MEMUKUL MURID OBAT
HARUS TEPAT DOSISNYA DAN WAKTUNYA
By Muhammad Rakib,S.H.M.Ag
Pemukulan terhadap anak, adalah ibarat obat yang harus diperhatikan jenisnya dan dosisnya,
kapan dilakukan, bagaimana caranya, dan ukuran pemukulan tersebut. “Dan merupakan hak kalian
agar mereka (istri-istri kalian) untuk tidak membiarkan seorangpun yang kalian
benci untuk masuk ke dalam rumah kalian, dan jika mereka melakukan maka
“pukullah” mereka dengan pukulan yang tidak membekas”[1]
Syaikh Utsaimin mengomentari hadits ini, “Jika perkara yang besar ini (yaitu sang istri memasukkan seorang lelaki ke dalam rumahnya tanpa izin suaminya) dan sang wanita hanya dipukul dengan pukulan yang tidak keras maka bagaimana lagi dengan bentuk-bentuk ketidaktaatan istri yang lain (yang lebih ringan)? tentunya lebih utama tidak dipukul hingga membekas...” [2]
Berkata Ibnul ‘Arabi, “ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ yaitu pukulan yang tidak ada bekasnya di badan berupa darah maupun patah”[3] Yang sangat menyedihkan sebagian suami yang keras hatinya memukul istrinya seperti memukul hewan?[4] Rasulullah SAW.,bersabda,“Janganlah salah seorang dari kalian mencambuk, memukul istrinya sebagaimana mencambuk (memukul) seorang budak lantas ia menjimaknya di akhir hari”[5]Ibnu Katsir berkata, “Ini merupakan ancaman bagi para lelaki jika mereka berbuat sewenang-wenang terhadap wanita tanpa ada sebab karena sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar yang merupakan wali para wanita dan Allah akan membalas siapa saja yang menzholimi mereka dan menganiaya mereka” menurut Tafsir Ibnu Katsir I/493, dalam Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja. Karena itu maka Wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).
Kemudian
dinyatakan, “Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, nasehatilah
mereka dan pukullah mereka. Kemudian
jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”.Ayat ini,
memberikan informasi tentang memukul
istri yang tidak patuh, pada perintah suami, di mana perintah suami tidak untuk
kejelekan istri tetapi untuk kebaikan istri dan keluarga. Dalam pergaulan hidup
tentu suami yang baik menghendaki istri bergaul dalam komunitas yang baik pula.
Terkadang banyak istri yang bergaul secara salah tanpa sepengetahuan suami.
Dalam hal ini jika ada kecenderungan istri ke arah sana (pergaulan yang tidak
baik) maka suami harus menasehati dan jangan memukul, karena dalam kalimat
diatas kata menasehati lebih dulu daripada memukul. Dan tahap dalam menasehati
ini tentu tidak hanya sekali, tetapi harus berulang kali sampai istri sadar.
Nah, jika istri sudah dinasehati tetapi masih bergaul secara salah, maka suami
boleh memukul. Ayat tentang ini ada asbanunnuzulnya.[6]
Yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana arti dari memukul tersebut. Banyak
kalangan yang salah mengartikan arti memukul sebagai sesuatu yang menakutkan.
kata “Pukullah”,[7]
adalah kata umum. Dan masing-masing manusia mengartikan sendiri-sendiri dari
kata ini. Adapun maksud dan arti “memukul” :
1. Membenturkan benda ke tubuh.
2. Membenturkan kepalan tangan
(tangan) ke tubuh.
