MAQOSHID AL-SYARI'AH
POLWAN BERJILBAB
PENDAHULUAN
Pada
tahun
1991 penulis adalah seorang guru agama, mengajar di SMA Negeri 4 Pekanbaru Riau Indonesia. Seluruh guru
marah kepada penulis dulunya. Mereka malu masuk ke kelas, sedangkan para siswi
berjilbab semua. Drs.Umar Ahmad, sebagai Kepsek, menegur penulis, ditambah pula
Drs.Idris Shamad pengawas Kanwil Depag Riau di Pekanbaru menyatakan “Jangan paksa murid, negara kita bukan
negara Islam”, padahal penulis tidak pernah memaksa, hanya membawa mereka
merenung, menginsyafi diri, menutup aurat yang lahir dari lubuk hati yang
paling dalam. Di koran Riau Pos, muncul berita tentang Kepsek SMA.4 melarang
guru mengenalkan jilbab kepada muridnya.
Berjejeran para guru yang seide dengan
Kepsek. Ada St. Rusmi Sitompul, Ada Buk Mayyar. Yang paling keras menantang
adalah Dra. Ratni Masfar, tapi akhirnya mereka memakai jilbab juga, karena
lingkungannya sudah berubah. Sejak saat itu, hubungan penulis dengan semua guru
makin baik. Sayangnya, ketika kemesraan dan kerasian sedang terbentuk,penulis
pndah ke SMA lain, karena permohonan penulis sendiri, ingin mengajar ke tempat
yang agak dekat ke rumah baru penulis. Kini murid penulis sudah ratusan menjadi
Polwan, dan mereka cenderung memakai jilbab dalam bertugas, tapi belum
terealisasi.Ayat yang selalu diperkenalkan, ialah QS Al-Ahzab: 59 dan Injil I Korintus 11: 5 – 6. (Pekanbaru-Riau 2013.
Sekilas tentang Maqashid
Syari’ah Tentang Jilbab
Sebelum
membicarakan tentang Tsawabit dan Mutaghyyirat, ada baiknya kita mengenal dulu
tujuan pensyariatan dalam islam, yang disebut dengan Maqashid Syariah. Karena
Tsawabit dan mutaghayyirat tidak bisa dipisahkan dari tujuan dari penyariatan
dalam islam.
1. Definisi
Kita tidak ingin
memaparkan segudang pendapat ulama dalam mendefenisikan maqashid syariah.
Ringkasnya mafhum maqashid syariah adalah tujuan, illat (sebab) dan hikmah yang
terdapat dalam hokum-hukum syariat yang berhubungan dengan aqidah, ibadah,
muamalah, akhlak dan adab. Namun ulama kerap membahas maqashid syariah ini
terkhusus dalam masalah fiqih
2. Pokok-pokok Maqashid
Syari’ah pada pemakaian jilbab
Ulama ushul fiqih,
dahulunya membagi maqashid syariah ini menjadi beberapa tujuan umum yang
disebut dengan kulliyatul khamsah, yaitu hifzhu ad-din (menjaga agama),
hifzhu an-nafs (menjaga jiwa/nyawa), hifzhu an-nasl (menjaga
keturunan), hifzhu al-’aql (menjaga akal), hifzhu al-mal (menjaga harta).
Namun Imam al-Qurafy menjadikannya enam dengan menambahkan hifzhu al-’ardh (menjaga
kehormatan).
Semua kulliyah
ini disebut dengan hal dharuriyat, yang menjadi prioritas dalam syariat. Adapun
selain hal itu, mereka memasukkanya ke dalam Hajiyat dan Tahsiniyat.
Ulama kontemporer seperti
Syaikh Yusuf Qaradhawi menambahkan lebih dari itu. Beliau melihat bahwa juhud
ulama terdahulu hanya mengkaji maqashid yang berhubungan dengan pribadi atau
individu mukallaf. Adapun yang bersifat sosial kemasyarakatan dan kenegaraan
tidak terlalu diperhatikan.
Berdasarkan kajiannya
dalam ilmu ini, maka ia menambahkan beberapa hal ke dalam hal dharuriyat,
seperti hal-hal yang berkaitan dengan nilai-nilai sosial kemasyarakatan seperti
kebebasan, persamaan, persaudaraan, solidaritas dan hak asasi manusia.
Diantaranya, yang
berkaitan dengan pembentukan atau pembangunan masyarakat, umat dan Negara dan
lainnya. Semua itu terlihat jelas dalam setiap buku karangannya.
