SIAPA NAMA LENGKAP IMAM MUSLIM?
Pada gambar di sebelah ini, hanya ilustrasi Imam Muslim, sedangkan foto aslinya belum penulis temukan
Tulisan ini dibuat, hanya karena penulis salah duga. Awalnya penulis menyangka Imam Muslim itu orang Arab, eh ternyata "tidak."
Lebih lagi Imam Bukhari, dari dahulu orang tahu dia bukan orang Arab,lalu orang Arabnya mana? Itulah yang mengherankan. Nasruddin Al-Bani juga jelas-jelas bukan orang Arab. Tapi kok berprestasi di Arab?
PENDAHULUAN
Imam Muslim Lahir pada tahun 202 H atau 817 M. Imam Muslim
bernama lengkap Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al
Qusyairi an Naisaburi. Naisabur, yang sekarang ini termasuk wilayah Rusia,
dalam sejarah Islam kala itu termasuk dalam sebutan Maa Wara’a an Nahr, artinya
daerah-daerah yang terletak di sekitar Sungai Jihun di Uzbekistan, Asia Tengah.
Pada masa Dinasti Samanid, Naisabur menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan
selama lebih kurang 150 tahun. Seperti halnya Baghdad di abad pertengahan,
Naisabur, juga Bukhara (kota kelahiran Imam Bukhari) sebagai salah satu kota
ilmu dan pusat peradaban di kawasan Asia Tengah. Di sini pula bermukim banyak
ulama besar.
Perhatian dan minat Imam
Muslim terhadap ilmu hadits memang luar biasa. Sejak usia dini, beliau telah
berkonsentrasi mempelajari hadits. Pada tahun 218 H, beliau mulai belajar
hadits, ketika usianya kurang dari lima belas tahun. Beruntung, beliau
dianugerahi kelebihan berupa ketajaman berfikir dan ingatan hafalan. Ketika
berusia sepuluh tahun, Imam Muslim sering datang dan berguru pada seorang ahli
hadits, yaitu Imam Ad Dakhili. Setahun kemudian, beliau mulai menghafal hadits
Nabi SAW, dan mulai berani mengoreksi kesalahan dari gurunya yang salah
menyebutkan periwayatan hadits.
Selain kepada Ad Dakhili,
Imam Muslim pun tak segan-segan bertanya kepada banyak ulama di berbagai tempat
dan negara. Berpetualang menjadi aktivitas rutin bagi dirinya untuk mencari
silsilah dan urutan yang benar sebuah hadits. Beliau, misalnya pergi ke Hijaz,
Irak, Syam, Mesir dan negara-negara lainnya. Dalam lawatannya itu, Imam Muslim
banyak bertemu dan mengunjungi ulama-ulama kenamaan untuk berguru hadits kepada
mereka. Di Khurasan, beliau berguru kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin
Rahawaih; di Ray beliau berguru kepada Muhammad bin Mahran dan Abu ‘Ansan. Di
Irak beliau belajar hadits kepada Ahmad bin Hanbal dan Abdullah bin Maslamah;
di Hijaz beliau belajar kepada Sa’id bin Mansur dan Abu Mas ‘Abuzar; di Mesir
beliau berguru kepada ‘Amr bin Sawad dan Harmalah bin Yahya, dan ulama ahli
hadits lainnya.
Bagi Imam Muslim, Baghdad memiliki arti tersendiri. Di kota inilah
beliau berkali-kali berkunjung untuk belajar kepada ulama-ulama ahli hadits.
Kunjungannya yang terakhir beliau lakukan pada tahun 259 H. Ketika Imam Bukhari
datang ke Naisabur, Imam Muslim sering mendatanginya untuk bertukar pikiran
sekaligus berguru padanya. Saat itu, Imam Bukhari yang memang lebih senior,
lebih menguasai ilmu hadits ketimbang dirinya.
Ketika terjadi fitnah atau kesenjangan antara Bukhari dan Az Zihli,
beliau bergabung kepada Bukhari. Sayang, hal ini kemudian menjadi sebab
terputusnya hubungan dirinya dengan Imam Az Zihli. Yang lebih menyedihkan,
hubungan tak baik itu merembet ke masalah ilmu, yakni dalam hal penghimpunan
dan periwayatan hadits-hadits Nabi SAW.
