KATA
PENGANTAR
KATA “ Perangi
anakmu, kemanjaannya”, mengingat tantangan masa depan yang
penuh dengan persaingan ketat, orang yang manja akan tersingkir secara alami, karena itu kemanjaan itu harus diperangi, seperti yang dilakukan oleh Umar bin Khattab dan Umar bin Abdul Aziz. Tapi
memerangi ni, agak menyeramkan, namun sebenarnya "memerangi" dalam artian mendidik dan mengikuti aturan hukum negara dan akhlakul
karimah dlam Islam. Karena itu hal ini menarik bagi penulis untuk membahasnya, dari satu bab dalam disertasi penulis di UIN Suska Riau. Namun setalah mendapat bimbingan dari para guru besar, ada sedikit penambahan dan penajaman konsepnya. Penulispun mencoba membandingkannya dengan negara yang mayoritas muslim, misalnya Malaysia dan dan Pakistan.
MEMERANGI
KEJAHATAN ANAK DALAM DIMENSI
HUKUM
PIDANA ISLAM
A.Esensi Hukum Pidana Islam
1. Jarimah
Dalam kitab al-Ahkam as-Sultaniyyah, Al-Mawardi
mengungkapkan, esensi
hukum Islam adalah
menegakkan keadilan berdasarkan kemauan pencipta manusia sehingga terwujud
ketertiban dan ketentraman masyarakat.Namun apabila hukum Islam dilihat dari
ketetapan hukum yang dibuat oleh Allah dan Nabi Muhammad, baik yang
termuat di dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits
dalam
hukum Islam, tindak pidana (delik,
jarimah), [1]diartikan
sebagai perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syarak atau agama yang diancam
oleh Allah dengan hukuman hudud (hukum atau ketetapan Allah SWT) atau takzir
(putusan hukum yang ditetapkan oleh hakim). Larangan-larangan syarak tersebut,
menurut Al-Mawardi, bisa berupa mengerjakan perbuatan yang memang dilarang atau
meninggalkan perbuatan yang diperintahkan.
Abdul Qadir Audah dalam At-Tasyri
al-Jinai al-Islamy Muqaran bil bil Qanunil Wad'iy menegaskan, pengertian
tindak pidana menurut hukum Islam sangat sejalan dengan pengertian tindak
pidana (delik) menurut hukum konvensional kontemporer. Pengertian tindak pidana
dalam hukum konvensional adalah segala bentuk perbuatan yang dilarang oleh
hukum, baik dengan cara melakukan perbuatan yang dilarang maupun meninggalkan
perbuatan yang diperintahkan. Jinayah
didefinisikan sebagai perbuatan yang diharamkan atau dilarang karena dapat
menimbulkan kerugian atau kerusakan agama, jiwa, akal, atau harta benda.Dalam
Islam dikenal dengan istilah al-Ahkam al-Jina'iyah atau hukum pidana. Al-ahkam al-jina'iyah bertujuan untuk
melindungi kepentingan dan keselamatan umat manusia dari ancaman tindak
kejahatan dan pelanggaran sehingga tercipta situasi kehidupan yang aman dan
tertib.
Dasar larangan dan hukuman, menurut Audah, perbuatan-perbuatan yang
dikategorikan sebagai tindak pidana adalah suatu perintah dan larangan yang
apabila dilanggar akan mengakibatkan dampak yang buruk, baik bagi sistem
ataupun aturan masyarakat, akidah, kehidupan individu, keamanan harta,
kehormatan diri (nama baik), perasaannya, maupun berbagai pertimbangan lain
yang harus dipelihara. Pensyari’atan hukuman terhadap setiap tindak pidana
dalam hukum Islam bertujuan untuk mencegah manusia melakukan tindakan tersebut.
Seandainya tidak ada hukuman, perintah dan larangan tersebut tidak memiliki
arti apa pun dan tidak memberikan pengaruh. "Karena itu, kenyataan bahwa
hukuman dapat melahirkan rasa aman dan pengendalian (atas manusia) merupakan
suatu perkara yang telah dipahami dan hasilnya sesuai yang diharapkan,"
papar Audah. Menurut Audah,
hukuman juga dapat mencegah manusia untuk berbuat tindak pidana, menolak
kerusakan di muka bumi, dan mendorong manusia untuk menjauhi perkara yang
membahayakan.
Dalam hal ini, walaupun hukuman ditetapkan untuk mewujudkan kemaslahatan
umum, hakikat pidana itu sendiri bukanlah suatu kebaikan, melainkan suatu
perusakan bagi pelaku itu sendiri (seperti hukuman mati, potong tangan, dan
lainnya). "Meskipun begitu, hukum Islam tetap mewajibkan adanya hukuman.
Sebab, hukuman dapat membawa kemaslahatan yang hakiki bagi masyarakat sekaligus
memelihara kemaslahatan tersebut," tuturnya.Penetapan suatu hukuman
cenderung mengarah kepada hal-hal yang tidak disukai manusia, yakni selama hukuman
itu memberikan kemaslahatan masyarakat dan mencegah hal-hal yang disukai
mereka, selama hal itu dapat merusak mereka.
Hal itu ditegaskan dalam hadits Rasulullah SAW, "(Jalan menuju)
surga itu dikelilingi dengan hal-hal yang tidak disukai, sedangkan neraka
dikelilingi dengan hal-hal yang disukai."Allah SWT yang mensyariatkan
hukum, kata Audah, sama sekali tidak terkena dampak dari kemaksiatan yang
dilakukan oleh seluruh manusia. Allah juga tidak mendapatkan manfaat dari
ketaatan manusia kendati hal itu dilakukan oleh seluruh manusia. Allah justru
menetapkan diri-Nya untuk senantiasa memberikan rahmat kepada seluruh
hamba-Nya. Sebagaimana Dia telah mengutus para rasul sebagai rahmat untuk
semesta alam untuk menyelamatkan.
Ada data penelitian yang dihimpun melalui kajian atas isi putusan Pengadilan Negeri Surabaya tentang pencabulan yang dilakukan anak di bawah umur dan dokumenter (literature) dan selanjutnya dianalisis dengan teknik deskriptif analisis serta kesimpulan di peroleh melalui pola berfikir deduktif.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa putusan hakim dalam menjatuhkan perkara Nomor : 33/Pid.B/2008/PN.Sby. bagi pelaku pencabulan yang dilakukan anak di bawah umur dengan memvonis 6 (enam) bulan, membebankan biaya perkara Rp. 1000 (Seribu Rupiah) dan denda Rp. 1.000 (Seribu Rupiah), selain memenuhi Pasal 290 KUHP hakim juga berdasarkan pada pertimbangan hal-hal yang memberatkan dan pada hal-hal yang meringankan.
Menurut UU perlindungan anak No. 23 Tahun 2002 pasal 81 dan 82 pelakunya dijatuhi dengan hukuman penjara paling singkat 3 tahun dan hukuman penjara paling lama 15 tahun dan denda paling sedikit Rp. 60.000.000 (Enam Puluh Juta Rupiah) dan paling banyak Rp. 300.000.000 (Tiga Ratus Juta Rupiah).
Sedangkan Hukum Pidana Islam tidak membolehkan untuk menjatuhkan hukuman pidana bagi anak di bawah umur, tetapi dalam rangka mendidik dan mengarahkan kepada kemaslahatan, maka anak di bawah umur dapat dijatuhi hukuman taâzir.[2] Berdasarkan analisis di atas, penulis menyarankan bagi penegak hukum agar dapat melindungi hak-hak anak sebagaimana dalam undang-undang tersebut, bagi orang tua agar masa depannya lebih baik.
B.Karakteristik Hukum Pidana Islam
Para ahli hukum Islam (fuqaha)
menempatkan jinayah (Hukum Pidana
Islam) memiliki sifat dan karakter yang berbeda dengan hukum pidana positif
suatu negara. Perbedaan ini terletak pada otoritas pembentukan hukumnya, yang
bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah, karena itu dari sudut pandang ini
pelaksanaan hukum pidana Islam sebagai bagian dari ibadah atau sebagai wujud
ketaqwaan hamba kepada Tuhannya, untuk mengawal tingkah laku manusia agar
sesuai dengan kehendak Sang Pencipta.[3]
Ketentuan hukum pidana Islam sering
dipahami sebagai doktrin, sehingga melahirkan pandangan bahwa hukum pidana
Islam tidak mungkin untuk diubah atau diganti dalam pelaksanaannya seperti
halnya melaksanakan doktrin agama mengenai aqidah dan ibadah. Sehingga timbul
kesan kurang memberi kesempatan atau peluang untuk mengkaji dari sudut pandang
ilmu pengetahuan yang berusaha membuktikan kebenaran hukum. Hukum pidana Islam
ditempatkan sebagai bagian hukum dari ajaran Islam, tetapi ketentuan hukum itu
masih memberi ruang gerak akal manusia untuk melakukan ijtihad guna merespon
perkembangan masyarakat yang terjadi saat ini. Hukum pidana Islam selain
sebagai hukum normatif dalam mengatur dan melaksanakan hukum, sedang ijtihad
yang dipergunakan untuk mengisi hukum ta’zir
dan hukum acaranya. [4]
Hukum
pidana Islam dapat ditemukan dalam berbagai ayat yang tersebar diberbagai surat
dalam al-Qur’an dan Sunnah. Dari kedua sumber tersebut diperoleh suatu kaidah
(asas) yang mengatur beberapa perbuatan yang dilarang dan yang diancamkan
kepada orang yang melakukan pelanggaran hukum. Selanjutnya para fuqaha
mensistematisir dalam bentuk kitab hukum, pada umumnya fuqaha menggolongkan
jarimah ke dalam: jarimah hudud, jarimah qishash-diyat, dan jarimah ta’zir.
Dalam Al-Qur’an dan Sunnah, mengenai
larangan-larangan untuk melakukan perbuatan tertentu yang disertai dengan
ancaman sanksi pidana hanya terhadap perbuatan-perbuatan tertentu, yang
dikategorikan sebagai perbuatan yang berat atau bersifat pokok atau utama (hudud
dan qishash-diyat), dalam hal ini al_Qur’an dan Sunnah juga memberikan
penjelasan mengenai cara menerapkan aturan nash dan menerapkan ancaman sanksi
pidananya baik secara khusus maupun secara umum. Sedangkan bentuk
perbuatan-perbuatan lain yang dilarang dalam nash yang tidak disertai dengan ancaman
sanksi pidana jumlahnya lebih banyak (ta’zir [5]).
dalam hal ini al-Qur’an dan Sunnah tidak mengatur secara tegas mengenai
bagaimana cara menerapkan jenis hukuman secara khusus, tetapi ada sebagian nash
yang memuat perintah atau himbauan umum agar berlaku baik, bijaksana atau
berlaku adil dalam mengadili suatu perkara.
Dalam hal ini, ketentuan Allah dalam
jinayat itu berhubungan dengan
perbuatan yang dilarang, karena itu ia berfungsi sebagai social control dan
social engeeniring of law dalam mengawal tingkah laku atau perbuatan
manusia agar sesuai dengan eksistensi dan martabat manusia sebagai makhluk
terbaik.
1.Ketentuan Allah Sebagai Penjaga Eksistensi Manusia
Ketentuan-ketentuan Allah yang
menjaga eksistensi manusia secara permanen itu disebut “had”, jamaknya “hudud”,
artinya ketentuan (hukum) yang telah ditentukan Allah, dan menjadi hak
Allah. karena itu cara penerapannya sangat teliti dan hati-hati, dalam hal ini
Nabi bersabda yang artinya: “ Hindarilah
hukuman hudud karena ada syubhat”[6]. Jarimah had dibagi menjadi dua yaitu hudud dan qisas-diyat.
Macam-macam jarimah hudud telah ditentukan yaitu zina, qadzaf, sirqah,
syurbah, hirabah, riddah, dan bughah.[7]
Dan jarimah qisas-diyat yaitu qatl al-‘amd, qatl syibh al-‘amd, qatl
al-khata’, jarh al-‘amd, dan jarh al-khata’.
Secara umum tujuan hukum Islam adalah
untuk kemaslahatan manusia, artinya semua kewajiban, baik perintah, larangan,
dan anjuran pada hakekatnya kembali untuk memelihara tujuan hukum[8](dhoruriyah,
hajiyah, dan tahsiniyah). Karena itu, hal-hal yang bersifat dharuriyah
(primer) dari tujuan hukum itu dapat diklasifikasi sebagai berikut:
Pertama, semua pokok ibadah pada dasarnya untuk memelihara agama dan
eksistensinya, seperti iman, mengucapkan dua kalimat syahadat. Sedangkan semua
masalah kebiasaan pada dasarnya untuk memelihara eksistensi jiwa dan akal,
seperti makan, minum, berpakaian, dan mendiami rumah.
Kedua, semua masalah muamalah pada dasarnya untuk memelihara
eksistensi harta dan keturunan, termasuk juga memelihara eksistensi jiwa dan
akal.
Ketiga, sedangkan jinayat sebagai manifestasi dari amar ma’ruf nahi
munkar pada dasarnya untuk memelihara dan menjaga semua eksistensi tersebut di
atas dari kerusakan.
Masalah jinayat yang tercakup dalam
jarimah hudud dan qaisas-diyat yang disyariatkan pada dasarnya untuk memelihara
eksistensi manusia dan kemuliaan manusia, sebagai pembeda antara manusia dengan
makhluk lain, seperti hukuman had qisas-diyat untuk memelihara eksistensi jiwa
dari pembunuhan dan penganiayaan, hukuman had minuman keras untuk memelihara
eksistensi akal, hukuman zina untuk memelihara eksistensi asal-usul (keturunan)
manusia, hukuman had pencurian untuk memelihara eksistensi harta, hukuman had
hirabah untuk memelihara eksistensi jiwa dan harta. Maka upaya untuk memelihara
eksistensi itu pada dasarnya untuk penguatan martabat manusia, dan fuqaha’
telah merumuskan menjadi lima kategori, yaitu memelihara agama, memelihara
jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan, dan memelihara harta[9].Dan
hal-hal yang bersifat hajiyah (skunder) dari tujuan hukum itu
dapat dikategorikan sebagai berikut:
Pertama, hal yang primer
dalam ibadah disebut “azimah” (yang seharusnya), maka dalam keadaan
tertentu boleh dilakukan rukhsah (keringanan) dengan tujuan untuk menghindarkan
kesulitan, seperti karena sakit atau safar. [10]
Kedua, dalam masalah
kebiasaan, seperti makan, boleh memakan makanan yang lezat asalkan halal, boleh
memakai pakaian yang baik, boleh mendiami rumah yang baik, juga boleh memakai
kendaraan yang baik, dan lain sebagainya.
Ketiga, dalam masalah
muamalah, seseorang boleh jual-beli secara salam, dibolehkan juga dengan
istina’muzara’ah, murabahah, ijarah, musaqqah, dan lain-lain. Dalam perkawinan,
dibolehkan thalak untuk menghindari kemudlaratan dalam rumah tangga, dan
lain-lain. Masuk hajiyat juga, seperti memelihara kemerdekaan pribadi,
kemerdekaan beragama.
Keempat, dalam bidang uqubah (jinayah), seperti diharuskan tukang jahit mengganti kerugian atas
kain yang dirusakkan, tidak melaksanakan hudud karena syubhat (kesamaran) pada
perkara pidana, larangan menjual minuman keras dan sejenisnya, larangan
penimbunan barang, dan lain sebagainya.[11]
Adapun hal-hal yang bersifat tahsiniyah [12](tersier)
adalah semua yang layak dan pantas yang dibenarkan oleh adat kebiasaan yang
baik, yang semuanya tercakup dalam bagian akhlak karimah, antara lain:
Pertama, dalam hal ibadah, seperti kewajiban bersuci dari
najis, menutup aurat, memakai yang indah, mengerjakan amalan sunnah. Kedua, dalam hal kebiasaan,
seperti memelihara adab makan, minum, sopan santun terhadap orang yang lebih
tua, adab berkendaraan, adab dalam hubungan sesama manusia, dan lain
sebagainya.