3. Corak Madrasah Maqasid Syari’ah
Dalam kajian maqashid
syariah ini, ada beberapa corak metode madrasah dalam memahami nash-nash
syar’iy dan hubungan antara tujuan (maqashid) yang umum dengan nash-nash yang
partikel, dimana nantinya akan mempengaruhi pola implementasi tsawabit dan
mutaghayyirat yang terlihat dari buku karangan dan fatwa serta pandangan ulama
masing-masing madrasah.
a. Madrasah Neo Zhahiry.
Madrasah
ini sangat memperhatikan nash juz’iy (parsial) dan kemudian memahami nash
juz’iy tersebut secara harfiyah atau tekstual, tanpa memperhatikan tujuan
syariat yang terkandung di dalamnya. Mereka adalah pewaris zhahiriyah masa lalu
yang dahulunya mengingkari adanya ta’lil (penentuan sebab) sebuah hukum yang
juga mengingkari adanya qiyas. Dari zhahiriyah ini mereka mewarisi cara
memahami nash secara harfiyah yang kaku.
Meskipun
mereka ikhlas dan sangat mantap beribadah, namun tidak dipungkiri, dengan
kekakuan dan tekstualitas yang mereka anut, ternyata mereka sangat memberikan
mudharat kepada dakwah islam, yang mencoreng asas taisir (mudah) dan toleransi
dalam islam. Dan itu terlihat jelas dari sikap-sikap mereka dalam masalah
wanita muslimah dan keluarga, masalah wawasan, tarbiyah, ekonomi, politik serta
manajemen.
1) Karekteristik Keilmuan dan Pemikiran
Madrasah
ini memiliki karakteristik keilmuan dan pemikiran yang sangat berbeda dari
madrasah lainnya, dimana karakteristik ini sangat mempengaruhi orientasi fiqih
dan keilmuannya dalam menentukan pendapat. Diantara karakteristik tersebut
adalah:
a) Harfiyah (tekstual) dalam pemahaman dan penafsiran.
b) Cenderung mempersulit dan mempersusah.
c) Mengagung-agungkan pendapat mereka, terkadang sampai
batas ghurur.
d) Keras dalam mengingkari orang yang berbeda pandangan
dengan mereka.
e) Mencela pendapat orang yang berseberangan dengan
mereka dan kadang sampai mengkafirkan.
f) Tidak mempedulikan timbulnya fitnah di tengah umat.
2) Platform madrasah neo zhahiry
a) Mengambil nash secara zhahir tanpa memperhatikan
makna, ‘illat dan maqashid (tujuan) nash tersebut.
b) Mengingkari adanya ta’lil (penentuan sebab) hukum
dengan pendapat dan ijtihad. Mereka tidak mempercayai apa yang dihasilkan
dengan akal manusia dalam memahami nash dan yang berkenaan dengan maqashid dan
‘illatnya.
c) Mereka merasa ragu dengan ra’yun (ide, pendapat),
padahal mereka juga meyakininya. Bahkan terkadang mereka menuduh orang yang
menggunakan akal dalam memahami maqashid dan illat sebuath nash dengan sebutan
ahli bid’ah. Sehingga mereka mengharamkan akal dalam memahami hal ini.
d) Diantara manhaj mereka adalah tasyaddud (keras) dalam
beragama. Apabiila ada dua pilihan yang sama, yang pertama adalah hal yang
berkaitan dengan kehati-hatian dan kedua adalah perkara yang mudah, maka mereka
akan mengambil yang lebih hati-hati dari pada yang mudah.
3) Produk Fiqih yang dihasilkan
Diantara
produk-produk fiqih yang dihasilkan oleh madrasah ini adalah :
a) Tidak mengakui adanya harga pada uang kertas. Bahkan
mereka memandang uang kertas yang beredar di dunia islam adalah tidak syar’i.
b) Tidak mewajibkan zakat pada harta perdagangan.
c) Tidak membolehkan membayar zakat fitrah kecuali dengan
makanan pokok.
d) Mereka mengharamkan foto bergambar dan televisi,
padahal sering memakainya.
b. Madrasah Neo Mu’aththily.
Berbeda
dari madrasah yang pertama, madrasah ini malah melalaikan nash-nash juz’iy
(parsial) yang ada. Bahkan mereka sengaja menjauh dan berpaling dengan dakwaan
bahwa madrasah ini hanya memandang kemaslahatan yang umum dan maqashid
universal.
Mereka
adalah para pewaris ashabul ta’thil masa lalu yang menafikan atau menelantarkan
asma Allah dari makna yang sebenarnya. Mereka itulah orang-orang sekuler dan
kaum liberalis, yang sangat berani melakukan penyimpangan dan penyelewengan
nash-nash syariat yang ada di dalam al-Quran dan as-Sunnah. Lalu menolaknya
sebagai hukum syariat yang harus diikuti, dengan tanpa dasar dan dalil yang
jelas.
