DUNIA INI ADALAH TAHI KELEDAI
YANG DIBALUT ES KRIM DAN MADU
. Kisah Abu Nawas
yang memberikan hadiah kepada Hakim yang nakal, berupa tahi keledai yang dibalut dengan mentega harum, gula yang harum, serta es krim. Ternyata dunia ini ibarat kotoran sapi atau keledai yang dibalut dengan madu dan es krim. Jika dikejar terus dunia ini akan berlari sekencang-kencangnya. Tahi keledai yang dibalut eskrim, jika dicolet dalam-dalam akan ditemukan sesuatu yang busuk. Itulah tipuan dunia terhadap orang-orang yang rakus. Nah caranya oleh Abu Nawas, bukannya malah melaporkannya ke
atasan. Abu Nawas punya cara yang unik dalam memberikan pelajaran kepada para
hakim nakal. Eh..bukan dengan melaporkannya langsung kepada sang raja, tetapi
Abu Nawas bahkan memberinya hadiah. Akan tetapi justru dengan hadiah itu sang
hakim menjadi sadar akan perbuatan zalimnya.
Ini
kisahnya yang patut dijadikan bahan renungan:
Pada suatu waktu kerajaan dinasti yang dipimpin oleh Khalifah Harun Al Rasyid ini mengalami krisis keadilan, di kota Bagdad. Masalahnya sangat banyak hakim yang adil meninggal dunia dan raja salah dalam menunjuk orang sebagai hakim pengganti.Akibatnya hakim pengganti itu tidak mampu menjawab kebutuhan masyarakat atas keadilan.
Pada suatu waktu kerajaan dinasti yang dipimpin oleh Khalifah Harun Al Rasyid ini mengalami krisis keadilan, di kota Bagdad. Masalahnya sangat banyak hakim yang adil meninggal dunia dan raja salah dalam menunjuk orang sebagai hakim pengganti.Akibatnya hakim pengganti itu tidak mampu menjawab kebutuhan masyarakat atas keadilan.
Para hakim pengganti itu berlaku
menyimpang dan sama sekali tidak mengetahui hukum-hukum agama, sehingga tidak
aneh jika kemudian muncul berbagai kebobrokan dan penyimpangan hukum yang
dilakukan para hakim. Tiadanya keadilan dan kebenaran, semakin meluasnya
korupsi dan penyalahgunaan hukum seperti telah menjadi hal yang biasa. Dalam
kekuasaan tiran, ucapan penguasalah yang menjadi hukum dan kepentingan pribadi
di atas segala-galanya.
Hadiah
Dalam hal ini Abu Nawas turut prihatin.
Dia pun lantas berinisiatif menyadarkan para hakim itu dengan caranya sendiri.
Dalam hal ini Abu Nawas turut prihatin.
Dia pun lantas berinisiatif menyadarkan para hakim itu dengan caranya sendiri.
Pada suatu hari Abu Nawas mendatangi
seorang hakim untuk mengurus suatu perjanjian.
Namun hakim di kotanya selalu mengatakan tidak punya waktu untuk menandatangai perjanjian itu.
Keadaan ini terus berlangsung seperti itu sehingga Abu Nawas menyimpulkan bahwa si hakim minta disogok (disuap).
Namun hakim di kotanya selalu mengatakan tidak punya waktu untuk menandatangai perjanjian itu.
Keadaan ini terus berlangsung seperti itu sehingga Abu Nawas menyimpulkan bahwa si hakim minta disogok (disuap).
Akan tetapi Abu Nawas mengetahui bahwa
menyuap adalah hal yang diharamkam oleh agama.
Maka Abu Nawas pun memutuskan untuk melemparkan keputusan pada si hakim sendiri.
Maka Abu Nawas pun memutuskan untuk melemparkan keputusan pada si hakim sendiri.
Abu Nawas menyiapkan sebuah gentong.
Gentong itu diisi dengan kotoran sapi hingga hampir penuh.
Kemudian di atasnya Abu Nawas mengoleskan mentega, madu dan eskrim beberapa sentimeter tebalnya.Diberi merek pembuat roti ternama dan yang sedang populer saat itu.
Gentong itu diisi dengan kotoran sapi hingga hampir penuh.
Kemudian di atasnya Abu Nawas mengoleskan mentega, madu dan eskrim beberapa sentimeter tebalnya.Diberi merek pembuat roti ternama dan yang sedang populer saat itu.
