KAIDAH
KEBAHAGIAAN DALAM POLIGAMI, KOK BISA?
M.RAKIB JL.CIPTAKARYA
PEKANBARU RIAU INDONESIA 2015
Kebahagiaan
seseorang ditentukan oleh kemampuan menerima keadaan, melihat situasi dari
sudut pandang positif, menghayati makna pengalaman hidup, merelakan
pengalamannya sebagai perubahan dalam hidup, dan bisa melepaskan diri dari
belenggu pengalaman emosional. Kebahagaiaan orang yang dipoligami adalah ikhlas menerimanya sebagai suatu takdir. Syahidah menulis di internet, sangat mengejutkan, ternyata orang dipoligami juga bahagia...
Curhat si wanita pada mulanya enggan,
akhirnya dapat menerima poligami dengan logika wahyu Ilahi. Puisi yang
dikutipnya sebagai berikut:
Akhirnya aku bisa menerima poligami.
Haaya di awalnya saja terasa dunia akan runtuh,
ketika kau suamiku, meminta izin
kepadaku untuk menikah lagi. Awalnya aku membayangkan kau, suamiku tersayang,
sedang membagi cinta, perhatian dan segala kesenangan duniawi lainnya dengan
wanita lain, bukan hanya sekedar mendatangkan pusing dan mual tapi juga
penyakit cemburu serta sakit hati yang mungkin tak akan berkesudahan bagiku.
Jangan protes wahai suamiku, Bahkan istri-istri nabi yang muliapun, mereka tak
bisa menghindar dari kecemburuan. Semua itu karena cinta yang teramat sangat
untukmu.(Syahidah)
Sejenak
akupun buru- buru mengadakan koreksi kilat tentang apa yang kurang dari diriku,
atau tentang apa yang selama ini menjadi kelemahanku selama ini. Seakan semua
daya upaya akan aku kerahkan ketika menyadari bahwa kenyataan didepan akan
sebentar lagi sampai kepadaku. Dan akhir dari usaha itu adalah cara yang aku
fikir efektif untuk menghadang kenyataan takdir yang akan diberikan Allah
untukku
Akhirnya
hari itupun datang saat aku harus mengatakan sebuah jawaban untukmu. Ya Allah,
wanita mana yang ingin cintanya terbagi. Wanita mana yang kuat melihat suaminya
bermesraan dan bahagia bersama suamiku..suamiku yang sangat aku cintai. Ya
Allah, bahkan jika kenyataan ini terbalik, dan dia berada pada posisiku,
sanggupkah engkau wahai suamiku?
Imanku
mengatakan aku bisa merelakanmu, namun kecemburuan dan perasaanku mengunci
hatiku untuk tetap mengatakan tidak, tidak dan tidak untukmu. Pernikahan kita
adalah tentang kita, kau dan aku, sama sekali tidak tentang dia. Dan lalu
bagaimana mungkin kau tega memasukkan dia kedalam kebahagiaan kita? Apakah
selanjutnya kita akan bahagia, suamiku?
Sekali
lagi, aku tidak bisa lepas dari kodratku sebagai wanita yang identik dengan
kecemburuan yang sangat melekat erat. Namun sekuat tenagaku aku mencoba tidak
emosional. Sulit.. walaupun semua ini sangat sulit.
Namun…
akhirnya kecintaan Allah menyadarkanku. Bukankah menikah adalah ladang amal
bagiku untuk menggapai surga?, walau sekali lagi, Demi Allah sangat sulit
merelakan bagian dari diriku masih harus ku bagi dengan orang lain.
Namun…
sekali lagi, Bahasa iman menggugah kesadaranku kembali. Sekejab kupalingkan
egoku untuk menilai maduku. Bukankah situasi ini juga menjadi cobaan bukan
hanya untuk aku dan suamiku, tapi terutama adalah baginya. Betapa resiko sosial
akan datang kepadanya, cap jelek sebagai perebut suami orang akan dilekatkan
kepadanya. MasyaAllah, betapa aku juga mungkin tidak akan sanggup jika menjadi
pelakon kisah hidupnya. Bukankah jodoh sudah digariskan Allah atas semua
manusia. Diapun tak pernah bisa memesan dari mana jodohnya akan datang. Namun
ketika jodohnya adalah suamiku sendiri, lalu apakah aku harus menyalahkannya,
yang berarti pula menyalahkan Allah sang maha pengatur?
