ANAK BOLOSORANG TUA DIHUKUM PENJARA
Angka ini meningkat di mana 11.188 orang tua
dijatuhi sanksi serupa. Sebanyak 25 orangtua di antaranya dihukum penjara,
dengan vonis terlama 90 hari. Sejumlah 9.000 orang divonis bersalah dan dua
pertiga di antaranya dijatuhi denda. Denda maksimal untuk kejahatan ini adalah 850 poundsterling atau
sekitar Rp12 juta. Lebih dari 400 orangtua mendapatkan hukuman kerja sosial,
dan 53 lainnya ditangguhkan hukumannya.Jumlah orangtua yang dihukum
akibat anak yang membolos di
Inggris dari tahun ke tahun bertambah jumlahnya. Pada tahun 2005, tercatat
hanya 4.000 orangtua yang dihukum. Jumlah orangtua yang dipenjara konstan,
sekitar 15 hingga 20-an.
Adapun
pukulan yang dimaksud adalah: a. Pukulan yang dapat diterima oleh si anak,
berupa pukulan yang ringan, b. Pukulan yang tidak menimbulkan bekas atau luka
pada tubuh si anak, c. Pukulan di bagian tubuh, kecuali wajah.[1]
Bersikap adil kepada semua anak dan bersabar dalam menghadapi mereka. Orang tua
terkadang memiliki kecenderungan pada salah satu atau sebagian anak dibandingkan
dengan anak-anak lainnya, baik dalam hal materi maupun imateri. Padahal, sikap
orang tua yang demikian itu tidak akan memberikan dampak yang baik bagi
kejiwaan anak-anaknya. Sebab akan ada anak yang merasa tidak disayangi dan
tersisihkan, sementara dia melihat saudaranya mendapatkan perlakuan berbeda
dari orang tuanya. Hal seperti ini akan sangat mungkin untuk memicu
perselisihan bahkan permusuhan antar sesama saudara. Dan sikap seperti ini juga
berarti menzhalimi mereka.[2]
Selain
itu, orang tua juga harus menyadari bahwa anak adalah fitnah bagi orang tua maka hendaknya orang tua dapat
bersabar dalam menghadapi gangguan dari anak-anaknya. Allah ‘Azza wa Jalla
berfirman, Artinya: “Dan ketahuilah! Sesungguhnya harta-hartamu dan
anak-anakmu adalah fitnah (ujian/cobaan bagimu). Dan sesungguhnya Allah (yang)
disisi-Nyalah terdapat ganjaran yang besar.” [3]
Artinya: “Hartamu dan anak-anakmu adalah fitnah (ujian/cobaan bagimu). Dan
sesungguhnya Allah (yang) di sisi-Nyalah
terdapat ganjaran yang besar.” (Qs. Ath-Taghabun: 15).Terutama bagi
pasangan orang tua yang memiliki anak perempuan, hendaknya mereka bersabar
dalam mengasuh dan mendidiknya, karena anak perempuan yang diasuh dengan baik
oleh orang tuanya dapat menjadi penghalang bagi kedua orang tuanya dari api
Neraka. Dan hal ini telah dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam sabdanya berikut ini,. Artinya: “Barang
siapa diuji dengan anak-anak perempuan lalu dia memberi asuhan yang baik kepada
mereka, maka anak-anak perempuan itu akan menjadi penghalang antara dirinya
dari Neraka.[4].
Secara yuridis,
UU Perlindungan Guru dan Dosen telah termuat dalam UU No 14/2005. Hal ini
terlihat jelas pada Bab VII pasal 39 yang menyebutkan bahwa Pemerintah,
masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan wajib memberikan
perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas.Adapun maksud Perlindungan
Profesi yang diamanatkan dalam UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen adalah
perlindungan terhadap Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang tidak sesuai dengan
peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, pemberian imbalan yang tidak
wajar, pembatasan dalam menyampaikan pandangan, pelecehan terhadap profesi, dan
pembatasan/pelarangan lain yang dapat menghambat guru dalam melaksanakan tugasnya.
Sementara perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja meliputi perlindungan
terhadap risiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja, kesehatan, dan/atau
resiko lainnya.Berangkat dari paparan di atas, terlihat bahwa eksistensi UU No
14/2005 telah memuat perlindungan terhadap guru atas profesinya.
Implementasi terhadap UU tersebut
masih belum terlaksana. UU tersebut lebih banyak disoroti sebagai kekuatan
hukum atas peningkatan kesejahteraan guru/dosen, sementara perlindungan
terhadap profesi guru/dosen seringkali lepas dari perhatian.Jalan Tengah. Kita
tidak menutup mata terhadap tindakan oknum guru yang kurang mendidik dengan
memberikan hukuman di luar nilai pendidikan. Mereka meletakkan peserta didiknya
sebagai penjahat yang harus dihabisi, bukan sosok yang perlu dibimbing dan
diperbaiki. Demikian pula sikap orang tua/masyarakat yang mulai mengalami
pergeseran dalam memandang profesi guru.
