- HUKUM TIDAK BERLAKU
- KEPADA SETIAP ORANG
KATA PENGANTAR
Pada tahun 1986 penulis sedang menunggu ujian di Fak Tarbiyah IAIN Suska, entah bagaimana, penulis menambah kuliah lagi di Fak Hukum UIR Riau di Pekanbaru. Penulis ingin merasakan bagaimana enaknya menjadi SH. Tapi penghalangnya uang kuliah yang mahal Rp.15.000., per-sks waktu itu. Penulis hanya mengambil 8 SKS= Rp.120.000., sedngkan gaji pertama penulis sebagai PNS waktu itu hanya Rp.53.000., akibatnya penulis super tekor.
Untung masih bujangan. Umur sudah 26 tahun. Pacar di kampungpun diambil orang, karena terlambat datang, demi mengumpulkan uang kuliah. Di antara mata pelajaran yang menarik, tentang overmach, keterpaksaan yang menyebabkan pelakunya tidak dapat dihukum. Cerita yang disajikan dosen, tentang PAPAN KARNEDES. Satu papan di tengah laut, hanya cukup untuk satu orang, tapi mereka berdua. Temannya memukul dan merampas papan itu, akaibatnya, temannya mati. Yang memukul dituntut di pengadilan Yunani waktu itu.
Orang gila, orang yang sedang tidur
nyenyak, dan anak-anak yang belum dewasa dan orang yang terlupa tidak dikenai
taklif (tuntutan), sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:
رُفِعَ
الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَ ثٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِىِّ
حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يُفِيْقُ.
(روه ابوداود والنسائ)
“Pena itu telah diangkat (tidak dipergunakan mencatat)
amal perbuatan tiga orang: (1) orang yang tidur hingga ia bangun, (2) anak-anak
hingga ia dewasa, dan (3) orang gila hingga sembuh kembali”
Hal-hal yang menggugurkan taklif dalam Ilmu Ushul
Fikih disebut : عَوَارِضُ
الأَهْلِيَّةِ(hal-hal yang
menghilangkan Keahlian), yang terbagi ke dalam dua macam, yaitu:
1. سَمَاوِيَّةُ
عَوَرِضُ = hal-hal yang menghalang yang bersifat samawi,
artinya diluar usaha dan kehendak manusia. Seperti gila, agak kurang waras
akalnya, dan lupa.
2. كَسْبِيَةٌعَوَرِضُ = hal-hal yang menghalang yang berasal dari usaha dan
kehendak manusia. Seperti mabuk,
bodoh, dan hutang.
OVERMACH PENGHALANG
Halangan ahliyyah yaitu hal-hal yang menghalang yang bersifat
samawi, artinya diluar usaha dan kehendak manusia, dan hal-hal yang menghalang yang berasal dari usaha dan
kehendak manusia.(Overmach dalam bahasa Belanda).
PENDAHULUAN
Jika dalam Hukum pidana Indonesia,
pasal 44 tentang orang yang tidak berlaku hukuman baginya, maka dalam hukum
Islam juga demikian, bahwa bagi orang tertentu hukum tidak berlaku.
Hukum
tersebut tidak berlaku bagi setiap orang?
Tidakkah anda mengenal kondisi orang
tersebut? Bagaimana dengan anak kecil yang belum mumayyis dan orang gila yang
sejatinya memang tidak bisa berfikir? Untuk itu dalam tulisan ini akan dibahas
tentang mahkum alaih, syarat-syarat orang dikenai mahkum alaih, dan bagaimana seorang itu
bisa terkena gangguan ahliyah.
1. Apa yang di maksud dengan mahkum alaih?
2. Apa dasar-dasar taklif?
3. Apa saja syarat-syarat taklif?
4. Apa yang di maksud dengan ahliyah?
5. Apa
yang di maksud dengan awaridl ahliyah?
Pengertian
Mahkum Alaih
Para ulama’ ushul fiqh mengatakan
bahwa yang di maksud dengan mahkum alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai khitab Allah ta’ala, yang disebut dengan mukallaf.
