HENTIKAN
KEJAHATAN ANAK DENGAN HUKUMAN
By Muhammad Rakib, S.H., M.Ag
Seorang anak yang terus-menerus
melakukan perbuatan yang buruk padahal sudah sering kali diperingatkan, agar tidak melakukan perbuatan tersebut harus dihentikan
dengan hukuman. Kalau kebiasaan buruknya tidak segera dihentikan, anak akan semakin berani melawan. Tentunya
hukuman harus ringan dan tepat sasaran.
Alasan lain menurut kelompok penantang, bahwa hukuman fisik sama sekali
tidak mendidik, sebab hukuman itu tidak menghilangkan motivasi buruknya. Memang akan mengurungkan niatnya, karena perasaan
takut, tapi di dalam batinnya keinginan itu tetap ada. Ketika rasa takut itu,
hilang, si anak akan kembali mengulangi perbuatan buruknya. Pukulan itu mungkin
dihadapi oleh si anak dengan pura-pura berjanji akan menghentikan kebiasaan
buruknya. Karena itu patut diingat statmen mereka bahwa hukuman juga akan
melahirkan anak-anak yang asosial, penakut serta pasif.
Pernyataan bahwa hukuman itu tidak menghentikan apa yang
bergetar di dalam batin. Untuk menghentikan kenakalan-kenakalannya, hal
ini menurut penulis, harus dipelajari
apa sebetulnya yang menjadi latar belakang kenakalan-kenakalannya dan dicari
solusinya sehingga anak-anak itu tidak mengulangi perbuatan buruknya. Tetapi jika si anak tetap saja mengulangi
perilaku jeleknya, maka tidak ada cara lain selain memberinya hukuman. Rasa
takut akan hukuman itu dapat menghentikan keinginan atau minimal mengurangi
minatnya untuk berbuat buruk. Kalau hukuman itu diberikan secara proporsional,
tidak akan melahirkan hal-hal yang tidak diharapkan. Memang benar seorang anak
harus tumbuh dalam keceriaan dan kebebasan tapi pada saat yang sama anak-anak
juga harus diajari bahwa di dunia ini tidak semua orang bisa hidup dengan
kebebasan mutlak, lebih-lebih lagi kalau kebebasan itu dapat merugikan orang
lain.
6. Memukul anak Sebagai
Instrumen
Hukuman pukulan bagi anak-anak
adalah Instrumen sekunder . Sebagian pakar menerima hukuman sebagai bagian yang
tak terpisahkan dari pendidikan, tapi tidak secara mutlak. Hukuman adalah
instrumen sekunder dan diberikan dalam kondisi serta syarat tertentu. Jadi,
menurut penulis, kalau guru atau orang tua masih bisa menangani anak didiknya
dengan nasihat-nasihat atau dengan penjelasan rasional, tidak perlu memberikan hukuman. Hukuman boleh diberikan setelah nasihat-nasihat
verbal atau apa saja tidak lagi dapat mengusik kesadarannya.
Dalam kaitan ini, Russel menulis,
"Saya sendiri secara pribadi ingin mengatakan bahwa hukuman fisik dalam
proses pendidikan sangat tidak berarti, bahkan mungkin hanya masuk sebagai
alternatif kedua." John Locke
menulis, "Benar bahwa hukuman fisik kadang-kadang diperlukan. Tetapi harus
disadari bahwa tujuan sebuah hukuman adalah mendidik moral. Yang harus dilakukan
adalah membuat anak merasa malu berbuat nakal
dan bukan karena takut akan sanksi
hukuman. Hukuman yang terlalu keras melatih anak-anak menjadi patuh secara
lahiriahnya saja."
A.L Gary Gore menulis, "Ada kalanya orang dewasa harus
memberikan hukuman fisik kepada anak-anak. Misalnya jika anak-anak usia sekolah
atau sudah agak dewasa mengganggu ayah dan ibu atau adik mereka. Sebelumnya
sudah diperingatkan tapi tetap
meneruskan kenakalannya, anak-anak itu harus diberi hukuman.."
Sebaliknya orangtua selayaknya menggunakan hukuman dengan strategi yang tepat. Kalau dilaksanakan ketika dalam puncak kemarahan dan tanpa pertimbangan
terhadap kondisi dan psikologi anak-anak, bisa-bisa merusak hubungan orangtua
dan anak. Anak akan kehilangan kepercayaan dan juga bisa dendam. Hukuman yang tidak
tepat, akibatnya anak tidak mematuhi keinginan orang tua, karena melukai hatinya. Timbul dalam
diri anak keinginan membalas rasa sakit hatinya. Sebelum
menjatuhkan hukuman terhadap anak-anak dipertimbangkan secara baik dan manfaat dan mudaratnya. Hukuman apa dan dalam
kondisi bagaimana hukuman itu patut diberikan dan tidak patut diberikan
terhadap anak-anak.
