ZAMAN SUDAH TERBALIK
SUAMI
LEMBUT, ISTERI CERDIK.
TUNTUNAN
AGAMA, DIBOLAK BALIK
KEKERSAN
ISTERI, SEMAKIN LICIK
ADA YANG
MEMAKAI GUNA-GUNA
MENAKLUKKAN
SUAMI, BERMACAM CARA
BUKAN TAK
MENGERTI, ATURAN AGAMA
ISTERI
MERASA, SEBAGAI RAJA.
Peribahasa yang mengatakan, sepandai- pandainya tupai melompat pasti akan jatuh juga telah terbukti kepada diriku. Sepandai-pandainya aku menyembunyikan
hubungannya dengan Salam,
akhirnya ketahuan juga oleh suamiku. Aku, ketahuan
selingkuh setelah
suamiku membaca SMS Salam yang berisi kata-kata mesra. Ia pun
memaksa aku untuk mengaku.
Aku saat itu tak bisa berbuat apa-apa. Apalagi suamiku
langsung menghubungi nomor ponsel Salam. Awalnya Salam
membantah, dan mengatakan bahwa ia dan diriku hanya berteman.
Namun, setelah diancam oleh suamiku, Salam mengakuinya dan
meminta maaf. Namun, suamiku sudah terlanjur sakit. Ia pun langsung
menceraikanku. Saat ini aku, dan Rudi masih dalam tahap perceraian.
Namun, dalam doaku setiap selesai shalat aku memohon maaf
kepada Allah SWT,
kepada suamiku, kepada anak-anakku dan kepada
keluargaku karena aku telah menyia-nyiakan cinta mereka. Aku ikhlas
menerima ini semua
atas konsekuensi dari perbuatanku sendiri. Namun,
aku masih tetap
berharap untuk bisa kembali bersama dengan Rudi,
dan akan aku buktikan untuk menjadi istri yang baik."
Catatanku:
Sejatinya Teknologi diciptakan untuk mempermudah manusia dalam kehidupannya sehari hari,tapi sayang,kenyataannya kita sendiri yang menyalah gunakan teknologi tersebut untuk hal-hal yang tidak baik,karena menurut data yang ada,sumber perceraian terbesar dunia saat ini adalah perselingkuhan via FACEBOOK disusul oleh TWITTER dan SMS,
Oleh karena itu facebook dilarang oleh beberapa negara mengingat dampaknya yang sangat besar kekehidupan masyarakat,apalagi rakyat kita yang terkesan "LATAH " Dengan berbagai teknologi,coba lihat point blank yang sudah membuat anak indonesia kehilangan kehidupan keluarga dan belajarnya,akibat berlama lama di warnet atau didepan PC.
jadi pertanyaannya,
-siapkah kita jika istri kita diselingkuhi dan selingkuh dengan orang lain melalui facebook?A
-tahukah kita kalau istri atau suami yang selingkuh seharusnya dihukum cambuk?
-tahukah kita kalau istri atau suami yang berzinah tidak akan diterima allah amal ibadahnya selama 80 tahun,dan gimana kalau kita mati pada usia muda?
-siapkah kita jika istri kita disetubuhi orang lain melalui facebook?
EKSTRIM BANGET KAN?tapi itulah kenyataannya.
Terima Kasih dan mudah mudahan bermanfaat untuk kita dan semua keluarga indonesia.
Koalisi
Jahat Seorang Istri
Selasa, 15
Maret 2011 - 20:33 WIB
|More
DEMI melapangkan perjalanan asmaranya, Ny.
Sundari, 55, tega hendak meracun suami sendiri. Tapi sial, minuman beracun itu
jusru terminum anak sendiri. Tak sampai wasalam memang. Tapi dari sana
terungkap bahwa istri Paimo, 60, ini sengaja membangun “koalisi jahat” untuk
bisa kawin dengan PIL-nya.
Yang namanya politik selalu menghalalkan
segala cara. Tapi biasanya ini politik untuk meraih atau mempertahankan
kekuasaan. Lihat saja itu Muamar Khadafi dari Libia, dia tega menembaki rakyat
sendiri lewat udara, karena tak mau diganggu kekuasaanya. Kesimpulannya, di
mata politik nyawa itu tak ada harganya.
Bagaimana dengan politik untuk meraih
kenikmatan ragawi? Ternyata banyak juga yang tega berbuat aniaya. Ny. Sundari
ini contohnya. Agar bisa segera menikah dengan PIL-nya, dia dengan tega hati
hendak melenyapkan suami sendiri. Padahal jika Allah belum menghendaki, apa
yang jadi target justru malah meleset. Ceritanya mau membunuh suami, justru
anak yang kejet-kejet (nyaris tewas).
