KAMUS PERTENTANGAN BAHASA
ANTAR SUKU DI INDONESIA
KATA PENGANTAR
Ada orang Bugis dan orang Melayu menangkap ikan di laut KEPRI Riau kepulauan,,karena hari akan hujan, orang Melayu mengajak berkajang (beratap), tapi dalam bahasa Bugis bakajang artinya berbunuhan. Hampir saja ada yang mati. Untung ada yang menengahi, dari suku lain. Penulis sebagai widyaiswara
LPMP Riau, menatar guru-guru di berbagai kabupaten di Riau Indonesia, banyak menemukan
bahasa daerah yang makna katanya bertentangan dengan dengan bahasa daerah lain,
karena itu hal ini penting untuk diketahui, agar tidak terjadi konflik, akibat
salah paham. Misalnya di Kerinci Pelalawan Riau , mereka merasa sangat
berpantang menyebut kata “CUEK”, karena artinya kemaluan laki-laki, tapi dalam
bahasa Betawi, artinya mengabaikan, tidak peduli. Kemudian dalam logat Jawa, “Pantek”
artinya kemaluan prempuan, dalam bahasa Minang, tapi dalam bahasa Jawa, artya “pasak”,
sejenis paku yang terbuat dari kayu, untuk menguatkan kayu juga. Kemudian kata “BANCI”,
DALAM BAHASA Jawa artinya orang laki-laki yang berpenampilan perempuan,
sebaliknya. Tapi dalam logat Minang artinya sangat memuakkan.
BAB I
PERTENTANGAN ARTI KATA
A
BABIAK (basah .Minang) (harimau.
Batak)
BANCI = ( benci. Minang) (laki-laki berjiwa prempuan. Jawa)
BAKAJANG (beratap. Minang)
(berbunuhan. Bugis)
CERDIK (licik.
Minang ) (pintar . Betawi)
DICIRIKI ( diberakkan .Minang
(ditandai. Banjar)
DIKANCING (dikencingi. Minang)
(dikunci . Jawa)
GALAK (tertawa. Minang) (bengis. Betawi)
KEPALA JAGA (Kepala kemaluan
laki-laki.Minang) (Ketua Ronda. Jakarta)
KATIK (orang terhormat.
Minang) (Tidak ada orang.Palembang)
KOCOK (onani. Melayu) (diaduk. Jawa)
LAWANG (Pintu.Jawa ) (tandingan.Bugis)
PUSING (putar.Melayu) (Sakit kepala. Jawa)
PANTE’ (Vagina. Minang) (Pantai. Jawa)
Suku Jawa merupakan suku bangsa terbesar di Indonesia yang berasal dari Jawa Tengah,Jawa Timur, dan Yogyakarta. Setidaknya 41,7% penduduk Indonesia merupakan etnis Jawa. Selain di ketiga propinsi tersebut, suku Jawa banyak bermukim di Lampung, Banten, Jakarta, dan Sumatera Utara. Di Jawa Barat mereka banyak ditemukan di Kabupaten Indramayu dan Cirebon. Suku Jawa juga memiliki sub-suku, seperti Osing dan Tengger.
Suku bangsa Jawa sebagian besar menggunakan Bahasa Jawa dalam bertutur sehari-hari. Dalam sebuah survei yang diadakan Majalah Tempo pada awal dasawarsa 1990-an, kurang lebih hanya 12% orang Jawa yang menggunakan bahasa indonesia sebagai bahasa mereka sehari-hari, sekitar 18% menggunakan bahasa Jawa dan Indonesia secara campur, dan selebihnya hanya menggunakan bahasa Jawa saja.Bahasa Jawa memiliki aturan perbedaan kosa kata dan intonasi berdasarkan hubungan antara pembicara dan lawan bicara, yang dikenal denganunggah-ungguh. Aspek kebahasaan ini memiliki pengaruh sosial yang kuat dalam budaya Jawa, dan membuat orang Jawa biasanya sangat sadar akan status sosialnya di masyarakat.
Orang Jawa sebagian besar secara nominal menganut agama Islam. Tetapi ada juga yang menganut agama Protestan dan Katolik. Mereka juga terdapat di daerah pedesaan. Penganut agama Budha dan Hindhu juga ditemukan pula di antara masyarakat Jawa. Ada pula agama kepercayaan suku Jawa yang disebut sebagai agama Kejawen. Kepercayaan ini terutama berdasarkan kepercayaan animisme dengan pengaruh Hindu-Buddha yang kuat. Masyarakat Jawa terkenal akan sifat sinkretisme kepercayaannya. Semua budaya luar diserap dan ditafsirkan menurut nilai-nilai Jawa sehingga kepercayaan seseorang kadangkala menjadi kabur.
Mayoritas orang Jawa berprofesi sebagai petani, namun di perkotaan mereka mendominasi pegawai negeri sipil, BUMN, anggota DPR/DPRD, pejabat eksekutif, pejabat legislatif, pejabat kementerian dan militer. Orang Jawa adalah etnis paling banyak di dunia artis dan model. Orang Jawa juga banyak yang bekerja di luar negeri, sebagai buruh kasar dan pembantu rumah tangga.
sifat orang jawa,Orang Jawa umumnya lembut, akomodatif dan mudah bersahabat dengan siapa pun, tetapi orang non Jawa perlu hati-hati menyikapi dan memandang orang Jawa. Jangan sekali-kali meremehkan atau mengecewakan. Kenapa? Karena orang Jawa punya filosofi tiga nga, ngalah, ngalih dan ngamuk. Orang Jawa, katanya, suka ngalah untuk tujuan jangka panjang yang menguntungkan.
SUKU BATAK
Batak merupakan salah satu suku bangsa di indonesia. Nama ini merupakan sebuah terma kolektif untuk mengidentifikasikan beberapa suku bangsa yang bermukim dan berasal dari Tapanuli, Sumatera Utara. Suku bangsa yang dikategorikan sebagai Batak adalah Karo, Pakpak, Toba, Simalungun,mandai, dan Angkola.
