GURU TIDAK MUNGKIN MENGHUKUM MURID YANG BAIK
KATA PENGANTAR
Tulisan ini awalnya
untuk disertasi di S3 UIN Suska Riau di Pekanbaru. Kenyataannya bukan hanya
untuk itu,karena begitu banyaknya permintaan seminar tentang perlindungan nasib
guru yang dianggap melakukan kekerasan, padahal hanya memberikan hukuman
disipilin, sekedarnya saja. Sesuai dengan profesi penulis sebagai widyaiswara
pendidikan, masalah punishmen ini, selalu mengmuka, dan tidak pernah lenyap.
Akhirnya disertasi itu penulis penggal-penggal menjadi buku kecil seperti ini.
Semoga bermanfaat.
PEMBAHASAN
Tindakan guru menghukum anak didik, tidak salah mutalk, masih wajar, selagi tidak menimbulkan bekas atau memar. Guru memegang
prinsip: yang salah harus dihukum. Tidak mungkin guru menghukum murid yang
baik. Dengan hukuman, anak disadarkan. UU Perlindungan Anak dapat membuat anak
tidak menemukan”
kesalahan” dirinya. Dia merasa benar. Buktinya, dia dibela dan sang guru
dihukum. Konsep benar-salah menjadi hilang. Derita Guru: Sebuah Dilema Pendidikan. Keberadaan UU Perlindungan
Anak ini, menurut penulis menjadi sebuah penderitaan guru. Mereka dihadapkan
pada masalah dilematis dalam proses
pendidikan dan pembinaan anak muridnya. Situasi mereka berhadapan dengan UU
Perlindungan Anak. Demi pembinaan dan penegakan disiplin kepada siswa, ada guru
yang terpaksa menampar siswanya. Akan tetapi guru tersebut dihadapkan pada
jerat hukum. Maksud baik guru justru
berakibat buruk. Padahal menyadarkan
murid. Di antara cara penyadaran adalah “tempeleng”, walaupun bisa pakai cara
lain yang tanpa kekerasan. UU Perlindungan Anak tidak membolehkan memakai cara
kekerasan, padahal cara itu bisa menjadi sarana paling efektif. Tingkat
penyadarannya lebih kuat dibandingkan menegur dan menasehati. Tempeleng hanya sekali, bisa merupakan bentuk shock
therapy.
Menurut penulis UU Perlindungan Anak menjadi
penderitaan para guru di sekolah. Mereka tidak berani bertindak tegas kepada
murid karena takut terkena sanksi dari UU Perlindungan Anak. Bayangkan saja,
terkena pasal 80 ayat (1) merupakan
penderitaan yang amat sangat bagi guru yang berpenghasilan pas-pasan. Ada guru
masuk penjara, asalkan tiap bulan gajinya jalan terus, tidak akan jadi masalah serius. Tetap
mengajar dengan ganti rugi sebesar 72 juta rupiah, jelas akan memberatkan
keluarganya.
Di sebuah sekolah menengah pertama, ada
siswa sedang berkelahi, lalu datang guru
melerai. Tapi disambut dengan caci maki oleh
siswa yang berkelahi, karena tidak terima perkelahiannya dipisahkan.
Guru juga masih muda, demi harga diri yang diinjak murid, guru menampar siswa. Sang guru dilaporkan ke
polisi, beberapa hari di penjara. Akhirnya dibebaskan dengan tebusan.
Apa yang terjadi setelah peristiwa itu?
Para guru lain tidak berani bertindak tegas kepada siswa. Anak-anak tumbuh
“liar” dan para guru tak berani menegur. Terjadi pembiaran. Ketika guru bertindak tegas, anak
dapat mengancam dengan UU Perlindungan Anak. Anak akan dengan mudah mengejek
gurunya bahkan menghina guru dan guru tidak bisa berbuat apa-apa karena takut
dengan UU Perlindungan Anak. UU Perlindungan Anak merusak dunia pendidikan.
Tidak setuju dengan UU Perlindungan Anak, karena UU itu bisa digunakan anak
untuk merendahkan martabat guru. Dia sangat prihatin dengan nasib para guru.Inilah
bagian dari kritik penulis terhadap UU Perlindungan anak. Anak bisa benar
menurut hukum tapi salah total menurut etika dan akhlaqul karimah.
Menurut penulis, hukuman dari guru, bukan penganiayaan, ada kekeliruan dalam UU Perlindungan Anak,
berkaitan dengan kata “penganiayaan” dan kekerasan. Kategori penganiayaan
adalah kekerasan yang bertubi-tubi, mirip dengan penyiksaan. Memukul atau
menempeleng berkali-kali, sekalipun murid sudah minta ampun. Tapi jika cuma
sekali, bukan penganiayaan. Kalau dikatakan kekerasan, seperti kasus IPDN,
penganiayaan memang kejam, karena bertubi-tubi. Misalnya, dipukul lalu
ditendang berkali-kali. Karena itu ada yang cacat dan bahkan sampai tewas.
Penulis
tidak setuju jika guru menempeleng, satu kali saja masuk kategori
kekejaman (pasal 13 ayat 1) tidak manusiawi (pasal 16 ayat 1). Dalam kasus-kasus
penganiayaan di sekolah, dilakukan oknum
guru sebenarnya tidak masuk kategori kekerasan, yang bukan kekejaman,
penganiayaan yang tidak manusiawi.Yang menjadi persoalan, haruskah kekerasan
itu dihukum, jika bertujuan baik,
menyadarkan murid akan kesalahannya. Untuk bisa sadar, sering menyakitkan. Tapi itulah shock
therapy. Harus juga diperhatikan kewajiban anak. Dalam UU Perlindungan
Anak, khususnya soal hak dan kewajiban anak dan pasal lain yang
berkaitan dengan hak anak (18 pasal), sementara kewajiban hanya satu pasal saja
(pasal 19). bunyi pasal 19 UU Perlindungan Anak ini:
Setiap anak berkewajiban untuk :
1. menghormati
orang tua, wali, dan guru;
2. mencintai
keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman;
3. mencintai tanah
air, bangsa, dan negara;
4. menunaikan
ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan
5. melaksanakan
etika dan akhlak yang mulia.