Ketiga, dalam hal
muamalah, seperti menghormati tamu, larangan menjual benda najis, larangan
melakukan kekerasan dalam rumah tangga.
Keempat, dalam hal uqubah,
seperti melarang para wanita dengan memakai pakaian seksi dan merangsang seks
di jalan-jalan. Larangan membunuh orang yang sudah menyerah dalam peperangan.
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dipahami bahwa:
1.
Integritas moral suatu
bangsa akan menemukan jati dirinya dan akan menjadi karakter bangsa apabila
landasan spiritual masyarakat benar-benar melahirkan keyakinan yang kokoh dalam
jiwa setiap individu, sehingga melahirkan ketaatan dan kepatuhan terhadap
ketentuan hukum.[13]
2.
Dalam mengawal ketaatan
dan kepatuhan itu, Allah menetapkan perintah dan anjuran (sunnah) untuk
dilaksanakan dan larangan untuk ditinggalkan, dengan janji dan ancaman. Janji
bagi orang yang melaksanakan perintah dan anjuran akan dibalas kebahagian di
dunia dan di akherat kelak. Ancaman bagi
orang yang melanggar larangan akan dibalas dengan kesengsaraan,
ketidaktentraman dan neraka di akherat kelak.[14]
3.
Sedangkan dalam menjaga
eksistensi manusia yang paling asasi, Allah menetapkan hukuman (uqubah) yang telah ditentukan dalam
Al-Qur’an dan sunnah berupa hukuman had yaitu hudud dan qisas-diyat, sebagai
bentuk penjagaan yang konsisten, permanen sampai akhir zaman, dan sebagai wujud
dibedakannya manusia dengan makhluk yang lain. Sedangkan selain hudud dan qisas-diyat, yaitu ta’zir, yang cakupannya sangat luas, karena itu, eksistensinya diserahkan
sepenuhnya kepada manusia, pada zaman modern
ini mekanismenya sesuai dengan sistem ketata-negaraan dalan suatu
negara.[15]
C. Subjek
dan Objek Hukum Pidana Islam
Hukum apapun di dunia,tentu ada
sasarannya, begitu pula dalam Islam ada
subyek dan obyek Hukum Pidana Islam. Adakah batas minimal umur anak menurut konsep syar’i untuk kelayakan
mempertanggung jawabkan tindak pidana atas kerugian orang lain? Batas minimal umur untuk cakap berbuat dalam
hal ibadah berbeda dengan kecakapan mempertanggungjawabkan tindak pidana; batas
minimal umur anak untuk mempertanggungjawabkan tindak pidana disamakan antar
pelaku pria dan wanita; batas minimal umur dimaksud memakai standar tamyiz
yaitu tujuh tahun. Kemudian dikenal pula hukuman khusus untuk mendidik, yang
disebut dengan istilah Jarimah ta’zir.[16]
Dasar Pengambilan Hukum
Al Tasyri’ al Jana-i al Islamy I hal 601
فإذا ارتكب الصغير اية جريمة قبل بلوغه السابعة فلايعاقب عليها جنائيا ولا
تأديبيا
Pada usia berapa tahun seorang anak dapat digugat perdata atas perbuatan
hukumnya menurut hukum Islam?
Seorang anak dapat digugat perdata pada usia lima belas tahun dengan
syarat nyata baligh atau nyata rusyd (pandai),berakal
sehat.
Dasar Pengambilan Hukum
Al- Ashbah wa al- Nadza’ir 240
الاول ما لايلحق فيه بالبالغ
بلا خلاف وذلك في التكاليف الشرعية من الواجبات والمحرمات والتصرفات من العقود
والفسوخ والولايات
Al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu VII hal 739
تنتهي الولاية على النفس في
رأي الحنفية في حق الغلام ببلوغه خمسة عشر سنة
Al Tasyri’ al Jana-i al Islamy I halaman 602
مرحلة الادراك التام ويسمى
الإنسان فيها بالبالغ والراشد
Kapan anak dapat menjadi terdakwa pidana atau tergugat perdata tanpa
diwakili oleh orang tua kandungnya di hadapan hakim peradilan?
Anak dapat menjadi terdakwa pidana atau tergugat perdata tanpa diwakili
oleh orang tuanya dihadapan hakim pada usia 15 tahun (mukallaf)
Sharh Jamal ala al Minhaj V hal 409
وَقَوْلُهُ: تَكْلِيفُ كُلٍّ
أَيْ شَرْطُ صِحَّةِ الدَّعْوَى أَنْ يَكُونَ كُلٌّ مِنْ الْمُدَّعِي,
وَالْمُدَّعَى عَلَيْهِ مُكَلَّفًا فَلا تَصِحُّ مِنْ صَبِيٍّ وَلا مَجْنُونٍ وَلا
عَلَيْهِمَا وَكَوْنُهَا لا تَصِحُّ عَلَى الصَّبِيِّ إنَّمَا هُوَ بِالنِّسْبَةِ
لِطَلَبِ الْجَوَابِ مِنْهُ وَطَلَبِ تَحْلِيفِهِ وَإِلا فَهِيَ تُسْمَعُ عَلَيْهِ
لأَجْلِ إقَامَةِ الْبَيِّنَةِ عَلَيْهِ كَمَا ذَكَرَهُ الرَّشِيدِيُّ
Mughni ala al Muhtaj IV hal 513
تنبيه: قد علم من ذلك أنه لا
تنافي بين ما ذكر هنا وما ذكر في كتاب دعوى الدم والقسامة من أن شرط المدعَى عليه
أن يكون مكلفاً ملتزماً للأحكام، فلا تصح الدعوى على صبي ومجنون؛ لأن محل ذلك عند
حضور وليهما فتكون الدعوى على الولي،
Sekira seorang anak terbukti secara bersama-sama (isytirak) melakukan tindak pidana dengan orang yang sudah dewasa,
bagaimana pertanggung jawaban hukumnya?
Anak yang melakukan tindak pidana secara bersama-sama (isytirak) dengan
orang yang sudah dewasa, pertanggungjawabannya dipisahkan, maksudnya anak
diadili dengan pengadilan anak.[17]
Dasar Pengambilan Hukum
Al Mughni Li Ibn Qudamah IX hal 337
ولنا أنه شارك من لا مأثم
عليه في فعله فلم يلزمه قصاص كشريك الخاطىء ولأن الصبي والمجنون لا قصد لهما صحيح
ولهذا لا يصح إقرارهما فكان حكم فعلهما حكم الخطأ
Dapatkah orang tua angkat, orang tua asuh bertindak selaku waliyyuddam
atas nama anak angkat atau anak asuhnya atau mereka dibebani denda pidana?
Orang tua angkat dan orang tua asuh dapat bertindak selaku waliyyuddam
atas nama anak angkat atau anak asuhnya sepanjang menyangkut kepentingan
mereka, bukan untuk menanggung beban karena perbuatan mereka.
Dasar Pengambilan Hukum
Al Sharqawi II hal 363
الثالث يسقط فيه القود عن
بعضهم فقط دون البعض الآخر إما لإستحالة إيجاب القود عليه ككونه اصلا او صبيا او
مجنونا شاركه غيره
Hamisy I’anah al Thalibin IV hal 128
و يثبت القود للورثة العصبة
وذي الفروض بحسب إرثهم المال ولو مع بعد القرابة كذي رحم إن ورثناه أو مع عدمها
كأحد الزوحين والمعتق وعصبته
Kifayat al Akhyar II hal 148
الوجه الثاني كونها على
العاقلة فإذا جنى الحر على نفس حر آخر خطأ أو عمد خطأ وجبت الدية على عاقلة
الجاني.
Hamisy al Bajuri II hal 203
والمراد بالعاقلة عصبة
الجانى لا اصله و فرعه
Adakah batas normatif bahwa sanksi pidana atas anak yang belum dewasa
maksimal separo sanksi yang sama atas pelaku pidana yang dewasa?
Tidak ada batas normatif bahwa sanksi pidana anak yang belum dewasa
maksimal separuh sanksi pelaku yang dewasa. Karena sanksi pidana pada anak
ta’dib/ta’zir, maka diserahkan pengaturan dari waliyyul amri.
Dasar Pengambilan Hukum
Al Tasyri’ al Jana-i al Islamy I hal 602
لايسأل الصبى المميز عن
جرائمه مسؤلية جنائية وإنما سئل مسؤلية تأديبية
Nihayat al Muhtaj VII hal 436
ويعزر القاذف المميز صبيا او
مجنونا زجرا وتأديبا له
Bagaimana konsep syariah/fiqh Islam tentang anak sipil dan dimana
landasan hukumnya?
Dalam syariah/fiqh Islam tidak mengenal terminology anak sipil
Sejak usia berapa tahunkah anak boleh dilepas dari ikatan huququl
hadlonah dan sejak itu bukan lagi menjadi tanggungan orang tua atau
kerabatnya?
Anak boleh dilepas dari ikatan haqqul
hadlanah sejak tamyiz (7 tahun) sedang kesiapan anak untuk mandiri dan
bertanggung jawab terhadap diri sendiri sejak baligh (15 tahun)[18]
Dasar Pengambilan Hukum
I’anat al Thalibin IV hal 101
قال في الروض وشرحه: المحضون
كل صغير ومجنون ومختلّ وقليل التمييز. وقوله إلى التمييز: أي وتستمر التربية إلى
التمييز: قال في التحفة: واختلف في انتهائها في الصغير فقيل بالبلوغ، وقال
الماوردي بالتمييز وما بعده إلى البلوغ كفالة والظاهر أنه خلاف لفظي
Penahanan dalam jangka waktu tertentu bisa diberlakukan terkait
kepentingan
a. Penyidikan : 10-20 hari dan terlama 30 hari
b. Penuntutan: 10-15 hari dan terlama 25 hari
c. Pemeriksaan: 15 hari dan terlama 30 hari.
Tepatkah bila penahanan dengan tentang waktu seperti tersebut diatas
diberlakukan pada anak yang belum dewasa?
Penahanan utnuk penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan terhadap anak
menjadi kewenagan waliyul amri dengan tujuan yang terkait dengan kemaslahatan
anak.
Dasar Pengambilan Hukum
Nihayat al Muhtaj VII hal 436
ويعزر القاذف المميز صبيا او
مجنونا زجرا وتأديبا له
1.
Subyek Hukum
Subjek hukum atau pelaku hukum ialah
orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya
telah
2.
diperhitungkan berdasarkan tuntutan Allah.
Adapun
syarat-syarat taklif atas subjek hukum, adalah sebagai berikut:
1. Ia
memahami atau mengetahui titah Allah tersebut yang menyatakan bahwa ia terkena
tuntutan dari Allah.
2. Ia
telah mampu menerima beban taklif atau beban hukum.
3.
Ahliyah al-Ada Kamilah atau cakap berbuat hukum secara sempurna, yaitu manusia
yang telah mencapai usia dewasa.
Dalam
dunia hukum, subyek hukum dapat diartikan sebagai pembawa hak, yakni manusia
dan badan hukum.
a. Manusia.
Menurut hukum, tiap-tiap seorang
manusia sudah menjadi subyek hukum secara kodrati atau secara alami. Anak-anak
serta balita pun sudah dianggap sebagai subyek hukum. Manusia dianggap sebagai
hak mulai ia dilahirkan sampai dengan ia meninggal dunia. Bahkan bayi yang
masih berada dalam kandungan pun bisa dianggap sebagai subyek hukum bila
terdapat urusan atau kepentingan yang menghendakinya. Namun, ada beberapa
golongan yang oleh hukum dipandang sebagai subyek hukum yang "tidak
cakap" hukum. Maka dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum mereka harus
diwakili atau dibantu oleh orang lain.
b.
Badan Hukum
Badan hukum adalah suatu badan yang
terdiri dari kumpulan orang yang diberi status "persoon" oleh hukum sehingga mempunyai hak dann kewajiban.
Badan hukum dapat menjalankan perbuatan hukum sebagai pembawa hak manusia.
Seperti melakukan perjanjian, mempunyai kekayaan yang terlepas dari para
anggotanya dan sebagainya. Perbedaan badan hukum dengan manusia sebagai pembawa
hak adalah badan hukum tidak dapat melakukan perkawinan, tidak dapat diberi
hukuman penjara, tetapi badan hukum dimungkinkan dapat dibubarkan.
2. Obyek Hukum
Dilihat dari segi hukum wadh’i :
a. Pengertian sabab
Sabab
secara etimologi adalah sesuatu yang memungkinkan dengannya sampai pada suatu
tujuan. Secara terminologi sabab adalah sesuatu yang keberadaannya dijadikan
syar’i sebagai pertanda keberadaan suatu hukum, dan ketiadaan sabab sebagai
pertanda tidak adanya hukum. Misalnya, Allah menjadikan zina sebagai sabab
ditetapkannya hukuman, karena zina itu sendiri bukanlah penyebab ditetapkannya
hukuman, tetapi penetapan hukuman itu adalah dari syar’i.
a.
Pembagian sabab
- Dari segi objeknya:
a. Sebab al-waqti,
seperti tergelincirnya matahari sebagai pertanda wajibnya shalat zhuhur, [19] “Dirikanlah shalat karena telah
tergelincirnya matahari…”.
b. Sebab al-ma’nawi, seperti mabuk sebagai
penyebab diharamkannya khamr.
- Dari segi kaitannya dengan kemampuan
mukallaf:
a. Sebab yang merupakan perbuatan mukallaf dan
mampu dilakuka. Misalnya, jual beli yang menjadi penyebab pemilikan harta,
pembunuhan sengaja menyebabkan dikenakan hukuman dan akad nikah disebabkannya dihalalkan
hubungan suami-istri. Sebab seperti ini terbagi lagi menjadi 3, yaitu:
·
Sebab
yang diperintahkan syara’. Contohnya, nikah menjadi penyebab terjadinya hak
waris mewarisi dan nikah itu diperintahkan.
·
Sebab
yang dilarang syara’. Seperti pencurian sebagai penyebab dikenakan hukuman
potong tangan dan pencurian itu sendiri dilarang.
·
Sebab
yang diizinkan(ma’zun bihi). Misalnya, sembelihan segai penyebab dihalakannya
hewan sembelihan, dan penyembelihan itu sendiri adalah sesuatu yang mubah.
b. Sebab yang bukan perbuatan mukallaf dan tidak
mampu untuk dilakukan. Contohnya, tergelincirnya matahari sebagai penyebab
wajibnya shalat zuhur.
- Dari segi hukumnya:
a. Sebab al-masyru’, yaitu semua yang membawa pada
kemaslahatan dalam pandangan syar’i sekalipun dibarengi kemafsadatan secara
zhahir, seperti jihad.
b. Sebab ghairu al-masyru’, yaitu sebab yang
membawa kepada mafsadat dalam pandangan syar’i sekalipun didalamnya terkandung
pula kemaslahatan secara zhahir, seperti adopsi.
- Dari segi pengaruhnya terhadap hukum:
a. Asbabul mu’sir filhukmi (‘illat)
Contoh: mabuk sebagai sebab yang berpengaruh
pada hukum, yang merupakan ‘illat
keharaman khamr.
b. Assababu ghairul mu’sir fil hukmi (sebab yang
tidak berpengaruh pada hukum)
Contohnya: waktu sebagai penyebab wajibnya
shalat.
- Dari segi jenis musabbab:
a. Sebab bagi hukum taklifi, seperti munculnya
hilal sebagai pertanda kewajiban puasa.
b. Sebab untuk menetapkan hak milik, melepaskan/menghalalkannya. Misalnya,
jual beli sebagai penyebab kepemilikan barang yang dibeli.
- Dari segi hubungan sabab dengan musabab:
a. Sebab al-syar’i, seperti tergelincirnya
matahari sebagai sebab wajibnya shalat zuhur.
b. Sebab al-‘aqli (sebab yang hubungannya dengan
musabbab didasarkan pada hukum adat kebiasaan atau ‘urf), seperti tubuh merasa tidak sehat karena ada penyakit.