Sebagian besar orang Batak menganut agama kristen dan sebagian lagi beragama Islam. Tetapi ada pula yang menganut agama Malim (pengikutnya biasa disebut dengan parmalim) dan juga penganut kepercayaan animisme (disebut Pelebegu atau Parbegu), walaupun kini jumlah penganut kedua ajaran ini sudah semakin berkurang.
Kekerabatan suku batak
Kekerabatan adalah menyangkut hubungan hukum antar orang dalam pergaulan hidup. Ada dua bentuk kekerabatan bagi suku Batak, yakni berdasarkan garis keturunan (genealogi) dan berdasarkan sosiologis, sementara kekerabatan teritorial tidak ada.
Bentuk kekerabatan berdasarkan garis keturunan (genealogi) terlihat dari silsilah marga mulai dari Si Raja Batak, dimana semua suku bangsa Batak memiliki marga. Sedangkan kekerabatan berdasarkan sosiologis terjadi melalui perjanjian (padan antar marga tertentu) maupun karena perkawinan. Dalam tradisi Batak, yang menjadi kesatuan Adat adalah ikatan sedarah dalam marga, kemudian Marga. Artinya misalnya Harahap, kesatuan adatnya adalah Marga Harahap vs Marga lainnya.
Berhubung bahwa Adat Batak/Tradisi
Batak sifatnya dinamis yang seringkali disesuaikan dengan waktu dan tempat
berpengaruh terhadap perbedaan corak tradisi antar daerah.
Adanya falsafah dalam perumpamaan dalam bahasa Batak Toba yang berbunyi: Jonok dongan partubu jonokan do dongan parhundul. merupakan suatu filosofi agar kita senantiasa menjaga hubungan baik dengan tetangga, karena merekalah teman terdekat. Namun dalam pelaksanaan adat, yang pertama dicari adalah yang satu marga, walaupun pada dasarnya tetangga tidak boleh dilupakan dalam pelaksanaan Adat.
Adanya falsafah dalam perumpamaan dalam bahasa Batak Toba yang berbunyi: Jonok dongan partubu jonokan do dongan parhundul. merupakan suatu filosofi agar kita senantiasa menjaga hubungan baik dengan tetangga, karena merekalah teman terdekat. Namun dalam pelaksanaan adat, yang pertama dicari adalah yang satu marga, walaupun pada dasarnya tetangga tidak boleh dilupakan dalam pelaksanaan Adat.
ulos memiliki fungsi simbolik untuk berbagai hal dalam segala aspek kehidupan orang Batak. ulos menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan adat suku Batak.
Mangulosi, adalah salah satu hal yang teramat penting dalam adat Batak. Mangulosi secara harfiah berarti memberikan ulos. Mangulosi bukan sekadar pemberian hadiah biasa, karena ritual ini mengandung arti yang cukup dalam. Mangulosi melambangkan pemberian restu, curahan kasih sayang, harapan dan kebaikan-kebaikan lainnya.
Dalam ritual mangulosi ada beberapa aturan yang harus dipatuhi, antara lain bahwa seseorang hanya boleh mangulosi mereka yang menurut tutur atau silsilah keturunan berada di bawah, misalnya orang tua boleh mengulosi anaknya, tetapi anak tidak boleh mangulosi orang tuanya. Disamping itu, jenis ulos yang diberikan harus sesuai dengan ketentuan adat. Karena setiap ulos memiliki makna tersendiri, kapan digunakan, disampaikan kepada siapa, dan dalam upacara adat yang bagaimana, sehingga fungsinya tidak bisa saling ditukar.
Dalam perkembangannya, ulos juga diberikan kepada orang "non Batak". Pemberian ini bisa diartikan sebagai penghormatan dan kasih sayang kepada penerima ulos. Misalnya pemberian ulos kepada Presiden atau Pejabat negara, selalu diiringi oleh doa dan harapan semoga dalam menjalankan tugas-tugas ia selalu dalam kehangatan dan penuh kasih sayang kepada rakyat dan orang-orang yang dipimpinnya.
konflik antar etnis yang sudah terjadi. Argumen di dalam bab ini banyak diinspirasikan dari pembacaan saya terhadap tulisan Michael E. Brown.
Setelah
perang dingin berakhir dengan pecahnya Uni Soviet, banyak pihak berharap bahwa
masa-masa perdamaian akan datang. Beberapa ahli di dalam ilmu-ilmu sosial
bahkan berpendapat, bahwa sejarah sudahlah berakhir dengan berakhirnya perang
dingin. Sejarah berakhir dengan kemenangan demokrasi dan liberalisme. Para
pemimpin dunia memimpikan sebuah tatanan dunia baru yang makmur dan damai. Tata
dunia baru ini akan mencegah setiap bentuk peperangan, gesit di dalam
menanggapi berbagai bencana alam, dan secara aktif melakukan pemerataan sumber
daya demi kemakmuran seluruh bangsa. (Brown, 1997)
Semua harapan tersebut tidak pernah
menjadi kenyataan faktual. Beberapa tahun belakangan ini, dunia diwarnai dengan
berbagai konflik etnis yang melibatkan beragam kepentingan politik dan ekonomi.
Pada beberapa konflik, skala kekerasan yang terjadi begitu besar, dan bahkan
dapat disebut sebagai genosida. Banyak orang tertegun dengan keluasan maupun
kedalaman konflik yang terjadi. Perang di Bosnia-Herzegovina pada 1999 menarik
banyak perhatian dan simpati dari seluruh dunia. Beberapa konflik lainnya,
seperti di Afganistan, Angola, Armenia, Azerbajian, Burma, Georgia, India,
Indonesia, Liberia, Sri Lanka, Sudan, Tajikistan, Bangladesh, Belgium, Bhutan,
Burundi, Estonia, Ethiopia, Guatemala, Iraq, Latvia, Lebanon, Mali, Moldova,
Niger, Irlandia Utara, Pakistan, Filipina, Romania, Rwanda, Afrika Selatan,
Spanyol, dan Turki, juga memiliki skala massal yang tidak bisa diabaikan begitu
saja. Konflik politik di Tibet, Cina, dan Russia juga tampak siap meletus
menjadi konflik berdarah. (Brown, 1997, 80)
Harapan
bahwa PBB akan menjadi kekuatan politik yang berpengaruh, yang siap mencegah
meledaknya berbagai konflik etnis, tampaknya juga terlalu berlebihan. Pada
konflik di Bosnia-Herzegovina, negara-negara Eropa dan Amerika Serikat lebih
sibuk memutuskan, apakah konflik yang terjadi sudah dapat disebut genosida atau
belum. Praktis, tidak ada tindakan real yang dilakukan, ketika orang-orang
dibantai dan pesawat-pesawat tempur menjatuhkan bom ke kota-kota. PBB tampaknya
tidak terlalu peduli dengan konflik ini, terutama karena kepentingan
negara-negara maju yang ada di balik PBB tidak langsung terkait dengan konflik
tersebut.
