SEGAN DAN MALU, KALAU HILANG
PERSIS SEPERTI, BABI HUTAN
Apa hukum oral seks?
Jawab:
Jawaban ini, ini bukan dari penulis
Dari Saudi, baru dirilis
Bacalah dengan, sambil menangis
Martabat manusia, sudah hampir habis
Mufti Saudi Arabia bagian Selatan, Asy-Syaikh
Al`Allamah Ahmad bin Yahya An-Najmi hafizhohullah menjawab sebagai berikut,
“Adapun isapan istri terhadap kemaluan suaminya (oral
sex), maka ini adalah haram, tidak dibolehkan. Karena ia (kemaluan suami) dapat
memencar. Kalau memencar maka akan keluar darinya air madzy yang dia najis
menurut kesepakatan (ulama’). Apabila (air madzy itu) masuk ke dalam mulutnya
lalu ke perutnya maka boleh jadi akan menyebabkan penyakit baginya.
Dan Syaikh Ibnu Baz rahimahullah telah berfatwa tentang haramnya hal
tersebut –sebagaimana yang saya dengarkan langsung dari beliau-.”
Dan dalam kitab Masa`il Nisa’iyyah Mukhtarah Min
Al-`Allamah Al-Albany karya Ummu Ayyub Nurah bintu Hasan Ghawi hal. 197 (cet.
Majalisul Huda AI¬Jaza’ir), Muhadits dan Mujaddid zaman ini, Asy-Syaikh
AI-`Allamah Muhammad Nashiruddin AI-Albany rahimahullah ditanya sebagai
berikut:
“Apakah boleh seorang perempuan mencumbu batang
kemaluan (penis) suaminya dengan mulutnya, dan seorang lelaki sebaliknya?”
Beliau menjawab:
“Ini adalah perbuatan sebagian
binatang, seperti anjing. Dan
kita punya dasar umum bahwa dalam banyak hadits, Ar-Rasul melarang untuk
tasyabbuh (menyerupai) hewan-hewan, seperti larangan beliau turun (sujud)
seperti turunnya onta, dan menoleh seperti
tolehan srigala dan mematuk seperti patukan burung
gagak. Dan telah dimaklumi pula bahwa nabi Shallallahu `alahi wa sallam telah
melarang untuk tasyabbuh dengan orang kafir, maka diambil juga dari makna
larangan tersebut pelarangan tasyabbuh dengan hewan-hewan -sebagai penguat yang
telah lalu-, apalagi hewan yang telah dlketahui kejelekan tabiatnya. Maka
seharusnya seorang muslim dan keadaannya seperti ini- merasa tinggi untuk
menyerupai hewan-hewan.”
Dan salah seorang ulama besar kota Madinah, Asy-Syaikh
AI-`Allamah `Ubaid bin ‘Abdillah bin Sulaiman AI-Jabiry hafizhahullah dalam
sebuah rekaman, beliau ditanya sebagai berikut,
“Apa hukum oral
seks’?“ Beliau menjawab:
“Ini adalah haram, karena is termasuk tasyabbuh dengan
hewan-hewan. Namun banyak di kalangan kaum muslimin yang tertimpa oleh
perkara-perkara yang rendah lagi ganjil menurut syari’at, akal dan fitrah
seperti ini. Hal tersebut karena ia menghabiskan waktunya untuk mengikuti
rangkaian film-film porno melalui video atau televisi yang rusak. Seorang
lelaki muslim berkewajiban untuk menghormati istrinya dan jangan ia berhubungan
dengannya kecuali sesuai dengan perintah Allah. Kalau ia berhubungan dengannya
selain dari tempat yang Allah halalkan baginya maka tergolong melampaui batas
dan bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alahi wa sallam.”
Dikutip dari darussalaf.org offline dari majalah
An-Nashihah Volume 10 1427H Penulis: Syaikh Al`Allamah Ahmad bin Yahya An-Najmi
hafizhohullah Judul: Hukum Oral Seks
Baca
risalah terkait ini :
1.HOMOSEKS dan Pengobatannya
2.Bolehkah ber “ORAL SEKS”
3.Bagaimana dengan “ANAL SEKS”?
4.Bolehkah ONANI atau MASTURBASI ?