Anehnya
lagi, mereka menelantarkan nash-nash syariat dengan mengatas namakan menjaga
kemaslahatan makhluk, seolah-olah syariat Allah datang menghalangi kemaslahatan
makhluk-Nya.
Dengan
bersembunyi dibalik maqashid syariah, mereka sebenarnya berkeinginan menghapus
ilmu-ilmu islam dan ilmu ushul fiqih, sehingga cukup bagi mereka yang tersisa
maqashid saja.
Mereka
hanya mempertuhankan diri sekaligus memberikan diri tersebut hak tuhan dalam
membuat syariat bagi manusia dengan menghalalkan yang haram, dan mengharamkan
yang halal. Jelas keinginan mereka adalah agar manusia tunduk dan menjadikan
mereka sebagai tuhan selain Allah. Na’udzubillah min dzalik.
1) Karakteristik Madrasah Neo mu’athily.
Syaikh
Yusuf al-Qaradhawy menyebutkan beberapa karakteristik dari madrasah ini,
diantaranya:
a) Ketidak tahuan dengan syariat islam.
b) Berani bicara tanpa ilmu dan dalil.
c) Mengekor ke Negara barat.
2) Platform madrasah neo mu’atthily
a) Meninggikan logika akal dari pada logika wahyu.
b) Mereka mengaku-ngaku bahwa Umar bin Khatthab
menelantarkan wahyu atas nama kemaslahatan.
c) Mereka selalu bersandar kepada pendapat yang
dituduhkan kepada Najmuddin ath-thufy, dengan mengatakan bahwa apabila
bertentangan nash yang qath’Iyyu ats-Tsubut dan qath’iyyu ad-Dilalah dengan
kemaslahatan para hamba, maka didahulukan kemaslahatan.
d) Mereka sering megatakan “Dimana ada maslahat,
disanalah ada syariat Allah”, dengan menyandarkan ucapan ini kepada Ibnul
Qayyim, tanpa memperhatikan maksud yang diinginkan oleh Ibnul Qayyim.
3) Produk fiqih madrasah ini
Madrasah
ini banyak menghasilkan produk fiqih yang merugikan dan membuat resah umat
islam. Diantara produk fiqih mereka adalah :
a) Menjauh dari nash-nash yang qath’iy dan selalu
menggunakan nah-nash yang mutasyabihat (multi tafsir).
b) Menantang dan meninggalkan syariat islam atas nama
kemaslahatan.
c. Madrasah Wasathiyah.
Ini dia
madrasah wasathiyah untuk umat wasathiyah, yaitu umat islam. Madrasah ini
bermanhaj wasathiyah (pertengahan), diantara dua madrasah sebelumnya.
Pertengahan dengan tidak berlebihan dan tidak pula berkekurangan, tidak ekstrim
dan tidak pula lembek, meyakini keseimbangan dan kemoderatan.
Kewasathiyahan
madrasah ini terlihat jelas pada metode mereka yang menghubungkan antara
nash-nash juz’I (parsial) dengan maqashid umum (universal), dan memahami
hukum-hukum yang parsial selaras dengan hukum-hukum universal (umum), serta
tidak berlebihan dalam mengikuti nash-nash secara zhahir (tekstual).
1) Karakteristik madrasah wasathiyah.
Syaikh
Yusuf al-Qaradhawy juga menyebutkan beberapa karakteristik dari madrasah ini.
Yaitu:
a) Meyakini adanya hikmah Allah dalam syariat, dimana di
dalamnyaterkandung kemaslahatan bagi makhluk-Nya.
b) Mengaitkan antara sebagian nash dan hukum syariat
dengan sebagian nash dan hukum syariat lainnya.
c) Memandang dengan secara seimbang pada setiap perkara
agama dan dunia.
d) Menghubungkan nash-nash dengan realita kehidupan dan
realita kondisi masa kini.
e) Mengadopsi hal-hal yang praktis dan mengambil hal yang
mudah bagi manusia.
f) Terbuka bagi semua dunia dan siap berdialog serta
memiliki toleransi.