Tujuan dari tulisan ini adalah untuk
menganalisis sebab-sebab dan akibat-akibat yang muncul dari terjadinya konflik
etnis. Tulisan ini juga hendak memberikan beberapa rekomendasi untuk
meminimalisir terjadinya konflik etnis dan kekerasan massal. Pada bagian
pertama, saya akan mencoba mendefinisikan arti konflik etnis secara spesifik.
Kemudian, saya akan mencoba mencari akar penyebab dari terjadinya konflik
etnis, baik dari penyebab sistemik, domestik, sampai cara pandang. Pada bagian
ketiga, saya akan mencoba melihat beberapa implikasi dari terjadinya konflik
etnis. Brown berpendapat, bahwa terjadinya konflik etnis biasanya akan bermuara
pada satu dari tiga hal ini, yakni terjadinya rekonsiliasi damai, perpecahan
etnis secara damai, atau pada terjadinya perang saudara yang berkepanjangan.
Akibat yang terakhir ini biasanya akan membawa dampak yang sangat besar, baik
secara moral maupun secara politis, bagi dunia internasional. Pada bagian
akhir, berbekal beberapa argumentasi dari Brown, saya akan mencoba memberikan
beberapa rekomendasi untuk mencegah ataupun menangani terjadinya konflik etnis.
Komunitas Etnis dan Konflik Etnis
Menurut
Brown, kata ‘konflik etnis’ seringkali digunakan secara fleksibel. Bahkan,
dalam beberapa penggunaannya, kata ini justru digunakan untuk menggambarkan
jenis konflik yang sama sekali tidak mempunya basis etnis. (hal. 81) Contohnya
adalah konflik di Somalia. Banyak pihak mengkategorikan konflik yang terjadi di
Somalia sebagai konflik etnis. Padahal, Somalia adalah negara paling homogen
dalam hal etnisitas di Afrika. Konflik di Somalia terjadi bukan karena
pertentangan antar etnis, melainkan karena pertentangan antara penguasa lokal satu
dengan penguasa lokal lainnya, yang keduanya berasal dari etnis yang sama.
Disini jelas diperlukan suatu definisi
yang cukup spesifik tentang apa yang dimaksud dengan konflik etnis. Menurut
Anthony Smith, komunitas etnis adalah suatu konsep yang digunakan untuk
menggambarkan sekumpulan manusia yang memiliki nenek moyang yang sama, ingatan
sosial yang sama (Wattimena, 2008), dan beberapa elemen kultural. Elemen-elemen
kultural itu adalah keterkaitan dengan tempat tertentu, dan memiliki sejarah
yang kurang lebih sama. Kedua hal ini biasanya menjadi ukuran bagi solidaritas
dari suatu komunitas (Smith, seperti dalam Brown, 1997, hal. 81). Smith
melanjutkan, bahwa setidaknya ada enam hal yang harus dipenuhi sebelum sebuah
kelompok dapat menyebut diri mereka sebagai ‘komunitas etnis’.
Pertama,
sebuah kelompok haruslah memiliki namanya sendiri. Kriteria ini tidaklah
mengada-ada. Tidak adanya nama spesifik untuk suatu kelompok, menurut Smith,
menandakan belum terbentuknya identitas sosial yang cukup solid untuk dapat
disebut sebagai suatu komunitas etnis. Kedua, orang-orang di dalam kelompok
tersebut haruslah yakin, bahwa mereka memiliki nenek moyang yang sama.
Keyakinan ini sangatlah penting, dan bahkan lebih penting daripada ikatan
biologis. Ikatan biologis mungkin saja ada, tetapi tidak menjadi inti dari
keyakinan, bahwa suatu kelompok memiliki leluhur yang sama.
Ketiga,
orang-orang yang berada di dalam kelompok tersebut haruslah memiliki ingatan
sosial yang sama. Kesamaan itu biasanya ditandai dengan adanya mitos-mitos
maupun legenda-legenda yang sama, yang disampaikan dari satu generasi ke
generasi berikutnya secara lisan. Keempat, kelompok tersebut haruslah berbagi
kultur yang sama. Kesamaan kultur tersebut dapat dilihat dalam berbagai
kombinasi antara bahasa, agama, norma-norma adat, pakaian, musik, karya seni,
arsitektur, dan bahkan makanan. Kelima, orang-orang yang ada di dalam kelompok
tersebut haruslah merasa terikat pada suatu teritori tertentu, terutama
teritori yang sedang mereka tempati. Dankeenam, orang-orang yang berada di
dalam kelompok itu haruslah merasa dan berpikir bahwa mereka adalah bagian dari
satu kelompok yang sama. Hanya dengan begitulah suatu kelompok dapat disebut
sebagai komunitas etnis.
Dari
kriteria ini sebenarnya bisa ditarik kesimpulan sederhana, bahwa konflik etnis
adalah konflik terkait dengan permasalahan-permasalahan mendesak mengenai
politik, ekonomi, sosial, budaya, dan teritorial antara dua komunitas etnis
atau lebih. (Brown, 1997, hal. 82) Konflik etnis seringkali bernuansa
kekerasan, tetapi bisa juga tidak. Konflik etnis di Bosnia dan Angola memiliki
dimensi kekerasan yang luar biasa besar. Sementara, permintaan orang-orang
Quebec untuk memperoleh otonomi lebih besar dari pemerintah Kanada hampir tidak
memiliki dimensi kekerasan sama sekali.
