ADAT DAPAT
DIJADIKAN PERTIMBANGAN DALAM MENETAPKAN HUKUM
M.Rakib IKMI
Pekanbaru Riau Indonesia. 2015
Adat
dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum.Kaidah ini mempunyai
beberapa kaidah turunan yang berperan pokok, di antaranya adalah :
1.
Sesuatu yang
dikenal secara kebiasaan di kalangan pedagang seperti sesuatu yang telah
ditentukan sebagai syarat.
2.
Sesuatu yang
ditetapkan berdasarkan kebiasaan seperti ditetapkan dengan nash.
3.
Sesuatu yang
diketahui oleh pedagang berdasarkan kebiasaan seperti telah disyaratkan di
antara mereka.
4.
Tidak
diingkari bahwa perubahan hukum terjadi karena perubahan zaman.Dengan demikian,
Kaidah Hukum yang berfungsi marginal adalah kaidah hukum yang cakupannya kecil
atau bahkan sangat sempit sehingga tidak dihadapkan kepada banyak furu’.
2. Pembagian Kaidah Fiqh dari Segi MustasnayatDari sumber pengecualian, Kaidah Hukum dapat dibedakan menjadi dua : yaitu Kaidah yang tidak memiliki pengecualian dan kaidah yang memiliki pengecualian. Kaidah Hukum yang tidak memiliki pengecualian adalah sabda Nabi Muhammad saw (dalil hukum kedua) yang dianggap sebagai Kaidah Fiqh, sebagai contoh :
Bukti dibebankan kepada penggugat dan sumpah dibebankan kepada tergugat.Disamping itu, Kaidah Fiqh yang hampir tidak memiliki pengecualian, karena menurut sifatnya, ia bersifat pada umumnya, tapi hakikat kaidah fiqh tersebut menunjukkan bahwa kemungkinan adanya pengecualian sangat kecil. Sebagai contoh adalah :
Keyakinan tidak hilang dengan keraguan.Kaidah tersebut merupakan inti dari sabda Nabi Muhammad saw :
Artinya : Apabila seseorang mendapat sesuatu di dalam perutnya kemudian ia ragu; apakah sudah keluar sesuatu atau belum, orang tersebut tidak boleh keluar dari masjid sebelum mendapat suara angin (kentut) dan mendapatkan baunya.
Kaidah Fiqh lainnya adalah kaidah yang mempunyai pengecualian. Kaidah yang tergolong pada kelompok ini adalah kaidah yang terutama diikhtilafkan oleh ulama.
3. Pembagian Kaidah Fiqh dari Segi Kualitas
Dari segi kualitas, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi lima, yaitu :a. Kaidah Kunci Kaidah kunci yang dimaksud adalah bahwa seluruh kaidah fiqh pada dasarnya dapat dikembangkan kepada satu kaidah, yaitu :
Menolak kemafsadatan dan mendapatkan kemaslahatan.Kaidah ini adalah merupakan kaidah kunci karena pembentukan kaidah fiqh adalah upaya agar manusia terhindar dari kesulitan dan dengan sendirinya, ia mendapatkan maslahat. Nilai kebenaran syari’ah (dan kaidah fiqh adalah salah satu media untuk berupaya agar mencapai kebenaran tersebut), menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, adalah keadilan, rahmat, maslahat, dan mengandung hikmah. Kaidah asasi atau yang lebih dikenal dengan Kaidah Kubra merupakan penyederhanaan (penjelasan yang lebih mendetail) dari kaidah inti tersebut.b. Kaidah AsasiKaidah Fiqh Asasi adalah kaidah fiqh yang tingkat kesahihannya diakui oleh seluruh aliran hukum Islam. Kaidah Fiqh tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Perbuatan atau perkara itu bergantung pada niatnya.
2.
Keyakinan tidak hilang dengan keraguan.
3.
Kesulitan mendatangkan kemudahan.
4.
Kesulitan harus dihilangkan.
5.
Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan dan
menerapkan hukum.
Lima
kaidah fiqh tersebut adalah merupakan kaidah pokok yang menurut penulis, semua
masalah fiqh dapat dikembalikan kepada lima kaidah tersebut. c. Kaidah yang
diterima oleh semua aliran SunniKaidah Fiqh yang diterima oleh seluruh aliran
hukum Sunni sebagaimana disebutkan oleh Ali Ahmad An Nadwi adalah Majallatul
Ahkam al-Adliyyah. Kaidah ini dibuat pada abad XIX M
oleh Lajnah Fuqaha’ Utsmaniyah. Di antara Kaidah Fiqh yang terdapat dalam
Majallatul Ahkam al-Adaliyyah tersebut sebagaimana diinformasikan oleh Subhi
Mahmashshanni adalah sebagai berikut :
1.