Jika anak tidak melaksanakan
kewajibannya, sanksi apa yang dapat diberikan UU RI no.23 th 2002? Tidak ditemukan
hal ini. Penegak hukum hanya melihat hak anak, mengabaikan hak guru. Kasus
ini punya daya tarik bagi polisi dan pengacara? Tidak ada pembicaraan bagaimana
kewajiban anak? Apakah anak yang tidak melakukan kewajibannya, seperti yang
tertera dalam UU Perlindungan Anak, juga dapat ditindak?
Kasus anak SD yang
mengganggu temannya yang sedang latihan, berarti tidak melakukan kewajiban no.
2 dalam pasal (19) UU Perlindungan Anak. Kasus SMK, siswa tidak melaksanakan
kewajiban no. 3 dan 5. Guru punya wewenang melaporkan siswa ke polisi? Dan apa sanksi buat anak tersebut?
Hak dan kewajiban mesti seimbang. Orang tidak bisa menuntut hak tanpa
melaksanakan kewajibannya, karena
berkaitan dengan UU Perlindungan Anak. Kritik penulis ialah perlu ditinjau soal keseimbangan hak dan kewajiban
bagi anak itu sendiri. Jangan hanya membebani kesalahan pada guru.
KPAI, menggunakan dasar UU No. 23
Tahun 2009, bahwa definisi anak pada Pasal 1 adalah seseorang yang belum
berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan. Artinya, sebelum berusia 18 tahun, anak tidak boleh dijatuhi
sanksi pidana dengan pemenjaraan. Terlepas dari pro kontra yang terjadi, ada
suatu pandangan tentang fenomena kejahatan anak yang menarik untuk dikaji.
Pandangan ini memberikan solusi yang tuntas terhadap permasalahan kejahatan
anak, yang secara otomatis akan menghentikan kontroversi hukuman pidana pada
anak. Pandangan tersebut adalah pandangan hukum Islam.
Kejahatan dengan pelaku
anak-anak didominasi oleh tindak pencurian, Disusul kemudian kasus
penyalahgunaan obat-obatan terlarang, pencabulan, dan
pembunuhan(kapanlagi.com). Sebagian pihak menuding bahwa penyebab dari
kejahatan anak ini adalah kemiskinan dan kerusakan moral di kalangan anak. Tidak
dapat dimungkiri bahwa kemiskinan dan kerusakan moral menjadi pemicu munculnya
banyak kejahatan anak. Namun perlu kita pahami bahwa kemiskinan dan
kerusakan moral hanya merupakan fakta akibat. Selama kita hanya terpaku
pada fakta dan memecahkan berdasar fakta, maka penyelesaian yang kita dapat
hanya penyelesaian yang bersifat parsial dan tambal sulam. Untuk mendapat
pemecahan yang tuntas, kita harus menengok lebih dalam, mengapa ada kemiskinan
dan kerusakan moral?
Kemiskinan dan kerusakan moral
adalah hal yang pasti muncul dalam penerapan sistem kapitalis-liberal yang
dianut Indonesia. Sistem kapitalis ditandai dengan menyerahkan
pengelolaan kekayaan sumberdaya alam dan distribusinya kepada individu.
Individu yang mampu memiliki akses terhadap sumberdaya akan terpenuhi kebutuhan
hidupnya, sedangkan yang tidak memiliki akses tidak akan mampu
memenuhinya. Sistem ini menciptakan kesenjangan yang lebar antara pemilik
akses dengan yang tidak memilikinya. Maka muncullah kemudian kemiskinan
yang tersistematis, diikuti dengan kecemburuan sosial yang besar karena pameran
kekayaan dijadikan komoditas di berbagai media massa.
Kapitalisme umumnya disertai “saudara
kembarnya,” liberalism dan sekulerisme. Pemisahan agama dari kehidupan
akan mencabut nilai-nilai moral. Ditambah dengan paham kebebasan
bertingkah laku, mengakibatkan norma-norma agama semakin terpinggirkan.
Padahal, kekuatan ruhiyah yang lahir dari pemahaman terhadap agama adalah
satu-satunya motor penggerak penerapan moral. Maka memberikan pendidikan
moral budi pekerti tanpa membangkitkan kekuatan ruhiyah, sama saja seperti kita
mendorong mobil yang rusak. Lelah tanpa hasil.
Dengan mencermati akar
permasalahannya, dapat katakan bahwa munculnya kejahatan anak-anak adalah
akibat kesalahan dalam memilih sistem yang diterapkan. Anak hanya menjadi
korban. Penulis tidak setuju dengan defini anak dalam UU No. 23 tahun 2002 yang
menyatakan, bahwa anak-anak ialah yang belum berumur 18 tahun. Pendefinisian
anak yang tidak tepat memiliki implikasi terhadap cara pandang hukum kepada
anak yang nantinya ikut andil juga dalam memunculkan kejahatan anak-anak.
Hukum Islam
mendefinisikan anak adalah mereka yang belum mencapai masa baligh.
Huzaemah T.Yanggo, MA dalam bukunya Fiqih
Anak, mengatakan bahwa al-bulugh adalah habisnya masa
kanak-kanak. Pada laki-laki, baligh ditandai dengan bermimpi (al
ihtilam), dan perempuan ditandai dengan haid. Rasulullah saw
bersabda bahwa pena -pencatat
amal- itu diangkat dari orang yang tidur
sampai ia bangun, anak kecil sampai ia
dewasa (yahtalima), orang gila sampai ia sadar.” [1] Kata yahtalima adalah orang yang sudah bermimpi (al-ihtilam).
Maka dipahami bahwa anak yang sudah baligh telah menerima beban taklif, yaitu
menjalankan hukum syara’, dan dihisab sebagai implikasi dari pembebanan
tersebut. Ini berarti pada saat baligh, anak dianggap telah dewasa dan
dapat diperlakukan sebagai manusia dewasa di hadapan hukum.