- Syarth
a. Pengertian Syarth
Secara
etimologi syarth ialah syarat/’alamah/pertanda. Secara terminologi ialah
sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum syar’i dan berada diluar hukum
itu sendiri, yang ketiadaannya hukum pun tidak ada.
b.Macam-macam
syarth
Dari segi kaitannya dengan sabab dan musabbab, dibagi menjadi dua:
a. Al-syarth
al-mikammil li al-sabab (syarat
penyempurnaan sebab) seperti haul dalam kewajiban zakat pada harta yang gtelah
mencapai satu nisab.
b.
Al-syarth al-mikammil il al-musabbab (syarat yang menjadi penyempurnaan bagi
musabbab), seperti kemampuan menyerahkan barang sebagai penyempurnaan sebagai
akad jual-beli.
Dari segi pensyaratannya:
a. Al-syarth
al- syar’i (syarat yang ditentukan syar’i terhadap
berbagai hukum), seperti persyaratan yang ada dalam muamalah atau ibadah.
b. Al-syarth
al-ja’li (syarat yang dibuat para
mukallaf), seperti membawa barang yang telah dibeli kerumah pembeli sebagai
syarat yang disepakati penjual & pembeli saat akad jual beli berlangsung.
Dari segi hubungan syarth dengan masyyruth
a. Al-syarth
al-syar’i (syarat yang hubungannya
dengan yang disyaratkan didasarkan atas hukum syara’), seperti wudhu uuntuk
shalat.
b. Al-syarth
al’aqli (syarat yang disyaratkan
didasarkan atas nalar manusia).
c. Al-syarth
al-‘adi (syarat yang hubungannya
dengan yang disyaratkan didasarkan kepada adat kebiasaan/’urf).
3. Mani’
a. Pengertian Mani’
Secara etimologi mani’ berarti halangan,
sedangkan secara terminologi adalah sifat zhahir yang dapat diukur yang
keberadaannya menyebabkan tidak adanya hukum atau ketiadaan sebab.[20]
b. Macam-macam Mani’
1. Dari
segi pengaruhnya kepada hukum dan sebab
·
Mani’ yang berpengaruh terhadap sabab,
karena mani’ merusak hikmah yang ada pada sabab. Contoh: hutang menyebabkan
batalnya kewajiban zakat, karena harta tersebut tidak mencapai satu nishab lagi
(sabab).
- Mani’ yang berpengaruh terhadap hukum,
yang artinya menolak adanya hukum meskipun ada sabab yang mengakibatkan
adanya hukum.
a. Mani’ yang tidak berkumpul dengan hukum
taklifi, yaitu sesuatu yang menyebabkan hilangnya akal sehingga menyebabkan
terhalangnya taklif.
b. Mani’ yang bersamaan dengan ahliyyah taklif,
tetapi mani’ itu menghilangkan taklif.
c. Mani’ yang menghilangkan kemestian taklif, dan
membawa seseorang untuk bersikap memilih.
Ulama
Hanafiyah membagi mani’ kepada lima macam, yaitu:
1. Mani’
yang menyebabkan tidak berlakunya akad, seperti objek jual beli tidak ada.[21]
- Mani’ yang menyebabkan akad tidak sempurna
bagi orang ketiga di luar akad, seperti Bai’ Al Fudhuli.
- Mani’ memulai hukum, seperti khiyar Syarth
dalam jual beli.
- Mani’ untuk menyempurnakan hukum, seperti
keberadaan khiyar Ru’yah dalam jual beli.
- Mani’ yang menghalangi sifat mengikat
suatu hukum, seperti adanya cacat dalam barang yang dibeli.
4. Sah, Fasad, dan Batal
a.
Pengertian Sah, Fasad, dan Batal
Secara
etimologi sah atau Shihhah atau shahih artinya sakit. Secara
terminologi, sah yaitu tercapainya sesuatu yang diharapkan secara syara’,
apabila sebabnya ada, syaratnya terpenuhi, halangan tidak ada, dan berhasil
memenuhi kehendak syara’ pada perbuatan itu.
Secara etimologi fasad berarti perubahan
sesuatu dari keadaan yang semestinya. Secara terminologi menurut jumhur ulama
sama dengan batal. Sedangkan menurut ulama Hanafiyah adalah kerusakan yang
tertuju kepada salah satu sifat, sedangkan hukum asal perbuatan itu
disyari’atkan.
c. Status
Sah, fasad, dan batal
Wahbah
Al Zuhaili menyatakan
bahwa yang terkuat dalam pendapat mayoritas ulama ushul fiqh yang mengatakan
bahwa sah, fasad, dan batal termasuk dalam hukum
wadh’i.[22]
d. Hak – Hak Yang Berkaitan Dengan
Hukum Pidana Islam
1. Hak Allah dan Hak
Manusia, (Ar.: al-haqq Allah; dan al-haqq
al-‘ibad). Secara etimologi mengandung pengertian yang banyak dan
bermacam-macam, namun semuanya mengacu kepada arti ketetapan dan kepastian,
seperti milik, bagian, keadilan, kewenangan, kebenaran, dan lain-lain.
Ulama fikih menyatakan bahwa al-haqq (hak) merupakan hubungan
spesifik antara pemegang atau pemilik hak dan kemaslahatan yang diperoleh dari
hak itu. Hubungan tersebut dalam syariat Islam tidak bersifat alamiah, yang
bersumber dari alam atau ketetapan akal manusia.[23]
1.
Pembagian Hak,ditinjau dari segi
kepemilikannya, hak dibagi menjadi empat bagian, yaitu: 1) hak Allah SWT murni;
2) hak manusia murni; 3) hak yng didalamnya tergabung hak Allah SWT dan hak
manusia, namun hak Allah SWT lebih dominan; dan 4) hak yang di dalamnya
tergabung dua hak tersebut, namun hak manusia lebih doninan.
3.
Hak Allah Murni, ialah sesuatu yang dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada
Allah SWT, mengagungkan-Nya, dan menegakkan syiar agama-Nya; atau sesuatu yang
dimaksudkan untuk mewujudkan kepentingan, manfaat, dan kemaslahatan orang
banyak tanpa kekhususan pada orang tertentu. Hak tersebut dinisbahkan kepada
Allah SWT, karena besarnya kepentingan hak itu dan keumuman manfaatnya. Dengan
kata lain, hak tersebut merupakan hak masyarakat dan pensyariatan hukumnya
dimaksudkan untuk kemaslahatan umum, hukan untuk kemaslahatan inidividu secara
khusus. Hak tersebut bertalian dengan ketertiban umum.
Menurut Mazhab Hanafi, hak Allah, dapat
dikelompokkan pada delapan macam sebagi berikut:
a.
Ibadah murni, seperti iman, mengucapkan dua kalimat syahadat, salat lima waktu
sehari semalam, puasa bulan Ramadan, Zakat harta, dan haji di Baitullah. Ibadah
tersebut dimaksudkan untuk menegakkan syiar agama dan sekaligus untuk menjaga
ketertiban dan keteraturan masyarakat.
b. Ibadah
yang mengandung makna ma’unah, yakni
pertolongan ynag diberikan untuk memelihara jiwa dan harta. Misalnya, zakat
fitrah disebut ibadah, karena dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah
SWT dengan bentuk memberi pertolongan kepada fakir miskin. Oleh karena itu,
untuk menunaikan ibadah semacam ini disyaratkan niat. Makna ma’unah tersebut
merupakan ungkapan rasa syukur atas hasil tanah yang tetap produktif di tangan
pemiliknya.
c. Ma’unah (pertolongan) yang mengandung
makna ibadah, seperti mengeluarkan sepersepuluh atau seperduapuluh dari hasil
bumi. Pengeluraran ma’unah tersebut merupakan ungkapan rasa syukur atas hasil
tanah yang tetap produktif di tangan pemiliknya.
d. Ma’unah yang mengandung makna hukuman (uqubah) seperti pengenaan pajak atas
nonmuslim. Pengenaan pajak tersebut dimaksudkan sebagai imbalan terhadap tanah
produktif yang tetap mereka garap dan terpelihara dari berbagai bentuk
kezaliman. Ma’unah sebagai hukuman
merupakan ganti rugi atas kewajiban jihad yang tidak dibebankan kepada mereka.
e.
Uqubah (hukuman) murni, seperti hukuman terhadap pelaku perzinaan, pencurian,
meminum minuman keras, dan lainnya. Hukuman tersebut merupakan hak Allah SWT
murni, karena persyaratannya dimaksudkan untuk memaslahatan umum dan menjaga
ketertiban masyarkat. Oleh karena itu, hukuman tersebut tidak dapat digugurkan
atau dimaafkan oleh siapapun dan dilaksanakan oleh lembaga pengadilan sebagai
kepanjangan tangan pemerintah.
f.
Hukuman terbatas, seperti terhalangnya seorang pembunuh dari hak mewarisi harta
orang yang dibunuhnya. Terhalangnya hak mewarisi itu merupakan bentuk hukuman
sebagi pembalasan terhadap pembunuhan yang dilakukannya. Hanya saja balasan itu
tidak terkait dengan
fisik pembunuh atau pengurangan harta bendanya. Hukuman ini merupakan hak Allah
SWT , karena dimaksudkan untuk kepentingan umum dan memelihara ketertiban,
yaitu mencegah ketamakan untuk memeperoleh harta warisan dan pewarisnya sebelum
saatnya tiba.[24]
g.
Hukuman yang mengandung makna ibadah, yaitu semua hak yang berkisar antara
ibadah dan hukuman, seperti kafarat sumpah, kafarat zihar (menyamakan istri
dengan ibu kandung), kafarat membunuh karena tersalah dan lainnya.
4.
Hak Allah SWT. yang berdiri sendiri, tidak bertalian dengan tanggung jawab
manusia sebagai hamba-Nya yang wajib dilaksanakan sebagai kepatuhan kepada-Nya
. Hak tersebut di antaranya seperlima hasil rampasan perang (ghanimah), harta karun yang terpendam
yang ditemukan, dan hasil penambangan. Pengeluaran hak Allah SWT tersebut tidak
disyaratkan niat, karena tidak termasuk ibadah. Harta yang seperlima tersebut
dipergunakan untuk kemaslahatan dan kepentingan umum.
Berdasarkan kesepakatan ulama fikih, hukum yamg terkait dengan hak-hak Allah SWT tersebut adalah sebagai berikut Pertama, tidak boleh digugurkan, baik dengan pemaafan, perdamaian, atau pelepasan hak itu. Hak tersebut juga tidak boleh diubah, baik dengan pengurangan atau penambahan atau penggantian dalam bentuk lain. Oleh karena itulah hukuman pencurian tidak dapat gugur disebabkan adanya maaf dari orang hartanya dicuri.[25].
Kedua, hak tersebut tidak dapat diwarisi. Ahli waris tidak berkewajiban melaksanakan hak-hak Allah SWT yang tidak dikerjakan oleh pewarisnya sebelum meninggal dunia, kecuali apabila pewaris telah mewasiatkan untuk mengeluarkannya, seperti wasiat untuk mengeluarkan zakat yang belum dibayarnya. Ahli waris juga tidak bertanggung jawab atas tindak pidana atau pelanggaran yang dilakukan oleh pewarisnya .
Ketiga, berlaku keterpaduan antara
hukuman yang menjadi hak Allah SWT. Seseorang yang berzina,[26]
beberapa kali atau mencuri berkali-kali, namun belum dikenakan hukuman, maka
cukup dihukum sekali saja atas dosa-dosanya yang berkali-kali itu, karena
maksud hukuman itu adalah membuatnya jera dan tidak kembali mengerjakan
kejahatannya. Tujuan itu dapat terwujud dengan hukuman sekali saja. Pelaksanaan
hukuman tersebut adalah kewenangan pemerintah .
Hak Manusia, yaitu suatu hak yang di maksudkan untuk memelihara kemaslahatan dan kepentingan perorangan, baik yang bersifat umum maupun khusus. Hak yang bersifat umum, seperti pemeliharaan kesehatan anak dan harta benda, serta terwujudnya keamanan dan penikmatan sarana umum milik agama. Hak yang bersifat khusus, seperti hak penjual menerima pembayaran atas barang yang dijualnya, hak pembeli atas barang yang dibelinya, hak seseorang untuk mendapatkan ganti rugi atas barang yang dibelinya, hak seseorang untuk mendapatkan ganti rugi atas harta bendanya yang dirusak orang lain, hak istri untuk mendapatkan nafkah lahir dan batin dari suaminya, hak ibu untuk memelihara anaknya yang masih kecil (hadlanah), hak bapak untuk menjadi wali anaknya, dan lain sebagainya.
Hak Manusia, yaitu suatu hak yang di maksudkan untuk memelihara kemaslahatan dan kepentingan perorangan, baik yang bersifat umum maupun khusus. Hak yang bersifat umum, seperti pemeliharaan kesehatan anak dan harta benda, serta terwujudnya keamanan dan penikmatan sarana umum milik agama. Hak yang bersifat khusus, seperti hak penjual menerima pembayaran atas barang yang dijualnya, hak pembeli atas barang yang dibelinya, hak seseorang untuk mendapatkan ganti rugi atas barang yang dibelinya, hak seseorang untuk mendapatkan ganti rugi atas harta bendanya yang dirusak orang lain, hak istri untuk mendapatkan nafkah lahir dan batin dari suaminya, hak ibu untuk memelihara anaknya yang masih kecil (hadlanah), hak bapak untuk menjadi wali anaknya, dan lain sebagainya.
Hukum yang terkait dangan hak
manusia ini, antara lain ialah pemiliknya dibolehkan melepaskan dan mengugurkan
haknya dengan cara pemaafan, perdamaian atau membebaskan tanggungan atas
seseorang, atau membolehkannya kepada siapapun. Oleh karena itu, pelanggaran
terhadap hak ini merupakan kezaliman. Allah SWT tidak akan menerima tobat
seseorang yang melanggarnya kecuali pemilik hak memaafkanya atau hak itu
dikembalikan oleh pelanggar kepadanya. Pada hak ini berlaku pewarisan oleh
keluarga dekatnya sesuai aturan yang berlaku dalam hukum waris. Kemudian tidak
berlaku keterpaduan pada hak ini. Maksudnya hukum yang terkait dengan hak
perseorangan berlaku secara ketat, tidak ada penggabungan dan pemenuhan hak itu
berkaitan langsung dengan pemilik hak atau walinya.
Hak yang di
dalamnya tergabung Hak Allah SWT dan Hak Manusia, namun Hak Allah SWT lebih
dominan. Misalnya, iddah perempuan yang di ceraikan. Di dalamnya terdapat hak
Allah SWT yang berbentuk kepentingan dan kemaslahatan umum, yaitu memelihara
nasab (keturunan) secara umum dari percampuran. Adapun hak manusia yang ada di
dalamnya ialah pemeliharaan kemurnian anak,[27] mantan
suami secara khusus dari percampuran dengan nasab orang lain jika mantan istri
kawin dengan laki-laki lain sebelum habis masa iddahnya. Hak Allah SWT dalam
hal ini lebih dominan, karena pemeliharaan nasab secara umum berkaitan langsung
dengan persoalan sosial, tatanan, dan ketertiban. Kemaslahatan yang terkait
adalah pemeliharan masyarakat dari berbagai kekacauan dan dekadensi. Contoh
lain ialah poemeliharaan manusia terhadap kehidupanya, akalnya, kesehatannya,
dan harta bendanya. Didalamnya juga terdapat dua hak namun hak Allah SWT lebih
dominan, karena keumuman manfaat pemeliharaan itu kembali pada masyarakat
secara keseluruhan. Adapun hukum yang terkait dengan hak-hak ini sama dengan
hak Allah SWT lebih dominan.
