PENEGAKAN HUKUM
TANPA ETIKA
KATA PENGANTAR
Antasari Azhar, menurut penulis terkena jebakan hukum, terjadi pemisahan
hukum dari etikadan akhlakul karimah.
Hal yang di belakangnya ada permainan kotor yang dilakukan oleh orang mengerti
hukum dan mampu mempermainkan hukum. Begitu juga Susno Duaji, telah dijebak
dari belakang oleh tangan-tangan tersembunyi. Menurut analisis penulis dan
sebagian pengamat lainnya.
PENDAHULUAN
Dalam hukum Islam, tidak pernah terjadi
pemisahan hukumdari etika, sehingga orang yang beretika, tidak menjadikan hukum
sebagai jebakan. Keputusan hukum tanpa pertimbangan etika adalah pembuat fitnah
yang sangat besar kejahatannya. Karena itu hukum dalam Islam, tidak boleh
dilepaskan dari aqidah dan akhlaq.
(Drs.Muhammad
Rakib,S.H.,M.Ag. Riau.)
PENEGAKAN
HUKUM TANPA ETIKA
1.Jangan
pisahkan hukum dari etika dan akhlakmulia.
Bahkan sanksi hukum,tanpa disertai akhlak dan etika, tidak jarang ketika
siswa masih dalam masa sekolah, tidak memandang pengajarnya sebagai “guru” yang
harus dihormati. Sering terjadi siswa
melakukan tindak kekerasan terhadap para pengajarnya sendiri. Hukum
perlindungan anak, tanpa etika dan akhlak, cenderung bersifat materialistis.
Wali murid memandang guru sebagai orang yang mencari nafkah dengan mengajar
anaknya. Bukan lagi sebagai orang yang “mewakili Allah” penegak hukum dan moral mendidik anaknya.
Sebaliknya, guru pun memandang
siswa bukan lagi sebagai “amanah Allah “ yang harus dbina dan ddidik. Namun
sebagai “komoditi” untuk mendapatkan berbagai keuntungan yang bersifat
material. Dengan demikian, hubungan antara “guru” dan “murid’ telah
termaterialisasi menjadi hubungan ekonomi. Wali murid membayar guru agar mau
mempersiapkan dirinya untuk memasuki dunia kerja. Sementara
guru guru pun mengajar muridnya dengan tujuan utama untuk
mendapatkan gaji, tunjangan ataupun insentif. Bukan lagi untuk tujuan ibadah.
Dalam kurun seribu tahun lebih, masyarakat muslim tmengembangkan
tatakrama/etika pendidikan yang khas. Dengan landasan etika ini, muncul ilmuwan
muslim yang bukan hanya memiliki kapasitas intelektual yang mumpuni, namun juga
kapasitas akhlak yang memukau. Berikut ini beberapa etika guru dalam
hubungannya dengan murid dalam komunitas ilmuwan Islam yang sebagian dnukilkan
dari kitab, “ Adabul ‘Alim wal Muta’allim” oleh Syaikh Hasyim Asy’ari.
Pertama, Seorang guru
dalam mengajar muridnya hendaklah berniat semata-mata untuk menggapai ridho
Allah SWT. Bukan menjadikan ilmu sebagai alat/komoditi perekonomian.
Etika ini berangkat dari
hadist Rasulullah SAW,” Amal itu hanya tergantung dari niatnya. Dan setiap orang akan
mendapatkan dari apa yang diniyatkannya” ( H.R. Bukhari dan Muslim ).
Khidupan
kapitalis dan materialis saat ini, masih ada lembaga-lembaga pendidikan
yang konsisten dengan doktrin keikhlasan ini. Bahkan di Syiria, Makkah,
Pakistan, India dan beberapa bagian dunia masih banyak ditemui
lembaga-lembaga pendidikan yang membebaskan muridnya dari biaya pendidikan.
Bahkan di Makkah, bukan hanya membebaskan mahasiswanya dari biaya,
namun juga memberi mereka uang saku. Di Syiria, seorang Syaikh bahkan
memberikan beasiswa bagi mahasiswanya di mana beasiswa tersebut mencukupi untuk
menghidupi seorang mahasiswa beserta isteri dan anaknya.
Kedua, walaupun
seorang murid harus ikhlas dalam menuntut ilmu, namun seorang guru hendaknya
tetap mengajar mereka sambil terus membimbing mereka untuk ikhlas dalam
menuntut ilmunya. Seorang Ulama berkata, “ Kami dahulu menuntut ilmu dengan
tidak ikhlas, namun akhirnya kami bisa ikhlas karena keberkahan ilmu kami”.