Dari dua arti diatas tentu masih
bernuansa umum, karena benda yang dipakai juga tidak jelas, apakah besar,
sedang atau kecil. Apakah bendanya panjang atau pendek. Dalam membenturkan
tangan juga tidak jelas apakah dengan kekuatan penuh, sedang atau lemah. Ayat
diatas tidak ada keterangan bagaimana harus memukul. Dalam pemahaman Islam
mengenai konteks ayat diatas tentu arti memukul adalah membenturkan sesuatu
benda atau tangan ke pihak istri dimana pukulan itu bisa menyadarkan pihak
istri. Dan tentu masing-masing pukulan akan berbeda tentunya, karena ada istri
yang dicubit saja langsung sadar, ada yang dipukul pelan saja sudah sadar, dan
ada yang dipukul keras, baru sadar dan yang terakhir tadi tentu sejelek-jelek
pukulan. [8]
Bagaimana jika sudah
dipukul dengan segala tingkatan pukulan tidak mau sadar?. Islam melarang untuk
menyakiti manusia apalagi istri dengan keras (lebih jauh), untuk itu jika
memang demikian daripada takut nanti melukai istri lebih lanjut maka
diperbolehkah bercerai meski itu sangat dibenci oleh Allah. Memukul peminum
khamar,memang diberlakukan hukum hudud,
seorang muslim yang kedapatan dan terbukti meminum khamar oleh pengadilan (mahkamah syar`iyah) hukumannya adalah
dipukul. Bentuk hukuman ini bersifat mahdhah,
artinya bentuknya sudah menjadi ketentuan dari Allah SWT. Sehingga tidak boleh
diganti dengan bentuk hukuman lainnya seperti penjara atau denda uang dan
sebagainya.
Dalam
istilah fiqih disebut hukum hudud,
yaitu hukum yang bentuk, syarat, pembuktian dan tatacaranya sudah diatur oleh
Allah SWT.[9] Hudud jamak dari hadd,
arti aslinya batas antara dua hal. Menurut bahasa bisa juga cegahan. Sedangkan
menurut syari'at yang dimaksud ialah hukuman yang telah ditetapkan dalam al
qur'an sebagai hak Allah. Ketetapan Allah SWT mengenai hukuman zina pada Qs.An-Nisa':15-16.
Kegunaannya untuk mencegah perbuatan keji, antara perbuatan zina, dan semua perbuatan mesum seperti, :
zina, homosek dan yang sejenisnya. Keji menurut pendapat Muslim dan mujahid,
bahwa yang dimaksud dengan perbuatan keji ialah musahaqah (homosek antara wanita dengan wanita). Menurut Jumhur
Mufassirin jalan yang lain itu, itu ialah dengan turunnya ayat 2 surat An Nur. Dasar pensyariatannya adalah hadits Nabi SAW berikut ini :
"Siapa yang minum khamar
maka pukullah". Hadits ini termasuk jajaran hadits
mutawatir, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi pada tiap
thabawatnya (jenjang) dan mustahil ada terjadi kebohongan diantara mereka. Di
tingkat shahabat, hadits ini diriwayatkan oleh 12 orang shahabat yang berbeda.
Mereka adalah Abu Hurairah, Muawiyah, Ibnu Umar, Qubaishah bin Zuaib, Jabir,
As-Syarid bin suwaid, Abu Said Al-Khudhri, Abdullah bin Amru, Jarir bin Abdillah,
Ibnu Mas`ud, Syarhabil bin Aus dan Ghatif ibn Harits.
Syarat diberlakukannya hudud bagi peminum khamar, para ulama sepakat bahwa agar hukuman pukul atau cambuk itu
dapat terlanksana, syarat dan ketentuannya harus terpenuhi terlebih dahulu.
Tidak asal ada orang minum khamar lantas segera dicambuk. Di antara syarat dan
ketentuannya antara lain :
1. Berakal
Peminumnya adalah seorang yang waras atau berakal. Sehingga
orang gila bila meminum minuman keras maka tidak boleh dihukum hudud.[10]
2. Baligh
Peminum itu orang yang sudah baligh, sehingga bila seorang
anak kecil di bawah umur minum minuman keras, maka tidak boleh dihukum
hudud. [11]
3. Muslim
Hanya orang yang beragama Islam saja yang bila minum minuman
keras yang bisa dihukum hudud. Sedangkan non muslim tidak bisa dihukum bahkan
tidak bisa dilarang untuk meminumnya.
4. Bisa memilih
Peminum
itu dalam kondisi bebas bisa memilih dan bukan dalam keadaan yang
dipaksa. Jika
ada yang bertanya, "Kapan harus memukul di bawah sepuluh kali jika yang
dimaksud hudud dalam hadits tersebut adalah jinayah?"
