PIAGAM MADINAH BAGIAN DARI TAQNIN
Secara terminologis, taqnin al-ahkam berarti mengumpulkan
hukum-hukum dan kaidah-kaidah penetapan hukum (tasyri’) yang berkaitan dengan
masalah hubungan sosial, menyusunnya secara sistematis, serta mengungkapkannya
dengan kalimat-kalimat yang tegas, ringkas, dan jelas dalam bentuk bab, pasal,
dan atau ayat yang memiliki nomor secara berurutan, kemudian menetapkannya
sebagai undang-undang atau peraturan, lantas disahkan oleh pemerintah, sehingga
wajib para penegak hukum menerapkannya di tengah masyarakat.[4]
Dalam makna yang sempit pemakaian istilah qanun dalam
Islam adalah untuk menerangkan hukum non-agama atau hukum buatan manusia, di
mana hukum-hukum yang dihasilkan adalah hasil ijtihad seseorang atau sekelompok
ulama dalam suatu masalah. Ini berbeda dengan definisi canon yang dalam agama
Kristen menerangkan hukum agama atau hukum Gereja. Menurut Atjep Djazuli taqnin
adalah kewenangan pembentukan hukum yang diserahkan kepada Negara, khususnya
lembaga legislative. Dengan demikian taqnin identik dengan legislasi di mana
leislasi menurut Jazuni adalah proses pembentukan hukum tertulis yang dilakukan
oleh Negara.[5]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa taqnin
adalah proses legalisasi fiqh (hukum) Islam ke dalam sebuah perundang-undangan
yang berlaku di suatu Negara khususnya Negara dengan system hukum sipil (civil
law).
Sejarah Awal Taqnin al-Ahkam
Taqnin
al-Ahkam pada dasarnya bukanlah sesuatu yang baru dalam dunia Islam, jika kita
runut jauh ke masa Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam maka akan kita dapati
bagaimana sebuah “undang-undang” juga telah diberlakukan pada masa beliau.
Sebagaimana diketahui bahwa Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam telah
menetapkan Piagam Madinah yang mengatur kehidupan masyarakat, baik antara
sesama muslim maupun dengan non muslim. Piagam Madinah tersebut merupakan salah
satu bentuk taqnin yang pernah dilakukan oleh pemerintahan Rasulullah
Shalallahu Alaihi Wasalam saat itu. Namun meski ada upaya taqnin tersebut,
Rasulullah juga masih membuka peluang perbedaan pendapat di kalangan para
sahabatnya. Sikap akomodatif Rasulullah terhadap perbedaan pendapat bisa banyak
ditemukan dalam sejarah hukum Islam.
Dalam
perjalanan sejarah hukum Islam selanjutnya, upaya menyatukan masyarakat dalam
satu pandangan atas suatu putusan hukum juga dipelopori oleh Abdullah bin
al-Muqaffa. Ironisnya, Ibnu al-Muqaffa kemudian dihukum mati oleh penguasa saat
itu dengan tuduhan sebagai seorang zindiq.[6] Saat itu, ia menyarankan kepada
Abu Ja’far al-Manshur untuk menetapkan taqnin dalam sebuah surat yang ia
namakan Risalah ash-Shahabah. Ia mengusulkan kepada sang khalifah untuk
mengumpulkan hukum-hukum fikih dan mewajibkan para hakim menggunakannya dalam
memutuskan perkara. Abu Ja’far Al-Mansur dalam suratnya menyarankan agar
undang-undang civil segera di ambil dari Al-Qur’an dan Sunnah. Dan ketika tidak
ada nash maka cukup dengan ijtihad sendiri sesuai dengan kemaslahatan umat.
Ketika beliau melihat banyak terjadi perbedaan pendapat dalam satu masalah, ia
berkata,”Di antara perkara yang harus diperhatikan oleh Amirul Mukminin dari
urusan dua orang Mesir dan yang lainnya dari setiap kota dan pelosok wilayah
adalah terjadinya perselisihan pendapat yang sudah memuncak, jika saja Amirul
Mukminin dapat memerintahkan agar semua perbedaan ini bisa dihilangkan,
memberikan apa yang menjadi hajat setiap kaum dari sunnah dan qiyas dengan cara
menulis sebuah kompilasi undang-undang. Hal tersebut bertujuan menyatukan semua
pendapat yang bisa saja salah atau benar dengan satu pendapat yang pasti
benar.”