2) Platform madrasah wasathiyah
a) Mencari maqashid (tujuan) dari sebuah nash sebelum
mengeluarkan hukum.
b) Memahami nash berdasarkan sebab-sebabnya dan kondisi
yang ada, terkait nash tersebut.
c) Membedakan antara maqashid (tujuan) yang tetap dan
permanen dengan sarana-sarana yang mungkin menerima perubahan.
d) Penyesuaian antara tsawabit (yang prinsip, pokok,
permanen) dan Mutaghayyirat (yang berubah-ubah)
Para
ulama terdahulu sangat memperhatikan masalah maqashid syariah ini, baik dalam
karangan ataupun fatwa yang mereka keluarkan. Diantara mereka yang sangat
perhatian dengan ilmu ini adalah imam asy Syathibi, imam Ghazali, al-Amady,
ibnu Rusyd, Ibnu al-Araby al-Maliky, Fakhruddin ar-Razy, Izzuddin bin
Abdussalam, Najmuddin ath-Thufy, Ibnu taimiyah, ibnul Qayyim dan lainnya.
Diantara
ulama kontemporer yang sangat perhatian
dengan ilmu ini adalah Ibnu ’Asyur, Muhammad Rasyid Ridha, Mustafa Zarqa,
Mahmud Syalthuth, Yusuf al-Qaradhawy dan lainnya.
C. Tsawabit dan Mutaghayyirat dalam As-Sunnah
1. Tsawahit
a. Definisi
Tsawabit adalah hal-hal prinsip yang mesti ada dan tidak boleh
berubah atau berganti di sepanjang waktu dan di tempat manapun.Tsawabit ini
merupakan kaidah-kaidah yang mengatur berbagai individu yang menganut agama,
mazhab atau kelompok. Dia adalah frame (bingkai) yang mengendalikan perilaku
mereka. Dia juga timbangan akurat yang tidak pernah keliru, sehingga dengan
tsawabit ini mereka dibedakan dari
orang lain. Oleh karena itu, tsawabit bukanlah tempat untuk tawar-menawar.
Tsawabit (prinsip) suatu agama ataupun mazhab, adalah penjaga
keberlangsungan suatu agama atau mazhab tersebut
yang membedakan antara pengikutnya dengan pengikut lainnya. Ia adalah aturan
yang mengikat para pengikutnya. Posisinya seperti akidah dan pokok-pokok yang
tegas yang tidak menerima takwil,
penggantian, perubahan kapan dan di manapun serta oleh siapapun.
Tsawabit
meupakan poros atau kutub wahyu, dimana para mujtahid dan pembaharu
mengelilinginya dengan aneka gerakan dan perubahan, sementara poros itu tetap,
tidak bergerak.
Dan
tentunya tsawabit ini berdasarkan dalil-dalil yang qath’i (pasti), baik qath’iy
ats- tsubut maupun qath’iy ad- dilalah
b. Dimensi Tsawabit.
Tsawabit
ini memiliki berbagai dimensi, diantaranya :
1) Akidah dasar, seperti
iman kepada Allah, iman kepada malaikat, iman kepada kitab-kitab, iman kepada
para Rasul, iman kepada hari akhir, yang semua ini ditetapkan dengan al-Quran,
dan iman dengan qadar yang ditetapkan dengan as-Sunnah yang juga termasuk dalam
kandungan iman kepada Allah.
2) Rukun islam praktis,
seperti mengucapkan dua kalimat syahadat, mendirikan shalat, membayar zakat,
puasa di bulan Ramadhan, dan melaksanakan haji bagi yang mampu.
3) Pokok-pokok keuatamaan
akhlak, seperti keadilan, ihsan, bersedekah kepada kerabat, jujur, amanah,
iffah, penyayang, sabar, bersyukur dan rasa malu.
4) Pokok-pokok hal yang
diharamkan secara qath’i lagi jelas (Zhahir), seperti membunuh, berzina,
kelainan sex, minum khamar, berjudi, mencuri, marah, melakukan sihir, memakan
riba, memakan harta anak yatim, menuduh perempuan baik-baik barzina, melarikan
diri dari medang perang, berkesaksian palsu, durhaka kepada kedua orang tua,
ghibah (bergunjing), namimah (adu domba), berdusta, bermusuhan atau merusak
kehormatan orang lain, dll.
Begitu
juga dengan hal-hal yang diharamkan secara batin, seperti sombong, hasad
(dengki), riya, ‘ujub, cinta dunia, dll.
5) Pokok-pokok hokum syariat
yang qath’i yang berkaitan dengan makan, minum, perhiasan, jual beli, transaksi
keuangan, nikah, thalaq, wasiat dan warisan
6) ‘Uqubat (sanksi-sanksi)
syar’i, seperti hudud, qishash dan hal lainnya yang ditetapkan di dalam al-Quran.
Maka
semua yang disebutkan di atas tidak boleh diganggu gugat oleh para mujtahid dan
pembaharu dengan alasan apapun.