Imam Muslim dalam kitab shahihnya maupun kitab-kitab lainnya tidak
memasukkan hadits-hadits yang diterima dari Az Zihli, padahal beliau adalah
gurunya. Hal serupa juga beliau lakukan terhadap Bukhari. Tampaknya bagi Imam
Muslim tak ada pilihan lain kecuali tidak memasukkan ke dalam Kitab Shahihnya
hadits-hadits yang diterima dari kedua gurunya itu. Kendatipun demikian,
dirinya tetap mengakui mereka sebagai gurunya.
Imam Muslim yang dikenal sangat tawadhu’ dan wara’ dalam ilmu itu telah
meriwayatkan puluhan ribu hadits. Menurut Muhammad Ajaj Al Khatib, guru besar
hadits pada Universitas Damaskus, Syria, hadits yang tercantum dalam karya
besar Imam Muslim, Shahih Muslim, berjumlah 3.030 hadits tanpa pengulangan.
Bila dihitung dengan pengulangan, katanya, berjumlah sekitar 10.000 hadits.
Sementara menurut Imam Al Khuli, ulama besar asal Mesir, hadits yang terdapat
dalam karya Muslim tersebut berjumlah 4.000 hadits tanpa pengulangan, dan 7.275
dengan pengulangan. Jumlah hadits yang beliau tulis dalam Shahih Muslim itu
diambil dan disaring dari sekitar 300.000 hadits yang beliau ketahui. Untuk
menyaring hadits-hadits tersebut, Imam Muslim membutuhkan waktu 15 tahun.
Mengenai metode penyusunan hadits, Imam Muslim menerapkan
prinsip-prinsip ilmu jarh, dan ta’dil, yakni suatu ilmu yang digunakan untuk
menilai cacat tidaknya suatu hadits. Beliau juga menggunakan sighat at tahammul
(metode-metode penerimaan riwayat), seperti haddasani (menyampaikan kepada
saya), haddasana (menyampaikan kepada kami), akhbarana (mengabarkan kepada
saya), akhabarana (mengabarkan kepada kami), dan qaalaa (ia berkata).
Imam Muslim menjadi orang kedua terbaik dalam masalah ilmu hadits
(sanad, matan, kritik, dan seleksinya) setelah Imam Bukhari. “Di dunia ini
orang yang benar-benar ahli di bidang hadits hanya empat orang; salah satu di
antaranya adalah Imam Muslim,” komentar ulama besar Abu Quraisy Al Hafizh.
Maksud ungkapan itu tak lain adalah ahli-ahli hadits terkemuka yang hidup di
masa Abu Quraisy.
Reputasinya mengikuti gurunya Imam Bukhari
Dalam khazanah ilmu-ilmu Islam, khususnya dalam bidang ilmu hadits, nama
Imam Muslim begitu monumental, setara dengan gurunya, Abu Abdillah Muhammad bin
Ismail al-Bukhary al-Ju’fy atau lebih dikenal dengan nama Imam Bukhari. Sejarah
Islam sangat berhutang jasa kepadanya, karena prestasinya di bidang ilmu
hadits, serta karya ilmiahnya yang luar biasa sebagai rujukan ajaran Islam,
setelah al-Qur’an. Dua kitab hadits shahih karya Bukhari dan Muslim sangat
berperan dalam standarisasi bagi akurasi akidah, syariah dan tasawwuf dalam
dunia Islam.
Melalui karyanya yang sangat berharga, al-Musnad ash-Shahih, atau
al-Jami’ ash-Shahih, selain menempati urutan kedua setelah Shahih Bukhari,
kitab tersebut memenuhi khazanah pustaka dunia Islam, dan di Indonesia,
khususnya di pesantren-pesantren menjadi kurikulum wajib bagi para santri dan
mahasiswa.
Pengembaraan (rihlah) dalam pencarian hadits merupakan kekuatan
tersendiri, dan amat penting bagi perkembangan intelektualnya. Dalam
pengembaraan ini (tahun 220 H), Imam Muslim bertemu dengan guru-gurunya, dimana
pertama kali bertemu dengan Qa’nabi dan yang lainnya, ketika menuju kota Makkah
dalam rangka perjalanan haji. Perjalanan intelektual lebih serius, barangkali
dilakukan tahun 230 H. Dari satu wilayah ke wilayah lainnya, misalnya menuju ke
Irak, Syria, Hijaz dan Mesir.