Yang
juga harus ditegaskan adalah, banyak konflik lokal suatu masyarakat sama sekali
tidak memiliki basis etnisitas. Jadi, konflik-konflik tersebut tidak bisa
disebut sebagai konflik etnis. Pertempuran antara pemerintah Kamboja dengan
tentara Khmer Merah tidak pernah bisa disebut sebagai konflik etnis, karena
hakekat konflik adalah persoalan ideologi, dan bukan persoalan etnis.
Konflik etnis juga, menurut Brown,
biasanya berangkat dari konflik lokal yang sama sekali tidak memiliki basis
etnisitas, tetapi kemudian melebar cangkupannya, bahkan sampai melintasi
batas-batas negara (Brown, 1997). Biasanya, negara tetangga dari komunitas yang
berkonflik memilih satu dari dua bentuk intervensi berikut ini, yakni entah
mereka memilih untuk menutup perbatasan guna mencegah penyebaran konflik lebih
jauh, atau mereka memilih untuk intervensi ke komunitas yang tengah berkonflik
untuk melindungi kepentingan ekonomi maupun politik mereka. Komunitas
internasional juga bisa melakukan intervensi atas dasar kemanusiaan, terutama
ketika konflik yang terjadi mulai menyebar dan melukai banyak warga sipil.
Akar-akar Konflik Etnis
Biasanya, orang beranggapan bahwa
konflik etnis lebih disebabkan oleh robohnya rezim otoriter tertentu, yang
kemudian mendorong pihak-pihak di dalam suatu negara tertentu untuk saling
berebut kekuasaan. Seolah-olah tekanan yang lama menindas mereka kini sudah
hancur, sehingga dendam lama, terutama dendam akibat konflik di masa lalu, kini
tampil ke depan. Banyak ahli yang berpendapat, bahwa penjelasan ini tidaklah
memadai. (Brown, 1997, hal. 83) Argumen ini tidak bisa menjelaskan, mengapa di
beberapa tempat yang satu terjadi konflik, sementara di tempat lain tidak.
Argumen ini juga gagal menjelaskan, mengapa konflik yang satu memiliki skala
kekejaman yang lebih besar daripada konflik lainnya. Dengan kata lain,
akar-akar penyebab konflik etnis tidak bisa dikembalikan hanya kepada satu
faktor penyebab saja.
Di
dalam tulisannya, Brown mengajukan tiga level analisis untuk memahami akar-akar
penyebab konflik etnis. Level pertama adalah level sistemik. Level kedua adalah
level domestik, dan level ketiga adalah level persepsi. (Brown, 1997) Saya akan
coba membedah satu per satu. Pada level sistemik, penyebab pertama terjadinya
konflik etnis adalah lemahnya otoritas negara, baik nasional maupun
internasional, untuk mencegah kelompok-kelompok etnis yang ada untuk saling
berkonflik. Otoritas yang ada juga sangat lemah, sehingga tidak mampu menjamin
keselamatan individu-individu yang ada di dalam kelompok tersebut. “.. di dalam
sistem dimana tidak adanya penguasa”, demikian tulis Brown, “ yakni, dimana anarki
berkuasa, semua kelompok haruslah menyediakan pertahanan dirinya
sendiri-sendiri…” (Brown, 1997) Setiap kelompok resah, apakah kelompok lain
akan menyerang mereka, atau ancaman dari kelompok lain akan memudar dengan
berjalannya waktu.
Masalahnya adalah, sikap pertahanan
diri suatu kelompok, yakni dengan memobilisasi tentara dan semua peralatan
militer, bisa dianggap sebagai tindakan mengancam oleh kelompok lainnya. Pada
akhirnya, hal ini akan memicu tindakan serupa dari kelompok lain, sekaligus
meningkatkan ketegangan politis di antara dua kelompok tersebut. Inilah yang
disebut Brown sebagai dilema keamanan (security dilemma). (Brown, 1997)
Artinya, suatu kelompok seringkali tidak menyadari dampak dari tindakannya
terhadap kelompok lainnya. Memang dalam banyak kasus, suatu kelompok menyadari
dilema keamanan ini. Akan tetapi, mereka tetap bertindak, karena mereka sendiri
merasa terancam oleh tindakan dari kelompok lain. Inilah yang biasanya terjadi
pada masyarakat pasca rezim otoriter. Penguasa tunggal sudah roboh, dan kini
setiap kelompok harus berusaha menjaga eksistensinya masing-masing, dan itu
seringkali dengan mengancam eksistensi kelompok lainnya.
Brown
lebih jauh menambahkan, bahwa ada dua kondisi yang memungkinkan terjadi
ketidastabilan politis. (Brown, 1997, hal. 84) Pertama, kondisi ketika pihak
yang menyerang dan pihak yang bertahan tidak lagi bisa dibedakan. Suatu
kelompok tidak lagi bisa menentukan, apakah mereka dalam posisi bertahan, atau
posisi menyerang. Mereka akan mempersiapkan kekuatan militernya yang digunakan
untuk bertahan. Akan tetapi, kelompok lainnya akan mengira, bahwa kelompok
tersebut sedang mempersiapkan kekuatan militernya untuk menyerang. Ketegangan
antara kedua kelompok pun tidak lagi terelakkan.