Dengan pemahaman dewasa adalah saat
baligh, anak harus dipersiapkan dengan sungguh-sungguh, sehingga siap untuk menjadi
manusia dewasa yang sanggup mempertanggungjawabkan perbuatannya saat
baligh. Ini berbeda dengan pandangan yang ada saat ini yang menganggap
anak dewasa bila sudah menginjak usia 18
tahun. Pandangan ini membuat kontradiksi pada diri anak, di satu sisi
saat ia baligh, hormon-hormon dan alat reproduksinya sudah matang, sehingga
secara biologis ia dewasa, namun ia tetap diperlakukan seperti anak-anak dan
tidak mendapat pembekalan bagaimana bertanggungjawab dengan kondisi balighnya
tersebut, sehingga secara akal pikiran, ia masih jauh dari matang.
Kondisi ini membuat anak cenderung mudah terjerumus dalam dunia kejahatan.
Islam memberikan perhatian yang sangat besar terhadap
pendidikan anak. Ini tercermin dari banyaknya hadist-hadist yang
memerintahkan mendidik anak secara rinci. Pendidikan anak dimulai dari
pendidikan di dalam rumah oleh orangtua, pembentukan lingkungan yang kondusif
oleh masyarakat dan didukung oleh aturan-aturan negara yang menjamin anak
memperoleh pendidikan berkualitas dengan mudah. Islam juga menciptakan suasana
kondusif yang mendukung pendidikan anak. Islam mewajibkan orangtua
memberikan nafkah pada anak sehingga anak tidak harus menanggung beban hidup
keluarga. Islam mewajibkan negara menyediakan lapangan kerja agar
orangtua dapat mencari nafkah untuk anak.
Islam
mewajibkan negara untuk menjamin kehidupan yang bersih dari berbagai
kemungkinan berbuat dosa. Negara menjaga agama, menjaga moral dan
menghilangkan setiap hal yang dapat merusaknya seperti peredaran minuman keras,
narkoba, pornografi. Dengan
menerapkan sistem Islam secara sempurna, kejahatan anak akan dapat dihilangkan. Yang tumbuh adalah
anak-anak berkualitas, yang akan menjaga eksistensi umat umat terbaik. Anak
adalah amanah Allah QS.
An-Nisa’ (4):58 yang menyatakan
bahwa Allah mewajibkan manusia,
menyampaikan amanah dan berkewajiban berlaku adil. Maksudnya
Allah SWT.,menerangkan bahwa melaksanakan amanat dan tanggung jawab adalah
perintah Allah kepada seluruh hamba-Nya, termasuk yang diperintahkan juga
adalah menghukum dengan adil antara semua manusia dan Allah adalah sebaik-baik
pemberi pengajaran akan keadilan. Maka hendaklah orang beriman menjadikan
keadilan Allah sebagai standar, bukan yang lainnya di dalam melaksanakan hukum,
sementara Allah tetap mengawasi dan memperhatikan bagaimana melaksanakan perintahNya, firman Allah:
“Sesungguhnya Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sesungguhnya
Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat”.
Yang dimaksud dengan amanat di sini
ialah tugas-tugas yang telah dipercayakan kepada manusia sebagai khalifah.
Termasuk menetapkan hukum di antara manusia supaya menetapkan keputusan dengan
adil dengan berpegang teguh kepada kitab Allah dan sunnah Rasul. Dalam cakupan yang lebih luas, kata amanat
bisa berarti kesanggupan melaksanakan dan menegakkan dien, sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Ahzab:72, yang berbicara
mengenai pemberian amanat kepada orang yang memang layak untuk menerima amanat
tersebut dan juga ayat tersebut memberikan penekanan terhadap pentingnya
penegakan hukum dalam satu kalangan masyarakat.[2]
Hal ini menjadi satu bagian penting dalam pembahasan kemaslahatan yang hendak
dicapai dalam suatu lingkungan masyarakat.[3]
Mengenai keadilan[4],
ada dua macam, pertama distributive
dan kedua commutative. Keadilan distributive memberikan gambaran untuk
memberikan keadilan sesuai dengan haknya masing-masing, dengan kata lain
kemaslahatan fardiyyah dan bukan
kemaslahatan secara umum. Tapi keadilan commutative
memberikan keadilan secara umum kepada siapa saja. Salah satu prinsip
keadilan yang merupakan bagian dari kemaskahatan menajdi satu teori yang dianut
oleh Islam dalam menentukan kebijakan hukum Islam, bahwa Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil. Salah satu contoh lain dijelaskan dalam
kitab al -asybah wa al- nadhair. Syekh Imam Jalaluddin Abdurrrahman bin
Abi Bakr As- Suyuti mengungkapkan contoh yang sederhana, bahwa dalam suatu
negara apabila ada keinginan untuk menghilangkan tentara dalam anggaran program
kenegaraan dengan alasan yang dibolehkan maka hal itu diperbolehkan, tetapi kalau
sekiranya alasan yang akan digunakan sebagai landasan peniadaan hal tesebut
tidak diperbolehkan atau bahkan tidak dalam kategori penting dan dharurat maka
peniadaan tersebut tidak diperbolehkan. Kemudian contoh yang lain adalah soal
pembagian zakat, seorang imam atau pemimpin yang masih dalam keadaan mampu
tidak boleh mengutamakan dirinya dalam menerima zakat dari pada rakyat yang
notabene lebih memutuhkan.[5]
Dalam konteks kontemporer, kaidah
tersebut tentunya tidak boleh terlepas dari jiwa seorang pemimpin. Oleh karena
itulah setiap kebijakan yang mengandung manfaat dan maslahat bagi rakyat maka
itulah yang direncanakan, dilaksanakan, diorganisasikan, dan dinilai/
dievaluasi kemajuannya. Sebaliknya kebojakan yang mendatangkan mudharat dan mafsadah
bagi rakyat, itlah yang harus disingkirkan dan dijauhi. Dalam upaya-upaya
pemabangunan misalnya, membuat irigasi untuk petani, membuka laangan kerja yang
padat karya, melindungi hutan lindung, menjaga ligkungan, mengangkat pegawai
yang benar-benar amanah dan professional dan lain sebagainya.[6]
Dalam mendukung kaidah tersebut,
tentu diperlukan kaidah pelengkap yang bisa mendukung dan sejalan dalam
pemaknaan terhadap kaidah tersebut. Diantara kaidah-kaidah yang diperkukan
untuk mendukung kaidah tersebut adalah kaidah yang berbunyi; ikhtiyarul
amstal fal amtsal (memilih yang representative dan lebih representative
lagi). Kaidah ini memberikan gambaran kepada sikap yang harus diambil dan
diimplementasikan oleh seorang pemimpin dalam membuat sebuah kebijakan, yaitu
harus dilakukan
dan dipilih mana yang representative untuk bisa dilaksanakan terlebih dahulu.
