FIQH AL-WÂQI‘ (FIKIH REALITAS)
By Muhammad Rakib
Jamari,S.H.,M.Ag
Fiqh al-wâqi‘ (fikih realitas) yang kini penulis pelajari, merupakan gagasan dasar Yusuf al-Qaradhawi dalam upayanya melakukan pembaruan fikih untuk menyikapi realitas modern. Dalam kitabnya, Fiqih Peradaban (1997), al-Qaradhawi menjelaskan, fiqh al-wâqi’ ialah pengetahuan mengenai realitas yang sebenarnya, baik yang menguntungkan maupun yang merugikan. (1997: 292). Realitas ini penting dipahami karena, menurut al-Qaradhawi, pemahaman atas realitas akan menjadi pertimbangan tentang bagaimana kita berhubungan dengan realitas: apakah realitas itu akan kita terima atau kita tolak? (1997: 293)
Pentingnya fiqih, realitas,
Dari sarjana yang, berkualitas.
Semua masalah, menjadi tuntas,
Semua orang, merasa puas.
KH.M. Shiddiq Al-Jawi menyatakan bahwa ,menurut al-Qaradhawi, dalam Sirah Nabi saw. kita akan menemukan hukum yang tidak sama penerapannya dalam berbagai situasi, yang terjadi karena perbedaan realitas yang melatarbelakanginya. Misalnya, sikap Nabi saw. yang keras terhadap Yahudi Bani Quraizhah dengan sikap beliau yang lembut terhadap kaum musyrik Makkah saat Fathu Makkah. Karena itu, menurut al-Qaradhawi, para ulama menetapkan, fatwa itu bisa berubah karena perubahan zaman, tempat, keadaan, dan adat-istiadat (1997: 294). Al-Qaradhawi (1993: 56) menganggap kaidah ini berasal dari Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya, I‘lâm al-Muwaqqi‘în (Al-Jauziyah, 2000: 459).
Apa yang melatarbelakangi al-Qaradhawi mencetuskan gagasan fikih barunya itu?
Menurut al-Qaradhawi, sejak tahun 50-an dan 60-an, telah terjadi dua aliran paham yang tidak menguntungkan bagi upaya kebangkitan umat: pada satu sisi ada sikap berlebihan (ifrâth), sedangkan pada sisi lain ada sikap meremehkan (tafrîth). Sikap berlebihan, misalnya, tidak mengakui pendapat lain, keras, dan suka mengkafirkan. Sebaliknya, sikap meremehkan ialah sikap kaum liberal yang berfatwa tanpa landasan agama dan hanya mengikuti hawa nafsu. Karena itulah, perlu dihidupkan prinsip moderatisme (tawassuth) yang berintikan dua prinsip: (1) berasaskan kemudahan (taysîr) dan kabar gembira; (2) perpaduan salafiyah dan pembaruan (tajdîd). Maksud salafiyah adalah mengikuti sumber pokok, yakni al-Quran dan as-Sunnah; sedangkan pembaruan, maksudnya, adalah menyatu dan mengikuti zaman, tidak jumud (beku) atau taklid buta. Dalam rangka pembaruan itu, digagaslah fiqh al-wâqi‘ (Fiqih Peradaban, 1997: 291-313)
Landasan
Landasan fiqh al-wâqi‘ dapat dicermati dari manhaj (metode) al-Qaradhawi dalam berfatwa, yang diuraikannya dalam Al-Fatwa bayna al-Indhibâth wa at-Tasayyub (Ikut Ulama Yang Mana?, 1994). Dapat dilihat juga dari segi ushul fikihnya dalam kitab Taysîr al-Fiqh (Fikih Praktis, 2003). Manhaj al-Qaradhawi dalam berfatwa adalah: (1) melepaskan diri dari fanatisme mazhab dan taklid buta; (2) memberikan kemudahan (taysîr) dan keringanan (takhfîf), bukan memberikan keketatan (tasydîd) dan mempersulit (tas‘îr); (3) berfatwa dengan bahasa yang populer; (4) tidak menyibukkan diri kecuali untuk hal-hal yang bermanfaat; (5) mengedepankan ruh moderat (tawassuth), antara ifrâth dan tafrîth; (6) berfatwa dengan penjelasan dan syarh (Al-Qaradhawi, 1994: 107-145; al-Khurasyi, 2003: 364-365)
Dalam kitab Taysîr al-Fiqh (2004: 35-91), al-Qaradhawi menjelaskan dalil-dalil syariat yang melandasi fatwanya. Selain berpegang dengan 4 (empat) dalil pokok (Al-Quran, as-Sunnah, Ijma Sahabat, dan Qiyas), al-Qaradhawi juga berpegang dengan dalil al-Istihsân dan al-Mashâlih al-Mursalah. Al-Qaradhawi berpegang pula pada kaidah, “Adanya perubahan fatwa berdasarkan berubahnya zaman, tempat, dan kondisi.” Kaidah ini tampaknya sangat diutamakan dan ditonjolkan oleh al-Qaradhawi, yang bahkan secara khusus beliau jelaskan menjadi satu kitab tersendiri, yaitu kitab Keluasan dan Keluwesan Hukum Islam (‘Awâmil as-Sâ’ah wa al-Murûnah fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah) (1993).