Hak yang di
dalamnya tergabung Hak Allah SWT dan Hak Manusia, namun Hak manusia lebih
dominan. Misalnya, adalah kisas (pembunuhan) terhadap pembunuh dalam pembunuhan
sengaja.[28]
Sebagai hak manusia, kisas mewujudkan kemaslahatan wali orang yang terbunuh,
menyembuhkan sakit hatinya, serta memadamkan api kemarahan dan dendamnya
terhadap pembunuh. Syariat islam memandang aspek ini lebih berat, sehingga hak
manusia dianggap lebih dominan dan hak Allah SWT. Oleh karena itu, wali korban
sebagai pemilik hak, disamping berhak menuntut kisas, diperkenankan untuk
memaafkan pembunuh sehingga hukuman kisas tidak dilaksanakan. Selajutnya mereka
dapat berdamai dengan pembayaran diat (tebusan/denda), bahkan hal ini
dianjurkan oleh Allah SWT dalam al-Quran:
“…Maka barang siapa yang mendapatkan pemaafan dari
saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan
hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan
cara yang baik pula…”[29]
Ulama berbeda pendapat dalam menentukan mana di antara dua hak itu yang lebih dominan, ketika nas tidak menejelaskannya. Misalnya hukuman terhadap tindak pidana qazf (menuduh orang lain berbuat zina) merupakan hak Allah SWT jika dilihat dari segi kemanfaatan dan kemaslahatan umum yang ada di dalamnya, yaitu memelihara kehormatan manusia pada umumnya dan memberantas kerusakan dan kejahatan dalam masyarakat. Kemudian ditinjau dari segi menolak aib orang yang dituduh berbuat zina dan mengembalikan kehormatannya, maka hukuman itu merupakan hak manusia perseorangan
Menurut ulama Mazhab Hanafi, dalam kasus seperti ini, hak Allah SWT lebih nyata dan dominan. Oleh karena itu, hukumannya tidak dapat digugurkan disebabkan kemaafan yang diberikan oleh yang dituduh, sementara pelaksanaanya berada di tangan pemerintah, yaitu lembaga peradilan. Namun, menurut Mazhab Syafi’i, Mazhab Hanbali, dan satu riwayat dari Imam Malik, dalam kasus qazf ini hak manusia lebih dominan. Oleh karena itu, hukumannya dapat digugurkan oleh pemaafan orang yang dituduh berzina.[30]
Hak Asasi
Manusia. Dalam bahasa Indonesia hak “asasi” dijelaskan sebagai hak yang dasar
atau pokok, seperti hak hidup dan hak mendapat perlindungan. Ide hak-hak asasi
manusia timbul pada abad ke-17 dan ke-18, sebagai reaksi terhadap keabsolutan
raja-raja dan kaum feodal di zaman itu tehadap rakyat yang mereka perintah atau
manusia yang mereka pekerjakan sebagai lapisan bawah. Lapisan bawah tidak
mempunyai hak-hak. Mereka diperlakukan dengan sewenang-wenang, sebagai budak
yang dimiliki. Sebagai reaksi terhadap keadaan yang pincang ini, timbullah
gagasan supaya lapisan bawah itu-karena mereka adalah manusia juga diangkat
derajatnya dari kedudukan budak menjadi sama dengan lapisan atas. Muncullah ide
untuk menegakkan hak-hak asaasi manusia (HAM). Semua manusia sama, tidak ada budak
yang dimiliki; semua merdeka dan bersaudara.[31]
Namun, jauh sebelum abad ke –17 dan ke –18, telah dikenal berbagi aturan yang mengatur tentang hak-hak asasi manusia. Dalam Kode Hukum Hammurabi, Raja Babylonia (abad ke-18 SM), misalnya, ada indikasi yang membenarkan bahwa dalam masyarakat manusia di dunia Barat telah mulai tumbuh kesadaran akan martabat dan harkat dirinya, sehingga Kode Hukum Hammurabi sengaja diundangkan untuk memberantas kecongkakan sebagian manusia atas sesamanya untuk membawa keadilan bagi seluruh masyarakat.
Dalam hukum ini dijelaskan bahwa
hukuman pembalasan sesuai dengan kejahatan yang dilakukan. Kedudukan dan
kebebasan kaum wanita diakui sama dengan kaum lelaki. Pihak suami dan istri
tidak boleh menggagalkan perkawinan yang sudah dijalaninya atau yang sedang
berlangsung. Adapun bagi pelaku zina dikenakan hukuman mati. Seseorang akan
dikenakan sanksi pidana apabila ia membangun rumah sedemikian gegabahnya,
sehingga runtuh dan menyebabkan orang lain cedera.
Dalam akar budaya
masyarakat Indonesia pun, pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak dan
martabat manusia sudah mulai berkembang. Misalnya, dalam masyarakat Jawa kuna
telah dikenal istilah “Hak Pepe”, yaitu hak warga desa yang diakui dan dihormati
oleh penguasa setempat, seperti hak mengemukakan pendapat, walaupun hak
tersebut bertentangan dengan kemauan penguasa. Piagam
Madinah juga mengatur tentang hak-hak asasi manusia (HAM). Dalam Piagam ini
dijelaskan bahwa umat Islam diikat dengan tali ikatan agama, bukan berdasarkan
suku, asal-ususl, ras dan kedudukan sosial (pasal 1). Kaum Yahudi adalah salah
satu umat yang peralel, berdampingan dengan kaum mukmin,[32] dan
bebas menjalankan agama mereka, seperti halnya kaum muslim (pasal 25). Orang
Yahudi juga berhak mendapat pertolongan dan santunan, sepanjang hak-hak kaum
muslim tidak terganggu (pasal 16). Sesama muslim tidak boleh saling membunuh
(pasal 14). Tidak ada perbedaan di antara suku-suku yang ada mereka sederajat
(pasal 26-35).
Bagi bangsa Indonesia, menurut
Nurcholish Madjid, perjuangan menegakkan hak-hak asasi manusia (HAM) adalah
kewajiban bersama. Hal ini sesuai dengan tuntutan nilai-nilai falsafah
Pancasila. Semua sila dalam falsafah itu melahirkan kewajiban untuk menegakkan
hak-hak asasi, khususnya sila “kemanusiaan yang adil dan beradab”. Namun, dalam
kenyataannya, kesadaran tentang HAM dikalangan masyarakat luas masih merupakan
masalah .
Dalam UUD 1945 juga dijelaskan beberapa prinsip dasar tentang HAM .[33] Pada alinea pertama Pembukaan UUD 1945 misalnya, dinyatakan bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa, dan karenanya segala bentuk penjajahan di atas dunia harus dihapuskan.
Dalam UUD 1945 juga dijelaskan beberapa prinsip dasar tentang HAM .[33] Pada alinea pertama Pembukaan UUD 1945 misalnya, dinyatakan bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa, dan karenanya segala bentuk penjajahan di atas dunia harus dihapuskan.
Hak-hak tiap warga negara sama
didepan hukum, hak atas pekerjaan dan penghitungan yang layak (pasal 27), hak
kemerdekaan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pikiran, baik lisan maupun
tulisan (pasal 28), kebebasan dalam beragama (pasal 29), hak mendapatkan
pendidikan (pasal 31, dan hak untuk mendapatkan layanan dan perlindungan
kesejahteraan sosial (pasal 34) .
Ide hak-hak asasi manusia juga
terdapat dalam Islam. hal ini dapat dilihat dalam ajaran tauhid. Tauhid dalam
Islam, menurut Harun Nasution, mengandung arti bahwa yang ada hanya satu
pencipta bagi alam semesta. Ajaran dasar pertama dalam Islam adalah la ilaha
illa Allah (tiada Tuhan selain Allah SWT, tiada Pencipta selain Allah SWT).
Seluruh alam dan semua yang ada diatas, dipermukaan, dan di dalam bumi adalah
ciptaan Yang Maha Esa. Semuanya; manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dan benda tak
bernyawa berasal dari Yang Maha Esa .
Tujuan hukum pada
umumnya adalah menegakkan keadilan berdasarkan kemauan pencipta manusia
sehingga terwujud ketertiban dan ketentraman masyarakat.Namun bila tujuan hukum
Islam dilihat dari ketetapan hukum yang dibuat oleh Allah dan Nabi Muhammad,
baik yang termuat di dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits, yaitu untuk
kebahagiaan hidup manusia didunia dan akhirat kelak, dengan jalan mengambil
segala yang bermanfaat dan mencegah serta menolak segala yang tidak
berguna kepada kehidupan manusia. Dengan kata lain tujuan hukum Islam adalah
kemaslahatan hidup manusia baik jasmani maupun rohani individu dan masyarakat.
Kemaslahatan dimaksud, dirumuskan oleh Abu Ishak Asy-Syathibi dan disepakati
oleh ahli hukum Islam lainnya seperti yang telah dikutip oleh H.Hakam Haq,[34]
yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Sedangkan Asas-asas
dalam Hukum Pidana Islam.
1.
Azas Legalitas
Asas Lealitas adalah tidakada larangan atau hukuman
sebelum adanya undang-undang yang mengaturnya.
Sejak lima
belas abad yang lalu Islam sudah menerpkan asas legalitas yaitu sejak zaman
nabi Muhammad saw , hal ini disebut dalam :
“
Kami tidak membinasakan suatu negeripun melainkan sudah ada baginnya yang
memberi peringatan” [35]
“ Tidak adalah tuhanmu
membinasakan, kota-kota sebelum dia mengutus diibukota itu seorang rasul yang
membacakan ayat-ayat kami kepada mereka, dan tidak pernah pula kami
membinasakan kota-kota kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kedzaliman”.
.[36]
Dua ayat tersebut menjadi azas legalitas yang mana suatu negara
atau kota yang tidak ada yang
memperingati atau membacakan ayat-ayat dan tidak ada yang melakukan kedzaliman
maka Negara atau kota itu tidak boleh menerapkan hukuman pidana, baik itu
hudud,qishas, diyat atau ta’zir.
2. Asas praduga tak bersalah
Asas yang mendasari bahwa seseorang yang dituduh
melakukan kejahatan harus dianggap tidak bersalah,[37]
sebelum hakim dengan bukti-bukti yang meyakinkan menyatakan dengan tegas
kesalahannya itu.
Wahai orang-orang
yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka
periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu
kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebab kakamu menyesal atas perbuatanmu
itu.[38]
3.
Asas larangan memindahkan kesalahan kepada orang lain
Asas ini menyatakan bahwa setiap perbuatan m[39]anusia
baik itu perbuatan yang baik atau buruk akan mendapatkan balasan yang setimpal.
Macam-macam jarimah,
dalam hukum pidana Islam ada empat macam jenis jarimah: Jarimah Hudud, adalah jarimah yang hukumannya telah ditentukan
dalam nash al-Qur’an atau Sunnah Rasul serta menjadi hak Allah smata .Yang
termasuk jarimah ini ialah zina
adalah melakukan hubungan persetubuhan diluar ikatan pernikahan yang syah
secara syara'. Zina merupakan salah satu dosa besar.
1)
Penetapan Perbuatan zina
Hukum bagi pelaku zina dapat
diterapkan jika yang bersangkutan benar-benar melakukannya. Dalam masalah ini
Rasulullah SAW benar-benar berhati-hati dalam mentetapkan hukuman ini. Hukuman tida
dijatuhkan sebelum yakin bahwa bahwa orang yang dituduh atau mengaku zina
benar-benar melakukanya.
2)
Beberapa dasar untuk menetapkan suatu perbuatan zina:
b.Pengakuan Pelaku.
Dari Jabir bin abdullah
Al-Anshari ra. bahwa seorang laki-laki dari aslam datang kepada Rasulullah SAW., dia menceritakan bahwa dia telah
berzina. Pengakuannya ini diucapkan empat kali. Kemudian Rasulullah menyuruh
supaya orang itu dirajam, maka ia pun dirajam dan orang itu telah mukhson. Jumhur ulama berpendapat bahwa
kehamilan saja belum dapat dijadikan dasar penetapan perbuatan zina.
3)
had zina dapat dijatuhkan jika pelakunya memenuhi syarat:
a.
Pelakunya sudah baligh dan berakal
b.Perbautan zina dilakukan atas kemauan sendiri
c.Pelakunya mengetahu bahwa zina adalah haram
·
Terbukti secara syar'i bahwa ia benar-beanr melakukan zina
4)
Bentuk had zina
Had untuk zina :
a)
Rajam , yaitu hukuman mati dengan
dilempari batu hingga meninggal.
Artinya: "
Apabila laki-laki dan perempuan tua (sudah enikah) berzina maka rajamlah
keduanya sampai mati sebagai peringatan dari Allah dan Allah maha perkasa lagi
Bijaksana."[41]
Yang dimasud Mukhsan adalah orang yang memenuhi syarat syarat sebagai berikut:
1.Merdeka. 2.Baligh 3.Berakal. 4.Pernah bercampur dengan
suami/istri dalam perkawinan yang sah.
b)
Dera 100 kali dan diasingkan selama 1 tahun. Had ini diberlaku-kan bagi pelaku zina yang belum
pernah bercampur dalam perkawinan yang sah. Berdasarkan Q.S. Al-Nur :
2. dan juga hadist:" Dari zaid bin khalid
al Juhaini dia berata: " Saya mendengar Nabi SAW., menyuruh agar orang
yang berzina dan dia bukan mukhsan,
didera seratus kali dan diasingkan selama satu tahun."[42]
c) Dera 50 kali dan
diasingkan selama 1/2 tahun, yaitu jika pelaku adalah
hamba sahaya. Berdasarkan Q.S. An-Nisa'
:
25.
Barangsiapa di antara
kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita
merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak
yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari
sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuannya, dan
berilah maskawinnya menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang
memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki
lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin,
kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo
hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini
budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri
(dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan
Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.[43]
b. Menuduh zina (al-Qadaf)
Qadzaf secara bahasa artinya adalah
melempar. Dalam istilah fiqh yang dimaksud qadzaf adalah melemparkan tuduhan
berzina dengan terang-terangan. Allah SWT berfirman[44]:
Artinya:" Sesungghnya
orang-orang yang menuduh (berzina) wanita yang baik-baik, yang lengah (dari
perbuatan keji) lagi beriman, mereka mendapat laknat di dunia dan akhirat dan
bagi mereka azab yang besar."
Had
qadzaf, bagi pelaku yang menuduh seseorang
yang beriman berzina,
maka diancam dengan hukuman dera 80 kali jika ia merdeka dam 40 kali jika ia
hamba sahaya, jika kesaksiannya tidak diterima. Sesuai dengan Q.S. Al- Nur : 4
yang artinya: " Orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik (Muhsonaati) berbuat zina dan mereka tidakmendatangkan
empat orang saksi,maka deralah mereka dengan delpn puluh kali dera."dan
juga Q.S Al- Nur : 25 ;" Dan apabila mereka(budak) telah kawin dan
melakukan zina maka bagi mereka separoh hukuman dari yang diberikan pada
wanita-wanita yang merdeka yang sudah bersuami."
Gugurnya had qadzaf, apabila:
a) Penuduh dapat
membuktikan dengan empat orang saksi bahwa tertuduh telah benar-benar berzina.
b) Dengan cara li'an
jika tertuduh adalah istri penuduh
c) Pengakuan dari si
tertuduh bahwa tuduhan adalah benar.
d. Minum (khamr): QS.Al- Maidah: 90
Artinya: Hai orang-orang yang
beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala,
mengundi nasib dengan panah... adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. [45]
d. Pencurian
(al-Sariqah)[46]:
Pencurian adalah
suatu perbuatan mukalaf mengambil harta orang lain secara sembunyi-sembunyi
dari tempat penyimpanannya dan mencapai satu nishab dan orang yang mencuri tiak
emmpunyai andil kepemilikan terhadap barang tersebut. Dari definisi itu ,
dapat dirumuskan bahwa pencurian yang dikenakan pada sesorang, harus
memenuhi unsur-unsur:
1) Mengambil harta
orang lain
2) Pengambilannya
secara sembunyi-sembunyi
3) Harta itu disimpan
di tempat pnyimpanannya.
4) Pelaku adalah
mukallaf
5) Barang yang dicuri
mencapai satu nishab
6) Pelaku tidak
mempunyai andil kepemilikan atas harta yang dicuri
g.