Artinya kebutuhan masyarakat yang
banyak, mana yang lebih representatif untuk dilaksanakan dan
diprioritaskan.
Di samping
mengenai substansi yang hendak dicapai dari sebuah kemaslahatan yang ada, maka
pada dasarnya terdapat faktor lain yang memberikan kontribusi terhadap
itercapainya sebuah maslahat. Di antaranya adalah factor mekanisme system
kekuasaan dan jalannya pemerintahan yang sistematis. Dalam fiqh siyasah,
terdapat pembagian kekuasaan sejak zaman kekhalifahan.[7]
Pembagian kekuasaan itu terus berkembang maka kemudian muncul berbagai lembaga
kekuasaan dalam sebuah Negara. Ada khalifah (presiden)sebagai lembaga kekuasaan
eksekutif (al- hai’ah al- tanfidhiyyah), dan lembaga legislative atau alh
al- halli wa al- aqdi (al- hai’ah al- tasyri’iyah) dan lembaga yudikatif (al-
hai’ah al- qadhaiyyah), bahkan lembaga pengawasan (al -hai’ah al-
muraqabah).
Mengenai
permasalahan ini, dalam hukum Islam terdapat kaidah yang menyatakan:
al wilayah al khassah aqwa min al wilayah al ‘ammah (kekuasaan
yang lebih khusus lebih kuat (kedudukannya) dari pada kekuasaan umum). Maksud
kaidah tersebut adalah bahwa lembaga-lembaga
khusus lebih kuat kekuasaannya daripada lembaga-lembaga umum, misalnya, camat lebih kuat kekuasaanya
dalam wilayahnya daripada gubernur , wali nasab lebih kuat kekuasaannya
terhadap anak-anaknya dari pada pengadilan agama dan seterusnya. Pada intinya
dalam kaidah inti ini, segala sesuatu yang menyangkut kepentingan umum, harus
dicarikan solusi terbaiknya demi kemaslahatan. Solusi terbaik yang dapat
ditawarkan bisa meliputi substansi dari permasalahan yang sedang dibahas dan
mekanisme dalam pelaksanaannya. Dalam sebuah system hukum, ada hukum formil dan hukum materiil yang
tidak boleh lepas. Kemudian pertanyaannya adalah, maslahat yang seperti apa
yang mengikat seorang pemimpin untuk selalu memasukkan konsep tersebut dalam pertimbangan
utama, dalam mengambil setiap kebijakan?
9.6.
Analisis Konsep Mashlahah
Perlunya, analisis konsep
maslahat
,menurut beberapa pandangan dan konsep mengenai maslahat yang ada sebenarnya
telah disampaikan oleh banyak dari kalangan para pakar di bidangnya, tetapi
karena batasan yang ada, maka dalam disertasi ini, kajian
difokuskan pada salah satu konsep atau teori tentang maslahat yang
disampaikan dan dikemukakan oleh Najmuddin At- Tufi. Diantara beberapa
pandangan beliau tentang konsep maslahat adalah:
9.6.1. Pengertian Mashlahat
Dalam pandangan
at-Tufi bahasan lafadz maslahat berdasarkan wazan maf'alatun dari
kata shalah. Artinya, bentuk sesuatu dibuat sesuai dengan kegunaannya.
Misalnya, pena dibuat agar dapat digunakan untuk menulis. Pedang dibuat untuk
memenggal. Sedangkan definisi maslahat adalah sarana yng menyebabkan
adanya manfaat. Misalnya, perdagangan
adalah sarana untuk mencapai keuntungan. Pengertian Tasharruful Imam ‘Ala al- Ra’iyah Manutun
Bi al- Maslahah. Masalahat, berdasarkan syari'at adalah sesuatu yang
menjadi penyebab untuk sampai kepada maksud syar'i, baik berupa ibadat maupun
adat. Kemudian, maslahat ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu perbuatan yang
memang merupakan kehendak syari', yakni ibadat dan apa yang dimaksudkan untuk
kemanfaatan semua umat manusia dan tatanan kehidupan, seperti adat istiadat.[8]
9.6.2. Berlakunya Mashlahat
Mengenai
lapangan hukum mu'amalat dan yang sejenisnya, dalil yang diikuti adalah
maslahat. Maslahat dan dalil-dalil syari'at lainnya, terkadang senada dan
terkadang bertentangan. Jika senada, memang hal itu baik seperti senadanya
antara nash, ijma' dan maslahat mengenai ketetapan hukum dharury yang berjumlah lima. Hukum-hukum
kulli yang dharuri itu ialah dibunuhnya orang yang membunuh, dibunuhnya orang
yang murtad, pencuri dipotong tangannya, peminum dihukum dera dan orang
yang menuduh orang baik berbuat zina harus dijatuhi hukuman hadd, dan
contoh-contoh lain yang serupa dalam hal dalil-dalil syari'at senada dengan
maslahat. Jika ternyata tidak senada dan bertentangan, jika ada kemungkinan
dipadukan harus dilakukan perpaduan antara nas, ijma' dan maslahat. Misalnya,
jika terdapat sebagian dalil yang mempunyai kemiripan dengan maslahat,
lakukanlah antara dalil dan maslahat itu sesuatu pemaduan. Syaratnya, tidak
boleh mempermainkan dalil, dan maslahat yang dituju harus benar-benar hakiki.
Jika ternyata di antara keduanya tidak bisa dipadukan, yang didahulukan adalah
maslahat atas dalil-dalil syari'at lainnya. Sebab, Rasulullah saw. bersabda, la
darara wa la dirara. Makna hadis ini khusus dimaksudkan untuk menghilangkan
mudarat untuk memelihara maslahat yang menjadi tujuan utama hukum syari'at,
sehingga wajib didahulukan. Sedangkan dalil-dalil lainnya, tidak ubahnya
sebagai sarana. Jadi, tujuan harus didahulukan daripada sarana.