Contoh
Fiqh al-wâqi’ al-Qaradhawi berdasarkan landasan-landasan tersebut, misalnya: membenarkan sistem demokrasi dan tidak dianggap bertentangan dengan Islam (Fiqih Daulah, 2000: 181) dan membolehkan bergabung dengan pemerintahan yang bukan Islam (Fiqih Daulah, 2000:249). Mengapa Islam dapat menerima demokrasi? Sebab, menurut al-Qaradhawi, substansi demokrasi adalah suatu proses pemilihan yang melibatkan orang banyak untuk mengangkat seseorang (kandidat) yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka. Ini, menurutnya, sejalan dengan Islam, dan bahkan, berasal dari Islam itu sendiri. Sebab, Islam menolak seseorang menjadi imam shalat yang tidak disukai makmum. Jika dalam shalat saja demikian, apa lagi dalam urusan politik (2000: 183-184). Prinsip kedaulatan rakyat, kata al-Qaradhawi, tidak mesti dipertentangkan dengan kedaulatan Allah, selama tidak ada pertentangan di antara keduanya (2000: 197)
Bolehnya bergabung dengan pemerintahan bukan Islam, menurut al-Qaradhawi, hukum dasarnya sebenarnya tidak boleh. Akan tetapi, al-Qaradhawi lalu keluar dari hukum dasar ini dan kemudian membolehkannya dengan syarat-syarat tertentu. Alasannya: (1) tuntutan meminimalkan kejahatan dan kezaliman adalah menurut kesanggupan; (2) itu dilakukan untuk memilih kemadlaratan yang paling ringan; (3) karena melepaskan nilai tertinggi lalu turun ke realitas terendah; (4) ada prinsip pentahapan (tadarruj). (2000: 249-260)
Kritik
Terhadap konsep fiqh al-wâqi‘ al-Qaradhawi dapat diberikan beberapa catatan kritis berikut:
1. Kelemahan Tatabbu‘ ar-Rukhash
Apa yang digagas al-Qaradhawi sebagai fiqh taysîr, dalam ungkapan para ahli ushul fikih, disebut dengan tatabbu’ ar-rukhash. Maksudnya bukanlah mengikuti rukhshah (keringanan), seperti berbuka puasa Ramadhan ketika dalam perjalanan, tetapi mengambil pendapat yang teringan di antara hukum-hukum syariat ketika terjadi perbedaan pendapat (Abdullah, 1995: 376). Az-Zuhaili mengungkapkan istilah ini dengan ungkapan ikhtiyâr al-aysar (memilih pendapat termudah) (Az-Zuhaili, 1996: 39). Misalnya, seseorang mengambil pendapat bahwa menyentuh perempuan tidak membatalkan wudlu (mazhab Hanafi), seraya meninggalkan pendapat bahwa menyentuh perempuan membatalkan wudlu (mazhab Syafi’i). Hal ini serupa dengan manhaj al-Qaradhawi yang selalu menekankan prinsip kemudahan dan keringanan. Dalam contoh di atas akan terlihat jelas manhaj al-Qaradhawi ini.
Di kalangan umat Islam, ada yang mengharamkan demokrasi, seperti Taqiyuddin an-Nabhani, Al-Maududi, dan Abdul Qadim Zallum; ada pula menghalalkan demokrasi, seperti Fahmi Huwaidi, Sulaiman ath-Thamawi, dan Abdul Hamid Mutawalli. Al-Qaradhawi cenderung pada yang mudah dan ringan, yakni yang menghalalkan demokrasi, yang sedang mendominasi realitas. Di kalangan umat ada ulama yang menghalalkan bergabung dengan sistem pemerintahan bukan Islam (yang menjadi realitas di tengah umat), ada pula ulama yang mengharamkannya. Al-Qaradhawi cenderung pada yang mudah dan gampang, yakni yang menghalalkannya, walaupun menurutnya pada dasarnya tidak boleh.