5.Hukum SEX LESBI (LESBIAN) Dalam Islam
6.Bolehkah Bersetubuh Sebelum Istri… ?
1.HOMOSEKS dan Pengobatannya
2.Bolehkah ber “ORAL SEKS”
3.Bagaimana dengan “ANAL SEKS”?
4.Bolehkah ONANI atau MASTURBASI ?
5.Hukum SEX LESBI (LESBIAN) Dalam Islam
6.Bolehkah Bersetubuh Sebelum Istri… ?
Apakah Pelaku
Onani/Masturbasi Mendapat Dosa Seperti Orang yang Berzina?
Posted
by Admin pada 14/03/2010
Dijawab oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah As Sarbini Al-
Makassari
Permasalahan onani/masturbasi (istimna’) adalah
permasalahan yang telah dibahas oleh para ulama. Onani adalah upaya
mengeluarkan mani dengan menggunakan tangan atau yang lainnya. Hukum
permasalahan ini ada rinciannya sebagai berikut:
1. Onani yang dilakukan dengan bantuan tangan/anggota
tubuh lainnya dari istri atau budak wanita yang dimiliki. Jenis ini hukumnya
halal, karena termasuk dalam keumuman bersenang-senang dengan istri atau budak
wanita yang dihalalkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.1 Demikian pula hukumnya
bagi wanita dengan tangan suami atau tuannya (jika ia berstatus sebagai budak,
red.). Karena tidak ada perbedaan hukum antara laki-laki dan perempuan hingga
tegak dalil yang membedakannya. Wallahu a’lam.
2. Onani yang dilakukan dengan tangan sendiri atau
semacamnya. Jenis ini hukumnya haram bagi pria maupun wanita, serta merupakan
perbuatan hina yang bertentangan dengan kemuliaan dan keutamaan. Pendapat ini
adalah madzhab jumhur (mayoritas ulama), Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu, dan
pendapat terkuat dalam madzhab Al-Imam Ahmad rahimahullahu. Pendapat ini yang
difatwakan oleh Al-Lajnah Ad-Da’imah (yang diketuai oleh Asy-Syaikh Ibnu Baz),
Al-Albani, Al-’Utsaimin, serta Muqbil Al-Wadi’i rahimahumullah. Dalilnya adalah
keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ. إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ
مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ. فَمَنِ ابْتَغَى
وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluan-kemaluan mereka
(dari hal-hal yang haram), kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak
wanita yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka tidak tercela. Barangsiapa
mencari kenikmatan selain itu, maka merekalah orang-orang yang melampaui batas.”
(Al-Mu’minun: 5-7, juga dalam surat Al-Ma’arij: 29-31)
Perbuatan onani termasuk dalam keumuman mencari
kenikmatan syahwat yang sifatnya melanggar batasan syariat yang dihalalkan,
yaitu di luar kenikmatan suami-istri atau tuan dan budak wanitanya.
Sebagian ulama termasuk Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin
rahimahullahu berdalilkan dengan hadits ‘Abdillah bin Mas’ud radhiyallahu
‘anhu:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اْلبَاءَةَ
فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ
يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kalian
yang telah mampu menikah, maka menikahlah, karena pernikahan membuat pandangan
dan kemaluan lebih terjaga. Barangsiapa belum mampu menikah, hendaklah dia
berpuasa, karena sesungguhnya puasa merupakan obat yang akan meredakan
syahwatnya.” (Muttafaq ‘alaih)
Al-’Utsaimin rahimahullahu berkata: “Sisi pendalilan
dari hadits ini adalah perintah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi yang
tidak mampu menikah untuk berpuasa. Sebab, seandainya onani merupakan adat
(perilaku) yang diperbolehkan tentulah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
akan membimbing yang tidak mampu menikah untuk melakukan onani, karena onani
lebih ringan dan mudah untuk dilakukan ketimbang puasa.”