Usia Ny. Sundari bukan lagi muda, apa lagi
suami. Tapi di kala anak-anak sudah gede bahkan sebagaian sudah mentas (menikah), eh mereka malah berusaha
pecah koalisi. Apalah terjadi pengkhianatan dalam setgab koalisi? Apakah
Sundari mau niru Lily Wachid, apakah Paimo mengikuti jejak Effendi Khoiri?
Sepertinya tidak. Tapi yang jelas, kini Paimo – Sundari sudah tidak tinggal
serumah. Sebetulnya Sundari sudah minta cerai, tapi suami tak pernah
mengizinkan.
Meski sudah bukan lagi muda, ternyata
Sundari masih pengin juga membangun koalisi dengan lelaki lain, apa lagi dia
sudah punya cem-ceman baru. Sayangnya, niat itu susah dilaksanakan, lantaran
Paimo masih pegang kendali setgab. Lalu bagaimana akal? Bandi, 50, kekasih
Sundari pun melempar wacana. “Kalau suamimu masih ada, mustakhil rencana kia terlaksana.”
Ujar Bandi.
Jadi Paimo harus dilenyapkan? Meski
sebetulnya berat, tapi demi rencana koalisi asmaranya, Sundari menerima saran
kekasihnya. Lalu Bandi pun memberikan sejimpit racun, agar dituangkan ke dalam
air mineral yang biasa dibawa Paimo selagi ke sawah. Lagi-lagi demi asmara yang
sedang membara, Sundari menurut saja.
Diam-diam dia memasukkan racun ke dalam
botol air mineral itu. Teorinya, air kemasan itu akan dibawa suami ke sawah dan
di sana dia segera meregang nyawa setelah meminumnya. Ternyata teorinya
meleset. Justri Dimin, 27, anak keduanya, sepulang bepergian langsung
makan. Dan karena keseretan, air mineral di atas meja itu pun ditenggaknya,
gleg, gleg.
Tapi mendadak perut sakit, seperti
diaduk-aduk dan mata kunang-kunang. Dimin dilarikan ke Puskesmas Jogorogo.
Masih bisa diselamatkan nyawanya. Tapi dari situ semuanya jadi terungkap bahwa
air maut itu sedianya akan dipakai mencelakakan suami. Gara-gara rencana jahat
ini, Paimo terpaksa melaporkan istrinya ke polisi.
Kini Sundari warga Desa Dawung Kecamatan
Jogorogo Kabupaten Ngawi (Jatim) ini mendekam dalam tahanan Polres Ngawi. Dalam
pemeriksaan dia mengakui bahwa memang sengaja mau meracun suami, atas sponsor
Bandi. Polisi pun kini mengejar PIL-nya Sundari, sebab setelah usahanya gagal total
dia buru-buru melarikan diri entah ke mana.
Tunggu ya, gagal naik pelaminan, malah
naik mobil polisi dengan tangan diborgol. (HS/Gunarso
TS)
Boleh dibilang sampai saat ini kasus
tindak kejahatan ISTERI kepada suami, yang terjadi di Negara kita dalam ruang
lingkup kekeluargaan, yang mana sasaran obyek dalam kekerasan tersebut menurut
UU Nomor 23 Pasal 2 ayat 1 dan 2 adalah suami, isteri dan anak, orang-orang
yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan orang lain.[1] Hal
itu juga sering disebut KDRT (kekerasan dalam rumah tangga). Tindakan tersebut
bias berbuntut perpecahan dalam sebuah keluarga.
Tindakan kekerasan di dalam rumah tangga,[2] pada
umumnya melibatkan pelaku dan korban di antara anggota keluarga di dalam rumah
tangga. Sedangkan bentuk tindak kekerasan bisa berupa kekerasan fisik dan
kekerasan dalam lingkup psikis. Pelaku dan korban tindak kekerasan di dalam
rumah tangga bisa menimpa siapa saja. Tidak dibatasi oleh strata sosial,
tingkat pendidikan, dan suku bangsa. Sehingga hal itu merupakan suatu problem
serius dalam konteks hukum ataupun sosial yang perlu diatasi.
Oleh karena itu, berangkat dari problem
di atas maka sejatinya pemerintah mengeluarkan UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang
penghapusan tindak kekerasan dalam rumah tangga yang menjadi senjata untuk
mereduksi semua tindak kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga selama ini.
Namun, yang menjadi permasalah adalah: Apakah Undang-Undang tersebut secara
aplikatif sudah dapat melindungi hak-hak seseorang dalam keluarga secara utuh?