Memang, menurut pengakuannya dalam kitab Al-Fatâwâ al-Mu‘ashirah (II/128), Al-Qaradhawi menolak tatabbu’ ar-rukhash (Al-Khurasyi, 2003:269). Akan tetapi, klaim itu patut diragukan karena bertentangan dengan kaidah taysîr, yang selalu ditekankannya, dan dengan sebagian fatwanya yang cenderung menggampangkan masalah.
Di antara ulama ushul telah terjadi perbedaan pendapat dalam masalah tatabbu’ ar-rukhash. Menurut Muhammad Husain Abdulah dalam Al-Wâdhih fî Ushûl al-Fiqh (hlm. 376), dalam masalah ini ada 3 pendapat: Pertama, ada ulama yang melarang tatabbu’ rukhash, seperti Imam Ahmad (dalam satu riwayatnya), Abu Ishaq al-Marwazi, Imam asy-Syatibi, Imam al-Ghazali, ulama Hanabilah, dan ulama Malikiyah (Az-Zuhaili, 1996: 40). Tatabbu’ rukhash dilarang karena merupakan kecenderungan berdasarkan hawa nafsu, sedangkan syariat melarang mengikuti hawa nafsu. Selain itu, jika ada perbedaan pendapat, wajib dikembalikan pada syariat dengan jalan tarjîh (memilih pendapat dengan dalil terkuat), bukan memilih sesuka hati, sesuai dengan firman Allah Swt.:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ
Jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (as-Sunnah). (QS an-Nisa’ [4]: 59]
Kedua, ada ulama yang membolehkan tatabbu’ ar-rukhash secara bersyarat, misalnya Imam al-‘Izz bin Abdissalam. Menurut beliau, jika tatabbu’ ar-rukhash terjadi pada masalah yang keharamannya menurut syariat sudah masyhur maka tidak boleh ada tatabbu’ ar-rukhash. Pengertiannya, jika masalahnya tidak masyhur, boleh tatabbu’ ar-rukhash (Abdullah, 1995: 376)
Ketiga, ada ulama yang membolehkan tatabbu’ ar-rukhash (tanpa syarat seperti no. 2 di atas), misalnya al-Qarafi (bermazhab Maliki), dan ini merupakan pendapat yang râjih (kuat) di kalangan ulama Hanafiyah, seperti Kamal ibn al-Humam dalam kitabnya, At-Tahrîr, dan Ibnu Abdisysyakur, dalam kitabnya, Musallam ats-Tsubût. Dalilnya antara lain hadis Rasulullah saw. berikut:
مَا خَيَّرَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ قَطَّ إِلاَّ اِخْتَارَ اَيْسَرَهُمَا مَا لَمْ يَكُنْ مَأْثَمًا
Rasulullah saw. tidak pernah memilih satu pun di antara dua perkara kecuali yang paling mudah di antara keduanya, selama bukan dosa. (HR al-Bukhari, Malik, dan at-Tirmidzi).
Dari tiga pendapat tersebut, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani memandang pendapat pertamalah yang lebih kuat (râjih), yakni yang melarang tatabbu’ ar-rukhash. Dalam kitabnya, Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyyah (I/226-228), An-Nabhani menerangkan bahwa jika ada dua pendapat yang berbeda maka seorang muqallid (juga mujtahid) wajib melakukan tarjîh (analisis), bukan memilih pendapat mana saja sesuai kehendaknya. Memilih salah satu pendapat berdasar hawa nafsu sama saja dengan mengikuti hawa nafsu. Ini dilarang syariat, juga bertentangan dengan kewajiban mengembalikan perselisihan pada syariat (QS an-Nisa’ [4]: 59) dan kewajiban tarjîh berdasarkan Ijma Sahabat. Jika mujtahid men-tarjîh dalil maka muqallid men-tarjîh mujtahid atau hukum dengan murajjih (kriteria pen-tarjîh-an) yang dibenarkan syariat, yaitu dengan melihat siapa mujtahid yang dipandang lebih berilmu (al-a‘lamiyah), dengan syarat, mujtahid itu harus memenuhi kriteria al-‘adalah (konsisten mengamalkan agama, bukan fasik). Bantahan An-Nabhani terhadap tatabbu’ rukhash ini pada dasarnya mengadopsi pendapat para ulama terdahulu yang menolak tatabbu’ ar-rukhash, seperti Imam al-Ghazali dalam Al-Mustashfa (II/125) dan Imam asy-Syatibi dalam Al-Muwâfaqât (IV/71).