Apalagi onani sendiri akan menimbulkan mudharat yang
merusak kesehatan pelakunya serta melemahkan kemampuan berhubungan suami-istri
jika sudah berkeluarga, wallahul musta’an.2
Adapun hadits-hadits yang diriwayatkan dalam hal ini
adalah hadits-hadits yang dha’if (lemah). Kelemahan hadits-hadits itu telah
diterangkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu dalam At-Talkhish Al-Habir
(no. 1666) dan Al-Albani dalam Irwa’ Al-Ghalil (no. 2401) serta As-Silsilah
Adh-Dha’ifah (no. 319). Di antaranya hadits ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu
‘anhuma:
سَبْعَةٌ لاَ يَنْظُرُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
وَلاَ يُزَكِّيْهِمْ وَيَقُوْلُ: ادْخُلُوْا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِيْنَ: …
وَالنَّاكِحُ يَدَهُ …. الْحَدِيْثَ
“Ada tujuh golongan yang Allah tidak akan memandang
kepada mereka pada hari kiamat, tidak akan membersihkan mereka (dari dosa-dosa)
dan berkata kepada mereka: ‘Masuklah kalian ke dalam neraka bersama orang-orang
yang masuk ke dalamnya!’ (di antaranya): … dan orang yang menikahi tangannya
(melakukan onani/masturbasi) ….dst.” (HR. Ibnu Bisyran
dalam Al-Amali, dalam sanadnya ada Abdullah bin Lahi’ah dan Abdurrahman bin
Ziyad bin An’um Al-Ifriqi, keduanya dha’if [lemah] hafalannya)
Namun apakah diperbolehkan pada kondisi darurat, yaitu
pada suatu kondisi di mana ia khawatir terhadap dirinya untuk terjerumus dalam
perzinaan atau khawatir jatuh sakit jika air maninya tidak dikeluarkan? Ada
khilaf pendapat dalam memandang masalah ini.
Jumhur ulama mengharamkan onani secara mutlak dan
tidak memberi toleransi untuk melakukannya dengan alasan apapun. Karena
seseorang wajib bersabar dari sesuatu yang haram. Apalagi ada solusi yang
diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meredakan/meredam
syahwat seseorang yang belum mampu menikah, yaitu berpuasa sebagaimana hadits
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu di atas.
Sedangkan sekelompok sahabat, tabi’in, dan ulama
termasuk Al-Imam Ahmad rahimahullahu memberi toleransi untuk melakukannya pada
kondisi tersebut yang dianggap sebagai kondisi darurat.3 Namun nampaknya
pendapat ini harus diberi persyaratan seperti kata Al-Albani rahimahullahu
dalam Tamamul Minnah (hal. 420-421): “Kami tidak mengatakan bolehnya onani bagi
orang yang khawatir terjerumus dalam perzinaan, kecuali jika dia telah menempuh
pengobatan Nabawi (yang diperintahkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam),
yaitu sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kaum pemuda dalam hadits
yang sudah dikenal yang memerintahkan mereka untuk menikah dan beliau bersabda:
فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Maka barangsiapa belum mampu menikah hendaklah dia
berpuasa, karena sesungguhnya puasa merupakan obat yang akan meredakan
syahwatnya.”
Oleh karena itu, kami mengingkari dengan keras
orang-orang yang memfatwakan kepada pemuda yang khawatir terjerumus dalam
perzinaan untuk melakukan onani, tanpa memerintahkan kepada mereka untuk
berpuasa.”
Dengan demikian, jelaslah kekeliruan pendapat Ibnu
Hazm rahimahullahu dalam Al-Muhalla (no. 2303) dan sebagian fuqaha Hanabilah
yang sekadar memakruhkan onani dengan alasan tidak ada dalil yang
mengharamkannya, padahal bertentangan dengan kemuliaan akhlak dan keutamaan.
Yang lebih memprihatinkan adalah yang sampai pada
tahap menekuninya sebagai adat/kebiasaan, untuk bernikmat-nikmat atau
berfantasi/mengkhayalkan nikmatnya menggauli wanita. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullahu berkata dalam Majmu’ Al-Fatawa (10/574): “Adapun melakukan onani
untuk bernikmat-nikmat dengannya, menekuninya sebagai adat, atau untuk
mengingat-ngingat (nikmatnya menggauli seorang wanita) dengan cara
mengkhayalkan seorang wanita yang sedang digaulinya saat melakukan onani, maka
yang seperti ini seluruhnya haram. Al-Imam Ahmad rahimahullahu mengharamkannya,
demikian pula yang selain beliau.” Wallahu a’lam.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membimbing para
pemuda dan pemudi umat ini untuk menjaga diri mereka dari hal-hal yang haram
dan hina serta merusak akhlak dan kemuliaan mereka. Amin.
Washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi
washahbihi wasallam, walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Apakah pelaku onani/masturbasi mendapat dosa seperti orang yang berzina?
Adi Wicaksono, lewat email
Penetapan kadar dan sifat dosa yang didapatkan oleh
seorang pelaku maksiat, apakah sifatnya dosa besar atau dosa kecil harus
berdasarkan dalil syar’i. Perbuatan zina merupakan dosa besar yang pelakunya
terkena hukum hadd. Nash-nash tentang hal itu sangat jelas dalam Al-Qur’an dan
As-Sunnah.
Adapun masturbasi/onani dengan tangan sendiri atau
semacamnya (bukan dengan bantuan tangan/anggota tubuh dari istri atau budak
wanita yang dimiliki), terdapat silang pendapat di kalangan ulama. Yang benar
adalah pendapat yang menyatakan haram. Hal ini berdasarkan keumuman ayat 5-7
dari surat Al-Mu’minun dan ayat 29-31 dari surat Al-Ma’arij. Onani termasuk
dalam keumuman mencari kenikmatan syahwat yang haram, karena melampaui batas
syariat yang dihalalkan, yaitu kenikmatan syahwat antara suami istri atau tuan
dengan budak wanitanya. Adapun hadits-hadits yang diriwayatkan dalam hal ini
yang menunjukkan bahwa onani adalah dosa besar merupakan hadits-hadits yang
dha’if (lemah) dan tidak bisa dijadikan hujjah. Di antaranya:
سَبْعَةٌ لاَ يَنْظُرُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
وَلاَ يُزَكِّيْهِمْ وَيَقُوْلُ: ادْخُلُوْا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِيْنَ: …
وَالنَّاكِحُ يَدَهُ …. الْحَدِيْثَ
“Ada tujuh golongan yang Allah tidak akan memandang
kepada mereka pada hari kiamat, tidak akan membersihkan mereka (dari dosa-dosa)
dan berkata kepada mereka: ‘Masuklah kalian ke dalam neraka bersama orang-orang
yang masuk ke dalamnya!’: … dan orang yang menikahi tangannya (melakukan
onani/masturbasi) ….dst.”4
Sifat onani yang paling parah dan tidak ada seorang
pun yang menghalalkannya adalah seperti kata Syaikhul Islam dalam Majmu’
Al-Fatawa (10/574): “Adapun melakukan onani untuk bernikmat-nikmat dengannya, menekuninya
sebagai adat, atau untuk mengingat-ngingat/mengkhayalkan (nikmatnya menggauli
seorang wanita) dengan cara mengkhayalkan seorang wanita yang sedang digaulinya
saat melakukan onani, maka yang seperti ini seluruhnya haram. Al-Imam Ahmad
rahimahullahu mengharamkannya, demikian pula selain beliau. Bahkan sebagian
ulama mengharuskan hukum hadd bagi pelakunya.”
Penetapan hukum hadd dalam hal ini semata-mata ijtihad
sebagian ulama mengqiyaskannya dengan zina. Namun tentu saja berbeda antara
onani dengan zina sehingga tidak bisa disamakan. Karena zina adalah memasukkan
kepala dzakar ke dalam farji wanita yang tidak halal baginya (selain istri dan
budak wanita yang dimiliki). Oleh karena itu, yang benar dalam hal ini adalah
pelakunya hanya sebatas diberi ta’zir (hukuman) yang setimpal sebagai pelajaran
dan peringatan baginya agar berhenti dari perbuatan maksiat tersebut. Pendapat
ini adalah madzhab Hanabilah, dibenarkan oleh Al-Imam Ibnu ‘Utsaimin
rahimahullahu dalam Asy-Syarhul Mumti’ Kitab Al-Hudud Bab At-Ta’zir dan
difatwakan oleh Al-Lajnah Ad-Da’imah yang diketuai oleh Al-Imam Ibnu Baz
rahimahullahu dalam Fatawa Al-Lajnah (10/259).
Adapun bentuk hukumannya kembali kepada ijtihad hakim,
apakah dicambuk (tidak lebih dari sepuluh kali), didenda, dihajr (diboikot),
didamprat dengan celaan, atau lainnya, yang dipandang oleh pihak hakim dapat
membuatnya jera dari maksiat itu dan bertaubat.5 Wallahu a’lam.
