HOBIKU BERSYAIR DAN BERPANTUN MENGGALI SASTRA TENTANG HUKUM
CATATAN PERUBAHAN HUKUM
KATA PENGANTAR
Antasari Azhar, menurut penulis terkena jebakan hukum, yang di belakangnya ada permainan kotor yang dilakukan oleh orang mengerti hukum dan mampu mempermainkan hukum. Begitu juga Susno Duaji, telah dijebak dari belakang oleh tangan-tangan tersembunyi. Menurut analisis penulis dan sebagian pengamat lainnya.
PENDAHULUAN
Dalam hukum Islam, orang yang menjadikan hukum sebagai jebakan, adalah pembuat fitnah yang sangat besar kejahatannya. Karena itu hukum dalam Islam, tidak boleh dilepaskan dari aqidah dan akhlaq.
BAB I
HUKUM YANG TERUS BERUBAH
Dalam konteks ini, dapat difahami kenapa kata iman di dalam Al-Qur’an seringkali disandingkan dengan kata ‘amal saleh; dan sekaligus bisa dipahami ungkapan: al-‘ilm bi-la ‘amal, ka al-shajar bi-la thamar (ilmu tanpa amal bagaikan pohon tanpa buah). Dengan demikian bisa dikatkan bahwa hukum Islam “peduli” dunia sekaligus akhirat, karena mengusung nilai-nilai ketuhanan yang universal dan dikemas berdasarkan realita local. Persoalan muncul ketika istilah-istilah Latin tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Arab atau bahasa kitab kuning (kutub al-Sakhra’). Ternyata tidak semua orang sepakat, sebagian mengatakan bahwa istilah-istilah tersebut dalam literature Arab dikenal dengan istilah shari’ah, sementara sebagian yang lain mengatakan fiqh .Di sini persoalan menjadi krusial.
Secara luas syari’ah diartikan dengan “totalitas perintah-perintah Allah”. Dalam pengertian ini, syari’ah dapat diidentikkan dengan agama itu sendiri yang semua persoalan, baik teologi, etika, maupun hukum tercover di dalamnya. Sedangkan secara sempit diartikan sebagai “aturan-aturan (di luar teologi dan etika) yang ditetapkan oleh Allah untuk dipedomani manusia dalam berhubungan dengan-Nya dan semua makhluk lainnya.” Di sisi lain, fiqh pada mulanya berarti “pemahaman dalam pengertiannya yang luas.”
Kemudian dibatasi hanya pada pemahaman yang berkaitan dengan hukum.
Oleh karenanya, menurut salah satu definisi, fikih diartikan sebagai “himpunan hukum-hukum yang bersifat praktis yang dipahami dari dalil-dalil spesifik. Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat dipahami bahwa shari’ah adalah aturan Allah yang bersifat absolut, kekal-abadi, suci dan sakral karena merupakan aturan atau wahyu dari Allah. Sebagai wahyu, shari’ah belum tersentuh oleh pemahaman manusia, dan karenanya ia masih bersifat universal, ideal, statis, tunggal dan belum operatif.
Sedangkan fiqh adalah ilmu tentang shari’ah (the science of shari’ah). Jadi, fiqh termasuk dalam kategori sebuah ilmu, dan sebagai sebuah ilmu maka fiqh bersifat relatif, temporal dan profan yang rumusan-rumusannya sangat dipengaruhi oleh kondisi tempat dan waktu, plural, dinamis, dan operatif. Pengertian shari’ah dan fiqh ini menjelaskan apa yang dalam ilmu agama disebut sebagai perbedaan sekaligus relasi antara universalitas-globalitas dan pluralitas-lokalitas, serta sakralitas dan profanitas.
Bertolak dari paparan di atas, dapatlah kita simpulkan bahwa jika yang dimaksud hukum Islam itu adalah semua sistem tatanan yang mengatur kehidupan orang-orang Islam, individu maupun kelompok, dahulu maupun sekarang, atau mungkin yang akan datang, maka ia tidak diragukan lagi adalah fiqh. Alasannya adalah karena semua karakteristik fiqh sbagaimana telah disebutkan cocok dengan kenyataan pada apa yang disebut sebagai “hukum Islam”. Berbagai kajian tentang sejarah hukum Islam menunjukkan bahwa hukum Islam (fiqh), dalam rentang sejarahnya, tidak betul-betul terbebas dari pengaruh faktor-faktor sosial maupun kultural yang melingkupinya.
Hal ini tercermin dalam praktik hukum Islam di dunia Islam modern. Hukum Islam, baik pidana maupun perdata, yang berlaku di beberapa negara Islam saat ini menunjukkan dinamika dan perbedaan yang cukup berarti antara satu negara dengan negara lainnya. Berdasarkan kenyataan tersebut di atas pula, maka pernyataan yang mengatakan bahwa hukum Islam “berada di luar dan di atas fakta-fakta kehidupan sosial,” secara historis dan sosiologis, terbukti tidak tepat. Meskipun benar adanya bahwa hukum Islam itu bersumber dari Tuhan yang bersifat mutlak. Harus dicatat bahwa kebenaran itu hanya sejauh menyangkut hukum Islam pada tataran ontologis bukan pada tataran praksis. Sebab pemahaman dan cara pandang yang terlalu menekankan aspek transendental dari hukum Islam juga bisa menimbulkan citra yang tidak kondusif bagi eksistensi hukum Islam di dunia modern, termasuk Indonesia. Image yang akan muncul dari cara pandang seperti ini adalah bahwa hukum Islam itu, kolot, rigid, dan tidak bisa mengakomodasi perubahan dan pluralitas yang terjadi pada masyarakat.
Indonesia, seperti ditegaskan dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 pada bagian “Sistem Pemerintahan Negara,” ialah negara yang berdasarkan atas hukum. Ada dua tradisi hukum yang dipakai oleh negara-negara di dunia: Eropa Kontinental dan Anglo Saxon.
Kedua tradisi ini memiliki karakteristik masing-masing namun mencerminkan esensi yang sama, yakni bahwa kehidupan bernegara harus diatur oleh hukum. Dilihat dari karakteristiknya yang ada, negara hukum Indonesia tampaknya lebih condong kepada tradisi Eropa Kontinental (rechsstaat).
Salah satu ciri dari tradisi ini adalah dianutnya sistem hukum civil law yang mengkonsepsikan hukum sebagai peraturan yang dibuat oleh badan legislatif. Jadi, hukum adalah identik dengan undang-undang itu sendiri (enacted law). Norma-norma atau kaidah yang lain, selama belum ditetapkan sebagai undang-undang oleh badan yang berwenang, tidak bisa disebut hukum. Seperti diketahui, karakteristik yang menonjol dari kultur hukum yang ada di Indonesia adalah adanya pluralisme hukum (legal pluralism). Secara garis besar ada tiga jenis hukum yang berlaku di Indonesia: hukum Barat, hukum adat, dan hukum Islam.
Kodifikasi dan unifikasi hukum dimaksudkan untuk menekan kultur pluralisme hukum yang ada ke tahap yang serendah mungkin dan sebaliknya untuk mendukung terciptanya satu hukum nasional. Dari uraian di atas, kita bisa mengetahui bahwa dalam politik hukum Indonesia dan sekaligus dalam konteks negara kebangsaan yang plural, norma-norma hukum Islam, meskipun dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia, tidak dengan sendirinya menjadi hukum nasional. Hukum Islam, seperti juga hukum adat, posisinya baru merupakan “bahan mentah” (raw material) bagi pembangunan hukum nasional. Oleh karenanya, hukum Islam baru dapat dijadikan sebagai norma hukum nasional manakala ditetapkan menjadi undang-undang.
Tantangan Hukum Islam di Indonesia, terdapat pada salah satu rumusan arah kebijakan pembangunan hukum di dalam GBHN 1999, antara lain disebutkan:
Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama serta memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial yang diskriminatif, termasuk ketidak adilan gender dan tidak sesuai dengan tuntutan reformasi melaluiprogram legislasi(Bab IVA. 2)
Dari arah kebijakan tersebut dapat dicatat beberapa hal:
1. Sumber hukum nasional tidak tunggal. Menurut Qadry Azizy, sumber hukum nasional ada tiga: Agama, Hukum Adat dan Hukum Barat.
2. Masih ada, bahkan banyak hukum nasional yang merupakan warisan kolonial, sehingga tidak relevan lagi dengan era reformasi sekarang ini. Diantara warisan kolonial tersebut adalah KUH Piana dan KUH Perdata.
3. Pembaharuan hukum dilakukan melalui legislasi, yaitu suatu proses untuk menghasilkan peraturan perundang-undangan yang ditempuh secara prosedural dan demokratis.
Peluang suatu ajaran agama untuk menjadi sumber hukum nasional tergantung pada dua hal. Pertama, secara internal, sejauh mana suatu agama memiliki ajaran yang bisa diadopsi untuk menjadi hukum nasional. Jika sebuah agama memang tidak memiliki sistem hukum yang dapat diadopsi, ia maksimal hanya akan menjadi kekuatan moral, tidak dapat menyumbangkan formula hukum untuk diadopsi menjadi hukum nasional. kedua , sejauh mana agama itu dianut oleh masyarakat. Jika ia dianut oleh mayoritas masyarakat, secara politis, ia akan menjadi kekuatan perekat.
Dalam Al-Qur’an, menurut al-Suyuti terdapat tidak kurang dari 500 ayat yang mengandung perintah hukum. Namun, kesiapan materi hukum Islam tersebut di Indonesia dapat dikatakan belum mendapat tempat yang signifikan dalam tata hukum nasional. Hal ini dikarenakan beberapa hal. Pertama, Indonesia dijajah oleh bangsa Asing selama berabad-abad. Implikasinya sangat telak bagi perjalanan bangsa selanjutnya, termasuk perjalan hukumnya.
Akibatnya terciptanya dua dunia yang seolah-olah berbeda sama sekali, yaitu dunia hukum Islam dan dunia hukum umum. Padahal seharusnya tidaklah demikian. Hukum Barat maupun hukum Islam sama-sama hukum. Apalagi hukum Islam juga diakui sebagai salah satu sistem hukum di dunia disamping Roman Law dan Anglo Saxon. Sedangkan syarat kedua, bahwa agama yang ajaran hukumnya akan dijadikan hukum nasional seyogianya dianut oleh mayoritas masyarakat, secara formal telah dipenuhi oleh Islam. Syarat demikian ini selain penting secara politis sebagai daya perekat, juga secara sosiologis, agama dapat dipandang sebagai hukum yang hidup (living law).
Konsepsi mengenai hukum yang hidup (living law) kali pertama dikemukakan oleh mazhab Sociological Jurisprudence, yang dimotori oleh Roscoe Pound dan Eigen Ehrlich. Menurut mazhab ini, secara umum, hukum dapat dilihat baik sebagai law in books maupun sebagai law in action. Law in books (hukum tertulis) merupakan suatu fenomena normatif otonom yang berupa kumpulan norma-norma yang mengatur hubungan-hubungan dalam masyarakat, dan law in action atau living law diartikan sebagai suatu gejala sosiologis yang berupa interaksi antara norma-norma otonom tersebut dengan faktor-faktor sosial dalam masyarakat. Dengan kata lain, law in actionadalah hukum yang berlaku dalam masyarakat yang sifatnya konkrit dijelmakan dalam tingkah laku para anggotanya.
Peraturan perundang-undangan tertulis (law in books) seyogyanya sesuai dengan hukum yang hidup di masyarakat (law in action). Hukum yang demikian lebih mudah diterima oleh masyarakat. Konsep law in book (hukum tertulis/fenomena normatif) dan law in action (gejala sosiologis) ini pada dasarnya menjelaskan apa yang dalam ilmu agama disebut sebagai perbedaan sekaligus relasi antara normatifitas dan historisitas, serta globalitas-universalitas dan pluralitas-lokalitas.
Selanjutnya, ilustrasi pasang-surut upaya legislasi hukum Islam dalam dinamika sejarah ketatanegaraan Indonesia yang belum sepenuhnya berhasil tersebut, setidaknya memberikan pelajaran (hikmah) yang sangat berharga kepada kita, yaitu: pertama, bahwa realitas empiris bangsa Indonesia adalah plural tidak tunggal. Benar adanya, bahwa mayoritas bangsa Indonesia adalah kaum muslimin namun aspirasi dan cara pandang terhadap obyek persoalan yang sama ternyata beragam.
Hal demikian nampak jelas dari dua kelompok besar organisasi Islam di Indonesia, yakni Muhammadiyah dan NU yang enggan mendukung upaya formalisasi syari’at Islam tersebut. Kedua, berkenaan dengan soal hukum Islam itu sendiri. Hukum Islam versi siapa yang hendak dipositifkan dalam hukum nasional. Secara obyektif, di Indonesia menganut paling kurang empat mazhab besar anutan hukum Islam, yaitu Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hanbali. Keempatnya berdimensi plural. Menambah khazanah keilmuan kalangan internal umat Islam sendiri.
Gagasan dan Gerakan Ekonomi Syari’ah
Sejumlah ulama dan cendekiawan muslim Indonesia mulai melihat fakta bahwa sistem ekonomi kapitalis dan sosialis tidak bisa diharapkan terlalu banyak, karena telah terbukti dampak buruk dari kedua sistem ekonomi ini. Mereka pun berfikir perlu dikembangkannya sistem ekonomi alternative selain dua sistem ekonomi tersebut. Setidaknya ada dua upaya yang dilakukan, yaitu :
1. Mengombinasikan dua sistem ekonomi tersebut ke dalam sistem ekonomi baru, seperti yang telah dikembangkan oleh China selama dua dekade ini; dan
2. Memunculkan sistem ekonomi yang benar-benar berbeda dari semangat kedua sutistem ekonomi terdahulu.
Ternyata upaya yang kedua diatas yang menjadi pilihan sebagai pintu masuk bagi sistem ekonomi syariah di Indonesia.
Pada mulanya pihak-pihak yang meyakini dan memperjuangkan sistem ekonomi syariah sebagai sistem ekonomi alternatif yang berkeadilan dianggap sebagai “igauan” yang menjadi bahan cemoohan. Sikap optimis bahwa sistem ekonomi syariah dapat menutupi kelemahan dan kekurangan sistem ekonomi kapitalis atau sosialis/komunis dianggap sebagai ide yang berlebihan dan bahkan dianggap sebagai sebuah pernyataan bombastis-idealistis. Kondisi seperti ini merupakan fakta sejarah yang terjadi di negara-negara Islam, tidak terkecuali di Indonesia. Sampai dengan awal tahun 1990an cemoohan dan pandangan sinis terhadap pihak-pihak yang gigih memperjuangkan sistem ekonomi syariah masih nyaring terdengar. Namun pelan-pelan perjuangan untuk pengakuan sistem ekonomi syariah sebagai sistem ekonomi alternatif mulai diterima.
Kebijakan politik di Indonesia memberikan dukungan pertama kali dengan legislasi UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang memungkinkan beroperasinya bank dengan sistem bagi hasil (pasal 6). UU ini kemudian dirubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang secara eksplisit menyebutkan istilah "bank berdasarkan prinsip syariah".
Terbitnya UU No. 10 Tahun 1998 tersebut, menjadi moment penting bagi dimulainya gerakan ekonomi syariah di Indonesia. Setelah itu, gerakan ekonomi syariah terus digaungkan dan diperjuangkan oleh para aktivis ekonomi syariah, baik para ulama, akademisi maupun praktisi tidak kenal lelah. Gerakan ini pun menggelinding bagaikan gerakan bola salju yang semakin membesar yang tidak dapat terbendung lagi. Terus dikawal oleh lembaga-lembaga yang lahir dari gerakan ini, seperti Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), Masyarakat Ekonomi Syariah (MES), Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI), dan sebagainya. Gerakan dan perjuangan ekonomi syariah ini kemudian melahirkan lembaga-lembaga teknis di lingkungan pemerintah, seperti Direktorat Perbankan Syariah di Bank Indonesia, Direktorat Pembiayaan Syariah di Departemen Keuangan, dan berbagai biro di Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM).
Gerakan ini juga melahirkan sejumlah undang-undang dan peraturan perundangan lainnya, misalnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 Tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), Berbagai Peraturan Bank Indonesia, Peraturan Bapepam, dan peraturan-peraturan lainnya. Di samping itu, gerakan ini juga melahirkan lembaga-lembaga keuangan syariah meliputi: perbankan syariah, asuransi syariah, pegadaian syariah, pembiayaan syariah, pasar modal syariah, bursa komoditi syariah, bisnis syariah, dan sebagainya.
Lahirnya Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang memberikan kewenangan kepada Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari?ah adalah merupakah langkah politik hukum yang luarbiasa dalam melengkapi kelembagaan “hukum” untuk mewujudkan gerakan ekonomi syari?ah di Indonesia, sehingga kini gerakan ekonomi syari?ah riil mendapatkan dukungan dari berbagai pihak.
Urgensi Pembaruan Hukum Ekonomi Syari’ah
Perkataan ekonomi berasal dari bahasa Latin : Oikonomia. Kata oikonomia terdiri dari dua kata oikos yang berarti rumah-tangga, dan nomos artinya mengatur. Sehingga secara literar oikonomia diindonesiakan menjadi ekonomi, diartikan hal-hal yang berkaitan dengan mengatur rumah-tangga. Dengan demikian secara sederhana dapat dikatakan ilmu ekonomi adalah ilmu untuk mengatur rumah-tangga.
Dalam tataran masyarakat internasional-global menterjemahkan kata ekonomi dengan pengertian management of householt or estate (tata laksana rumah tangga atau kepemilkan) yang kemudian diartikan sebagai suatu ilmu bagaimana cara tiap individu atau segolongan masyarakat bertindak dalam proses produksi, konsumsi dan alokasi barang dan jasa untuk memuaskan kebtuhan yang tidak terbatas jumlanya dengan sumber-sumber yang terbatas jumlahnya.
Dalam literatur Arab, ilmu ekonomi disebut dengan ilmu al-iqtishad yang diambil dari kata qashada, yaqshudu, qashdan yang berarti niat, maksud, tujuan, atau jalan lurus. Selain itu dari akar kata Al-Qashdu kemudian menjadi kata al-muqtashid, yang berarti penghematan dan kesederhanaan (economze-simplicty), dalam arti inilah padanan kata ekonomi yang tepat dalam bahasa arab.