Namun
tanpa disadari kita seringkali menunda kebahagiaan dengan ucapan: 'Kalau saya
punya deposito sepuluh miliar rupiah, saya akan bahagia'. Atau: 'Jika anak-anak
sudah sukses, saya baru bahagia'. Tapi benarkah kita akan bahagia setelah
harapan tersebut terwujud? Mengapa tidak mencoba merasakan bahagia sekarang
juga? Bahkan hal-hal kecil bisa membuat
perasaan bahagia.
Kaidah
Para ulama memang berbeda dalam
mendefinisikan ilmu Kaidah Fiqih secara istilah. Ada yang mendefinisikannya
dengan makna yang luas tetapi juga ada yang mendefinisikannya dengan mana yang
sempit. Akan tetapi, substansinya tetap sama.
a. Syeikh Muhammad Abu Zahrah
Syeikh Muhammad Abu Zahrah
mendefisikan kaidah sebagai berikut:
مجْمُوْعةُ اْلأحْكامِ الْمُتشبِّهاتِ
الّتِيْ ترْجِعُ إِلى قِياسٍ واحِدٍ يجْمعُها
"Kumpulan hukum-hukum yang
serupa berdasarkan qiyas (analogi) yang mengumpulkannya."
b. Al-Jurjani
Sedangkan Al-Jurjani memberikan
definisi bahwa Kaidah Fiqih adalah:
قضِيّةٌ كُلِّيّةٌ مُنْطبِقةٌ على
جمِيْعِ جُزْئِيّاتِها
"Ketetapan yang kulli
(menyeluruh, general) yang mencakup seluruh bagian-bagiannya"
c. As-Subki
Imam Tajjuddin As-Subki (w.771 H)
mendefisikan kaidah fiqhiyah sebagai :
اْلأمْرُ الْكُلِّيُّ اّلذِيْ
ينْطبِقُ عليْهِ جُزْئِّيّاتٌ كثِيْرةٌ يُفْهمُ أحْكامُها مِنْها
"Kaidah adalah sesuatu yang bersifat
general yang meliputi bagian yang banyak sekali, yang dipahami hukum bagian
tersebut dengan kaidah tadi"
d. Ibnu Abdin & Ibnu Nuzaim
Ibnu Abdin (w.1252 H) dalam
muqaddimah-nya, dan Ibnu Nuzaim (w.970 H) dalam kitab Al-Asybah Wa An-Nazhair
dengan singkat mengatakan bahwa kaidah
معْرِفةُ اْلقواعِدِ الّتِيْ تُردُّ
إِليْها وفرّعُوا اْلأحْكام عليْها
"Sesuatu yang dikembalikan
kepadanya hukum dan hukum tersebut dirinci dari padanya"
e. Al-Suyuthi
Sedangkan menurut Imam Al-Suyuthi
dalam kitabnya al-asybah wa al-nazhair, mendefinisikan kaidah adalah:
حُكْمٌ كُلِّيٌّ ينْطبِقُ على
جُزْئِيّاتِهِ
"Hukum kulli (menyeluruh,
gerenal) yang meliputi bagian-bagiannya"
Dari definisi-definisi tersebut di
atas, jelas bahwa kaidah itu bersifat menyeluruh meliputi bagian-bagian dalam
arti bisa diterapkan kepada juz-iyat-nya (bagian-bagiannya).
Kesimpulan
Jadi bisa kita simpulkan bahwa
definisi kaidah fiqhiyah adalah:
حُكْمٌ أغْلبِيٌّ ينْطبِقُ على
مُعْظمِ جُزْئِيّاتِهِ لِتُعْرف أحْكامُها مِنْهُ
“Hukum yang bersifat mayoritas dan
mencakup sebagian besar bagian-bagiannya supaya dapat diketahui
hukum-hukumnya.”