Karena banyak factor-faktor yang mendorong tenggelamnya kasus tersebut dalam
tatanan hokum dengan alasan tindak kekerasan pada isteri dalam rumah tangga
memiliki ruang lingkup sangat pribadi dan terjaga (privasinya) yang berkaitan
dengan kesucian dan keharmonisan rumah tangga (sanctitive of the home).
Akibatnya, ia lebih merupakan kejadian sederhana yang kurang menarik
ketimbang sebagai fakta sosial yang seharusnya mendapatkan perhatian khusus dan
penanganan yang sungguh-sungguh dari masyarakat dan pemerintah. Tak ayal,
dengan pemahaman seperti itulah yang menjadi penyakit dari bermunculannya tindak-tindak
kekerasan untuk kesekian kalinya.
Maka dari itu, menarik untuk dapat
dikaji secara tegas, terkait hal-hal yang menyangkut dengan tindak kekerasan
dalam rumah tangga ini. Maka dapat dipastikan pada perspektif kacamata hokum (yurisprudensi law) yang mana dapat divariasikan dengan tatanan
psikologis. Oleh sebab itu, dalam makalah ini pemateri akan menyajikan
pembahasan seputar KDRT dengan merujuk kembali pada UU Nomor 23 Tahun 2004,
terkait definisi KDRT, macam-macam bentuk kekerasan, factor-faktor yang
mempengaruhi timbulnya tindak kekerasan dalam rumah tangga. Sanksi bagi pelaku
tindak pidana kekerasan, tata cara pengaduan tindak kekerasa, dampak KDRT,
solusi untuk mengatasi KDRT, dan aplikasi perundang-undangannya.
WORKING THOUGHT
A. Definisi KDRT
Secara terminology, KDRT pada
dasarnya mempunyai dua unsur; pertama yaitu arti dari
kekerasan itu sendiri dan kedua adalah arti kekerasan dalam rumah tangga. Dalam kamus besar bahasa
Indonesia, kekerasan mempunyai tiga pengertian: pertama sebagai suatu perihal (yang bersifat atau bercicir)
keras.Kedua, perbuatan
seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cidera atau matinya orang lain
atau menyebabkan kerusakan fisik dan barang orang lain. Ketiga, kekerasan diartikan sebagai paksaan.[3]
Menurut Mansour Fakih, ia lebih
menitik beratkan pada pengertian kekerasan sebagai suatu serangan atau invasi
terhadap fisik ataupun intergritas mental psikologis seseorang. Kekerasan
sesama manusia pada dasarnya berasal dari berbagai sumber. Namun, salah satu
kekerasan terhadap suatu jenis kelamin tertentu yang disebabkan oleh anggapan
gender. Kekerasan yang disebabkan bias gender ini disebut gender-related violence.[4]
Sementara pengertian KDRT sendiri adalah setiap perbuatan terhadap seseorang,
terutama perempuan. Hal itu dapat menimbulkan kesengsaraan atau penderitaan
secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk
ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara
melawan hokum dalam lingkup rumah tangga, termaktub dalam UU KDRT Nomor 23
Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, pasal 1.
B. Macam-macam Bentuk
Kekerasan Beserta Sanksinya[5]
Adapun macam-macam bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang mana diatur di
dalam UU Nomor 23 Tahun 2004:
1.
Kekerasan Fisik
Dalam hal ini, kekerasan fisik sering kali terjadi. Namun terdapat pula
klasifikasi atau macam-macam bentuk kekerasan yang mengakibatkan ancaman sanksi
pidanapun berbeda. Secara umum apabila tindak kekerasan ini dilakukan maka
dipidana penjara 5 tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,00 (lima belas
juta rupiah)
Adapun kekerasan fisik terbagi menjadi dua:
1.
Kekerasan fisik berat: berupa penganiayaan berat seperti menendang,
memukul, menyundut, melakukan percobaan pembunuhan, atau pembunuhan dan semua
perbuatan lain yang dapat mengakibatkan: cidera berat, pingsan, luka berat pada
tubuh dan luka sulit disembuhkan. Selain itu, kehilangan salah satu indera,
terdapat cacat, menderita sakit lumpuh, terganggu daya pikirnya selama empat
minggu atau lebih, dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling lama 10 tahun
atau denda uang sebanyak 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah). Sedangkan
apabila korban mengakibatkan matinya kandungan seorang perempuan, kematian korban,
maka dipidana penjara maksimal 15 tahun atau denda 45.000.000,00 (empat puluh
lima juta rupiah).
1.