Perkataan syari?ah dari bahasa Arab seracara etimologi kata syari?ah berarti “jalan ke sumber air” atau “tempat orang-orang bisa minum”. Orang Arab sendiri menggunakan istilah ini dengan arti “ jalan setapak menuju sumber air yang tetap dan diberi tanda yang jelas sehingga tampak oleh mata”. Mahmud Syalthut mendefinisikan syari?ah sebagai “Peraturan-peraturan yang diciptakan Allah agar menjadi pegangan bagi manusia dalam berbagai aspek kehidupannya”. Dari penggabungan dua kata “ekonomi” dan “syari?ah” tersebut yang dimaksudkan adalah produk keuangan/transaksi ekonomi yang dilihat dari berbagai sudut pandang kislaman terutama aspek hukum atau syari?ahnya. Dari itu kegiatan ekonomi dalam Islam harus berlandaskan pada nilai-nilai ilahiyyah dengan perpaduan antara pencurahan tenaga dan pikiran yang dimiliki manusia dengan wahyu (Al-Qur-an) yang bersumber dari Allah SWT sehingga kegiatan ekonomi dalam Islam mempunyai keseimbangan antara dua dimensi alam yaitu dunia dan akhirat. Karena adanya dua faktor yaitu dimensi insaniyah dan dimensi ilahiyat dalam sistem ekonomi Islam, maka ekonomi Islam lebih akrab disebut “ekonomi syari?at”.
Dalam perspektif fikih, kegiatan perekonomian termasuk bagian dari mu?ammalah. Dalam perspektif methodologi (ushul fikih), masalah-masalah mu?ammalah adalah bagian dari masalah-masalah “taaqquli” yang menjadi domain ummat untuk merekayasa sistem dan tekniknya, sehingga sistem maupun hukum ekonomi syari?ah senantiasa menerima perkembangan dan berubahan, “qoobilun li al-taghyir wa al-niqas wa tajdiid” agar bersifat dinamis sejalan dengan arus perubahan zaman yang melingkupi kehidupan ummat manusia. Walaupun demikian kebebasan melakukan perubahan dan pembaruan tersebut tidak mutlak tetapi ada batasan-batasan syar?i yang bersifat universal. Dalam kaitannya dengan ini kaidah yang terkenal: “taghayyur al-hukmi bi taghayyur al-azminah wa al-amkinah wa al-ahwâl wa al-niyyât wa al-„awâid“(perubahan fatwa hukum karena perubahan zaman, tempat, kondisi, niyat dan adat kebiasaan).
Kaidah ini menunjukkan karakteristik fikih (hukum Islam) yang fleksibel dan kontekstual terutama dalam menjawab persoalan-persoalan baru dan yang terbarukan (al-masail al-jadidah wa al-mustajaddah). Kaidah ini sekaligus menegasikan anggapan sebagian orang bahwa hukum Islam (fikih) merupakan suatu yang sakral yang tidak mungkin berubah.
Fikih memang sering dipahami oleh sebagian masyarakat Islam Indonesia sebagai hukum yang sepenuhnya baku bahkan diasumsikan sama kuat dan sakralnya dengan nushush syari?yyah yang terdapat dalam al-Qur'an. Padahal tidaklah demikian, pembaruan hukum Islam (fikih) merupakan suatu keniscayaan, karena teks al-Qur'an maupun al-Haditsh sudah berhenti, sementara masyarakat terus berubah dan berkembang dengan berbagai permasalahannya.
Para ulama menjelaskan hal ini dengan ungkapan: li anna an-nushus mahdudah walakin al-hawadits wa an-nawazil ghair mahdudah, aw li anna an-nushus tatanaha walakinal-hawadits wa an-nawazil la tatanaha, (Sesungguhnya nash itu terbatas, sedangkan persoalan-persoalan yang timbul tidaklah terbatas, atau karena sesungguhnya nash itu telah berhenti sedangkan permasalahan akan senantiasa muncul dan tidak pernah berhenti). Untuk keperluan ini para ulama sudah cukup menyediakan landasan metodologi (manhaj) yang kokoh.
Di era yang sangat cepat perubahannya ini sebagai akibat kemajuan di bidang industri, perdagangan, jasa, kontrak perjanjian, teknologi, komunikasi, dan lain-lain. Di antara faktor-faktor yang mendorong mendesaknya pembaruan hukum Islam dewasa ini antara lain:
1. Perubahan sosial, yang meliputi perubahan budaya, ekonomi dan politik pada masa kini mengharuskan para ahli hukum Islam (fuqoha) untuk melakukan telaah ulang terhadap pendapat-pendapat ulama terdahulu yang tidak sesuai lagi dengan konteks sosial saat ini.
2. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat berpengaruh terhadap upaya mencari pendapat yang lebih kuat (rajih) di antara pendapat-pendapat yang berkembang dalam fikih klasik di mana pada masa klasik ilmu pengetahuan dan teknologi belum berkembang pesat, khususnya ilmu-ilmu eksakta. Dengan bantuan ilmu dan teknologi, para ahli hukum Islam (fuqoha) dapat menelaah kembali ketentuan hukum-hukum lama yang telah menjadi diskursus pada abad pertengahan untuk dikontekstualisasikan dengan kondisi kekinian jauh lebih kompleks. Pada saat ini, penentuan pendapat yang lebih kuat (rajih) tidak hanya didasarkan pada argumen tekstual dengan pendekatan deduktif, atau bahkan sekedar pendekatan madzhab fikih ansich, tetapi juga relevansinya dengan perubahan masyarakat.
3. Tuntutan perkembangan zaman mengharuskan para ahli hukum Islam (fuqoha) kontemporer untuk melihat kompleksitas masalah kontemporer dan memilih pandangan-pandangan dan fatwa hukum yang lebih memudahkan (taisir) dan menghindari kesulitan (al-haraj) dalam hukum-hukum furu?, baik dalam masalah ibadah maupun muamalat.
4. Munculnya kasus-kasus baru dan yang terbarukan mengharuskan adanya ijtihad baru karena masalah-masalah tersebut belum pernah dijawab oleh para fuqaha klasik.
Pembaharuan Hukum Ekonomi Syari’ah Kontemporer
Kehadiran ekonomi syari?ah di Indonesia tidak hanya semata-mata meperkaya khazanah intelektual para ilmuwan, tetapi juga turut serta menjadi solusi terbaik bagi perkembangan dan pembangunan suatu negara, karena ia menjadi alternatif sistem perekonomian tidak saja di Indonesia tetapi juga dunia dan kelanjutan peradaban umat manusia. Hanya saja ekonomi Islam itu harus terus dikaji secara mendalam sesuai dengan perkembangan zaman, tanpa harus melanggar norma-norma atau etika yang diajarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah. Karena itu Ijtihad atau fatwa ulama mempunyai perananan penting untuk menjawab permasalahan-permasalahan baru yang timbul seputar masalah ekonomi syaria?ah. Sebab sistem dan kegiatan perekonomian yang terjadi saat ini seakan-akan tidak terjamah oleh konsep-konsep fikih klasik yang telah ada sehingga terjadi kesenjangan antara realitas masa kini dengan konsep-konsep fikih klasik. Pada proporsi seperti inilah mutlak diperlukan adanya rekonstruksi-dekonstruksi pemikiran diakibatkan adanya tuntutan dan kebutuhan zaman.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai lembaga yang memiliki kewenangan dalam bidang keagamaan yang terkait dengan kepentingan umat Islam Indonesia telah membentuk satu dewan syari?ah yang bersifat nasional dan membawahi seluruh lembaga keuangan, termasuk bank dan lembaga-lembaga keuangan syari?ah. Lembaga itu dikenal dengan nama Dewan Syari?ah Nasional (DSN-MUI) yang berdiri pada tanggal 10 Pebruari 1999. Lembaga ini merupakan salah satu institusi berscala nasional yang dijadikan payung bagi semua pihak dalam mengemban tugas mengawasi, mengarahkan dan mendorong tumbuh kembangnya lembaga-lembaga keuangan syari?ah agar kegiatan perekonomian dan keuangan lembaga syari?ah tersebut sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. Dengan demikian produk hukum dalam bentuk fatwa DSN-MUI memiliki kredibitas tinggi karena merupakan hasil ijtihad kolektif sehingga telah menghapus kesan selama ini bahwa ijtihad hukum tentang ekonomi syari?ah dilakukan oleh mujtahid tertentu (fardhi) yang bersifat informal. Padahal ijtihad dalam era modern ini perlu melibatkan para ahli yang berkompeten dan memiliki kemampuan luarbiasa dalam melahirkan sebuah hukum serta perlu pula bekerjasama dengan pemerintah sehingga dapat diperlakukan sebagai perundang-undangan. Jika tidak demikian maka hasil ijtihad tersebut hanya akan bersifat teoritis semata dan bahkan mungkin akan terjadi benturan pendapat antara pemerintah dengan mujtahid.
Kemudian untuk menyokong kredibilitas kedudukan Dewan Syari?ah Nasional (DSN) sebagai lembaga yang berkompeten dibidang fatwa hukum ekonomi syari?ah, maka Pemerintah telah mengundangkan Undang Undang Nomor 10 Tahun 1998, dengan undang undang tersebut maka fungsi fatwa DSN-MUI lebih otoritatif sekaligus merupakan positivisasi terhadap hasil ijtihad sehingga dipandang mengikat semua pihak, antara lain Bank Indonesia dan pihak-pihak terkait lainnya untuk menerima bagian dari jalan Islam dalam bidang ekonomi Islam di Indonesia.
Prinsip-prinsip Umum Fatwa DSN Majelis Ulama Indonesia
Prinsip fatwa DSN-MUI dalam tataran teoritis memang tidak dimaksudkan untuk melakukan pembaruan hukum ekonomi Islam dalam arti menciptakan hukum baru yang sama sekali tetapi lebih pada menguji validitas „illah yang terhadap dalam kitab-kitab mu?tamad dan pendapat ulama terdahulu, jika „illahnya masih dipandang relevan dengan kondisi kekinian maka pendapat ulama tersebut akan dipakai, sedangkan jika „illahnya dianggap sudah tidak cocok lagi dengan kondisi kekinian maka pendapat tersebut ditinggalkan. Walaupun demikian manhaj istinbatul hukm-nya tetap dipakai oleh DSN-MUI. Sehingga kadang-kadang ada beberapa fatwa DSN-MUI dianggap tidak sejalan dengan pendapat lahiriah ulama terdahulu dalam kitab-kitab fikih mu?tabarah. Dan fatwa tentang ekonomi syariah yang ditetapkan oleh DSN-MUI selain dibangun di atas manhaj tertentu juga tidak terlepas dari landasan umum hukum ekonomi syariah.
Setidaknya ada tujuh prinsip yang dijadikan landasan dalam penetapan-penetapan fatwa hukum ekonomi syariah sama halnya dengan prinsip mu?ammalah pada umumnya, yaitu :
1. Pertama adalah Al-maslahah, artinya aktifitas ekonomi syariah harus dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat dan menghindarkan mudharat (jalb al-mashalih wa dar?u al-mafasid). Konsekuensi dari prinsip ini adalah bahwa segala bentuk mu?amalat yang dapat merusak atau mengganggu kehidupan masyarakat tidak dibenarkan, seperti perjudian, penjualan narkotika secara tidak sah, prostitusi dan sebagainya.
2. Kedua adalah Ar-ridha, artinya aktifitas perekonomian syariah harus dilakukan atas dasar sukarela (taradhi), dengan tanpa mengandung unsur paksaan (ikrah). Kaidah saling sukarela antara pihak yang melakukan transaksi ini merupakan prinsip yang fundamental dalam setiap aktifitas perekonomian syariah, sehingga kedua belah pihak dapat terhindar dari aktifitas ekonomi yang di dalamnya terdapat unsur tekanan, paksaan, penipuan atau ketidakjujuran. Namun demikian, semua aktifitas perekonomian yang didasarkan atas prinsip saling rela itu tidak secara otomatis dianggap sah secara syar?i, karena pada dasarnya saling rela merupakan prinsip dalam aktifitas perekonomian, bukan menjadi penyebab dibolehkannya sesuatu yang dilarang (ar-ridha ruknun li al-„aqdi wa laisa sababan li al-hilli). Selain itu, aktifitas ekonomi syariah juga harus didasarkan atas prinsip ketidak-terpaksaan (ghair ikrah). Prinsip ini merupakan prinsip dasar dalam fiqh mu?amalat dan merupakan prinsip dasar pula dalam hukum perjanjian (akad). Pihak-pihak yang melakukan akad mempunyai kebebasan untuk membuat suatu perjanjian, baik dalam menentukan yang diperjanjikan (obyek perjanjian) maupun syarat-syaratnya, termasuk menetapkan cara-cara penyelesaian jika terjadi sengketa. Kebebasan menentukan syarat-syarat ini dibenarkan selama tidak bertentangan dengan ketentuan syari?ah lainnya.
3. Ketiga adalah ‘Adamul-Gharar, artinya praktik perekonomian syariah harus jauh dari tipu daya (?adam al-gharar). Dalam fikih klasik Imam al-Khithabi menyatakan bahwa setiap jual-beli yang tidak diketahui maksudnya dan tidak bisa diukur maka itu termasuk gharar. Misalnya menjual ikan yang masih di lautan, atau menjual burung yang masih terbang di udara, atau menjual barang dalam bungkus yang tidak diketahui kondisinya. Setiap transaksi ekonomi yang mengandung penipuan (gharar fahisy) maka dianggap tidak sah.
4. Keempat adalah Al-Khidmah, artinya aktifitas ekonomi syariah harus mampu mewujudkan pelayanan sosial (tahqiq al-khidmah al-ijtima?iyah). Aktifitas ekonomi syariah harus diorientasikan pada terciptanya pelayanan sosial yang bisa meringankan beban kaum yang lemah secara ekonomi atau At-Ta?awun. Prinsip ini harus menjadi tujuan dari setiap aktifitas ekonomi syariah, karena dalam ekonomi syariah selain diperbolehkan untuk menambah keuntungan dan kekayaan yang berlimpah, juga harus memperhatikan kondisi sosial di sekitarnya.
5. Kelima adalah Al-Adilu, artinya setiap aktifitas ekonomi harus mengarah pada terciptanya keadilan dan keseimbangan (al-?adlu wa at-tawazun). Ekonomi syariah harus dilaksanakan dengan memelihara nilai keadilan dan menghindari unsur-unsur kezaliman. Segala bentuk aktifitas ekonomi yang mengandung unsur penindasan tidaklah dibenarkan. Setiap aktifitas ekonomi harus memperhatikan keseimbangan antara pihak-pihak yang melakukan transaksi. Prinsip ini menekankan perlu adanya keseimbangan sikap dalam melakukan aktifitas perekonomian. Misalnya, setiap upaya untuk mendapatkan keuntungan tentu saja di situ ada resiko-resiko kerugian yang harus ditanggungnya. Jika keuntungan yang diharapkan lebih besar, di situ faktor resiko kerugiannya juga lebih besar. Sebaliknya, setiap transaksi bisnis yang mempunyai resiko besar, biasanya juga menjanjikan keuntungan yang besar pula. Harus ada sikap proporsional antara upaya meraih keuntungan dan kesiapan untuk menanggung kerugian, sesuai kaidah al-ghunmu bil-ghurmi wal-ghurmu bil-ghunmi.
6. Keenam adalah Al-Ibahah, artinya segala bentuk aktifitas dalam ekonomi (mu'amalat) pada dasarnya hukumnya adalah boleh (mubah), kecuali jika ditentukan lain oleh suatu dalil. Prinsip dalam kaidah tersebut merupakan landasan dalam menentukan hukum suatu transaksi ekonomi. Dan kaidah ini menunjukkan bahwa hukum Islam memberi kesempatan luas bagi perkembangan bentuk dan macam mu?amalat baru sesuai dengan perkembangan kebutuhan hidup masyarakat.
7. Ketujuh adalah Al-Istirbah, artinya aktifitas ekonomi syariah juga harus memperhatikan prinsip profitable (al-istirbah), karena setiap kegiatan ekonomi tentunya mengharapkan adanya keuntungan. Jadi, tidak logis jika transaksi ekonomi tidak mengharapkan keuntungan. Methodologi Pembaruan Hukum Ekonomi Syariah DSN-MUI Bidang ekonomi syariah merupakan lahan baru untuk ijtihad karena perkembangannya yang begitu cepat dan masih sedikitnya pendapat ahli fikih tentang masalah ini. Untuk merespons hal ini dilakukan ijtihad jama?i melalui perumusan fatwa Dewan Syariah Nasional MUI. Dalam proses penetapan fatwa ini, DSN-MUI mempergunakan tiga pendekatan, yaitu:
- pendekatan nash qath?i;
- pendekatan qauli, dan;
- pendekatan manhaji.
Pendekatan nash qath?i dilakukan dengan berpegang kepada nash al-Qur?an atau al-Hadits dalam menetapkan suatu masalah yang sudah terdapat dalam nash al-Qur?an ataupun al-Hadits secara jelas. Apabila masalah itu tidak terdapat dalam nash al-Qur?an maupun al-Hadits, maka proses perumusan fatwa dilakukan dengan pendekatan qauli dan manhaji. Pendekatan qauli dilakukan apabila permasalahan yang ada telah ditemukan jawabannya melalui pendapat ahli fikih yang terdapat dalam al-kutub al-mu?tabarah yang „illah hukumnya sesuai dengan yang terjadi saat ini dan hanya terdapat satu pendapat (qaul). Dalam kondisi seperti itu maka fatwa akan memakai pendapat ulama tersebut. Namun jika pendapat yang ada dianggap tidak cocok lagi untuk dipegangi karena ta?assur atau ta?adzdzur al-„amal atau shu?ubah al-„amal, sangat sulit untuk dilaksanakan, atau karena illat-nya berubah, maka dalam hal ini perlu dilakukan telaah ulang (i?adah an-nadhar) pendapat tersebut.
Apabila jawaban terhadap masalah yang dimintakan fatwa tidak dapat dipenuhi oleh nash qath?i dan pendapat yang ada dalam al-kutub al-mu?tabarah, maka penetapan fatwa dilakukan melalui pendekatan manhaji, yakni dengan menggunakan metode: al-jam?u wat taufiq, tarjihi, ilhaqi dan istinbathi. Jika dalam masalah yang dimintakan fatwa itu terjadi khilafiyah di kalangan imam madzhab, maka penetapan fatwa didasarkan pada hasil usaha penemuan titik temu di antara pendapat-pendapat madzhab melalui metode al-jam?u wa al-taufiq. Namun jika usaha al-jam?u wa al-taufiq tidak berhasil, maka penetapan fatwa dilakukan melalui metode tarjihi, yaitu dengan menggunakan metode muqaran al-madzahib dan dengan menggunakan kaedah-kaedah ushul fiqh al-muqaran.