Ketiga, seorang guru
hendaknya mencintai muridnya sebagaimana seorang guru mencintai dirinya
sendiri. Seorang guru hendaknya juga tidak menyukai sekecil apapun musibah
menimpa muridnya sebagaimana ia tidak menyukai jika musibah tersebut menimpa
dirinya.
Keempat, seorang guru hendaknya bersikap kepada muridnya
dengan baik dan santun. Syaikh Hasyim Asy’ari bahkan mengatakan bahwa seorang
guru hendaknya bergaul dengan muridnya sebagaimana ia bergaul dengan anak-anak
kandungnya yang paling baik.
Jika seorang murid lemah semangatnya, seorang guru
hendaknya tidak bosan-bosan untuk memberikan motivasi. Jika seorang
murid terlalu bersemangat, seorang guru hendaknya bias mengenalikan semangat
tersebut agar tidak menimbulkan kebosanan. Dan jika seoran murid bersalah,
seorang guru sebisa mungkin memaafkan dan membimbing kea rah yang lebih baik.
Namun ada satu hal yang perlu
diperhatikan oleh seorang guru. Jika seorang murid melakukan
seringkali kesalahan dan menularkan kesalahan dan pembangkangan
tersebut kepada teman-temannya, maka seorang guru tidak perlu ragu untuk
mengeluarkan muridnya tersebut dari majelisnya. Hal ini demi menjaga
murid-murid yang lain dari pengaruh buruk yang ditimbulkan oleh murid yang
membangkang tersebut. Walaupun demikian, seorang guru hendaknya tetap mendoakan
murid yang dikeluarkan tersebut agar ia mendapatkan jalan yang lurus
suatu saat nanti.
Kelima, seorang guru dalam mendidik dan mengajar
menerapkan doktrin “ Selama sesuatu bisa dipermudah, hendaknya dipermudah.
Bukan dipersulit”. Karena itu, seorang guru hendaknya mengajar
dengan kata-kata serta metode yang mempermudah pemahaman muridnya. Bukan
mengejar hal-hal yang dianggap canggih, namun justru mempersulit muridnya dalam
belajar.
Keenam, seorang guru hendaknya memiliki tekad yang kuat
untuk mengantarkan muridnya untuk mengantarkan muridnya memahami pelajaran.
Bahkan untuk mengantarkan muridnya mencapai kesuksesan di masa depan. Bukan
sekedar memenuhi kewajiban terhadap jam pelajaran dan setelah itu selesai.
Ketujuh, Seorang
guru hendaknya banyak memperhatikan keadaan
muridnya dan selalu mendoakan keselamatan mereka meskipun muridnya tersebut
sudah tidak lagi belajar kepadanya. Karena itulah, tidak berlebihan jika dalam
sebuah riwayat, ada seorang ilmuwan Islam yang menghabiskan nyaris seluruh
malamnya untuk mendoakan kesuksesan bagi murid-muridnya di masa depan.
Satu hal lagi, seorang guru janganlah
sekali-kali mendoakan keburukan menimpa muridnya. Betapapun mereka telah
menyakiti dirinya. Hal ini sebagaimana diteladankan oleh Rasulullah SAW ketika
beliau ditolak dan disakiti oleh penduduk Thaif. Beliau tidak mengutuk mereka.
Malah beliau mendoakan agar mereka mendapatkan petunjuk dari Allah SWT.
GURU BUKAN
DITAKUTI
CUKUP HANYA,
DISYANGI
TAMBAH LAGI,
DISEGANI
PENDIDIKAN,
SANGAT BERARTI
GURU JANGAN,
RINGAN TANGAN
SALAH
SEDIKIT,KENA PUKULAN
PERBNYAKLAH,
MEMBERI PUJIAN
CALON PEMIMPIN,
DIPERSIAPKAN
Kadang-kadang
guru kini bukan lagi untuk digugu dan ditiru melainkan untuk ditakuti. Para
guru ringan tangan itulah yang berhasil menciptakan citra tersebut, dimana
tangan dan penunjuk papan tulis bukan lagi alat untuk mengajar, melainkan untuk
menghajar. Seperti banyak kasus penganiayaan yang dilakukan para guru terhadap
muridnya yang masih sering hingga saat ini. Seperti yang terjadi di Banyumas,Jawa Tengah, Jumat, 24 Februari lalu, seorang guru
diduga menendang dan memukul siswanya di kantin, dikarenakan siswa tersebut
tidak mengikuti pelajaran tambahan. Kejadian itu menimpa Adam Bisno, murid
kelas 9 di SMP Negeri 2 Baturraden Banyumas.