Hadits di atas yang digunakan pendukung tatabbu’ ar-rukhash tidak tepat jika dijadikan dasar bolehnya memilih pendapat paling ringan di antara dua pendapat yang bertentangan tanpa dalil pen-tarjîh yang mendasarinya, sebagaimana yang ada dalam tatabbu’ ar-rukhash. Maknanya, boleh memilih perkara paling ringan dari dua perkara, tetapi dua perkara itu masih ada dalam lingkup satu hukum, yaitu kebolehan (mubah), bukan dalam dua hukum yang bertentangan. Misalnya, ketika imam membaca surat setelah membaca al-Fatihah, maka imam boleh membaca surat yang pendek, boleh yang panjang. Keduanya masih dalam lingkup satu hukum, yakni sunnah. Akan tetapi, yang lebih disukai adalah membaca surat yang pendek, karena ini lebih ringan bagi para makmum. Dapat pula dimaknai, boleh memilih perkara paling ringan (di antara dua perkara) yang merupakan rukhshah, yang telah ditunjukkan oleh dalil syariat. Misalnya, orang yang merasa berat untuk tetap berpuasa Ramadhan dalam perjalanan boleh tetap berpuasa dan boleh pula berbuka. Akan tetapi, berbuka adalah lebih baik, karena ini lebih ringan bagi musafir yang kepayahan dalam perjalanannya. Ini ditunjukkan oleh dalil syariat berupa sabda Nabi saw. kepada orang yang tetap berpuasa dalam perjalanannya padahal dia merasa berat:
لَيْسَ مِنَ اْلبِرِّ الصِّيَامُ فِيْ السَّفَرِ
Tidak termasuk kebajikan, berpuasa dalam perjalanan. (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, an-Nasa’i, dan Ahmad).
2. Kekeliruan Kaidah Perubahan Hukum (Taghayyur al-Ahkâm)
Memang, ada kaidah dalam kitab kodifikasi undang-undang Daulah Utsmaniyah, yakni Majallah al-Ahkam Al-Adliyah, pasal 39, yang berbunyi: Lâ yunkaru taghayyur al-ahkâm bi taghayyur az-zamân (Tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman) (Az-Zuhaili, 2001: 1181). Kaidah ini sebenarnya sangat lemah, lagipula sering disalahpahami, seakan-akan faktor satu-satunya yang mengubah hukum adalah zaman; atau semisalnya seperti tempat, kondisi, dan adat. Padahal, dengan mencermati kitab I‘lâm al-Muwaqqi‘în, karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, yang sering dirujuk sebagai sumber kaidah ini, akan jelas bahwa duduk perkaranya tidaklah demikian. Yang benar, perubahan hukum itu terjadi karena adanya nash itu sendiri, yang menunjukkan perubahan hukum, bukan karena faktor waktu, zaman, dan sebagainya (Sa’id, 1995: 309). Waktu dan tempat tidak dapat mengubah hukum jika tidak ada nash yang menunjukkan perubahan hukum. Ibnu Qayyim mencontohkan, Rasulullah saw. tidak menjatuhkan hukum potong tangan pada saat perang. Tindakan Rasul itu bukan karena perang itu sendiri, tetapi karena ada nash lain yang menetapkan tidak dilaksanakannya hukum potong tangan pada saat perang (Al-Jauziyah, 2000:463).