2. Mutaghayyirat
a. Definisi
Mutaghayyirat
adalah hal-hal yang mungkin mengalami pergantian, perubahan, takwil, dan
perkembangan. Dan perubahan di dalamnya tidak dianggap pelanggaran terhadap
hal-hal pokok dan asasi yang menjadi prinsip. Ia merupakan hal yang fleksibel.
Sebab, perubahan waktu dan tempat menuntut adanya fleksibilitas, adaptasi, dan
respon, dengan tetap menjaga tsawabit.
Allah
swt telah meninggalkan bagi Islam tsawabit yang menjamin keberlangsungan agama
ini dan mutaghayyirat yang menjamin validitas dan kesesuaian dengan segala
kondisi dan situasi.
Maka
tsawabit dan mutghayyirat adalah sebuah
keberlangsungan tanpa adanya kekakuan, adaptasi tanpa ada penyelewengan,
pembaharuan tanpa ada peyimpangan, perkembangan tanpa ada penelantaran
seseuatu, sebuah orijinalitas tanpa berkekurangan, keduanya merupakan dua
bagian mata uang yang tidak bisa dipisahkan.
Di
dalam islam, banyak terdapat tsawabit dan mutaghayyirat di berbagai bidang. Dan
adanya tsawabit ini mengikat setiap muslim untuk melakukannya.
3. Membedakan antara maqashid yang permanen dengan sarana
yang fleksibel dan berubah-ubah.
a. Menetapkan tujuan syara’ tanpa menentukan sarana.
Kalau
kita perhatikan hukum-hukum syariat, baik perintah dan larangan, kita
mendapatkan bahwasanya Allah menetapkan tujuan dari apa yang Dia perintahkan
kepada mukallaf. Namun Allah tidak menyebutkan sarana untuk mencapai tujuan
syariat tersebut, karena pencapaian dari tujuan syariat tersebut sangat mungkin
menerima perubahan dan perbedaan sesuai situasi, kondisi, ‘uruf, kondisi sosial
masyarakat, ekonomi, politik dan lainnya. Sehingga Allah tidak menentukan
sarana itu ketika Rasulullah masih hidup. Maka sebagian orang terpaku dengan
syariat yang ditetapkan dan kaku dalam pelaksanaannya.
Kita
melihat al-Quran menetapkan adanya syura, Allah berfirman “..Dan urusan mereka
dengan melaksankan syura diantara mereka…” [Asy-Syura: 38], “…Dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu…” [Ali Imran: 159].
Allah
tidak menjelaskan bagaimana cara musyawarah, siapa saja pesertanya, atau
bagaimana cara memilih para ahlul halli wal ‘aqd, dan bagaimana cara memilih
khalifah serta cara membai’atnya, dll. Karena Allah memberikan keleluasaan bagi
manusia untuk melaksanan syura tersebut sesuai dengan situasi den kondisi di
sepanjang waktu dan dimanapun.
b. Menentukan sarana sesuai dengan waktu dan tempat,
situasi dan kondisi.
Allah
terkadang menentukan sarana dalam melaksanakan sebuah syariat, tetapi sarana
itu ditetapkan di zaman Rasululah, karena terkait kondisi yang berbahaya ketika
itu. Tapi sebagian orang menjadikannya sebagai sebuah tujuan syariat.
c. Membedakan antara maqashid dan sarana.
1) Penyebutan atau penentuan sebagian sarana dalam
melaksanakan syariat oleh Allah, terkadang membuat campur baur antara maqashid
syariat dengan sarana tersebut, padahal sarana itu fleksibel dan bisa berubah
sesuai situasi dan kondisi yang ada. Hal tersebut kelihatan pada beberapa hal berikut;
a) Kuda sebagai sarana jihad.
Allah
berfirman “Dan siapkanlah olehmu untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang
kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan
persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu…”. [Al-Anfal: 60]
Allah
meyebutkan kuda sebagai sarana perang ketika itu karena kuda adalah sarana
perang yang pas dengan zaman Rasulullah. Untuk zaman sekarang kaum muslimin
bisa menciptakan apa saja sarana untuk berperang, sesuai dengan inovasi dan tuntutan
zaman mereka. Oleh karena itu, semua orang sangat mengerti, bahwa maksud kuda
di zaman sekarang adalah tank baja seperti mikafa, apache, rudal dan lainnya.
b) Jilbab sebagai sarana menutup aurat bagi wanita
muslimah.
Allah
berfirman, “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu
dan isteri-isteri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke
seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.” [Al-Ahzab: 59.]