Berikut ini, penulis kutip alasan guru
menghukum dengan menyakiti Murid
secara fisik adalah agar memberi efek jera terhadap murid-murid yang melanggar
tatatertib. Namun sangat disayangkan, hukuman fisik yang diberikan tidak hanya
meninggalkan bekas luka ditubuh namun juga meninggalkan efek buruk secara
psikologis. Pukulan, cambukan atau cubitan yang diberikan guru memicu anak
untuk memberontak dan berbohong. Mengapa berbohong? Ya, si anak akan berbohong
karena untuk menghindari hukuman berat yang akan menimpanya apabila diketahui
telah melanggar peraturan. Selain itu, memberikan pukulan hingga meninggalkan
bekas luka akan mengakibatkan si murid dendam terhadap gurunya. Sudah tentu
secara psikologis itu adalah sebuah penyimpangan.
Sebuah studi berjudul Issue of Child
Development yang dilakukan oleh Victoria Talwar dan Kang Lee pada bulan
November 2011 lalu menjelaskan bahwa anak-anak usia 3-4 tahun yang tumbuh dalam lingkunganyang penuh dengan hukuman akan membuat
mereka lebih sering berbohong. Studi ini disusun berdasarkan penelitian yang
melibatkan murid sekolah di Afrika Barat, negara yang memiliki sejarah dimana
para murid mengalami kekerasan dan hukuman fisik. Penelitian ini memilih sampel
dari sekolah swasta yang masih menerapkan hukuman fisik, dan sekolah swasta
lain yang tidak menggunakan hukuman fisik. Hasilnya, di sekolah swasta yang
menerapkan sistem hukuman fisik, sekitar 90 % anak berbohong dan mengatakan
bahwa mereka tidak melihat mainan tersebut. Sedangkan di sekolah yang tidak
menggunakan hukuman fisik ini, hanya setengah dari mereka yang berbohong.
Memang benar apabila anak dianggap
berperilaku buruk dan tidak mengindahkan larangan guru, hukuman pantas
diberikan sebagai bagian dari pendidikan anak. Memberikan sangsi anak agar menjadi
jera terhadap perilaku buruk mereka merupakan salah satu solusi yang bisa
dilakukan para guru. Tetapi hukuman tidak harus bersifat fisik atau kekerasan
seperti pukulan, cubitan, cambukan atau hal lain yang malah membuat anak
bertindak lebih kasar dan berbohong untuk menghindari hukuman. Hukuman dapat
kita berikan melalui penguatan negatif yang kita berikan. Teori bihaviorisme
Skinner menyatakan bahwa di dalam pembelajaran terdapat pengkondisian operan.
Pengkondisian operan adalah sebentuk pembelajaran dimana
konsekuensi-konsekuensi dari prilaku menghasilkan perubahan dalam probabilitas
prilaku itu akan diulangi (Margaret E. Bell Gredler, hlm 122). Teori tersebut
juga menyatakan bahwa pembelajaran pada anak terdapat 2 unsur penting yaitu
hukuman dan penguatan. Hukuman fisiklah yang sangat dihindari Skinner dalam
metodenya. Sebagai pengganti untuk mengatasi siswa-siswa yaitu dengan
penguatan, baik positif maupun negatif.
Penguatan positif betujuan meningkatkan
sisi baik yang siswa berikan. Misalnya siswa tepat waktu atau dengan baik telah
mengumpulkan tugas, maka bentuk-bentuk penguatan positif yang diberikan
diantaranya berupa hadiah (permen, kado, makanan, dll), perilaku (senyum,
menganggukkan kepala untuk menyetujui, bertepuk tangan, mengacungkan jempol),
atau penghargaan (nilai A, Juara 1 dsb). Dengan begitu siswa akan terangsang
untuk melakukannya lagi. Namun apabila siswa melanggar peraturan, bertindak
nakal atau tidak mengerjakan tugas, para guru dapat memberikan penguatan
negatif. Bentuk-bentuk penguatan negatif antara lain: menunda/tidak memberi
penghargaan, memberikan tugas tambahan atau menunjukkan perilaku tidak senang
(menggeleng, kening berkerut, muka kecewa dll). Dengan memberikan respon yang
tidak menyenangkan tersebut akan menyadarkan siswa untuk tidak melakukan
kenakalan atau pelanggaran lagi.
No comments:
Post a Comment