3. Menjustifikasi Realitas yang Rusak.
Pendapat fikih yang keliru dan lemah pada dasarnya masih tergolong pendapat Islami (ar-ra’yu al-islâmî), selama masih berlandaskan dalil atau syubhah ad-dalîl (dalil syariat yang lemah) seperti al-Istihsân, al-Mashâlih al-Mursalah, atau konsep tatabbu’ ar-rukhash. Namun, mungkin orang lupa, bahwa dulu ketika para ulama mencetuskan pendapat-pendapat itu, mereka hidup dalam masyarakat Islami dan dalam Daulah Khilafah Islamiyah sehingga pendapat-pendapat mereka dapat dinilai sebagai opini intelektual murni yang tidak akan menimbulkan suatu bahaya (mudlarat), karena mereka hidup dalam suasana kehidupan Islami. Para ulama semata-mata berijtihad, bukan melakukan justifikasi terhadap penyimpangan agama. Ini jelas berbeda dengan fiqh al-wâqi‘ gagasan al-Qaradhawi, yang lahir di tengah masyarakat yang tidak Islami, dalam sistem kehidupan yang dicengkeram oleh sistem demokrasi sekular yang kufur. Gagasan seperti ini sangat berbahaya, kontraproduktif, dan sulit diterima akal sehat. Sebab, yang seharusnya dilakukan umat Islam justru menghancurkan sistem sekular yang ada, karena sistem itu adalah thâghût yang wajib diingkari. Jelas pendapat seperti ini sangat berbahaya. Sebab yang seharusnya dilakukan umat Islam justru mengubah sistem demokrasi sekuler yang ada ini dengan sistem Islam ajaran Rasulullah saw.[]
Lebih Lanjut di Pengadilan Agama?
Penulis tertarik dengan
kisah yang disampaikan oleh seorang hakim yang bernama Husein Muhammad
Komisioner Komnas Perempuan. Pernyataannya begini:
Komisioner Komnas Perempuan. Pernyataannya begini:
Dalam
sebuah acara pelatihan Islam dan Gender untuk para hakim pada Mahkamah
Syar’iyyah di Nanggroe Aceh Darussalam beberapa waktu yang lalu, muncul pertanyaan : “Apakah ada ketentuan
dalam kitab-kitab fiqh klasik yang menyebutkan pembagian waris semacam gono-gini
?”. Saya menjawab bahwa saya tidak pernah membaca ketentuan ini dalam
kitab-kitab fiqh klasik. Fiqh klasik adalah produk pemikiran hukum Islam abad
pertengahan. Saya kira kasus gono-gini ini adalah khas Indonesia. Akan tetapi
saya mendapat informasi dari Abdurrahman Wahid bahwa kasus ini memperoleh
keabsahannya dari seorang ulama Indonesia terkemuka dari Banjarmasin, Syeikh
Muhammad Arsyad al Banjari (w. 1812), penulis kitab “Sabilal Muhtadin”.
Di Banjar pembagian waris seperti ini telah
berjalan lama dan disebut “adat perpantangan”. Dalam masyarakat Aceh tradisi
ini juga telah berlangsung lama yang disebut harta “seuharkat”. Yaitu, harta
waris ini dibagi dua lebih dahulu antara suami dan isteri dan barulah hasil
parohan itu yang dibagikan kepada ahli waris. Menurut Abdurrahman Wahid
keputusan ini merupakan pengembangan yang radikal dari konsep semula yang ada
dalam al Qur-an, yaitu bahwa seluruh harta peninggalan seseorang yang meninggal
dunia dibagi antara para ahli waris. Harta gono-gini tidak pernah ada dalam
sejarah Islam sebelumnya. Memasukkan adat perpantangan di dalam kitab standar
fiqh (mu’tabar) adalah nyata sekali merupakan sebuah hasil pemikiran
kontekstual yang memperhitungkan masyarakat Banjar yang harus hidup dari kerja
di atas sungai, baik berdagang maupun mengail atau menjala ikan. Pekerjaan ini
tidak bisa hanya dilakukan oleh seorang suami saja, tetapi harus dilakukan oleh
suami dan isteri secara bersama-sama dengan jalan membagi peran atas pekerjaan
itu. (Majalah Pesantren,2/vol. II/1985).
Dalam
pandangan saya walaupun keputusan tersebut tidak ditemukan bunyi tekstualnya
namun ia dapat dicarikan dasarnya dalam teori fiqh. Dari sejarah hukum Islam
kita mengetahui bahwa pembagian waris 2:1 sebagaimana disebutkan secara jelas
dalam al Qur’an itu sesungguhnya merupakan transformasi yang dilancarkan Islam
atas konteks tradisi Arabia ketika itu. Harta waris dalam tradisi Arab pra
Islam hanya diberikan kepada golongan laki-laki. Perempuan sama sekali tidak
memperoleh bagian apa-apa dari harta yang ditinggal mati keluarganya. Karena
perempuan memang sama sekali tidak dihargai. Argumen mereka adalah bahwa
laki-lakilah yang menunggang kuda, menanggung beban dan berperang. Sebuah
jargon yang selalu diucapkan mereka adalah ; la nuritsu man la yarkabu farasan
wa la yahmilu kallan wa la yanka-u ‘adwan (kami tidak akan memberikan waris kepada mereka yang tidak menunggang
kuda, tidak memikul beban ekonomi dan tidak berperang melawan musuh).