Ketika satu masalah atau satu kasus belum ada qaul yang menjelaskan secara persis dalam al-kutub al-mu?tabarah namun terdapat padanannya dari masalah tersebut, maka penetapan fatwa dilakukan melalui metode ilhaqi, yaitu menyamakan suatu masalah yang terjadi dengan kasus padanannya dalam al-kutub al-mu?tabarah. Jika metode ilhaqi ini tidak bisa dilakukan karena tidak ada mulhaq bih dalam al-kutub al-mu?tabarah, maka penyelesainnya dilakukan dengan metode istinbathi. Metode istinbathi ini dilakukan dengan memberlakukan metode qiyasi, istishlahi, istihsani dan sadd al-dzari?ah.
Di samping metode-metode tersebut, secara umum penetapan fatwa harus pula memperhatikan kemaslahatan umum (mashalih „ammah) dan maqashid al-syari?ah. Metode-metode di atas selama ini telah mencukupi untuk dijadikan kerangka paradigmatik dalam menjawab permasalahan ekoomi yang muncul melalui fnatwa DSN-MUI.
Dalam menguplaud pendapat fukoha klasik, ada kaidah-kaidah yang secara spesifik mendasari banyak fatwa DSN-MUI, yaitu kaidah tafriq al-halal min al-haram dan i?adah an-nadhar.
a. Tafriq al-halal nin al-haram
Kaidah ini relevan dikembangkan di bidang ekonomi syariah, mengingat bahwa kegiatan ekonomi syariah belum bisa terlepas sepenuhnya dari sistem ekonomi konvensional yang ribawi. Paling tidak, lembaga ekonomi syariah akan berhubungan dengan ekonomi konvensional yang ribawi dari aspek permodalan, pengembangan produk, maupun keuntungan yang diperoleh. Kaidah tafriq al-halal min al-haram (pemisahan unsur halal dari yang haram) dapat dilakukan sepanjang yang diharamkan tidak lebih besar atau dominan dari yang halal. Bila unsur haram dan halal telah dapat diidentifikasi maka unsur haram harus dikeluarkan.
b. I’adah al-nadhar
Pembaruan hukum ekonomi syariah juga dapat dikembangkan dengan mengedepankan teori i?adah al-nadhar (telaah ulang) dengan cara menguji kembali alasan hukum („illah) dari pendapat ulama terdahulu tentang suatu masalah. Telaah ulang ini dilakukan, karena „illah hukumnya telah berubah atau karena beberapa pendapat para ulama terdahulu dipandang tidak aplikatif dan tidak memadai dengan kondisi kontemporer. Pendapat itu dianggap sudah tidak cocok lagi untuk dipedomani, karena sulit diimplementasikan (ta?assur, ta?adzdzur aw shu?ubah al-amal). Salah satu cara yang bisa dipakai untuk melakukan telaah ulang adalah dengan menguji kembali pendapat yang mu?tamad dengan mempertimbangkan pendapat hukum yang selama ini dipandang lemah (marjuh bahkan mahjur), karena adanya „illah hukum yang baru dan atau pendapat tersebut lebih membawa kemaslahatan. Selanjutnya pendapat tersebut dijadikan pedoman (mu?tamad) dalam menetapkan hukum.
HOBIKU BERSYAIR DAN BERPANTUN
Tenang-tenang, air di
laut,
Sampan nelayan, berisi terasi,
Pornografi, dan suka mencarut,
Jadi hiburan, preman berdasi.
Daerah palas, gilang-gumilang,
Banyak lilin, di pinggir tebat.
Karakter pemalas, manakan hilang,
Tanpa disiplin, yang sangat ketat..
Pornografi, dan suka mencarut,
Jadi hiburan, preman berdasi.
Daerah palas, gilang-gumilang,
Banyak lilin, di pinggir tebat.
Karakter pemalas, manakan hilang,
Tanpa disiplin, yang sangat ketat..
M.Rakib serta keluarga baru pulang dari Khotbah Hari Raya di Pulau Jambu Airtiris.Kampar.2011
Ikan patin, gulai kelapa,
Hendak dijual, ketika menugal.
Tuan miskin, tidak mengapa,
Asalkan ibadah, jangan tinggal.
Ubi banyak, bermacam ubi,
Ubi ketela, sedang terjerang.
Lobi banyak, bermacam lobi.
Lobi Yang licik, ditakuti orang
Peti ikan, diikat suasa,
Dibeli oleh,
orang asing.
Intisari
pendidikan, karakter bangsa,
Memicu
kemampuan, daya saing.
Derum hanyut, Teluk meranti,
Gelombang Bono , terus meluncur.
Kurikulum boleh, beganti-ganti,
Tanpa dayasaing,
pendidikan hancur.
Bagaimana Putri, dan pengeran asing,
Indahnya duduk, di singgasana.
Bagaimana memiliki, dayasaing,
Lihatlah kegigihan, keturunan Cina.
Jika keadaan memaksa
Duku lisut, terkena petasan,
Walaupun masak, tak punya rasa.
Perilaku Agresif, melakukan kekerasan,
Dalam keadaan, sangat memaksa.
Sebakul pulut, di dekat bara,
Asap mengepul, api menjalar.
Memukul murid, masuk penjara,
Tidak dipukul, muridnya kurang ajar.
Ketam darat, dapat dilembing,
Ketam lautnya, ditusuk besi.
HAM Barat, melarang bullying,
HAM Timur hanya, membatasi.
Semua kucing, pandai memanjat,
Kalau sahat, mudah melirik.
Tidak semua bullying, jelek dan jahat,
Kalau penggunaannya, teratur dan baik.
Menggunakan piring, harus perlahan,
Kalau pecah, tangan terluka.
Penggunaan bullying, berlebihan,
Itulah pembawa, malapetaka.
Walaupun masak, tak punya rasa.
Perilaku Agresif, melakukan kekerasan,
Dalam keadaan, sangat memaksa.
Sebakul pulut, di dekat bara,
Asap mengepul, api menjalar.
Memukul murid, masuk penjara,
Tidak dipukul, muridnya kurang ajar.
Ketam darat, dapat dilembing,
Ketam lautnya, ditusuk besi.
HAM Barat, melarang bullying,
HAM Timur hanya, membatasi.
Semua kucing, pandai memanjat,
Kalau sahat, mudah melirik.
Tidak semua bullying, jelek dan jahat,
Kalau penggunaannya, teratur dan baik.
Menggunakan piring, harus perlahan,
Kalau pecah, tangan terluka.
Penggunaan bullying, berlebihan,
Itulah pembawa, malapetaka.
Pelanggaran
hak asasi
Yang dikatakan, sebuah gasing,
Bulat pendek, seperti bakul.
Yang dikatakan , tindakan bullying,
Prilaku orang , suka memukul.
Bakul besar, diinjak kerbau,
Bakul berisi, pisau tajam.
Memukul manusia, seperti kerbau,
Itulah bullying, yang kejam.
Asal mulanya, datang kepinding,
Dari kelilawar, yang mengepak.
Asal mulanya, istilah bullying,
Dari pekerjaan, gembala ternak.
Tengku berjualan, ke Tanjung Bilah,
Paritnya runtuh, setiap bulan.
Perilaku penggembala, sampai ke sekolah,
Murid dan guru, pukul-pukulan.
Yang dikatakan, sebuah gasing,
Bulat pendek, seperti bakul.
Yang dikatakan , tindakan bullying,
Prilaku orang , suka memukul.
Bakul besar, diinjak kerbau,
Bakul berisi, pisau tajam.
Memukul manusia, seperti kerbau,
Itulah bullying, yang kejam.
Asal mulanya, datang kepinding,
Dari kelilawar, yang mengepak.
Asal mulanya, istilah bullying,
Dari pekerjaan, gembala ternak.
Tengku berjualan, ke Tanjung Bilah,
Paritnya runtuh, setiap bulan.
Perilaku penggembala, sampai ke sekolah,
Murid dan guru, pukul-pukulan.
Sungai Rokan ,kampung Rokan,
Kupu-kupu , di papan keranda.
Sesuku bukan , samarga bukan.,
Setanah air, saling membela..
Kupu-kupu , di papan keranda.
Sesuku bukan , samarga bukan.,
Setanah air, saling membela..
Padi perak,
berdaun suasa,
Buahnya bagai, emas merah;
Punya etos kerja, lagi berbahasa,
Itulah tanda, generasi bertuah.
Buahnya bagai, emas merah;
Punya etos kerja, lagi berbahasa,
Itulah tanda, generasi bertuah.
Menanam selasih, di bumi Riau,
Selasih ditanam, di ujung serambi,
Bagailah mana hati , tidak risau,
Jika sarjana , kehilangan budi.
Air pasang, membawa gurita,
Pasang tidak, waktu libur,
Budi tuan, lekat di mata,
Tapi jangan, jadi penganggur.
Pasang tidak, waktu libur,
Budi tuan, lekat di mata,
Tapi jangan, jadi penganggur.
Pasang kelambu, tepi jendela,
Supaya senang, pintu dikunci;
Biar beribu dara, dan janda,
Saya memilih , yang religi.
Penat sudah, ke gunung Daik,
Tidak sampai, ke Pulau Bali.
Penat sudah, guru mendidik,
Para murid , tidak peduli.
Tidak sampai, ke Pulau Bali.
Penat sudah, guru mendidik,
Para murid , tidak peduli.
Pilih-pilih, buah kedondong,
Cari yang manis, tiada bijinya;
Terpilih pasangan, orang penodong,
Seminggu hilang, bertemu di penjara.
Cari yang manis, tiada bijinya;
Terpilih pasangan, orang penodong,
Seminggu hilang, bertemu di penjara.
Pipit ampat dibilang anam,
Terbang tinggi, tinggalkan sarang;
Sakit diubat mati ditanam,
Wajah penipu, dikenang orang.
Pisang emas, bawa belayar,
Diletak budak, di atas peti;
Para koruptor, semakin ganas,
Mengapa tidak, dihukum mati.
Pokok keladi, di tepi paya,
Bunga teratai, kembang bertaut;
Kalau berbudi, pada yang kaya,
Sama mencurahkan, garam ke laut.
Pohon pauh, tepi permatang,
Pokok pandan , tepi perigi.
Ada manusia, berperangai binatang,
Suka selingkuh, hobi korupsi..
Puas sudah, menanam ubi,
Nanas datang , dari seberang;
Puas sudah memberantas korupsi,
Kolusi juga, dilakukan orang.
Danau Maninjau , seperti kuali,
Ada selasih, di dekat tangga.
Hati risau, melihat istri,
Memadu kasih, dengan tetangga..
Ada selasih, di dekat tangga.
Hati risau, melihat istri,
Memadu kasih, dengan tetangga..
Pucuk manis, pucuk padi,
Daun pulut, dimakan rusa;
Kelingking berkait, merusak budi,
Hilang malu, hilang perisa.
Daun pulut, dimakan rusa;
Kelingking berkait, merusak budi,
Hilang malu, hilang perisa.
Nama
: Muhammad Rakib
Umur
: 54 tahun
Pekerjaan
: Dosen Persada Bunda dan Widyaiswara LPMP. Riau Indonesia, sejak tahun
2000. Punya Yayasan Raksya Riau
HP. 0812 6748 8881
Lahir
: KUALA KAMPAR. Penyalai 31 Gustus 1959
Nama Orang tua : Janib dan Maryama
Pendidikan terakhir :
Program Doktor UIN Suska Riau Indonesia. Jurusan Hukum Islam. (Kandidat
doktor 2013)Mohon doa pembaca agar sukses atas izin Allah. Bimbingan Prof. Dr.
Sudirman, M.Djohan dan Prof.Dr.Syafrinaldi, M.Cl.
ANAK
ANDA ADALAH PENGGUGAT ANDA
DISERTASIKU ANALISIS
HUKUM TENTANG MEMUKUL ANAK YANG TIDAK SHOLAT
A.Perlindungan
anak dalam Islam
1. Perlindungan
dari hukuman fisik.
Di masa hidupnya Rasulullah, di
masa Amirul Mukminin, dan di masa jayanya dinasti Umayyah dan Abbasiyah,
hukuman fisik oleh orang tua dan guru, yang digunakan untuk menghukum anak-anak adalah cambuk
kecil,[1]
untuk menakut-nakuti anak-anak yang
tidak disiplin belajar dan tidak shalat.
Menanamkan sikap kesatria dan bertanggungjawab,bersedia dihukum, mau mengakui
kesalahan, merupakan
salah satu bentuk manifestasi dari cita-cita hidup Islam untuk melestarikan,
menanamkan (internalisasi) dan mentransformasikan nilai-nilai Islam tersebut
kepada pribadi generasi penerusnya sehingga nilai-nilai cultural-religious yang
dicita-citakan tetap berfungsi dan berkembang dalam masyarakat dari
waktu-kewaktu. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah
bagaimanakah bentuk lembaga dan sistem pendidikan Islam pada masa khalifah
Harun ar-Rasyid dan al-Makmun?
Hukuman fisik
tidak banyak ditulis para ilmuwan. Lembaga
pendidikan Islam yang berkembang pada masa khalifah Harun ar-Rasyid berbentuk:
kuttab, pendidikan rendah di istana, halaqah, masjid, majelis, rumah sakit dan rumah-rumah ulama’, toko buku dan
perpustakaan. Sedangkan lembaga pendidikan Islam pada masa al-Makmun yaitu:
kuttab, pendidikan rendah di istana, halaqah, masjid, majlis, rumah sakit,
observatorium, khan, ribat, toko buku dan perpustakaan. Sistem pendidikan Islam
pada masa kedua khalifah ini meliputi: tujuan, kurikulum, metode, kehidupan
guru dan murid serta hubungan guru dan murid. Tujuan Pendidikan Islam pada masa
Pola hubungan guru dan murid tidak ditemui informasi tentang kekerasan
apapun. Karena didasarkan
pada prinsip demokratis dan kesucian batin serta akhlaqul karimah.
Dari data historis tersebut,
menurut analisis penulis angtara konsep Hukum Islam dan UU RI No 23,
secara tekstual seakan-akan terjadi
pertentangan secara tekstual. Sedangkan secara
kontekstual, “ tidak”, karena hukuman fisik terhadap anak-anak dalam
Islam, tidak mengandung kekerasan, dan digunakan sebagai alternatif terakhir,
sekaligus sebagai
antisipasi kerusakan (dar’ul
mafasid).[2]Dar’ul
mafasid, artinya mencegah kerusakan yang lebih
besar. Maksudnya memberikan hukuman fisik
kepada anak-anak adalah untuk mencegah kejahatan yang mungkin akan
dilakukannya, akan tetapi jangan sampai menghasilkan manusia yang suka dengan
tindak kekerasan dikemudian hari. Kalau itu terjadi, maka pendidikan saat ini
hanya menghasilkan kesalahan besar.
2.Melindungi
anak-anak dari kekerasan guru.
Dalam UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang UU Perlindungan Anak
pasal 54 menyebutkan: “Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi
dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau
teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan
lainnya”.
Apakah
bertentangan dengan Hukum Islam yang membolehkan hukuman fisik sekedarnya,
untuk melindungi dan menjunjung tinggi
kesucian kehidupan anak-anak. Hal ini dibuktikan dengan sejumlah ayat-ayat
dalam al-Qur’an dan hadits. Berdasarkan
ayat-ayat tersebut, Islam memberikan landasan hukum yang jelas bahwa kehidupan
manusia itu suci sehingga haruslah dipelihara dan tidak boleh dihancurkan
(diakhiri) kecuali dilakukan untuk suatu sebab atau alasan yang benar, misalnya
pembelaaan diri yang dibenarkan. Berikutnya akan dianalisis
pandangan-pandangan ulama fikh tentang
kekerasan, argumentasi methodologis (usul fikh), solusi fikh, dan argumentasi fikh. Berikut ini disajikan tabel :
Tabel 5
Perbedaan
antara UU Perlindungan Anak dan Hukum Islam, tentang hukuman fisik, bagi
anak-anak.
No
|
UU Nomor 23 Tahun 2002
|
Hukum Islam
|
1
|
Berdasarkan
HAM dan konvensi PBB tentang hak-hak anak.
|
Berdasarkan
Al-Quran dan Hadits
|
2
|
Keterangannya
bersifat global
|
Keterangannya bersifat
detil
|
3
|
Untuk
semua agama
|
Untuk
umat Islam dan dunia
|
4
|
Melarang
hukuman fisik, tanpa batas
|
Membolehkan
hukuman fisik, dengan batas-batas tertentu.
|
5
|
Bersifat
sekular rasionalis
|
Bersifat
sakral relegius
|
6
|
Memuat
sanksi hukuman penjara dan denda bagi yang melanggarnya.
|
Memuat
sanksi hukuman qishas dan ta’zir bagi
yang melanggarnya.
|
Keterangan tabel
5
Pada baris nomor 5 dalam tabel ini, dibandingkan
tentang dasar atau landasan atau fondasi dari UU Nomor 23 Tahun 2002
adalah Hak Asasi Manusia (HAM) dan
Konvensi PBB tentang hak-hak anak yang sudah diratifikasi oleh Indonesia.
Sedangkan Hukum Islam, dasarnya adalah
Al-Quran dan Hadits. Walaupun
dasarnya dan landasannya berbeda, tapi tujuannya sama, yaitu memberikan
perlindungan kepada anak-anak. Dalam Islam, anak-anak sampai umur tujuh tahun, dibimbing dan diberi contoh, bagaimana
melakukan shalat. Mereka biasanya lebih terpengaruh oleh kebiasaan dan
didikan orang tuanya. Namun setelah mulai masuk sekolah ia akan terbina oleh
gurunya dan terpengaruh oleh teman-temannya di sekolah. Kalau pembinaan
guru-gurunya baik dan pengaruh teman-temannya pun baik maka insya Allah jiwa
anak terbina dgn baik. Sebaliknya kalau pembinaan dari guru-gurunya hanya
sekadarnya dan pengaruh teman-temannya buruk maka si anak terbentuk dalam pola
yang kurang baik.