Hukuman memang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dalam membina anak-anak, malahan dalam situasi tertentu
mutlak diperlukan. Tetapi pada saat yang sama ia sama sekali tidak setuju
secara mutlak dengan hukuman fisik. Ia tidak keberatan dengan hukuman-hukuman
non-fisik tapi bukan hukuman non-fisik yang berat. Ia menambahkan, "Perlu
diingat bahwa jangan sekali-kali memberikan hukuman yang akan merendahkan harga
diri anak, seperti hukuman badan, ancaman dengan siksaan atau apa saja demi
menghancurkan keinginan buruknya. Hindarilah hukuman-hukuman seperti memukul,
atau menyekap anak di ruangan yang gelap dan sempit."
Secara yuridis, Undang-undang tentang
perlindungan guru telah termuat dalam UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen. Hal
ini terlihat jelas pada Bab VII pasal 39 yang menyebutkan bahwa pemerintah,
masyarakat, organisasi profesi, dan atau satuan pendidikan, wajib memberikan
perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas. Hal ini terlihat bahwa
eksistensi UU No.14/2005 telah memuat perlindungan, terhadap guru atas profesinya. Namun
implementasi terhadap undang-undang tersebut masih belum terlaksana. Islam
menerima hukuman sebagai bagian dari sistem pendidikan. Ada beberapa kategori
hukuman dalam Islam: Hukuman non-fisik seperti ancaman, peringatan atas
orang-orang yang berdosa dengan siksaan di hari akhirat, denda, dan diat.
Ayat-ayat al-Quran mengilustrasikan dalam berbagai kesempatan tentang kabar
gembira untuk orang-orang yang beriman dan ancaman akhirat untuk orang-orang
yang berdosa. Bahkan nabi sendiri diperkenalkan sebagai pembawa kabar gembira
dan pembawa peringatan. Hukuman jenis
kedua yaitu hukuman fisik yang bersyarat,
seperti hukuman penjara, pengasingan, kisas, pukulan, hukuman aturannya telah ditetapkan oleh syariat.
Dalam pembunuhan yang disengaja
wali yang dibunuh bisa meminta hukuman qishas terhadap hakim. Dalam pembunuhan
yang tidak disengaja si pembunuh wajib menyerahkan denda (diat) kepada wali
yang dibunuh. Perempuan dan laki-laki yang berzina akan mendapatkan hukuman
cambuk sebanyak seratus kali deraan. Perilaku homo seksualitas (liwâth) yang
disengaja dalam kondisi tertentu akan mendapatkan hukuman mati. Peminum khamar
dalam kondisi tertentu akan mendapatkan hukuman cambuk seratus kali, mencuri
dalam kondisi tertentu akan mendapatkan hukuman potong tangan.
Siapa saja yang dengan sengaja
mengakibatkan anggota badan orang lain terpotong akan dikisas oleh hakim
syar'i, yaitu dipotong anggota badan yang sama, tapi kalau secara tidak sengaja
maka ia harus membayar denda dalam jumlah tertentu. Untuk mengetahui lebih
lengkap tentang aturan-aturan hukuman Islam, Anda bisa merujuk kitab-kitab
fikih. Hukuman jenis ketiga yaitu ta'zîr. Ta'zîr adalah hukuman fisik yang
ketentuannya diatur oleh seorang hakim tetapi tentunya lebih ringan dari
had. Dalam kasus pelanggaran yang
hukumannya tidak ditentukan oleh syariat, sang hakim tidak bisa memberikan
hukuman yang sesuai dengan pelanggaran itu hanya demi kemaslahatan umum, tapi
ia bisa memberikan hukuman yang kurang dari had. Contohnya kalau seorang
laki-laki mencium anak atau perempuan yang bukan istrinya dengan penuh nafsu,
sang hakim syar'i dapat menjatuhkan hukuman ta'zîr .
Laki-laki dan perempuan (bukan
muhrim) yang tidur terlentang di atas ranjang. Secara umum siapa saja yang
melakukan dosa besar maka ia bisa dijatuhi hukuman ta'zîr dari sang hakim.