At-Tufi
menganggap bahwa maslahat hanya ada pada masalah yang berkaitan dengan mu'amalat dan yang sejenisnya, bukan
pada masalah yang berhubungan dengan ibadat atau yang serupa, karena, masalah
ibadat hanya hak Syari'. Tidak mungkin seseorang mengetahui hakekat yang
terkandung di dalam ibadat, baik kualitas maupun kuantitas, waktu atau tempat,
kecuali hanya berdasarkan petujuk resmi Syari'. Kewajiban hamba hanyalah
menjalankan apa saja yang telah diperintahkan oleh Tuhannya. Misalnya, pembantu
tidak akan dikatakan sebagai seorang yang taat jika tidak menjalankan perintah
yang telah diucapkan oleh tuannya, atau mengerjakan apa saja yang sudah menjadi
tugasnya. Demikian halnya dalam masalah ibadat. Karenanya, ketika para filosof telah mulai mempertuhankan akal, dan mulai
menolak syari'at, tentulah Allah amat
murka terhadap mereka. Mereka tersesat jauh dari kebenaran. Bahkan mereka
sangat menyesatkan.[9]
Apakah hukuman
fisik bagi anak-anak,[10]
mengandung kemaslahatan, dan membawa manfaat
bagi kehidupan remaja, sedangkan mafsadah
mengakibatkan mudharat bagi
kehidupan.[11] Apa
yang disebut dengan maslahat, perlu
mendapat kriteria dan batasan-batasan tertentu sehingga keberadaan maslahat
tidak dijadikan sebagai satu “tempat berlindung” untuk bisa melegalisasi
permasalahan-permaslahan yang sebenarnya tidak masuk dalam kategori maslahat.
Menurut jumhur ulama’, untuk kriteria maslahat apabila dilihat akan muncul
sebagai beikut:
1. Kemaslahatan
itu harus diukur kesesuaiannya dengan maqashid al- syari’ah, dalil-dalil
kulli, (general dari Al Qur’an dan Al- Sunnah), semangat ajaran,
dan kaidah kulliyah hukum Islam.
2. Kemaslahatan
itu harus meyakinkan, dalam arti harus berdasarkan penelitian yang akurat,
hinga tidak meragukan lagi.
3. Kemaslahatan itu
harus memberi kemanfaatan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, bukan
sebagian masyarakat kecil.
4. Kemaslahatan
itu memberikan kemudahan, bukan mendatangkan kesulitan dalam arti dapat
dilaksanakan dan pilih yang terbaik di antara yang baik.[12]
a.Kemaslahat dan batasannya
Para ahli ushul
fiqh membagi maslahat menjadi tiga macam, yaitu: maslahah mu'tabarah,
maslahah mulghah dan maslahah mursalah. Maslahah mu'tabarah adalah maslahat yang terdapat pada hukum yang
ditetapkan oleh nash, seperti
maslahat pada hukum qishash. Hukum ini ditetapkan oleh QS. Al-Baqarah
ayat 178 dan 179. Hikmah dari maslahat yang ditimbulkan oleh qishash ialah
melestarikan hidup manusia. Begitu juga maslahat yang terdapat pada hukum
potong tangan pencuri dan maslahat yang ada pada hukum Had al-qadzaf (hukuman
seseorang yang menuduh berzina).
Semua maslahat
ini telah diterangkan dalam Nash Al-Qur'an. Jadi, memotong tangan pencuri itu
sendiri merupakan maslahat dan ia disebut maslahat
mu'tabarah karena maslahat itu bersumber dari syariah. Sedangkan maslahah mulghah
adalah maslahat yang dianggap invalid oleh syariah atau dengan kata lain
bahwa maslahat itu merupakan maslahat yang keberadaanya diingkari oleh syariah,
seperti maslahat zina. Kenikmatan yang didapat dari zina, secara material bisa
disebut maslahah tetapi ia dibatalkan oleh sya-riah melalui nash-nash yang ada.
Demikian juga maslahat riba, minum arak dan lain sebagainya.
Untuk mengetahui
kapan suatu maslahat itu dianggap valid (mu'tabarah)
dan bisa dijadikan landasan suatu hukum, ada lima syarat atau batasan yang bisa
dijadikan titik tolak. Kelima syarat tersebut ialah:
1. Maslahat
tidak bertentangan dengan maqasid syariah.
2. Maslahat
tidak bertentangan dengan nash Al-Quran.
3. Maslahah
tidak bertentangan hadits Nabi.
4. Maslahat
tidak bertentangan dengan qiyas (analogi).
5. Maslahat
tidak bertentangan dengan maslahat lainnya yang lebih penting atau maslahat
yang sejajar dengannya.
Kelima syarat
ini merupakan batasan atau standar yang digunakan untuk membedakan antara maslahah mu'tabarah (yang dapat
dijadikan dasar hukum) dan maslahah mulghah (yang tidak dapat dijadikan dasar
hukum).(7 Seorang mujtahid harus benar-benar menguasai dan mendalami
batasan-batasan di atas. Dan di sinilah tingkat kejeniusan seorang mujtahid
diuji. Peta penguasaannya terhadap nash dapat diukur dari sejauh mana ia bisa
menggunakan batasan-batasan itu dalam beristinbath sebagaimana mestinya.
Kesimpulan para
ahli ushul fiqh yang mengatakan bahwa setiap hukum pasti akan berujung pada
suatu maslahat.[13]
Hukum tidak pernah lepas dari maslahat,
tetapi maslahat tidaklah merupakan dasar hukum yang berdiri sendiri. Kedudukan
maslahat tidak seperti kedudukan Al-Qur’an, Sunnah Nabawiyah, ijma’ dan qiyas
sebagai dalil mustaqil (berdiri
sendiri). Mengapa? Karena maslahat pada
dasarnya hanyalah merupakan makna umum yang secara implisit berada di balik
hukum-hukum juz’iy (parsial).
Sementara hukum-hukum juz’iy itu
sendiri tidak akan ada tanpa melalui proses istinbath.
9.6.3. Masalahat
dalam kaidah fiqih dalam realitas
Bertitik tolak dari pernyataan bahwa tujuan
hukum Islam adalah untuk kemaslahatan,
menimbulkan persoalan tentang hubungan nash Al-quran atau Sunnah Rasul dengan maslahat merupakan salah
satu permasalahan yang pelik dan penting. Ijtihad atas dasar maslahat sebagai
tujuan hukum Islam sering memungkinkan tidak diterapkannya ketentuan nas
menurut apa adanya, tetapi diterapkan dengan cara lain atau bahkan tidak
diterapkan sama sekali.