Jawabannya adalah saat seorang suami memukul isterinya atau budaknya atau anaknya atau pegawainya dengan tujuan mendidik atau semacamnya, ketika itu tidak boleh memukul lebih dari sepuluh kali. Ini merupakan kesimpulan terbaik dari hadits ini." [12] Selayaknya hal tersebut dilakukan tidak di depan orang lain untuk melindungi kehormatan sang anak atas dirinya dan orang lain dari teman-temannya atau selainnya. Juga hendaknya diketahui bahwa dalam perjalanan hubungan bapak dengan anak-anaknya dan pengajarannya bahwa sang bapak memukul sang anak semata-mata bertujuan agar dia taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Tujuannya semata-mata untuk kebaikannya secara sempurna dan perhatiannya dalam mendidiknya sesuai ketentuan syari agar jangan sampai timbul perasaan benci sang anak terhadap perkara syar'i yang berat dia lakukan dan karena meninggalkannya dia dipukul.
Abdullah Ibn Baz berkata, "Perhatikanlah keluarga dan jangan lalai dari mereka wahai hamba Allah. Hendaknya kalian bersungguh-sungguh untuk kebaikan mereka. Perintahkan putera puteri kalian melakukan shalat saat berusia tujuh tahun, pukullah mereka saat berusia sepuluh tahun “dengan pukulan yang ringan” yang dapat mendorong mereka untuk taat kepada Allah dan mem-biasakan mereka menunaikan shalat pada waktunya agar mereka istiqomah di jalan Allah dan mengenal yang haq, dijelaskan dari riwayat shahih dari Nabi SAW.[13]
Ibnu Utsaimin berkata, "Nabi Muhammad SAW, telah memerintahkan agar umat Islam memerintahkan anak-anaknya melakukan shalat, saat mereka berusia tujuh tahun, atau kita memukul mereka, saat mereka berusia sepuluh tahun. Padahal ketika itu mereka belum berusia baligh. Tujuannya adalah agar mereka terbiasa melakukan ketaatan dan akrab dengannya. Sehingga terasa mudah dilakukan apabila mereka telah besar dan mereka mencintainya. Begitu pula dengan perkara-perkara yang tidak terpuji, tidak selayaknya mereka dibiasakan sejak kecil meskipun mereka belum baligh, agar mereka tidak terbiasa dan akrab ketika sudah besar." Beliau juga berkata, "Perintah ini bermakna wajib. Akan tetapi dibatasi apabila pemukulan itu mendatangkan manfaat. Karena kadang-kadang, anak kecil dipukul tapi tidak bermanfaat pukulan tersebut. Hanya sekedar jeritan dan tangis yang tidak bermanfaat. Kemudian, yang dimaksud pukulan adalah pukulan yang tidak melukai. Pukulan yang mendatangkan perbaikan bukan mencelakakan."[14]
Beliau juga berkata, "Tidak boleh dipukul dengan pukulan melukai, juga tidak boleh memukul wajah atau di bagian yang dapat mematikan. Hendaknya dipukul di bagian punggung atau pundak atau semacamnya yang tidak membahayakannya. Memukul wajah mengandung bahaya, karena wajah merupakan bagian teratas dari tubuh manusia dan paling mulia.[15] Syaikh Fauzan berkata, "Pukulan merupakan salah satu sarana pendidikan. Sorang guru boleh memukul, seorang pendidik boleh memukul, orang tua juga boleh memukul sebagai bentuk pengajaran dan peringatan. Seorang suami juga boleh memukul isterinya apabila dia membangkang. Akan tetapi hendaknya memiliki batasan. Misalnya tidak boleh memukul yang melukai yang dapat membuat kulit lecet, mematahkan tulang. Cukup pukulan seperlunya." . [16]
