MISTERI LANCANGKUNING
LANCANG KUNING, BERLAYAR MALAM,
TALINYA TETAP, BERPILIN TIGA.
PELATIHAN SUDAH, BERMACAM-MACAM,
MENGAJARNYA GURU, BEGITU-BEGITU JUGA
TAK AKAN MELAYU, HILANG DI BUMI
BEGITULAH, KATA HANG TUAH
JIKA ANAK CUCU, TEGAS DAN BERANI
HASIL BUMI, TAK AKAN BERPINDAH
KALAU ROBOH, KOTA BATAM
PEKANBARU, SEMAKIN PADAT
KALAU CEROBOH, BERCAMPUR DENDAM
KEUNTUNGAN APAPAUN, TIDAK DIDAPAT
Lancang Kuning
Lancang adalah sebuah perahu dengan ukurang yang berbeda-beda, karena
ada yang kecil dan ada pula yang besar, yang jelas lancang adalah alat
perhubungan air pada masa lalu. Dalam masyarakat Riau lebih dikenal dengan
Lancang Kuning yang merupakan suatu lambang kebesaran daerah Riau. Karena itu
Lancang Kuning ditetapkan menjadi lambang dan nyanyi (nyanyian—pent.) daerah
Riau.
Adapun cerita Lancang Kuning adalah berasal
dari sebuah kerajaan yang terdapat di Bukit Batu, wilayah Kabupaten Bengkalis.
Kerajaan ini diperintah oleh raja yang bernama Datuk Laksmana Perkasa Alam
serta dibantu oleh dua orang panglima yaitu Panglima Umar dan Panglima Hasan.
Panglima Umar adalah seorang panglima yang dipercaya oleh Datuk Laksmana
Perkasa untuk menyelesaikan sesuatu jika terjadi persoalan dalam kerajaan.
Umpamanya jika terjadi perampokan di perairan, setiap tugas dapat
diselesaikannya dengan baik.
Pada suatu hari Panglima Umar menghadap Datuk Laksmana untuk
menyampaikan hasrat hati untuk mempersunting Zubaidah, seorang gadis negeri
itu. Permohonan Umar disambut dengan baik oleh Datuk Laksmana. Dengan
persetujuan Datuk Laksmana dilangsungkan pernikahan dan tanda kegembiraan
diadakan pesta dan keramaian besar-besaran.
Rupanya kepercayaan yang diberikan dan perkawinan Umar dengan Zubaidah
menimbulkan rasa tidak senang bagi Panglima Hasan, timbul dendam. Hal ini
timbul dikernakan (karena—pent.) rupanya Panglima Hasan juga simpati dan
mencintai Zubaidah itu. Rupanya apa yang diinginkan itu telah didahului
Panglima Umar.
Untuk melepaskan rasa sakit hati Panglima Hasan mencarai akal bagaimana
agar Zubaidah dapat dimilikinya, maka dengan akal busuknya Panglima Hasan
menyuruh Domo menyampaikan kepada datuk bahwa dia bermimpi agar Datuk Laksmana
membuat Lancang Kuning untuk mengamankan semua perairan dari lanun. Apa yang
disampaikan Pawang Domo diterima oleh Datuk Laksmana, sehingga Lancang Kuning
dikerjakan siang malam. Setelah Lancang Kuning hampir selesai tersebar berita
bahwa Batin Sanggoro telah melarang para pelaut untuk mencari ikan di Tanjung
Jati.
Dengan adanya berita ini Datuk Laksmana memerintahkan agar Panglima Umar
berangkat dan menemui Batin Sanggoro, sungguh berat hati Panglima Umar untuk
berangkat karena istrinya sedang hamil tua dan tak lama lagi ia akan
melahirkan, tapi karena tugas yang sangat penting, semua perasaan itu ditahan,
demi kerajaan yang tercinta.
Setelah berlayar beberapa hari sampailah Panglima Umar kepada Batin
Sanggoro dan diceritakan semua berita yang tersebar di Bukit Batu. Mendengar
cerita itu Batin Sanggoro terkejut, karena selama ini dia tidak pernah melarang
nelayan Bukit Batu menangkap ikan di Tanjung Jati. Mendengar cerita Batin
Sanggoro Panglima Umar termenung dan berpikir, apakah gerangan yang terjadi di
balik peristiwa ini? Melihat keadaan ini lalu Batin Sanggoro menganjurkan agar
cerita ini diselidiki dari mana asal mulanya, dan diselidiki sewaktu perjalan
pulang.
Rupanya apa yang disampaikan Batin Sanggoro dituruti Panglima Umar,
sewaktu perjalanan pulang Panglima Umar berkeliling karena mencari siapa yang
membuat berita itu, sehingga tidak dirasakan bahwa (pent.—tulisan tidak jelas)
perjalanan sudah satu bulan.
Malam ini tepat lima belas hari bulan purnama. Malam itu Lancang Kuning
akan diluncurkan ke laut. Di balai-balai telah banyak awak (pent.—tulisan tidak
jelas) kerajaan dan penduduk negeri untuk menyaksikan peluncuran Lancang Kuning
tersebut. Bermacam-macam hiburan daerah dipertunjukkan. Semua (pent.—tulisan
tidak jelas) penduduk negeri berkembira kecuali Zubaidah, kerna suaminya
Panglima Umar sudah satu bulan pergi dan sampai saat ini belum juga kembali
(pent.—tulisan tidak jelas) dan kerna itu tidak pergi menghadiri acara
peluncuran Lancang Kuning ke laut pada malam itu.
Setelah semua keperluan peluncuran Lancang Kuning disiapkan Pawang
(pent.—tulisan tidak jelas) Domo memberikan petunjuk kepada Datuk Laksmana.
Acara peluncuran diawali dengan tepung tawar pada dinding Lancang Kuning
kemudian dilanjutkan Panglima Hasan dan pemuka masyarakat lainnya. Selesai tepung
tawar dilanjtkan dengan pengasapan dan barulah semua yang hadir diperintahkan
supaya (pent.—tulisan tidak jelas) berdiri di samping Lancang Kuning dan semua
bunyi-bunyian dibunyikan. Dan semua yang telah memegang Lancang Kuning
mendorong, tetapi alangkah anehnya, Lancang Kuning tersebut tidak bergerak
sedikitpun. Hal ini dikerjakan berulang-ulang bahkan tenaga sudah ditambah,
namun Lancang Kuning tidak juga bergerak. Hadirin yan hadir bmerasa heran dan
bertanya-tanya, muka Pawang Domo merah padam.
Pawang Domo segera bersembah kepada Datuk
Laksmana dan berkata: ampun tuanku yang mulia! Rupanya Lancang Kuning tidak
bisa diluncurkan jika.... Jika apa Wak Domo? Kata Datuk Laksmana, katakanlah!
Jika Lancang Kuning ingin juga diluncurkan harus ada korban. Korban berapa ekor
kerbau yang diperlukan Wak Domo? Tuanku yang mulia, bukan kerbau. Wak Domo
menghampiri Datuk Laksmana dan membisikkan bahwa korban yang diperlukan adalah
perempuan hamil sulung—Datuk Laksmana tertunduk dan termenung serta berkata kepada
Pawang Domo—bahwa tidak mungkin itu dilakukan,
maka Datuk Laksmana memerintahkan agar peluncuran Lancang Kuning
diundurkan saja.