Mereka terlalu banyak menuntut
guru agar dapat mengahntarkan peserta didik sebagai masyarakat terdidik, namun
tidak seiring dengan penghargaan dan perlindungan yang diberikan. Ada beberapa
langkah yang perlu diperhatikan guru dalam menghadapi murid yang bersalah,
sebelum mereka menetapkan hukuman, yaitu; Pertama, perlu memberikan laporan
kepada orang tua murid perihal prilaku anak mereka dengan cara pemanggilan
secara langsung. Tahapan ini dilakukan sebanyak 2 kali dengan ikut melibatkan
guru BK. Kedua, bila selama 2 kali pemanggilan tidak menunjukan perubahan dan
kerjasama yang baik, seorang guru bisa memberikan hukuman dengan syarat : (1).
Hukuman tidak pada tempat yang vital. (2) hukuman dilakukan dalam bentuk yang
mendidik. (3) hukuman dilaksanakan secara adil dan ikut mempertimbangkan aspek
psikologis peserta didik. Sulit menentukan kadar sanksi fisik di lingkungan
sekolah.
Perintahkan anak-anak kalian untuk melakukan
shalat saat usia mereka tujuh tahun, dan pukullah mereka saat usia sepuluh
tahun. Dan pisahkan tempat tidur mereka.[5]
(As-Subki berkata, "Wali bagi anak diwajibkan memerintahkan anaknya untuk
melakukan shalat saat mereka berusia tujuh tahun dan memukulnya (apabila masih
belum melaksanakan shalat) saat mereka berusia sepuluh tahun.Kami tidak
mengingkari wajibnya perintah terhadap perkara yang tidak wajib, atau memukul
terhadap perkara yang tidak wajib. Jika kita boleh memukul binatang untuk
mendidik mereka, apalagi terhadap anak? Hal itu semata-mata untuk kebaikannya
dan agar dia terbiasa sebelum masuk usia balig."[6]
Anak kecil diperintahkan untuk melakukan shalat saat mereka berusia tujuh tahun dan dipukul saat mereka berusia sepuluh tahun. Sebagaimana mereka juga diperintahkan untuk berpuasa Ramadan dan dimotivasi untuk melakukan segala kebaikan, seperti membaca Al-Quran, shalat sunah, haji dan umrah, memperbanyak membaca tasbih, tahlil, takbir dan tahmid serta melarang mereka dari semua bentuk kemaksiatan. Disyaratkan dalam masalah memukul anak yang tidak shalat yaitu pukulan yang tidak melukai, tidak membuat kulit luka, atau tidak membuat tulang atau gigi menjadi patah. Pukulan di bagian punggung atau pundak dan semacamnya. Hindari memukul wajah karena diharamkan memukul wajah berdasarkan larangan Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Pukulan hendaknya tidak lebih dari sepuluh kali, tujuannya semata untuk pendidikan dan jangan perlihatkan pemberian hukuman kecuali jika dibutuhkan menjelaskan hal tersebut karena banyaknya penentangan anak-anak atau banyak yang melalaikan shalat, atau semacamnya. Dari Abu Burdah Al-Anshari, dia mendengar Rasulullah bersabda, "Seseorang tidak boleh dipukul lebih dari sepuluh kali kecuali dalam masalah hudud (hukuman tetap) dari Allah Ta'ala." [7]
Ibnu Qayim
rahimahullah berkata,"Sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
'Tidak boleh memukul lebih dari sepuluh kali kecuali dalam masalah hudud'
maksudnya dalam hal jinayat (pidana kriminal seperti mencuri) yang merupakan
hak Allah. Jika ada yang bertanya,
"Kapan harus memukul di bawah sepuluh kali jika yang dimaksud hudud dalam
hadits tersebut adalah jinayah?"Jawabannya adalah saat seorang suami
memukul isterinya atau budaknya atau anaknya atau pegawainya dengan tujuan
mendidik atau semacamnya. Ketika itu tidak
boleh memukul lebih dari sepuluh kali.