Untuk
pengembangan maslahat dalam legislasi Indonesia kontemporer erat kaitannya
dengan pengembangan budaya hukum Islam. Dalam pengembangan budaya hukum Islam
di Indonesia kaum muslimin dihadapkan pada kemungkinan, yaitu hukum positif
Islam yang terbatas pada mempermasalahkan hukum yang berlaku bagi kaum
muslimin, dan nilai-nilai hukum Islam, yang akan berlaku bagi seluruh warga
negara, bahkan mungkin seluruh penduduk (termasuk yang bukan warga negara).
Kedua alternatif tersebut akan mempengaruhi pembentukan hukum nasional pada
masa yang akan datang.
Bertolak dari
kerangka pemikiran bahwa hukum positif Islam pada masa mendatang adalah hukum
yang bersumber dari nilai-nilai agama Islam dan dihubungkan pula dengan teori
peringkatan hukum, maslahat dalam hukum Islam dapat diterjemahkan sebagai
maslahat rakyat dalam segala aspeknya, mencakup bidang yang begitu luas,
seperti ekonomi, hukum, politik dan sebagainya (mu'amalah). Dan maslahat
menempati posisi sebagai nilai-nilai Islam (norma hukum) yang abstrak atau
cita-cita hukum. Oleh karena itu, dibutuhkan formulasi asas-asas, peraturan
(perundang-undangan) atau bentuk legislasi lainnya sebagai norma antara yang
merupakan kreativitas ijtihad yang disesuaikan dengan situasi, kondisi, budaya
dan kurun waktu. Semua hasil penerapan dan penegakan norma antara tersebut
menjadi hukum positif yang merupakan norma konkret (living law) masyarakat.
Apabila
formulasi dan aplikasi suatu peraturan perundang-undangan dalam berbagai bidang
seperti ekonomi, politik, hukum (norma antara) mampu mewujudkan maslahat rakyat
banyak dalam arti sebenarnya dan dapat pula merekayasa tercapainya cita-cita
kehidupan rakyat banyak, berarti aturan-aturan tersebut masih mungkin dan dapat
dipertahankan. Akan tetapi, jika sebaliknya, justru formulasi dan aplikasi
berbagai peraturan perundang-undangan dalam berbagai lapangan kehidupan rakyat
banyak itu tidak mampu lagi menampung aspirasi kerakyatan dikarenakan adanya
faktor perubahan situasi dan kondisi, perlu diganti dengan aturan-aturan yang
baru yang betul-betul aspiratif. Dengan demikian, maslahat rakyat merupakan
cita-cita atau tujuan yang hendak diwujudkan, sedangkan peraturan-peraturan
undang-undang merupakan sarana untuk mewujudkan cita-cita kerakyatan. Oleh
karena itu efektivitas suatu sarana dapat dipantau oleh masyarakat. Dalam
kaitan ini, yang terpenting adalah bagaimana nilai-nilai Islam dapat terpatri
dalam kehidupan bernegara, masyarakat, bangsa, keluarga dan individu, kemudian
mengakkan keadilan sosial dan menciptakan suatu masyarakat egalitarian, jauh
dari eksploitasi manusia atas manusia lain maupun eksploitasi golongan atas
golongan lain. Dengan kata lain, hukum Islam tidak dalam norma, melainkan dalam
substansinya.
Maslahat menjadi
syarat utama dalam pengambilan setiap kebijakan yang diambil oleh para penguasa
atau pemimpin. Maslahat yang bisa dikategorikan sebagai landasan dalam
pengambilan hukum mempunyai beberapa syarat yang harus terpenuhi, di antara
syarat-syarat tersebut dikemukakan oleh MUI dan jumhur ulama’ sendiri. Di
antara konsep maslahat yang banyak dipakai adalah konsep yang digagas dari
Najmuddin At- tufi. Dalam pemikirannya,
berpendirian bahwa mashlahat
adalah tujuan penetapan hukum Islam dalam lapangan mu'amalah, apabila penerapan nash
atau ijma' sesuai dengan bunyi tekstualnya bertentangan dengan maslahat dan
tidak dapat dikompromikan. Maslahat hendaklah lebih diutamakan daripada
dalil-dalil syara' lainnya.
Maslahat
merupakan tujuan sedangkan dalil-dalil syara' merupakan sarana untuk mencapai
tujuan, karena itu tujuan hendaklah lebih diutamakan daripada sarana. Dalam
perspektif pembaruan (reaktualisasi) hukum Islam dalam bidang mu'amalah dewasa
ini, maslahat tokoh tersebut dapat dijadikan rujukan dengan cara mendasarkan
konsep maslahat tersebut sebagai substansi yang disarikan dari Alquran dan
hadits serta dapat dipertanggungjawabkan secara keagamaan. Konsep tersebut
memberikan jalan keluar bahwa dalam masalah mu'amalah umat Islam,seperti
kehidupan sosial, ekonomi, politik dan lain-lain, penentuan boleh tidaknya
sesuatu ditekankan pada maslahat umum dengan mempertimbangkan situasi dan
kondisi kehidupan manusia sebagai praktisi hukum.
9.6.4.Analisis
Saddu al-dzari’ah
Di antara metode penetapan hukum
yang dikembangkan para ulama adalah sadd al-dzari’ah dan fath al-dzari’ah. Metode sadd al-dzari’ah merupakan
upaya preventif agar tidak terjadi sesuatu yang menimbulkan dampak negatif.
Metode hukum ini merupakan salah satu bentuk kekayaan khazanah intelektual
Islam yang –sepanjang pengetahuan penulis–tidak dimiliki oleh agama-agama lain.
Selain Islam, tidak ada agama yang memiliki sistem hukum yang didokumentasikan
dengan baik dalam berbagai karya yang sedemikian banyak.