Di saat
seperti itu pembinaan ataupun kebiasaan kedua orang tuanya yang ditanamkan kepada si anak selama 7
tahun itu lambat laun terkikis lama-lama bisa habis. Sedang pembinaan dari
orang tua belum tentu berlanjut atau setidak-tidaknya tak ada peningkatan.
Karena orang tua merasa anaknya sudah disekolahkan pasti telah dibina oleh
guru-gurunya di sekolah. Wal hal guru-guru belum tentu membina si anak dgn
baik/ intensip. Apalagi kebanyakan pendidikan selama ini kurikulumnya hanya
sekadar menyampaikan pelajaran yg sasarannya hanya membekali otak dengan ilmu
teori dan itupun sifatnya lbh menjurus kepada materi keduniaan. Sedikit sekali
yang menyangkut pembinaan rohani akhlaq jiwa hati keimanan keikhlasan atau
akhlaq secara keseluruhan. Sehingga aspek ukhrawi justru terabaikan. Kemaslahatan manusia dapat terwujud
apabila terjamin kebutuhan pokok (dharuriyah), kebutuhan sekunder (hajiyah)
maupun kebutuhan pelengkapnya (tahsiniyah).[3] Yang diinginkan ialah:
1.
Mencari solusi
dengan fikih alternatif
Dalam konteks hukuman fisik , mirip dengan aborsi tak aman
yang menimbulkan tingginya kecelakaan, bukan
merupakan persoalan sederhana, tetapi memiliki dimensi sosial yang kompleks baik
secara fisik, psikis bagi yang bersangkutan maupun psiko-sosial bagi
lingkungannya. Fikih dalam hal ini harus berorientasi pada etika sosial yang
produk hukumnya tidak sekedar halal atau haram, boleh dan tidak boleh, tetapi
harus memberikan jawaban berupa solusi hukum terhadap persoalan-persoalan
sosial yang dihadapi perempuan. Dengan kata lain, diakui pula oleh K.H. Sahal
Mahfudz (2003):“Fikih sosial bertolak dari pandangan bahwa mengatasi masalah
sosial yang kompleks dipandang sebagai perhatian utama syari’at Islam”.[4]
Dalam konteks menetapkan kepastian
hukum mengenai tingginya angka
kematian ibu
akibat aborsi tak aman yang merupakan dua kondisi yang sama-sama membahayakan,
dapat dianalisa dengan menggunakan beberapa kaidah fikih, antara lain: Pertama, “Bahaya itu
menurut agama harus dihilangkan (al-dlarar yuzaalusyar’an)”; Kedua, “Bahaya yang
lebih berat dapat dihilangkan dengan memilih bahaya yang lebih ringan (al-dharar
al-asyadd yuzaalu bi al-dharar al-akhaff)” atau “Jika dihadapkan pada dua
kondisi yang sama-sama membahayakan, maka pilihlah bahaya yang lebih kecil
risikonya (Idza ta’aaradlat al-mafsadataani ruu’iyaa’dhamuhuma dlararan)”;
Ketiga, “Keterpaksaan
dapat memperbolehkan untuk melakukan hal-hal yang dilarang (al-dlaruraatu
tubiihul mahdzuraat)”; [5]Keempat, perubahan
hukum Islam dapat dilakukan dengan adanya perubahan zaman, perubahan tempat,
perubahan kondisi, perubahan niat dan kultur atau adat (taghayyir al-ahkam
bitaghayyur al-azminah wal-amkinah wal-ahwal wan-niyaat wal-‘awaaid)”[6].
2. Mengutamakan pencegahan
Ada argumentasi klasik di
kalangan ulama bahwa pencegahan atau men- dahulukan prevensi (syaddu al-dzari’ah) lebih
baik. Dalam hal hukum aborsi,
melarang aborsi
dianggap lebih aman, karena ada kehawatiran kalau aborsi di- bolehkan akan dijadikan sebagai peluang bagi pelaku
seks di luar nikah mencari
jalan keluar.
Bila aborsi dibolehkan sama dengan memberikan kesempatan untuk
melakukan
perzinahan atau seks bebas. Pertanyaannya adalah bagaimana fikih
menjawab
realitas yang sudah terjadi berupa tingginya angka aborsi tak aman yang
jelas-jelas mengancam kematian, apakah masih relevan menjawab dengan
argumentasi
preventif. Pandangan tersebut nampak sangat tekstual karena hanya
berorientasi
pada teks tanpa melihat realitas sosial bahwa ada satu kondisi yang
mengancam
kematian perempuan yang perlu dijembatani supaya aborsi tak aman
tidak terjadi.
Di sinilah letak kesenjangannya antara teks fikih dan kenyataan di
lapangan.Argumentasi
klasik tersebut terpatahkan dengan ditemukannya fakta bahwa dari jumlah
rata-rata 2 juta kasus aborsi pertahun, 76.6% dilakukan oleh perempuan
berstatus menikah.[7]
Penelitian terakhir oleh Yayasan Kesehatan Perempuan (2003),87% klien aborsi
berstatus menikah.[8]
B. Status Anak sebagai subjek dan objek hukum Islam
1.Anak-anak
bukan subjek hukum.
Para ulama ushul fiqh menyatakan
bahwa anak-anak
statusnya belum bisa menjadi subjek hukum. Bukan mahkum alaihi. Yang
dimaksud dengan mahkum alaih adalah
seorang perbuatannya dikenai khitab Allah
SWT, yang disebut dengan mukallaf. Secara
etimologi, mukallaf berarti yang dibebani hukum. Dalam ushul fiqih, istilah
mukallaf disebut juga dengan mahkum alaih
(subjek hukum). Orang mukallaf adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak
hukum, baik yang berhubungan dengan perintah allah maupun dengan larangan-nya.
Seluruh tindakan mukallaf harus dipertanggung jawabkan. Apabila mengerjakan
perintah allah swt, ia mendapat imbalan pahala dan kewajibannya terpenuhi,
sedangkan apabila ia mengerjakan larangan Allah
SWT., ia mendapat risiko dosa dan kewajibannya belum terpenuhi.
2.
Dasar
penetapan subjek hukum
Anak-anak belum dikenai taklif (pembenanan
hukum) sebelum ia cakap untuk bertindak hukum. Untuk itu, para ulama ushul
fiqih, mengemukakan bahwa dasar pembebanan hukum adalah akal dan pemahaman.
Maksudnya, seorang baru dapat dibebani hukum apabila ia berakal dan dapat
memahami secara baik taklif yang ditujukan kepadanya. Dengan demikian, orang
yang tidak atau belum berakal, seperti orang gila dan anak kecil tidak
dikenakan taklif. Karena tidak atau belum berakal, mereka dianggap tidak dapat
memahami taklif fari syara’. Termasuk ke dalam hal ini adalah orang yang dalam
keadaan tidur, mabuk, dan lupa. Orang sedang tidur, mabuk dan mabuk tidak
dikenai taklif karena berada dalam keadaan tidak sadar (hilang akal). Hal ini,
sejalan dengan sabda Rasulullah SAW. : “diangkatkan pembebanan hukum dari tiga
(jenis orang), orang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai ia baligh, dan
gila sampai sembuh.”[9]
Dalam
hadits lain dikatakan : “ummatku tidak dibebani hukum apabila mereka terlupa,
tersalah, dan dalam keadaan terpaksa.”
3.
Syarat-syarat
taklif
Ada dua syarat sahnya memberi beban
kepada mukallaf, yaitu berikut ini :
a. Mukallaf dapat memahami dalil taklif, yaitu mampu memahami nash yang dibebankan dari Al-Qur’an dan
As-Sunnah secara langsung atau melalui perantaraan. Orang yang tidak mampu
memahami dalil taklif tidak dapat tumpuan yang dibebankan kepadanya dan
tujuannya tidak dapat mengarah kesana. Kemampuan memahami dalil itu hanya dapat
nyata dengan akal sehingga dengan akal tersebut adanya nash-nash yang
dibebankan dapat diterima pemahamannya karena akal merupakan alat memahami dan
menjangkau. Dengan akal tertujulah keinginan untuk mengikuti. Ketika akal itu
adalah hal yang sembunyi yang tidak dapat dijangkau oleh indera lahir, maka
syar’i telah menghubungkan beban taklif dengan hal nyata yang dapat dijangkau
oleh indera, yang menjadi tempat dugaan akal, yaitu sifat kedewasaan. Dengan
demikian barang siapa telah sampai pada keadaan dewasa dan tak tampak padanya
sifat-sifat yang merusak kekuatan akalnya, ia telah sempurna untuk diberi
beban. Atas dasar ini orang gila dan anak-anak tidak dapat deberi beban karena
tidak adanya akal yang menjadi alat memahami yang dibebankan. Juga orang yang
lupa, tidur, dan mabuk tidak dapat diberi beban.
Rasulullah SAW bersabda : “ Diangkatlah
pena itu (tidak digunakan untuk mencatat amal perbuatan manusia) dari tiga
orang, pertama dari orang yang tidur sampai ia bangun, kedua dari kanak-kanak
sampai dia dewasa dan ketiga dari orang gila sampai dia berakal.” Beliaupun
bersabda : “ Barangsiapa tidur sampai ia tertinggal melakukan shalat atau
lupa mengerjakannya, hendaklah dia mengerjakan shalat itu ketika ingat,
sesungguhnya ketika ingat itulah waktu shalat.” Adapun
kewajiban zakat, nafkah, jaminan (dhamman) atas anak-anak dan orang gila, bukan
berarti memberi beban kepadanya. Akan tetaping memberikan beban kepada walinya
agar melaksanakan kewajiban harta yang menjadi milik anak-anak dan orang gila
itu, seperti membayar pajak tanah dan irigasi dari harta miliknya. Adapun
firman Allah SWT. :
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan
mabuk,[10]
sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.....” [11]
Adapun Awaridl Muktasabah
(halangan yang dibuat sendiri) :
1. Mabuk, ialah hilangnya akal karena khamar atau yang
menyerupainya hingga kacau omongannya dan mengigau.
Mabuk menurut jalannya terbagi atas
dua macam :
a. Pertama yang jalannya tidak diharamkan seperti mabuknya
orang yang terpaksa minum khamar dan mabuk yang timbul dari obat-obatan. Ini
hukumnya sama dengan pingsan, tidak sah tindakannya, thalaqnya dan pembebasan
budaknya.
b. Kedua yang jalannya diharamkan dan ini tidak membatalkan
taklif sehingga berlakulah hukum-hukum bagi pemabuk dan ucapan-ucapannya
seperti thalaq, pembebasan budak, jual beli, pengakuan, mengawinkan anak kecil,
kawin, menghutangi dan minta dihutangi.
Hal itu karena akalnya sempurna,
hanya saja ia kehilangan pemahaman khitob oleh maksiat, maka tetaplah taklifnya
dalam hak dosa dan kewajiban mengqodlo bagi ibadah yang diqodlo secara syara’.
Muhamad ’Atthiyyah
Al-Abrasyi, mengemukakan bahwa ada 3 hal yang harus diperhatikan dalam
memberikan hukuman fisik (jasmaniah) terhadap anak, yaitu :
- Sebelum berumur 10 tahun, anak-anak tidak boleh
dipukul.
- Pukulan tidak lebih dari 3 kali. Yang dimaksud
dengan pukulan disini ialah dengan menggunakan lidi atau tongkat kecil
bukan dengan tongkat besar.
- Diberikan kesempatan besar kepada anak-anak untuk
tobat dari apa yang ia lakukan dan memperbaiki kesalahannya tanpa perlu
menggunakan pukulan atau merusak nama baiknya (menjadikan ia malu).[12]
Penulis mencoba sedikit membandingkan dan
mengaitkan dengan Teori
Hukuman yang sudah dinenal dunia Barat. Berdasarkan sudut pandang hukuman yang mendidik, maka timbullah beberapa teori tentang hukuman, di
antaranya ialah:
a. Teori Hukum Alam.
1. Teori hukum alam,
Umar
Muhammad Al-Taumy Al-syaibany bahwa “ alam natural bukan saja mencakup segala
mahluk yang akan tetapi juga merangkum sistem, peraturan atau undang-undang
alam yang semua bagian alam tunduk kepada dasar-dasarnya dan sesuatu itu
terjadi atau berlaku mengikuti ketentuan persyaratan disekelilingnya, sependapat
dengan penganjur Pendidikan Alam, yaitu
J.J. Rousseau. Rousseau tidak menghendaki hukuman yang dibuat-buat. Biarkan
alam sendiri yang menghukumnya. Yang dimaksud di sini ialah, bahwa hukuman itu
hendaknya merupakan akibat yang sewajarnya dari suatu perbuatan, hukuman harus
merupakan sesuatu yang natuur menurut hukum-hukum alam, sesuatu akibat logis
yang tidak dibuat-buat. Misalnya, anak yang senang memanjat pohon, adalah wajar
dan logis apabila suatu ketika ia jatuh. Jatuh ini adalah merupakan suatu hukuman
menurut alam sebagai akibat dari perbuatanya dari senang memanjat pohon . [13]
2.
J.J. Rousseau dengan aliran
negativisme dalam pendidikan, berpendapat bahwa hukuman fisik bagi anak manusia tak
berguna. Semua pembawaan anak adalah baik. Ia membiarkan anak berkembang
sendiri dan menyerahkannya kepada alam. Kalau anak berbuat salah, biarlah alam
yang menghukumnya, anak akan menderita sebagai akibatnya. Hukuman semacam ini
dinamai hukum alam.
Contoh dari
hukuman alam adalah, anak bermain dengan air panas dan berakibat tersiram kakinya. Anak dibiarkan merasakan kakinya sakit,
hukuman lain tidak ada . Dari hukuman alam tersebut, anak akan menerima
pendidikan dan berusaha tidak menjalankan permainan yang berbahaya itu lagi,
atau ia meneruskannya akan tetapi ia berusaha mengelak.
b. Teori ganti rugi
1. Dalam hal ini, anak diminta untuk bertanggung jawab atau
menanggung risiko dari perbuatannya, misalnya anak yang mengotorkan atau
merobekkan buku milik kawannya, maka harus menggantinya. Anak yang
berkejar-kejaran di kelas, kemudian memecahkan jendela, maka ia harus mengganti
kaca jendela itu dengan kaca yang baru.
2. Teori ganti rugi,[14]
di mana anak harus mengganti kerugian akibat perbuatannya yang salah, misalnya
anak memecahkan kaca jendela tetangga, maka ia harus mengganti dengan uang
tabungannya.
1. Hukuman yang diberikan untuk menakut-nakuti anak agar anak
tidak melakukan pelanggaran atau perbuatan yang dilarang, dalam hal ini nilai
didik itu telah ada, hanya saja perlu diperhatikan bahwa hal ini harus dijaga
jangan sampai anak itu tidak berbuat kesalahan lagi hanya karena rasa takut
saja, melainkan tidak berbuat kesalahan lagi karena adanya kesadaran, sebab
apabila tidak berbuat kesalahan itu karena hanya takut, takut kepada bapak atau
ibu guru. Maka jika tidak ada bapak atau ibu guru, kemungkinan besar ia akan
mengulang kembali perbuatannya. Ia akan mengulangi perbuatannya secara
sembunyi-sembunyi. Jika terjadi demikian, maka dapat dikatakan bahwa nilai
didik dari hukuman tersebut sangat minim sekali.[16]
Teori menakutkan ialah memberi hukuman supaya menimbulkan
rasa takut pada anak;
3. teori ini bertujuan menimbulkan rasa takut kepada orang
lain. Biasanya hukuman dilaksanakan di muka umum. Pelanggaran kedua kalinya
dihukum lebih berat, sebab perulangan pelanggaran berarti jeranya pelanggar.
Begitulah hukuman makin lama makin berat, agar orang lain menjadi lebih takut.
Fungsi hukuman dengan teori hukuman menakuti ini terhadap orang lain juga
preventif.
d. Teori balas dendam
Macam-macam
hukuman yang paling jelek, yang paling jahat dan paling tidak dipertanggung
jawabkan dalam dunia pendidikan ialah hukuman yang didasarkan kepada rasa
sentimen. Sentimen ini dapat ditimbulkan oleh kekecewaan-kekecewaan
(frustasi) yang dialami oleh guru, baik mengenai hubungannya dengan orang-orang
lain, maupun hubungannya dengan para siswa secara langsung. Misalnya, karena
seorang guru merasa dikecewakan dalam hal cinta oleh seorang gadis atau pemuda,
maka ia melempiaskan kekecewaannya itu kepada para siswanya. Bagi guru muda,
tidak terkecuali pria atau wanita, mungkin merasa bahwa seorang siswa telah
dianggap sebagai saingan atau penghalang dari maksud-maksudnya, maka ia
berusaha mencari kesempatan untuk setiap saat akan menghukum-nya atau
menjatuhkannya.
e. Teori memperbaiki
1.
Satu-satunya hukuman yang dapat
diterima oleh dunia pendidikan ialah hukuman yang bersifat memperbaiki, hukuman
yang bisa menyadarkan anak kepada keinsafan atas kesalahan yang telah
diperbuatnya. Dan dengan adanya keinsafan ini, anak akan berjanji di dalam
hatinya sendiri tidak akan mengulangi kesalahannya kembali. Hukuman yang
demikian inilah yang dikehendaki oleh dunia pendidikan. Hukuman yang bersifat
memperbaiki ini disebut juga hukuman yang bernilai didik atau hukuman
pedagogis.[17]
2. Teori inilah yang harus kita gunakan sebagai pendidik, maksudnya
untuk memperbaiki perbuatan anak yang buruk/salah.[18]
3. Teori ini bertujuan untuk memperbaiki. Adapun yang perlu
diperbaiki ialah hubungan antara pemegang kekuaaan dan pelanggar dan sikap
serta perbuatan pelanggar. Hubungan antara penguasa dengan umum yang tadinya
telah menjadi rusak dengan terjadinya pelanggaran oleh orang yang bersikap dan
berbuat salah itu perlu dibetulkan lagi. Rusaknya hubungan itu mengakibatkan
hilangnya kepercayaan penguasa terhadap pelanggar. Fungsi hukuman dengan teori
membetulkan ini korektif dan edukatif.
Di
dalam dunia pendidikan,[19]
pendidik tidak menganut teori hukuman lain
dari pada teori hukuman pembetulan. Hal ini sesuai dengan
tugas pendidik, yaitu membimbing anak didik agar berbuat dan bersikap luhur.
Tidak pada tempatnya pendidik menakut-nakuti dan membalas dendam anak didiknya.