Kekerasan fisik ringan: berupa tamparan, menjambak, mendorong dan perbuatan
lainnya yang mengakibatkan: cidera, sakit dan luka fisik yang tidak masuk dalam
kategori berat sehingga membuat korban tidak mampu menjalankan tugas aktivitas
sehari-hari, dipidana penjara 4 bulan atau denda uang sebanyak 5.000.000,00
(lima juta rupiah). Namun, apabila melakukan repetisi kekerasan fisik ringan
yang dapat dimaksudkan dalam kekerasan fisik berat, maka dapat dijatuhi sanksi
hokum berat sebagai mana yang telah disebutkan di atas.[6]
2.
Kekersan Psikis
Bentuk-bentuk kekerasan psikis yang sering dialami ataupun sebaliknya
isteri antara lain:
1.
Menghina isteri atau melontarkan kata-kata yang merendahkan dan melukai
harga diri isteri.
2.
Melarang isteri untuk mengunjungi saudara atau teman.
3.
Melarang isteri dalam aktif disuatu kegiatan social.
4.
Mengancam akan menceraikan isteri dan memisahkan dengan anak-anaknya
bila tidak menuruti kemauan dari suami.[7]
5.
Untuk pidana kekerasan psikis “berat”,[8] di
sini maka dipidana penjara 3 tahun atau denda uang Rp. 9.000.000.00 (sembilan
juta rupiah). Sedangkan psikis “ringan”, dipidana penjara maksimal 4 bulan atau
denda 3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
3.
Kekerasan Seksual
Bentuk-bentuk kekerasan seksual, yang terdapat pada pasal 8 UU Nomor 23
Tahun 2004, meliputi:
1.
Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam
lingkungan rumah tersebut. Bagi yang melakukan tindakan tesebut, maka dipidana
penjara maksimal 12 Tahun atau denda maksimal Rp. 36.000.000,00 (tiga puluh
enam juta rupiah).
2.
Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah
tangga dengan orang lain untuk tujuan komersial atau tujuan tertentu, dipidana
penjara minimal 4 tahun dan maksimal 15 tahun atau denda minimal Rp
12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) atau denda maksimal Rp 300.000.000,00
(tiga ratus juta rupiah).
3.
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada pasal 46 dan pasal 47
(kekerasan seksual) yang mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak member
harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan
sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus-menerus atau 1 (satu) tahun
tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau
mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun dan dipidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun
atau denda paling sedikit Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan
denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).[9]
4.
Penelantaran Rumah Tangga
Penelantaran rumah tangga adalah
seseorang yang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal
menurut hokum yang berlaku, baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia
wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
Selain itu, penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan
ekonomi dengan cara membatasi atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam
atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut
(pasal 9).[10]
Sedang sanksi pidana bagi yang
melakukan pada pasal 9 butir a dan b,[11] adalah
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling
banyak 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah). Selain pidana sebagaimana
dimaksud dalam pasal 50, hakim juga dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa:
1.
Pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari
korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari
pelaku;
2.
Penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga
tertentu.
Namun yang menarik dalam hokum positif Indonesia semisal dalam KUHP
kekerasan dalam rumah tangga yang masuk dalam tindak kekerasan (KDRT) dapat
dijaring dengan pasal-pasal kejahatan. Walaupun hanya terbatas pada tindak
pidana umum (korban atau pelaku laki-laki atau perempuan) seperti dalam kasus
kesusilaan, perkosaan, penganiayaan, pembunuhan, dll.
Tindak pidana tersebut dirumuskan
dalam pengertian sempit (terbatas), meskipun terdapat pemberatan pidana (sanksi
hukuman) hingga perbuatan tersebut dilakukan dalam hubungan keluarga seperti
terhadap ibu, isteri, dan anak.[12]
Di dalam KUHP pidana, pasal 89,
misalnya hanya menekankan bahwa membuat orang pingsan atau tidak berdaya
disamakan dengan menggunakan kekerasan. Rumusan ini mengisyaratkan bahwa
prilaku kekerasan hanya pada prilaku fisik.[13] Secara
garis besar, tindak kekerasan yang telah diatur lebih banyak merupakan tindakan
fisik, dan sebagian besar sifatnya umum, dilihat dari segi korbannya bisa masuk
dalam pasal 282 tentang pornografi, pasal 285 tentang perkosaan, pasal 290
tentang perbuatan cabul, pasal 351 tentang penganiayaan, pasal 338 tentang
pembunuhan, pasal 328 tentang penculikan.
C. Faktor Yang Mempengaruhi
Timbulnya KDRT
Faktor pendorong terjadinya kekerasan, secara garis besarnya yang
menyebabkan adalah:
1.