Menurut penulis UU RI Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak juga memuat pasal-pasal yang sejalan dengan Sadd al-Zari’ah, karena merupakan upaya melindungi anak Indonesia
dari perlakuan yang sewenang-wenang. Namun, eksistensinya seringkali dijadikan
“alat” untuk menjustifikasi kesalahan anak. Kondisi ini berdampak semakin
sulitnya guru melaksanakan tugas kependidikan untuk menegakkan kedisiplinan,
terutama membina kepribadian anak dengan akhlak yang terpuji. Bila dalam
pendidikan dikenal pemberian penghargaan (reward) dan hukuman (funishment),
sebagai salah satu alat pendidikan, maka dengan adanya UU Perlindungan Anak dan
KPAI, seakan dunia pendidikan kehilangan salah satu alat dalam melaksanakan
proses pendidikan. Padahal, eksistensi reward dan funishment sangat penting
dalam pencapaian tujuan pendidikan.
Adanya KPAI dan UU Perlindungan
Anak secara yuridis melarang adanya tindakan kekerasan terhadap peserta didik.
Padahal, sebagai seorang pendidik, guru/dosen memiliki otoritas akademik di
dalam kelas untuk menegakkan disiplin agar tercapai tujuan pembelajaran yang
dilaksanakan. Di sisi lain, seringkali terlupakan adalah alasan hukuman yang
dilakukan guru. Untuk itu, perlu dilakukan uji materi (judicial review) terhadap UU. Perlindungan Anak, khususnya pasal
80, 81, dan 82. Sebab, belum tentu tindakan guru murni kesalahannya, akan
tetapi akibat kesalahan yang dilakukan peserta didiknya.
Perlakuan terhadap guru, sebagai tenaga pendidik,
mereka seringkali berada pada posisi yang dilematis, antara tuntutan profesi
dan perlakukan masyarakat. Mereka dituntut untuk mampu menghantarkan peserta
didik mencapai tujuan pendidikan. Namun tatkala mereka berupaya untuk
menegakkan kedisplinan, mereka dihadang oleh UU Perlindungan Anak dan KPAI.
Jika mereka gagal menegakkan kedisiplinan peserta didiknya dan gagal
menghantarkan peserta didik pada pencapaian tujuan pendidikan, kembali pendidik
akan menjadi kambing hitam dan tumbal atas kegagalan tersebut.
Tatkala guru ingin melakukan
hukuman terhadap muridnya dalam rangka menegakkan kedisiplinan, maka secara
sepontan orang tua dan masyarakat mengkategorikannya sebagai tindakan melanggar
HAM dan UU Perlindungan Anak. Mereka kemudian melaporkan tindakan guru tersebut
kepada polisi atau kepada KPAID. Dengan kekuatan tersebut, acapkali guru tidak
mendapatkan perlindungan terhadap profesinya. Akibat adanya KPAID dan UU
Perlindungan Anak, eksistensi guru berada pada posisi sangat pasif dan menjadi
sosok yang serba salah.[14]
Urgensi UU Guru dan Dosen, secara
yuridis, UU Perlindungan Guru dan Dosen telah termuat dalam UU No 14/2005. Hal
ini terlihat jelas pada Bab VII pasal 39 yang menyebutkan bahwa pemerintah,
masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan wajib memberikan
perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas.Adapun maksud perlindungan
profesi yang diamanatkan dalam UU No 14/2005 tentang guru dan dosen adalah
perlindungan terhadap Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang tidak sesuai dengan
peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, pemberian imbalan yang tidak
wajar, pembatasan dalam menyampaikan pandangan, pelecehan terhadap profesi, dan
pembatasan/pelarangan lain yang dapat menghambat guru dalam melaksanakan
tugasnya. Sementara perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja meliputi
perlindungan terhadap risiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja,
kesehatan, dan/atau resiko lainnya.
Eksistensi UU No 14/2005 telah memuat
perlindungan terhadap guru atas profesinya. Implementasi terhadap UU tersebut
masih belum terlaksana. UU tersebut lebih banyak disoroti sebagai kekuatan
hukum atas peningkatan kesejahteraan guru/dosen, sementara perlindungan
terhadap profesi guru/dosen seringkali lepas dari perhatian. Jalan tengah perlu
diciptakan. Ahli hukum, tidak mungkin,
menutup mata terhadap tindakan oknum guru yang kurang mendidik dengan
memberikan hukuman di luar nilai pendidikan. Mereka bisa saja, meletakkan
peserta didiknya sebagai “penjahat” yang harus “dihabisi,” bukan sosok yang
perlu dibimbing dan diperbaiki. Demikian pula sikap orang tua yang mulai
mengalami pergeseran dalam memandang profesi guru. Mereka terlalu banyak
menuntut guru agar dapat mengantarkan peserta didik sebagai masyarakat
terdidik, namun tidak seiring dengan kenyamanan dan perlindungan yang
diberikan.
Menurut penulis, ada beberapa
langkah yang perlu diperhatikan guru dalam menghukum murid yang bersalah. Pertama,
memberikan laporan kepada orang tua murid perihal prilaku anak mereka dengan
cara pemanggilan secara langsung. Tahapan ini dilakukan sebanyak 2 kali dengan
ikut melibatkan guru BK. Kedua, bila selama 2 kali pemanggilan tidak menunjukan
perubahan dan kerjasama yang baik, seorang guru bisa memberikan hukuman dengan
syarat : (1). Hukuman fisik, tidak pada tempat yang vital. (2) Hukuman
dilakukan dalam bentuk yang mendidik. (3) Hukuman dilaksanakan secara adil dan
ikut mempertimbangkan aspek psikologis peserta didik.[15]
[4]Pengertian
ini, filsafat Aristoteles mengatakan bahwa keadilan dibagi menjadi dua, pertama
adalah keadilan distributive dan keadilan commutative. Keadilan distributive
memberikan gambaran untuk memberikan keadilan sesuai dengan haknya
masing-masing, dengan kata lain kemaslahatan fardiyyah dan bukan kemaslahatan
secara umum.