Penting juga diperhatikan bahwa pembinaan terhadap anak, bukan hanya karena dia meninggalkan shalat saja, tapi juga jika sikapnya meremehkan syarat-syaratnya, rukun-rukunnya dan wajibnya. Kadang sang anak shalat, tapi shalatnya dia jamak, atau dia shalat tanpa wudhu, atau tidak benar shalatnya. Maka ketika itu hendaknya diajarkan semua perkara shalat dan memastikan bahwa dia menunaikan kewajiban, syarat dan rukunnya. Jika mereka lalai dalam sebagiannya, maka kita kuatkan lagi nasehatnya, diajarkan terus menerus. Jika masih juga lalai, boleh diperingatkan dengan pukulan hingga shalatnya benar. Al-Mubarkafuri dalam kitabnya Tuhfatul Ahwadzi mengutip pendapat Al-‘Alaqi, dengan mengatakan: Berkata Al-‘Alaqi: … yang dimaksud dengan pukulan (di hadits tersebut) adalah pukulan yang tidak menyakitkan, dan harus menghindari bagian wajah.[17]
Pukulan yang tidak menyakitkan batasannya adalah pukulan yang tidak menyebabkan bekas atau memar, apalagi menyebabkan sobeknya kulit, pecahnya tulang, atau menimbulkan cacat. Sedangkan pukulan yang tidak boleh mengena wajah adalah pukulan baik secara langsung, misalnya tonjokan atau tamparan, atau menggunakan alat pemukul seperti kayu, rotan, kabel, besi. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi saw berikut. Dari Abi Hurairah dari Nabi saw, beliau ber-sabda: Apabila salah seorang dari kalian memukul maka hindarilah memukul bagian wajah .[18]Apakah hukuman ini bisa diterapkan oleh selain orang tua, seperti misalnya guru di sekolah atau ustadz di pesantren?[19] dan apakah hukuman ini bisa diterapkan untuk hal lain seperti saat anak didik tidak ikut shalat berjama'ah, ber-shaff dengan tidak lurus, mengantuk saat membaca Al-Qur'an, melanggar disiplin bahasa, tidak masuk kelas tanpa izin.?
Untuk yang pertama jawabannya,
syara' tidak hanya memberikan
"kewenangan menghukum" tersebut hanya kepada orang tua tidak kepada
yang lainnya. Kedua, hukuman tersebut tidak bisa diterapkan untuk
pelanggaran-pelanggaran lainnya sebagaimana yang disebutkan. Menurut para
ulama, syara' menjadikan hukuman demikian ini hanya pada syari'at shalat dan
tidak pada syari'at-syari'at lainya, tidak lain karena kewajiban shalat
merupakan kewajiban yang sangat besar bagi seorang muslim dan akan terasa berat
apabila tidak ada pembiasaan sejak dini. Dimana ketika seorang anak sudah
memasuki masa baligh, maka meninggalkan shalat dengan sengaja sudah menjadi
dosa besar baginya.
E.Perbandingan
sanksi hukum terhadap pelanggaran hak anak-anak
1.Sanksi umum
1.Sanksi umum
Sanksi umum, bisa berupa penangkapan
dapat dilanjutkan dengan penahanan yang disertai surat perintah penahanan dalam
waktu 1 x 24 jam (Ps 36 (2)Undang-Undang tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga
ini terkait erat dengan beberapa peraturan perundang-undangan lain yang sudah
berlaku sebelumnya, antara lain: 1. UU
1/1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Perubahannya. 2. UU
8/1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 3. UU 1/1974 tentang
Perkawinan. UU 7/1984 tentang 28
Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against
Women); dan 4. UU 39/1999 tentang Hak
Asasi Manusia.
Undang-Undang ini, selain mengatur ihwal pencegahan dan perlindungan
serta pemulihan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga, juga mengatur
secara spesifik keke-rasan yang terjadi dalam rumah tangga dengan unsur-unsur
tindak pidana yang berbeda dengan tindak pidana penganiayaan yang diatur dalam
KUHP. Kepolisian dapat menangkap untuk selan-jutnya melakukan penahanan tanpa surat perintah terhadap
pelaku yang diyakini telah melanggar perintah perlindungan, walaupun
pelanggaran tersebut tidak dilakukan di tempat polisi itu bertugas (Ps 35 (1).