Usul
Ibnu al-Muqaffa kemudian betul-betul ditindaklanjuti oleh al-Manshur. Saat itu,
sang khalifah bertemu dengan Imam Malik, salah seorang tokoh ulama besar saat
itu. Sang ulama diminta oleh al-Manshur diminta untuk menyusun kompilasi hukum
Islam. Namun, Imam Malik menolak permintaan itu dan berkata, “Masyarakat sudah
terbiasa dengan berbagai macam pendapat. Mereka mendengar banyak hadis dan
meriwayatkan banyak riwayat. Mereka mengambil pendapat yang diarahkan kepada
mereka dan mengamalkannya meskipun mereka juga terbiasa dengan perbedaan
pendapat di tengah para sahabat Rasulullah. Melarang mereka untuk meyakini apa
yang mereka yakini adalah sesuatu yang berbahaya. Biarkan saja masyarakat apa
adanya. Biarkan setiap anggota masyarakat memilih pandangan yang sesuai dengan
kondisi mereka.”[7]
Di dua abad terakhir ini, di kalangan dunia Islam,
memang sudah ada upaya untuk melakukan taqnin al-ahkam. Salah satunya adalah
al-Fatawa al-Hindiyahyang disusun oleh para ulama India. Dalam karya itu,
disusun oleh undang-undang yang berkaitan tentang ibadah, sanksi (uqubah), dan
mu’amalah. Selain al-Fatawa al-Hindiyah,
ada juga al-Ahkam al-Adliyyah yang mengandung sejumlah hukum tentang jual beli,
dakwaan, dan vonis. Kompilasi ini disahkan pada tahun 1869 oleh Kekhalifahan
Utsmani dan memuat 1.851 masalah yang umumnya berdasarkan pada mazhab Hanafi.
Kompilasi ini diberlakukan di kebanyakan negara-negara Arab hingga pada
pertengahan abad 10. Hanya saja kompilasi ini kemudian tidak lagi mencukupi
segala persoalan-persoalan baru yang timbul di masyarakat. Pada perkembangan
berikutnya, kompilasi ini kemudian diperbaharui dan dimasukkan
pengaruh-pengaruh dari undang-undang sipil
PIAGAM MADINAH PIAGAM JAKARTA BERLAKU UNTUK NON-MUSLIM JUGA
Mari kita merenung sejenak, pelajari berbagai teknologi dan pelajari
istilah-istilah hukum, misalnya istilah Taqnin : Definisi dan Sejarah
Secara
etimologis, kata taqnin (تقنين) merupakan bentuk masdar dari qannana (قَنَّنَ),
yang berarti membentuk undang-undang. Ibnu Mandzur menyatakan bahwa kata taqnin
bukan berasal dari bahasa Arab, kata ini merupakan serapan dari bahasa Romawi
yaitu kata conan, namun ada juga yang berpendapat berasal dari Bahasa
Persia.[1] Seakar dengan taqnin adalah kata qanun (قََانُوْن) yang berarti
ukuran segala sesuatu, dan juga berarti jalan atau cara (thariqah). Dalam
Kamus Munawwir dicatat bahwa kata qanun berasal dari bahasa Arab dengan asal
kata qaanuun atau qānūn yang artinya kompilasi, himpunan peraturan atau
Undang-undang, atau norma-norma yang telah mapan.[3] Menurut Sayyed Hossein
Nasr, qanun berasal dari bahasa Yunani canon, yang juga merupakan asal dari
kata canonical dalam hukum Barat.