Kesimpulannya, masturbasi tidak bisa disetarakan
dengan zina, karena tidak ada dalil yang menunjukkan hal itu. Namun onani
adalah maksiat yang wajib untuk dijauhi. Barangsiapa telah melakukannya
hendaklah menjaga aibnya sebagai rahasia pribadinya dan hendaklah bertaubat
serta memohon ampunan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Apabila urusannya terangkat ke
mahkamah pengadilan, maka pihak hakim berwenang untuk memberi ta’zir (hukuman)
yang setimpal, sebagai pelajaran dan peringatan baginya agar jera dari
perbuatan hina tersebut. Wallahu a’lam.
1 Pertama kali kami mendengar faedah ini dari guru
besar kami, Al-Walid Al-Imam Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullahu dalam
majelis beliau. Silakan lihat pula Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah (10/259),
Al-Iqna’ pada Kitab An-Nikah Bab ‘Isyratin Nisa’. Hal ini merupakan ijma’
(kesepakatan) ulama sebagaimana dinukilkan oleh Al-Imam Asy-Syaukani
rahimahullahu dalam kitabnya yang berjudul Bulughul Muna fi Hukmil Istimna’,
walhamdulillah –pen.
2 Lihat tafsir surat Al-Mu’minun dalam Tafsir
Ath-Thabari, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Al-Baghawi, Majmu’ Al-Fatawa (10/574,
34/229), Fatawa Al-Lajnah (10/259), Tamamul Minnah (hal. 420), Majmu’
Ar-Rasa’il (19/234, 235-236), Asy-Syarhul Mumti’ Kitab Al-Hudud Bab At-Ta’zir
–pen.
3 Lihat Majmu’ Al-Fatawa (10/574, 34/229-230) –pen.
4 Lihat penjelasan hadits ini dalam Problema Anda:
Hukum Onani/Masturbasi.
5 Lihat Asy-Syarhul Mumti’ Kitab Al-Hudud Bab
At-Ta’zir –pen.
Bolehkah Bersetubuh Sebelum Istri Mandi Haid ?
Posted by Admin pada 12/12/2009
Penulis: Syaikh Al-’Allamah Al-Muhaddits Muqbil bin Hadi al Wadi’i
Soal :Seseorang bersetubuh dengan istrinya,
setelah terhenti darah dan sebelum dia (istri) mandi, maka apa hukumnya?
Jawab :
Yang Shohih (benar) menurut pendapat para ulama bahwa
dia jangan menggauli istrinya hingga dia (istri) mandi, ini berdasarkan firman
Allah Ta’ala:
“Dan janganlah kalian mendekati mereka hingga mereka
suci. Bila mereka telah suci, maka datangilah mereka dari arah yang Allah
perintahkan kalian. (Al Baqarah : 222)
Yang menjadi dalil adalah perkataan “bila dia telah suci.“
Bila wanita itu tidak mendapatkan air atau tidak mampu
menggunakannya, hendaknya dia bertayammum, sholat dan berpuasa jika di bulan
ramadhan, atau mengqadha atau berpuasa tathawwu’ dan boleh bagi suaminya untuk
menggaulinya.
Wallahu A’lam.
(Ijabatus Sa’il, no. soal 439) Sumber : Buletin Islamy
Al Minhaj Edisi II/Th I
Baca Risalah terkait ini:
1.APAKAH SAH AKAD NIKAH KETIKA SEDANG HAID?
2.Orang Tua Menolak Menikahkan Anak Perempuannya Karena Alasan Study
3.Fiqih Tentang Masalah Darah Wanita (Mengenal Darah-darah Wanita)
4.Larangan Mencabut dan Mengerik Bulu Alis
5. BOLEHKAH MEYETUBUHI ISTRI DARI DUBURNYA KARENA ISTRI SEDANG HAID ?
1.APAKAH SAH AKAD NIKAH KETIKA SEDANG HAID?
