didaerah yang dingin atau diberdirikan dalam satu majlis
atau dibuka penutup kepalanya atau dicoreng hitam mukanya atau dicukur
rambutnya bagi orang yang tidak suka potong rambut tapi tidak dicukur
jenggotnya meskipun menurut kami hal demikian adalah makruh menurut pendapat
yang paling shahih, atau dinaikkan pada keledai dengan berbalik dan diarak
berkeliling ditengah-tengah orang banyak dan mengancamnya dengan aneka
siksaan-siksaan lainnya. Nihâyah al-Muhtâj, Jilid VIII, hlm. 21.
[9] Yusti Probowati Rahayu. Dibalik Putusan Hakim. Sidoarjo: Citra
Media, 2000),hlm
311. Mengenai berapa lama pidana penjara dijatuhkan kepada
anak nakal, Pasal 26 ayat (1) UU
3/1997 menentukan bahwa pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak
nakal adalah paling lama 1/2 (satu per
dua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.Jadi, harus
dilihat kembali pada ketentuan pidananya. Misalnya, jika anak tersebut dijerat
dengan Pasal 359 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang
berbunyi: “Barang siapa karena
kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana
penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.”
Sehingga, pidana untuk anak nakal yang melakukan
pembunuhan dan dijerat dengan Pasal 359
KUHP adalah paling lama dua setengah tahun.
Pengadilan
anak-anak mencatut demi hukuman mati?Pada tahun 1995, seorang bocah di Lumajang
dijerat pasal dengan ancaman hukuman mati. Hidup-mati anak yang bernama
Ma’ruf yang masih berusia 14 tahun,
sepenuhnya berada ditangan majelis hakim. Sebab, Jaksa Imam Sudarmadji menuduh
Ma’ruf telah melakukan pembunuhan berencana terhadap Buyar, teman sekampungnya.
Artinya, anak ke empat pasangan Sariman-Sarmi ini diancam hukuman mati
atau pidana penjara seumur hidup. Untuk perbuatan itu, ancaman hukuman paling
ringan adalah penjara 20 tahun. Menurut
dakwaan jaksa, perbuatan itu terjadi pada tanggal 9 April silam, di persawahan
desa Mlawang, Kecamatan Klakah, Lumajang. Pembunuhan itu terjadi akibat
perkelahian di antara mereka dengan menggunakan clurit. Hunjaman clurit
tersangka menjadi penyebab kematian korban.
[11]Dalam kasus ini, jika anak ditahan sebaiknya segera
ditanyakan apakah ia telah ditemui oleh seorang petugas Bapas. Dan apakah
padanya telah diberikan haknya untuk tetap memperoleh penasehat hukum, karena
petugas Bapas bukanlah seorang penasehat hukum. Harus diingat, anak berhak
memperoleh dan negara wajib memberikan proses hukum yang cepat. Apabila pihak
korban akan menarik tuntutannya, penyelesaian di luar proses hukum sangat
mungkin untuk dilakukan karena petugas hukum, dalam hal ini polisi, yang
terlibat dalam proses peradilan anak diberi keleluasaan untuk melakukan
diskresi (sewaktu-waktu menghentikan proses hukum) demi kepentingan anak.
[13] Komite HAM PBB (Human Rights Committee) dalam Komentar Umum No. 6 menegaskan bahwa “ekspresi
tentang kejahatan yang paling serius harus diartikan secara terbatas, bahwa
pidana mati hanya dilaksanakan sebagai tindakan luar biasa. UU Nomor 23 tahun 2002 Pasal 2 menyatakan bahwa asas
dan tujuan perlindungan anak salah satunya berlandaskan pada prinsip-prinsip
KHA : a) non diskriminasi;
b) kepentingan yang terbaik bagi anak;
c) hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan
perkembangan; dan d) penghargaan terhadap pendapat
anak.Dalam konteks anak yang berkonflik dengan hukum, undang-undang ini
mewajibkan negara untuk memberikan perlindungan khusus (Pasal 59).
[14]Hukuman
tidak dimaksudkan untuk sebuah pembalasan dan pembebasan dari dosa. Hukuman
lebih dimaksudkan sebagai cara mencegah orang untuk berbuat kejahatan. Teori
ini dikenal dalam hukum Islam sebagai “zawajir”, pencegahan, penghentian
(deterrence). Ahli hukum Islam klasik Al Mawardi (w. 1075 M), mengatakan :
“Hukuman-hukuman pidana (hudud) adalah “zawajir” (pencegahan) yang ditetapkan Tuhan agar orang tidak
melanggar hukum dan memperingatkan orang akan ancaman adanya rasa sakit jika
dia melanggarnya”. Hal ini menurutnya jauh lebih luas efek positifnya bagi
sistem kehidupan dibanding sekedar untuk menghukum pelakunya.