Untuk memberikan perlindungan kepada korban, kepolisian dapat menangkap pelaku
dengan bukti permulaan yang cukup karena telah melanggar perintah per
-lindungan (Ps 36 (1). Korban,
kepolisian atau relawan pendamping dapat meng -ajukan laporan secara tertulis
tentang adanya dugaan pelanggaran terhadap perintah perlindungan (Ps 37 (1).
Bilamana pengadilan mendapatkan laporan tertulis tentang adanya dugaan
pelanggaran terhadap perintah perlindungan ini, pelaku diperintahkan menghadap
dalam waktu 3 x 24 jam guna dilakukan pemeriksaan, di tempat pelaku pernah
tinggal bersama korban pada waktu pelanggaran diduga terjadi (Pasal 37 (2)
2. Sanksi khusus
Sanksi khusus, hanya merupakan
sanksi moral. Lebih-lebih lagi menurut Hukum Islam, Syari’
hanya mengizinkan para suami untuk menghukum istrinya yang nusyuz (membangkang),[20]
dengan tiga macam hukuman, yaitu menasihatinya, memisahkannya dari ranjang
(pisah ranjang), dan pukulan. berdasarkan ayat:
...wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya,[21] Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.[22]
Asbab al-Nuzulnya menurut Ibnu
Juraij dan Saddiy. Ibnu Murdawaih mengetengahkan juga dari Ali bin Abi Thalib,
" laki-laki Ansar datang kepada Nabi saw.,membawa istrinya. Kata istrinya,
'Wahai Rasulullah! Dia ini memukul saya hingga berbekas pada wajah saya.' Jawab
Rasulullah, 'Tidak boleh ia berbuat demikian', maka Allah swt. pun menurunkan
ayat,’'Kaum lelaki menjadi pelindung
wanita...sampai akhir ayat.' (QS. An-Nisa’ 34) Hadis ini menjadi saksi,
yang masing-masingnya menguatkan yang lainnya." Berikut ini tentang kesamaan
Al-quran dan hadits, tentang tingkatan hukuman antara isteri dan anak.
[4]Berkata Ibnu Hajar, “(yaitu)
kemungkinan jauhnya terjadi hal ini (digabungkannya) dua perkara dari seorang
yang memiliki akal, yaitu memukul istri dengan keras kemudian menjimaknya di
akhir harinya atau akhir malam. Padahal jimak hanyalah baik jika disertai
kecondongan hati dan keinginan untuk berhubungan, dan biasanya orang yang
dicambuk lari dari orang yang mencambuknya…dan jika harus memukul maka hendaknya
dengan pukulan yang ringan dimana tidak menimbulkan pada sang istri rasa yang
amat sangat untuk lari (menjauh), maka janganlah ia berlebih-lebihan dalam
memukul dan jangan juga kurang dalam memberi pelajaran bagi sang istri” [Fathul
Bari IX/303, lihat juga HR Al-Bukhari V/2009]Barangsiapa yang berbuat aniaya
dengan memukul istrinya padahal istrinya telah taat kepadanya, atau dia memukul
istrinya karena merasa tinggi dan ingin merendahkan istrinya maka sesungguhnya
Allah lebih tinggi darinya dan akan membalasnya. Allah berfirmam, jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan
untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.QS.
4:34.