2.Orang Tua Menolak Menikahkan Anak Perempuannya Karena Alasan Study
3.Fiqih Tentang Masalah Darah Wanita (Mengenal Darah-darah Wanita)
4.Larangan Mencabut dan Mengerik Bulu Alis
5. BOLEHKAH MEYETUBUHI ISTRI DARI DUBURNYA KARENA ISTRI SEDANG HAID ?
Adakah Obat Penyakit Lupa -Panawar Lupa ?
Posted by Admin pada 13/01/2010
Penulis: Asy-Syaikh Muhammad bin Saleh Al-Utsaimin
Asy-Syaikh Muhammad bin Saleh Al-Utsaimin rahimahullah
berkata: Jika ada yang bertanya: apakah lupa ada penawar atau
obatnya? Kami menjawab: iya, ada obatnya. , dengan keutamaan dari Allah yaitu menulis.
Oleh karenanya, Allah Azza wajalla telah member
anugerah kepada hamba-hamba-Nya, dalam firman-Nya:
{اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِى خَلَقَ خَلَقَ الْأِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ
اقْرَأْ وَرَبُّكَ الاَْكْرَمُ الَّذِى عَلَّمَ بِالْقَلَمِ}. [العلق: 1 - 4]
“Bacalah dengan nama Rabb-mu yang menciptakan.Yang
menciptakan manusia dari segumpal darah.Bacalah dan Rabb-mu yang maha
pemurah.Yang mengajar ilmu melalui perantaraan pena.”
(QS.Al-Alaq:1-4)
Maka firman-Nya “bacalah”
lalu berikutnya “yang mengajarkan ilmu dengan
perantara pena”, maksudnya adalah: bacalah dari
hafalanmu,jika tidak maka dengan penamu.Maka Allah Azza wajalla menjelaskan
kepada kita bagaimana cara kita mengobati penyakit ini,yaitu penyakit lupa
yaitu dengan mengobatinya melalui
penulisan. Dan sekarang ini penulisan lebih teliti dibandingkan
dahulu, sebab sekarang ini sudah ada alat untuk merekam. Walhamdulillah.
(ditranskrip dari syarah al-manzhumah al-bayquniyyah,
al-Utsaimin,ketika menjelaskan bait syair yang keempat.Diterjemahkan oleh : Al
Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal)
قال الشيخ ابن عثيمين – رحمه الله – :
فإن قال قائل هل للنسيان من علاج أو دواء؟
قلنا: نعم له دواء – بفضل الله – وهي الكتابة، ولهذا امتن الله عز وجل على
عباده بها فقال: {اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِى خَلَقَ خَلَقَ الْأِنْسَانَ
مِنْ عَلَقٍ اقْرَأْ وَرَبُّكَ الاَْكْرَمُ الَّذِى عَلَّمَ بِالْقَلَمِ}. [العق:
1 - 4]. فقال “اقرأ” ثم قال: {الَّذِى عَلَّمَ بِالْقَلَمِ} يعني اقرأ من حفظك،
فإن لم يكن فمن قلمك، فالله تبارك وتعالى بين لنا كيف نداوي هذه العلة، وهي علة
النسيان وذلك بأن نداويها بالكتابة، و الآن أصبحت الكتابة أدقُّ من الأول، لأنه
وجد – بحمد الله -الآن المسجِّل.
المصدر :
شرح المنظومة البيقونية للشيخ محمد بن صالح العثيمين
(أنظر شرحه للبيت الرابع )
Sumber Darussalaf.or.id dikutip dari http://ibnulqoyyim.com Diterjemahkan oleh : Al Ustadz Abu Karimah Askari
bin Jamal Penulis: Asy-Syaikh Muhammad bin Saleh Al-Utsaimin Judul: Apa Obat Suka Lupa?
Baca Risalah terkait ini
1.Al-Qur`an OBAT SEGALA PENYAKIT
2.Doa Senjata Orang Yang Beriman
3.CARA CARA MENGOBATI ORANG KESURUPAN (KEMASUKAN JIN)
4.Pengobatan dengan Cara Nabi
5.CARA CARA MENGHILANGKAN SIHIR
1.Al-Qur`an OBAT SEGALA PENYAKIT
2.Doa Senjata Orang Yang Beriman
3.CARA CARA MENGOBATI ORANG KESURUPAN (KEMASUKAN JIN)
4.Pengobatan dengan Cara Nabi
5.CARA CARA MENGHILANGKAN SIHIR
No comments:
Post a Comment