[15]
Bunadi Hidayat
menyatakan, murid memukul
gurunya atau petugas, ia diaggap melakukan jarimah ganda, walaupun pelakunya menganggap melakukan jarimah
tunggal, hal ini dikarenakan yang dipukul adalah petugas sehinnga oleh
hukum dianggap berbuat jarimah ganda yaitu memukul orang dan melawan
petugas. Gabungan anggapan (concurcus idealis) Gabungan jarimah itu karena hanya bersifat
anggapan, sedang pelakunya hanya hanya berbuat satu jarimah. Pertimbangan fuqaha tentang eksistensi gabungan hukuman yang
berdasarkanatas dua teori :Teori saling memasuki atau melengkapiDalam teori ini
yang dimaksudkan oleh menulis, bahwa pelaku jarimah dikenakan suatuhukuman,
walaupun melakukan tindakan kejahatan ganda, karena perbuatan satu denganyang
lainnya dianggap saling melengkapi atau saling memasuki. Teori ini ada
dua pertimbangannya. Bila pelaku hanya melakukan tindakan kejahatan
sejenis sebelum diputuskan olehhakim, maka hukumannya dapat dijatuhkan satu
macam saja, jika satu hukumandianggap cukup. Akan tetapi jika ia belum insaf
atau jera dan mengulangi lagi, maka ia dapat dikenakan hukuman lagi. Lihat
Bunadi Hidayat, Pemidanaan Anak Di Bawah
umur,(Bandung PT.Alumni : 2010),
135.
Dari definisi diatas, dapat dirumuskan bahwa pencurian yang dikenakan harus
memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: 1) Mengambil harta orang lain
2) Pengambilannya secara sembunyi-sembunyi 3) Harta itu disimpan di
tempat penyimpanannya. 4) Pelaku
adalah mukallaf. 5) Barang
yang dicuri mencapai satu nishab. 6) Belaku tidak mempunyai andil kepemilikan
atas harta yang dicuri. Had mencuri,
dinyatakan dalam Al-quran Surat
Al-Maidah : 38 bahwa pencuri laki-laki
dan pencuri perempuan potonglah kedua tangannya sebagai pembalasan bagi apa
yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah dan Allah Mahaperkasa lagi
Bijaksana”.Lihat Al-Quran Karim menampakkan kepada kita bagaimana cara mendidik
anak sebagaimana tertuang dalam Surah Thaaha ayat 132 :وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لا نَسْأَلُكَ
رِزْقًا نَحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى (١٣٢) Artinya : dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan
shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezki
kepadamu, kamilah yang memberi rezki kepadamu. dan akibat (yang baik) itu
adalah bagi orang yang bertakwa.
.
[17]Akibat Menggunakan Shabu-shabu : Merusak organ-organ tubuh terutama otak, dan syaraf yang
mengatur pernafasan. Banyak yang mati karena sesak nafas, dan tiba-tiba
berhenti bernafas karena syaraf yang mengendalikan pernafasan sudah rusak dan
tidak ada lagi instruksi untuk bernafas, sehingga nafasnya putus/berhenti, dan
mati. Paranoid,
otak suah dipakai berpikir dan konsentrasi, jet lag dan tidak mau makan.Rasa
gembira / euforia, Rasa harga diri meningkat.1.Banyak bicara, Kewaspadaan meningkat, denyut jantung cepat.2.Pupil
mata melebar. 3.Tekanan
darah meningkat, berkeringat/rasa dingin.4.Mual/muntah, (Dalam waktu 1 jam setelah pemakai gelisah). 5.Delirium/kesadaran berubah (pemakai baru, lama, dosis
tinggi), 6.Perasaan
dikejar-kejar.7.Perasaan
dibicarakan orang.8.Agresif
dan sifat bermusuhan..9.Rasa gelisah.10.Tak bisa diam, (Dalam waktu 24
jam). 11.Gangguan
irama detak jantung.12.Perdarahan
otak. 13.Hiperpireksia atau syok pada
pembuluh darah jantung yang berakibat meninggal.
No comments:
Post a Comment