[6]Ibnu Abu Hatim mengetengahkan dari Hasan, katanya,
"Seorang wanita datang kepada Nabi saw. mengadukan suaminya karena telah
memukulnya, maka sabda Rasulullah saw., 'Berlaku hukum kisas,' maka Allah pun
menurunkan, 'Kaum lelaki menjadi pemimpin atas kaum wanita...' sampai akhir
ayat." (Q.S. An-Nisa 34.) Demikianlah wanita itu kembali tanpa kisas. Ibnu
Jarir mengetengahkan pula dari beberapa jalur dari Hasan, yang pada sebagiannya
terdapat bahwa seorang laki-laki Ansar memukul istrinya, hingga istrinya itu
pun datang menuntut kisas. Nabi saw. pun menitahkan hukum kisas di antara
mereka, maka turunlah ayat, "Dan janganlah kamu mendahului Alquran sebelum
diputuskan mewahyukannya bagimu." (Q.S. Thaha 114) dan turunlah ayat, "Kaum
lelaki menjadi pemimpin kaum wanita..." Dan dikeluarkan pula yang serupa
dengan ini dari Ibnu Juraij dan Saddiy. Ibnu Murdawaih mengetengahkan juga dari
Ali, katanya, "Seorang laki-laki Ansar datang kepada Nabi saw. dengan
membawa istrinya, maka kata istrinya, 'Wahai Rasulullah! Dia ini memukul saya
hingga berbekas pada wajah saya.' Jawab Rasulullah, 'Tidak boleh ia berbuat
demikian', maka Allah swt. pun menurunkan ayat, 'Kaum lelaki menjadi pemimpin
kaum wanita...sampai akhir ayat.' (Q.S. An-Nisa 34) Maka hadis-hadis ini
menjadi saksi, yang masing-masingnya menguatkan yang lainnya."
[7]Bahwasanya Abdullah bin
‘Umar radhiallahu ‘anhuma apabila mendapati salah seorang anggota keluarganya
bermain dadu, beliau memukulnya dan memecahkan dadu itu. (HR. Al-Bukhari dalam
Al-Adabul Mufrad no. 1273. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata dalam
Shahih Al-Adabul Mufrad: shahihul isnad mauquf) Begitu pula Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiallahu ‘anha,
sebagaimana penuturan Syumaisah Al-’Atakiyyah: “Pernah disebutkan tentang
pendidikan bagi anak yatim di sisi ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, maka beliau pun
berkata, ‘Sungguh, aku pernah memukul anak yatim yang ada dalam asuhanku hingga
dia telungkup menangis di tanah.” HR.
Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 142, dan dikatakan Asy-Syaikh Al-Albani
rahimahullahu dalam Shahih Al-Adabul Mufrad: shahihul isnad. Akan tetapi, ada yang perlu
diperhatikan dalam hal ini. Orang tua tidak diperkenankan memukul wajah. Hal
ini secara umum dilarang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana
dalam hadits Abi Hurairah radhiallahu ‘anhu: “Apabila salah seorang di
antara kalian memukul, hendaknya menghindari wajah.”HR. Al-Bukhari no. 2559 dan Muslim no. 2612.
[8]Para
ulama mengatakan bahwa ini adalah larangan memukul wajah secara tegas. Karena
wajah merupakan sesuatu yang lembut yang terkumpul padanya seluruh keindahan.
Anggota-anggota tubuh yang ada di wajah demikian berharga, dan sebagian besar
penginderaan seseorang diperoleh dengan anggota tubuh tersebut. Sehingga
terkadang pukulan di wajah bisa menghilangkan atau mengurangi fungsi anggota
tubuh itu, terkadang pula menjadikan wajah cacat. Sementara cacat di wajah itu
sendiri demikian buruk karena nampak jelas dan tidak mungkin ditutupi. Dan pada
umumnya pukulan di wajah itu tidak lepas dari kemungkinan timbulnya cacat.
Termasuk pula dalam larangan ini seseorang yang memukul istri, anak, ataupun
budaknya dalam rangka mendidik, hendaknya dia hindari wajah. (Syarh Shahih
Muslim, 16/164) Hal lain yang perlu diperhatikan pula, pukulan pada si anak
adalah semata-mata dalam rangka mendidik. Yang dimaksud dengan pukulan yang
mendidik adalah pukulan yang tidak membahayakan. Sehingga tidak diperkenankan
seorang ayah memukul anaknya dengan pukulan yang melukai, tidak boleh pula
pukulan yang bertubi-tubi tanpa ada keperluan. Namun bila dibutuhkan, misalnya
sang anak tidak mau menunaikan shalat kecuali dengan pukulan, maka sang ayah
boleh memukulnya dengan pukulan yang membuat jera, namun tidak melukai. Karena
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang tua untuk memukul
bukan untuk menyakiti si anak, melainkan untuk mendidik dan meluruskan mereka.