Gentong atau kotak besar empat kotak itu dibawanya ke hadapan Pak
Hakim. Saat itu juga kesibukan sang hakim langsung hilang dan punya waktu untuk
membubuhkan tanda tangannya pada surat perjanjian Abu Nawas.
“Tuan Hakim, apakah pantas Tuan
mengambil gentong mentega itu sebagai ganti tanda tangan Tuan?” tanya Abu Nawas
mengelabuhi.
Sang hakim tersenyum sambil mengamati gentong itu.
“Ah…engkau jangan terlalu dalam memikirkannya,” kata si hakim mulai terjebak tipu muslihat Abu Nawas.
Sang hakim tersenyum sambil mengamati gentong itu.
“Ah…engkau jangan terlalu dalam memikirkannya,” kata si hakim mulai terjebak tipu muslihat Abu Nawas.
Hakim tersebut lantas mncolek sedikit mentega dengan ujung jarinya lalu mencicipinya.
“Wah enak benar mentega ini.” kata sang hakim.
“Ya..sesuai dengan ucapan Tuan, jangan terlalu dalam mencolek menteganya,” jawab Abu Nawas.
Abu Nawas pun segera meninggalkan kantor sang hakim setelah mendapatkan tanda tangan si hakim.
Hakim lantas pulang dengan hati yang riang gembira.
Dibawanya gentong itu lantas di panggillah istri dan anak-anaknya untuk bersama-sama makan pemberian Abu Nawas itu.
“Ya..sesuai dengan ucapan Tuan, jangan terlalu dalam mencolek menteganya,” jawab Abu Nawas.
Abu Nawas pun segera meninggalkan kantor sang hakim setelah mendapatkan tanda tangan si hakim.
Hakim lantas pulang dengan hati yang riang gembira.
Dibawanya gentong itu lantas di panggillah istri dan anak-anaknya untuk bersama-sama makan pemberian Abu Nawas itu.
Awalnya mereka sekeluarga sangat
menikmati mentega itu.
Namun begitu lapisan mentega itu habis, mereka mulai memakan kotoran sapi.
hehehe…dasar hakim zalim.
Namun begitu lapisan mentega itu habis, mereka mulai memakan kotoran sapi.
hehehe…dasar hakim zalim.
“Upsss…apa ini…baunya sangat busuk
seperti kotoran hewan.” kata hakim.
Hakim lantas teringat Abu Nawas yang sangat dekat dengan khalifah. Kalau diganggu, bisa berbahaya. Bisa berhenti jadi hakim.
Setelah berfikir panjang, ia baru sadar bahwa semua itu adalah ulah si Abu Nawas yang ingin menyadarkannya utnuk meninggalkan praktek suap menyuap dan menegakkan keadilan.
Hakim lantas teringat Abu Nawas yang sangat dekat dengan khalifah. Kalau diganggu, bisa berbahaya. Bisa berhenti jadi hakim.
Setelah berfikir panjang, ia baru sadar bahwa semua itu adalah ulah si Abu Nawas yang ingin menyadarkannya utnuk meninggalkan praktek suap menyuap dan menegakkan keadilan.
Hakim itu kemudian merasa sangat
bersalah atas sikapnya selama ini.
Ia lalu mendatangi rumah Abu Nawas dan meminta maaf atas kekhilafannya.
Di hadapan Abu Nawas ia berjanji akan menjadi Hakim Yang Adil.
Ia lalu mendatangi rumah Abu Nawas dan meminta maaf atas kekhilafannya.
Di hadapan Abu Nawas ia berjanji akan menjadi Hakim Yang Adil.
Nah…begitu donk pak hakim…jadilah hakim
yang jujur dan adil, tegakkan keadilan melalui tanganmu.
Untuk Pak Abu Nawas, salut dech sudah meyadarkan pak hakim melalui caranya sendiri yang sangat halus dan mengena tanpa lapor ke atasan.
Untuk Pak Abu Nawas, salut dech sudah meyadarkan pak hakim melalui caranya sendiri yang sangat halus dan mengena tanpa lapor ke atasan.
Ketika tulisan ini dibuat, penulis sedang mencari bahan penguat disertasi penulis tentang hukum di program S 3 UIN Suska Riau 2013. Yang penulis temukan ialah tentang sindiran pedas terhadap para hakim, dari ulah Abu Nawas. Tentu penulis baca sejenak.