Kedua,
jika kekuatan penyerangan lebih besar dari kekuatan bertahan, maka suatu
kelompok akan cenderung untuk melakukan penyerangan terlebih dahulu. Menurut
Brown, kedua kondisi ini biasanya muncul, ketika rezim otoriter yang berkuasa
tiba-tiba roboh, dan ini membuat setiap kelompok yang ada di dalam masyarakat
tersebut terpaksaberusaha untuk mempertahankan eksistensinya masing-masing. Di
dalam situasi ini, siapa pihak yang menyerang dan siapa pihak yang bertahan
amatlah sulit untuk dibedakan. Biasanya, kelompok-kelompok yang saling bertempur
pasca jatuhnya suatu rezim otoriter tidak menggunakan teknologi perang yang
canggih. Mereka hanya bersandar pada kekuatan infanteri. Efektivitas infanteri
tersebut bersandar pada kekuatan motivasi dan kuantitas pasukan. Mobilisasi
infanteri dari suatu kelompok tertentu, menurut Brown, biasanya akan mendorong
kelompok lainnya untuk melakukan hal yang sama. (Brown, 1997)
Brown lebih jauh berpendapat, bahwa
ketika rezim otoriter yang memerintah sebelumnya telah roboh, maka situasi
politis yang ada biasanya lebih mendorong kelompok-kelompok yang ada untuk
mengambil sikap menyerang daripada bertahan. Dengan sikap ini, kelompok etnis
yang ada seringkali juga berusaha memusnahkan etnis minoritas yang ada di dalam
masyarakat mereka. Teror akan semakin besar, jika penyerangan secara nyata
ditujukan kepada masyarakat sipil. Penyerangan semacam ini tidak membutuhkan
teknologi militer yang canggih, cukup beberapa tentara infanteri yang membawa
senjata api. Akibat dari penyerangan semacam ini adalah terciptanya situasi
politis yang semakin tidak stabil. Situasi ini biasanya akan berkembang menjadi
konflik etnis dengan skala yang lebih besar. (Brown, 1997)
Keberadaan
senjata nuklir juga bisa memperumit terjadinya konflik. Senjata nuklir membuat
pasukan infanteri tampak tidak berarti, membuat pertahanan menjadi jauh lebih
efektif, dan dapat menjadi kekuatan tawar yang signifikan di dalam proses
perjanjian. Di tangan rezim otoriter tertentu, senjata nuklir bisa menjadi alat
penjaga kestabilan yang efektif.
Level
analisis kedua mengenai akar-akar penyebab konflik etnis berada di level
domestik. Menurut Brown, level domestik ini terkait dengan kemampuan pemerintah
untuk memenuhi kehendak rakyatnya, pengaruh nasionalisme dan relasi antar
kelompok etnis di dalam masyarakat, serta pengaruh dari proses demokratisasi
dalam konteks relasi antar kelompok etnis. (Brown, 1997, hal. 85)
Setiap orang selalu mengharapkan agar
pemerintahnya menyediakan keamanan dan stabilitas ekonomi. Kedua hal ini akan
bermuara pada terciptanya kemakmuran ekonomi yang merata di dalam masyarakat.
Apa yang disebut nasionalisme, menurut Brown, sebenarnya adalah “konsep yang
menggambarkan kebutuhan untuk mendirikan suatu negara yang mampu mewujudkan
tujuan-tujuan ini.” (Brown, 1997) Tuntutan ini akan semakin besar, ketika
pemerintah yang berkuasa tidak mampu mewujudkan cita-cita tersebut. Di dalam
masyarakat pasca pemerintahan rezim otoriter, pemerintah yang berkuasa sedang
mengalami proses adaptasi, dan seringkali belum mampu mewujudkan kestabilian
ekonomi maupun politik. Akibatnya, tingkat inflasi dan pengangguran meningkat
tajam. Prospek perkembangan ekonomi pun suram. Dalam banyak kasus, kelompok
etnis minoritas menjadi kambing hitam dari semua permasalahan ini. (Brown,
1997) Mereka menjadi tumbal dari kekacauan yang terjadi.
Problem ini semakin rumit, ketika
logika yang bergerak bukanlah lagi logika nasionalisme, melainkan logika
fundamentalisme etnis. Begini, ketika pemerintah yang berkuasa sangatlah lemah,
paham nasionalisme biasanya lebih didasarkan pada perbedaan etnis, dan bukan
pada suatu pemikiran bahwa setiap orang yang hidup di suatu negara memiliki hak
dan kewajiban yang sama. Pada hakekatnya, menurut Brown, paham nasionalisme
didasarkan pada hak-hak universal dari setiap warga negara di dalam suatu
negara, dan hak-hak tersebut dilindungi oleh hukum. Hukum yang sama juga
melindungi kebebasan warga negara tersebut untuk menyampaikan
pandangan-pandangan mereka. Akan tetapi, nasionalisme yang didasarkan pada
fundamentalisme etnis tidak mengenali pandangan tersebut, melainkan lebih
menekankan pada kesamaan etnis dan kultur.(Brown, 1997) Tidaklah mengherankan
bahwa di Indonesia, dimana struktur pemeritahan pasca reformasi masih belum
stabil, dan insitusi-institusi pemerintahan masih jauh dari sempurna di dalam
menjalankan fungsi mereka, banyak kelompok-kelompok etnis mendirikan
organisasi-organisasi berbasiskan etnis tertentu, serta menganut
fundamentalisme etnis sebagai pandangan dasar mereka.
Keberadaan kelompok-kelompok yang
menganut fundamentalisme etnis sebagai pandangan dasar mereka membuat peluang
terjadinya konflik etnis semakin besar. “Bangkitnya nasionalisme etnis pada
satu kelompok”, demikian analisis Brown, “akan dilihat sebagai ancaman bagi
kelompok lainnya dan akan menciptakan perkembangan dari sentimen yang sama di
tempat-tempat lainnya.” (Brown, 1997) Jika sudah seperti ini, maka pertentangan
antar kelompok etnis akan semakin besar. Dan biasanya, kelompok minoritaslah
yang akan menjadi korban, jika konflik sungguh terjadi. Kelompok minoritas akan
menjadi kambing hitam, dan di banyak tempat, kelompok minoritas lalu menuntut
untuk mendirikan negara mereka sendiri. Konflik pun akan semakin besar.
Di sisi lain, paham nasionalisme yang
didasarkan pada fundamentalisme etnis akan membuat suatu kelompok dapat dengan
mudah memobilisasi massa, dan membentuk suatu pasukan yang memiliki motivasi
berperang yang tinggi. Jika sudah seperti ini, kekuatan militer akan menjadi
suatu kekuatan yang sangat kejam. Perang dengan skala kekejaman yang masif pun
tidak lagi bisa terelakkan.
Di
dalam penelitiannya, Donald Horowitz berpendapat bahwa proses demokratisasi
institusi pemerintahan memiliki dampak besar bagi terjadinya konflik antar
etnis.Bahkan dapat pula dikatakan, bahwa proses
demokratisasi secara langsung dapat menciptakan suasana ketidakstabilan politis
yang lebih besar, dan dengan demikian justru membuka peluang lebih besar bagi
terjadinya konflik antar etnis. Proses demokratisasi justru meningkatkan
intensitas konflik etnis yang telah terjadi.