Pernyataan ini memperlihatkan dengan jelas bahwa harta waris dalam tradisi
masyarakat Arab waktu itu hanya diberikan kepada orang-orang yang memiliki
fungsi kerja-kerja produksi yang mengandalkan otot atau keperkasaan tubuh.
Perempuan pada saat itu tidak memiliki atau tidak dianggap memiliki fungsi
kerja-kerja produktif ini. Ruang kerja perempuan adalah di ruang domestik dan
untuk kerja reproduksi. Terhadap cara pandang masyarakat Arab seperti itu, al
Qur-an melancarkan koreksinya dengan mengajukan pandangan baru bahwa perempuan
juga memiliki hak waris, karena mereka juga memiliki andil yang cukup besar
dalam kehidupan bersama mereka. Sebuah informasi menyatakan bahwa janda Sa’ad
bin Rabi’ mengadukan kegelisahan hatinya kepada Nabi. Dua anak perempuan yang
dihasilkannya bersama Sa’ad tidak mendapatkan warisan begitu ayahnya meninggal.
Semua harta Sa’ad diambil oleh saudara laki-lakinya, padahal dua anak perempuan
Sa’ad sangat membutuhkannya. Nabi Saw mendengar keluhan itu. Tidak lama
kemudian ayat 11 dan 12 surah al Nisa diturunkan Tuhan.
Saya
menduga kuat bahwa ijtihad Syeikh Arsyad al Banjari tersebut didasarkan atas
pertimbangan pemikiran di atas. Yakni bahwa perubahan hukum tersebut terjadi
karena perubahan sosial. Ibnu al Qayyim al Jauziyyah dalam bukunya “Ilam al
Muwaqqi’in” mengemukakan : “Taghayyur
al Ahkam bi Taghayyur al Ahwal wa al Azman wa al Amkinah wa al ‘Awaid wa al
Niyyat” (perubahan hukum terjadi karena
perubahan keadaan, waktu, tempat, adat-kebiasaan dan motivasi). Penetapan hukum
berdasarkan alasan adat juga mendapatkan landasan teori fiqh yang cukup banyak.
Antara lain kaedah fiqh :“al ‘Adah Muhakkamah, Ya’ni anna al ‘adah
‘ammah kanat aw khasshah tuj’al hukman li Itsbat hukm syari’y” (adat atau tradisi dapat dijadikan dasar untuk
menetapkan hukum syara’/agama) atau kaedah Al Tsabit bi al Urf
ka al Tsabit bi al Syar’ (ketetapan
yang didasarkan atas tradisi sama dengan ketetapan yang didasarkan atas syara’)
atau isti’mal an-nâs hujjatun yajibu al-‘amal bihâ (Kebiasaan masyarakat banyak adalah dasar hukum yang
harus diikuti). Kaedah ini tentu saja mengharuskan adanya kesesuaian dan
sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip agama atau maqashid
al syari’ah.
Undang-undang Perkawinan no. 1/1974
dan KHI, telah mengadopsi pembagian waris gono-gini tersebut yang disebut
“harta bersama”. Ini adalah sebuah terobosan yang jarang kita temukan dalam
perundang-undangan hukum keluarga di sejumlah negara Islam yang lain.
Masyarakat muslim Indonesia telah menerima ketentuan ini, karena dipandang
sejalan dengan nilai-nilai keadilan yang dirasakan masyarakatnya. Kenyataan
penerimaan ketentuan ini menunjukkan bahwa perubahan hukum seperti ini terbukti
tidak menjadi masalah dan tidak ada yang menyatakan sebagai pelanggaran
terhadap hukum Allah, bahkan justeru menerminkan penegakan tujuan hukum, yakni
keadilan.
Hal lain yang juga sering ditanyakan
kepada saya dalam banyak forum diskusi gender adalah tentang perceraian di
pengadilan. Pertanyaannya adalah
apakah dalam kitab-kitab fiqh klasik ada ketentuan yang menyatakan bahwa sahnya
perceraian hanya berdasarkan keputusan di pengadilan?. Saya juga tidak
menemukan bunyi hukum seperti ini dalam kitab-kitab di pesantren. Mayoritas
ulama fiqh terutama mazhab Syafi’i berpendapat bahwa hak menceraikan hanya pada
suami dan hal itu dapat dilakukan kapan saja. Sewaktu-waktu suami mengatakan
“aku ceraikan kamu”, maka jatuhlah talak kepadanya, bahkan walaupun tidak
disengaja atau dengan main-main. Argumennya lagi-lagi karena suamilah yang
memegang kendali atas keluarganya dan laki-lakilah yang mampu berpikir rasional
dan lebih banyak mempertimbangkan segala sesuatunya, sementara perempuan
emosional dan tidak berpikir mendalam dan luas. Hal ini jelas menunjukkan
pandangan yang bias jender.