Yang
dituntut dalam syariat terhadap wanita muslimah adalah menutup aurat, dan di
sini Allah menyebutkan diantara sarana tersebut, yaitu jilbab. Dan jilbab
bukanlah sebuah tujuah dari syariat, tetapi hanya sekedar sarana, dan bisa
disesuaikan dengan kondisi meslimah setempat, selama memenuhi kriteria pemakaian jilbab yang dianjurkan dalam islam. Namun
sebagian orang malah bersikeras harus memakai jilbab dan menganggapnya sebagai
ibadah yang tidak bisa dilaksanakan dengan sarana lainnya.
c) Siwak sebagai sarana membersihkan gigi.
Rasulullah
Saw bersabda “Siwak itu membersihkan mulut dan diridhai oleh Allah”. [HR.
An-Nasa’I, Ad-Darimi, Ibnu Khuzaimah, ibnu Hibban dari Aisyah]
Yang
menjadi maqashid syariat dalam hadits ini adalah membersihan mulut. Rasulullah
meyebutkan siwak sebagai sarana membersihkan gigi, karena itulah diantara
sarana yang mudah dan praktis bagi mereka ketika itu. Maka tidak mengapa
membersihkan gigi dengan sarana lain seperti rumput khusus pembersih gigi yang
dipakai oleh orang Indonesia tempo dulu. Di zaman modern, manusia dimudahkan
dengan sarana pembersih gigi yang diciptakan di negeri masing-masing. Ini
adalah kemudahan dan keleluasaan dalam islam. Yang terpenting jangan sampai tidak
membersihkan gigi.
d) Ru’yah sebagai sarana menetapkan awal bulan.
“Ummatuna
wahidah, hilaluna wahid”, demikian slogan yang sering disebutkan oleh Ahmad
asy-Syukairi dalam acara khawatir di MBC. “Umat kita adalah satu, hilal (bulan
sabit) kita satu”
Umat
yang satu ini terpecah dan berbeda pendapat setiap kali datang kepada mereka
bulan Ramadhan dan hari raya idul fitri dan idul adha. Padahal anak bulan yang
dilihat adalah satu.
Perbedaan
ini sangat dilatar belakangi oleh pemahaman dalam memahami hadits yang
menyebutkan sarana melihat bulan sabit, dimana sebagian muslim menganggap
melihat bulan sabit dengan sarana “mata telanjang” adalah sebuah kewajiban,
bukan sarana. Padahal maqashid syariatnya adalah agar umat ini berpuasa pada
hari yang tepat, tidak pada hari syak, karena puasa pada hari itu adalah haram,
dan tidak pula pada puasa hari raya, karena puasa pada hari raya hukumnya haram
sebagaimana di dalam riwayat. Inilah dia maqashid syariah yang dituntut
pelaksanaannya dari setiap muslim.
Tetapi
realita membuka mata kita, dimana ada sebagian muslimin berpuasa lebih cepat
pada hari syak, dimana orang lain belum mulai berpuasa, atau berpuasa di hari
raya ketika semua orang asyik-asyiknya menikmati rendang dan kue-kue lezat
lainnya.
Dalam
masalah ru’yah hilal (melihat bulan sabit), banyak hadits yang diriwayatkan
dari Rasulullah Saw.
Rasulullah
bersabda “Janganlah kamu berpuasa sampai kamu melihat bulan sabit, dan
janganlah kamu berbuka sampai kamu melihanya. Apabila bulan sabit itu tertutup
dari pandanganmu, maka kadarkanlah (perkirakanlah) ia”. [HR. Muttafaq alaih].
Dalam
lafaz lain, “…Apabila bulan sabit itu tertutup dari pandanganmu, maka
sempurnakanlah jumlah bulan Sya’ban tiga puluh hari”. [HR. Muttafaq alaih].
Syaikh
Qoradhowi menyebutkan, seorang ahli fiqih bisa mengatakan bahwa Hadits ini
mengindikasikan sebuah maqashid (tujuan) dan menentukan sarana. Adapun tujuan
(maqashid) hadits sangat jelas sekali, yaitu agar semua umat islam berpuasa
pada bulan Ramadhan sebulan penuh, dan mereka tidak meluputkan satu haripun
untuk berpuasa pada bulan Ramadhan baik sehari sebelum Ramadhan ataupun sehari
setelahnya, atau mereka berpuasa pada satu hari dari bulan selain ramadhan,
seperti bulan Sya’ban atau Syawal. Semua itu dengan menetapkan awal masuknya
dan habisnya Ramadhan dengan sarana yang memungkinkan dan disanggupi oleh
mayoritas umat islam yang tidak memberatkan dan membebani mereka dalam
melaksanakan agama.
Ru’yah
dengan mata telanjang adalah sarana yang mudah dan disanggpui oleh mayoritas
manusia ketika itu, makanya hadits datang dengan menyebutkan atau menentukan
mata telanjang sebagai sarana ru’yah.