Setelah sebagian orang pulang, Panglima Hasan pergi ke rumah Zubaidah
dan didapatinya Zubaidah sedang duduk termenung. Zubaidah terkejut dengan (pent.—tulisan tidak jelas) kedatangan
Panglima Hasan sambil berkata. Mengapa lagi kau ke sini Panglima Hasan? Berkata
Panglima Hasan: Zubaidah apa lagi yang kau tunggu Zubaidah? Suamimu tidak akan
kembali lagi, karena itu biar aku yang mejadi ayah anakmu itu! Apa katamu
panglima pengkhianat? Biar saya
mati (pent.—tulisan tidak jelas) dari
pada bersuamikan kamu! Apa? Jawab Panglima Hasan. Jika kamu masih menolak
permintaanku, kamu akan saya jadikan gilingan Lancang Kuning yang akan
diluncurkan ke laut.
Kerna Zubaidah tetap menolak permintaan Pangliama Hasan, maka Zubaidah
ditarik dan matanya ditutup dengan dibantu oleh pengawalnya, setelah sampai di
(pent.—kata “di” dengan lambang huruf
tertutup garis hitam bekas fotocopy) Lancang Kuning yang akan
diluncurkan, Panglima Hasan mendorongkan tubuh Zubaidah ke bawah Lancang Kuning
dan ketika itu juga Panglima Hasan memerintahkan supaya (pent.—tulisan tidak jelas) Lancang Kuning
didorong ke laut. Hanya didorong oleh beberapa orang saja (pent.—tulisan tidak
jelas) Lancang Kuning itu meluncur dengan mulus.
Setelah Lancang Kuning sampai di laut tampaklah darah dan daging
Zubaidah berserakan di tanah dan ketika itu turunlah hujan serta (pent.—tulisan
tidak jelas) petir dan angin kencang serta bertepatan waktu itu Panglima Umar
merapat ke pelabuhan Bukit Batu.
Setelah perahu ditambatkan di pelabuhan Panglima Umar langsung ke rumah
untuk melihat istrinya dan anaknya yang telah ditinggalkan selama sebulan, tapi
setelah sampai di rumah, rumahnya kosong, dipanggilnya Zubaidah tetapi tidak
ada jawaban. Hati pnglima sudah mulai gelisah, maka ia berangkat ke pelabuhan,
di tengah jalan ia berpapasan dengan Panglima Hasan, langsung Panglima Umar
bertanya kepadanya, dimana gerangan istriku. Panglima Hasan menceritakan,
istrinya Zubaidah telah dijadikan gilingan Lancang Kuning oleh Datuk Laksmana.
Mendengar cerita Panglima Hasan tersebut Panglima Umar langsung pergi ke
tempat peluncuran Lancang Kuning, didapatinya darah berserakan alangkah sedih
hati Panglima Umar melihat tubuh istrinya itu, disapunya darah yang ada yang di
tanah itu serta diusapkan ke muka serta berkata bahwa dia akan membalas atas
kematian istrinya itu kepada datuk laksmana, tetapi baru saja ia berjalan
dilihatnya Datuk Laksmana berjalan kearahnya.
Setelah mereka bertemu Panglima Umar langsung menyerang Datuk Laksmana
dengan pedang yang panjang ke perut Datuk Laksmana, tanpa ada pembicaraan
sedikit pun, akhirnya Datuk Laksmana mati di tangan Panglima Umar, ketika itu
juga datanglah Pawang Domo serta menceritakan segala kejadian yang sebenarnya,
bahwa yang menjadikan Zubaidah untuk gilingan Lancang Kuning adalah Panglima
Hasan, tanpa mengulur waktu Panglima Umar pergi mencari Panglima Hasan.
Dari kejauhan Panglima Umar melihat Panglima
Hasan sudah bersiap-siap untuk melarikan diri menuju Lancang Kuning tapi belum
sempat melepaskan talinya Panglima Umar telah sampai, dengan pedang terhunus
sambil berkata: nah. . . malam ini. . . engkau atau aku akan mati. Dengan
disaksikan penduduk mereka berkelahi di atas Lancang Kuning. Dan akhirnya
Panglima Hasan dapat ditikam Panglima Umar dan matinya jatuh ke laut.
Waktu itu lah Panglima Umar melihat ke pantai
dan berkata kepada orang yang ada di pantai bahwa ia telah membunuh Datuk
Laksmana karena perbuatan Panglima Hasan dan Panglima Hasan pun sudah mati di
tangannya, kerna itu ia akan pergi dengan Lancang Kuning untuk selama-lamanya,
dan ketika sampai di Tanjung Jati datanglah ombak besar dan angin topan sehingga
Lancang Kuning tersebut karam dan ia bersama Lancang Kuning terkubur dalam laut
Tanjung Jati serta kejayaan kerajaan negeri bukit batu berangsur-angsur mundur
dan akhirnya tinggal setumpuk rumah saja lagi.
2.2. Analisis Naskah Melayu “Lancang Kuning” berdasarkan Teori
Strukturalisme
2.2.1. Analisis Plot pada Teks Melayu “Lancang
Kuning”
Plot atau alur cerita merupakan salah satu
unsur yang penting dalam sebuah karya sastra fiksi, bahkan tak sedikit orang
yang menganggap plot unsur terpenting sebagai pembangun karya fiksi. Tinjauan
struktural pun sering ditekankan pada pembahasan plot. Stanton (dikutip
Nurgiyantoro, 2010:113) mengemukakan bahwa plot adalah cerita yang berisi
urutan kejadian , namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab
akibat, peristiwa yang satu menyebabkan terjadinya peristiwa lain. Plot ini
dimanifestasikan lewat perbuatan, tingkah laku dan sikap-sikap tokoh utama
cerita.
Peristiwa demi peristiwa yang ditampilkan yang
hanya mendasarkan pada urutan waktu belum dapat dikatakan plot. Agar menjadi
sebuah plot, peristiwa-peristiwa tersebut harus disiasati secara kreatif,
sehingga menghasilkan sesuatu yang menarik dan indah. Abrams (dikutip
Nurgiyantoro, 2010:113) yang menyetujui adanya perbedaan cerita dengan plot
mengemukakan bahwa plot sebuah karya fiksi merupakan struktur
peristiwa-peristiwa, yaitu sebgaimana terlihat dalam pengurutan dan penyajian
berbagai peristiwa tersebit untuk mencapai efek emosional dan efek artistik
tertentu.
Dalam teks “Lancang Kuning” ini plot yang
sangat menonjol adalah ketika Panglima Hasan menjadikan Zubaidah gilingan
Lancang Kuning dan dia mengatakan kepada Panglima Umar bahwa Datuk Laksmana
yang melakukannya menyebabkan Datuk Laksmana terbunuh di tangan Panglima Umar
tanpa ada pembicaraan terlebih dahulu. Kemudian berita itu diluruskan oleh
Pawang Domo sehingga diketahuilah bahwa pelaku sebenarnya adalah Panglima
Hasan. Hal ini kembali menyebabkan terjadinya pembunuhan yang dilakukan oleh
Panglima Umar terhadap Panglima Hasan di atas Lancang Kuning.