Pengikut (tetap berkedudukan sebagai) pengikut.
2.
Hukum yang mengikut (pengikut) tidak dapat berdiri
sendiri.
3.
Siapa saja yang memiliki sesuatu (dengan sendirinya),
ia memiliki bagian yang penting darinya.
4.
Apabila pokok telah jatuh (tiada) cabang ikut jatuh
pula.
5.
Pengikut dengan sendirinya akan jatuh dengan jatuhnya
yang diikut.
Cabang-cabang kadang-kadang tetap karena ketiadaan pokok.
1.
Apabila sesuatu batal, maka yang dikandungnyapun ikut
batal.
2.
Meneruskan lebih mudah daripada memulai.
3.
Orang yang berhak memperoleh keuntungan, berkewajiban
juga menanggung kerugian.
4.
Keuntungan sepadan dengan kerugian; dan kerugian
sepadan dengan keuntungan.
5.
Sesuatu yang haram diambil, haram pula diberikan
(kepada yang lain)
6.
Sesuatu yang haram dikerjakan, haram pula mencarinya.
Apabila terjadinya pertentangan antara cegahan dan tuntutan, yang diutamakan
adalah yang mencegah; yang menggadaikan tidak (boleh) menjual benda yang telah
digadaikan selama benda tersebut berada di tangan yang menggadai.
1.
Penggantian sebab kepemilikan menempati tempat
pergantian zat.
2.
Siapa saja yang tergesa-gesa (mengerjakan sesuatu)
sebelum tiba waktunya, mendapatkan sanksi karena pekerjaan itu.
3.
Pegangan dalam transaksi adalah maksud dan maknanya,
bukan lafazh dan bentuknya.
4.
Tidak (boleh) menyulitkan (orang lain) dan juga tidak
boleh dipersulit (oleh orang lain)
5.
Kesulitan harus dihilangkan.
6.
Kesulitan tidak dihilangkan dengan kesulitan pula.
7.
Apabila pokok batal, ia dikembalikan kepada pengganti.
8.
Transaksi belum sempurna sebelum (benda yang diakadkan)
dikuasai.
9.
Kebijakan pemimpin atas rakyat (harus) mempertimbangkan
maslahat.
10. Kekuasaan
yang bersifat khusus lebih kuat daripada kekuasaan yang bersifat umum.
11. Perkataan
tidak disandarkan kepada yang diam, tetapi diam bagi sikap penolakan kebutuhan
adalah penjelasan.
12. Tulisan
(surat) sepadan dengan pesan (lisan).
13. Kedudukan
isyarat dari orang-orang yang bisu sepadan dengan penjelasan dengan lisan.
14. Sesuatu
yang didasarkan pada perkiraan yang jelas salahnya, tidak dianggap (tidak
diperhitungkan).
15. Sesuatu
yang dihubungkan dengan syarat, ia wajib ada ketika syarat itu terpenuhi.
16. Pemeliharaan
syarat diwajibkan selama memungkinkan.
17. Sewa
dan penggantian (kerusakan) tidak dapat disatukan.
18. Pekerjaan
disandarkan (dibebankan) kepada pelakunya, bukan kepada yang memerintahkan,
selama tidak dipaksa.
19. Apabila
berkumpul antara pelaksana langsung dan pelaksana secara tidak langsung, sanksi
dibebankan kepada pelaksana langsung.
20. Kebolehan
berdasarkan syara’ bertentangan dengan keharusan penggantian kerugian.
21. Pelaku
secara langsung (harus) bertanggungjawab meskipun tidak disengaja.
22. Pihak
yang berbuat secara tidak langsung (tidak dapat dimintai) pertanggungjawab
kecuali (pekerjaan) dilakukan dengan sengaja.
23. Tindakan
binatang tidak dapat diminta penggantian kerugian kepada pemiliknya.
24. Perintah
untuk mengelola harta milik orang lain adalah batal.
25. Seseorang
tidak dibolehkan mengelola harta orang lain tanpa izin (dari pemiliknya).
26. Seseorang
tidak dibolehkan mengambil harta orang lain tanpa sebab yang dibenarkan oleh
syara’.