Anak didik yang takut pada pendidiknya menutup diri baginya dan tidak bersedia
menerima petunjuk. Pendidik yang membalas dendam anak didiknya menganggap anak
didiknya sebagai musuh, bukan sebagai anak asuhannya.[20]
f. Teori melindungi
Teori
melindungi, anak dihukum untuk melindungi lingkungan,[21] atau masyarakat terhadap perbuatan-perbuatan salah yang
merusak/ merugikan lingkungan tersebut.[22]
g. Teori menjerakan
Teori
ini bertujuan agar pelanggar sesudah menjalankan hukumannya akan jera dan tidak
akan menjalankan pelanggaran lagi. Fungsi hukuman tersebut adalah preventif,
yaitu mencegah terulangnya pelanggaran sesudah pelanggar dikenai hukuman. Sebagian
pakar menerima hukuman sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan,
tapi tidak secara mutlak. Hukuman adalah instrumen sekunder dan diberikan dalam
kondisi serta syarat tertentu. Jadi, menurut mereka, kalau guru atau orangtua
masih bisa menangani anak didiknya dengan nasihat-nasihat atau dengan
penjelasan rasional, maka tidak perlu lagi memberikan hukuman. Hukuman itu
boleh diberikan setelah nasihat-nasihat verbal atau apa saja tidak lagi dapat
mengusik kesadarannya.
C. Hak dan kewajiban anak dalam Islam
1.Pengertian hak
Kata hak berasal dari bahasa Arab 'haqq' yang
memiliki beberapa makna. Di antaranya, hak bermakna 'ketetapan' atau
'kewajiban'. [23]Hal ini bisa
dipahami dari firman Allah.[24]
2.Hak anak.
Di dalam hadits dinyatakan:
Seorang anak diakikahkan pada
hari ketujuh dan diberi nama, dibersihkan dari penyakit, maka apabila dia sudah
berumur enam tahun hendaklah dididik, apabila sudah berumur sembilan tahun
hendaklah dipisahkan tempat tidurnya, apabila sudah berumur tiga belas tahun, hendaklah dipukul
apabila meninggalkan shalat dan puasa, dan apabila sudah berumur 16 tahun
hendaklah dinikahkan, kemudian dia memegang tangannya seraya mengatakan: aku
telah mendidik dan mengajarmu dan juga menikahkanmu, aku berlindung dari fitnah
yang kau bawa di dunia dan siksaanmu di akhirat.[25]
Di dalam hadits yang lain dinyatakan:
Segala sesuatu selain
dari zikir
adalah sia-sia, atau
melalaikan, kecuali empat hal: 1. Perjalan seorang dengan dua tujuan
.2. Memanah),3.
Mendidik kuda
tunggangan, bersenda-gurau dengan keluarganya, dan 4.Mengajarinya
anak berenang.[26]
Kesalahan besar orang tua, jika berpendirian bahwa anak tidak boleh
mengungkapkan pendapat! Penerapannya
bisa saja keliru bahwa haram hukumnya anak tidak melaksanakan perintah
orang tua selama tidak menyalahi aturan agama. Apakah jika seorang anak yang
harus menururti keinginan orang tua jika tidak boleh memilih jurusan sekolah
sesuai kemampuan anak dan hanya menuruti ego orang tua agar bersekolah sesuai
keinginan orang tua? Lalu bagaimana dengan orang tua yang selalu mengumpat
anaknya,[27]
dan selalu marah? Bagaimana orang tua yang sibuk bekerja lalu saat pulang ke
rumah menumpahkan kekesalan sementara anak tidak boleh melawan, tidak boleh
sakit hati? Bagaimana pula dengan orang tua yang mengutuki anak?
D.Sanksi Hukum
Terhadap Pelanggaran Hak
Anak-Anak Menurut Hukum Islam
Orang tua atau guru atau orang
dewasa lainnya yang yang melanggar hak anak-anak, berupa memukul atau
menzalimi, sebahagian ulama menyatakan, boleh diberlakukan hukum qishash. Ada
ungkapan yang menyatakan bahwa, Jika yang berhak menuntut balas
itu belum dewasa, ataukah gila, atau tidak ada ditempat. Dalam hal dewasa
ditunda sampai anak yang belum dewasa dan dalam hal tak adadi tempat ditunggu
sampai ada di tempat. Namun dalam hal ini ulama berbeda pendapat.Menurut
sebagian ulama Hanafiyah, pelaksanaan
hukuman Qisash menunggu
sampai ia dewasa
atau sembuh dari gilanya. Sebahagian yang berpendapat hukuman qishas dilaksanakan
oleh
qadhi (hakim) yang mewakili Mustahik tersebut.
Menurut Malikiyah pelaksanaan
hukuman qisash tidak
perlu menunggu anak tersebut dewasa atau sembuh dari gila. Alasannya adalah karena Qisash itu
tujuannya untuk mengobati rasa duka, dan untukmenghilangkannya
tidak bisa dilimpahkan kepada orang lain, baik itu hakim atau wali. [28]
Apabila dibandingkan dengan
hukuman terhadap orang dewasa yang melakukan pelanggaran hukum
pada Pasal
77 UU Nomor 23 Tahun 2002, dinyatakan bahwa: Setiap orang
yang dengan sengaja melakukan tindakan: 1.diskriminasi terhadap anak yang
mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik materiil maupun moril sehingga
menghambat fungsi sosialnya; atau 2. penelantaran terhadap anak yang
mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun
sosial, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).[29]
Sedangkan di dalam hukum Islam,
seperti yang dinyatakan, Jurnal al Mawaddah Edisi 4 tahun ke-3, November
2009 “Ketahuilah, anakmu bukanlah tawanan perang,
bukan seorang budak,[30]
bukan seorang tahanan yang jahat, bukan musuh yang lihai, berbuat makar dan
bukan pula seorang penjahat yang seantiasa mencari kesempatan untuk
membahayakanmu.[31] Namun ia
adalah bagian dari tubuhnmu yang keluar dari sulbimu, seorang anak kecil yang
lemah dan akalnya belum sempurna, kesalahanya bukan dengan kesengajaan. Ia
membutuhkan rasa santun, lembut, kasih sayang dan maaf darimu. Tentang hal ini, terdapat kesamaan antara UU RI Nomor 23
Tahun dan Hukum Islam.
Tabel
5
Kesamaan UU
RI Nomor 23 Dan Hukum Islam
Tentang Hukuman Fisik
No
|
UU Nomor 23 Tahun 2002
|
Hukum Islam
|
1
|
Penegakkan
asas perlindungan anak
|
Penegakkan
asas perlindungan anak
|
2
|
Dapat
diubah sesuai dengan tuntutan zaman
|
Dapat
diubah sesuai dengan tuntututan zaman.
|
3
|
Diawasi
oleh negara dan masyarakat
|
Diawasi
oleh negara dan masyarakat
|
4
|
Anak-anak
ialah orang yang berumur di bawah 18 tahun
|
Anak-anak
ialah orang yang berumur di bawah 15
tahun
|
5
|
Bukan
kelach delik
|
Bukan
kelach delik
|
6
|
Mengandung
prinsip keseimbangan hubungan orang tua dan anak
|
Mengandung
prinsip keseimbangan hubungan orang tua dan anak
|
Keterangan
tabel 4
Pada baris pertama, diterangkan
tentang penegakan asas perlindungan anak-anak dari ketidaknyamanan akibat
perbuatan orang tua, guru, orang dewasa, bahwa di antara sesama temannya
sendiri. Kemudian pada baris kedua,
dinyatakan bahwa UU I Nomor.23 tahun
2002 dan hukum Islam sama-sama
dapat diubah, sesuai dengan tuntutan zaman.[32] Selanjutnya,
dikatakan: Lihatlah diri anda. Anda adalah orang dewasa yang berakal dan
pemimpin yang diamanati Allah untuk memelihara seorang anak yang tidak memiliki
apa-apa. Tidakkah anda merasa malu apabila sering memarahi da memukul anak anda
padahal dirimu yang sempurna dan berakal sempurna masih sering berbuat
kesalahan, baik di hadapan orang tua, mertua atau guru?” demikianlah penuturan
Abdur Rohman al Buthoni dalam pembahasan tentang : Bilakah anak harus dipukul?
Terkadang guru dan orang tua, dihadapkan pada kondisi di mana
anak-anak melakukan kenakalan yang membuat marah, kecewa dan jengkel.
Perasaan-perasaan itu kemudian mendorong untuk melakukan pemukulan kepada
mereka, mulai dari pukulan yang ringan sampai pukulan yang keras. Memang
Rasulullah SAW. pun membolehkan orang tua memukul anaknya sebagaimana hadits
(artinya): Perintahkan anak-anakmu
untuk melakukan sholat ketika berusia 7 tahun dan pukullah mereka jika
meninggalkannya ketika berusia 10 tahun.[33] Bagaimana Islam menuntun para orang tua untuk
mengamalkan hadits di atas? Ayah dan Ibu
serta guru-guru. Selanjutnya tentang masalah ini Abdur Rohman al Buthoni menurunkan sebuah
analisis:
a. Ketentuan dan aturan dalam memukul anak-anak
1.
Hendaknya
meyakini bahwa memukul adalah peritah Allah dan Rasul-Nya. Dengan demikian
perasaan, emosi dan rasa kesal yang berlebihan yang biasanya mendomiasi sikap
orang tua akan hilang ketika menerapkan metode ini.[34]
- Maksud dari memukul adalah tarbiyah/pendidikan
untuk memperbaiki anak, bukan melampiaskan amarah, menakut-nakuti,
mengancam atau yag semisalnya. Pukulan harus dilakukan dengan rasa cinta
kasih dan sayang disertai doa yang baik untuknya.
- Usia anak sudah 10 tahun dan sebab memukulnya
adalah karena dia meninggalkan sholat. Adapun penyebab selainnya, maka
dilakukan orang tua bila melihat ada maslahatnya (sisi positifnya),
misalnya anak tidak berhenti dari penyelewengan kecuali dengan dipukul.
- Tidak menyiksa dan tidak menyakitkan, serta
jangan memukul wajah.
- Hindari riya’ dan sum’ah (pamer) karena sebagian
orang tua berkeliling dengan tongkat mencari anaknya dalam keadaan marah
dan memukulnya sepanjang jalan untuk memperlihatkan kepada manusia bahwa
ia amat sungguh-sungguh, tegas dan sangat peduli dalam mentarbiyah dan
menghukum anak. Ini salah dan merupakan amal yang sia-sia.
- Berhubung pemukulan ini maksudnya adalah sebagai
obat,[35]
maka harus disesuaikan kadarnya dan tidak boleh melampaui batas. Artinya,
memukul sekali dan tidak boleh berkali-kali sehingga akan menyiksa.
Pemukulan dengan pelan sehingga tidak menyakitkan, dengan tangan biasa
tanpa alat dan bukan dengan kaki, bukan pula meninju atau bukan
menempeleng kepala.
b.Maqashid al-Syari’ah memukul anak yang tidak shalat.
Setiap yang diperintahkan Allah dan
Rasul-Nya pasti memiliki maqashid,[36] atau hikmah dan tujuan. Dalam hal
perintah dan larangan Allah, secara umum manusia terbagi menjadi dua golongan,
yaitu (1) orang yang cukup menerima nasihat dengan dalil kitab dan sunnah dan
(2) orang yang membangkang. Golongan yang kedua inilah yang perlu diterapkan
hukuman padanya. Firman Allah ta’ala (artinya):…Dan kami menurunkan besi
yang memiliki kekuatan yang sangat keras dan bermanfaat bagi manusia…[37]
Maqshid itu di antaranya bermakna
manfaat, misalnya manfaat besi adalah untuk memerangi orang-orang kafir dan
untuk menegakkan qishash. Ini adalah
manfaat yang sangat nampak, sebab manusia akan takut pada pedang sehingga
mereka pasrah pada agama Allah. Maka maqashid atau manfaat memukul anak karena
meninggalkan sholat, bertujuan untuk antara lain:
- Memberi pelajaran kepada anak bahwa hak Allah
adalah sangat lebih besar, sehingga segala sesuatu akan menjadi hina di
hadapan-Nya. Tubuh yag seharusnya dipelihara dan tidak boleh (haram)
disakiti menjadi halal dan harus merasakan sakit lantaran meremehkan hak
Penciptanya.
- Menampakkan kepada anak bahwa orang tua memiliki
kekuasaan dalam melazimkan hukum-hukum Allah kepada mereka, sehingga tidak
ada pilihan baginya kecuali pasrah dan menyerah kepada Rabbnya.
- Memberi pelajaran kepada anak bahwa manusia
setinggi apapun kedudukannya, status sosialnya dan nasab keturunannya, tidak
memiliki kebebasan mutlak dalam mengikuti kehendaknya yang bertentangan
dengan kehendak Allah.
c. Memukul anak yang sesuai dengan
maqashid al-syari’ah.
Ada perbedaan antara memukul
biasa, dengan memukul yang diatur
oleh syari’at.[38]
Memukul menurut kebiasaan sebagian orang tua atau pendidik yang gampang emosi
dan suka memukul. Suka memukul adalah akhlaq tercela. Perhatikan nasehat
Rasulullah SAW., kepada Fatimah binti Qois tatkala mengabarkan kepada beliau
bahwa dirinya dilamar oleh dua orang sahabat, salah satunya adalah Abu Jahm.
Maka Rasulullah bersabda,”Adapun Abu Jahm, maka ia suka memukul wanita (maksudnya
akhlaqnya tidak baik).” Dan ketahuilah bahwa maksud dari memukul adalah agar
anak takut, sehingga tunduk kepada perintah Allah bukan agar si anak takut
kepada bapaknya semata, sehingga makin berwibawa. Maksud memukul adalah agar
anak mengamalkan perintah Allah dengan ikhlas karena-Nya. Sesungguhnya tidak
ada manfaatnya bila seorang anak nampak taat kepada Allah di hadapan orang tuanya
sementara di balik itu ia tidak bertaqwa kepada-Nya.
d.Jangan melampaui batas
Orang-orang yang memukul anak-anak hendaknya takut kepada
Allah. Jangan sampai termasuk golongan
orang-orang yang tidak masuk surga atau bahkan tidak mencium baunya. Di
antaranya sekelompok manusia yang
memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia.[39]
Ada ulama fiqih yang menyatakan bahwa yang dimaksud ”orang yang boleh memukul,”
bisa saja guru, para polisi, satpam, mandor-mandor pada jaman sekarang ini.[40]
Mereka berkeliling dengan tongkat lalu memukul dan menendang siapa saja, hanya
karena mengatur dan megamankan. Lalu bagaimana caranya agar guru, polisi,
satpam dan para mandor mengamankan dan mengatur tanpa berbuat aniaya? Jawabnya,
dengan anjuran taqwa kepada Allah, nasihat dan pengarahan dengan lisan, dengan
cara yang baik atau dengan tangan tanpa menyakiti karena kezhaliman adalah kegelapan di akhirat!
Aturan yang paling populer selama ini
ialah anak-anak harus berhati-hati dengan ‘kekeramatan’ orang tua. Tapi patut diingat, secara religi ada lima,[41] kejahatan orangtua yang wajib dihindarkan. Pertama,
apabila suka memaki. Kedua menghina anak sendiri. Ketiga
melebihkan anak dari yang lain. Keempat mendoakan keburukan anak.
Kelima tidak memberi pendidikan anak. Merupakan kemuliaan bangsa, jika
orang tua dan guru, mampu menjadikan generasi muda, cerdas lahir batin, bermoral mulia dan berbhakti kepada orangtua,
sesama, bangsa dan semesta.
Hukuman itu untuk menyadarkan bukan untuk melakukan pembalasan. Hukuman itu agar anak-anak menyadari kekeliruan mereka dan agar tidak mengulangi perbuatan jeleknya, bukan untuk melakukan balas dendam. Hukuman dalam pendidikan jangan dikelirukan dengan balas dendam. Jean Soto menulis, "Semua penderitaan manusia, ketidakadilan, dan sebagainya berakar dari hukuman-hukuman dan kekerasan-kekerasan yang diterima oleh anak-anak dari orangtua mereka. Karena itu hukuman-hukuman itu harus dihapus sama sekali agar penderitaan umat manusia ini bisa sirna."
Hukuman itu untuk menyadarkan bukan untuk melakukan pembalasan. Hukuman itu agar anak-anak menyadari kekeliruan mereka dan agar tidak mengulangi perbuatan jeleknya, bukan untuk melakukan balas dendam. Hukuman dalam pendidikan jangan dikelirukan dengan balas dendam. Jean Soto menulis, "Semua penderitaan manusia, ketidakadilan, dan sebagainya berakar dari hukuman-hukuman dan kekerasan-kekerasan yang diterima oleh anak-anak dari orangtua mereka. Karena itu hukuman-hukuman itu harus dihapus sama sekali agar penderitaan umat manusia ini bisa sirna."
Tetapi argumentasi beliau ini bisa dijawab dengan; pertama-tama , itu hanyalah klaim dan belum tentu bisa dibuktikan secara ilmiah. Yang kedua , seandainya kita terima pernyataan seperti itu bahwa penderitaan manusia itu berakar dari hukuman-hukuman keras yang diterima dari orangtuanya, maka akarnya adalah terlalu kerasnya hukuman tersebut dan bukan hukuman biasa. Hukuman ekstrim itulah yang menjadi sumber penderitaan umat manusia. [42]
Russel menambahkan, "Hukuman fisik yang ringan memang tidak begitu berbahaya, tapi tetap saja tidak ada gunanya dalam pendidikan. Hukuman seperti itu baru efektif kalau bisa menyadarkan si anak. Sementara hukuman fisik seperti itu biasanya tidak bisa membuat jera. Hukuman fisik itu membuat si anak merasa terpaksa memperbaiki diri dan bukan atas niatnya sendiri." Jawabannya bahwa anak-anak akan menyadari kekeliruannya melalui hukuman itu, dan kemudian dia akan lebih mengerti bahwa perbuatannya tidak disenangi orang lain dan karena ia ingin diterima oleh orang lain, ia akan berusaha menyesuaikan keinginannya dengan keinginan orang lain, supaya bisa mendapatkan bantuan atau memperoleh apa yang diinginkannya dari orang lain. Dengan demikian, hukuman fisik yang ringan pun masih ada gunanya jika diberikan dengan kadar dan waktu yang tepat.[43]
Argumen lain yang disodorkan oleh kelompok penentang adalah bahwa pendidikan yang dijalankan dengan menanamkan rasa takut kepada si anak, akan membuat si anak seperti robot yang harus mengikuti suatu perintah. Proses pendidikan seperti itu sangat membahayakan perkembangan jiwa si anak, karena akan melahirkan anak-anak yang bermental budak yang harus tunduk terhadap segala perintah. Hal ini masih bisa dibantah dengan kenyataan bahwa memang anak-anak tidak boleh dididik dengan sistem perbudakan, tapi tidak semua hukuman itu akan melahirkan kondisi demikian. Kalau hukuman itu dijalankan dengan benar dan dengan memperhatikan seluruh syarat-syaratnya maka tidak akan lahir anak-anak seperti. itu. Seorang anak yang terus-menerus melakukan perbuatan yang buruk padahal sudah sering kali diperingatkan agar tidak melakukan perbuatan tersebut mau tidak mau harus dihentikan dengan hukuman, sebab kalau kebiasaan buruknya tidak segera dihentikan, maka sang anak malah akan semakin berani. Tentunya hukuman itu harus ringan dan mengena kepada sasaran.