(Syarh Riyadhish Shalihin, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 2/123-124). Semua ini
perlulah kiranya untuk diketahui oleh orang tua yang hendak mengarahkan
anak-anak mereka, mengingat tanggung jawab yang dibebankan ke pundak mereka,
manakala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Ketahuilah, setiap kalian adalah penanggung jawab dan
akan ditanyai tentang tanggung jawabnya. Seorang pemimpin yang memimpin manusia
adalah penanggung jawab dan kelak akan ditanya tentang mereka. Seorang
laki-laki adalah penanggung jawab atas keluarganya dan kelak dia akan ditanya
tentang mereka. Seorang istri adalah penanggung jawab rumah tangga dan
anak-anak suaminya, dan kelak akan ditanya. Seorang hamba sahaya adalah
penanggung jawab harta tuannya dan kelak dia akan ditanya tentangnya.
Ketahuilah, setiap kalian adalah penanggung jawab dan kelak akan ditanyai
tentang tanggung jawabnya.”HR. Al-Bukhari no. 5188 dan Muslim no. 1829
[9]Keterangan ayat tentang Hudud. (Perempuan yang berzina
dan laki - laki berzina) kedua - duanya bukan muhshan atau orang yang terpelihara dari berzina disebabkan telah
kawin. Hadd bgi pelaku zina muhshan adalah dirajam, menurut keterangan dari
sunnah.(maka deralah tiap - tiap seorang dari keduanya seratus kali dera) yakni
seratus kali pukulan.Jika dikatakan Jalahadu artinya ia memukul kulit
seseorang; makna yang dimaksud adalah mendera. kemudian ditambahkan hukuman
bagi pelaku zina yang bukan muhshan ini menurut keterangan dari Sunnah, yaitu
harus diasingkan atau dibuang selama satu tahun penuh. bagi hamba sahaya hanya
dikenakan hukuman separuh dari hukuman orang yang merdeka tadi. Lihat Muchtar
Yahya, op.cit., hlm. 511.
[10]Ta'ziî
adalah jenis hukuman, bukan bentuk hukuman. Bentuk hukuman bisa dalam bentuk
cambuk, rajam atau diasingkan. Tapi kalau kita bicara tentang jenis hukuman,
maka jenis hukuman itu ada 2 macam, yaitu hukum hudud dan hukum ta'zir.
Sedangkan bentuknya bisa saja cambuk, rajam atau lainnya. Beda Ta'zir dengan Hudud
.Jadi padanan dari hukum ta'zir bukan cambuk, melainkan hukum hudud. Hukum
hudud adalah hukum yang semua aturannya langsung ditetapkan Allah. Mulai dari
batasan pelanggaran, pembuktian, syarat saksi hingga pada bentuk hukumannya. Semua ditetapkan Allah SWT bahkan nabi SAW tidak
punya hak untuk mengubahnya.Contoh hudud adalah ketentuan memotong tangan
pencuri. Allah secara langsung menetapkan hukuman buat pencuri. Bahkan ketika
seorang wanita dari Bani Makhzum mencuri dan para shahabat berpandangan untuk
meminta keringanan dari nabi untuk tidak dipotong tangannya, beliau SAW menolak
keringanan itu seraya menjelaskan bahwa ketentuan potong tangan bukan
wewenangnya. Hukum ta'zir adalah hukuman yang semua ketentuannya ditetapkan
oleh hakim. Meski tetap mengacu kepada syariat dari Allah SWT juga. Namun
khusus untuk hukuman ta'zir, hakim mendapatkan hak lebih besar untuk menentukan
bentuk dan beratnya hukuman.Contohnya adalah hukuman buat pelaku zina yang
kurang buktinya, misalnya tidak ada 4 orang saksi yang memenuhi syarat. Mereka
ini tidak bisa dirajam meski melakukan zina, bila tidak ada saksinya. Tetapi
karena jelas-jelas melakukan kemesuman, maka hakim berhak untuk menjatuhkan
hukuman 'pelajaran' kepada mereka, misalnya dicambuk 10 kali. Hukuman ta'zir
ini bukan untuk menghukum kasus zina, melainkan tindakan mesum yang boleh jadi
belum memenuhi derajat zina.Maka salah satu peran hukuman ta'zir ini adalah
agar para pelaku hukum hudud yang kurang syaratnya tidak lolos begitu saja.