Kisah Ola 8: Ini Profil
Hakim yang Vonis Mati
TEMPO.CO, Jakarta -- Ribuan hakim dan jaksa kita punya. Benarkah tak ada
seorang pun yang mempertahankan hati nuraninya untuk tidak ditukar dengan duit?
Mungkin tidak ada lagi. Tapi mungkin juga yang tersisa tinggal hakim Asep Iwan
Iriawan atau sedikit yang lain. Di antara koleganya yang bermobil bagus dan
berumah nyaman, Asep adalah makhluk yang langka.
Majalah Tempo edisi 17 November 2002 menobatkan Asep sebagai tokoh Tempo. Dia bukanlah seperti kebanyakan hakim yang punya deposito miliaran rupiah atau rumah mentereng, seperti yang dipertontonkan para anggota majelis perkara Manulife yang ketika itu diduga telah memakan suap.
Sehari-hari, Asep tampil sederhana. Tak tampak pakaian bermerek atau arloji emas yang melekat di tubuhnya. Mobilnya cuma sebuah Escudo, itu pun ia berikan ke adiknya. "Saya tidak bisa menyetir," ujar hakim yang bertugas di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ini. Asep merasa gajinya yang Rp 3,5 juta sebulan cukup buat hidup layak seorang bujangan seperti dirinya.
Lelaki Sunda ini lahir di keluarga yang serba berkecukupan 40 tahun lalu. Ayahnya, Abidin Sukarjo, adalah seorang pensiunan perwira di Komando Distrik Militer Siliwangi, Jawa Barat. "Walaupun Asep anak orang kaya, ia tak ingin menunjukkan kekayaannya. Sampai sekarang dia tetap jujur, tapi kalau sudah memutus perkara, dia tanpa tedeng aling-aling. Kalau salah, ya dihukum berat, tanpa kompromi," kata kawan satu kampus Asep yang kini sama-sama bertugas di pengadilan Jakarta Pusat.
Kerasnya ketukan palu hakim Asep mulai jadi pembicaraan ketika bersama dua koleganya, Satria U.S. Gumay dan Prim Haryadi. Ia tanpa ragu menjatuhkan hukuman mati terhadap lima pengedar heroin di Pengadilan Negeri Tangerang, Agustus 2000.
Tiga di antaranya kakak beradik warga Indonesia, Meirika Franola alias Ola, 30 tahun, Rani Andriani (25), dan Deni Setia Maharwan (28), yang tertangkap basah ketika berupaya menyelundupkan 3,5 kilogram heroin dan 3 kilogram kokain ke London, Inggris, lewat Bandara Soekarno-Hatta.
"Ola adalah perempuan Indonesia pertama yang dihukum mati dalam kasus narkotik," kata Asep. Sebelumnya, ia juga telah mengirim dua terdakwa sejenis untuk dihadapkan ke depan regu tembak. Mereka adalah Nar Bahadur Tamang dan Bala Tamang, dua lelaki berkebangsaan Nepal yang dicokok aparat dengan 1.750 gram heroin di tangan.
Sikap tanpa kompromi ini bukannya tanpa pertimbangan. Menurut alumni Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, ini, majelis telah memikirkannya masak-masak. "Karena kesalahannya berat, hukumannya juga harus berat. Hukuman maksimal yang bisa dijatuhkan adalah hukuman mati. Karena itu, kami menjatuhkan hukuman mati sesuai dengan kehendak masyarakat yang ingin para pengedar narkotik dihukum seberat-beratnya," katanya.
Keberaniannya mengangkat bendera perang tinggi-tinggi terhadap setiap pengedar bubuk setan melejitkan karier Asep. Tak lama setelah vonis fenomenalnya itu, pada tahun 2000, ia ditarik masuk Jakarta menjadi hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sekaligus di pengadilan niaga.
Integritas dan ketegasan itulah yang menerbitkan hormat dari banyak kalangan. Salah satunya datang dari mantan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Bambang Widjojanto. "Asep salah satu hakim baik yang kita miliki. Dia hakim yang langka, di tengah citra buruk hakim saat ini," ujarnya.
TIM TEMPO
Hakim Kena
Sanksi Karena Penjarakan Pengacara
Si pengacara
dihukum justru di saat membela kepentingan klien.