Saya
juga mengatakan bahwa keputusan bahwa perceraian hanya sah di depan pengadilan
adalah keputusan yang didasarkan pada pertimbangan perubahan sosial dan lebih
khusus lagi menyantuni aspek lokalitas masyarakat Indonesia. Ketentuan seperti
ini belakangan juga diadopsi dalam undang-undang keluarga di Tunisia. Sejumlah
ulama menyatakan bahwa perubahan hukum perceraian tersebut harus dilakukan
karena telah terjadi “fasad al zaman”. Yakni bahwa telah berkembang sebuah
keadaan dimana banyak suami yang tidak lagi memegang teguh komitmen moralitas
dalam perkawinan yang sangat ditekankan oleh Islam. Yaknimu’asyarah bil ma’ruf. Jika
perceraian diberikan begitu saja kepada mereka, maka mereka dapat
menggunakannya sesuka hati. Lalu bagaimana perempuan dapat membela diri dan
bagaimana hak-haknya dapat dilindungi?. Maka prosedur perceraian di pengadilan
adalah merupakan cara menyelesaikan perkara suami-isteri secara lebih baik
sehingga dapat dipertanggungjawabkan di depan hukum sekaligus dalam rangka
melindungi hak-hak kaum perempuan yang seringkali diabaikan.
Undang-undang Perkawinan Indonesia
maupun KHI juga telah mengadopsi ketentuan ini, sebagaimana disebutkan pada UU
Perkawinan pasal 39, meskipun tidak ada dasar yurisprudensinya dalam
kitab-kitab fiqh Islam klasik. Menurut UU ini seorang suami yang menikah
menurut hukum Islam harus mengajukan tertulis kepada pengadilan jika ingin
bercerai dari isterinya, berikut alasan-alasannya. Saya kira ini merupakan
ijtihad baru dari para ulama dan masyarakat Indonesia dalam merespon
perkembangan sosial di negeri ini. Sejumlah negara Islam juga menentukan
prosedur yang sama. Beberapa di antaranya adalah Tunisia, al Jazair, Maroko,
Yaman dan lain-lain. UU Yaman menegaskan bahwa perceraian sepihak dilarang dan
semua perceraian harus melalui pengadilan. Pelanggaran atas ketentuan ini
dikenakan denda sampai 100 dinar atau penjara maksimal 1 tahun atau
kedua-duanya.(Baca: WEMC, “Mengenali Hak-Hak Kita”, cet. I/2007).
Meski demikian ketentuan hukum ini ditolak para ahli
fiqh yang lain, termasuk ahli fiqh kontemporer; Dr. Wahbah al Zuhaili. Penulis
Einsklopedi Fiqh dari Siria ini, menolak keputusan perceraian di tangan lembaga
peradilan. “Ini tidak ada gunanya dan bertentangan dengan syara’”. Wahbah
selanjutnya menyatakan bahwa perceraian oleh laki-laki tetap sah tanpa harus
menunggu keputusan hakim. Proses perceraian di pengadilan menurutnya justeru
akan membongkar atau menelanjangi rahasia rumah tangga di hadapan
publik.(Wahbah, al Fiqh, IX/6878). Pandangan
dan dengan argumen yang sama sebelumnya telah dikemukakan oleh Dr. Musthafa al
Siba’i. (Baca : Siba’i, Al Mar-ah baina al Fiqh wa al Qanun, 128).
Dua contoh kasus di atas sebetulnya
hanya ingin menggambarkan bahwa masyarakat muslim Indonesia tampak lebih maju
daripada masyarakat muslim di negara yang lain. Mereka sudah lama menyadari
perlunya perubahan hukum karena perubahan sosial, ekonomi, budaya dan politik.
Mereka dengan begitu telah melakukan proses kontekstualisasi hukum fiqh Islam.
Keberanian para pembuat UU No. 1/1974 dan KHI melakukan kontekstualisasi
seperti itu sudah tentu dilakukan dalam rangka menegakkan keadilan.