Maklumlah, kita tahu bahwa untuk menjatuhkan hukum hudud, diperlukan syarat
yang sangat njelimet dan nyaris bisa-bisa semua tertuduh bebas.
[11]Hukum Hudud telah sekian
lama dipropagandakan oleh media-media barat dan musuh-musuh Islam agar
masyarakat melihatnya sebagai ganas dan tidak sesuai diamalkan dalam zaman yang
serba moden ini. Sedangkan Hukum Hudud
dan undang-undang Islam lain yang Allah
perintahkan dalam AlQuran untuk dilaksanakan adalah relevan sepanjang zaman
hinggalah ke Hari Kiamat, dan ianya WAJIB untuk dilaksanakan. Hudud ialah satu
cabang dari undang-undang jenayah Islam. Di dalam perundangan jenayah Islam
terdapat tiga jenis hukuman iaitu Hudud, Qisas dan Ta'zir.Hudud ialah kesalahan
jenayah yang melanggar hak-hak Allah iaitu melanggar batas-batas yang telah
ditetapkan oleh Allah dan hukumannya adalah berdasarkan kepada nas, sama ada
melalui AlQuran atau AlHadits. Ia meliputi keperluan menjaga agama, nyawa,
akal, keturunan dan harta benda. "Itu
adalah Hudud (had-had) dari Allah, barangsiapa ta'at kepada Allah dan
Rasul-Nya, nescaya Allah memasukkannya ke dalam syurga yang mengalir di
dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan
yang besar." Surah An-Nisaa'(4) : Ayat 13.
[19]Pada saat anak sudah masuk masa baligh maka hukuman
pukulan tersebut tidak berlaku lagi, hukuman bagi mukallaf yang melakukan
keharaman selain terkait hudud dan jinayat adalah hukuman ta'zir oleh khalifah,
tidak boleh lagi dilakukan oleh orang tua. Jadi, hukuman pukulan oleh orang tua
terhadap anak yang meninggalkan shalat ini hanya berlaku saat anak sudah
memasuki usia 10 tahun hingga anak memasuki masa baligh.Abu A’la Al-Maududi,
op.cit.,155
[20]Kecintaan kepada istri,
tanpa disadari banyak menggiring suami ke bibir jurang petaka. Betapa banyak
suami yang memusuhi orang tuanya demi membela istrinya. Betapa banyak suami
yang berani menyeberangi batasan-batasan syariat karena terlalu menuruti
keinginan istri. Malangnya, setelah hubungan kekerabatan berantakan, karir
hancur, harta tak ada lagi yang tersisa, banyak suami yang belum juga menyadari
kesalahannya. Ummu Ishaq Al-Atsariyyah) Majalah Asy-Syari’ah
Edisi 027
[21]Asbabunnuzul
ayat ini ialah: Ibnu Abu Hatim mengetengahkan dari Hasan, katanya,
"Seorang wanita datang kepada Nabi saw. mengadukan suaminya karena telah
memukulnya, maka sabda Rasulullah saw., 'Berlaku hukum kisas,' maka Allah pun
menurunkan, 'Kaum lelaki menjadi pemimpin atas kaum wanita...' sampai akhir
ayat." (Q.S. An-Nisa(4) 34.) Demikianlah wanita itu kembali tanpa kisas.
Ibnu Jarir mengetengahkan pula dari beberapa jalur dari Hasan, yang pada
sebagiannya terdapat bahwa seorang laki-laki Ansar memukul istrinya, hingga
istrinya itu pun datang menuntut kisas. Nabi saw. pun menitahkan hukum kisas di
antara mereka, maka turunlah ayat, "Dan janganlah kamu mendahului Alquran
sebelum diputuskan mewahyukannya bagimu." (Q.S. Thaha 114) dan turunlah
ayat, "Kaum lelaki menjadi pemimpin kaum wanita..."
No comments:
Post a Comment