Alasan lain menurut kelompok tersebut bahwa hukuman fisik itu sama sekali tidak mendidik, sebab hukuman itu tidak menghilangkan motivasi buruknya. Memang ia akan mengurungkan niatnya karena perasaan takut, tapi di dalam batinnya keinginan itu tetap ada. Ketika rasa takut itu hilang si anak akan kembali mengulangi perbuatan buruknya. Pukulan itu mungkin dihadapi oleh si anak dengan pura-pura berjanji akan menghentikan kebiasaan buruknya. Karena itu patut diingat statemen mereka bahwa hukuman juga akan melahirkan anak-anak yang asosial, penakut serta pasif.
Pernyataan bahwa hukuman itu tidak menghentikan apa yang bergetar di dalam batin. Untuk menghentikan kenakalan-kenakalannya, hal ini harus dipelajari apa sebetulnya yang menjadi latar belakang kenakalan-kenakalannya dan dicari solusinya sehingga anak-anak itu tidak mengulangi perbuatan buruknya.[44] Tetapi jika si anak tetap saja mengulangi perilaku jeleknya, maka tidak ada cara lain selain memberinya hukuman. Rasa takut akan hukuman itu dapat menghentikan keinginan atau minimal mengurangi minatnya untuk berbuat buruk. Kalau hukuman itu diberikan secara proporsional, tidak akan melahirkan hal-hal yang tidak diharapkan. Memang benar seorang anak harus tumbuh dalam keceriaan dan kebebasan tapi pada saat yang sama anak-anak juga harus diajari bahwa di dunia ini tidak semua orang bisa hidup dengan kebebasan mutlak, apalagi kalau kebebasan itu dapat merugikan orang lain.
Hukuman adalah Instrumen
Sekunder .Sebagian pakar menerima hukuman sebagai bagian yang tak terpisahkan
dari pendidikan, tapi tidak secara mutlak. Hukuman adalah instrumen sekunder
dan diberikan dalam kondisi serta syarat tertentu. Jadi, menurut mereka, kalau
guru atau orangtua masih bisa menangani anak didiknya dengan nasihat-nasihat
atau dengan penjelasan rasional, maka tidak perlu lagi memberikan hukuman.
Hukuman itu boleh diberikan setelah nasihat-nasihat verbal atau apa saja tidak
lagi dapat mengusik kesadarannya. [45]
Dalam kaitan ini, Russel menulis, "Saya sendiri secara pribadi ingin mengatakan bahwa hukuman dalam proses pendidikan sangat tidak berarti, bahkan mungkin hanya masuk sebagai alternatif kedua." John Locke menulis, "Benar bahwa hukuman fisik kadang-kadang diperlukan. Tetapi harus disadari bahwa tujuan sebuah pendidikan adalah mendidik moral. Yang harus kita lakukan adalah membuat si anak tersebut merasa malu berbuat nakal dan bukan malah takut akan hukuman. Hukuman yang terlalu keras melatih anak-anak menjadi patuh secara lahiriahnya saja."[46]
A.L Gary Gore menulis, "Ada kalanya orang dewasa harus memberikan hukuman kepada anak-anak. Misalnya jika anak-anak usia sekolah atau sudah agak dewasa mengganggu ayah dan ibu atau adik mereka yang sedang tidur. Sebelumnya mereka sudah diperingatkan tapi tetap saja meneruskan kenakalannya, maka anak-anak itu harus diberi hukuman.." Sebaliknya orangtua selayaknya menggunakan hukuman ini dengan cara dan strategi yang tepat. Kalau hukuman itu dilaksanakan ketika orangtua dalam puncak kemarahan dan tanpa pertimbangan terhadap kondisi dan psikologi anak-anak, maka bisa-bisa hukuman itu akan merusakkan hubungan orangtua dan anak. Si anak akan kehilangan kepercayaan dan juga akan mendendam. Hukuman asal-asalan terhadap anak karena tidak mematuhi keinginan orangtua malah akan melukai hatinya. Sehingga timbul dalam diri si anak keinginan untuk membalas rasa sakit hatinya itu. Sebelum menjatuhkan hukuman terhadap anak-anak sebaiknya pertimbangkanlah secara baik-baik dan pelajari manfaat dan mudaratnya secara seksama. Hukuman apa dan dalam kondisi bagaimana hukuman itu patut diberikan dan tidak patut diberikan terhadap anak-anak.
Pakar pendidikan ini ingin mengatakan bahwa hukuman memang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam membina anak-anak, malahan dalam situasi tertentu mutlak diperlukan sekali. Tetapi pada saat yang sama ia sama sekali tidak setuju secara mutlak dengan hukuman fisik. Ia tidak keberatan dengan hukuman-hukuman non-fisik tapi bukan hukuman non-fisik yang berat.
Ia menambahkan, "Perlu diingat bahwa jangan sekali-kali memberikan hukuman yang akan merendahkan harga diri anak, seperti hukuman badan, ancaman dengan siksaan atau apa saja demi menghancurkan keinginan buruknya. Hindarilah hukuman-hukuman seperti memukul, atau menyekap anak di ruangan yang gelap dan sempit." [47]
Secara yuridis, Undang-undang tentang perlindungan guru telah termuat dalam UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen. Hal ini terlihat jelas pada Bab VII pasal 39 yang menyebutkan bahwa pemerintah, masyarakat, organisasi profesi, dan atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas. Hal ini terlihat bahwa eksistensi UU No.14/2005 telah memuat perlindungan,[48] terhadap guru atas profesinya. Namun implementasi terhadap undang-undang tersebut masih belum terlaksana.
Islam menerima hukuman sebagai bagian dari sistem pendidikan. Ada beberapa kategori hukuman dalam Islam: Hukuman non-fisik seperti ancaman, peringatan atas
orang-orang yang berdosa dengan siksaan di hari akhirat, denda, dan diat.
Ayat-ayat al-Quran mengilustrasikan dalam berbagai kesempatan tentang kabar
gembira untuk orang-orang yang beriman dan ancaman akhirat untuk orang-orang
yang berdosa. Bahkan nabi sendiri diperkenalkan sebagai pembawa kabar gembira
dan pembawa peringatan. Hukuman jenis
kedua yaitu hukuman fisik yang bersyarat,[49]
seperti hukuman penjara, pengasingan, kisas, pukulan, hukuman potong yang aturannya
telah ditetapkan oleh syariat.
Dalam pembunuhan yang disengaja si wali yang dibunuh bisa meminta hukuman kisas terhadap hakim. Dalam pembunuhan yang tidak disengaja si pembunuh wajib menyerahkan denda (diat) kepada wali yang dibunuh. Perempuan dan laki-laki yang berzina akan mendapatkan hukuman cambuk sebanyak seratus kali deraan. Perilaku homo seksualitas (liwâth) yang disengaja dalam kondisi tertentu akan mendapatkan hukuman mati. Peminum khamar dalam kondisi tertentu akan mendapatkan hukuman cambuk seratus kali, mencuri dalam kondisi tertentu akan mendapatkan hukuman potong tangan. Siapa saja yang dengan sengaja mengakibatkan anggota badan orang lain terpotong akan dikisas oleh hakim syar'i, yaitu dipotong anggota badan yang sama, tapi kalau secara tidak sengaja maka ia harus membayar denda dalam jumlah tertentu. Untuk mengetahui lebih lengkap tentang aturan-aturan hukuman Islam, Anda bisa merujuk kitab-kitab fikih. Hukuman jenis ketiga yaitu ta'zîr. Ta'zîr adalah hukuman fisik yang ketentuannya diatur oleh seorang hakim tetapi tentunya lebih ringan dari had. Dalam kasus pelanggaran yang hukumannya tidak ditentukan oleh syariat, sang hakim tidak bisa memberikan hukuman yang sesuai dengan pelanggaran itu hanya demi kemaslahatan umum, tapi ia bisa memberikan hukuman yang kurang dari had. Contohnya kalau seorang laki-laki mencium anak atau perempuan yang bukan istrinya dengan penuh nafsu, sang hakim syar'i dapat menjatuhkan hukuman ta'zîr . Demikian juga terhadap seorang laki-laki dan perempuan (bukan muhrim) yang tidur terlentang di atas ranjang. Secara umum siapa saja yang melakukan dosa besar maka ia bisa dijatuhi hukuman ta'zîr dari sang hakim. Seperti yang Anda simak, bahwa Islam memberi tempat bagi hukuman fisik,[50] dan non-fisik dan itu bagian dari pendidikan yang penting dan demi memelihara keadilan dan ketenteraman masyarakat. Islam melegalkan hukuman-hukuman itu bukan sebagai bentuk balas dendam kepada orang-orang yang berdosa, namun untuk menjaga stabilitas sosial dan hak-hak manusia.
Hukuman dalam jarimah ta’zir tidak ditentukan ukurannnya atau kadarnya,
artinya untuk menentukan batas terendah dan tertinggi diserahkan sepenuhnya
kepada hakim (penguasa). Dengan demikian, syari’ah mendelegasikan kepada hakim
untuk menentukan bentuk-bentuk dan hukuman kepada pelaku jarimah.[51]
Abd al-
Qodir Awdah membagi jarimah ta’zir menjadi tiga, yaitu :
1)
Jarimah hudud dan
qishash diyat yang mengandung unsur
shubhat atau tidak memenuhi syarat, namun hal itu sudah dianggap sebagai
perbuatan maksiat, seperti pencurian harta (syirkah), pembunuhan ayah terhadap anaknya, dan percurian yang
bukan harta benda.
2)
Jarimah ta’zir yang jenis jarimahnya ditentukan oleh nas,
tetapi sanksinya oleh syari’ah diserahkan kepada penguasa, seperti sumpah
palsu, saksi palsu, mengurangi timbangan, menipu, mengingkari janji,
menghianati amanah, dan menghina agama.
3)
Jarimah ta’zir dimana jenis jarimah dan sanksinya secara
penuh menjadi wewenang penguasa demi terealisasinya kemaslahatan umat. Dalam
hal ini unsur akhlak menjadi perimbangan yang paling utama. Misalnya
pelanggaran terhadap peraturan lingkungan hidup, lalu lintas, dan pelanggaran
terhadap pemerintah lainnya.
Dalam menetapkan jarimah ta’zir,
prinsip utama yang menjadi acuan penguasa adalah menjaga kepentingan umum dan
melindungi setiap anggota masyarakat dari kemudharatan (bahaya). Di samping
itu, penegakkan jarimah ta’zir harus sesuai dengan prinsip syar’i.[52]Hukuman-hukuman
ta’zir banyak jumlahnya, yang dimulai
dari hukuman paling ringan sampai hukuman yang terberat. Hakim diberi wewenang
untuk memilih diantara hukuman-hukuman tersebut, yaitu hukuman yang sesuai
dengan keadaan jarimah serta diri pembuatnya. Hukuman-hukuman ta’zir antara lain.
1.
Hukuman mati
Pada dasarnya
menurut syari’ah Islam, hukuman ta’zir adalah
memberikan pengajaran (ta’dib) dan tidak sampai membinasakan. Oleh karena itu, dalam hukuman ta’zir tidak boleh ada
pemotongan anggota badan atau penghilangan nyawa. Akan tetapi beberapa fuqaha memberikan pengecualian dari aturan umum tersebut,
yaitu kebolehan dijatuhkan hukuman mati jika kepentingan umum menghendaki
demikian, atau kalau pemberantasan tidak bisa terlaksana kecuali dengan jalan
membunuhnya, seperti mata-mata, pembuat fitnah, residivis yang membahayakan.
Namun menurut sebagian fuqaha yang lain dalam
jarimah ta’zir tidak ada hukuman mati.[53]
2.
Hukuman Jilid
Di kalangan fuqaha terjadi
perbedaan tentang batas tertinggi hukuman jilid dalam ta’zir. Menurut pendapat
yang terkenal di kalangan ulama’ Maliki, batas tertinggi diserahkan kepada
penguasa karena hukuman ta’zir didasarkan atas kemaslahatan masyarakat dan atas
dasar berat ringannya jarimah. Imama Abu Hanifah dan Muhammad berpendapat bahwa
batas tertinggi hukuman jilid dalam ta’zir adalah 39 kali, dan menurut Abu Yusuf adalah 75 kali. Sedangkan di kalangan
madzhab Syafi’i ada tiga pendapat. Pendapat pertama sama dengan pendapat
Imam Abu Hanifah dan Muhammad. Pendapat kedua sama dengan pendapat Abu Yusuf. Sedangkan pendapat yang ketiga, hukuman jilid pada
ta’zir boleh lebih dari 75 kali, tetapi tidak sampai seratus kali, dengan
syarat lain bahwa jarimah ta’zir yang dilakukan hampir sejenis dengan jarimah
hudud.
Dalam mazhab Hambali ada lima pendapat. Tiga diantaranya
sama denga pendapat madzhab Imam Syafi’i. pendapat ke empat mengatakan bahwa
jilid yang diancam atas sesuatu perbuatan jarimah tidak boleh menyamai hukuman
yang dijatuhkan terhadap jarimah lain yang sejenis, tetapi tidak boleh melebihi
hukuman jarimah lain yang tidak sejenisnya. Pendapat ke lima mengatakan bahwa
hukuman ta’zir tidak boleh melebihi 10 kali. Alasannya ialah hadits dari Abu
Darda sebagai berikut :
“Seseorang tidak
boleh dijilid lebih dari sepuluh kali, kecuali dalam salah satu hukuman hudud”
3.
Hukuman (Penjara Kurungan)
Ada dua macam hukuman
dalam hukum Islam. Pembagian ini didasarkan pada lama waktu hukuman.
Pertama, hukuman tahanan terbatas. Batas terendah dari hukuman ini adalah satu
hari, sedangkan batas tertinggi, ulama’ berbeda pendapat. Ulama Syafi’iyyah
menetapkan batas tertingginya satu tahun, karena mereka mempersamakannya dengan
pengasingan dalam jarimah zina. Sementara ulama-ulama lain menyerahkan semuanya
kepada penguasa berdasarkan maslahat.[54]Kedua,
hukuman tahanan tidak terbatas. Sudah disepakati
bahwa hukuman tahanan ini tidak ditentukan terlebih dahulu, melainkan
berlangsung terus sampai terhukum mati atau taubat dan baik pribadinya. Orang
yang dikenakan hukuman ini adalah penjahat yang berbahaya atau orang yang
berulang-ulang melakukan jarimah-jarimah yang berbahaya.
b)
Perbedaan jarimah ta’zir dengan
hudud
Perbedaan
yang menonjol antara jarimah hudud, qishas, dan jarimah ta’zir:
1.
Dalam jarimah hudud tidak ada pemaafan, baik oleh perseorangan maupun oleh ulul
amri. Sedangkan jarimah ta’zir kemungkinan pemaafan itu ada, baik oleh
perorangan maupun oleh ulul amri, bila hal itu lebih maslahat.
2.
Dalam jarimah ta’zir hakim dapat memilih hukuman yang
lebih tepat bagi si pelaku sesuai dengan kondisi pelaku, situasi, dan tempat
kejahatan. Sedangkan dalam jarimah hudud yang diperhatikan oleh hakim hanyalah
kejahatan material.
3.
Pembuktian jarimah hudud dan qishas harus dengan saksi
atau pengakuan, sedangkan pembuktian jarimah ta’zir sangat luas kemungkinannya.
4.
Hukuman Had
maupun qishas tidak dapat dikenakan kepada anak kecil, karena syarat
menjatuhkan had si pelaku harus sudah baligh sedangkan ta’zir itu bersifat
pendidikan dan mendidik anak kecil boleh.
Sebagai perbandingan, hukuman bagi anak sebagai pelaku tindak pidana (“Anak
Nakal”)[55]
dengan ancaman pidana mati, menurut hukum positif, tidak
akan dikenai pidana mati maupun pidana penjara seumur hidup. Hal ini didasarkan
pada Pasal 26 ayat (2) UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
(“UU 3/1997”) yang menyatakan: “Apabila
Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, melakukan tindak pidana yang diancam dengan
pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada
anak tersebut paling lama 10 (sepuluh) tahun.” Bagaimana
sanksi hukum bagi anak berumur 14 tahun yang melakukan pembunuhan,[56]
pencurian motor? Apakah dibebaskan dengan syarat? Apakah bebas tanpa
syarat jika pihak korban menarik kembali tuntutannnya? Jika bebas tanpa syarat,
berhakkah pihak polisi menahan anak tersebut? Jika tidak apa yang harus saya
lakukan sebagai wali anak tersebut, mengingat pihak polisi bersikukuh menahannya! Dalam kasus
anak berumur 14 (empat belas)
tahun maka sanksi yang dijatuhkan dapat saja berupa pidana. [57]
Namun
pada hakekatnya, segala bentuk penanganan terhadap anak yang melanggar hukum
harus dilakukan dengan memprioritaskan kepentingan terbaik untuk si anak. Oleh
karena itu, keputusan yang diambil Hakim (apabila kasus diteruskan sampai
persidangan) harus adil dan proporsional, serta tidak semata-mata dilakukan
atas pertimbangan hukum, tapi juga mempertimbangkan berbagai faktor lain,
seperti kondisi lingkungan sekitar, status sosial anak, dan keadaan keluarga.