[6]Tasharruful
Imam ‘Ala Al-
Ra’iyah Manutun Bi al
-Maslahah
.Kebijaksaanaan pemimpin
terhadap rakyatnya, berorientasi kepada kesejahteraan rakyatnya.Kaedah ini
merupakan bagian dari kaedah ushul, yang berbeda dengan kaedah fiqhiyah. Kaedah
ushul meliputi semua bagian, seangkan kaedah fiqih hanya bersifat aghlabiyah,(pada
umumnya), sehingga banyak sekali pengecualiannya.Ke- mudian bisa menjadi cara
untuk menetapkan hukum syara‘ yang praktis. Lihat H.A.Djazuli, Kaedah-Kaedah
Fiqih dalam menuelesaikan Masalah Yang Praktis, Kencana Prenada Media
Group,Jakarta :2007), 23.
[8]
Najamuddin at Tufi. 1954. Syarh al-Hadis Arba'in an-Nawaiyah dalam
Mustafa Zaid. al-Maslahat fi at-Tasyri'i al-Islami wa Najmuddin at-Tufi.(Bagian
Lampiran) Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi, hlm. 243.
[10]Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam juga bersabda,
“Shalat Jum’at merupakan suatu
kewajiban bagi setiap muslim dengan berjama’ah kecuali empat golongan: [1]
budak, [2] wanita, [3] anak kecil, dan [4] orang yang sakit.”HR. Abu Daud no. 1067.Lihat Ibnu Rusyd, Bidayatul
Mujatahid, Semarang, Toha Putra, tth, 326. Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid
analisa fiqh para mujtahid jilid II,(Jakarta:Pustaka Amani, 2007),.3.
[12]Setara
dengan ini, adalah istihsan, misalnya ulama yang tidak dapat melihat, baitul
haram, harus berusaha keras menghadapnya dengan tepat atau menemukannya dengan
jalan qiyas. Istihsan menurut bahasa berarti menganggap baik atau mencari yang
baik. Qiyas berbeda dengan istihsan. Pada qiyas ada dua peristiwa atau
kejadian. Peristiwa atau kejadian pertama belum ditetapkan hukumnya karena
tidak ada nash yang dapat dijadikan dasarnya. Untuk menetapkan hukumnya dicari
peristiwa atau kejadian yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan
nash dan mempunyai persamaan 'illat dengan peristiwa pertama. Berdasarkan
persamaan 'illat itu ditetapkanlah hukum peristiwa pertama sama dengan hukum
peristiwa kedua. Sedang pada istihsan hanya ada satu peristiwa atau kejadian.
Mula-mula peristiwa atau kejadian itu telah ditetapkan hukumnya berdasar nash.
Kemudian ditemukan nash yang lain yang mengharuskan untuk meninggalkan hukum
dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan itu, pindah kepada hukum
lain, sekalipun dalil pertama dianggap kuat, tetapi kepentingan menghendaki
perpindahan hukum itu. Menurut ulama
ushul fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa
atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara', menuju (menetapkan) hukum
lain dari peristiwa atau kejadian itu juga, karena ada suatu dalil syara' yang
mengharuskan untuk meninggalkannya. Dalil yang terakhir disebut sandaran
istihsan. Lihat Imam Syafii, Al-Risalah, terj,( Pustaka Azzam, Jakarta: 2008), hlm. 529.
[13]Sementara Imam Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i
mengatakan :“ orang yang meninggalkan adalah fasik dan tidak kafir”,
namun, mereka berbeda pendapat mengenai hukumannya, menurut Imam Malik dan
Syafi’i “diancam hukuman
mati sebagai hadd”, dan
menurut Imam Abu Hanifah “diancam
hukuman ta’zir, bukan hukuman mati”. Apabila masalah ini
termasuk masalah yang diperselisihkan, maka yang wajib adalah dikembalikan
kepada kitab Allah dan sunnah Rasulullah SAW., karena Allah berfirman : “Tentang sesuatu apapun yang kamu
perselisihkan, maka putusannya dikembalikan kepada Allah.” QS. As- Syura, 10 .Hukum itu berputar di atas
‘ilat hukumnya, ada atau tidak ada hukumnya. Situasi dan kondisi berubah,
hukumnya kadang-kadang tidak ada.Lihat Masjfuq Zuhdi, Masa’il al-Fiqhi,
Kapita Selekta Hukum Islam, (PT.Toko
Gunung Agung, Jakarta: 1997), hlm. 252.
[14]
Menghukum anak, menjadi serba salah, karena salah hukum, dapat menimbulkan fitnah,
seperti yang diisyaratka QS Al-Taghabun: 14.
Al-Imam At-Tirmidzi t dalam Sunan-nya (no. 3317) membawakan asbabun
nuzul (sebab turunnya) surah At-Taghabun ayat 14 ini, dari riwayat Ibnu ‘Abbas
c. Tatkala ada yang bertanya kepada Ibnu ‘Abbas c tentang ayat ini, beliau
menyatakan: “Mereka adalah orang-orang yang telah berislam dari penduduk Makkah
dan mereka ingin menda-tangi Nabi I, namun istri dan anak mereka enggan ditinggalkan
mereka. Ketika mereka pada akhirnya mendatangi Rasulullah I, mereka melihat
orang-orang yang lebih dahulu berhijrah telah tafaqquh fid dien (mendalami
agama), mereka pun berkeinginan untuk memberi hukuman kepada istri dan
anak-anak mereka. Allah I lalu menurunkan ayat 6:Namun riwayat asbabun nuzul
ini dha’if (lemah) sebagaimana dinyatakan oleh Asy-Syaikh Al-’Allamah Muqbil
bin Hadi Al-Wadi’i t, dalam karya beliau Ash-Shahihul
Musnad min Asbabin Nuzul, tt.), hlm.
249.
[15]Bila
UU No 20/2003 menuntut pencapaian kualitas yang maksimal, menuntut pendidik
menjadi profesional, seyogianya diiringi dengan adanya UU Profesi Pendidik.
Meskipun dalam UU No 14/2005 secara tegas telah melindungi profesi guru dan
dosen, namun dalam dataran implementasi kekuatan UU tersebut masih tak terlihat
berkontribusi terhadap nasib guru/dosen sebagai tenaga pendidik. Untuk itu,
sudah pada saat dan tempatnya jika guru/dosen membangun kekuatan solidaritas
untuk mendorong pemerintah memperbaiki kondisi kerja guru/dosen dan melindungi
profesi mereka dengan kekuatan hukum yang jelas. Bunadi Hidayat,op.cit., hlm. 178.
No comments:
Post a Comment