Secara terminologis, taqnin al-ahkam berarti mengumpulkan
hukum-hukum dan kaidah-kaidah penetapan hukum (tasyri’) yang berkaitan dengan
masalah hubungan sosial, menyusunnya secara sistematis, serta mengungkapkannya
dengan kalimat-kalimat yang tegas, ringkas, dan jelas dalam bentuk bab, pasal,
dan atau ayat yang memiliki nomor secara berurutan, kemudian menetapkannya
sebagai undang-undang atau peraturan, lantas disahkan oleh pemerintah, sehingga
wajib para penegak hukum menerapkannya di tengah masyarakat.[4]
Dalam makna yang sempit pemakaian istilah qanun dalam
Islam adalah untuk menerangkan hukum non-agama atau hukum buatan manusia, di
mana hukum-hukum yang dihasilkan adalah hasil ijtihad seseorang atau sekelompok
ulama dalam suatu masalah. Ini berbeda dengan definisi canon yang dalam agama
Kristen menerangkan hukum agama atau hukum Gereja. Menurut Atjep Djazuli taqnin
adalah kewenangan pembentukan hukum yang diserahkan kepada Negara, khususnya
lembaga legislative. Dengan demikian taqnin identik dengan legislasi di mana
leislasi menurut Jazuni adalah proses pembentukan hukum tertulis yang dilakukan
oleh Negara.[5]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa taqnin
adalah proses legalisasi fiqh (hukum) Islam ke dalam sebuah perundang-undangan
yang berlaku di suatu Negara khususnya Negara dengan system hukum sipil (civil
law).
Sejarah Awal Taqnin al-Ahkam
Taqnin
al-Ahkam pada dasarnya bukanlah sesuatu yang baru dalam dunia Islam, jika kita
runut jauh ke masa Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam maka akan kita dapati
bagaimana sebuah “undang-undang” juga telah diberlakukan pada masa beliau.
Sebagaimana diketahui bahwa Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam telah
menetapkan Piagam Madinah yang mengatur kehidupan masyarakat, baik antara
sesama muslim maupun dengan non muslim. Piagam Madinah tersebut merupakan salah
satu bentuk taqnin yang pernah dilakukan oleh pemerintahan Rasulullah
Shalallahu Alaihi Wasalam saat itu. Namun meski ada upaya taqnin tersebut,
Rasulullah juga masih membuka peluang perbedaan pendapat di kalangan para
sahabatnya. Sikap akomodatif Rasulullah terhadap perbedaan pendapat bisa banyak
ditemukan dalam sejarah hukum Islam.
Dalam
perjalanan sejarah hukum Islam selanjutnya, upaya menyatukan masyarakat dalam
satu pandangan atas suatu putusan hukum juga dipelopori oleh Abdullah bin
al-Muqaffa. Ironisnya, Ibnu al-Muqaffa kemudian dihukum mati oleh penguasa saat
itu dengan tuduhan sebagai seorang zindiq.[6] Saat itu, ia menyarankan kepada
Abu Ja’far al-Manshur untuk menetapkan taqnin dalam sebuah surat yang ia
namakan Risalah ash-Shahabah. Ia mengusulkan kepada sang khalifah untuk
mengumpulkan hukum-hukum fikih dan mewajibkan para hakim menggunakannya dalam
memutuskan perkara. Abu Ja’far Al-Mansur dalam suratnya menyarankan agar
undang-undang civil segera di ambil dari Al-Qur’an dan Sunnah. Dan ketika tidak
ada nash maka cukup dengan ijtihad sendiri sesuai dengan kemaslahatan umat.
Ketika beliau melihat banyak terjadi perbedaan pendapat dalam satu masalah, ia
berkata,”Di antara perkara yang harus diperhatikan oleh Amirul Mukminin dari
urusan dua orang Mesir dan yang lainnya dari setiap kota dan pelosok wilayah
adalah terjadinya perselisihan pendapat yang sudah memuncak, jika saja Amirul
Mukminin dapat memerintahkan agar semua perbedaan ini bisa dihilangkan,
memberikan apa yang menjadi hajat setiap kaum dari sunnah dan qiyas dengan cara
menulis sebuah kompilasi undang-undang. Hal tersebut bertujuan menyatukan semua
pendapat yang bisa saja salah atau benar dengan satu pendapat yang pasti
benar.”