Budaya Patrialkhi: budaya yang meletakkan laki-laki sebagai makhluk yang
istimewa, memiliki nilai lebih, unggul, dan diutamakan, serta meletakkan
perempuan sebagai makhluk subordinat di bawah kuasa laki-laki.
2.
Relasi kuasa yang timpang: system social mendorong perempuan untuk
tergantung pada suami, utamanya perihal ekonomi. Sehingga pola relasi antar
suami dan isteri tidak seimbang (balance). Selain itu,
aplikasi pola struktural dalam perkawinan atau keluarga juga rentan untuk
memunculkan pola relasi kuasa dalam keluarga. Pola relasi kuasa ini yang pada
akhirnya bermuara pada tindak kekerasan, baik emosional, psikologi, fisik,
ekonomi, dan seksual yang dimunculkan dari pihak-pihak yang memiliki kekuasaan
yang lebih.[14]
3.
Role Modeling (prilaku hasil meniru): Proses meniru yang dilakukan
sejak kecil melalui lingkungan keluarga yang orang tuanya sering melakukan
tindak kekerasan dalam rumah tangga, seperti seorang ibu atau isteri yang
memiliki prilaku sering memukul suami atau sebaliknya dan juga memukul anak. Pola
prilaku ini dapat mempengaruhi terhadap perkembangan psikologis anak sehingga
berdampak buruk terhadap perkembangan anak, lebih-lebih ketika ia dewasa
(berumah tangga).
4.
Pemahaman Keagamaan: Adanya banyak penafsiran yang keliru seputar relasi
antara laki-laki dan perempuan (suami-isteri) sehingga banyak menimbulkan
anggapan bahwa laki-laki memiliki kekuatan multak, sehingga perempuan dapat
ditempatkan pada posisi yang rendah (inferior). Pola relasi tersebut terhadap
pemahaman yang keliru memberikan peluang bagi tindakan kekerasan dalam rumah
tangga.[15]
D. Dampak KDRT
Terkait dengan munculnya KDRT dalam rumah tangga, maka dampak-dampaknya
yang dihasilkan dari adanya kekerasan tersebut sangatlah fatal, dan diantaranya
dampak dari kekerasan dalam rumah tangga adalah:
1.
Dampak yang bersifat fatal (Pembunuhan, bunuh diri, kematian)
2.
Tidak fatal (Luka-luka, cacat fungsi tubuh, kondisi kesehatan buruk, cacat
permanen)
3.
Kondisi kronis (Meliputi sindrom sakit dan parah)
4.
Kesehatan mental (Stres pasca trauma, depresi, cemas, phobia, penghargaan
kepada diri yang rendah)
5.
Prilaku yang tidak sehat (Merokok, penggunaan alcohol dan obat-obatan
terlarang, tidak melakukan aktifitas fisik)
6.
Kesehatan reproduksi (Penyakit menular seksual, tidak berfungsinya organ
seks, kompilasi kehamilan, keguguran)
Dampak terhadap anak:
Dampak kekerasan
terhadap anak-anak secara umum adalah anak akan mengalami gangguan perkembangan
dan emosional pribadi, anak akan kehilangan rasa percaya diri terhadap orang
tua dan akan selalu merasa bersalah karena kedua orang tuanya tidak harmonis.
Di samping itu, anak juga akan merasa takut dan berfikir ia juga akan mengalami
kekerasan yang sama, kemudian merasa cemas dengan masa depannya. Selain itu,
anak merasa sedih dan mereka akan kehilangan sosok orang tua jika mereka
bercerai.
Ciri-ciri anak yang menyaksikan atau mengalami
kekerasan dalam rumah tangga:
1.
Sering gugup
2.
Sering menyendiri
3.
Cemas
4.
Sering ngompol
5.
Gelisah
6.
Gagap
7.
Sering menderita gangguan perut
8.
Sakit kepala dan Asma
9.
Kejam pada binatang
10. Ketika bermain
meniru bahasa dan prilaku kejam
11. Suka memukul teman
Dampak terhadap masyarakat
Terganggunya ketentraman dalam
masyarakat bisa jadi tidak sehat karena salah satu unsure pembentuknya
(keluarga) sedang bermasalah, dan apabila kekerasan dalam rumah tangga terus
berlangsung dimungkinkan akan terjadi pembudayaan akan kekerasan sebagai
penyelesaian terhadap masalah dalam masyarakat.
Dampak terhadap keutuhan rumah tangga
Sudah menjadi
realitas social bahwa kekerasan dalam rumah tangga sedikit banyak akan
menggoyahkan sendi-sendi kehidupan dalam rumah tangga. Kondisi yang sangat
tidak menguntungkan ini kalau tetap dibiarkan (pembiaran) dan tidak dapat
diselesaikan secara baik, akan sangat rentan sekali terjadi perceraian.