Waktu yang cukup lama dihabiskan bersama gurunya al-Bukhari. Kepada guru
besarnya ini, Imam Muslim menaruh hormat yang luar biasa. “Biarkan aku mencium
kakimu, hai Imam Muhadditsin dan dokter hadits,” pintanya, ketika di sebuah
pertemuan antara Bukhari dan Muslim.
Disamping itu, Imam Muslim memang dikenal sebagai tokoh yang sangat
ramah, sebagaimana al-Bukhari yang memiliki kehalusan budi bahasa, Imam Muslim
juga memiliki reputasi, yang kemudian populer namanya — sebagaimana disebut
oleh Adz-Dzahabi — dengan sebutan muhsin dari Naisabur.
Maslamah bin Qasim menegaskan, “Muslim adalah tsaqqat, agung derajatnya
dan merupakan salah seorang pemuka (Imam).” Senada pula, ungkapan ahli hadits
dan fuqaha’ besar, Imam An-Nawawi, “Para ulama sepakat atas kebesarannya,
keimanan, ketinggian martabat, kecerdasan dan kepeloporannya dalam dunia
hadits.”
Kitab Shahih Muslim
Imam Muslim memiliki jumlah karya yang cukup penting dan banyak. Namun
yang paling utama adalah karyanya, Shahih Muslim. Dibanding kitab-kitab hadits
shahih lainnya, kitab Shahih Muslim memiliki karakteristik tersendiri, dimana
Imam Muslim banyak memberikan perhatian pada ekstraksi yang resmi. Beliau
bahkan tidak mencantumkan judul-judul setiap akhir dari satu pokok bahasan.
Disamping itu, perhatiannya lebih diarahkan pada mutaba’at dan syawahid.
Walaupun dia memiliki nilai beda dalam metode penyusunan kitab hadits,
Imam Muslim sekali-kali tidak bermaksud mengungkap fiqih hadits, namun
mengemukakan ilmu-ilmu yang bersanad. Karena beliau meriwayatkan setiap hadits
di tempat yang paling layak dengan menghimpun jalur-jalur sanadnya di tempat
tersebut. Sementara al-Bukhari memotong-motong suatu hadits di beberapa tempat
dan pada setiap tempat beliau sebutkan lagi sanadnya. Sebagai murid yang
shalih, beliau sangat menghormati gurunya itu, sehingga beliau menghindari
orang-orang yang berselisih pendapat dengan al-Bukhari.
Kitab Shahih Muslim memang dinilai kalangan muhaditsun berada setingkat
di bawah al-Bukhari. Namun ada sejumlah ulama yang menilai bahwa kitab Imam
Muslim lebih unggul ketimbang kitabnya al-Bukhari.
Sebenarnya kitab Shahih Muslim dipublikasikan untuk Abu Zur’ah, salah
seorang kritikus hadits terbesar, yang biasanya memberikan sejumlah catatan
mengenai cacatnya hadits. Lantas, Imam Muslim kemudian mengoreksi cacat
tersebut dengan membuangnya tanpa argumentasi. Karena Imam Muslim tidak pernah
mau membukukan hadits-hadits yang hanya berdasarkan kriteria pribadi semata,
dan hanya meriwayatkan hadits yang diterima oleh kalangan ulama. Sehingga
hadits-hadits Muslim terasa sangat populis.
Berdasarkan hitungan Muhammad Fuad Abdul Baqi, kitab Shahih Muslim
memuat 3.033 hadits. Metode penghitungan ini tidak didasarkan pada sistem isnad
sebagaimana dilakukan ahli hadits, namun beliau mendasarkannya pada
subyek-subyek. Artinya jika didasarkan isnad, jumlahnya bisa berlipat ganda.
Antara al-Bukhari dan Muslim
Imam Muslim, sebagaimana dikatakan oleh Prof. Mustafa ‘Adzami dalam
bukunya Studies in Hadith Methodology and Literature, mengambil keuntungan dari
Shahih Bukhari, kemudian menyusun karyanya sendiri, yang tentu saja secara
metodologis dipengaruhi karya al-Bukhari.