Usul
Ibnu al-Muqaffa kemudian betul-betul ditindaklanjuti oleh al-Manshur. Saat itu,
sang khalifah bertemu dengan Imam Malik, salah seorang tokoh ulama besar saat
itu. Sang ulama diminta oleh al-Manshur diminta untuk menyusun kompilasi hukum
Islam. Namun, Imam Malik menolak permintaan itu dan berkata, “Masyarakat sudah
terbiasa dengan berbagai macam pendapat. Mereka mendengar banyak hadis dan
meriwayatkan banyak riwayat. Mereka mengambil pendapat yang diarahkan kepada
mereka dan mengamalkannya meskipun mereka juga terbiasa dengan perbedaan
pendapat di tengah para sahabat Rasulullah. Melarang mereka untuk meyakini apa
yang mereka yakini adalah sesuatu yang berbahaya. Biarkan saja masyarakat apa
adanya. Biarkan setiap anggota masyarakat memilih pandangan yang sesuai dengan
kondisi mereka.”[7]
Di dua abad terakhir ini, di kalangan dunia Islam,
memang sudah ada upaya untuk melakukan taqnin al-ahkam. Salah satunya adalah
al-Fatawa al-Hindiyahyang disusun oleh para ulama India. Dalam karya itu,
disusun oleh undang-undang yang berkaitan tentang ibadah, sanksi (uqubah), dan
mu’amalah. Selain al-Fatawa al-Hindiyah,
ada juga al-Ahkam al-Adliyyah yang mengandung sejumlah hukum tentang jual beli,
dakwaan, dan vonis. Kompilasi ini disahkan pada tahun 1869 oleh Kekhalifahan
Utsmani dan memuat 1.851 masalah yang umumnya berdasarkan pada mazhab Hanafi.
Kompilasi ini diberlakukan di kebanyakan negara-negara Arab hingga pada
pertengahan abad 10. Hanya saja kompilasi ini kemudian tidak lagi mencukupi
segala persoalan-persoalan baru yang timbul di masyarakat. Pada perkembangan
berikutnya, kompilasi ini kemudian diperbaharui dan dimasukkan
pengaruh-pengaruh dari undang-undang sipil.[8]
Di Arab Saudi saat diperintah oleh Raja Abdul Aziz,
Ahmad bin Abdullah al-Qari, ketua Mahkamah Tinggi Syari’ah di Mekkah, juga
menyusun suatu kompilasi hukum Islam berdasarkan mazhab Ahmad bin Hanbal.
Al-Qari meringkas pandangan-pandangan hukum Imam Ahmad yang bersumber dari
berbagai karya utamanya. Kompilasi ini mengandung 2.382 masalah dan diterbitkan
dengan judul Majallah al-Ahkam al-Adliyyah. Sayang, para ulama saat itu
ramai-ramai menolak kompilasi tersebut.[9]
Kaum kafir telah menemukan berbagai Ilmu
Pengetahuan, hampir semua hasil temuan teknologi yg kita gunakan setiap hari
hasil temuan kaum kafir, bahkan yang melekat dalah tubuh kita seperti HP,
Pakaian, Jam, dls adalah hasil produksi orang kafir. Obat obatan yang kita
makan hasil riset orang orang kafir, tapi kita membenci orang orang kafir, HAI
SAUDARAKU JADI DIMANAKAH POSISI KITA SAAT INI, Mengapa kita tidak di berikan
hidayah ?, Kalau Anak anak kita bertanya kepada kita, ttg orang orang kafir apa
kah jawaban kita, Buktinya yang mereka lihat dan rasakan, kaum kafir itu telah
banyak membawa kebajikan kepada umat manusia melalui temuan mereka diberbagai
bidang kehidupan.
Mari kita merenung sejenak, pelajari berbagai teknologi dan pelajari
istilah-istilah hukum, misalnya istilah Taqnin : Definisi dan Sejarah
Secara
etimologis, kata taqnin (تقنين) merupakan bentuk masdar dari qannana (قَنَّنَ),
yang berarti membentuk undang-undang. Ibnu Mandzur menyatakan bahwa kata taqnin
bukan berasal dari bahasa Arab, kata ini merupakan serapan dari bahasa Romawi
yaitu kata conan, namun ada juga yang berpendapat berasal dari Bahasa
Persia.[1] Seakar dengan taqnin adalah kata qanun (قََانُوْن) yang berarti
ukuran segala sesuatu, dan juga berarti jalan atau cara (thariqah).[2] Dalam
Kamus Munawwir dicatat bahwa kata qanun berasal dari bahasa Arab dengan asal
kata qaanuun atau qānūn yang artinya kompilasi, himpunan peraturan atau
Undang-undang, atau norma-norma yang telah mapan.[3] Menurut Sayyed Hossein
Nasr, qanun berasal dari bahasa Yunani canon, yang juga merupakan asal dari
kata canonical dalam hukum Barat.
