Larangan Merokok di Pesantren
Di salah satu pesantren di Gorontalo,
santri-santri dilarang keras merokok. Dan sang Kiai pengasuh pondok pesantren
itu tidak segan-segan memberikan takzir (hukuman) berat pada santri yang
ketahuan melanggar aturan merokok di pesantren itu. Namun tentu saja ada santri
nakal yang nekat melakukan pelanggaran.
Ini potoku,(Drs. Muhammad Rakib, S.H.,M.Ag). di Hotel Merdeka Pekanbaru-Riau, Indonesia. tahun 2004, saat menjadi juara umum pidato tentang ideologi Bung Karno,m yang dipelopori, Partai tertentu menjelang Pemilu.
Bahkan, sering beberapa santri yang
tidak tahan ingin merokok mencari-cari kesempatan di malam hari, pada saat
gelap di sudut-sudut asrama atau di gang-gang kecilnya, atau di tempat jemuran
pakaian atau di pekarangan sang Kiai. Bahkan ada juga yang tidak jijik merokok
di dalam WC sambil pura-pura sedang buang air kecil.
Satu hari, saat malam telah larut, salah seorang santri perokok ingin kembali melakukan aksi terlarangnya. Meski sudah agak mengantuk karena kelamaan menunggu waktu yang aman untuk merokok, ia pun bergegas ke kebun belimbing, di belakang salah satu gedung pesantren itu. Santri itu lalu mendekati seseorang temannya di kejauhan yang sedang menyalakan rokok. Suasana disekitar yang jauh dari lampu penerangan membuat tempat itu memang agak gelap dan aman untuk merokok.
"Kang, minta rokoknya... sekalian dengan api-nya...sup." katanya sambil menyodorkan jari tengah dan telunjukknya.
Temannya langsung menyerahkan sebungkus rokok yang dipegangnya. Santri perokok itu tanpa memperhatikan temannya itu langsung buru-buru mengisap rokok. "Alhamdulillah, asyik sup..." katanya. Diteruskan dengan isapan kedua, sambil memejamkan mata seakan menghayati isapan rokoknya.
Rokok semakin menyala, dan... dalam gelap dengan bantuan nyala rokok itu lama-lama kelamaan si santri mulai sadar dengan siapa dia sebenarnya saat itu sedang merokok bareng. Namun santri belum yakin betul dan diteruskan dengan isapan selanjutnya... Isapan yang dalam sehingga membuat rokok itu semakin menyala terang. Dan...
Ternyata... yang dia mintai rokok adalah Kiainya sendiri.
Bukan main, si santri itu sangat kaget dan ketakutan. Dia langsung kabur, lari tunggang langgang tanpa sempat mengembalikan rokok yang dipinjamnya.
Sang Kiai pun marah besar sambil berteriak :
"Hei rokok saya jangan dibawa, itu tinggal satu-satunya, Kang..."
ORANG MISKIN AKAN, MASUK SURGA
LEZAT BELUM, DIRASAKNNYA
DI DUNIA, HANYA DERITA
HANYA DI AKHIRAT, BISA BAHAGIA
ITULAH TAKDIR YANG
MEMBELENGGU,
TAK SEORANGPUN, BIAS CEMBURU.
MEMANG
KETENTUANNYA , SUDAH BEGITU
SIFATNYA JUMUD, DAN JUGA KAKU
LEBIH MUDAH UNTA, MASUK LUBANG
JARUM
DARIPADA SI KAYA, DAPAT SURGA
YANG HARUM
KARENA YANG KAYA, MELANGGAR HUKUM
MUBAZIR SEGALA, MAKAN DAN MINUM
Selalu menggelitik memang untuk memahami apa
yang akan terjadi esok, lusa, minggu depan, tahun depan, atau seratus tahun ke depan
!. Apakah takdir bisa berubah?, apa yang menyebabkan perubahan takdir, dimana
Allah berposisi dan melakukan reposisi terhadap takdir?. Dan banyak lagi
pertanyaan di wilayah ini.
Tidak heran pembuat buku Salat Smart yang bukunya sudah beredar di negeri
Jiran mengulas dan mempertanyakan :Perlukah Memilih Takdir. Satu pertanyaan yang saya jadi ragu mengelaborasinya, karena memang ada beberapa pandangan dalam cara kita melihat takdir.
Saya sih inginnya
Lha !. Kok begitu…. !?. Lha iyalah… kan Allah sudah berpesan : QS 48. Al Fath 23. Sebagai suatu sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu, kamu sekali-kali tiada akan menemukan perubahan bagi sunnatullah itu. Pesan ini menegasi bahwa kita tidak akan dapat menemukan perubahan (melalui pengamatan) bahwa takdir mengalami perubahan. Jadi apa saja yang kita akan jalani dalam kehidupan, termasuk mimpi-mimpi sekalipun berada dalam arena yang telah ditetapkan. Kemanapun kita melakukan pilihan melangkah, termasuk menghindari terantuk dari batu, atau memilih makanan pedas atau asin, semua adalah pilihan dari takdir. Jadi kemanapun kita berjalan, kita akan memenuhi takdir kita !.
Jadi, mungkinkah mengubah takdir?.
Pertanyaan yang aneh ?. Namun, setidaknya kita menangkap dua pengertian terhadap takdir dalam teologi sosial masyarakat :
Pertama, takdir sebagai prosesi kejadian — as a result – Ketika manusia berada pada posisi beruntung, entah menang undian atau diterima untuk bekerja, maka yang bersangkutan mencapai suatu posisi dari pilihan takdirnya.
Kedua, takdir sebagai suatu ketentuan yang tidak mengalami perubahan dan telah berlaku sejak dahulu, seperti disampaikan ayat di atas. Dalam pemahaman ini, tentunya bekerja aksi-reaksi, hukum-hukum alam atau hukum fisika yang diberlakukan sejak penciptaan pertama terhadap hukum-hukum alam semesta.
Kembali ke pertanyaan awal : Dapatkah manusia mengubah takdir?. Lha, pertanyaan ini sulit juga ya dijawabnya. Kok ditanya lagi !, bukankah kita tidak akan mampu melihat perubahan takdir. Tapi, jelas pula bahwa Allah juga tidak menyebutkan bahwa takdir itu tidak akan berubah, bisa berubah, namun manusia tidak mampu menemukan perubahannya. Kalau begitu, bagaimana manusia tahu bahwa telah terjadi perubahan takdir !.
Apa pula peran manusia dalam melakukan pilihan takdir ?. Usaha !. Usaha manusiakah ? atau takdir manusia untuk berusaha !?. Ataukah menyerah ?. Dan menyerah, berputus asa pun tidak lepas dari takdir Illahi !.
No comments:
Post a Comment