Albaghyu
: Dalam
QS. Al-
Hujurat
: 9
dan Hadist
Jarimah
Qisas, adalah jarimah yang hukumannya sama dengan jarimah
yang dilakukan. Yang termasuk jarimah ini ialah pembunuhan dengan sengaja dan
penganiayaan dengan sengaja yang mengakibatkan terpotongnya atau terlukanya
anggota badan. Jarimah
Diyat, adalah jarimah yang hukumannya ganti rugi atas
penderitaan yang dialami si korban atau keluarganya, yang termasuk jarimah ini
ialah pembunuhan tak disengaja yang mengakibatkan terpotongnya atau terlukanya
anggota badan.[48]
a. Pembunuhan
sengaja: QS
al-
Baqarah : 178 dan hadist
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan
kepadamu, qishaash, berkenaan dengan
orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan
hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan
dari saudaranya, hendaklah (yang mema’afkan) mengikuti dengan cara yang baik,
dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf
dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari
Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka
baginya siksa yang sangat pedih.[49]
b. Pembunuhan
semi-sengaja : Hadist
” sesungguhnya diyat kekeliruan dan menyerupai
segaja ( pembunuhan dengan cambuk
dan
tongkat ) adalah seratus ekor onta, diantara empat puluh ekor yang didalam
perutnya ada anaknya”.
c. Pembunuhan
tidak sengaja: QS.An
Nissa' : 92 dan Hadist
Q.S.an-Nisa’[4]:92
Artinya: dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada Perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, Maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, Maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Mahabijaksana.[50]
1.
Jarimah Ta’zir, adalah jarimah yang
tidak dipastikan ketentuannya dalam nash al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Jarimah
ta’zir ada yang disebutkan dalam nash, tetapi macam hukumannya diserahkan
sepenuhnya kepada penguasa untuk menentukan hukuman tersebut.
Jarimah ta’zir ini dibagi menjadi 3, yaitu :
a.
Jarimah hudud atau qishash/diyat yang
syubhat atau tidak memenuhi syarat,
namun sudah merupakan maksiat. Contohnya, percobaan pencurian, percobaan
pembunuhan, pencurian di kalangan keluarga.
b.
Jarimah yang ditentukan oleh Al-qur’an dan Hadits namun tidak ditentukan
sanksinya. Misalnya, penghinaan, saksi palsu, tidak amanah.
c.
Jarimah yang ditentukan oleh ulil amri demi kemaslahatan umum.
h. Alat bukti dalam pidana Islam
Di dalam upaya
penegakkan hukum, pembuktian merupakan aspek yang sangat penting. Sebab kepada
akurasi atau kecermatan upaya pembuktian itulah keadilan yang ingin diwujudkan
melalui penegakkan hukum sangat bergantung. Pembuktian yang akurat adalah jalan
menuju tegaknya keadilan. Sebaliknya, dari pembuktian yang tidak akurat akan
lahir ketidakadilan. Untuk melaksanakan perintah mewujudkan keadilah tersebut
diperlukan pembuktian yang akurat, maka para hakim harus melakukan pembuktian
yang akurat itu dengan menghimpun sebanyak mungkin alat bukti agar vonis
bersalah atau tidak bersalah yang dijatuhkan kepada pihak yang sedang diadili
benar-benar memenuhi kualifikasi adil.
Pada
dasarnya alat-alat bukti yang dipergunakan dalam perkara pidana Islam adalah
sebagai berikut:
1.
Pengakuan
Pengakuan (الاقرار) menurut arti bahasa adalah
penetapan. Sedangkan menurut syara’, pengakuan didefinisikan sebagai berikut:
Pengakuan
menurut syara’ adalah suatu pernyataan yang menceritakan tentang suatu
kebenaran atau mengakui kebenaran tersebut. Dasar hukum tentang iqrar
(pengakuan) ini terdapat dalam Al-Qur’an, sunnah, dan ijma’. Adapun sumber dari
Al-Qur’an:
“ Wahai
orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan,
menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan
kaum kerabatmu…”[51] Sumber hukum dari sunnah terdapat
di dalam hadits Ma’iz yang datang kepada Nabi mengakui perbuatannya, dan hadits
tentang kisah Al-‘Asif. Dalam hadits Al-‘Asif, Nabi bersabda:
Artinya:
“…Dan
pergilah kamu hai Unais yang memeriksa istrinya laki-laki ini, apabila ia
mengaku (berzina) maka rajamlah ia.“(Muttafaq
alaih)
Di samping Al-Qur’an dan sunnah, para
ulama bahkan semua umat Islam telah sepakat tentang keabsahan pengakuan, karena
pengakuan merupakan suatu pernyataan yang dapat menghilangkan keraguan dari
orang yang menyatakan pengakuan tersebut. Alasan lain adalah bahwa seorang yang
berakal sehat tidak akan melakukan kebohongan yang akibatnya dapat merugikan
dirinya. Karena itu, pengakuan lebih kuat daripada persaksian, dan dapat
digunakan sebagai alat bukti untuk semua jenis tindak pidana. Pengakuan yang dapat diterima
sebagai alat bukti adalah pengakuan yang jelas, terperinci, dan pasti, sehingga
tidak bisa ditafsirkan lain. Berbagai aspek yang berkaitan dengan tindak pidana
pembunuhan misalnya, seperti caranya, alatnya, motifnya, tempat, dan waktunya
harus diungkapkan secara jelas oleh orang yang mengaku melakukan perbuatan
tersebut.
Di samping itu, syarat yang lain
untuk sahnya pengakuan adalah bahwa pengakuan harus benar dan tidak dipaksa
(terpaksa). Pengakuan yang demikian harus timbul dari orang yang berakal dan
mempunyai kebebasan (pilihan). Dengan demikian, pengakuan yang datang dari
orang gila atau hilang akalnya dan yang dipaksa, hukumnya tidak sah dan tidak
dapat diterima. Dalam
perkara zina, syarat-syarat dari pembuktian dengan pengakuan antara lain :
a.
Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad, pengakuan harus dinyatakan sebanyak
empat kali, dengan mengqiyaskannnya kepada empat orang saksi dan beralasan
dengan hadits Ma’iz yang menjelaskan tentang pengakuannya sebanyak empat kali
di hadapan Rasulullah saw. bahwa ia telah melakukan perbuatan zina. Akan
tetapi, Imam Maliki dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa pengakuan itu cukup satu
kali saja tanpa diulang-ulang. Alasannya adalah bahwa pengakuan ini merupakan
suatu pemberitahuan, dan pemberitahuan tidak akan bertambah dengan cara diulang-ulang.
b. Pengakuan harus
terperinci dan menjelaskan tentang hakikat perbuatan, sehingga dapat
menghilangkan syubhat (ketidakjelasan) dalam perbuatan zina tersebut.
c. Pengakuan
harus sah atau benar, dan hal ini tidak mungkin timbul kecuali dari orang yang
berakal dan mempunyai kebebasan. Dengan perkataan lain, orang yang memberikan
pengakuan haruslah orang yang berakal dan mempunyai pilihan (kebebasan), tidak
gila, dan tidak dipaksa.
d. Imam Abu Hanifah
mensyaratkan bahwa pengakuan harus dinyatakan dalam sidang pengadilan. Apabila
dilakukan di luar sidang pengadilan maka pengakuan tersebut tidak diterima.
Dalam jarimah
pencurian dan hirabah, menurut Zahiriyah, pengakuan cukup dinyatakan
satu kali dan tidak perlu diulang-ulang. Demikian pula pendapat Imam Malik,
Imam Abu Hanifah, dan Imam Syafi’i. Akan tetapi Imam Abu Yusuf, Imam Ahmad, dan
Syi’ah Zaidiyah berpendapat bahwa pengakuan harus dinyatakan sebanyak dua kali.
2.
Persaksian
Pengertian persaksian (الشهادة), sebagaimana
dikemukakan oleh Wahbah Zuhaili adalah sebagai berikut:
Persaksian
adalah suatu pemberitahuan (pernyataan) yang benar untuk membuktikan suatu
kebenaran dengan lafaz syahadat di depan pengadilan.
Dasar hukum untuk persaksian sebagai alat bukti
terdapat dalam Al-Qur’an[52]:
“…Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari
orang-orang lelaki di antaramu. Jika tidak ada dua orang laki-laki maka (boleh)
seorang lelaki dan ddua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai,
supaya jika seorang lupa, seorang lagi mengingatkannya.”
Sumber
dari sunnah antara lain tercantum dari hadits Amr ibn Syu’aib: “ Dari ‘Amr ibn Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, bahwa anaknya
Muhaishah yang paling kecil diketemukan terbunuh di pintu Khaibar maka
Rasulullah saw., bersabda: “ Ajukanlah dua orang saksi atas orang yang
membunuhnya, nanti saya berikan kepadamu tambang untuk mengqishasnya.[53]
Apabila saksi
tiu kurang dari empat maka persaksian tersebut tidak dapat diterima. Hal ini
apabila pembuktiannya itu hanya berupa saksi semata-mata dan tidak ada
bukti-bukti yang lain. Akan
tetapi tidak setiap orang bisa diterima untuk menjadi saksi. Mereka yang
diterima sebagai saksi adalah orang-orang yang memenuhi syarat-syarat yang
telah ditentukan. Syarat-syarat tersebut adalah:
a. Baligh
(dewasa)
Setiap saksi dalam setiap jarimah harus baligh.
Apabila belum baligh maka persaksiannya tidak dapat diterima.
b. Berakal
Seorang saksi disyaratkan harus berakal. Orang yang
berakal adalah orang yang mengetahui kewajiban pokok dan yang bukan, yang
mungkin dan tidak mungkin, serta mudarat dan manfaat. Dengan demikian,
persaksian orang yang gila dan kurang sempurna akalnya tidak dapat diterima.
c. Kuat ingatan
seorang saksi harus mampu mengingat apa yang
disaksikannya dan memahami serta menganalisis apa yang dilihatnya, disamping
dapat dipercaya apa yang dikatakannya. Dengan demikian, apabila pelupa,
persaksiannya tidak dapat diterima. Alasan tidak dapat diterimanya persaksian
dari orang yang pelupa adalah karena orang yang pelupa itu, apa yang
dikatakannya tidak bisa dipercaya sehingga kemungkinan terjadi kekeliruan dan
kesalahan dalam persaksiannya.
d. Dapat berbicara
Apabila ia bisu, status persaksiannya
diperselisihkan oleh para ulama. Menurut mazhab Maliki, persaksian orang yang
bisu dapat diterima apabila isyaratnya dapat dipahami. Menurut mazhab Hanbali,
orang yang bisu persaksiannya tidak bisa diterima, walaupun isyaratnya dapat
dipahami kecuali apabila ia dapat menulis. Sebagian ulama syafi’iyah dapat
menerima persaksian orang yang bisu, karena isyaratnya sama seperti ucapan,
sebagaimana yang dilaksanakan dalam akad nikah dan talak. Akan tetapi sebagian
lagi berpendapat bahwa persaksian orang yang bisu tidak dapat diterima, karena
isyarat yang menggantikan ucapan itu hanya berlaku dalam keadaan darurat.
e. Dapat melihat
Apabila saksi tersebut
orang yang buta maka para ulama berselisih pendapat tentang diterimanya
persaksian tersebut. Menurut kelompok Hanafiyah, persaksian orang yang buta
tidak dapat diterima. Hal ini karena untuk dapat melaksanakan persaksian, saksi
harus dapat menunjukkan objek yang disaksikannya. Disamping itu, orang yang
buta hanya dapat membedakan sesuatu dengan pendengarannya.
Golongan Malikiyah
menerima persaksian orang yang buta dalam masalah yang berkaitan dengan ucapan
yang dapat diketahui dengan pendengaran, asal ia tidak ragu-ragu dan ia
menyakini objek yang disaksikannya. Apabila ragu maka persaksiannya tidak sah.
Adapun dalam masalah-masalah yang harus dilihat dengan mata maka persaksian
orang yang buta tidak dapat diterima. Pendapat Malikiyah ini pada umumnya sama
dengan pendapat Syafi’iyah.[54]
f. Adil
Pengertian adil menurut
Malikiyah adalah selalu memelihara agama dengan jalan menjauhi dosa besar dan
menjaga diri dari dosa kecil, selalu menunaikan amanat dan bermuamalah dengan
baik. Ini tidak berarti tidak melakukan maksiat sama sekali, karena hal itu
tidak mungkin bagi manusia biasa. Hanafiyah berpendapat bahwa adil itu adalah
konsisten melaksanakan ajaran agama (Islam), mendahulukan pertimbangan akal
daripada hawa nafsu.
g. Islam
Dengan demikian,
persaksian orang yang bukan Islam tidak dapat diterima, baik untuk perkara
orang muslim maupun perkara non muslim. Hal ini merupakan prinsip yang diterima
semua fuqaha. Akan tetapi, terhadap prinsip yang sudah disepakati ini terdapat
dua pengecualian sebagai berikut.
1) Persaksian orang
bukan Islam terhadap perkara orang bukan Islam
Golongan Hanafiyah berpendapat
bahwa persaksian orang kafir dzimmi atas perkara sesamanya dan orang kafir
harbi atas perkara sesamanya dapat diterima. Hal ini didasarkan kepada tindakan
Rasulullah saw. yang memperkenankan persaksian orang Nasrani atas perkara
sesama mereka. Akan tetapi, Malikiyah dan Syafi’iyah menolak sama sekali
persaksian orang yang bukan Islam secara mutlak, baik perkara orang Islam
maupun perkara bukan Islam.
2) Persaksian
nonmuslim atas perkara muslim dalam hal wasiat di perjalanan
Golongan Hanabilah berpendapat bahwa apabila
golongan seorang muslim yang sedang berpergian meninggal dan berwasiat dengan
disaksikan oleh orang-orang bukan muslim maka persaksian mereka dapat diterima,
apabila tidak ada orang lain yang beragama Islam. Pendapat
Zhahiriyah dalam hal ini sama dengan
pendapat Hanabilah. Akan tetapi Malikiyah, Hanafiyah, dan Syafi’iyah, serta
Zaidiyah tidak menerima persaksian orang non muslim dalam kasus ini, karena
orang fasik saja tidak diterima, apalagi orang kafir.
3.
Qarinah
Pengertian qarinah menurut Wahbah Zuhaili adalah
sebagai berikut:
Qarinah
adalah setiap tanda (petunjuk) yang jelas yang menyertai sesuatu yang samar,
sehingga tanda tersebut menunjukkan jelas kepadanya.
Qarinah atau
tanda yang dianggap sebagai alat pembuktian dalam jarimah zina adalah timbulnya kehamilan pada seorang wanita yang
tidak bersuami, atau tidak diketahui suaminya. Sebenarnya kehamilan semata-mata
bukan merupakan qarinah yang pasti atas terjadinya perbuatan zina, karena
mungkin saja kehamilan tersebut terjadi akibat perkosaan. Oleh karena itu,
apabila terdapat syubhat dalam terjadinya zina tersebut maka hukuman had
menjadi gugur.
Menurut Imam Abu
Hanifah, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad, apabila tidak ada bukti lain untuk
jarimah zina selain kehamilan maka apabila wanita itu mengaku bahwa ia dipaksa,
atau persetubuhan terjadi karena syubhat maka tidak ada hukuman had baginya.
Demikian pula apabila tidak mengaku dipaksa atau tidak pula mengaku terjadi
syubhat dalam persetubuhannya maka ia tidak juga dikenai hukuman had, selama ia
tidak mengaku berbuat zina, karena hukuman had itu harus dibuktikan dengan
saksi atau pengakuan. Pada
jarimah Syurbul Khamr, pembuktian qarinah dapat dilihat dari bau minuman
dari mulut orang yang meminum khamr,
mabuk, dan muntah.
4.
Data Forensik
Dalam imu kedokteran
dikenal adanya Kedokteran Forensik yaitu cabang ilmu kedokteran yang
berhubungan dengan penerapan fakta-fakta medis pada masalah-masalah hukum; atau
ilmu bedah yang berkaitan dengan penentuan identitas mayat seseorang yang ada
kaitannya dengan kehakiman dan peradilan.