Tentu saja, hal ini sangat tergantung
dari tingkat ketegangan antar kelompok etnis, ketika proses demokratisasi
sedang berlangsung. (1) Jika rezim otoriter yang berkuasa sebelumnya adalah
suatu bentuk tirani minoritasterhadap kelompok etnis yang lebih mayoritas, maka
tingkat ketegangan antar etnis sangatlah besar. Dalam konteks ini, proses
demokratisasi akan mengalami kesulitan besar sejak dari awal. Dan jika rezim
otoriter tersebut melakukan tindak kekerasan kolektif terhadap kelompok etnis
tertentu, maka proses demokratisasi akan sangat problematis dan memiliki resiko
tinggi. Dalam hal ini, tingkat emosional suatu kelompok etnis tertentu menuntut
perhatian yang sangat besar. Dan jika, di sisi lain, rezim otoriter yang
berkuasa sebelumnya memberikan porsi yang seimbang, baik dalam pemerintahan
maupun dalam ekonomi, bagi semua kelompok etnis yang ada di dalam masyarakat,
maka proses demokratisasi justru akan berdampak positif bagi semua problematika
terkait dengan perbedaan etnis yang ada. (Brown, 1997, hal. 86)
(2)
Faktor berikutnya terkait dengan prosentase jumlah etnis minoritas dan
mayoritas di dalam suatu masyarakat. Jika suatu kelompok etnis secara
substansial lebih besar jumlahnya daripada kelompok etnis yang lain, maka yang
terjadi adalah dominasi kelompok etnis mayoritas tersebut terhadap kelompok
minoritas. Dalam hal ini, kepentingan kelompok etnis minoritas seringkali tidak
terwakili. Dan sebaliknya, jika prosentase jumlah etnis minoritas dan mayoritas
di suatu masyarakat tidak terlalu jauh perbedaannya, maka biasanya kepentingan
semua kelompok etnis akan terwakili dengan baik. Kasus yang kedua merupakan
kondisi yang ideal bagi proses demokratisasi.
(3)
Jika militer memiliki kesetiaan hanya pada satu kelompok etnis tertentu, dan
bukan pada pemerintah yang berkuasa, maka proses pencegahan dan pemadaman
konflik etnis akan tersendat. Dan sebaliknya, jika militer memiliki kesetiaan
terhadap pemerintahan yang berkuasa secara sah, apapun etnis mayoritas yang ada
di dalam masyarakat tersebut, maka prospek menuju perdamaian dan demokrasi akan
cukup besar. (Brown, 1997)
(4)
Dan jika rezim otoriter yang berkuasa sebelumnya roboh dengan tiba-tiba, maka
biasanya proses demokratisasi pun akan dilaksanakan dengan tergesa-gesa.
Problem ketegangan antar kelompok etnis pun seringkali terabaikan. Yang terjadi
adalah, kelompok etnis yang memiliki jumlah lebih besar akan menguasai politik
masyarakat tersebut. “Euforia yang dialami ketika rezim lama jatuh dari
kekuasaan akan menghasilkan momen kesatuan nasional”, demikian tulis Brown,
“akan tetapi momen ini tidak akan bertahan lama jika masalah mendasarnya
diabaikan.” (Brown, 1997)
Dan
sebaliknya, jika jatuhnya rezim sebelumnya memakan waktu yang lama, maka
pimpinan oposisi biasanya memiliki waktu yang cukup untuk mengindentifikasi
berbagai problematika etnis, ketika mereka berkuasa. Dalam kondisi ini,
pimpinan oposisi biasanya akan memiliki kesempatan yang lebih besar untuk
membentuk aliansi politik, guna memperat kerja sama antar berbagai kelompok
etnis yang ada. Salah satu cara, untuk mencegah meluasnya konflik antar etnis
selama proses transisi ke pemerintahan demokratis, adalah dengan menghadapi
berbagai problem etnis tersebut sedini mungkin. Jika problem yang menciptakan
ketegangan antar etnis dapat ditanggapi secepat mungkin, maka konflik etnis
dapatlah dicegah, atau setidaknya diminimalisir efek destruktifnya.
(5)
Horowitz lebih jauh berpendapat, bahwa di dalam masyarakat multi etnis, banyak
partai politik mendasarkan ideologi mereka melulu berdasarkan sentimen etnis
semata. (Horowitz, 1985) Ketika ini terjadi, maka partai politik bukanlah
bentuk rigid dari suatu keyakinan politik, melainkan lebih merupakan cerminan
dari identitas etnis semata. Dalam situasi ini, proses pemilihan umum tidak
akan bisa efektif. Akibatnya, minoritas akan kehilangan kesempatan untuk
menyampaikan dan memperjuangkan kepentingan-kepentingan mereka. Kelompok etnis
minoritas menjadi korban dari tirani etnis mayoritas. Demokrasi hanya selubung
dari suatu kekuasaan primitif yang didasarkan pada mekanisme hukum rimba.
(6)
Juga di dalam masyarakat multi etnis, para politikus yang ada seringkali
menggunakan sentimen-sentimen etnis untuk mendapatkan dukungan bagi kampanye
politis mereka. Sepanjang perjalanan kampanye ini, semua problematika sosial
seringkali dilemparkan begitu kepada etnis minoritas sebagai penyebabnya.
Proses ‘pengkambinghitaman’ ini mudah sekali ditemukan di berbagai belahan
dunia, ketika proses pemilihan umum sedang berlangsung. Di dalam masyarakat
pasca pemerintahan otoriter, kompromi dan deliberasi publik adalah suatu proses
yang asing. Hal ini tentu saja sama sekali tidak kondunsif untuk proses
demokratisasi dan upaya penyelesaian berbagai konflik etnis yang ada. Media
massa juga seringkali digunakan sebagai alat propaganda kepentingan politis
tertentu, yang justru semakin merusak hubungan antar kelompok etnis yang ada.