Kaidah yang diikhtilafkan di Kalangan SunniKaidah ada yang diterima oleh mazhab tertentu tapi ditolak oleh mazhab yang lain. Ikhtilaf tersebut dapat dilihat pada kasus sewa dan pembayaran kerusakan bagi Hanafiyah dan Jumhuriyah. Menurut Hanafiyah, sewa dan pembayaran kerusakan tidak pernah dapat disatukan, masing-masing berdiri sendiri. Oleh karena itu, hanafiyah mengatakan bahwa :
Sewa dan pembayaran kerusakan tidak (bisa) digabungkan.Berbeda dengan Hanafiyah, Syafi’iyah mengatakan bahwa antara upah dan penggantian kerusakan dapat digabungkan. Oleh karenanya Syafi’iyah mengatakan :
Sewa dan penggantian kerusakan (dapat) digabungkan.
Kaidah yang diikhtilafkan Ulama yang Sealiran
Di dalam Kaidah Fiqh terdapat perbedaan pendapat
di kalangan ulama yang selairan. Sebagai contoh adanya perbedaan antara
Muhammad dengan Abu Yusuf yang sama-sama mazhab Hanafi. Perbedaan tersebut
adalah mengenai wangi-wangian sebelum berihram. Menurut Muhammad wangi-wangian
yang digunakan sebelum berihram – dan ketika berihram wangi-wangiannya masih
tercium – adalah boleh, karena wangi-wangian itu dipakai sebelum berihram dan
wangi-wangian yang dilarang oleh Rasul adalah wangi-wangian ketika berihram.
Oleh karena itu Muhammad berpendapat :
Sesuatu yang terjadi (dan kekal) sebelumnya, boleh dilakukan untuk memulai
yang lain.Abu Yusuf berbeda pendapat dengan Muhammad. Menurut Abu Yusuf,
menggunakan wangi-wangian ketika berihram dilarang oleh Rasul. Oleh karena itu,
menggunakan wangi-wangian sebelum berihram – dan wanginya masih tercium ketika
berihram – tidak dibolehkan. Atas dasar itu, Abu Yusuf membuat kaidah :Sesuatu yang terjadi (dan kekal) sebelumnya tidak boleh dilakukan untuk memulai yang lain
Kesimpulan
1. Kaidah Fiqhiyah (hukum) adalah dasar-dasar yang bertalian dengan hukum syara’ yang bersifat mencakup (sebahagian besar bahagian-bahagiannya) dalam bentuk teks-teks perundang-undangan yang ringkas (singkat padat) yang mengandung penetapan hukum-hukum yang umum pada peristiwa-peristiwa yang dapat dimasukkan pada permasalahannya.
2. Sejarah Perkembangan Kaidah Fiqhiyah mengalami tiga fase, yaitu Fase Pertumbuhan dan Pembentukan (1-3 H); Fase Perkembangan dan Kodifikasi (4 – X H); dan Fase Kematangan dan Penyempurnaan (XI – H-Kini).
3. Kaidah Fiqhiyah memiliki kegunaan yang sangat besar bagi ahli fiqh sebab kaidah fiqh adalah sebagai pengikat (ringkasan) terhadap beberapa persoalan fiqh. Menguasain suatu kaidah berarti menguasai sekian bab fiqh.
4. Kaidah Fiqhiyah dapat dibagi kepada tiga bahagian besar, yaitu Kaidah Fiqh dari segi fungsinya; Kaidah Fiqh dari segi Mustasnayatnya (pengecualaiannya); dan Kaidah Fiqh dari segi Kualitasnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Asjmuni, Prof. Drs. H., Qawa’id Fiqhiyah : Arti, Sejarah dan Beberapa Qaidah Kulliyah, (Yogyakarta : Suara Muahammadiyah, 2003).Al-Jauziyyah, Ibnu Qoyyim, I’lamu al-Muwaqqi’ien ‘An Rabbi al-‘Alamien, (Beirut : Darul Jail, t.t), III. An-Nadwi, Ali Ahmad, Al-Qowa’idul Fiqhiyah, Mafhumuha, Nisya’atuha, Tathowwuruha, dirasatu Muallifatiha, adillatuha, Muhimmatuha, Tathbiqatuha, (Damaskus, Daru al-Qalam, 1414 H / 1994 M).Mahmashshanni, Subhi, Falsafatu al-Tasyri’ al-Islami, (Beirut : Darul ‘Ilmi Lil Malayin, 1961).Mubarok, Jaih, Kaidah Fiqh, Sejarah dan Kaidah Asasi, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002).Mujib, Abdul, Drs. H., Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqih : Al-Qawa’idul Fiqhiyyah, (Jakarta : Kalam Mulia, 2004). Usman, Muchlis, Drs. MA. H., Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah : Pedoman Dasar Dalam Istinbath Hukum Islam, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002).
No comments:
Post a Comment