Melalui ilmu kedokteran forensik
dapat diketahui telah telah terjadi kejahatan atau tidak, misalnya jarimah
perzinaan. Penemuan itu dapat berupa diketahuinya: selaput dara yang robek,
atau tanda memar pada alat kelamin, diketahuinya golongan darah si pelaku,
diketahuinya jenis kromosom atau genetik, diperolehnya bukti kehamilan sampai
diketahuinya dan didapatkannya bukti DNA yaitu inti sel yang terdapat pada sel
darah putih yang spesifik pada setiap orang.
Jadi pembuktian melalui ilmu
kedoktran forensik dapat dikatakan sama kuatnya dengan bukti melalui
penglihatan mata telanjang secara tradisional. Dalam laporan visum et
repertum (keterangan atau keterangan ahli) dokter yang melakukan
pemeriksaan forensik melaporakan hasil penglihatannya atas barang bukti yang
diperiksa secara lengkap dengan ciri-ciri hasil pemeriksaannya.
Oleh karena itu, kualitas hasil penelitian ilmu
pengetahuan Kedokteran Forensik dapat dipertimbangkan menjadi alat bantu
pembuktian perkara pidana Islam.
Hukum Hudud
[55], datang
dari Allah , disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, sebab sebahagian beranggapan bahwa
Hukum Hudud hanyalah hasil karangan para ulama yang tidak berlandasan dengan
al-Qur`an dan Sunnah, mereka adalah golongan yang menuduh ahli fiqih dan ahli hadits
memasukkan hukum dengan berlandaskan hawa nafsu mereka, sebahagiannya
lagi berpendapat bahwa hudud tidak terdapat didalam
al-Qur`an cuma terdapat didalam Hadis, sementara mereka tidak menerima hadis
jika muatannya itu tidak didukung oleh al-Qur`an al-Karim, mereka ini adalah anti Sunnah.
Hal ini pernah Rasulullah sebutkan didalam hadisnya :
لا ألفين أحدكم متكئا على أريكته
يأتيه الأمر مما أمرت به، ونهيت عنه، فيقول : لا أدري ما وجدنا في كتاب الله
اتبعنا
Artinya : Janganlah sempat aku dapati
seorang di antaramu yang
sedang duduk menyandar di kursinya, telah datang kepadanya perintahku dan laranganku,
kemudian dia berkata : " Aku tidak tahu, apa yang kami dapati di dalam al-Qur`an itu yang kami ikuti.[56].
Rasul bersabda :
ما أمرتكم به فخذوه وما نهتكم عنه
فانتهوا
Artinya : Apa yang saya suruh hendaklah kamu
laksanakan, dan apa yang saya larang dari kumu hendaklah kamu tinggalkan.[57]
Rasulullah bersabda :
من أطاعني فقد أطاع الله ومن عصاني
فقد عصا الله
Artinya : Barangsiapa yang taat kepadaku maka dia
telah ta`at kepada Allah, dan Barangsiapa yang tidak patuh kepada ku maka dia telah tidak patuh kepada Allah,[58] sehingga
jika tidak terdapat di dalam
al-Qur`an sekali pun, tetapi didapati didalam hadis yang sohih maka kita wajib
melaksanakannya dan wajib menerimanya sebagai hukum Allah, jika kita tidak
menjunjung tinggi dan menerimanya maka kita telah ingkar dengan suruhan Allah
yang telah menyuruh kita untuk menta`ati Nabi Muhammad SAW.
Padahal Allah telah berfirman:
Artinya : Katakanlah lagi ( kepada mereka ) :
" Ta`atlah kamu kepada Allah dan ta`atlah kepada Rasul Allah… [59].
Allah
berfirman :
Artinya : … Dan
hendaklah mereka yang mengingkari perintahnya ( Muhammad ) beringat serta
berjaga-jaga jangan mereka tertimpa bala` bencana atau di timpa azab
siksa yang amat pedih .[60]
Dan Allah telah menjelaskan juga bahwa
apa yang Rasulullah sampaikan kepada umat merupakan wahyu darinya, dan tidak
akan mungkin Nabi Muhammad berbicara mengikuti keinginan hawa nafsunya
sendiri.
Allah
berfirman :
وما ينطق عن الهوى إن هو إلا وحي يوحى
Artinya
: Dan dia tidak memperkataka ( sesuatu yang berhubungan dengan agama islam )
menurut kemauan dan pendapatnya sendiri . Segala yang di perkatakannya itu (
sama ada al-Qur`an atau Hadis ) tidak lain hanyalah wahyu yang disampaikan
kepadanya .[61]
Setelah kami sebutkan dalil-dalil yang menunjukkan tentang wajibnya
menerima perintah Rasul s.a.w dari hadis dan firman Allah maka semestinya kita
benar-benar menjunjung tinggi perintah Rasul, dan tidak menginngkarinya .
Tumbuh dan berseminya sekarang
pemikiran sekuler dan libral membuat banyak kalangan masyarakat tidak
betul-betul memahami permasalahan hudud, mereka menganggap bahwa hudud
merupakan sesuatu yang melanggar hak azazi manusia yang tidak dapat di terima,
tetapi lebih menyakitkan lagi jika kita lihat gejala masyarakat yang telah
tidak percaya dengan pihak keamanan dan polisi, dengan ketidak percayaan mereka
terhadap aparat hukum dan kepolisian maka mereka berlaku mainhaki sendiri, jika
menangkap seseorang yang kedapatan mencuri maka mereka akan bakar hidup-hidup
tanpa proses tanya jawab dan penyelidikkan, sebagaimana terjadi di Sumatra
Utara Indonesia, dua pria telah di tuduh mencuri kemudian di bakar hidup-hidup
tanpa di selidiki dan diintrogasi, kasus-kasus pencurian yang marak jika di
jalankan hukum hudud dengan memotong tangan si pencuri maka insyallah negara
akan aman.
Agama Islam datang bertujuan untuk memberikan kemaslahatan dan
kebaikkan kepada umat, serta bertujuan untuk menolak segala hal-hal yang dapat
memberi mudhrat dan yang membahayakan, sebab itu Islam datang menjaga beberapa
hal yang sangat penting mencakup dari :
1
- Jiwa dan nyawa. 2
- Agama . 3 - Harta . 4 - Nasab dan keturunan.
5
- Harga diri . 6 - Akal
1-
Memelihara jiwa dan nyawa.
Islam sangat menghormati jiwa
sesorang, karena Allah telah menciptakan jiwa tersebut dan semestinya dijaga
dengan sebaiknya, sebab itulah syari`at islam mengharamkan umatnya membunuh
jiwa tanpa hak, bahkan islam mengharamkan seseorang muslim membunuh dirinya
sendiri, kehidupan itu adalah anugerah dari Allah s.w.t, maka tidak sewajarnya
dihabiskan dengan pembunuhan, din samping itu Allah juga telah menetapkan hukuman dan ganjaran
bagi sang pembunuh dengan mengadakan qisaas kepada si pembunuh.[62]
Pembunuhan jika dilakukan oleh
seseorang dengan sengaja maka di bunuh juga, betapa besar rahmat Allah kepada
manusia, jika di pikir - pikir secara logika, seseorang yang memiliki ahli
keluarga yang terbunuh tidak akan terima pembunuhan terhadap keluarganya, ahli
keluarga yang terbunuh sangat menginginkan orang yang membunuh keluarganya di
hukum dengan seberat-beratnya dan seadil-adilnya, tidak ada hukuman yang
seadil-adilnya dan seberat-beratnya kecuali pelaksanaan qisas terhadap si
pembunuh, penulis sangat yakin andaikata hal ini terjadi terhadap orang yang
menolak hukum qisaas, maka mereka akan menuntut kepada pihak pengadilan sesuatu
yang lebih kejam daripada hukum qisaas.
Allah
berfirman didalam masalah hukum qisas :
يأيها الذين آمنوا كتب عليكم القصاص
في القتلى
Agama Islam sangat menghormati kepercayaan
orang lain, Islam
tidak mendesak dan memaksa seseorang agar memeluk agama Islam, tetapi jika terjadi penukaran
agama setelah masuk islam berarti ini merupakan salah satu tindak kejahatan yag
perlu dihukum, penukaran agama di pandang mempermainkan agama tersebut, jika
didalam beberapa waktu seseorang yang murtad ( yang telah keluar agama Islam ) tidak kembali ke pangkuan Islam setelah dinasehati maka
orang tersebut di bunuh sebagai hukuman terhadapnya. Hadis Rasulullah menyatakan :
من بدل دينه فاقتلوه
3
- Memelihara harta benda.
Harta
benda merupakan anugerah Allah yang di berikan kepada seseorang, mengambilnya
dengan tanpa hak merupakan satu kejahatan yang di pandang jelek oleh seluruh
agama didunia ini, untuk menjaga harta benda seseorang tidak diambil dan di
curi oleh orang yang jahat islam menetapkan hukum hudud bagi para pelakunya,
hal ini sangat penting sekali agar masyarakat aman dan tidak banyak terdapat
pencurian di suatu negara, tentang wajibnya pelaksanaan hudud potong tangan di
kuatkan oleh Firman Allah yang berbunyi :
والسارق والسارقة فاقطعوا أيديهما
Artinya : Dan orang laki-laki yang mencuri dan
orang perumpuan yang mencuri potonglah tangan mereka .[66]
Rasulullah
bersabda :
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم
يقطع يد السا رق في ربع دينار فصاعدا .
Artinya : Rasulullah s.a.w telah memotong tangan
seseorang pencuri, ( yang telah mencuri sesuatu ) yang berharga seperampat
dinar lebih .[67]
4
- Memelihara keturunan dan nasab.
Zina
merupakan perbuatan yang melanggar norma-norma agama dan negara, dengan
terjadinya kehamilan yang disebabkan perzinaan akan mengakibatkan sulitnya
untuk menjaga keturunan dan nasab anak yang dilahirkan, anak itu akan
dikucilkan oleh masyarakat karena tidak memiliki ayah yang sah, zina juga dapat
menjadikan hubungan rumah tangga menjadi retak dan hancur, sebab itu islam
telah memberikan hukuman bagi para penzina dengan beberapa hukuman.
a
- Bagi anak gadis dan pria lajang.
Hukuman
kepada mereka dicambuk, kemudian diasingkan satu tahun, sebagaimana yang di
jelaskan oleh Rasulullah s.a.w .
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال : أن
النبي صلى الله عليه وسلم قضى فيمن زنى ولم يحصن بنفى عام وإقامة الحد عليه
Artinya : Bahwasanya Nabi s.a.w. menghukum seorang
yang berzina yang belum pernah kawin, dengan di asingkan setahun dan
dilaksanakan had sebatan,jilid ( seratus kali ) kepadanya . [68]
b
- Bagi seseorang yang telah kawin
Sementara bagi yang telah berkawin
dihukum dengan rajam sampai mati, sebagaimana yang telah terjadi kepada Ma`iz
bin Malik, perempuan dari Ghamidiyyah dan perempuan dari Yahudi, hal ini telah
menjadi ijma` ulama dan telah tertulis didalam kitab-kitab hadis bukan saja
kitab-kitab fiqih, hal ini membuktikan rajam bukan buatan ulama-ulama fiqih
bahkan hukum Allah yang telah disampaikan kepada Nabinya, dan disebarkan oleh
ulama-ulama umatnya.
Rasulullah
bersabda :
والذي نفسي بيده ، لأقضين بينكما
بكتاب الله، والوليدة والغنم رد عليك، وابنك جلد مائة وتغريب عام ، واغد يا أنيس
إلى امرأة هذا ، فإن اعترفت فارجمها
Artinya
: Demi Allah yang jiwaku didalam kekuasanya, niscaya saya akan menghakimi antara
kamu berdua dengan kitab Allah, hamba perempuan dan kambing dikembalikan kepada
mu, dan hukuman anakmu seratus kali sebat dan diasingkan selama satu tahu,
pergilah kamu ya Unais ke isteri laki-laki ini jika dia mengaku maka rajamlah
dia.[69]
Umar
r.a Berkata :
Sesungguhnya Allah telah mengutus
Muhammad dengan kebenaran , dan Allah telah turunkan kepadanya al-Qur`an, dan
diantara ayat yang Allah telah turunkan kepadanya adalah Ayat Rajam, kami telah
membacanya, menghafalnya dan memahaminya, Rasulullah telah menjalankan hukuman
rajam tersebut, saya takutkan jika telah berlalu lama terhadap orang-orang ,
maka mereka mengatakan : Kami tidak menemukan ayat rajam didalam al-Qur`an,
maka mereka sesat dengan meninggalkan satu kefardhuan yang telah Allah turunkan,
sesungguhnya rajam itu memang ada didalam kitab Allah bagi orang yang berzina,
apabila telah kawin dari laki-laki dan perempuan, apa bila terdapat disana
saksi ( empat orang yang adil ), atau kehamilan dan pengakuan ( sang penzina ).[70]
Adapun
ayat yang telah dimansukhkan bacaannya dan masih di tetapkan hukumnya adalah
:
Firman
Allah :
الشيخ والشيخة إذا زنيا فارجموهما
البنة
Artinya : Lelaki yang pernah kawin dan perempuan
yang pernah berkawin jika berzina hendaklah kamu rajam keduanya.
5
- Memelihara harga diri.
Menuduh seorang wanita yang solehah
berzina merupakan hal yang menghilangkan harga diri seseorang hal ini tidak di
perbolehkan oleh Allah, bahkan Allah SWT., menghukum orang menuduh tersebut jika tidak dapat
mendatangkan saksi sebanyak empat orang laki-laki yang adil di had, karena hal
itu memalukan kepribadian wanita tersebut, sebagai Allah menjelaskan
hukuman qadzaf ( menuduh ) didalam al-Qur`an surah an-Nur.
Mengenai ta’zir, dalam
bahasa Arab
diartikan sebagai penghinaan. Adapun yang dimaksud dengan arti lain menurut terminology fiqih adalah tindakan edukatif terhadap pelaku
perbuatan dosa yang tidak ada sanksi had dan
ta’zirnya. Atau dengan kata lain adalah hukuman yang bersifat mendidik yang ditentukan oleh hakim atas
pelaku tindak pidana
atau pelaku pernbuatan maksiat yang hukumannya belum ditentukan oleh
syari’at. [71] Hukuman
kejahatan atau kepastian hukumnya belum ada, maka diberi hukuman ta’zir.
Seperti hubungan seks bukan pada vagina; Mencuri di
bawah satu nisab.Pelanggaran yang dapat dihukum dengan metode ini adalah
yang menggangukehidupan, harta, serta
kedamaian dan ketentraman masyarakat.
2.Disyari’atkannya ta’zir
“
janganlah kamu melakukan pemukulan
lebih dari 10 kali cambukan, kecuali hanyadalam pelaksanaan hukuman had yang telah mendapat restu
dari Allah ta’ala”.
Telah
ditetapkan bahwa khalifah Umar Ibnu Khattab R.A melakukan hukuman ta’zir, yaitu
hukuman yang
bersifat mendidik, yakni dengan
mencukur gundul kepala,mengasingkan dan memukul. Para
imam yang ber-jumlah tiga
mengatakan, bahwa hukuman ta’zir wajib dilakukan.Adapun imam Syafi’i mengatakan
bahwa hukum ta’zir tidaklah wajib.
“Barangsiapa
yang kami angkat menjadi karyawan untuk mengerjakan sesuatu, dan kami beri
upah menurut semestinya, maka apa yang ia ambil lebih dari upah yang semestinya, maka itu namanya
korupsi”. [72]
Jadi semua komisi atau hadiah yang diterima seorang petugas atau pejabat dalam
rangka menjalankan tugasnya bukanlah menjadi
haknya. Misalnya seorangstaf sebuah kantor pemerintahan dalam pembelian inventaris
kantornya dia mendapat discount dari si penjual, maka discount
tersebut bukanlah menjadi miliknya, tetapi menjadi milik kantor. Contoh lainnya
yang sering terjadi adalah seorang pejabat,
menerima hadiah dari calon tender supaya calon tender yang mem
beri hadiahtersebut yang mendapat tender
tersebut.