(Brown, 1997, hal. 87)
(7)
Dan terakhir, banyak negara belum memiliki ketentuan hukum yang memadai untuk
melindungi hak-hak kelompok etnis minoritas. Bahkan di negara-negara yang
secara formal sudah memiliki ketentuan hukum tersebut, pelaksanaannya juga
masih mengalami banyak hambatan. Oleh sebab itu dibutuhkanlah suatu perubahan
konstitusional dan perubahan komitmen politis yang signifikan, sehingga
berbagai problematika penyebab dan akibat terjadinya konflik etnis dapat
ditanggapi secara tepat.
Beberapa ahli berpendapat, bahwa
penyebab terjadinya konflik etnis adalah, karena adanya pemahaman sejarah yang
tidak tepat mengenai relasi antara dua atau lebih kelompok etnis. (Brown, 1993)
Sejarah yang mereka yakini bukanlah hasil dari penelitian yang punya dasar
metodis dan obyektivitas, melainkan dari rumor, gosip, dan legenda, yang
biasanya diturunkan dari satu generasi ke generasi lainnya. Cerita-cerita
tersebut kemudian menjadi bagian dari adat istiadat. Dengan berlalunya waktu,
cerita-cerita ini semakin jauh dari realitas, dan semakin banyak bagian yang
dilebih-lebihkan. Di dalam cerita-cerita tersebut, kelompok etnis lain
seringkali memperoleh cap buruk, sementara kelompok etnis sendiri memperoleh
nama baik yang seringkali berbeda dengan realitasnya. Kelompok etnis lain
dipandang sebagai suatu kelompok yang secara inheren jahat dan agresif. Anggota
kelompok etnis setempat memandang pemahaman ini sebagai suatu bentuk kebijaksanaan
leluhur yang diturunkan ke generasi mereka.
Tidaklah mengherankan, bahwa
cerita-cerita adat istiadat melibatkan suatu pertarungan wacana yang merupakan
cerminan dari pandangan kelompok yang satu kepada kelompok lainnya. Orang-orang
Serbia, misalnya, memandang diri mereka sendiri sebagai penjaga Eropa. Mereka
juga memandang orang-orang Kroasia sebagai bangsa yang kejam. Di sisi lain,
orang-orang Kroasia merasa bahwa mereka adalah korban dari kekejaman agresi
orang-orang Serbia yang biadab. Di dalam cara pandang semacam itu, semua
peristiwa yang terjadi akan meningkatkan intensitas kecurigaan yang sudah
tertanam di dalam kultur masing-masing etnis. Dan semua kejadian negatif akan
dipandang sebagai suatu afirmasi terhadap mitos yang sudah ada sebelumnya,
sekaligus dipandang sebagai alasanuntuk melakukan tindakan agresif. Hal inilah
yang membuat konflik antar etnis sulit dihindari, dan jika terjadi, dampak
destruktifnya akan sulit untuk diredam. Semua kepercayaan yang bersifat
mitologis dan ideologis ini menciptakan tekanan yang semakin memperbesar skala
konflik. Konflik pun nantinya juga bisa semakin diperparah oleh propaganda para
politikus yang ingin memanfaatkan kepercayaan ini untuk kepentingan-kepentingan
mereka. (Lihat, Brown, 1997, hal. 88)
Problematika semacam ini biasa dialami
oleh suatu masyarakat yang hidup pasca pemerintahan otoriter, yang seringkali
memanipulasi sejarah demi untuk menciptakan mitos-mitos politik yang dapat
mendukung kepentingan-kepentingan rezim. Rezim pemerintahan otoriter juga
seringkali tidak memiliki basis ilmiah yang kuat untuk membuktikan mitos
sejarah tersebut. Hal ini tentunya akan semakin memperkuat akar mitos politik
yang ada di masyarakat, yang sangat mungkin menjadi faktor meningkatnya
intensitas konflik antar etnis sampai pada skalanya yang paling masif.
Kesimpulan sementara
Dengan
demikian, Brown telah menawarkan tiga level analisis kepada kita untuk memahami
akar-akar penyebab terjadinya konflik etnis. Tiga level itu adalah level
sistemik, level domestik, dan level persepsi. Sayangnya, tiga level analisis
ini tidaklah bisa dijadikan sebagai satu grand theory yang berguna untuk
menyoroti semua bentuk konflik etnis di seluruh dunia. Sangatlah sulit bagi
kita untuk merumuskan suatu pisau analisis yang universal untuk menggambarkan
mengapa konflik etnis yang satu memiliki skala yang lebih besar daripada
konflik etnis lainnya. Akan tetapi, kita masihlah dapat untuk memberikan
beberapa alternatif hipotesis penjelasan atas akar-akar penyebab terjadinya
konflik etnis, seperti yang sudah diajukan oleh Brown.
Pertama, konflik etnis dapat terjadi,
jika dua etnis yang berbeda hidup dan beraktivitas di dalam area yang
berdekatan. Kedua, pemerintahan yang berkuasa biasanya adalah pemerintahan yang
lemah, sehingga tidak mampu mencegah dua kelompok etnis yang berbeda untuk
saling berseteru, ataupun untuk menjamin keamanan dari individu maupun kelompok
di masyarakat tersebut. Apakah penjelasan sistemik ini cukup memadai untuk
menjelaskan akar-akar penyebab terjadinya konflik etnis? Tampaknya tidak,
karena masih ada faktor-faktor lainnya, seperti faktor domestik dan faktor
persepsi, yang dapat mendorong terjadinya konflik etnis, seperti yang sudah
dijelaskan di atas. Pada bagian berikutnya, saya akan menunjukkan dampak-dampak
yang mungkin terjadi, jika konflik etnis pada akhirnya pecah.
Dampak dari Konflik Etnis
Apakah dampak yang ditimbulkan oleh
konflik etnis bagi negara-negara sekitar dan bagi komunitas internasional
secara keseluruhan? Menurut Brown, jawaban atas pertanyaan ini sangatlah
tergantung pada jenis konflik yang terjadi, dan bagaimana alur konflik tersebut
berlangsung. (Brown, 1997, hal. 89) Setidaknya, ada tiga kemungkinan yang bisa
terjadi sebagai akibat dari pecahnya konflik etnis, yakni terjadinya
rekonsiliasi secara damai, perpisahan etnis secara damai, dan perang saudara.