Secara etimologi, mukallaf
berarti yang di bebani hukum. Dalam ushul fiqqh, istilah mukallaf di sebut juga
mahkum alaih (subjek hukum). Orang mukallaf adalah orang yang telah di anggap
mampu bertindak hukum, baikyang berhubungan dengan perintah Allah maupun dengan
larangan-Nya. Seluruh tindakan hukum mukallaf harus di pertanggungjawabkan. Apabila
ia menggerjakan perintah Allah, maka ia mendapatkan imbalan pahala dan
kewajibannya terpenuhi, sedangkan apabila ia mengerjakan larangan Allah, maka
ia mendapat resiko dosa dan kewajibannya belum terpenuhi.[1]
2. Dasar Taklif
Seorang manusia belum dikenakan
taklif (pembebanan hukum) sebelum ia cakap untuk bertindak hukum. Untuk itu,
para ulama’ ushul fiqh, mengemukakan bahwa dasar pembebanan hukum adalah akal
dan pemahaman, maksudnya, seseorang baru bisa dibebani hukum apabila ia berakal
dan dapat memahami secara baik taklif yang di tujukan kepadanya. Dengan
demikian, orang yang tidak atau belum berakal, seperti orang gila dan anak
kecil tidak dikenakan taklif. Karena mereka tidak atau belum berakal, maka
mereka di anggap tidak bias memahami taklif dari syara’. Termasuk ke dalam hal
ini adalah orang yang dalam keadaan tidur, mabuk dan lupa. Orang sedang tidur,
mabuk dan lupa, tidak dikenai taklif karena ia dalam keadaan tidak sadar
(hilang akal).hal ini sejalan dengan sabda rasulullah:
رُفِعَ الْقَلَمَ عَنْ ثَلاَثٍ : عَنِ
الناَئِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِضَ وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ المَجْنُوْنِ
حَتَّى يُفِيْقَ
Di angkatkan pembebanan hukum
dari tiga (jenis orang) : orang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai ia
baligh, dan orang gila sampai ia sembuh. (H.R. Al-Bukhari, Abu Daud,
al-tirmidzi, al-Nasa’I, ibn majah, dan al-daraquthni dari aisyah dan ali bin
abi thalib)[2]
3. Syarat-syarat Taklif
Para ulama’ ushul fiqh sepakat
menyatakan bahwa perbuatan seseorang baru bias di kenai taklif apabila orang
tersebut telah memenuhi dua syarat, yaitu:
a. Orang itu telah mampu memahami khithab
syar’I (tuntunan syara’) yang terkandung dalam al-Qur’an dan sunnah, baik
secara langsung maupun melalui orang lain; karena seseorang yang melakukan
suatu pekerjaan-disuruh atau dilarang-tergantung pada pemahamanyaterhadap
suruhan dan larangan yang menjadi khithab syar’i. dengan demikian, orang yang
tidak mempunyai kemampuan untuk memahami khitab syar’i tidak mungkin untuk
melaksanakan suatu talif.
b. Seseorang harus cakap bertindak hukum,
yang dalam ushul fiqh disebut dengan ahliyah. Artinya, apabila seseorang belum
atau tidak cakap bertindak hukum, maka selurh perbuatan yang ia lakukan belum
atau tidak bisa di pertanggungjawabkan. Oleh sebab itu, anak kecil yang belum
baligh, belum cakap bertindak hukum dan tidak di kenakan tuntutan syara’. Orang
gila juga tidak di bebani hukum karena kecakapan bertindak hukumnya hilang.
Demikian juga orang pailit dan orang yang berada di bawah pengampuan (hajr),
dalam masalah harta, di anggap tidak cakap bertindak hukum, karena kecakapan
bertindak hukum mereka dalam masalah harta di anggap hilang.[3]
4. Ahliyah
a. Pengertian Ahliyah
Dari segi etimologi ahliyah
berarti “kecakapan manangani suatu urusan”. Misalnya, seseorang di katakana
ahli untuk menduduki suatu jabatan/posisi; berarti ia mempunyai kemampuan
pribadi untuk itu.
Secara terminology, para ahli
ushul fiqh mendefinisikan ahliyah dengan:
صِفَةٌ يُقَدِّرُهاَ الشَّارِعُ فِى
الشَّحْصِ تَجْعَلُهُ مَحَلاًّ صاَلِحاً لِخِطاَبٍ تَشْرِيْعِيٍّ
Suatu sifat yang dimiliki
seseorang, yang di jadikan ukuran oleh syari’ untuk menentukan seseorang telah
cakap dikenai tuntutan syara’.
Maksudnya, Ahliyah adalah sifat
yang menunjukkan seseorang itu telah sempurna jasmani dan akalnya, sehingga
seluruh tindakanya dapat dinilai oleh syara’. Apabila seseorang telah mempunyai
sifat ini, maka ia dianggap telah sah melakukan suatu tindakan hukum, seperti
transaksi yang bersifat pemindahan hak milik kepada orang lain. Oleh sebab itu,
jual belinya sah, hibahnya sah, dan telah cakap untuk menerima tanggung jawab,
seperti nikah, nafkah, dan menjadi saksi. Sifat kecakapan bertindak hukum itu
dating kepada seseorang secara evolusi melalui tahapan-tahapan tertentu, sesuai
dengan perkembangan jasmani dan akalnya;tiadak sekaligus.
b. Pembagian Ahliyah
Para ulama’ membagi ahliyah
kepada dua bntuk, yaitu ahliyah al-wujud dan ahliyah al-ada’.
Ø
Aliyah ada’ adalah sifat kecakapan bertindak hukum seseorang telah di
anggap sempura untuk mempertanggung jawabkan seluruh perbuatanya, baik yang
bersifat positif maupun negatif. Apabila ia mengerjakan perbuatan yang di
tuntut syara’ maka ia di anggap telah memenuhi kewajiban, dan untuk itu ia di
beri pahala. Apabila ia melanggar tuntutan syara’ maka ia berdosa. Karena itu,
ia telah cakap untuk menerima hak-hak dan kewajiban.
Ø
Ahliyah al-wujud adalah sifat kecakapan seseorang untuk menerima hak-hak
dan menjadi haknya, tetapi belum cakap untuk dibebani seluruh kewajiban.