Perceraian adalah jalan terakhir yang ditempuh oleh pasangan suami-isteri yang
tidak harmonis lagi.
E. Langkah-langkah Yang
Dapat Dilakukan Apabila Menjadi Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga:
1.
Menceritakan kejadian kepada orang lain, seperti teman dekat, kerabat,
lembaga-lembaga pelayanan/konsultasi
2.
Melaporkan ke Polisi
3.
Mencari jalan keluar dengan konsultasi psikologis maupun konsultasi hokum
4.
Mempersiapkan Perlindungan diri, seperti uang, tabungan, surat-surat
penting untuk kebutuhan pribadi dan anak
5.
Pergi ke Dokter untuk mengobati luka-luka yang dialami, dan meminta Dokter
membuat visum.[16]
Adapun kesimpulan yang dapat dipetik:
1.
Bahwa sudah jelas, UU Nomor 23 Tahun 2004 memaparkan permasalahan KDRT
dalam bentuk pasal per pasal (UU Nomor 23 Tahun 2004). Kendatipun, pada
realitasnya, masih meriuhnya kasus tindak kekerasan (baik fisik maupun psikis).
Namun, jika mengacu pada UUD 45 pasal 1 ayat (1) Negara Indonesia berdasarkan
Negara hokum, bukan Negara kekuasaan. Oleh karena itu, dilarang untuk
memberlakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga.
2.
Bahwa sudah jelas, dalam suatu ikrar (pernikahan suami dan isteri),
keduanya berikrar akan memperkokoh rumah tangga, dan menjalani tanggung jawab
(antara kewajiban isteri dan kewajiban suami). Maka dari itu, antara keduanya
merujuk pada ikrar dalam pernikahan yang sesuai dalam Al-Qur’an (QS. Ar-rum:
21) serta Hadits yang menguraikan permasalahan dalam rumah tangga.
3.
Bahwa sudah jelas, adanya pengaruh KDRT dapat berakibat fatal pada
perkembangan dan pertumbuhan anak-anaknya, bisa-bisa anak akan mengikuti apa
yang telah terjadi. Hal itu sebagai imbas dari prilaku suami terhadap isteri
ataupun sebaliknya.
Layaknya jenjang
pernikahan bukanlah sebagai sebuah permainan, yang setelah beberapa hari,
minggu, bulan, ataupun bertahun-tahun menjalani bahtera rumah tangga, kandas
tengah jalan. Hal demikian lantaran ada permasalahan intern dalam rumah tangga,
hingga berakibat kekerasan yang tidak bisa terelakkan. Dalihpun beragam; bisa
berakibat perselingkuhan, pihak suami tidak paham kondisi istri (factor
sosiologis maupun psikologis) ataupun sebalinya (diantara keduanya sama-sama
berprofesi).
Akan tetapi, kekerasan tidak akan
terjadi, jika antara keduanya (suami dan isteri) saling memahami (kekurangan
maupun kelebihan), mendiskusikan permasalahan keluarga secara dingin, dan sharing idea akan berdampak share of taste untuk kepentingan bersama (antara suami-isteri,
terlebih terhadap anak-anaknya). Apapun kasus KDRT bisa diakhiri dengan
memberikan PALU(protection, attention, love and understanding).
Betapa bahagianya
jika dunia dihuni oleh suami-suami dan isteri-isteri dalam menjalankan bahtera
rumah tangga dengan penuh kebahagiaan, keharmonisan, tanpa sedikitpun celah.
Memang meskipun UU Nomor 23 Tahun 2004 sebagai instrumen (acuan) mengatur suatu
masalah (kejanggalan di dalam rumah tangga). Akan tetapi, walaupun peraturan
perundang-undangan tersebut menjadi penyanggah untuk dipatuhi. Sebagai manusia
yang mengakui kesempurnaannya untuk menyadari apa tujuan hidupnya dalam
mengarungi kebahagian berumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah.[17]
[1] Hubungan
darah, perkawinan, penyusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam
rumah tangga. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah
tangga tersebut.
[2] Sebuah
rumah tangga dengan keluarga inti (nuclear family) hanya terdiri atas seorang suami, seorang isteri, dan
anak. Lazim pula dijumpai dalam sebuah masyarakat, sebuah rumah tangga
terdiridari keanggotaan atau keluarga yang lain seperti mertua, ipar, dan sanak
saudara atas dasar pertalian darah maupun perkawinan dengan suami-isteri
bersangkutan. Selain itu, rumah tangga dalam kehidupan modern di perkotaan
umumnya diramaikan lagi dengan kehadiran orang lain yang berperan sebagai
pembantu. Sang pembantu bisa berasal dari kerabat atau keluarga pasangan
suami-isteri bersangkutan dan bisa pula orang luar.