Dengan kata lain, kelompok-kelompok yang berperang bisa setuju untuk hidup
bersama secara damai, setuju secara damai untuk berpisah, atau terus berperang
untuk menentukan siapa yang berhak menjadi penguasa atas semuanya.
Dalam beberapa kasus, kelompok-kelompok
etnis yang terlibat dalam ketegangan politis dapat tetap bekerja sama dalam
kerangka politik dan hukum tertentu. Dalam ketegangan tersebut justru biasanya,
hak-hak minoritas dan hak-hak individual akan diangkat ke dalam perdebatan, dan
memperoleh pemaknaan yang baru. Austria, Belgia, dan Swiss telah banyak membuat
perjanjian politis yang menjamin bahwa etnis-etnis yang berada di negara
tersebut tidak terlibat di dalam aksi kekerasan, namun menempuh jalan dialog
dan kompromi. Etnis Catalan, Galician, dan Basque di Spanyol telah berdamai
setelah menempuh dialog berkepanjangan tentang hak-hak mereka. Walaupun sering
berdebat, tetapi mereka tidak pernah jatuh ke dalam konflik etnis yang memiliki
skala kekerasan masif. Pertentangan antara pemerintah India di satu sisi dan
separatis Naga, Mizo, dan Gharo di sisi lain, telah berakhir dengan jalan
dialog dan kompromi politis. (Brown, 1997)
Ketika kelompok etnis yang saling berbeda
pendapat dapat menyelesaikan pertentangan mereka melalui jalan dialog, maka
pengaruh pertentangan tersebut sangatlah kecil bagi negara di sekitarnya, atau
bagi masyarakat internasional secara keseluruhan. Jalan dialog biasanya juga
akan mendapatkan dukungan besar dari komunitas internasional, sehingga walaupun
saling bertentangan, tetapi hak-hak individu dan hak-hak kaum minoritas dapat
tetap terjamin. Maksimal, jika jalan dialog berhasil, satu-satunya yang perlu
dirancang ulang adalah perjanjian dagang antara komunitas yang saling bertentangan.
Di luar itu, dampak yang dirasakan biasanya sangat kecil.
Pada kasus-kasus lain, kelompok-kelompok
etnis yang saling bertentangan tidak dapat merumuskan suatu perjanjian yang
mampu menampung kepentingan semua pihak. Oleh karena itu, satu-satunya jalan
yang dapat ditempuh adalah dengan memutuskan hubungan legal dan politis yang
sudah ada sebelumnya. Pada beberapa kasus, seperti pada pecahnya Uni Soviet dan
pecahnya Czechoslovakia, perpisahan legal-politis ini dapat bermuara pada
terjadinya pertumpahan darah, walaupun skalanya tidaklah besar. Walaupun
begitu, perpisahan legal-politis ini biasanya hanyalah di tataran makro saja.
Pada tataran mikro, kelompok-kelompok etnis yang saling berperang merasa
perpisahan tersebut akan mengancam totalitas identitas mereka, yang bermuara
pada terancamnya pengaruh politis mereka di dunia internasional. Maka, walaupun
terpisah secara legal-politis, kelompok etnis yang saling bertentangan biasanya
tetap memiliki hubungan yang erat satu sama lain.
Walaupun
begitu, perpisahan legal politis ini tetap membawa dampak besar bagi komunitas
internasional. Setidaknya, menurut Brown, ada enam dampak yang langsung
kelihatan (Brown, 1997, hal. 90). Pertama, apa yang sebelumnya dianggap sebagai
tapal batas dari negara tertentu, kini harus dipahami sebagai tapal batas dari
negara lain, atau tapal batas milik komunitas internasional. Kedua, komunitas
internasional juga harus memutuskan, apakah mereka akan mengakui kedaulatan
dari negara yang baru, atau tidak. Jika jawabannya positif, maka bentuk dan
mekanisme pengakuan kedaulatan atas negara baru tersebut haruslah dipikirkan
lebih jauh. Ketiga, komunitas internasional juga harus memutuskan status
keanggotaan negara baru tersebut di dalam organisasi-organisasi internasional,
seperti European Community, ASEAN, atau PBB.
Keempat,
perjanjian-perjanjian internasional yang melibatkan negara terkait juga harus
dirumuskan ulang. Misalnya, perjanjian pengurangan penggunaan senjata strategis
antara Uni Soviet dan Amerika Serikat haruslah dirumuskan ulang pada 1992,
karena pecahnya Uni Soviet yang mengakibatkan terbentuknya empat negara, yakni
Russia, Ukraina, Kazahkstan, dan Belarus. Keempat negara tersebut kini haruslah
merumuskan pernjanjian ulang terkait dengan isu senjata strategis. Secara umum,
komunitas internasional haruslah yakin, bahwa negara yang baru terbentuk akan
mengambil bagian di dalam perjanjian internasional terkait dengan isu-isu yang
penting.
Kelima,
perjanjian ekonomi dan finansial juga haruslah dirumuskan ulang, yang juga berarti
dibutuhkan suatu pendampingan ekonomi dan finansial yang intensif bagi negara
yang baru terbentuk. Dan keenam, komunitas internasional juga harus juga harus
melihat dampak dari terbentuknya negara baru tersebut bagi stabilitas regional
dengan negara-negara sekitarnya, sekaligus dampaknya bagi keseimbangan
kekuasaan di level internasional. Dampak ini sangatlah berpengaruh besar.
Contoh yang paling jelas adalah pecahnya Uni Soviet. Dalam konteks ini,
komunitas internasional harus memutuskan bagaimana mereka harus bersikap
terhadap negara baru yang terbentuk, misalnya dalam hal aliansi persenjataan.
Beberapa negara bekas Uni Soviet memutuskan untuk bergabung dengan NATO.
Daftar Pustaka
http://rosdayantilia.wordpress.com/2011/03/14/sifat-masyarakat-dengan-letak-geografisnya/
http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Jawa
http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Batak
http://www.kaskus.us/showpost.php?p=170430863&postcount=29
http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=373153147539627121
No comments:
Post a Comment