3.Bentuk hukuman
ta’zir
Hukuman
ta’zir adakalanya dengan ucapan penghinaan, peringatan dan nasehat danterkadang
dengan perbuatan sesuai dengan kondisi yang ada. Seperti juga ta’zir
itudilakukan dengan pemukulan, kurungan, pasungan, pengasingan, pengisoliran,
danskors.Tidak boleh menjatuhkan hukuman ta’zir dengan mencukur jenggot,
merusak rumah, mencabut tanaman kebun, merusak laha dan pepohonan. Sebagaimana tidak boleh pula
memotong hidung, daun telinga, bibir, jari-jari, tangan, sebab hal ini belum pernah
dilakukan oleh para sahabat. Sebuah contoh: hukuman untuk pelaku Homoseksual itu
bisa saja berbentuk ta’zir atau penahanan. Adapun penahanan
tergantung pada seberapa berat atau besar kecil tindakan yang dilakukan
pelaku.
4.Ta’zir Lebih
Dari 10 Kali Cambukan
Menurut Imam Ahmad Al-laits Ishaq dan sekelompok imam
Syafi’i mengatakan:“Tidak boleh menjatuhkan (hukuman ta’zir) lebih dari 10 kali deraan yeng telahditentukan
oleh syari’at”Adapun
imam Malik, As-Syafi’i, zaid ibnu
‘ali, dan lain-lain, merekamemperbolehkan
dera lebih dari sepuluh kali, akan tetapi jangan sampai melewati batas
minimal hukuman sangsi pidana.
5.Ta’zird dengan hukuman
mati
Hukuman
ta’zir dengan membunuh pelaku pelanggaran diperbolehkan oleh sebagian para ulama. Dan sebagian lainnya
melarangnya. Bila dosa itu dilakukan berulang-ulang (membunuh dengan
benda berat dan homosex) menurut pokok-pokok kalangan madzhab Hanafi.
6.Ta’zir dengan merampas harta benda.
Hukuman
ta’zir dengan mengambil harta benda si pelanggar diperbolehkan. Iniadalah pendapat yang dianut oleh madzhab abu yusuf, dan
diakui pula oleh imamMalik. dan
Ibnu Qayyim pernah
meriwayatkan bahwa Nabi SAW.
pernahmenjatuhkan
hukuman ta’zir dengan melarang bagian orang yang berhak dari hartarampasan kaum muslimin, karena dia melakukan
pelanggaran. Dan beliau SAW,memberikan maklumat
tentang hukuman ta’zir bagi siapa yang tidak membayar zakat,yaitu dengan mengambil sebagian harta dari si pelanggar.
Untuk itu, Nabi SAW. bersabda, dalam
hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dauh Dan Nasa’i:
“Barang
siapa yang memberikan zakat demi mengharapkan pahala, maka ia akanmemperoleh pahalanya, dan barang siapa yang
menolaknya maka sesungguhnya kami akan mengambilnya dan sebagian dari hartanya
sebagai penebus kepastian tuhan
kami.”
Hukum ta’zir sepenuhnya ada ditangan hakim. Sebab
beliaulah yang memegang tampuk pemerintahan kaum
muslimin.
8.Tanggungjawab terhadap
ta’zir
Tidak
ada hukuman, larangan,
bagi sang ayah yang menta’zir anaknya dalam rangka mendidiknya.
Suami bila mendidik istrinya. Sang hakim bila mendidik si terhukum.Tapi dengan
syarat, dalam menjatuhkan hukuman tidak berlebihan dan tidak melebihitarget
yang telah ditetapkan oleh hukum ta’zir.Bila hukuman berlebihan dalam upaya
mendidiknya, hakim, suami, dan ayah,tergolong orang yang berlaku aniaya.
Karenanya ia harus bertanggungjawab terhadap apa yang dilakukannya.
[1]
Ali Bek Badawi dalam al-Ahkam al-'Ammah fil Qanun al-Jina'i
menyebutkan, dalam hukum konvensional, suatu perbuatan atau tidak berbuat
dikatakan sebagai tindakan pidana apabila diancamkan hukuman terhadapnya oleh
hukum pidana konvensional.Dalam Ensiklopedi Islam disebutkan, Jinayah (al-jinayah) berasal dari kata jana-yajni yang berarti akhaza (mengambil) atau sering pula
diartikan kejahatan, pidana, atau kriminal.
Bandingkan Adul Manan, Reformasi Hukum Islam Di Indonesia, Op Cit, 154.
[2]
Penelitian
kepustakaan tentang "Putusan Pengadilan Negeri Surabaya No.33/Pid.B/2008/PN.Sby Tentang
Pencabulan Dalam Perspektif UU No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan
Hukum Pidana Islam" Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan
tentang apa Pertimbangan Hakim Dalam Memutuskan Perkara No.
33/Pid.B/2008/PN.Sby dan
Bagaimana Perspektif UU No. 23 Tahun 2002 Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Surabaya No. 33/Pid.B/2008/PN.Sby serta Bagaimana Perspektif Hukum Pidana Islam Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Surabaya No. 33/Pid.B/2008/PN.Sby?
Bagaimana Perspektif UU No. 23 Tahun 2002 Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Surabaya No. 33/Pid.B/2008/PN.Sby serta Bagaimana Perspektif Hukum Pidana Islam Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Surabaya No. 33/Pid.B/2008/PN.Sby?
[5]
Marsum, Jinayat (Hukum
Pidana Islam (Hukum Pidana Islam), (Yogyakarta: Penerbit Perpustakaan
Fakultas Hukum UII, 1989),194. Lihat juga: Marsum, Jarimah Ta’zir (Perbuatan
Dosa dalam Hukum Pidana Islam), (Yogyakarta: Penerbit Perpustakaan Fakultas
Hukum UII, 1989).
[6]Marsum, Jinayat (Hukum Pidana
Islam), (Yogyakarta: Penerbit Perpustakaan Fakultas Hukum UII, 1991), hlm.
62. Lihat juga: A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1967), hlm. 52. Bandingkan: Abdul Qadir Audah.
[8] TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, Filsafat
Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), 186.
[12]
Marsum, Jinayat
(Hukum Pidana Islam), (Yogyakarta: Penerbit Perpustakaan Fakultas Hukum
UII, 1991). 325
[13]
Ketaatan dan kepatuhan tersebut akan melahirkan prilaku atau moral yang
sesuai dengan ketentuan hukum tersebut, seperti iman seorang muslim yang kokoh
akan melahirkan ketaatan dan kepatuhan menjalankan perintah dan meninggalkan
larangan Allah, dan implikasi dari ketaatan dan kepatuhan itu adalah akhlak
karimah.
[16]Jarimah ta'zir adalah jarimah
yang diancam dengan hukuman ta'zir,pengertian ta'zir menurut bahasa ialah
ta'dib atau memberi pelajaran.dan menurut istilah,sebagaimana yang dikemukakan
oleh Iman Al Mawardi,pengertiannya sebagai berikut: Ta'zir itu adalah hukuman
pendidikan atas dosa (tindak pidana) yang belum ditentukan hukumannya oleh
syara'.Secara
ringkas ta'zir dapat di katakan bahwa hukuman ta'zir itu adalh hukuman yang
belum ditetapkan oleh syara'.melainkan diserahkan kepada ulil amri.baik
penentuan maupun pelaksanaannya.dalam menentukan hukuman tersebut,penguasa
hanya menetapkan secara global saja.artinya pembuat undang-undang tidak
menetapkan hukuman untuk masing-masing jarimah ta'zir,melainkan hanya
menetapkan sekumpulan hukuman,dari yang seringan-ringannya sampai
seberat-seberatnya.(A.Wardi Muslich 2004 : 19). Dengan demikian ciri khas jarimah
ta'zir adalah sebagai berikut: 1.Hukumannya tidak tertentu dan
tidak terbatas,artinya artinya hukuman tersebut belum ditentukan oleh syara'
dan ada batas minimal dan ada batas maksimal.2.Penetapan hukuman tersebut adalah
hak penguasa.Hukuman jarimah banyak jumlahnya yang dimulai dari hukuman yang
paling ringan sampai hukuman paling terberat.hakim diberi kewenangan untuk
memilik diantara hukuman-hukuman tersebut,yaitu hukuman yang sesuai dengan
keadan jarimah serta diri pembuatnya.hukuman-hukuman jarimah ta'zir antara lain
:
Pada dasarnya menurut syari'at islam,hukuman
ta'zir adalah untuk memberikan pengajaran (ta'dib) dan tidak sampai
membinasakan,oleh karena itu dalam hukum ta'zir tidak boleh ada pemotongan
anggota badan atau penghilangan nyawa.akan tetapi beberapa foqoha'memberikan
pengecualian dari hukuman umum tersebut ,yaitu kebolehan dijatuhkan hukuman
mati jika kepentingan umum menghedaki demikian atau pemberatasan tidak
terlaksanakankecuali dengan jalan membunuhnya,seperti mata-mata,pembuat fitna
namun foqoha'lain mengatakan dalam jarimah ta'zir tidak ada hukuman mati.
Dikalangan fuqoha' terjadi
perbedaan tentang batas tertinggi hukuman jilid dalam ta'zir.menurut pendapat
yang terkenal dikalangan ulama maliki,batas tertinggi diserahkan kepada
penguasa karena hukuman ta'zir didasari hukuman kemashalatan masyarakat dan
atas berat ringannya jarimah.imam abu hanafi dan muhammad pwerpendapat bahwa
batas tertinggi hukuman jilid dalam ta'zir adalah 39 kali,dan menurut abu yusuf
75 kali. Ada dua
hukuman kawalan dalam hukum islam yaitu :
1.
-hukuman
kawalan pertama adalah hukuman kawalan terbatas
2.
-hukuman
kawalan kedua adalah hukuman kawalan tidak terbatas
5.Hukuman ancaman (tagdid),teguran (tanbih)dan
peringatan. Ancaman
juga merupakan salah satu hukuman ta'zir dengan syarat akan membawa hasil dan
bukan hanya ancaman kosong.minsalnya dengan ancaman akan dijilid,dipenjarakan
atau dihukum dengan hukuman yang lain jika pelaku mengulangi tindakanya lagi. Sementara hukuman teguran pernah
dilakukan Rosulullah terhadap sahabat abu dzar yang memaki-maki orang lain
dengan menghinakan ibunya.maka Rosulullah saw berkata;wahai abu dzar engkau
menghina dia dengan menjelek-jelekan ibunya,engkau adalah orang yang masih
dihinggapi sifat-sifat jahiliyah.Hukuman peringatan juga diterapkan dalam
syari'at islam dengan jalan memberi nasehat kalau hukuman ini cukup membawa
hasil.hukuman ini dicantumkan dalam al-Qur'an sebagaimana hukuman terhadap
istri yang berbuat dikhawatirkan berbuat nusyuz.
6.Hukuman pengucilan (al-hajru). Hukuman
pengucilan merupakan salah satu hukuman ta'zir yang disyari'atkan oleh Islam.dalam
sejarah,Rosullah pernah melakukan hukuman pengecualin terhadap tiga orang yang
tidak ikut serta dalam perang tabuk,yaitu ka'ab bin malik,miroroh bin
rubi'ah,dan hilal bin umaiyah.mereka dikucilkan selama lima puluh hari tanpak
diajak bicara.
7.Hukuman denda.Hukuman denda ditetapkan juga
oleh syariat islam sebagai hukuman,antra lain mengenai pencurian buah yang
masih tergantung dipohonnya,hukuman didenda dengan lipat dua kali harga buah
tersebut. Addul Qodir audah membagi tiga hukuman terhadap jarimah ta'zir
yaitu:
1.
Jarimah
hudud dan qishash diyat yang mengadung unsur shubhat atau tidak memenuhi
syarat namun hal itu sudah dianggap sebagai perbuatan maksiat seperti pencurian
harta syirkah,pembunuhan ayah terhadap anaknya dan pencurian yang bukan harta
benda.
2.
Jarimah
ta'zir dimana jenis jarimah di tentukan oleh nash,tetapi saksinya oleh syariat
diserahkan kepada penguasa seperti sumpah palsu,sakit palsu,mengurangi timbangan,menipu,mengikari
janji,menghianati amanah,dan menghina agama.
3.
Jarimah
ta'zir dimana jarimah dan saksinya secara penuh menjadi wewenang penguasa demi
terealisasinya kemaslahatan umat.dalam hal ini akhak menjadi pertimbangan yang
paling utama minsalnya pelanggaran terhadap peraturan lingkungan hidup ,lalu
lintas,dan pelanggaran terhadap pemerintah lainnya.
[17] Tingkat kemampuan seorang mumayyiz. Kemampuan ‘aql atau
nalar,adalah hal yang di perhitungkan pertama kali pada seorang anak untuk di
sebut mumayyiz. Bulugh (tanda-tanda pubertas fisik) dan ciri
khasnya. Saat anak beranjak dewasa, menjadi lebih mudah bagi kita untuk
mengetahui dengan tepat tingkat perkembangannya. Pada tingkat tertentu dalam
kehidupan seorang anak, berbagai macam aspek perkembangannya dapat diamati. Masa
pubertas dapat dengan mudah terlihat jika seorang anak berada dalam pengamatan
yang terus menerus dan seksama. Istilah bulugh yang juga dikenal dengan
istilah pubertas merupakan masa transisi fisik dari fase kanak-kanak menjadi
fisik orang dewasa dengan ditandai oleh gejala-gejala fisik—penomena mimpi bagi
laki-laki dan haid bagi kalangan perempuan. Adapun klasifikasi umur yang
menginjak era pubertas/transisi fisik menurut para ahli hukum, sebagaiman di
rangkum oleh Dadan Muttaqien, bahwa sejauh ini masa pubertas tidak pernah
dicapai sebelum usia Sembilan tahun. Mereka juga menekankan bahwa masa puber
tidak selalu terjadi di usia ini pada setiap anak, karena banyaknya
factor-faktor yang munkin dapat menunda proses kedewasaan fisik. Oleh karena
itu sebagian besar ahli hukum seperti: al-Awza’I, Imam Ahmad,
al-Syafi’I, Abu Yusuf, dan Muhammad, semua berkesimpulan bahwa lima belas
tahun adalah usia paling lambat bagi seseorang untuk mencapai kematangan fisik,
terlepas dari tidak tampaknya tanda-tanda fisik. Rusyd (kedewasaan
mental) . Hukum juga menekankan pentingnya pencapaian rusyd atau
kedewasaan mental, yaitu baik kesempurnaan bulugh maupun kematangan
mental, dalam arti mampu untuk berfikir (‘aql).
[18] Allah Swt berfirman (yang artinya): ”Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh (al
hulum=mimpi), maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang
sebelum mereka meminta izin“ (QS. An-Nur[24]:59)Syariah
Islam mengarahkan anak sesuai masa baligh. Proses pendidikan anak dalam Islam,
pada dasarnya mengarahkan anak agar dewasa secara pemikiran (aqil) seiring
dengan kedewasaannya secara biologis (baligh). Ajaran
Islam yang memerintahkan untuk mengajari anak shalat pada usia tujuh
tahun (HR Ahmad, at Tirmidzi, Thabrani dan Hakim), dan diperbolehkannya memukul
tanpa menyakitkan anak yang berusia sepuluh tahun bila ia tak mau sholat
(HR Ahmad, Tirmidzi, Thabrani dan Hakim) hingga
ditetapkannya usia baligh sudah terbebani hukum syariah (mukallaf).Selanjutnya
adalah pembahasan pertanyaan saya sendiri tentang hukuman bagi seorang anak
yang melakukan tindak kejahatan. Di dalam Islam, seorang anak yang berbuat
kejahatan, tidak dikenai hukuman, kecuali yang berkaitan dengan hukuman-hukuman
tertentu yang sudah ditetapkan oleh Allah swt. Misalnya, jika seorang anak
masih belum shalat meskipun umurnya telah mencapai 10 tahun, maka dia harus
dipukul.