Secara terminologis, taqnin al-ahkam berarti mengumpulkan
hukum-hukum dan kaidah-kaidah penetapan hukum (tasyri’) yang berkaitan dengan
masalah hubungan sosial, menyusunnya secara sistematis, serta Jika mengungkapkannya, taqnin dengan kalimat-kalimat yang tegas, ringkas, dan jelas dalam bentuk bab, pasal,
dan atau ayat yang memiliki nomor secara berurutan, kemudian menetapkannya
sebagai undang-undang atau peraturan, lantas disahkan oleh pemerintah, sehingga
wajib para penegak hukum menerapkannya di tengah masyarakat.
Dalam makna yang sempit pemakaian istilah qanun dalam
Islam adalah untuk menerangkan hukum non-agama atau hukum buatan manusia, di
mana hukum-hukum yang dihasilkan adalah hasil ijtihad seseorang atau sekelompok
ulama dalam suatu masalah. Ini berbeda dengan definisi canon yang dalam agama
Kristen menerangkan hukum agama atau hukum Gereja. Menurut Atjep Djazuli taqnin
adalah kewenangan pembentukan hukum yang diserahkan kepada Negara, khususnya
lembaga legislative. Dengan demikian taqnin identik dengan legislasi di mana
leislasi menurut Jazuni adalah proses pembentukan hukum tertulis yang dilakukan
oleh Negara.[5]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa taqnin
adalah proses legalisasi fiqh (hukum) Islam ke dalam sebuah perundang-undangan
yang berlaku di suatu Negara khususnya Negara dengan system hukum sipil (civil
law).
Sejarah Awal Taqnin al-Ahkam
Taqnin
al-Ahkam pada dasarnya bukanlah sesuatu yang baru dalam dunia Islam, jika kita
runut jauh ke masa Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam maka akan kita dapati
bagaimana sebuah “undang-undang” juga telah diberlakukan pada masa beliau.
Sebagaimana diketahui bahwa Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam telah
menetapkan Piagam Madinah yang mengatur kehidupan masyarakat, baik antara
sesama muslim maupun dengan non muslim. Piagam Madinah tersebut merupakan salah
satu bentuk taqnin yang pernah dilakukan oleh pemerintahan Rasulullah
Shalallahu Alaihi Wasalam saat itu. Namun meski ada upaya taqnin tersebut,
Rasulullah juga masih membuka peluang perbedaan pendapat di kalangan para
sahabatnya. Sikap akomodatif Rasulullah terhadap perbedaan pendapat bisa banyak
ditemukan dalam sejarah hukum Islam.
Dalam
perjalanan sejarah hukum Islam selanjutnya, upaya menyatukan masyarakat dalam
satu pandangan atas suatu putusan hukum juga dipelopori oleh Abdullah bin
al-Muqaffa. Ironisnya, Ibnu al-Muqaffa kemudian dihukum mati oleh penguasa saat
itu dengan tuduhan sebagai seorang zindiq.[6] Saat itu, ia menyarankan kepada
Abu Ja’far al-Manshur untuk menetapkan taqnin dalam sebuah surat yang ia
namakan Risalah ash-Shahabah. Ia mengusulkan kepada sang khalifah untuk
mengumpulkan hukum-hukum fikih dan mewajibkan para hakim menggunakannya dalam
memutuskan perkara. Abu Ja’far Al-Mansur dalam suratnya menyarankan agar
undang-undang civil segera di ambil dari Al-Qur’an dan Sunnah. Dan ketika tidak
ada nash maka cukup dengan ijtihad sendiri sesuai dengan kemaslahatan umat.
Ketika beliau melihat banyak terjadi perbedaan pendapat dalam satu masalah, ia
berkata,”Di antara perkara yang harus diperhatikan oleh Amirul Mukminin dari
urusan dua orang Mesir dan yang lainnya dari setiap kota dan pelosok wilayah
adalah terjadinya perselisihan pendapat yang sudah memuncak, jika saja Amirul
Mukminin dapat memerintahkan agar semua perbedaan ini bisa dihilangkan,
memberikan apa yang menjadi hajat setiap kaum dari sunnah dan qiyas dengan cara
menulis sebuah kompilasi undang-undang. Hal tersebut bertujuan menyatukan semua
pendapat yang bisa saja salah atau benar dengan satu pendapat yang pasti
benar.”