[3] Tim
Penyusun kamus pusat pembinaan dan pengembangan bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, cet ke-4 (Jakarta: Pustaka Pelajar, 1993), hlm. 425.
[4] Mansour
Fakih, analisis gender dan tranformasi sosial, cet ke-4 (Jakarta: Pustaka
Pelajar, 1999), hlm. 17.
[5] Namun,
dewasa ini bentuk-bentuk kekerasan juga telah merambah dalam ruang lingkup
ekonomi, sehingga mengakibatkan adanya bentuk kekerasan ekonomi. Menurut RUU
adalah tindakan eksploitasi, manipulasi, dan pengendalian melalui sarana ekonomi
dengan memaksa korban bekerja dengan cara eksploitatif, mengontrol keuangan
secara ketat, melarang korban bekerja tetapi menelantarkan, mengambil,
merampas, atau memanipulasi harta-benda korban.
[6] Sesuai
pasal 6, UU Nomor 23 Tahun 2004
[7] Nurhayati,
kekerasan terhadap isteri, (Yogyakarta: Rifkan Anisa, 1999), hlm. 1
[8] Yang
dapat menimbulkan penyakit dan menyebabkan halangan korban dalam melakukan
pekerjaannya sehari-hari.
[9] UU
Nomor 23 Tahun 2004 pasal 48.
[10] Sekilas
tentang Undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Lacak http://www.lbh-apik.or.id/fact-58.htm.
[11] a.
setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya,
padahal menurut hokum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau
perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada
orang tersebut.
b. penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap
orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi atau
melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar Rumah sehingga korban
berada di bawah kendali orang tersebut.
[12] Riska
Saraswati, Perempuan dan Penyelesaian Dalam Rumah Tangga, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2006), hlm. 5
[13] Ibid, hal. 6
[14] Fathul
Jannah, Kekerasan Terhadap Isteri, (Yogyakarta: LKiS, 2003), hlm. 17-18
[15] Hussien
Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan (pembelaan kiyai
pesantren), (Bandung: Institut Pahmina dan
LKiS, 2004), hlm. 224
[16] Ninik
Sri Rahayu, Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Rumah Tangga,(Pusat Studi Gender (PSG) Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta, 2009)
[17] Menyangkut
ketentraman jiwa (psikis) serta pemilahan kekuasaan (pekerjaan). Hal ini
kedua-dunya juga tidak boleh over derreption (seimbang dalam melakukan
aktifitas sebagai suami begitu juga sebagai isteri.
Ditulis pada Uncategorized
Posted on September 1, 2010 | Komentar
Dimatikan
“Tidak ada kata sesal, jika sudah terlanjur memilih,
mana yang bermanfaat tapi berakibat fatal dan menyakitkan semua orang (pengguna
Gas), dan mana yang bermanfaat tapi sulit dan langka dipergunakan (minyak
tanah). Semua adalah peralihan pemakaian dalam memenuhi kebutuhan hidup dalam
keluarga”. Apakah sebaliknya, masihkah ada yang mau menjadi pengatin “kematian”
berikutnya.
Petikan yang saya buat di atas menjadi fenomena sosial sampai saat ini.
Pemberitan tentang ledakan Gas LPG 3 Kilogram masih menjadi hantu yang
menghantui perasaan pengguna tersebut. Walaupun demikian, masih banyak
penggemar Gas LPG, khususnya di DIY. Tak heran, meskipun ancaman menjadi resiko
besar, masih banyak mempergunakannya.
Dari data yang diperoleh dari Dinas Perindagkop dan UKM DIY, konsumsi
(2009) dan penyaluran Gas LPG (juni 2010) di DIY misalnya; di Yogyakarta,
sebanyak 16, 585 % pengguna Gas LPG 3 Kilogram, serta penyalurannya sebanyak
10,163 %. Di Bantul, sebanyak 18,802 penggunan Gas LPG 3 Kilogram, serta
penyalurannya sebanyak 10,689 %. Di Kulonprogo, sebanyak 3,521 masih lebih
minim dibanding daerah Yogyakarta, dan sejumlah daerah lainnya, dan
penyalurannya lebih tinggi; 3,725 %. Selain itu, di Gunung Kidul, sebanyak
4.448 % pengguna Gas LPG (sama), tingkat penyalurannya sebanyak 16,993.
terakhir di daerah Sleman, pengguna Gas LPG sebanyak 14.163.