Untuk lebih jelas mengenai plot yang terdapat
pada teks yang berjudul “Lancang Kuning” ini, dapat kita runut peristiwa,
konflik dan klimaks sebagai berikut.
1. Peristiwa
Sejauh ini kita sering mendengar kata peristiwa
maupuun kejadian disebut-sebut oleh banyak orang dalam pembicaraan tentang
karya fiksi, namun belum diketahui secara jelas apa sebenarnya peristiwa itu.
Dalam berbagai literatur berbahasa Inggris sering dikemukakan penggunaan
istilah action (aksi, tindakan) atau event (peristiwa, kejadian) secara
bersamaan atau bergantian, walau sebenarnya kedua istilah itu menyaran pada dua
hal yang berbeda. Action merupakan sebuah aktivitas yang dilakukan oleh tokoh
manusia, misalnya memukul dan memarahi. Di pihak lain, event lebih luas
cakupannya menyaran pada sesuatu yang dilakukan dan atau dialami oleh manusia
yang terjadi diluar aktivitas manusia, misalnya peristiwa alam seperti banjir
dan tanah longsor. Dalam penulisan ini, kedua hal itu disederhanakan menjadi:
peristiwa atau kejadian. Peristiwa dapat diartikan sebagai peralihan dari suatu
keadaan ke keadaan yang lain (Luxemburg dikutip Nurgiyantoro, 2010:117)
Peristiwa yang terjadi dalam teks “Lancang
Kuning” ada enam, dimulai dari niat Panglima Umar yang hendak mempersunting Zubaidah,
seorang putri raja di daerah Bukit Batu, wilayah Kabupaten Bengkalis, pada masa
lampau. Suntingan Panglima Umar terhadap Zubaidah diterima dan dilangsungkan
pesta pernikahan secara besar-besaran. Peristiwa kemudian beralih kepada
perasaan Panglima Hasan yang terluka dan sakit hati karena niatnya telah
didahulukan oleh Panglima Umar. Dari rasa sakit hatinya itu, muncul niat jahat
Panglima Hasan dengan menyiarkan kabar bahwa Batin Sanggoro telah melarang para
pelaut untuk mencari ikan di Tanjung Jati. Kemudian peristiwa beralih pada
Batin Sanggoro yang tidak mengakui kebenaran berita itu setelah ditanyakan oleh
Panglima Umar. Sanggoro meminta Panglima Umar mencari kebenaran berita itu,
dari mana asal muasalnya. Perjalanan Panglima Umar mencari kebenaran berita itu
berlangsung selama sebulan. Selama itu pula ia meninggalkan Zubaidah yang
sedang hamil tua.
Di samping peristiwa itu juga terdapat
peristiwa lain yang dialami oleh Datuk Laksmana dan masyarakat Bukit Batu.
Ketika Datuk Laksmana mendapat berita dari Pawang Domo untuk membuat perahu
yang digunakan untuk mengusir para lanun dari perairan Bukit Batu, maka perahu
yang diberi nama Lancang Kuning itu dikerjakan siang dan malam. Tetapi ketika
Lancang Kuning sudah selesai dikerjakan dan hendak diluncurkan ke laut melalui
berbagai ritual, Lancang Kuning tetap tidak mau meluncur ke laut karena
membutuhkan korban dari seorang wanita yang sedang hamil sulung. Peristiwa
beranjak pada perbuatan Panglima Hasan yang keinginannya untuk menjadi suami
Zubaidah ditolak oleh Zubaidah kemudian menjadikan Zubaidah sebagai korban
untuk meluncurkan lancang Kuning ke laut. Sesaat setelah kejadian itu, Panglima
Umar kemmbali ke Bukit Batu dan mendapat kabar dari Panglima Hasan bahwa
istrinya telah dijadikan gilingan Lancang Kuning oleh Datuk Laksmana. Kemudian
peristiwa beranjak pada peristiwa pembunuhan Datuk Laksmana dan Panglima Hasan
oleh Panglima Umar. Sementara peristiwa akhir dari kisah kerajaan Bukit Batu
ini ditandai dengan kepergian Pangkima Umar berlayar dengan Lancang Kuning dan
tenggelam di perairan Tanjung Jati serta mengakibatkan mundurnya kerajaan Bukit
Batu.
2. Konflik
Konflik juga termasuk salah satu unsur yang
penting dalam sebuah plot. Peristiwa yang terjadi berupa peristiwa yang
fungsional, utama, atau kernel yang sangat esensial dalam pengembangan sebuah
plot. Konflik menyaran pada pengertian sesuatu yang bersifat tidak menyenangkan
yang terjadi dan dialami oleh tokoh-tokoh dalam cerita, yang jika tokoh-tokoh
itu dapat memilih, ia memilih peristiwa itu tidak akan menimpa dirinya
(Meredith & Fitzgerald dikutip Nurgiyantoro, 2010:122). Konflik adalah
sesuatu yang dramatik, mengacu pada pertarungan antara dua kekuatan yang
seimbang dan menyiratkan adanya aksi dan aksi balasan (Wellek & Warren
dikutip Nurgiyantoro, 2010:122). Dengan demikian, konflik menyaran pada
konotasi yang negatif, sesuatu yang tak menyenangkan. Peristiwa dan konflik
biasanya berkaitan erat, dapat saling menyebabkan terjadinya satu dengan yang
lain, bahkan konflik pun hakikatnya merupakan sebuah peristiwa. Adanya
peristiwa tentu dapat menimbulkan konflik. Konflik demi konflik yang disusul
peristiwa demi peristiwa pada akhirnya dapat menyebabkan konflik semakin
meningkat dan mencapai klimaks.
Konflik-konflik yang terjadi dalam teks Melayu
“Lancang Kuning” mulai muncul ketika Zubaidah dijadikan gilingan perahu Lancang
Kuning oleh Panglima Hasan. Hal ini terjadi akibat penolakan Zubaidah terhadap
Panglima Hasan yang ingin menjadi suami Zubaidah dengan alasan bahwa Panglima
Umar takkan pernah kembali lagi. Zubaidah menolak keras permintaan Panglima
Hasan dan menyebabkan ia diseret ke pantai untuk dijadikan gilingan Lancang
Kuning. Zubaidah yang dijadikan gilingan Lancang Kuning meninggal dengan mengenaskan.
Daging dan darahnya berserakan di pasir pantai. Seketika turun hujan dan
serentak dengan kepulangan Panglima Umar yang sudah merapat di pelabuhan Bukit
Batu. Panglima Umar yang tidak menemukan istrinya di rumah menemui Panglima
Hasan secara tak sengaja. Pada saat itu Panglima Hasan mengatakan bahwa
istrinya telah dijadikan gilingan Lancang Kuning oleh Datuk Laksmana. Perkataan
Panglima Hasan mengundang amarah Panglima Umar yang menyebabkan kematian Datuk
Laksmana.
Dapat kita lihat dari penjelasan di atas bahwa
konflik muncul secara berurut. Konflik pembunuhan Datuk Laksmana oleh Panglima
Umar terjadi karena peristiwa yang dipicu oleh Panglima Hasan yang menjadikan
Zubaidah sebagai gilingan perahu Lancang Kuning dan memfitnah Datuk Laksmana.