Hal-hal ini dijamin serta diatur dalam UU Pengadilan Anak. Misalnya adalah pada
saat polisi melakukan penangkapan dan pemeriksaan, ia wajib untuk menghubungi
dan mendatangkan seorang petugas Bapas (Balai Pemasyarakatan, biasa juga
disebut PK atau Petugas Kemasyarakatan). Petugas Bapas berfungsi hampir sama
seperti probation officer. Polisi wajib menyertakan hasil Litmas
(Penelitian Kemasyarakatan) yang dibuat oleh petugas Bapas dalam Berita Acara
Pemeriksaannya. Tanpa Litmas, Jaksa harus menolak BAP dan meminta
kelengkapannya kembali.
[1] Hukuman fisik dapat dihindari dengan kekuatan bai’at
kepada guru. Masalah
bai’at cukup ramai dalam dunia dakwah, simpang siur pendapat dalam masalah ini
cukup membuat bingung para penganut jama’ah dakwah bahkan para aktivisnya.
Namun sangat disayangkan kebanyakan mereka tatkala membahas masalah yang satu
ini tidak merujuk kepada penjelasan para ulama Ahlussunnah.
Bahkan mereka mengambil hadits-hadits Nabi SAW., dalam masalah ini, lalu mereka memahaminya dengan akal pikiran mereka sendiri. Lebih parah jika kemudian disesuaikan dengan kepentingan pribadinya, kelompoknya atau pahamnya, sehingga bai’at menjadi jaring atau tali pengikat para pengikut jama’ah dakwah untuk tidak lepas darinya. Kalau tetap saja lepas maka… Tak sedikit orang dianggap kafir dan diberlakukan padanya hukum-hukum orang kafir di dunia dan akhirat karena tidak berbai’at. Lihat Irpan Ubaidillah, bahwa Harun ar-Rasyid dan al-Makmun berorientasi pada aspek kemaslahatan duniawiyah dan ukhrawiyah., pada masa Harun al-Rasyid dan al-Makmun status sosial guru ditentukan berdasarkan kompetensi, profesionalitas dan akhlaqul karimah. Sedangkan kehidupan murid pada masa ini yaitu belajar langsung di depan syaikh, diskusi dan Rihlah Ilmiah. Irpan Ubaidillah, Disertasi, Studi Tentang Pendidikan Islam Pada masa Daulah Abbasiyah,(Surakarta, Univerversitas Muhammadiyah : 2001),256 .
Bahkan mereka mengambil hadits-hadits Nabi SAW., dalam masalah ini, lalu mereka memahaminya dengan akal pikiran mereka sendiri. Lebih parah jika kemudian disesuaikan dengan kepentingan pribadinya, kelompoknya atau pahamnya, sehingga bai’at menjadi jaring atau tali pengikat para pengikut jama’ah dakwah untuk tidak lepas darinya. Kalau tetap saja lepas maka… Tak sedikit orang dianggap kafir dan diberlakukan padanya hukum-hukum orang kafir di dunia dan akhirat karena tidak berbai’at. Lihat Irpan Ubaidillah, bahwa Harun ar-Rasyid dan al-Makmun berorientasi pada aspek kemaslahatan duniawiyah dan ukhrawiyah., pada masa Harun al-Rasyid dan al-Makmun status sosial guru ditentukan berdasarkan kompetensi, profesionalitas dan akhlaqul karimah. Sedangkan kehidupan murid pada masa ini yaitu belajar langsung di depan syaikh, diskusi dan Rihlah Ilmiah. Irpan Ubaidillah, Disertasi, Studi Tentang Pendidikan Islam Pada masa Daulah Abbasiyah,(Surakarta, Univerversitas Muhammadiyah : 2001),256 .
[2] Benturan antara maslahat dan mafsadat, dalam artian
kalau ingin mengerjakan kemaslahatan tersebut maka mesti melakukan mafsadatnya.
Jika hal ini yang terjadi maka secara umum dapat diurai kan sebagai berikut: 1.
Apabila mafsadatnya lebih besar dibanding maslahatnya, maka meng-hindari mafsadat itu dikedepankan daripada meraih
kemaslahatan tersebut. 2. Apabila maslahatnya jauh lebih
besar dibandingkan dengan mafsadat yang akan timbul, maka meraih maslahat itu lebih diutamakan daripada
menghindari mafsadatnya. Oleh karena itu, jihad berperang
melawan orang kafir disyari’at kan, karena meskipun ada
mafsadatnya yaitu hilangnya harta, jiwa dan lainnya, namun maslahat me negakkan kalimat Alloh di muka bumi jauh lebih utama
dan lebih besar. 3. Apabila maslahat dan mafsadat seimbang, maka secara
umum saat itu menolak mafsadat lebih didahulukan daripada meraih kemaslahatan
yang ada. Berdasarkan kaidah umum: (Menghilangkan mafsadat itu lebih dida-hulukan daripada mengambil sebuah maslahat).Untuk
mengetahui perincian permasalahan ini lihat kembali kaidah (Tidak
boleh berbuat sesuatu yang membahayakan).Lihat Asmawi, Perbandingan Usul Fqih, (Jakarta ,
Penerbit Amzah : 2011),57
Madzhab Manhaji. Pidato
Promovendus pada Penerimaan Gelar Doktor Honoris Causa dalam Bidang Fikih Sosial
di UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta, 18 juni. Jakarta: Universitas Islam
Negeri, 18.
Qayyim Al-Juuziyyah). 1980. ‘Alaam
al-Muwaqqi’iin ’an Rabbi al-‘Alamiin. Cairo: Mathabi’ Al-
Islam, jilid 3, 3.
Makalah Seminar Penguatan Hak-Hak
Reproduksi Perempuan, PP Fatayat NU dan Ford Foundation, Jakarta, 1 September
2001
Konseling. Jakarta:
Yayasan Kesehatan Perempuan.Lihat juga
Khalid bin Ali Al-Musyaiqih, op.cit. ,189
[10] Asbab al-nuzulnya : Ketika telah turun ayat 43 surat
Al-Nisa’ dan hukum khamar ialah haram,
tetapi tidak secara mutlak. Para shahabat saat itu masih ada sebahagian dari
mereka yang masih meminum khamar dan mabuk-mabukkan yang mengakibatkan prilaku
mereka sangat jauh dari aturan. Oleh karena itulah pada tahapan selanjutnya
Allah menurunkan ayat 90 surat Al Maidah yang berisi pengharaman khamar secara
mutlak. Dalam ayat ini Allah mengharamkan khamar melalui beberapa sebutan,
yakni : Rijsu (رجس ) yang berarti al najasah ( النجاسة ) najis dan najis
merupakan sesuatu yang dilarang oleh Allah (diharamkan). Kedua, Allah
mengkategorikan meminum khamar ke dalam perbuatan yang selalu dilakukan oleh Syaitan. Dengan turunnya ayat ini semua para ulama sepakat bahwa hokum dari
khamar itu ialah haram. Penerapan
metode Tadrij dalam penerapan hukum Islam di Peradilan Indonesia.
[14]
Membiasakan Anak
dengan Pakaian yang Syar’i.Hendaknya anak-anak dibiasakan meng-gunakan pakaian sesuai dengan jenis kelaminnya. Anak
laki-laki menggunakan pakaian laki-laki dan anak perempuan menggunakan pakaian
perempuan. Jauhkan anak-anak dari model-model pakaian barat yang tidak syar’i,
bahkan ketat dan menunjukkan aurat.Tentang hal ini, Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang meniru sebuah kaum, maka dia termasuk
mereka.” Shahih, HR. Abu Daud,
[15] Hal ini sesuai
dengan yang dikatakan oleh Umar Muhammad Al-Taumy Al-syaibany bahwa “ alam
natural bukan saja mencakup segala mahluk yang akan tetapi juga merangkum
sistem, peraturan atau undang-undang alam yang semua bagian alam tunduk kepada
dasar-dasarnya dan sesuatu itu terjadi atau berlaku mengikuti ketentuan
persyaratan disekelilingnya. Umar Muhammad Al-Taumy Al-Syaibany, Falsafah
Pendidikan Islam, Hasan Langgulung, (Jakarta, Bulan Bintang 1979),58.
[19] Hukuman pun sering diterima siswa manakala
mereka melanggar tata tertib yang telah disepakati. Hukuman itu
dimaksudkan sebagai upaya mendisiplinkan siswa terhadap peraturan yang
berlaku. Sebab, dengan sadar pendidik memegang prinsip bahwa disiplin itu merupakan
kunci sukses hari depan. Apakah bentuk-bentuk hukuman bisa dikembangkan untuk
mendisiplinkan siswa? Pertanyaan seperti inilah menjadi dilema bagi kaum
pendidik dalam mengemban kewajiban dan tanggung jawabnya. Apabila sanksi
hukuman sama sekali tidak diadakan niscaya perilaku siswa
akan lebih semrawut. Orang dapat menduga-duga, ada penerapan
hukuman saja siswa yang melanggar masih banyak, apalagi jika sanksi hukuman
ditiadakan. Tambah ruwet. Jika hukuman itu diadakan menuntut konsekuensi bagi
para pendidik itu sendiri. Maksudnya, pendidik harus benar-benar bisa sebagai
suri tauladan bagi anak didiknya. Penerapan aturan hukuman bagi para siswa yang
melanggar tetapi tidak diikuti kedisiplinan pendidik, bagaikan halilintar di
waktu siang bolong, banyak yang menyepelekan. UU menyebutkan “ Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan. Lihat Undang-Undang Sisdiknas No.
20 tahun 2003
[21] Hukuman sebagai salah satu teknik
pengelolaan kelas sebenarnya masih terus menjadi bahan perdebatan. Akan tetapi,
apa pun alasannya, hukuman sebenarnya tetap diperlukan dalam keadaan sangat
terpaksa, katakanlah semacam pintu darurat yang suatu saat mungkin diperlukan.
Hukuman merupakan alat pendidikan represif, disebut juga alat pendidikan
korektif, yaitu bertujuan untuk menyadarkan anak kembali kepada hal-hal yang
benar dan/atau yang tertib. Alat pendidikan represif diadakan bila terjadi
suatu perbuatan yang diangap bertentangan dengan peraturan-peraturan atau suatu
perbuatan yang dianggap melanggar peraturan. Penguatan negatif dan penghapusan
sebenarnya bernilai hukuman juga. Menyajikan stimulus tidak menyenangkan dalam
pemakaian teknik penguatan negatif maupun tidak memberikan penguatan yang
diharapkan siswa dalam teknik penghapusan, pada dasarnya adalah hukuman
walaupun tidak langsung. Kalau penguatan negatif dan penghapusan dapat
dikatakan hukuman tidak langsung, maka yang dimaksud dengan hukuan di sini
adalah hukuman langsung, dalam arti dapat dengan segera menghentikan tingkah
laku siswa yang menyimpang.
[23] Kerusakan anak-anak itu
kebanyakan bersumber dari orang tua yang membiarkan mereka dan tidak
mengajarkan kewajiban-kewajiban dan sunnah din ini kepada mereka. Mereka tidak
memperhatikan masalah-masalah agama tersebut saat masih kecil, sehingga saat
sudah besar mereka sulit meraih manfaat dari pelajaran agama dan tidak bisa
memberikan manfaat bagi orang tua mereka.” Tuhfatul Maudud, I: 229.Lihat
Muhammad Al-Ghazali, op.cit.,463
[27] Pakar pendidikan ini ingin mengatakan bahwa hukuman
memang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam membina anak-anak, malahan
dalam situasi tertentu mutlak diperlukan sekali. Tetapi pada saat yang sama ia
sama sekali tidak setuju secara mutlak dengan hukuman fisik. Ia tidak keberatan
dengan hukuman-hukuman non-fisik tapi bukan hukuman non-fisik yang berat.Ia
menambahkan, “Perlu diingat bahwa jangan sekali-kali memberikan hukuman yang
akan merendahkan harga diri anak, seperti hukuman badan, ancaman dengan siksaan
atau apa saja demi menghancurkan keinginan buruknya.
[30]
Menghukum anak saat dia melakukan kesalahan. Apabila
pada suatu kali anak menyalahi perilaku terpuji, selayaknya pendidik tidak
membongkar dan membeberkan kesalahan-kesalahannya itu. Mengungkapan rahasianya
itu mungkin akan membuatnya semakin berani melanggar. Jika anak mengulangi
kesalahan yang sama, tegurlah dengan halus dan tunjukkan urgensi
kesalahannya.Menegur dan mencela secara berkesinambungan dan mengungkit-ungkit
kesalahan yang dilakukannya membuat anak menjadi pembangkang. Sehubungan dengan
hal tersebut Al-Ghazali menegaskan ”Jangan terlampau banyak mencela setiap saat
karena perkataan tidak lagi berpengaruh dalam hatinya. Hendaknya guru atau
orang tua menjaga kewibawaan nasehatnya.”Seorang pendidik harus mengetehui cara
pertumbuhan akal manusia yang bertahap hingga ia mampu mensejalankan
pertumbuhan itu dengan pengajarannya terhadap anak didik. Ia menasehatkan agar
tidak kasar dalam memperlakukan anak didik yang masih kecil, mencubit tubuh
dalam pengajaran merusak anak didik, khususnya anak kecil. Perlakuan kasar dan keras
terhadap anak kecil dapat menyebabkan kemalasan dan mendorong mereka untuk
berbohong serta memalingkan diri dari ilmu dan pengajaran. Oleh karena itu
pendidik harus memperlakukan anak didik dengan kelembutan dan kasih sayang
serta tegas dalam waktu-waktu yang diutuhkan untuk itu.
[32]
Adapun yang dimaksud oleh Yusuf Qardhawi, dengan istilah ini ialah hukum-hukum yang menglami
perubahan. Perubahan disini maksudnya ialah hukum-hukum yang mengalami
perubahan dengan perubahannya zaman, keadaan dan tempat. Terjadinya perubahan
hukum karena perubahan dalam masyarakat. Dalam satu kaedah, disebutkan sebagai berikut
.: Fatwa (hukum) dapat berubah
karena perubahan zaman, tempat, keadaan dan adat (‘urf).
[34]
Usia anak sudah 10 tahun dan sebab memukulnya adalah karena dia
meninggalkan sholat. Adapun penyebab selainnya, maka dilakukan orang tua bila
melihat ada maslahatnya (sisi positifnya), misalnya anak tidak berhenti dari
penyelewengan kecuali dengan dipukul. Ini ketetpan Allah,
bukan ketetapan guru atau mufti. Imam Ibnu Qayyim berkata "
Seorang mufti dan seorang hakim (penguasa, qadhi) tidak akan bisa berfatwa dan
memutuskan perkara dengan kebenaran, kecuali bila memadukan dua pemahaman
(fiqih). Pertama : memahami dan mengerti betul waqi' (realita), serta
menyimpulkan ilmu tentang hakekat realita yang ada dengan qarinah, amarah dan 'alamat (bukti-bukti
dan data-data) sehingga ilmunya meliputi realita. Kedua :
memahami apa yang wajib (kewajiban syariat) atas realita, yaitu memahami hukum
Allah yang ditetap
kan dalam kitab-Nya atau melalui lesan
Rasul-Nya atas realita tersebut. Baru kemudian menerapkan yang satu (hukum
syariat, pent) atas yang lain (realita)
[35] Arti penting teori maqashid al-syari’ah yang
pertama tersebut dianggap dapat memberi napas bagi produk-produk fiqih para
ulama yang terlalu terpaku pada teks dan tanpa mengindahkan konteks. Misalnya hukuman
fisik bagi anak yang tidak shalat, merupakan obat bagi kemalasannya. Lebih
dari itu juga dapat menepis anggapan sementara orang bahwa hukum Islam adalah
hukum yang mati, ambigu, bahkan terkadang, menurut mereka, kurang manusiawi
(al-Turabi, 2000: 18). Oleh karena itulah, teori ushul fiqih dan maqashid al-syari’ah harus
dikawinkan untuk mengatasinya. Selanjutnya, dengan metodologi
Imam al-Syathibi dalam al-Muwafaqat-nya yang mencoba menggabungkan teori-teori ushul
fiqih dengan maqashid al-syari’ah akan menjadi penghubung sekaligus jembatan untuk
meng-“ishlahkan” kedua kecenderungan di atas. Memisahkan maqashid al-syari’ah dari teori-teori ushul fiqh merupakan kesalahan karena tidak semua
persoalan dapat diselesaikan dengan maqashid al-syari’ah an.sich,. Apa yang
dikemukakan Thahir bin Asyur dalam bukunyaMaqashid
al-Syari’ah al-Islamiyyah yang
secara yakin menjadikan maqashid
al-syari’ah ini sebagai ilmu mustaqil yang
terlepas dari ilmu ushul fiqh (Asyur, 1999: 180), kata Darusmanwiati,
adalah tidak benar, karena teori-teori dan kerangka yang dikemukakan Asyur
sendiri, disadari atau tidak, adalah teori-teori ushul fiqh itu sendiri hanya
dengan format yang berbeda (Darusmanwiati, Islamlib: 309). Sebenarnya, maqashid
al-syari’ah telah dikembangkan
oleh para mujtahid sebelum al-Syathibi dan bahkan dikembangkan dan
disempurnakan juga oleh para pemikiran kontemporer zaman ini. Kata al-maqashid sendiri
menurut Ahmad Raisuni, pertama kali digunakan oleh al-Turmudzi al-Hakim, ulama
yang hidup pada abad ke-3. Dialah, menurut Raisuni, yang pertama kali
menyuarakan maqashid al-syari’ah melalui buku-bukunya, al-Shalah wa Maqashiduhu, al-Haj wa Asraruh, al-‘Illah, ‘Ilal
al-Syari’ah, ‘Ilal al-‘Ubudiyyah dan
juga bukunya al-Furuq yang kemudian diadopsi oleh Imam al-Qarafi
menjadi judul buku karangannya (al-Raisani, 1995: 32).