Apakah dengan kuantitas penggemar Gas LPG, serta kualitas pengguna dari
tiap tahunnya, benar-benar ada pengawasan dari pihak pertamina, atau pemerintah
bisa menjamin kelayakan serta keamanan cara pemakaiannya?
Selanjutnya, apakah pemerintah benar-benar mengacu terhadap antisipasi
terjadinya ledakan LPG berikutnya? Sebab, apa fungsi dari label SNI, jika masih
terjadi ledakan baru. Bagi saya, kinerja pemerintah (pusat dan daerah) serta pihak
terkait (pertamina), belum memaksimalkan bom waktu Gas yang menjadi alternatif
kedua, setelah Minyak tanah, yang kian melambung tinggi. Perlu kiranya
kesungguh-sungguhan, dan mampu mengemban aspirasi masyarakat, demi mewujudkan
mutu serta kualitasnya.
Jeritan Rakyat
Tentu trauma pemakaian Gas LPG masih membuat resah, pelik, takut terjadi
sesuatu tidak diinginkan. Pertaruhan nyawa tidak sebanding harga Gas LPG. Siapa
yang betanggungjawab jika telah menelan jutaan korban? Pemerintahkah, pihak
pertaminakah, atau pengguna Gas tersebut.
Mungkin dari sejumlah penuturan yang resah dengan Gas LPG, dapat kita
jumpai dua orang yang berlainan daerah. Sebut saja Nina asal jakarta barat, dan
susi Hariyani asal Jawa Timur, Hingga saat ini anaknya bernama Ridho masih
menjalani perawatan di Rumah sakit, lantaran menjadi korban ledakan bom LPG 3
Kilogram di rumahnya, setelah diketahui ada kebocoran tabung yang dibelinya.
Korban selanjutnya, Sri winih, tukang jamu asal cilacap jawa tengah, tak luput
dari amukan ledakan Gas LPG. Ujung-ujungnya takut, berhenti memakai Gas LPJ.
Ada apa dibalik semua ini?
Dari ketiga penurutan korban diatas dapat diketahui, betapa pentingnya
pengkajian ulang, perihal tabung Gas LPG. Apalagi mirisnya, ilegal Gas LPG yang
terjadi akhir-akhir ini, melalui inspeksi mendadak dari pihak berwenang, guna
menindak-lanjut pemalsu label SNI Gas LPG. Terlebih Dinas perindustrian dan
perdagangan di pelbagai kota beserta pihak berwajib, sebagai penegak hukum,
patut mengentaskan keamanan “merazia produk ilegal” secara terus menerus (tidak
sekedar hangat-hangat tahi ayam), guna meminimilisir ledakan berkelanjutan.
Kembali pada muasal?
Kiranya menjadi tanda tanya besar jika masih belum redanya kasus ledakan
Gas LPG, hingga sampai merenggut puluhan korban atau lebih. Apalagi melihat
siklus peralihan ekonomi masyarakat (menengah-kebawah), setidaknya pemerintah
memberikan solusi terbaik sebagai tindak lanjut mengenai kebutuhan rumah
tangga, karena hingga kini, tanda tanya besar terhadap pemakaian Gas LPG masih
menyisakan trauma akut, hal ini ramainya “gandrung akan Gas LPG” buatan
pemerintah “yang kelibat serba mudah”, semestinya menjamin labelisasi keamanan
yang memang menjamin kebutuhan Ibu rumah tangga di pelbagai Daerah.
Di sisi lain, minat masyarakat kekinian masih dipertanyakan, apakah mereka
mau kembali seperti semula, Menggunakan minyak tanah. Sejatinya, minyak tanah
lebih efektif dibanding Gas LPG. Kendatipun, melambungnya kebutuhan pokok,
mulai dari rempah-rempah; cabe yang kian hari, kian melonjak, merembet harga
minyak tanah, berkisar 8000 rupiah perliternya. Sudah merasa legakah
pemerintah? Puaskah, atau merasa bijakkah pemerintah dalam mengentaskan Gas LPG
sebagai kemudahan dan solusi terakhir untuk kebutuhan sehari-hari?
Akhirnya, kita tunggu waktu, apakah pemerintah betul-betul memikirkan nasib
rakyat, atau malah meletarkan rakyat, hingga menjadi pengantin “korban”
keganasan Gas LPG, yang pengujian regulator (layak tidaknya) masih menimbulkan
pertanyaan dan pembalikan fakta. Kita tunggu apa yang akan dicanangkan kembali
oleh pemerintah, kaitannya Gas Alternatif, sesuai kebutuhan dan keselamatan
masyarakat dari ancaman bom Gas LPG.
No comments:
Post a Comment