Dari konflik ini dapat kita ketahui karakter tokoh Panglima Hasan yang tidak
bertanggung jawab atas perbuatan yang telah ia lakukan. Panglima Hasan rela
mengorbankan nyawa Datuk Laksmana untuk menutupi kesalahan dirinya dan
pura-pura tidak tahu atas kejadian itu. Selain itu dapat juga kita lihat
karakter tokoh Zubaidah yang rala mati demi mempertahankan kehormatan dirinya
dan rumah tangganya yang sudah ia bangun bersama Panglima Umar. Hal ini
menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan antara unsur-unsur intrinsik yang
membangun sebuah karya fiksi. Unsur-unsur itu tidak dapat berdiri sendiri
karena melalui salah satu unsur kita dapat mengetahui unsur pendukung lainnya.
3. Klimaks
Konflik dan klimaks merupakan unsur yang paling
penting dalam struktur pembangun plot. Konflik demi konflik yang terjadi jika
telah mencapai titik puncak dapat menyebabkan terjadinya klimaks (puncak
konflik). Dengan demikian terdapat keterkaitan yang erta antara konflik dan
klimaks. Klimaks hanya akan terjadi jika terdapat konflik yang mendukungnya.
Namun tidak semua konflik dapat mencapai klimaks. Klimak, menurut Stanton
(dalam Nurgiyantoro, 2010:127) adalah saat konflik telah mencapai tingkat
intensitas tertinggi, dan saat itu merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari
kejadiannya. Klimaks merupakan kejadian puncak yang menarik dan menegangkan dan
biasanya tidak ada lagi kejadian lain yang sama dengan klimaks. Kalau pun ada,
itu hanyalah kejadian/konflik ringan yang masih bisa diatasi sebagai peregangan
untuk menuju penyelesaian atau akhir dari sebuah cerita.
Klimaks dalam teks Melayu “Lancang Kuning”
terjadi ketika konflik-konflik yang diawali oleh Panglima Hasan ini sudah
semakin meruncing. Jika meninjau kembali pembahasan penulis mengenai
konflik-konflik yang terjadi dalam teks “Lancang Kuning”, dapat kita lihat
bahwa terbunuhnya Datuk Laksmana merupakan konflik penegangan tetapi belum
mencapai klimaks. Klimaks terjadi ketika Pawang Domo yang melihat Datuk
Laksmana sudah terbunuh mengatakan
kepada Panglima Umar mengenai hal yang sebenarnya, yaitu Panglima Hasan lah
yang menjadikan Zubaidah sebagai gilingan perahu Lancang Kuning. Semakin
beranglah Panglima Umar. Ia mencari Penglima Hasan dan menemukannya ketika
Panglima Hasan hendak melarikan diri bersama Lancang Kuning. Tetapi usahanya
sempat ditunda oleh Panglima Umar. Dengan sigap Panglima Umar naik ke Lancang
Kuning dan bertarung dengan Panglima Hasan. Akhirnya pada pertarungan itu
Panglima Hasan terbunuh dan mayatnya jatuh ke laut.
Melalui konflik dan klimaks dapat kita lihat
bahwa Panglima Umar merupakan seseorang yang tidak sabar dan terlalu cepat
menyimpulkan suatu permasalahan. Ia membunuh Datuk Laksmana tanpa bertanya
terlebih dahulu mengenai kebenaran meninggalnya Zubaidah. Ia lebih memilih tak
lagi bicara dan langsung membunuh Datuk Laksmana sehingga Datuk Laksmana yang
tidak bersalah ikut menjadi korban amarahnya.
Dari penjelasan peristiwa, konflik dan klimaks
dapat kita simpulkan bahwa plot yang terdapat dalam teks Melayu “Lancang
Kuning” menggunakan plot lurus, yaitu plot yang peristiwa-peristiwa dan
konflik-konfliknya terjadi secara kronologis dan dapat dengan mudah dirunut.
Melalui plot juga dapat kita tentukan karakter tokoh Panglima Umar, Panglima
Hasan dan Zubaidah.
2.2.2. Analisis Tokoh pada Teks Melayu “Lancang
Kuning”
Tokoh merupakan pelaku cerita. Istilah “tokoh”
menunjuk pada orangnya, pelaku cerita. Tokoh cerita, menurut Abrams (dalam
Nurgiyantoro, 2010:165) adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya
naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan
kecendrungan tertentu seperti yang dideskripsikan dalam ucapan dan apa yang
dilakukan dalam tindakan. Dari kutipan tersebut dapat diketahui bahwa antara
seorang tokoh dengan kualitas pribadinya erat berkaitan dengan penerimaan
pembaca.
Tokoh yang terdapat dalam teks “Lancang Kuning”
dibedakan berdasarkan penting tidaknya tokoh ada Zubaidah dan Panglima Hasan
sebagai tokoh utama serta Panglima Umar, Datuk Laksmana dan pawang Domo sebagai
tokoh tambahan. Dari penting tidaknya tokoh, tentu saja dapat dilihat melalui
peran masing-masing tokoh dalam mendukung sebuah cerita. Seperti Panglima
Hasan, perannya dominan karena sejak awal Panglima Hasan selalu memulai untuk
menimbulkan sebuah peristiwa dan memunculkan konflik. Sementara Zubaidah adalah
tokoh yang dijadikan korban dan merupakan salah satu penyebab munculnya konflik
yang terjadi antara Panglima Hasan dan Panglima Umar. Dengan demikian, Panglima
Hasan dan Zubaidah dapat disebut sebagai tokoh utama. Tanpa Panglima Hasan
memunculkan peristiwa dan konflik maka cerita ini tidak akan menemukan klimaks.
Begitupun Zubaidah, tanpa peran Zubaidah yang dijadikan korban untuk gilingan
perahu Lancang Kuning Panglima Umar tidak akan marah dan membunuh Datuk
Laksmana dan Panglima Hasan.
Sementara itu, tokoh tambahan dalam cerita ini
adalah Panglima Umar, Datuk Laksmana dan Pawang Domo. Peran mereka tidak
terlalu besar dalam cerita ini tapi cukup fungsional karena tanpa mereka tokoh
Panglima Hasan hanya akan melakukan hal yang sia-sia. Jika Panglima Umar tidak
ada, perbuatan Panglima Hasan tidak ada yang menentang dan Panglima Hasan tidak
mendapatkan aksi balasan dari tokoh yang bertentangan dengannya. Hal yang sama
juga berlaku pada Datuk Laksmana dan Pawang Domo. Masing-masing mereka hanya
dominan muncul pada proses peluncuran Lancang Kuning ke laut. Kemudian muncul
kembali pada bagian akhir cerita ketika Datuk Laksmana muncul dan langsung
dibunuh oleh Panglima Umar, sedangkan Pawang Domo muncul setelah kejadian
terbunuhnya Datuk Laksmana.