Meskipun menyandang status sebagai
“Wakil Tuhan”, hakim bukan berarti selalu menjadi pihak yang paling benar. Biar
bagaimanapun, hakim adalah manusia biasa yang memiliki potensi berbuat salah.
Dan, ketika hakim berbuat salah, maka dia layak diganjar sanksi. Begitulah
kira-kira gambaran kisah Kenneth Post, seorang hakim senior di Michigan,
Amerika Serikat. Kenneth baru saja dijatuhi sanksi pemberhentian sementara
alias skorsing selama 30 hari tanpa digaji oleh Mahkamah Agung Michigan
berdasarkan rekomendasi Judicial Tenure Commission(sejenis Komisi
Yudisial). Hukuman ini mulai berlaku bagi Kenneth mulai 22 Mei 2013.
Pangkal masalahnya adalah tindakan Kenneth yang memenjarakan seorang
pengacara berusia 29 tahun, Scott Millard. Scott dipenjara dengan tuduhan
menghina pengadilan ketika dia justru sedang membela hak-hak kliennya dalam
persidangan sebuah kasus pidana, sekira Desember 2011.
Dalam transkrip
resmi persidangan yang dipublikasikan www.abajournal.com, terungkap bahwa Scott
yang berniat hanya ingin membela kliennya, justru mendapat ‘dampratan’ dari
Kenneth. Berulang kali, Kenneth memerintahkan Scott untuk duduk dan diam.
Puncak ketegangan terjadi ketika Kenneth bertanya tentang kapan terakhir
kliennya Scott menggunakan obat terlarang.
Scott langsung menyela. Dia menyarankan
kliennya tidak menjawab dengan alas hukum, Amandemen Kelima, Konstitusi Amerika
Serikat yang intinya berbunyi setiap warga negara dilindungi dari tindakan
sewenang-wenang aparat negara dalam proses hukum.
Amandemen
Kelima:
“No person shall be held to answer for a capital, or otherwise infamous crime, unless on a presentment or indictment of a Grand Jury, except in cases arising in the land or naval forces, or in the Militia, when in actual service in time of War or public danger; nor shall any person be subject for the same offense to be twice put in jeopardy of life or limb; nor shall be compelled in any criminal case to be a witness against himself, nor be deprived of life, liberty, or property, without due process of law; nor shall private property be taken for public use, without just compensation.”
Saran Scott kepada kliennya membuat
Kenneth marah. “Sekali lagi bicara, saya akan jerat anda dengan tuduhan
menghina pengadilan,” kata Kenneth mengancam.
Diancam begitu, Scott bergeming. Dia
bersikukuh ingin membela kliennya. Akhirnya, Kenneth menghukum Scott membayar
denda AS$100 dan bahkan langsung ditahan. Beruntung, Scott hanya mendekam di
sel tahanan selama empat jam setelah Pengadilan Ottawa County membatalkan
putusan yang dibuat Kenneth.
Tindakan
Kenneth terhadap Scott berujung pada proses disiplin oleh Judicial
Tenure Commission (Komisi) di Michigan. Komisi memutuskan Kenneth
bersalah. Menurut Komisi, Kenneth tidak menyadari bahwa sistem peradilan ada
untuk kepentingan publik dan pihak berperkara, bukan untuk hakim. Sikap Kenneth
terhadap Scott juga dinilai kontroversial oleh Komisi.
Kenneth
pasrah menerima putusan Komisi. Dia menyatakan tidak akan melakukan upaya
hukum. Meski legowo dihukum, Kenneth melalui pengacaranya,
Doug Van Essen tetap mencoba membela diri.
Menurut Doug, sebenarnya terjadi
kesalahpahaman antara Kenneth dan Scott. Ketika bertanya tentang kapan terakhir
kliennya Scott menggunakan obat terlarang, Kenneth tengah mempertimbangkan
pengaturan jadwal kapan tes narkoba akan dilakukan.
Apapun pembelaan yang dikemukakan,
Mahkamah Agung Michigan telah menjatuhkan putusan. Kenneth pun sudah mengakui
kesalahannya. Kini, tinggal diambil hikmahnya saja. Hikmah yang paling
sederhana adalah "hati-hatilah dalam bertindak".
Sumber:
www.abajournal.com
www.abajournal.com
No comments:
Post a Comment