[36] Sudah tidak asing di kalangan para ulama yang
berkecimpung dalam juresprudensi Islam (ushul
al-fiqh) mengenai teori maqashid al-Syari’ah yang
disistematisasi dan dikembangkan oleh al-Syathibi. Bahkan Musthafa Said al-Khin
dalam bukunya al-Kafi al-Wafi fi
Ushul al-Fiqh al-Islamy membuat
kategorisasi baru dalam aliran Ilmu Ushul Fiqh. Bila sebelumnya hanya dikenal
dua aliran saja, yaitu Mutakallimin dan fuqahaatau Syafi’iyyah dan Hanafiyyah, maka al-Khin membaginya menjadi lima bagian:Mutakallimin, Hanafiyyah, al-Jam’i, Takhrij al-Furu’ ‘alal Ushul dan Sya-thibiyyah (al-Khin,
2000: 8). Dengan demikian, pembagian tersebut telah menempatkan
pemikiran Imam al-Syathibi dalam al-Muwafaqat menjadi salah satu bagiatn corak aliran yang
terpisah dari aliran ushul fiqih lainnya. Hal ini karena dalam coraknya,
al-Syathibi mencoba menggabungkan teori-teori (nadhariyyat) ushul
fiqh dengan konsep maqashid al-syari’ah sehingga produk hukum yang dihasilkan lebih
hidup dan lebih kontekstual. Menurut Darusmanwiati, Ada dua
nilai penting apabila model al-Syathibi ini dikembangkan para ulama sekarang
dalam menggali hukum: Pertama, dapat men-jembatani
antara “aliran kanan” dan “aliran kiri”. “Aliran kanan” yang dimaksud adalah
mereka yang tetap teguh berpegang pada konsep-konsep ilmu ushul fiqh sedangkan
“aliran kiri” adalah mereka yang terakhir ini vokal dengan idenyatajdid ushul al-fiqh dalam
pengertian perlu adanya dekonstruksi ushul fiqih demi menghasilkan produk fiqih
yang lebih kapabel …. Kedua, model al-Syathibi ini akan lebih menghasilkan produk
hukum yang dalam istilah Ibnu al-Qayyim, al fiqh al-hayy,
fiqih yang hidup. Karena itu, fiqih yang terlalu teksbook yang
penulis istilahkan dengan Fiqh
Ushuly akan berubah
menjadi Fiqh Maqashidy Darusmanwiati, Islamlib:
309.
[38] Suruhlah anak-anakmu untuk
melaksanakan shalat pada usia tujuh tahun, dan pukullah mereka jika tidak mau
melaksanakannya pada usia sepuluh tahun, serta pisahkanlah tempat tidur
mereka.”[Hadits shahih, diriwayatkan oleh Ahmad (II/ 180, 187), Abu Dawud
(no. 495), Al-Hakim (I/197), Al-Baihaqi (III/84), Ibnu Abi Syaibah (no. 3482),
Ad-Daruquthni (I/230), Al-Khathib (II/278), dan Al-‘Uqaili (II/167), dari
‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu’anhuma. Lihat juga Shahihul Jami’
(no. 5868)] Ada
beberapa syarat yang harus dipenuhi berkaitan dengan pukulan
kepada anak ini, yaitu:
a. Anak mengerti atas alasan apa dia dipukul. b. Orang yang memukulnya adalah walinya, misalkan ayahnya. c. Tidak boleh memukul anak secara berlebihan. d. Kesalahan yang dilakukan oleh sang anak memang patut untuk mendapatkan hukuman. e. Pukulan dimaksudkan untuk mendidik anak, bukan untuk melampiaskan kemarahan.[Lihat Al-Qaulul Mufid (II/473-474) dan Bekal Menanti Si Buah Hati , 55-56
a. Anak mengerti atas alasan apa dia dipukul. b. Orang yang memukulnya adalah walinya, misalkan ayahnya. c. Tidak boleh memukul anak secara berlebihan. d. Kesalahan yang dilakukan oleh sang anak memang patut untuk mendapatkan hukuman. e. Pukulan dimaksudkan untuk mendidik anak, bukan untuk melampiaskan kemarahan.[Lihat Al-Qaulul Mufid (II/473-474) dan Bekal Menanti Si Buah Hati , 55-56
[41]
Editor Tribun Pontianak.Co.id - Peristiwa kaburnya model cilik, Ruvita Sari Siahaan, 9
Januari 2012 lalu, tak ubahnya drama sarat makna kehidupan. Pelajaran
hidup, terutama bagi orangtua di tengah kehidupan global yang "lebih"
mendewakan materi daripada nilai-nilai religi dan budaya. Vita,
sapaan akrab Ruvita Sari, nekat kabur ke Sorong, Papua Barat bukan tanpa sebab.
Kenekatan model iklan berusia 13 tahun ini, berlatar tekanan psikis hebat dari
ibunya, Ny Lily.Setelah ditemukan polisi di rumah orangtua angkatnya, Bunda
Maya di Sorong, Kamis (26/1/2012) sore, Vita mengaku sering dipukul ibunya
kalau menolak syuting.Tidak sampai di situ, sang ibunda
"terlalu" mengatur selera dan kehidupan anak. Mulai urusan busana
hingga rileks (jalan-jalan), Vita perlu menangis. Vita pun mengalami memar
akibat pukulan sang ibu, manakala model iklan cokelat pasta itu pulang pukul
21.00 WIB. Sang Ibu tak mengelak,
mengakui pernah juga menarik rambut Vita dan menjepret kaki putrinya
menggunakan karet. Benarkah cara orangtua pada buah hatinya ini? Prinsipnya,
tak seorang orangtua pun di muka bumi, ingin menzalimi anak kandungnya.Harimau
yang paling buas sekalipun, tak pernah memakan anak-anaknya, meski kelaparan.
Kaum sufi psikologi maupun agama, justru meyakini cinta orangtua kepada anak,
lebih besar dibanding cinta anak kepada orangtuanya.
[42] Adapun pukulan yang dimaksud
adalah: a. Pukulan
yang dapat diterima oleh si anak, yakni pukulan yang ringan, b. Pukulan yang tidak menimbulkan
bekas atau luka pada tubuh si anak, c.
Pukulan di bagian tubuh, kecuali wajah. [Lihat
Menanti Buah Hati, hal. 347-348). Bersikap adil kepada semua anak
dan bersabar dalam menghadapi mereka. Orang tua terkadang memiliki
kecenderungan pada salah satu atau sebagian anak dibandingkan dengan anak-anak
lainnya, baik dalam hal materi maupun imateri. Padahal, sikap orang tua yang
demikian itu tidak akan memberikan dampak yang baik bagi kejiwaan anak-anaknya.
Sebab akan ada anak yang merasa tidak disayangi dan tersisihkan, sementara dia
melihat saudaranya mendapatkan perlakuan berbeda dari orang tuanya. Hal seperti
ini akan sangat mungkin untuk memicu perselisihan bahkan permusuhan antar
sesama saudara. Dan sikap seperti ini juga berarti menzhalimi mereka. [Lihat Ensiklopedi
Adab Islam (I/201)] Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Aku tidak mau
menjadi saksi atas perbuatan zhalim, bertakwalah kalian kepada Allah dan
bersikap adillah kepada anak-anak kalian.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh
Bukhari (no. 2586, 2587) dan Muslim (no. 1623), dari Nu’man bin Basyir radhiyallahu’anhu] Selain itu, orang tua juga harus
menyadari bahwa anak adalah fitnah (ujian) bagi orang tua maka hendaknya orang
tua dapat bersabar dalam menghadapi gangguan dari anak-anaknya. Allah ‘Azza
wa Jalla berfirman, Artinya:
“Dan ketahuilah! Sesungguhnya harta-hartamu dan anak-anakmu adalah fitnah
(ujian/cobaan bagimu). Dan sesungguhnya Allah (yang) disisi-Nyalah terdapat
ganjaran yang besar.” (Qs. Al-Anfal: 28) Artinya: “Hanya saja
harta-hartamu dan anak-anakmu adalah fitnah (ujian/cobaan bagimu). Dan
sesungguhnya Allah (yang) disisi-Nyalah terdapat ganjaran yang besar.”
(Qs. Ath-Taghabun: 15).Terutama
bagi pasangan orang tua yang memiliki anak perempuan, hendaknya mereka bersabar
dalam mengasuh dan mendidiknya, karena anak perempuan yang diasuh dengan baik
oleh orang tuanya dapat menjadi penghalang bagi kedua orang tuanya dari api
Neraka. Dan hal ini telah dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam sabdanya berikut ini,. Artinya: “Barang siapa diuji
dengan anak-anak perempuan lalu dia memberi asuhan yang baik kepada mereka,
maka anak-anak perempuan itu akan menjadi penghalang antara dirinya dari
Neraka.”[Hadits shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (no. 1418, 5998) dan
Muslim (no. 2629)]
[43] Apabila manusia telah
meninggal, maka terputuslah amalnya, kecuali tiga perkara: sedekah jariyah,
ilmu yang bermanfaat, dan anak
shalih yang mendo’akan kebaikan baginya.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Muslim (no. 1631),
Ahmad (II/372), Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad (no. 38), Abu Dawud
(no. 2880), An-Nasa’i (VI/251), Tirmidzi (no. 1376), dan Al-Baihaqi (VI/278)
dari Abu Hurairah.
[44]
Sudah tidak asing lagi di beberapa pondok,pengurus atau pihak pondok
menetapkan aturan dng cara menta'zir yg salah satunya dng menarik uang(denda)
bagi santri yang melanggar aturan yang telah ditetapkan pihak pondok. Contoh
pada pesantren di Jawa,karena , mereka
para kiyai tahu hukum menta'zir dengan uang, sehingga timbul pertanyaan: 1. bagaimanakah hukum
menta'zir dengan meng-gunakan uang(mendenda).....2. jika tidak boleh,apakah ada
cara lain yang membolehkanya,mungkin dengan hilah(mreka daya hukum)? 3. hukum
helah yang diperbolehkan seperti apa kriteria yang diperbolehkan menurut
syar'i? Ternyata di dalam madzhab Syafi'i menghukum dengan denda uang itu tidak
boleh,tapi menurut pendapat imam malik boleh menghukum dengan denda
uang.....Batas pukulan mendidik yaitu dari pantat ke bawah,kalau pun organ atas
yaitu hanya kuping dengan cara dijewer. Ibnu Qayyim Al Jauziyah –rahimahullah- mengatakan, ”Kaum muslimin bersepakat bahwa meninggalkan shalat lima waktu
dengan sengaja adalah dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari
dosa membunuh, merampas harta orang lain, berzina, mencuri, dan minum minuman
keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah
serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.” (Ash Sholah
wa Hukmu Tarikiha, Ibnul Qayyim,. 7
[45] Anak yang menjadi dambaan setiap
keluarga adalah rizki sekaligus ujian dari Allah Ta’ala kepada
hamba-hamba-Nya. Bahkan Allah Ta’ala menyebutkan dalam firman-Nya
bahwa anak adalah salah satu kesenangan dan perhiasan dunia, Artinya: “Harta dan anak-anak
adalah perhiasan kehidupan dunia.” (Qs. Al-Kahfi: 46) Kehadiran anak di tengah-tengah
keluarga merupakan amanah yang sangat besar bagi kedua orang tuanya. Oleh
karenanya, para orang tua dituntut untuk senantiasa memperhatikan perkembangan
jasmani dan rohani sang buah hati. Namun, belakangan sering kita temui
peristiwa-peristiwa memilukan yang menimpa anak-anak akibat perbuatan orang
tuanya.
[47] Menurut
data Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak, pada 2011 telah terjadi 1.851
pengaduan ABH yang diajukan ke pengadilan. Hampir 89,8 persen kasus ABH
berakhir pada pe¬mi¬danaan atau diputus pidana. Data lain yang dirilis
Ke¬men¬terian Hukum dan HAM 2010 menunjukkan bahwa di 16 La¬pas di Indonesia
ditemukan 6.505 ABH yang diajukan ke penga¬dilan dan 4.622 ABH di antara¬nya
mende¬kam dipenjara. Jumlah ini mung¬kin jauh lebih besar karena angka ini
hanya bersumber dari laporan 29 Balai Pe¬masyarakatan (Bapas), se¬mentara di
Indonesia terdapat 62 Bapas (Rakyat Merdeka, 19 Januari 2012).
[48]
Secara yuridis,
Undang-undang tentang perlindungan Guru telah termuat dalam UU No.14/2005
tentang Guru dan Dosen. Hal ini terlihat jelas pada Bab VII pasal 39 yang
menyebutkan bahwa pemerintah, masyarakat, organisasi profesi, dan atau satuan
pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru.
[49] Secara yuridis, Undang-undang
tentang perlindungan Guru telah termuat dalam UU No.14/2005 tentang Guru dan
Dosen. Hal ini terlihat jelas pada Bab VII pasal 39 yang menyebutkan bahwa
pemerintah, masyarakat, organisasi profesi, dan atau satuan pendidikan wajib
memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas. Hal ini terlihat
bahwa eksistensi UU No.14/2005 telah memuat perlindungan terhadap guru atas
profesinya. Namun implementasi terhadap undang-undang tersebut masih belum
terlaksana.Lihat Bunadi Hidayat, Pemidanaan Aanak Di Bawah
Umur,(Bandung, PT.Alumni : 2010), 115
[50] Secara tidak
sadar orangtua menghukum anaknya
dengan emosi dan cara yang kasar, seperti langsung memukulnya. Tindakan seperti
ini kurang dibenarkan, karena bagaimana pun didikan orangtua turut menciptakan kondisi anak
pada masa mendatang.Rasulullah SAW mengajarkan tanggapan bagaimana seharusnya orangtua menghukum anak,
yakni orangtua menunjukan kesalahan dengan pengarahan
secara langsung, menunjukan kesalahan dengan isyarat,
hardikan dan pukulan. Hukumsn pukulan adalah jalan terakhir untuk
menghukum anak agar jera, namun pukulan tersebut harus didasari rasa kasih sayang. Bunadi Hidayat,
op.cit, 183
[51] Menurut sbagian madzhab hanafi boleh menta'zir dengan
pakai uang tapi bila sudah taubat, harus dikembalikan uangnya.fiqh ala al madyhab al arba'ah 5/
401.Yang tidak memperbolehkan silahkan dicek di kitab tanwir al quluub,hasyiyah al jamal ala al manhaj dan gyoyah talkhis
almurod hamisyi bughyah. “Dan tidak
boleh menta’zir (menghukum) dengan mencukur jenggot atau dengan mengambil
harta”.(Tanwiir al-Quluub , 2001),
392
[52] Ta’zir tidak boleh dengan mengambil harta”. Hasyiyah
al-Jamal V/164 “Dan haram menta’zir dengan mencukur jenggot, memotong anggauta
dan melukainya, Ta’zir diharamkan juga dengan mengambil atau merusak harta
benda karena tidak terdapati ketetapan syara’ yang demikian dari prilaku yang
dapat diikuti dan karena tujuan diperlakukan menta’zir demi mengajari tatakrama
yang tidak ada ketentuan dengan merusak harta benda berbeda menurut Imam
Taqiyuddin yang memperkenankan ta’zir dengan mengambil atau merusak harta benda”.
Mathaalib Ulin Nuhaa VI/224
[53]
Seorang
sahaya menganiaya sahaya lainnya, maka bagi sahaya yang menganiaya diperlakukan
ta’zir dari sayyidnya sesuai petunjuk hakim atau yang ditempatkan pada
posisinya dengan dipenjara, dipukul, atau dinaikkan keledai dengan berbalik dan
semacamnya.Janganlah memberikan balasannya pada sahaya yang dianiaya, dan tidak
diperbolehkan menta’zir dengan mengambil harta benda menurut kami
(Syafi’iyyah). Bughyah al-Mustarsyidiin , 532
[54]
“Bentuk
Ta’zir bisa dengan berupa dipenjarakan atau pukulan yang tidak menyakitkan,
menampar, atau mencelanya dengan ucapan atau diasingkan dalam kurun kurang
setahun didaerah yang panas atau kurang dari kurun separoh tahun didaerah yang
dingin atau diberdirikan dalam satu majlis atau dibuka penutup kepalanya atau
dicoreng hitam mukanya atau dicukur rambutnya bagi orang yang tidak suka potong
rambut tapi tidak dicukur jenggotnya meskipun menurut kami hal demikian adalah
makruh menurut pendapat yang paling shahih, atau dinaikkan pada keledai dengan
berbalik dan diarak berkeliling ditengah-tengah orang banyak dan mengancamnya
dengan aneka siksaan-siksaan lainnya”.Nihaayah al-Muhtaaj VIII/21
[55]
Mengenai berapa lama pidana penjara dijatuhkan
kepada anak nakal, Pasal 26 ayat (1)
UU 3/1997 menentukan bahwa pidana penjara yang dapat dijatuhkan
kepada anak nakal adalah paling lama
1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.Jadi,
harus dilihat kembali pada ketentuan pidananya. Misalnya, jika anak tersebut
dijerat dengan Pasal 359 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang
berbunyi: “Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang
lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana
kurungan paling lama satu tahun.” Sehingga, pidana untuk anak nakal
yang melakukan pembunuhan dan dijerat dengan Pasal 359 KUHP adalah paling lama 2,5 (dua setengah) tahun.
[56]
Pengadilan anak-anak Mencatut Demi
Hukuman Mati?Pada tahun 1995, seorang bocah di Lumajang dijerat pasal dengan
ancaman hukuman mati. Kini urusan hidup-mati Ma’ruf – bukan nama sebenarnya –
yang masih berusia 14 tahun, sepenuhnya berada ditangan majelis hakim. Sebab,
Jaksa Imam Sudarmadji menuduh Ma’ruf telah melakukan pembunuhan berencana
terhadap Buyar, teman sekampungnya. Artinya, anak ke empat pasangan
Sariman-Sarmi ini diancam hukuman mati atau pidana penjara seumur hidup.
Untuk perbuatan itu, ancaman hukuman paling ringan adalah penjara 20 tahun. Menurut dakwaan jaksa, perbuatan itu terjadi pada
tanggal 9 April silam, di persawahan desa Mlawang, Kecamatan Klakah, Lumajang.
Pembunuhan itu terjadi akibat perkelahian di antara mereka dengan menggunakan clurit.
Hujaman clurit tersangka menjadi penyebab kematian korban. Sumber : www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1995/08/14/0007.html
[57]
Dalam kasus
ini, jika anak ditahan sebaiknya segera ditanyakan apakah ia telah ditemui oleh
seorang petugas Bapas. Dan apakah padanya telah diberikan haknya untuk tetap
memperoleh penasehat hukum, karena petugas Bapas bukanlah seorang penasehat
hukum. Harus diingat, anak berhak memperoleh dan negara wajib memberikan proses
hukum yang cepat.Apabila pihak korban akan menarik tuntutannya, penyelesaian di
luar proses hukum sangat mungkin untuk dilakukan karena petugas hukum, dalam
hal ini polisi, yang terlibat dalam proses peradilan anak diberi keleluasaan
untuk melakukan diskresi (sewaktu-waktu menghentikan proses hukum) demi
kepentingan anak.
No comments:
Post a Comment