Berdasarkan fungsi penampilan tokoh, tokoh
dalam teks “Lancang Kuning” dapat dibagi menjadi tokoh protagonis dan tokoh
antagonis. Tokoh antagonis dalam teks ini adalah Panglima Hasan. Sangat jelas
terlihat melalui percakapan tokoh dengan Zubaidah. Selain itu karakter tokoh
dapat dilihat melalui tingkah laku tokoh yang memfitnah Datuk Laksmana sehingga
menjadi korban pembunuhan yang dilakukan oleh Panglima Umar. Sikap tidak
bertanggung jawab menjadi salah satu indikator bahwa tokoh Panglima Hasan
bukanlah seorang yang baik. Sementara itu, tokoh Panglima Umar, Datuk Laksmana,
Pawang Domo, dan Zubaidah merupakan tokoh protagonis dalam cerita ini. Tidak
tampak perbuatan masing-masing tokoh untuk berbuat jahat. Tokoh Panglima Umar
dinilai baik oleh penulis karena Panglima Umar bersedia melakukan perintah
Datuk Laksmana untuk mencari kebenaran berita tentang larangan melaut di
Tanjung Jati kepada Batin Sanggoro. Datuk Laksmana dinilai baik karena ia tidak
ingin mengorbankan siapapun demi kelancaran peluncuran Lancang Kuning ke laut.
Pawang Domo menunjukkan sikap baiknya dengan memberitahu hal yang sebenarnya
terjadi kepada Zubaidah. Sedangkan
Zubaidah dinilai sebagai tokoh protagonis karena ia berani mempertahankan
kehormatan dirinya dan rumah tangganya dengan Panglima Umar yang juga diajarkan
oleh agama islam.
Tokoh-tokoh ini dapat diketahui penggolongannya
melalui dialog tokoh ataupun tingkah laku tokoh terhadap tokoh lain. karakter
tokoh juga dapat dilihat melalui peristiwa-peristiwa yang menimbulkan
konflik-konflik yang terjadi dalam cerita. Ini membuktikan bahwa unsur tokoh
dan plot memiliki keterkaitan yang erat dan tidak dapat dipisahkan. Dengan kata
lain, seitap unsur instrinsik yang mambangun sebuah cerita tidak dapat berdiri
sendiri.
Diriwayatkan
dalam shoheh Muslim, dari Ummu Salamah Radliallahu anha, bahwa Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wassalam bersabda :
" ستكون أمـراء
، فتعرفون وتنكـرون ، فمن عرف برئ ، ومن أنكـر سلم ، ولكن من رضي وتابع ، قالوا : أفلا
نقاتلهم ؟ قال : لا ما صلوا ".
“Akan ada para
pemimpin, dan diantara kamu ada yang mengetahui dan menolak kemungkaran kemungkaran
yang dilakukan, barang siapa yang mengetahui bebaslah ia, dan barang siapa yang
menolaknya selamatlah ia, akan tetapi barang siapa yang rela dan mengikuti, (
tidak akan selamat ), para sahabat bertanya : bolehkah kita memerangi mereka ?,
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam menjawab :” Tidak, selama mereka
mengerjakan shalat.”
4- Diriwayatkan
pula dalam shaheh Muslim, dari Auf bin Malik rodhiallohu ‘anhu ia berkata :
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda :
" خيار أئمتكم
الذين تحبونهم ويحبونكم، ويصلون عليكم وتصلون عليهم، وشرار أئمتكم الذين تبغضونهم ويبغضونكم،
وتلعنونهم ويلعنونكم، قيل: يا رسـول الله، أفلا ننابذهم بالسيف ؟ قال : لا، ما أقاموا
فيكم الصلاة ".
“Pemimpinmu yang
terbaik ialah mereka yang kamu sukai dan merekapun menyukaimu, serta mereka
mendoakanmu dan kamupun mendoakan mereka, sedangkan pemimpinmu yang paling
jahat adalah mereka yang kamu benci dan merekapun membencimu, serta kamu
melaknati mereka dan merekapun melaknatimu, beliau ditanya : ya Rasulallah,
bolehkan kita memusuhi mereka dengan pedang ?, beliau menjawab :” tidak, selama
mereka mendirikan shalat dilingkunganmu.”
Kedua hadits
yang terahir ini menunjukkan bahwa boleh memusuhi dan memerangi para pemimpin
dengan mengangkat senjata bila mereka tidak mendirikan shalat, dan tidak boleh
memusuhi dan memerangi para pemimpin, kecuali jika mereka melakukan kakafiran
yang nyata, yang bisa kita jadikan bukti dihadapan Allah nanti, berdasarkan
hadits yang diriwayatkan dari Ubadah bin Ash Shamit rodhiallohu ‘anhu :
دعانا رسول الله صلى
الله عليه وسلم، فبايعناه ، فكان فيما أخذ علينا أن بايعنا على السمع والطاعة في منشطنا
ومكرهنا وعسرنا ويسرنا وأثرة علينا ، وأن لا ننازع الأمـر أهله، قال : إلا أن تروا
كفرا بواحا عندكم من الله فيه برهان.
“Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wassalam telah mengajak kami, dan kamipun membaiat beliau,
diantara bai’at yang diminta dari kami ialah hendaklah kami membai’at untuk
senantiasa patuh dan taat, baik dalam keadaan senang maupun susah, dalam
kesulitan maupun kemudahan, dan mendahulukannya atas kepentingan dari kami, dan
janganlah kami menentang orang yang telah terpilih dalam urusan ( kepemimpinan
) ini, sabda beliau :” kecuali jika kamu melihat kekafiran yang terang terangan
yang ada buktinya bagi kita dari Allah.”
Atas dasar ini,
maka perbuatan mereka meninggalkan shalat yang dijadikan oleh Nabi Shalallahu
‘alaihi wassalam sebagai alasan untuk menentang dan memerangi mereka dengan
pedang adalah kekafiran yang terang terangan yang bisa kita jadikan bukti
dihadapan Allah nanti.
Tidak ada satu
nash pun dalam Al Qur’an ataupun As Sunnah yang menyatakan bahwa orang yang
meninggalkan shalat itu tidak kafir, atau dia adalah mu’min. kalaupun ada
hanyalah nash nash yang menunjukkan keutamaan tauhid, syahadat “La ilaha
Illallah wa anna Muhammad Rasulullah”, dan pahala yang diperoleh karenanya,
namun nash nash tersebut muqoyyad (dibatasi ) oleh ikatan ikatan yang terdapat
dalam nash itu sendiri, yang dengan demikian tidak mungkin shalat itu
ditinggalkan, atau disebutkan dalam suatu kondisi tertentu yang menjadi alasan
bagi seseorang untuk meninggalkan shalat, atau bersifat umum sehingga perlu
difahami menurut dalil dalil yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan
shalat, sebab dalil dalil yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan
shalat bersifat khusus, sedangkan dalil yang khusus itu harus didahulukan dari
pada dalil yang umum.
Jika ada
pertanyaan : apakah nash nash yang menunjukkan kekafiran orang yang
meninggalkan shalat itu tidak boleh diberlakukan pada orang yang
meninggalkannya karena mengingkari hukum kewajibannya ?
Jawab : tidak
boleh, karena hal itu akan mengakibatkan dua masalah yang berbahaya :
Pertama :
menghapuskan atribut yang telah ditetapkan oleh Allah dan dijadikan sebagai
dasar hukum.
Allah telah
menetapkan hukum kafir atas dasar meninggalkan shalat, bukan atas dasar
mengingkari kewajibannya, dan menetapkan persaudaraan seagama atas dasar
mendirikan shalat, bukan atas dasar mengakui kewajibannya, Allah tidak
berfirman :” jika mereka bertaubat dan mengakui kewajiban shalat”, Nabi Muh
KONSEKWENSI
HUKUM KARENA RIDDAH YANG DISEBABKAN KARENA MENINGGALKAN SHALAT ATAU SEBAB YANG
LAINNYA
Ada beberapa
kosekwensi hukum baik yang bersifat duniawi, maupun ukhrawi, yang terjadi
karena riddah ( keluar dari Islam ) :
KONSEKWENSI
HUKUM YANG BERSIFAT DUNIAWI :
1- Kehilangan
haknya sebagai wali.