Ada satu kata kunci definisi ini
dengan yang lainnya yaitu kalimat mayoritas bukan menyeluruh.
Karena dalam kaidah fiqih banyak
sekali kasus hukum yang menjadi pengecualian dari kaidah fiqih yang ada,
sehingga sifatnya mayoritas. Artinya menampung banyak hukum dari permasalahan
fiqih namun tidak mencakup secara keseluruhan.
Sifat menyeluruh sebenarnya dimiliki
ilmu ushul fiqih yang sifatnya memang mencakup secara keseluruhan.
Dengan demikian di dalam hukum Islam
ada dua macam kaidah, yaitu kaidah ushul (القواعد الأصولية) dan kaidah
fiqih (القواعد الفقهية):
Kaidah Ushul. Kaidah ini kita temukan di dalam kitab-kitab ushul fiqih,
yang digunakan untuk menyimpulkan hukum ( takhrij al-ahkam) dari
sumbernya yaitu Al-Quran dan Al-Hadits.
Kaidah Fiqih. Kaidah ini
adalah kaidah-kaidah yang disimpulkan secara general dari materi fiqih,
kemudian digunakan pula untuk menentukan hukum dari kasus-kasus baru yang
timbul, yang tidak jelas hukumnya di dalam nash.
Oleh karena itu baik kaidah-kaidah
ushul fiqih maupun kaidah fiqih, bisa disebutkan sebagai bagian dari metodologi
hukum Islam.
Namun dengan catatan bahwa
kaidah-kaidah ushul sering digunakan di dalam takhrij al-akham, yaitu
mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya (Al-Quran dan Sunnah). Sedangkan kaidah
Fiqih sering digunakan di dalam tathbiq al-ahkam, yaitu penerapan hukum
atas kasus-kasus yang timbul di dalam bidang kehidupan manusia.
Dari sisi ini tidaklah heran apabila
kekhilafahan Turki Usmani antara tahun 1869-1878 mengeluarkan undang-undang
yang disebut Majalah al-Ahkam Al-Adliyah (مجلة الأحكام العدلية) yang merupakan
penerapan hukum Islam dengan menggunakan 99 kaidah Fiqih di bidang muamalah
dengan 1.851 pasal.
B.
Proses Pembentukan Kaidah Fiqih
Sulit diketahui siapa pembentuk
kaidah Fiqih, yang jelas dengan meneliti kitab-kitab kaidah Fiqih dan masa
hidup penyusunnya ternyata kaidah Fiqih tidak terbentuk sekaligus, tetapi
terbentuk secara bertahap dalam proses sejarah hukum Islam.
Walaupun demikian, kalangan ulama di
bidang kaidah Fiqih, menyebutkan bahwa Abu Thahir al-Dibasi, ulama dari mazhab
Hanafi, yang hidup di akhir abad ke-3 dan awal abad ke-4 Hijriyah, telah
mengumpulkan kaidah Fiqih mazhab Hanafi sebanyak 17 kaidah. Abu Thahir selalu
mengulang-ulang kaidah tersebut di masjid, sebelum para jamaah pulang ke
rumahnya masing-masing.
Kemudian Abu Sa'id al-Harawi,
seorang ulama mazhab Asy-Syafi'i mengunjungi Abu Thahir dan mencatat kaidah
Fiqih yang dihafalkan Abu Thahir. Diantara kaidah tersebut adalah lima kaidah
besar di atas.
Setelah seratus tahun kemudian,
datang ulama besar Imam Abu Hasan al-Karkhi, yang menambahkan kaidah Fiqih yang
sudah dikumpulkan Abu Thahir sehingga menjadi 37 kaidah.
Dari paparan di atas, jelaslah bahwa
kaidah-kaidah Fiqih muncul pada akhir abad ke-3 Hijriyah.