“Islam memberi tempat bagi hukuman fisik”,
dan non-fisik sebagai bagian dari pendidikan yang penting dan demi
memelihara keadilan dan ketenteraman masyarakat. Islam melegalkan
hukuman-hukuman itu bukan sebagai bentuk balas dendam kepada orang-orang yang
berdosa, namun untuk menjaga stabilitas sosial dan hak-hak manusia. Hukuman
dalam jarimah ta’zir tidak ditentukan ukurannnya oleh Al-quran dan hadits,
artinya untuk menentukan batas terendah dan tertinggi diserahkan sepenuhnya
kepada hakim (penguasa). Dengan demikian, syari’ah mendelegasikan kepada hakim
untuk menentukan bentuk-bentuk dan hukuman kepada pelaku jarimah. Abd al- Qadir
Awdah membagi jarimah ta’zir menjadi tiga, yaitu :
1) Jarimah hudud dan qishash diyat yang
mengandung unsur shubhat atau tidak memenuhi syarat, namun hal itu sudah
dianggap sebagai perbuatan maksiat, seperti pencurian harta (syirkah),
pembunuhan ayah terhadap anaknya, dan percurian yang bukan harta benda.
2) Jarimah ta’zir yang jenis jarimahnya
ditentukan oleh nas, tetapi sanksinya oleh syari’ah diserahkan kepada penguasa,
seperti sumpah palsu, saksi palsu, mengurangi timbangan, menipu, mengingkari
janji, menghianati amanah, dan menghina agama.
3) Jarimah ta’zir dimana jenis jarimah dan
sanksinya secara penuh menjadi wewenang penguasa demi terealisasinya
kemaslahatan umat. Dalam hal ini unsur akhlak menjadi perimbangan yang paling
utama. Misalnya pelanggaran terhadap peraturan lingkungan hidup, lalu lintas,
dan pelanggaran terhadap pemerintah lainnya.
Dalam menetapkan jarimah ta’zir, prinsip
utama yang menjadi acuan penguasa adalah menjaga kepentingan umum dan
melindungi setiap anggota masyarakat dari kemudharatan (bahaya). Di samping
itu, penegakkan jarimah ta’zir harus sesuai dengan prinsip syar’i.
Hukuman-hukuman ta’zir banyak jumlahnya, yang dimulai dari hukuman paling
ringan sampai hukuman yang terberat. Hakim diberi wewenang untuk memilih
diantara hukuman-hukuman tersebut, yaitu hukuman yang sesuai dengan keadaan
jarimah serta diri pembuatnya. Hukuman ta’zir antara lain.
1. Hukuman mati
Pada dasarnya menurut
syari’ah Islam, hukuman ta’zir adalah memberikan pengajaran (ta’dib) dan tidak
sampai membinasakan. Dalam hukuman ta’zir tidak boleh ada pemotongan anggota
badan atau penghilangan nyawa. Akan tetapi beberapa fuqaha’ memberikan
pengecualian dari aturan umum tersebut, yaitu kebolehan dijatuhkan hukuman mati
jika kepentingan umum menghendaki demikian, atau kalau pemberantasan tidak bisa
terlaksana kecuali dengan jalan membunuhnya, seperti mata-mata, pembuat fitnah,
residivis yang membahayakan. Namun menurut sebagian fuqaha’ yang lain dalam
jarimah ta’zir tidak ada hukuman mati.
2. Hukuman cambuk
Di kalangan fuqaha’
terjadi perbedaan tentang batas tertinggi hukuman jilid dalam ta’zir. Menurut pendapat
yang terkenal di kalangan ulama’ Maliki, batas tertinggi diserahkan kepada
penguasa karena hukuman ta’zir didasarkan atas kemaslahatan masyarakat dan atas
dasar berat ringannya jarimah. Imama Abu Hanifah dan Muhammad berpendapat bahwa
batas tertinggi hukuman jilid dalam ta’zir adalah 39 kali, dan menurut Abu
Yusuf adalah 75 kali. Sedangkan di kalangan
madzhab Syafi’i ada tiga pendapat. Pendapat pertama sama dengan pendapat
Imam Abu Hanifah dan Muhammad. Pendapat kedua sama dengan pendapat Abu Yusuf.
Sedangkan pendapat yang ketiga, hukuman jilid pada ta’zir boleh lebih dari 75
kali, tetapi tidak sampai seratus kali, dengan syarat lain bahwa jarimah ta’zir
yang dilakukan hampir sejenis dengan jarimah hudud.
Dalam mazhab Hanbali
ada lima pendapat. Tiga di antaranya sama dengan pendapat madzhab Imam Syafi’i.