Oleh karena itu,
dia tidak boleh sama sekali dijadikan wali dalam perkara yang memerlukan
persyaratan kewalian dalam Islam, dengan demikian, ia tidak boleh dijadikan
wali untuk anak anaknya atau selain mereka, dan tidak boleh menikahkan salah
seorang putrinya atau putri orang lain yang dibawah kewaliannya.
Para ulama fiqh
kita - Rahimahumullah – telah menegaskan dalam kitab kitab mereka yang kecil
maupun besar, bahwa disyaratkan beragama islam bagi seorang wali apabila
mengawinkan wanita muslimah, mereka berkata : “ tidak sah orang kafir menjadi
wali untuk seorang wanita muslimah.”
Ibnu Abbas
rodhiallohu ‘anhu berkata : “ Tidak sah suatu pernikahan kecuali disertai
dengan seorang wali yang bijaksana, dan kebijaksanaan yang paling agung dan
luhur adalah agama Islam, sedang kebodohan yang paling hina dan rendah adalah
kekafiran, kemurtaddan dari Islam.
Allah subhaanahu
wa ta’aala berfirman :
ومن يرغب عن ملة إبراهيم
إلا من سفه نفسه
“Dan tidak ada
yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang yang memperbodoh dirinya
sendiri …” ( QS. Ibrahim, 130 ).
2- Kehilangan
haknya untuk mewaris harta kerabatnya.
Sebab orang
kafir tidak boleh mewarisi harta orang Islam, begitu pula orang Islam tidak
boleh mewarisi harta orang kafir, berdasarkan hadits Nabi yang diriwayatkan
dari Usamah bin Zaid rodhiallohu ‘anhu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam
bersabda :
لا يرث المسلم الكافر
ولا الكافر المسلم.
“Tidak boleh
seorang muslim mewarisi orang kafir, dan tidak boleh orang kafir mewarisi orang
muslim.” ( HR. Bukhori dan Muslim ).
3- Dilarang
baginya untuk memasuki kota Makkah dan tanah haramnya.
Berdasarkan
firman Allah subhaanahu wa ta’aala :
يا أيها الذين آمنوا
إنما المشركون نجس فلا يقرب المسجد الحرام بعد عامهم هذا
“Hai orang orang
yang beriman, sesungguhnya orang orang musyrik itu najis, maka janganlah mereka
mendekati Al Masjidil Haram sesudah tahun ini …” ( QS. At Taubah, 28 ).
4- Diharamkan
makan hewan sembelihannya.
Seperti onta,
sapi, kambing, dan hewan lainnya, yang termasuk syarat dimakannya adalah
sembelih, karena salah satu syarat penyembelihannya adalah bahwa penyembelihnya
harus seorang muslim atau ahli kitab ( Yahudi dan Nasrani ), adapun orang
murtad, paganis, majusi, dan sejenisnya, maka sembelihan mereka tidak halal.
Al Khazin dalam
kitab tafsirnya mengatakan : “Para ulama telah sepakat bahwa sembelihan orang
orang majusi dan orang orang musyrik seperti kaum musyrikin arab, para
penyembah berhala, dan mereka yang tidak mempunyai kitab, haram hukumnya.”
Dan Imam Ahmad
mengatakan : “Setahu saya, tidak ada seorangpun yang berpendapat selain
demikian, kecuali orang orang ahli bid’ah.”
5- Tidak boleh
dishalatkan jenazahnya dan tidak boleh dimintakan ampunan dan rahmat untuknya.
Berdasarkan firman
Allah subhaanahu wa ta’aala :
ولا تصـل على أحد
منهم مات أبدا ولا تقـم على قبـره إنهم كفروا بالله ورسوله وماتوا وهم فاسقون
“Dan janganlah
kamu sekali kali menshalatkan ( jenazah ) seorang yang mati diantara mereka,
dan janganlah kamu berdiri ( mendoakan ) di kuburannya, sesungguhnya mereka
telah kafir kepada Allah dan RasulNya, dan mereka mati dalam keadaan fasik.” (
QS. At Taubah, 84).
Dan firmanNya :
ما كان للنبي والذين
آمنوا أن يستغفروا للمشركين ولو كانوا أولي قربى من بعد ما تبين لهم أنهم أصحاب الجحيم
. وما كان استغفار إبراهيم لأبيه إلا عن موعدة وعدها إياه ، فلما تبين له أنه عدو لله
تبرأ منه إن إبراهيم لأواه حليم
“Tidak sepatutnya
bagi Nabi dan orang orang yang beriman memintakan ampun ( kepada Allah ) bagi
orang orang musyrik, walaupun mereka itu adalah kaum kerabatnya, sesudah jelas
bagi mereka bahwa orang orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahim, dan
permintaan ampun dari Ibrahim ( kepada Allah ) untuk bapaknya, tidak lain
hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu,
tetapi ketika jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka
berlepas diri darinya, sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut
hatinya lagi penyantun.”
Doa seseorang
untuk memintakan ampun dan rahmat untuk orang yang mati dalam keadaan kafir,
apapun sebab kekafirannya, adalah pelanggaran dalam doa, dan merupakan suatu
bentuk penghinaan kepada Allah, dan penyimpangan dari tuntunan Nabi dan orang
orang yang beriman.
Bagaimana
mungkin orang yang beriman kepada Allah dan hari kiamat mau mendoakan orang
yang mati dalam keadaan kafir, agar diberi ampun dan rahmat, padahal dia adalah
musuh Allah ? sebagaimana firman Allah subhaanahu wa ta’aala :
من كان عدوا لله وملائكته
ورسله وجبريل وميكال فإن الله عدو للكافرين .
“Barang siapa
yang menjadi musuh Allah, Malaikat malaikat-Nya, Rasul rasul-Nya, Jibril dan
Mikail, maka sesungguhnya Allah adalah musuhnya orang orang kafir.” ( QS. At
Taubah, 98 ).
Dalam ayat ini,
Allah telah menjelaskan bahwa Dia adalah musuh nya semua orang orang kafir.
Yang wajib bagi orang mu’min ialah melepaskan diri dari setiap orang kafir,
karena firman Allah subhaanahu wa ta’aala :
وإذ قال إبراهيم لأبيه
وقومه إنني براء مما تعبدون إلا الذي فطرني فإنه سيهدين .
“Dan ingatlah
ketika Ibrahim berkata kepada bapak dan kaumnya : “Sesungguhnya aku berlepas
diri dari apa yang kamu sembah, kecuali Tuhan yang menjadikanku, karena
sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku.” ( QS. Az Zukhruf, 26 –27 ).