Usul
Ibnu al-Muqaffa kemudian betul-betul ditindaklanjuti oleh al-Manshur. Saat itu,
sang khalifah bertemu dengan Imam Malik, salah seorang tokoh ulama besar saat
itu. Sang ulama diminta oleh al-Manshur diminta untuk menyusun kompilasi hukum
Islam. Namun, Imam Malik menolak permintaan itu dan berkata, “Masyarakat sudah
terbiasa dengan berbagai macam pendapat. Mereka mendengar banyak hadis dan
meriwayatkan banyak riwayat. Mereka mengambil pendapat yang diarahkan kepada
mereka dan mengamalkannya meskipun mereka juga terbiasa dengan perbedaan
pendapat di tengah para sahabat Rasulullah. Melarang mereka untuk meyakini apa
yang mereka yakini adalah sesuatu yang berbahaya. Biarkan saja masyarakat apa
adanya. Biarkan setiap anggota masyarakat memilih pandangan yang sesuai dengan
kondisi mereka.”[7]
Di dua abad terakhir ini, di kalangan dunia Islam,
memang sudah ada upaya untuk melakukan taqnin al-ahkam. Salah satunya adalah
al-Fatawa al-Hindiyahyang disusun oleh para ulama India. Dalam karya itu,
disusun oleh undang-undang yang berkaitan tentang ibadah, sanksi (uqubah), dan
mu’amalah. Selain al-Fatawa al-Hindiyah,
ada juga al-Ahkam al-Adliyyah yang mengandung sejumlah hukum tentang jual beli,
dakwaan, dan vonis. Kompilasi ini disahkan pada tahun 1869 oleh Kekhalifahan
Utsmani dan memuat 1.851 masalah yang umumnya berdasarkan pada mazhab Hanafi.
Kompilasi ini diberlakukan di kebanyakan negara-negara Arab hingga pada
pertengahan abad 10. Hanya saja kompilasi ini kemudian tidak lagi mencukupi
segala persoalan-persoalan baru yang timbul di masyarakat. Pada perkembangan
berikutnya, kompilasi ini kemudian diperbaharui dan dimasukkan
pengaruh-pengaruh dari undang-undang sipil.[8]
Di Arab Saudi saat diperintah oleh Raja Abdul Aziz,
Ahmad bin Abdullah al-Qari, ketua Mahkamah Tinggi Syari’ah di Mekkah, juga
menyusun suatu kompilasi hukum Islam berdasarkan mazhab Ahmad bin Hanbal.
Al-Qari meringkas pandangan-pandangan hukum Imam Ahmad yang bersumber dari
berbagai karya utamanya. Kompilasi ini mengandung 2.382 masalah dan diterbitkan
dengan judul Majallah al-Ahkam al-Adliyyah. Sayang, para ulama saat itu
ramai-ramai menolak kompilasi tersebut.[9]
[1] Ibnu Mandzur, Lisaan Al-Arab, Dar Al-Fikr :
Beirut, tahun 1997, jilid XIII hal. 351
[2] Al-Mu’jam al-Wasith, juz 2, hal. 763.
[3] Ahmad Warson Munawwir, Kamus Munawwir, Yayasan
Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Tahun 1984, hal. 1252
[4] Mushtafa az-Zarqa, al-Madkhal al-Fiqh al-Am, juz
1, hal. 313.
[5] Jazuli, Ha, Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Islam, Kiblat Press : Bandung, tahun 2002, hal. xxi
[6] Al-Bidayah wa an-Nihayah, juz 13, hal. 384.
[7] Siyar A’lam an-Nubala, juz 8, hal. 78.
[8] Manna’ al-Qaththan, at-Tasyri’ wa al-Fiqh fi
al-Islam, hal. 404.
[9] Kitab at-Taqnin baina at-Tahlil wa at-Tahrim,
hal. 15.
No comments:
Post a Comment