Misalnya, apabila seseorang menghibahkan hartanya pada orang yang memiliki
ahliyah al-wujud, maka yang di sebut terakhir ini telah cakap menerima hibah
tersebut. Apabila harta bendanya di rusak orang lain, maka ia dianggap cakap
untuk menerima ganti rugi. Demikian juga halnya dalam masalah harta warisan ,
ia dianggap cakap untuk menerima harta waris dari keluarganya yang meninggal
dunia. Para ulama’ ushul fiqh juga membagi ahliyah al-wujud kepada dua bagian
yaitu:
· Ahliyah al-wujud
al-naqishah
Yaitu ketika seorang itu masih
berada dalam kandungan ibunya (janin). Janin di anggap memiliki ahliyah
al-wujud yang belum sempurna, karena hak-hak yang harus ia terima belum dapat
menjadi miliknya, sebelum ia lahir ke dunia dengan selamat, walau hanya untuk
sesaat. Apabila ia telah lahir, maka hak-hak yang ia terima menjadi miliknya
· Ahliyah al-wujud
al-kamilah
Yaitu kecakapan menerima hak bagi
seorang anak yang telah lahir ke dunia sampai ia dinyatakan baligh dan berakal,
sekalipun akalnya masih kurang, seperti orang gila.
Dalam status ahliyah al-wujud
(sempurna atau tidak), seseorang tidak di bebani tuntutan syara’, baik yang
bersifat ibadah seperti sholat dan puasa(yang bersifat rohani), maupun
tindakan-tindakan hukum duniawi seperti transaksi yang bersifat pemindahan hak
milik.[4]
5. Pengertian Awaridl Ahliyah
Yang dimaksud awaridl ahliyah
adalah gangguan/halangan yang menimpa ahliyah (yang dimaksud manusia) baik
gangguan itu menimpa ahliyahul wujud (orang yang berhak dan berkewajiban)
maupun yang menimpa ahliyatul ada’ (kepantasan seseorang untuk diperhitumgkan
oleh syara’)
Awaridl ahliyah tersebut dapat
pula dibagi kepada dua bagian:
a. Awaridl al-samawiyah, maksudnya halangan
yang datangnya dari Allah. Bukan disebabkan perbuatan manusia, seperti gila,
dungu, perbudakan, mardh maut (sakit yang berkelanjutan dengan kematian) dan
lupa.
b. Awaridl al-mukhtasabah, maksudna halangan
yang disebabkan perbuatan manusia, seperti mabuk, terpaksa, tersalah, berada di
bawah pengampunan dan bodoh.[5]
D. KESIMPULAN
Para ulama’ ushul fiqh mengatakan
bahwa yang di maksud dengan mahkum alaih adalah seseorang yang perbuatanya di
kenai khitab Allah ta’ala, yang disebut dengan mukallaf.
Secara etimologi, mukallaf
berarti yang di bebani hukum. Dalam ushul fiqqh, istilah mukallaf di sebut juga
mahkum alaih (subjek hukum). Orang mukallaf adalah orang yang telah di anggap
mampu bertindak hukum, baikyang berhubungan dengan perintah Allah maupun dengan
larangan-Nya.
Syarat-syarat taklif:
a. Orang itu telah mampu memahami khithab
syar’I (tuntunan syara’) yang terkandung dalam al-Qur’an dan sunnah.
b. Seseorang harus cakap bertindak hukum,
yang dalam ushul fiqh disebut dengan ahliyah.
Dari segi etimologi ahliyah
berarti “kecakapan manangani suatu urusan”. Misalnya, seseorang di katakana
ahli untuk menduduki suatu jabatan/posisi; berarti ia mempunyai kemampuan
pribadi untuk itu.
Para ulama’ membagi ahliyah
kepada dua bntuk, yaitu ahliyah al-wujud dan ahliyah al-ada’.
Yang dimaksud awaridl ahliyah
adalah gangguan/halangan yang menimpa ahliyah (yang dimaksud manusia) baik
gangguan itu menimpa ahliyahul wujud (orang yang berhak dan berkewajiban)
maupun yang menimpa ahliyatul ada’ (kepantasan seseorang untuk diperhitumgkan
oleh syara’). Awaridl ahliyah juga terbagi menjadi dua, yaitu: Awaridl
al-samawiyah dan awaridl al-mukhtasabah
E. PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami
sampaikan, kami yakin masih banyak kekurangan dan kesalahan yang terdapat dalam
makalah ini baik dari isi maupun tulisan, oleh larena saran dan kritik sangat
kami harapkan. Semoga apa yang kami tulis dapat bermanfaat bagi kita
semua.amin…
DAFTAR PUSTAKA
H. Nasroen Haroen, Ushul Fiqih 1,
Logos, (Bandung:1999)
H.A. Syafi’I Karim, Fiqih-Ushul
Fiqih, Cv Pustaka Setia (Bandung:1997)
Khairul Umam, Ushul Fiqih 1, CV
Pustaka Setia, (Bandung: 2000)
No comments:
Post a Comment