Jika kita melihat kondisi sosial kita
saat ini, maka perubahan sosial masyarakat kita menunjukkan perkembangan yang
jauh lebih maju lagi. Konteks masyarakat Indonesia saat ini sudah sangat
berbeda lagi dengan konteks pada saat UU no. 1/1974 maupun KHI tersebut dibuat.
Kaum perempuan pada saat ini sudah dan terus memperlihatkan peningkatan
kapasitas mereka baik dari sisi intelektual maupun ekonomi. Sudah banyak perempuan
yang memimpin institusi-institusi keilmuan maupun ekonomi. Kaum perempuan
Indonesia sudah ikutserta dalam kerja-kerja profesional dan produktif. Tidak
sedikit dari mereka yang justeru menjadi tulangpunggung ekonomi keluarga.
Mereka mampu melakukan kerja apa saja, baik dalam ruang domestik maupun publik.
Pertanyaan kita adalah apakah UU no. 1/1974 dan KHI masih cukup relevan untuk
menyelesaikan kasus-kasus dalam relasi keluarga konteks Indonesia hari ini?.
Dan Mungkinkah para hakim Pengadilan Agama melakukan terobosan hukum lagi dalam
rangka menegakkan keadilan bagi perempuan?.
Saya
yakin bahwa jawaban atas pertanyaan ini akan berbeda-beda. Akan tetapi saya
kira kenyataan-kenyataan baru sudah seharusnya menjadi dasar perumusan hukum.
Lebih dari semuanya adalah kesepakatan seluruh masyarakat manusia bahwa hukum
dibuat dalam rangka menciptakan keadilan. Dalam konteks Islam, keadilan adalah
pilar utama hukum. Ahli hukum Islam klasik; Ibnu al Qayyim al Jauziyah (w. 1350
M) mengatakan bahwa adalah tidak masuk akal jika hukum Islam menciptakan
ketidakadilan (kezaliman), meskipun dengan menyebutkan teks-teks ketuhanan.
Jika ini yang terjadi, maka pastilah interpretasi (pemaknaan) atasnya dan
rumusan-rumusan hukum positif tersebut mengandung kekeliruan. Ia bukanlah bagian
dari hukum Islam.( I’lam al Muwaqqi’in, Mathabi’ al Islam,
Cairo, 1980, III, h. 3). Di tempat lain dia mengatakan bahwa keadilan manusia
harus diusahakan dari manapun ia ditemukan, karena ia juga adalah keadilan
Tuhan dan hanya untuk tujuan itulah Tuhan menurunkan hukum-hukumnya. (Al Thuruq al Hukmiyyah
fi al Siyasah al Syar’iyyah, Dar al Arqam bin Abi al Arqam,
Beirut, cet. I, 1999, h. 39).
Para hakim agama adalah orang-orang
yang paling didambakan masyarakat untuk bisa melahirkan keputusan-keputusan
hukum yang adil. Kepada merekalah masyarakat berharap bisa menemukan keputusan
yang memenuhi rasa keadilan. Keadilan adalah menempatkan segala hal pada
tempatnya. Memberikan hak-hak kepada pemiliknya bukan karena dia beragama apa,
jenis kelamin apa, warga suku mana dan seterusnya adalah tindakan yang adil.
Untuk ini para hakim Pengadilan Agama amat diharapkan dapat memainkan
peranannya untuk mengekplorasi, menganalisis dan merenungkan kembali
sedalam-dalamnya bukan hanya instrumen hukum yang menjadi acuan kerjanya, yakni
UU No. 1/1974 dan KHI, melainkan juga berbagai instrumen hukum nasional yang
relevan, seperti UU No. 7/ 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, UU No. 23/ 2002 tentang
Perlindungan Anak, UU No. 23/ 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga dan lain-lain.
Akhirnya,
buku terbitan Komisi Nasional Perempuan yang kita launching hari ini menurut
hemat saya sangat penting untuk menjadi salah satu bahan bacaan bagi para hakim
Pengadilan Agama di mana saja di bumi Indonesia. Tidak ada maksud lain dari
penyusunan buku ini kecuali keinginan menyumbang bagi upaya-upaya kita bersama
menegakkan hukum yang berkeadilan. Semoga.
*Disampaikan
dalam Launching Buku Referensi bagi para Hakim Pengadilan Agama, 02 Juli 2008,
di Hotel Nikko, Jakarta.
**Anggota
Komisi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan),
2007-2009.
ARTIKEL TERKAIT
:
No comments:
Post a Comment