Pendapat keempat mengatakan bahwa jilid yang diancam atas sesuatu perbuatan
jarimah tidak boleh menyamai hukuman yang dijatuhkan terhadap jarimah lain yang
sejenis, tetapi tidak boleh melebihi hukuman jarimah lain yang tidak
sejenisnya. Pendapat kelima mengatakan bahwa hukuman ta’zir tidak boleh
melebihi 10 kali. Alasannya adalah hadits dari Abu Darda’ sebagai berikut :
“Seseorang tidak boleh dijilid lebih dari sepuluh kali, kecuali dalam salah satu
hukuman hudud”
3. Hukuman Kurungan
Ada dua macam
hukuman dalam hukum Islam. Pembagian ini
didasarkan pada lama waktu hukuman. Pertama, hukuman tahanan terbatas. Batas
terendah dari hukuman ini adalah satu hari, sedangkan tentang batas tertinggi,
ulama’ berbeda pendapat. Ulama Syafi’iyyah menetapkan batas tertingginya satu
tahun, karena mereka mempersamakannya dengan pengasingan dalam jarimah zina.
Sementara ulama-ulama lain menyerahkan semuanya kepada penguasa berdasarkan
maslahat. Kedua, hukuman tahanan tidak terbatas. Sudah disepakati bahwa hukuman
tahanan ini tidak ditentukan terlebih dahulu, melainkan berlangsung terus
sampai terhukum mati atau taubat dan baik pribadinya. Orang yang dikenakan
hukuman ini adalah penjahat yang berbahaya, atau orang yang berulang-ulang
melakukan jarimah yang berbahaya.
b) Perbedaan jarimah ta’zir dengan hudud
Perbedaan yang menonjol
antara jarimah hudud, qishas, dan jarimah ta’zir:
1. Dalam jarimah hudud tidak ada pemaafan,
baik oleh perseorangan maupun oleh ulul amri. Sedangkan jarimah ta’zir
kemungkinan pemaafan itu ada, baik oleh perorangan maupun oleh ulul amri, bila
hal itu lebih maslahat.
2. Dalam jarimah ta’zir hakim dapat memilih
hukuman yang lebih tepat bagi si pelaku sesuai dengan kondisi pelaku, situasi,
dan tempat kejahatan. Sedangkan dalam jarimah hudud yang diperhatikan oleh
hakim hanyalah kejahatan material.
3. Pembuktian jarimah hudud dan qishas harus
dengan saksi atau pengakuan, sedangkan pembuktian jarimah ta’zir sangat luas
kemungkinannya.
4. Hukuman Had maupun qishas tidak dapat
dikenakan kepada anak kecil, karena syarat menjatuhkan had si pelaku harus
sudah baligh sedangkan ta’zir itu bersifat pendidikan dan mendidik anak kecil
boleh.
Sebagai perbandingan, hukuman
bagi anak sebagai pelaku tindak pidana
“Anak Nakal” dengan ancaman pidana mati,
menurut hukum positif, tidak akan dikenai pidana mati maupun pidana penjara
seumur hidup. Hal ini didasarkan pada Pasal 26 ayat (2) UU No. 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak yang menyatakan:
“Apabila anak nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a,
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup, maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak tersebut
paling lama 10 (sepuluh) tahun.” Bagaimana sanksi hukum bagi anak berumur 14
tahun yang melakukan pembunuhan,
pencurian motor? Apakah dibebaskan dengan syarat? Apakah bebas tanpa
syarat jika pihak korban menarik kembali tuntutannnya? Jika bebas tanpa syarat,
berhakkah pihak polisi menahan anak tersebut? Jika tidak apa yang harus saya
lakukan sebagai wali anak tersebut, mengingat pihak polisi bersikukuh
menahannya! Dalam kasus anak berumur 14 (empat belas) tahun maka sanksi
yang dijatuhkan dapat saja berupa pidana.
7. Memukul Anak yang Melanggar Hukum
Pada hakekatnya, segala bentuk
penanganan terhadap anak yang melanggar hukum harus dilakukan dengan
memprioritaskan kepentingan terbaik untuk si anak. Karena itu, keputusan yang
diambil hakim (apabila kasus diteruskan sampai persidangan) harus adil dan
proporsional, serta tidak semata-mata dilakukan atas pertimbangan hukum, tapi
juga mempertimbangkan berbagai faktor lain, seperti kondisi lingkungan sekitar,
status sosial anak, dan keadaan keluarga. Hal-hal ini dijamin serta diatur
dalam UU Pengadilan Anak.
No comments:
Post a Comment