Dan firmanNya :
قد كانت لكم أسوة
حسنة في إبراهيم والذين معه إذ قالوا لقوهم إنا برءاؤ منكم ومما تعبدون من دون الله
كفرنا بكم وبدا بيننا وبينكم العـداوة والبغضاء أبدا حتى تؤمنوا بالله وحده
“Sesungguhnya
telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang orang yang
bersama dengan dia, ketika mereka berkata kepada kaum mereka : “sesungguhnya
kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami
ingkari ( kekafiran ) mu, dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan
kebencian buat selama lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja …” ( QS. Al
Mumtahanah, 4 ).
Untuk mencapai
demikian adalah dengan mutaba’ah ( meneladani ) Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wassalam, Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman :
وأذان من الله ورسوله
إلى الناس يوم الحج الأكبر أن الله بريء من المشركين ورسوله
“Dan ( inilah )
suatu permakluman dari Allah dan RasulNya kepada umat manusia pada hari haji
akbar bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang orang
musyrik .” (QS. At Taubah, 3 ).
6- Dilarang
menikah dengan wanita muslimah.
Karena dia
kafir, dan orang kafir tidak boleh menikahi wanita muslimah, berdasarkan nash
dan ijma’.
Allah subhaanahu
wa ta’aala berfirman :
يا أيها الذين آمنوا
إذا جاءكم المؤمنـات مهاجـرات فامتحنوهن الله أعلم بإيمانهـن فإن علمتموهـن مؤمنات
فلا ترجـعوهن إلى الكفار لا هن حل لهم ولا هم يحلون لهن
“Hai orang orang
yang beriman, apabila perempuan perempuan yang beriman datang berhijrah
kepadamu, maka hendaklah kamu uji ( keimanan ) mereka, Allah lebih mengetahui
tentang mereka, jika kamu telah mengetahui bahwa mereka ( benar benar )
beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka )
orang orang kafir, mereka tidak halal bagi orang orang kafir itu, dan orang
orang kafir itu tidak halal bagi mereka …”( QS. Al Mumtahanah, 10 ).
Dikatakan dalam
kitab Al Mughni, jilid 6, hal 592 : “Semua orang kafir, selain Ahli kitab,
tidak ada perbedaan pendapat diantara para ulama, bahwa wanita wanita dan
sembelihan sembelihan mereka haram bagi orang Islam …, dan wanita wanita yang
murtad ( keluar dari Islam ) ke agama apapun haram untuk dinikahi, karena dia
tidak diakui sebagai pemeluk agama baru yang dianutnya itu, sebab kalau diakui
sejak semula sebagai pemeluk agama itu, maka kemungkinan bisa dihalalkan.” (
seperti wanita yang berpindah dari agama Islam ke agama ahli kitab, maka
diharamkan untuk dinikahi, tetapi bila wanita itu sejak semula telah memeluk
agama ahli kitab ini, maka dihalalkan untuk dinikahi, pent ).
Dan disebutkan
dalam bab “ orang murtad ”, jilid 8, hal 130 : “Jika dia kawin, tidak sah
perkawinannya, karena tidak ditetapkan secara hukum untuk menikah, dan selama
tidak ada ketetapan hukum untuk pernikahannya, dilarang pula pelaksanaan
pernikahannya, seperti pernikahan orang kafir dengan wanita muslimah.”
Sebagaimana
diketahui, telah dikemukakan dengan jelas, bahwa dilarang menikah dengan wanita
yang murtad, dan tidak sah kawin dengan laki laki yang murtad.
Dikatakan pula
dalam kitab Al-Mughni, jilid 6, hal 298 : “apabila salah soerang dari suami
istri murtad sebelum sang istri digauli, maka batallah pernikahan mereka
seketika itu, dan masing masing pihak tidak berhak untuk mewarisi yang lain,
namun, jika murtad setelah digauli maka dalam hal ini ada dua riwayat : pertama
: segera dipisahkan, kedua : ditunggu sampai habis masa iddah.”
Dan disebutkan
dalam Al-Mughni, jilid 6, hal 639 : “Batalnya pernikahan karena riddah sebelum
sang istri digauli adalah pendapat yang dianut oleh mayoritas para ulama,
berdasarkan banyak dalil, adapun bila terjadi setelah digauli, maka batallah
pernikahan seketika itu juga, menurut pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah, dan
menurut pendapat Imam Syafii : ditunggu sampai habis masa iddahnya, dan menurut
Imam Ahmad ada dua riwayat seperti kedua madzhab tersebut.”
Kemudian
disebutkan pula pada halaman 640 : “apabila suami istri itu sama sama murtad,
maka hukumnya adalah seperti halnya apabila salah satu dari keduanya murtad,
jika terjadi sebelum digauli, segera diceraikan antara keduanya. Dan jika
terjadi sesudahnya, apakah segera diceraikan atau menunggu sampai habis masa
iddah . Ada dua riwayat, dan inilah madzhab Syafi’i.
Selanjutnya
disebutkan bahwa menurut Imam Abu Hanifah, pernikahannya tidaklah batal
berdasarkan istihsan ( catatan: kebijaksanaan yang diambil berdasarkan suatu
pertimbangan tertentu, tanpa mengacu kepada nash secara khusus ), karena dengan
demikian, agama mereka berbeda, sehingga ibaratnya seperti kalau mereka sama
sama beragama Islam. Kemudian analogi yang digunakan itu disanggah oleh penulis
al Mughni dari segala segi dan aspeknya.
Apabila telah
jelas dan nyata bahwa pernikahan orang murtad dengan laki laki atau perempuan
yang beragama Islam itu tidak sah, berdasarkan dalil Al Qur’an dan As Sunnah,
dan orang yangmeninggalkan shalat adalah kafir berdasarkan dalil dari Al Qur’an
dan As Sunnah serta pendapat para sahabat, maka jelaslah bagi kita bahwa
seseorang apabila tidak shalat, dan mengawini seorang wanita muslimah, maka
pernikahannya tidak sah, dan tidak halal baginya wanita itu dengan akad nikah
ini, begitu pula hukumnya apabila pihak wanita yang tidak shalat.
Hal ini berbeda
dengan pernikahan orang orang kafir, ketika masih dalam keadaan kafir, seperti
seorang laki laki kafir kawin dengan wanita kafir, kemudian sang istri masuk
Islam, jika ia masuk Islam sebelum digauli, maka batallah pernikahan tadi, tapi
jika masuk Islam sesudah digauli, belum batal pernikahannya, namun ditunggu :
apabila sang suami masuk Islam sebelum habis masa iddah, maka wanita tersebut
tetap menjadi istrinya, tetapi apabila telah habis masa iddahnya sang suami belum
masuk Islam, maka tidak ada hak baginya terhadap istrinya, karena dengan
demikian nyatalah bahwa pernikahannya telah batal, semenjak sang istri masuk
Islam.
Pada zaman Nabi
Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam ada sejumlah orang kafir yang masuk Islam
bersama istri mereka, dan pernikahan mereka tetap diakui oleh Nabi, kecuali
jika terdapat sebab yang mengharamkan dilangsungkannya pernikahan tersebut,
seperti apabila suami istri itu berasal dari agama majusi dan terdapat hubungan
kekeluargaan yang melarang dilangsungkannya pernikahan di antara keduanya, maka
kalau keduanya masuk Islam, diceraikan seketika itu juga antara mereka berdua,
karena adanya sebab yang mengharamkan tadi.