Karena,
apabila Rasulullah Saw membebani mereka dengan sarana perhitungan perbintangan,
sementara umat islam ketika itu tidak bisa menulis dan berhitung, maka hal ini
akan sangat menyulitkan mereka.
Dan
Allah selalu menginginkan kemudahan bagi hambanya, dan tidak ingin mempersullt
mereka. Rasulullah Saw bersabda menceritakan dirinya “Sesungguhnya Allah tidak
mengutusku untuk mempersulit dan menyusahkan, tetapi Dia mengutusku sebagai
guru dan memudahkan”. [HR. Muslim]
Maka,
apabila ada sarana lain yang lebih sanggup untuk mencapai maqashid hadits ini,
dan sarana itu lebih mampu menjauhkan umat dari kesalahan, keraguan dan
kebohongan, dan sarana itu mudah dijangkau, tidak jauh dari kesanggupan umat,
dimana umat ini sudah memiliki ilmuan dan pakar dan spesialis dalam bidang
astronomi, geologi dan fisika yang bertaraf level internasional, dimana ilmu
manusia sudah sampai pada titik yang memungkin mereka untuk naik ke bulan itu
sendiri atau lebih jauh dari itu seperti planet mars, lalu mengapa kita masih
kaku dalam memilih dan memakai sarana “mata telanjang” yang memang bukan tujuan
sebenarnya dari hadits, sehingga kita bisa melaksanakan maqashid yang
diinginkan oleh hadits.
Di
dalam hadits banyak riwayat yang menyebutkan peneriman khabar dari satu atau
dua orang yang mengaku melihat bulan sabit dengan mata telanjang, dimana sarana
memungkinkan bagi mereka untuk melakukannya.
Lalu
bagaimana bisa kita menolak sarana yang lebih canggih dan jauh dari kesalahan
dan keraguan, bahkan sebaliknya bisa mencapai derjat yakin dan pasti, yang
memungkinkan umat islam di timur dan barat bersatu dan menjauhi perbedaan yang
kerap terjadi dalam berpuasa dan berhari raya.
Ini
adalah perkara yang tidak bisa diterima dan tidak masuk akal, baik secara
logika ilmiyah, ataupun logika agama.
Syaikh
Qaradhawy menyebutkan, bahwa menetapkan masuknya awal bulan dengan sarana ilmu
falak adalah sebuah kewajiban yang didasarkan kepada dalil qiyas aula, dimana
hadits yang ada di hadapan kita yang menyebutkan sarana ru’yah dengan mata
telanjang, yang masih banyak menimbulkan kesalahan dan keraguan dalam
menetapkan masuknya awal bulan, adalah sarana yang lebih rendah, dimana apabila
ada sarana yang lebih tinggi dari sarana ru’yah tersebut, maka sarana ru’yah
tersebut tidak menghalangi pemakaian sarana yang lebih tinggi dan utama yaitu
sarana hisab (perhitungan) berdasarkan ilmu falak yang detail, terperinci dan
pasti.
Syaikh
ahmad syakir, sebagaimana dinukilkan oleh syaikh qaradhawy, menetapkan hisab
dalam menentukan masuknya awal bulan. Dan beliau melihat dari hadts ini, illat
dijadikannya ru’yah sebagai sarana dalam menetapkan masuknya awal bulan adalah
keummiyan (tidak bisa menullis dan menghitung) umat islam ketika itu. Maka
ketika illah ini hilang, dengan banyaknya umat islam yang bisa menulis dan
berhitung, bahkan menjadi pakar dalam bidang tertentu, hilang jugalah
ma’lulnya, yaitu kewajiban memakai ru’yah sebagai sarana. Karena kaidah
menyebutkan, illat itu berlaku bersamaan dengan ma’lul di saat ada atau
tidaknya.
Dalam
masalah ini, ada hadits yang diriwayatkan oleh ibnu umar dari Rasulullah Saw,
beliau bersabda “Sesungguhnya kita adalah kaum ummy, tidak bisa menulis dan
tidak pula bisa berhitung. Satu bulan itu seperti ini, dan seperti ini, artinya
sesekali dua puluh Sembilan, dan sesekali tiga puluh”.
Imam
Malik juga meriwayatkan dalam al-Muwattha’ “Satu bulan itu adalah dua puluh
Sembilan, maka janganlah kamu berpuasa sampai kamu melihat bulan, dan janganlah
kamu berbuka sampai kamu melihatnya. Maka apabila hilal itu tertutup dari
pandanganmu, kadarkanlah ia”.