Antara al-Bukhari dan Muslim, dalam dunia hadits memiliki kesetaraan
dalam keshahihan hadits, walaupun hadits al-Bukhari dinilai memiliki keunggulan
setingkat. Namun, kedua kitab hadits tersebut mendapatkan gelar sebagai
as-Shahihain.
Sebenarnya para ulama berbeda pendapat mana yang lebih unggul antara
Shahih Muslim dengan Shahih Bukhari. Jumhur Muhadditsun berpendapat, Shahihul
Bukhari lebih unggul, sedangkan sejumlah ulama Marokko dan yang lain lebih
mengunggulkan Shahih Muslim. Hal ini menunjukkan, sebenarnya perbedaannya
sangatlah sedikit, dan walaupun itu terjadi, hanyalah pada sistematika penulisannya
saja, serta perbandingan antara tema dan isinya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengulas kelebihan Shahih Bukhari atas Shahih
Muslim, antara lain, karena Al-Bukhari mensyaratkan kepastian bertemunya dua
perawi yang secara struktural sebagai guru dan murid dalam hadits Mu’an’an;
agar dapat dihukumi bahwa sanadnya bersambung. Sementara Muslim menganggap
cukup dengan “kemungkinan” bertemunya kedua rawi tersebut dengan tidak adanya
tadlis.
Al-Bukhari mentakhrij hadits yang diterima para perawi tsaqqat derajat
utama dari segi hafalan dan keteguhannya. Walaupun juga mengeluarkan hadits
dari rawi derajat berikutnya dengan sangat selektif. Sementara Muslim, lebih
banyak pada rawi derajat kedua dibanding Bukhari. Disamping itu kritik yang
ditujukan kepada perawi jalur Muslim lebih banyak dibanding kepada al-Bukhari.
Sementara pendapat yang berpihak pada keunggulan Shahih Muslim beralasan
— sebagaimana dijelaskan Ibnu Hajar —, bahwa Muslim lebih berhati-hati dalam
menyusun kata-kata dan redaksinya, karena menyusunnya di negeri sendiri dengan
berbagai sumber di masa kehidupan guru-gurunya. Beliau juga tidak membuat
kesimpulan dengan memberi judul bab sebagaimana Bukhari lakukan. Dan sejumlah
alasan lainnya.
Namun prinsipnya, tidak semua hadits Bukhari lebih shahih ketimbang
hadits Muslim dan sebaliknya. Hanya pada umumnya keshahihan hadits riwayat
Bukhari itu lebih tinggi derajatnya daripada keshahihan hadits dalam Shahih
Muslim.
Karya-karya Imam Muslim
Imam Muslim berhasil menghimpun karya-karyanya, antara lain seperti: 1)
Al-Asma’ wal-Kuna, 2) Irfadus Syamiyyin, 3) Al-Arqaam, 4) Al-Intifa bi Juludis
Siba’, 5) Auhamul Muhadditsin, 7)At-Tarikh, 8.) At-Tamyiz, 9) Al-Jami’, 10)
Hadits Amr bin Syu’aib, 11) Rijalul ‘Urwah, 12)Sawalatuh Ahmad bin Hanbal, 13)
Thabaqat, 14) Al-I’lal, 15) Al-Mukhadhramin, 16) Al-Musnad al-Kabir, 17)
Masyayikh ats-Tsawri, 18) Masyayikh Syu’bah, 19) Masyayikh Malik, 20)
Al-Wuhdan, 21) As-Shahih al-Masnad.
Kitab-kitab nomor 6, 20, dan 21 telah dicetak, sementara nomor 1, 11,
dan 13 masih dalam bentuk manuskrip. Sedangkan karyanya yang monumental adalah
Shahih dari judul singkatnya, yang sebenarnya berjudul, Al-Musnad as-Shahih,
al-Mukhtashar minas Sunan, bin-Naqli al-’Adl ‘anil ‘Adl ‘an Rasulillah.
Wafatnya Imam Muslim
Imam Muslim wafat pada Ahad sore, pada tanggal 24 Rajab 261 H. Semoga
Allah SWT merahmatinya, mengampuni segala kesalahannya, serta menggolongkannya
ke dalam golongan orang-orang yang sholeh. Amiin.
No comments:
Post a Comment