Masalah ini
tidak seperti halnya orang muslim, yang menjadi kafir karena meninggalkan
shalat, kemudian kawin dengan seorang wanita muslimah, wanita muslimah itu
tidak halal bagi orang kafir berdasarkan nash dan ijma’, sebagaimana telah
diuraikan di atas, sekalipun orang itu aslinya kafir bukan karena murtad, untuk
itu, jika ada seorang laki laki kafir kawin dengan wanita muslimah, maka
pernikahannya batal, dan wajib diceraikan antara keduanya. Apabila laki laki
itu masuk Islam dan ingin kembali kepada wanita tersebut, maka harus dengan
akad nikah yang baru.
7- Hukum anak
orang yang meninggalkan shalat dari perkawinannya dengan wanita muslimah.
Bagi pihak
istri, menurut pendapat orang yang mengatakan bahwa orang yang meninggalkan
shalat itu tidak kafir, maka anak itu adalah anaknya, dan bagaimanapun tetap
dinasabkan kepadanya, karena pernikahannya adalah sah.
Sedang menurut
pendapat yang mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat itu kafir, dan
pendapat ini yang benar sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, pada fasal
pertama, maka kita tinjau terlebih dahulu :
· Jika sang suami
tidak mengetahui bahwa pernikahannya batal, atau tidak meyakini yang demikian
itu, maka anak itu adalah anaknya, dan dinasabkan kepadanya, karena hubungan
suami istri yang dilakukannya dalam keadaan seperti ini adalah boleh menurut
keyakinannya, sehingga hubungan tersebut dihukumi sebagai hubungan syubhat (
yang meragukan ), dan karenanya anak tadi tetap diikutkan kepadanya dalam
nasab.
· Namun jika sang
suami itu mengetahui serta meyakini bahwa pernikahannya batal, maka anak itu
tidak dinasabkan kepadanya, karena tercipta dari sperma orang yang berpendapat
bahwa hubungan yang dilakukannya adalah haram, karena terjadi pada wanita yang
tidak dihalalkan baginya.
KONSEKWENSI
HUKUM YANG BERSIFAT UKHRAWI.
1- Dicaci dan
dihardik oleh para malaikat.
Bahkan para
malaikat memukuli seluruh tubuhnya, dari bagian depan dan belakangnya.
Allah subhaanahu
wa ta’aala berfirman :
ولو ترى إذ يتوفى
الذين كفروا الملائكة يضربون وجوههم وأدبارهم وذوقوا عذاب الحريق ذلك بما قدمت أيديكم
وأن الله ليس بظلام للعبيد
“Kalau kamu melihat
ketika para malaikat mencabut nyawa orang orang yang kafir, seraya memukul muka
dan belakang mereka ( dan berkata ) : “Rasakanlah olehmu siksa nereka yang
membakar”, ( tentulah kamu akan merasa ngeri ). Demikian itu disebabkan oleh
perbuatan tanganmu sendiri, sesungguhnya Allah sekali kali tidak menganiaya
hambaNya.” ( QS. Al Anfal, 50 –51 ).
2- Pada hari
kiamat ia akan dikumpulkan bersama orang orang kafir dan musyrik, karena ia
termasuk dalam golongan mereka.
Firman Allah
subhaanahu wa ta’aala :
احشروا الذين ظلموا
وأزواجهم وما كانوا يعبدون من دون الله فاهـدوهم إلى صراط الجحيم
“( Kepada para
malaikat diperintahkan ) : “Kumpulkanlah orang orang yang dzalim beserta orang
orang yang sejenis mereka dan apa apa yang menjadi sesembahan mereka, selain
Allah, lalu tunjukkanlah kepada mereka jalan ke neraka.” ( QS. Ash Shaffat, 22
–23 ).
Kata “ أزواج ”
bentuk jama’ dari “ زوج ” yang berarti : jenis, macam. Yakni : “Kumpulkanlah
orang orang yang musyrik dan orang orang yang sejenis mereka, seperti orang orang
kafir dan yang dzalim lainnya.”
3- Kekal untuk
selama lamanya di alam neraka.
Berdasarkan
firman Allah subhaanahu wa ta’aala :
إن الله لعن الكافـرين وأعد لهم سعيرا خالدين
فيها أبدا لا يجدون وليا ولا نصيرا يوم تقلب وجوههم في النار يقولون يا ليتنا أطعنا
الله وأطعنا الرسولا.
“Sesungguhnya
Allah melaknati orang orang kafir dan menyediakan bagi mereka api yang menyala
nyala (neraka), mereka kekal di dalamnya selama lamanya, mereka tidak
memperoleh seorang pelindungpun dan tidak ( pula ) seorang penolong. Pada hari
ketika muka mereka dibolak balikkan dalam neraka, mereka berkata : Alangkah
baiknya, andaikata kami taat kepada Allah, dan taat ( pula ) kepada Rasul.” (
QS. Al Ahzab, 64 – 66 ).
Berbagai Kasus
Orang yang Meninggalkan Shalat
1. Kasus ini adalah
meninggalkan shalat dengan mengingkari kewajibannya sebagaimana mungkin
perkataan sebagian orang, ‘Sholat oleh, ora sholat oleh.’ [Kalau mau shalat
boleh-boleh saja, tidak shalat juga tidak apa-apa]. Jika hal ini dilakukan
dalam rangka mengingkari hukum wajibnya shalat, orang semacam ini dihukumi
kafir tanpa ada perselisihan di antara para ulama.
2. Kasus kali
ini adalah meninggalkan shalat dengan menganggap gampang dan tidak pernah
melaksanakannya. Bahkan ketika diajak untuk melaksanakannya, malah enggan. Maka
orang semacam ini berlaku hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
menunjukkan kafirnya orang yang meninggalkan shalat. Inilah pendapat Imam
Ahmad, Ishaq, mayoritas ulama salaf dari shahabat dan tabi’in.
3. Kasus ini
yang sering dilakukan kaum muslimin yaitu tidak rutin dalam melaksanakan shalat
yaitu kadang shalat dan kadang tidak. Maka dia masih dihukumi muslim secara
zhohir (yang nampak pada dirinya) dan tidak kafir. Inilah pendapat Ishaq bin
Rohuwyah yaitu hendaklah bersikap lemah lembut terhadap orang semacam ini
hingga dia kembali ke jalan yang benar. Wal ‘ibroh bilkhotimah [Hukuman baginya
dilihat dari keadaan akhir hidupnya].
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Jika seorang hamba melakukan sebagian perintah dan
meninggalkan sebagian, maka baginya keimanan sesuai dengan perintah yang
dilakukannya. Iman itu bertambah dan berkurang. Dan bisa jadi pada seorang
hamba ada iman dan nifak sekaligus. … Sesungguhnya sebagian besar manusia
bahkan mayoritasnya di banyak negeri, tidaklah selalu menjaga shalat lima
waktu. Dan mereka tidak meninggalkan secara total. Mereka terkadang shalat dan
terkadang meninggalkannya. Orang-orang semacam ini ada pada diri mereka iman
dan nifak sekaligus. Berlaku bagi mereka hukum Islam secara zhohir seperti pada
masalah warisan dan semacamnya. Hukum ini (warisan) bisa berlaku bagi orang
munafik tulen. Maka lebih pantas lagi berlaku bagi orang yang kadang shalat dan
kadang tidak.” (Majmu’ Al Fatawa, 7/617)
info menarik
ReplyDelete