Selayaknya hal tersebut
dilakukan tidak di depan orang lain untuk melindungi kehormatan sang anak atas
dirinya dan orang lain dari teman-temannya atau selainnya. Juga hendaknya
diketahui bahwa dalam perjalanan hubungan bapak dengan anak-anaknya dan
pengajarannya bahwa sang bapak memukul sang anak semata-mata bertujuan agar dia
taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Tujuannya semata-mata untuk kebaikannya secara
sempurna dan perhatiannya dalam mendidiknya sesuai ketentuan syari agar jangan
sampai timbul perasaan benci sang anak terhadap perkara syar'i yang berat dia
lakukan dan karena meninggalkannya dia dipukul. Syaikh Ibn Baz berkata, "Perhatikanlah keluarga dan
jangan lalai dari mereka wahai hamba Allah. Hendaknya kalian bersungguh-sungguh
untuk kebaikan mereka. Perintahkan putera puteri kalian untuk melakukan shalat
saat berusia tujuh tahun, pukullah mereka saat berusia sepuluh tahun dengan
pukulan yang ringan yang dapat mendorong mereka untuk taat kepada Allah dan
membiasakan mereka menunaikan shalat pada waktunya agar mereka istiqomah di
jalan Allah dan mengenal yang haq sebagaimana hal itu dijelaskan dari riwayat
shahih dari Nabi SAW.
Syaikh Ibnu
Utsaimin rahimahullah berkata, Nabi Muhammad Saw telah memerintahkan agar orang tua memerintahkan anak-anaknya melakukan shalat saat mereka berusia tujuh tahun,
atau kita memukul mereka saat mereka berusia sepuluh tahun. Padahal ketika itu
mereka belum berusia balig. Tujuannya adalah agar mereka terbiasa melakukan
ketaatan dan akrab dengannya. Sehingga terasa mudah dilakukan apabila mereka
telah besar dan mereka men-cintainya. Begitu pula dengan perkara-perkara yang
tidak terpuji, tidak selayaknya mereka dibiasakan sejak kecil meskipun mereka
belum balig, agar mereka tidak terbiasa dan akrab ketika sudah besar. Beliau juga berkata, Perintah ini bermakna wajib.
Akan tetapi dibatasi apabila pemukulan itu mendatangkan manfaat. Karena
kadang-kadang, anak kecil dipukul tapi tidak ber-manfaat pukulan tersebut.
Hanya sekedar jeritan dan tangis yang tidak bermanfaat. Kemudian, yang dimaksud
pukulan adalah pukulan yang tidak melukai. Pukulan yang mendatangkan perbaikan
bukan mencelakakan.
6. Analisis hukuman fisik dalam Islam
Dalam
analisis ini, penulis temukan dua kaedah yang saling terkait:
Pertama tasharrul imam (kebijakan pemimpim) Kedua al
maslahat (maslahat tujuan dan manfaatnya). Dari dua kaedah ini terdapat kata
kunci yang menentukan arah dari konsep kebijakan tersebut, yaitu maslahat, karena
itu, hal pokok yang menjadi kajian dalam permasalahan ini adalah bagaimana
sebenarnya konsep maslahat pada hukuman fisik. Maslahat inilah yang nantinya akan membawa dan mengantarkan
kepada sebuah kebijakan yang akan dibuat oleh seorang pemimpin.
Ketika memperhatikan kaidah tasharruful
imam ‘ala al ra’iyyah manutun bi al malahat,[8] yang berarti bahwa kebijakan seorang pemimpin terhadap
rakyatnya bergantung pada kemaslahatan, maka ada dua kata yang tidak hanya
memerikan makna secara retorik saja, tetapi dua kata yang sekaligus memberikan
gambaran dan batasan serta suatu konsep yang dimaksud. Dua kata tersebut adalah
tasharruful imam (kebijakan dari seorang pemimpin) dan al maslahat (kemaslahatan).
Maka dalam hal ini akan lebih banyak mengkaji tentang bagaimana konsep
kemaslahatan yang akan dijadikan sebagai landasan tehadap pembuatan suatu
kebijakan.
Kaidah ushul fiqih
yang menyatakan Tasharruful Imam ‘Ala al- Ra’iyyati Manutun Bi al- Maslahah
.Kaidah ini
merupakan kaidah yang mempunyai aspek horizontal, karena dalam implementasinya
memerlukan hubungan antara seorang pemimpin dengan masyarakat atau rakyat yang
dipimpin.[9]
Perlu diketahui makna dari kaidah tersebut, kaidah yang berbunyi tasharruful
imam ‘ala al ra’iyyati manuutun bi al maslahat mempunyai pengertian retorik
(harfiyyah) kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung
pada maslahat.
Lebih
jauh dari sekedar pengetian retorik tersebut, ada pengertian yang lebih luas yaitu segala aspek kehidupan yang meliputi kepentingan rakyat dalam
suatu kelompok atau golongan tertentu harus ditetapkan dengan mekanisme syura
(musyawarah). Hal ini sebagai terjemahan dari pernyataan kaidah tesebut
yang menekankan pada aspek kemaslahatan, karena metode musyawarah adalah salah
satu bentu yang riil untuk mencapai dan medapatkan suatu kemaslahatan untuk
bersama. Hal ini yang juga ditekankan dalam firman Allah.