Ibnu
suraij, seorang ulama mazhab syafi’i ketika mengomentari hadits “…maka
kadarkanlah ia”, dan “…maka sempurnakanlah… ”, menyatakan bahwa hadits ini
memiliki dua kondisi. Pertama “…maka kadarkanlah ia”, adalah khithab bagi orang
yang mengetahui ilmu falak agar menghitung bulan apabila bulan itu tidak
kelihatan. Adapun “…maka sempurnakanlah…” adalah khithab untuk semua orang.
Disini syaikh Qaradhawy mengatakan bahwa ibnu suraij hanya menjadikan khithab
bagi ahli ilmu falak ketika bulan tidak bisa dilihat, dan itupun karena kondisi
di sekitarnya yang masih belum sepenuhnya percaya kepada mereka, dan semestinya
sekarang dengan adanya teknologi, khithab tersebut tetap berlaku.
4. Manfaat mengetahui tsawabit dan mutaghayyirat bagi
juru dakwah.
a. Meluruskan pemikiran dan cara berfikir mereka dalam
memilih pendapat dan melakukan tarjih dalam satu masalah dengan masalah yang
lain dengan mempertimbangkan mashalih yang didapatkan dan mafasid yang harus
dihindari.
b. Membantu mereka dalam memperoleh kecendrungan
kebijakan yang menempatkan mereka pada tempat yang pas dan strategis dengan
tidak memandang secara tekstual pada nash yang bisa menghindari dari kesalahan
dalam memilih pendapat dan keputusan yang tepat dan sesuai dengan kondisi yang
ada.
c. Membantu mereka memahami secara benar setiap
permasalahan yang berkaitan dengan agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta
tanpa ada penyelewengan dalam pemahaman.
d. Mengetahui maqoshid, membantu seorang dai untuk
menolak syubhat-syubhat yang dilontarkan tentang islam, sehingga dia bisa
mengembalikan setiap permasalahan dari yang furu’ kepada ushul, dari yang
mutasyabih kepada yang muhkam. Sehingga kelihatan bentuk islam yang indah bagi
orang yang memiliki hati dan perhatian.
e. Membantu mereka untuk mencapai target perjuangan dan
menunjuki perjalanan yang mereka tapaki sehingga mereka tidak disibukkan dengan
hal-hal formalitas dan hal-hal furu’iyah. Maka jelas rambu-rambu bagi jalan
mereka dan terlaksananya optimalisasi potensi-potensi mereka pada tempatnya.
f. Menunjuki mereka dalam mengatur kehidupan pribadi,
dengan menentukan skala prioritas sehingga jelas misi-misi mereka dalam
menyampaikan risalah islam dan menunaikan hak bagi diri mereka.
D. Penutup
Mengtahui
tsawabit dan mutaghayyirat memberikan manfaat yang sangat besar bagi para
mujtahid dan lainnya, dimana mereka tidak akan melanggar hal-hal yang prinsip
di dalam agama dengan tetap bergerak melalui berbagai sarana yang inofatif
sehingga tidak ada kekakuan dan kesulitan dalam melaksanakan agama yang sangat
mudah, praktis dan toleransi.
Tulisan
ini hanya memaparkan sedikit tentang tsawabit dan mutaghayyirat yang sering
terlupakan. Dan masih banyak permasalahan yang berkenaan dengan tsawabit dan
mutaghayyirat ini yang belum dicantumkan yang harus kembali dikaji oleh para
thalibul ilmi. Wallahu a’lam.
Daftar bacaan :
1. Dirasat fi Fiqhi Maqashid asy-Syari’ah, Yusuf
Al-Qaradhawi, Cet. 2 tahun 2007, penerbit Dar El-Shorouk, Kairo.
2. Kaifa Nata’amal ma’a as-Sunnah an-Nabawiyah, Yusuf
Al-Qaradhawi, Cet. 4 tahun 2006, penerbit Dar El-Shorouk, Kairo.
3. Min Fiqhi ad-Daulah fi al-Islam, Yusuf Al-Qaradhawi,
Cet.2 tahun 1999, penerbit Dar El-Shorouk, Kairo.
4. Ats-Tsawabit wa al-Mutaghayyirat, Jum’ah Amin Abdul
Aziz, penerbit Dar El-Tauzi’, Kairo.
5. Ushul al-‘Amal al-Khairi fi al-Islam, Yusuf Al-Qaradhawi,
Cet. 2 tahun 2008, penerbit dar el-Shorouk, Kairo.
6. Al-Muwafaqat fi Ushul Asy-Syari’ah, Abu Ishaq
Asy-Syathibi, Cet. 2006 Maktabah Al-Usrah, Kairo.
No comments:
Post a Comment