Keluarga,
masyarakat dan negara bertanggung jawab terhadap kriminalitas yang dilakukan
anak-anak saat ini. Tingkat tanggung jawabnya bertambah dan puncaknya berada di
negara. Menyerahkan pendidikan anak kepada keluarga saja belum cukup, apabila
masyarakat dan negara tidak menerapkan aturan dan sanksi untuk melindungi
anak-anak dari tindak kejahatan dan berbuat jahat. Dalam pandangan Islam, negara adalah satu-satunya
institusi yang dapat melindungi anak dan mengatasi persoalan kejahatan anak ini
secara sempurna. Ini karena Islam telah menjadikan berbagai hukum yang
menjauhkan anak dari tindak kriminal dan mewajibkan negara untuk menerapkan
hukum tersebut.
[21] Tentang “ Hakim, Mahkum Fih,
Mahkum ‘Alaih, dan Logika Hubungan antara Hakim dan Mukallaf serta Ragam-ragam
Hukum yang ditentukan kepada Mukallaf”. Dimana makalah ini memaparkan bahwa
Hakim adalah Allah sebagai satu-satunya pembuat hukum. Mahkum Fih adalah
perbuatan mukallaf yang dikenakan hukum. Sedangkan Mahkum ‘Alaih adalah subyek
hukum yaitu mukallaf. Adapun
hubungan antara hakim dan mukallaf sangat berhubungan erat. Adanya hukum,
hakim, mahkum fih dan mahkum ‘alaih menjadikan terlaksananya hukum syar’i.
Sedangkan ragam-ragam hukum yang ditentukan kepada mukallaf meliputi hukum taklifi dan hukum wadh’i . Dimana hukum taklifi dibagi menjadi 5 yaitu : 1. Wajib 2. Haram 3. Sunat 4. Mubah 5. Makruh Dan Hukum wadh’i dibagi menjadi 7 yaitu : 1. Sebab 2. Syarat 3. Mani’ 4. Syah 5. Batal 6. ‘Azimah 7. Rukhshah
Sedangkan ragam-ragam hukum yang ditentukan kepada mukallaf meliputi hukum taklifi dan hukum wadh’i . Dimana hukum taklifi dibagi menjadi 5 yaitu : 1. Wajib 2. Haram 3. Sunat 4. Mubah 5. Makruh Dan Hukum wadh’i dibagi menjadi 7 yaitu : 1. Sebab 2. Syarat 3. Mani’ 4. Syah 5. Batal 6. ‘Azimah 7. Rukhshah
[22]
Karena yang dimaksudkan dengan sah adalah tercapainya ketentuan
syara’ dalam suatu perbuatan, dan batal atau fasad, tidak terdapatnya pengaruh
syara’ dalam perbuatan tersebut.
[23]
Sumber hak adalah Allah
SWT, karena Allah SWT adalah pembuat syariat, undang-undang dan hukum atas
manusia dan seluruh alam. Oleh karena itu, hak selalu terkait dengan kehendak
Allah SWT dan merupakan pemberian-Nya, yang dapat diketahui berdasarkan sumber
hukum Islam itu sendiri, yaitu Al-Qur’an dan sunah Rasulullah Saw.
[26]
Sebuah survey yang melibatkan rata-rata 100 responden remaja
usia 15-24 tahun yang ada di setiap kecamatan di Kota Bandung, pernah dilakukan
oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan 25 Messenger Jawa Barat, selama Juni
2008 lalu. Hasilnya, sekitar 56% remaja Kota Bandung sudah pernah berhubungan
seks bebas (berzina) di luar nikah, dengan pacar, teman, dan pelacur. Perilaku
remaja yang mengadopsi seks bebas seperti itu paling banyak dipengaruhi oleh
tontonan film porno, termasuk dari internet dan melalui telepon seluler. Perilaku seks bebas di kalangan
remaja tidak hanya dipraktekkan remaja kota besar seperti Jakarta dan Bandung,
tetapi juga di kota-kota lain yang bukan tergolong kota metropolitan. Misalnya,
sebagaimana dilakukan oleh seorang siswi salah satu SMK di Praya, Kabupaten
Lombok Tengah, NTB. Siswi berusia 17 tahun itu, untuk bisa melakukan seks bebas
(berzina) dengan pacarnya yang berusia 21 tahun, harus pergi ke kota yang agak
besar (Mataram), di sana mereka menyewa sebuah kamar di salah satu hotel kelas
melati. Seks bebas yang dilakukannya itu berlangsung siang-siang sekitar jam
11:00 waktu setempat. Keduanya terjaring razia yang dilakukan aparat Polsek
Mataram bersama Satpol PP Kota Mataram dan aparat kecamatan setempat. Siswi SMK
yang masih berusia 17 tahun itu, mengaku sedang menjalani liburan pasca ujian
tengah semester .(http://kompas.co.id/read/xml /2008/12/16/13390917/siangsiang.ngamar.siswi.smk.digaruk)
[30]
Menurut hasil survey yang dilakukan sebuah lembaga di tahun
2008, diperoleh data sekitar 63% remaja mengaku sudah melakukan hubungan seks
bebas (berzina) sebelum nikah. Responden survey meliputi remaja SMP dan SMA di
33 provinsi di Indonesia. Tiga tahun sebelumnya (2005), sebuah survey yang
diselenggarakan sebuah perusahaan kondom, mengungkapkan data sekitar 40-45%
remaja berusia antar 14-24 tahun menyatakan bahwa mereka telah berhubungan seks
bebas (berzina) di luar pernikahan. Survey tersebut dilaksanakan di hampir
semua kota besar di Indonesia dari Sabang sampai Merauke. (lihat tulisan berjudul
Konser
Musik, Zina dan Kerusuhan, December
…) Bila data survey tersebut reliable dan valid, maka dari dua data di atas menunjukkan adanya kenaikan
yang cukup signifikan. Dari 40-45 persen di tahun 2005, menjadi 63% di tahun
2008. Artinya, ada kenaikan sekitar hampir 30 persen dalam jangka waktu ‘hanya’
tiga tahun.
[37]
Everyone
charged with criminal offence shall have the right to be presumed innocent
until proved guilty according to law. Setiap
orang yang dituduh melakukan kejahatan berhak dianggap tidak bersalah sampai
kesalahannya dibuktikan menurut hukum. Asas ini ada dalam Pasal 14 [2] Konvensi
Internasional tentang Hak-Hak Sipil & Hak Politik (1966) yang dalam bahasa
Inggris dikenal dengan kalimat ”Everyone charged with criminal offence shall
have the right to be presumed innocent until proved guilty according to law”.Indonesia-pun
mengakui dan memberlakukan Konvensi ini berdasarkan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political
Rights [Kovenan Internasional Tentang hak-hak Sipil dan Politik]. Konvensi ini
tersebut tidak hanya menegaskan, harus dianggap tidak bersalah sampai
dibuktikan berdasarkan undang-undang ; bahkan, tidak menegaskan juga masalah
putusan yang memperoleh kekuatan hukum yang tetap, sebagai batas toleransi
seseorang dapat dinyatakan bersalah atau (Dinyatakan) bersalah atas dasar
putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
[40] Dan
(terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat
orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah
memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah
sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain
kepadanya. QS. an-Nisa’ (4) : 15
[50] Mengenai "ketidak
sengajaan" dalam pembunuhan yang tersebut dalam ayat ini, ialah ketidak
sengajaan yang disebabkan karena kurang berhati-hati yang sesungguhnya dapat
dihindari oleh manusia yang normal. Misalnya apabila seorang akan melepaskan
tembakan atau lemparan sesuatu yang dapat menimpa atau membahayakan seseorang,
maka ia seharusnya meneliti terlebih dahulu, ada atau tidaknya seseorang yang
mungkin dikenai pelurunya tanpa sengaja. Dengan demikian jelaslah, bahwa tidak
adanya sikap berhati-hati itulah yang menyebabkan pembunuh itu harus dikenai
hukuman seperti tersebut di alas, walaupun ia membunuh tanpa sengaja, agar dia
dan orang lain selalu berhati-hati dalam segala pekerjaannya terutama yang
berhubungan dengan keamanan jiwa manusia. Adapun
diat atau denda yang dikenakan kepada pembunuh, dapat dibayar dengan beberapa
macam barang pengganti kerugian, yaitu dengan seratus ekor unta, atau dua ratus
ekor sapi, atau dua ribu ekor kambing, atau dua ratus lembar pakaian atau uang
seribu dinar atau dua belas ribu dirham. Dalam suatu hadis yang diriwayatkan
oleh Abu Daud dari Jabir, dari Rasulullah saw disebutkan sebagai berikut:
Artinya: "Bahwasanya Rasulullah saw telah mewajibkan diat itu sebanyak
seratus ekor unta kepada orang yang memiliki unta, dan dua ratus ekor sapi
kepada yang memiliki sapi dan dua ribu ekor kambing kepada yang memiliki
kambing. dan dua ratus perhiasan kepada yang memiliki perhiasan"H.R. Abu
Daud.
[53]
Untuk jarimah yang
hukumannya qishas, menurut jumhur fuqaha, pembuktiannya harus dengan dua orang
saksi laki-laki, dan tidak boleh dengan seorang saksi laki-laki dan dua
perempuan, atau seorang saksi laki-laki ditambah sumpahnya korban. Pada jarimah zina, ulama telah
sepakat bahwa pembuktiannya harus dengan empat orang saksi.
[55] Hudud adalah bentuk jama’ dari
kata had yang asal artinya sesuatu yang membatasi di antara dua benda. Menurut
bahasa, kata had berarti al-man’u (cegahan) (Fiqhus Sunnah II: 302). Adapun
menurut syar’i, hudud adalah hukuman-hukuman kejahatan yang telah ditetapkan
oleh syara’ untuk mencegah dari terjerumusnya seseorang kepada kejahatan yang
sama (Manarus Sabil II: 360). ttp://alislamu.com/index.php?option=com_content&task=view&id=325&Itemid=2
[62]
Pengertian Qishash, menurut
syaraâ’ qishash ialah pembalasan yang serupa dengan perbuatan pembunuhan
melukai merusakkan anggota badan/menghilangkan manfaatnya, sesuai
pelangarannya. Qishash ada 2 macam :
a. Qishash jiwa, yaitu hukum bunuh bagi tindak pidana pembunuhan.
b. Qishash anggota badan, yakni hukum qishash atau tindak pidana
melukai, merusakkan anggota badan, atau menghilangkan manfaat anggota badan.
Syarat-syarat Qishash
a. Pembunuh sudah baligh dan berakal (mukallaf). Tidak wajib qishash
bagi anak kecil atau orang gila, sebab mereka belum dan tidak berdosa.
b. Pembunuh bukan bapak dari yang terbunuh. Tidak wajib qishash bapak
yang membunuh anaknya. Tetapi wajib qishash bila anak membunuh bapaknya.
c. Oran g yang dibunuh sama derajatnya, Islam sama Islam, merdeka dengan
merdeka, perempuan dengan perempuan, dan budak dengan budak.
d. Qishash dilakukan dalam hal yang sama, jiwa dengan jiwa, anggota
dengan anggota, seperti mata dengan mata, telinga dengan telinga.
e. Qishash itu dilakukan dengn jenis barang yang telah digunakan oleh
yang membunuh atau yang melukai itu.
f. Oran g yang terbunuh itu berhak dilindungi jiwanya, kecuali jiwa oran
g kafir, pezina mukhshan, dan pembunuh tanpa hak. Hal ini selaras hadits
rasulullah, ‘Tidakklah boleh membunuh seseorang kecuali karena salah satu dari
tiga sebab: kafir setelah beriman, berzina dan membunuh tidak dijalan yang
benar/aniaya’ .Lihat HR. Turmudzi dan Nasaâ’
[64]
Memelihara Tauhid
merupakan inti sari ajaran Islam dengan Allah sebagai ‘Pusat’ keyakinan akan
ke-Esa-an dan segala kemutlakan-Nya. Inilah inti ajaran agama yang kita patri
dan kita jaga nilai kebenarannya di dalam hati sanubari kita, yang ajarannya
dapat kita serap dari para ulama sebagai para pewaris para Nabi Yang Mulia,
yang telah melempangkan jalan sehingga ajaran Allah itu sampai pada kita semua.
Segala perilaku serta praktek kehidupan muslim, berpusat ‘dari’ dan
dikembalikan ‘pada’ Allah. Rukun Iman dimulai dari meng-Esa-kan Allah, baru
kemudian yakin akan danya Malaikat-Malaikat, tuntunan Kitab-Kitab, Nabi-Nabi
dan Rasul-Rasul, keyakinan akan Hari Akhir serta ketentuan Baik dan Buruk,
semua bersumber dari-Nya. Prinsip pertama paling mendasar dalam Islam adalah
Tauhid ini, berupa pengakuan atas ke-Esa-an Allah: Laa ilaaha illAllah
(Tiada tuhan selain Allah). Rukun Islam juga dimulai dari syahadat secara
yakin, “Tidak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan-Nya.” Baru
kemudian sholat, zakat, puasa, serta melaksanakan ibadah Haji ke Baitullah.
Lihat juga Sukidi (ed), Terorisme Serang Islam, Babak Baru Bentuiran
Barat dan Islam, (Bandung, Pustaka
Al-Hidayah : 2001) 45
[71] Ketika
berbicara ta’zir (hukuman) dalam pondok pesantren, tentu sudah tidak asing lagi
karena begitu banyaknya santri yang tidak mentaati aturan-aturan yang berlaku
dalam pondok pesantren. Setiap santri yang melakukan pelanggaran maka akan
dita’zir sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan santri tersebut. Akan
tetapi ada juga ta’zir yang diberikan santri tidak adil, semisal ada santri
yang melanggar aturan podok pesantren tetapi karena santri tersebut kenal atau
teman dekat dengan si penta’zir maka ta’zir-an yang diberikan kepada santri
tersebut lebih ringan dari pada santri yang tidak dekat dengan si penta’zir.
Dizaman yang sudah berubah ini tentu ta’zir-an bukan cara utama untuk mendidik
santri saat ini, berbeda dengan santri-santri yang dahulu, jika santri dahulu
dita’zir maka santri tersebut bisa menerima dengan ikhlas karena sadar memang
perbuatannya itu salah dan si penta’zir dahulu memang benar-benar adil tanpa
pilih kasih. Kebanyakan santri saat ini ketika dita’zir akan semakin parah bisa
juga santri balik mengancam, semisal lapor pada pihak berwajib dan tidak jarang
juga santri-santri yang tidak melanggar terkena imbasnya. Lihat Muhammad Al-Ghazali, op.,cit, 541
Bebicara masalah pendidikan yang diberlakukan di Negara ini tentu itu
melanggar hukum yang sudah ditentukan. Jika dilihat dari hukum yang berlaku di
Negara ini tentu itu melanggar HAM, karena terkadang ta’zir-an yang diberikan
kepada santri itu tidak sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan oleh
santri tersebut, semisal ketika liburan pondok telah usai dan saat kembali ke
pondok santri yang terlambat akan dicukur gundul atau beli semen satu bal. Dan
ada juga aturan-aturan tertentu di pondok pesantren yang bertolak belakang
dengan Negara kita, maka jangan lupa kita tinggal di Negara yang seperti apa
hukum dan aturan-aturan yang diberlakukan di dalamnya. Sumber: http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2238623-ta-zir-di-pesantren-melanggar/#ixzz1sCbxB4zy
[73] Lihat kitab “Subulus-salaam”disebutkan:“Hukum ta’zir tidak
diperkenankan selain dari imam. Kecuali dari tiga orang dengan kategori berikut:1.Ayah, boleh menjatuhkan ta’zir terhadapanaknya yang masih kecil dengan tujuan edukatif dan mencegahnya dari akhlaq yang jelek. Dan ayah tidak diperkenankan menta’zir anak yang telah baligh, sekalipun anaknyadikategorikan
idiot.2.Majikan, sang majikan diperbolehkan menta’zir hambanya baik yang
bersangkutan dengan hak dirinya ataupun
dengan Allah. 3.Suami, sang suami diperbolehkan menta’zir istrinya dalam masalah cekcok sebagaimana yang dijelaskan dalam al-qur’an.