Artinya: Bagi orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan
Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan
musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki
yang kami berikan kepada mereka. [10]
Umar bin Khattab yang diriwayatkan oleh Sa’in
bin Mansur; “Sungguh
aku menempatkan diri dalam mengurus harta Allah seperti kedudukan seorang wali
anak yatim, jika aku membutuhkan maka aku mengambil daripadanya, jika aku dalam
kemudahan aku mengembalikannya, dan jika aku berkecukupan maka aku menjauhinya.
Kaidah ini menegaskan bahwa seorang pemimpin
harus mengedepankan aspek kemaslahatan rakyat bukan mengikuti keinginan hawa
nafsunya pribadi, atau keinginginan keluarganya atau kelompoknya. Dalam disertasi ini,
adalah Kepala Sekolah, guru dan orang tua.
Ketika murid beberapa kali
mendapat hukuman dari guru, dilihat pada masa kini, bisa merupakan bentuk
penganiayaan. Hukuman diberikan karena memang murid salah. Apapun kesalahan, pasti mendapatkan
hukuman. Itulah yang berlaku saat itu. Ketika pelajaran menggambar, beberapa
murid lupa membawa pengaris, lalu disuruh
maju ke depan kelas, menyodorkan tangan, guru menghantamkan penggaris kayu
besar (panjang sekitar 1 meter dengan ketebalan sekitar 1 cm) mendarat di
punggung dan telapak tangan siswa, penggaris hancur. Ada murid perempuan sampai
menangis, sedangkan yang laki-laki hanya
bisa meringis. Hasil hukuman hari itu bukan hanya tangan memar, tapi hari itu murid
tidak bisa menulis.
Untuk jenis hukuman tempeleng, sudah menjadi kebiasaan, karena seringkali
guru menempeleng murid untuk kategori pelanggaran ringan. Pernah yang ditempeleng
dengan jari guru mengenai mata. Kalau
pelanggaran berat, dipukul di betis
dengan menggunakan kayu rotan. Sekalipun murid sering mendapatkan kekerasan
dari guru, tidak ada yang berani melaporkan peristiwa itu kepada orang tua.
Bukan lantaran diancam oleh guru, melainkan karena takut mendapat hukuman
tambahan dari orang tua. Dahulu di kampung pada
umumnya, jika di sekolah murid dihukum
dan diketahui oleh orang tua, berarti
akan mendapatkan lagi hukuman dari orang tua. Justru karena hukuman itu
banyak orang yang sukses dan berhasil.
Mereka-mereka ini berhasil menghadapi hukuman karena bagian dari proses
pendidikan dan pembinaan. Dengan hukuman itu murid belajar mengetahui kesalahan
dan menemukan kebenaran dan kebaikan. Orang yang tidak berani menghadapi
hukuman dengan cara lari meninggalkan sekolah, orang-orang ini yang gagal dalam
hidupnya.
Sejak tanggal 22
Oktober 2002, Pemerintah R.I, memberlakukan UU Perlindungan Anak ( UU No. 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak). Sejak saat itu keberadaan sanksi
terhadap anak-anak di sekolah menjadi
sensasi berita. UU Perlindungan anak, khususnya pasal 13 ayat (1),
menyatakan bahwa setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau
pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan.
[2] Lihat Ensiklopedi Adab Islam
(I/201)] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Aku
tidak mau menjadi saksi atas perbuatan zhalim, bertakwalah kalian kepada Allah
dan bersikap adillah kepada anak-anak kalian.” [Hadits shahih,
diriwayatkan oleh Bukhari, no.
2586, 2587 dan Muslim no.
1623, dari Nu’man bin Basyir radhiyallahu’anhu
[9]
Khams (lima prinsip pokok)
yang menjadi kebutuhan primer (dharuri) bagi setiap insan. Kelima prinsip tersebut adalah:
a) Hifzhun Nafs, yaitu jaminan atas jiwa (kehidupan) yang dirniliki warga negara (rakyat).
b) Hifzhud Din, yaitu jaminan kepada warga negara untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinannya.
c) Hifzhul Mal, yaitu jaminan terhadap keselamatan harta benda yang dirniliki oleh warga negara.
d) Hifzhun Nasl, yaitu jaminan terhadap asal-usul, identitas, garis keturunan setiap warga negara.
e) Hifzhul 'lrdh, yaitu jaminan terhadap harga diri, kehormatan, profesi, pekerjaan ataupun kedudukan setiap warga negara. Kelima prinsip di atas beserta uraian derivatifnya dalam era sekarang ini lebih menyerupai Hak Asasi Manusia (HAM).Lihat Said Agil Siradj, Ahlussunnah Wal Jamaah dalam Lintas Sejarah, (Yogyakarta: LKPSM, 1999),21-26
No comments:
Post a Comment