Seperti kita ketahui dari
perkembangan ilmu Islam, bahwa kitab-kitab tafsir, hadits, ushul fiqih dan
kitab-kitab Fiqih pada masa itu telah dibukukan. Dengan demikian materi tentang
tafsir, hadits, dan Fiqih telah cukup banyak.
Kaidah Fiqih memang bukan dalil,
tetapi sarana bagi kita untuk mempermudah menentukan hukum pada masalah-masalah
yang kita jumpai di masyarakat. Maka para ulama’ telah memberikan investasi
besar kepada kita agar kita dapat memahami hukum Islam ini dengan mudah.
Oleh karena itu, bahwa proses
pembentukan kaidah Fiqih adalah sebagai berikut :
1. Sumber hukum Islam: Al-Quran dan
Hadits;
2. Kemudian muncul ushul fiqih
sebagai metodologi di dalam penarikan hukum (istibath al-ahkam). Dengan
metodologi ushul fiqih yang menggunakan pola pikir deduktif menghasilkan Fiqih;
3. Fiqih ini banyak materinya. Dari
materi Fiqih yang banyak itu kemudian oleh ulama-ulama yang mendalami ilmu di
bidang Fiqih, diteliti persamaannya dengan menggunakan pola piker deduktif
kemudian dikelompokkan, dan tiap-tiap kelompok merupakan kumpulan dari
masalah-masalah yang serupa, akhirnya disimpulkan menjadi kaidah-kaidah Fiqih;
4. Selanjutnya kaidah-kaidah tadi
dikritisi kembali dengan menggunakan banyak ayat dan banyak hadits, terutama
untuk dinilai kesesuaiannya dengan substansi ayat-ayat Al-Quran dan hadits
nabi;
5. Apabila sudah dianggap sesuai
dengan ayat Al-Quran dan banyak hadits Nabi, baru kemudian kaidah fiqih tersebut
menjadi kaidah yang mapan;
6. Apabila sudah menjadi kaidah yang
mapan/akurat, maka ulama-ulama Fiqih menggunakan kaidah tadi untuk menjawab
permasalahan masyarakat, baik di bidang sosial, ekonomi, politik, dan budaya,
akhirnya memunculkan hukum-hukum Fiqih baru;
7. Oleh karena itu tidaklah
mengherankan apabila ulama memberikan fatwa, terutama di dalam hal-hal baru
yang praktis selalu menggunakan kaidah-kaidah Fiqih, bahkan kekhalifahan Turki
Utsmani di dalam Majalah al-Ahkam al-Adliyah, menggunakan 99 kaidah di dalam
membuat undang-undang tentang akad-akad muamalah dengan 185 pasal;
8. Seperti telah disinggung di muka.
Ibnu Qayyim al-Jauzaiyah (w.751 H)
murid Ibnu Taimiyah dalam kitab Fiqihnya "I'lam al-Muwaqi'in Rabb
al-Alamin", memunculkan kaidah :
تغيُّرُ الْفتْوى واخْتِلافُها
بِحسْبِ تغيُّرِ اْلأزْمِنةِ واْلأمْكِنةِ واْلأحْوالِ والنِّيّاتِ والْعوائِدِ
"Fatwa berubah dan berbeda
sesuai dengan perubahan zaman, tempat keadaan, niat, dan adat kebisaaan"
Ibnu Qayyim dianggap sebagai penemu
kaidah tersebut, demikian pula Ibnu Rusyd (w.520-595 H) dalam kitab Fiqihnya Bidayat
al-Mujtahid Wa Nihayat al-Muqtasid, sesudah menjelaskan perbedaan pendapat
ulama tentang masalah batas maksimal kehamilan, beliau berkesimpulan dengan
kaidah :
والْحُكْمُ إِنّما يجِبُ أنْ يكُوْن
بِالْمُعْتادِ لا بِالنّادِرِ
"Hukum itu wajib ditetapkan
dengan apa yang biasa terjadi bukan dengan apa yang jarang terjadi"
Dalam kitab al-Kharaj, Abu Yusuf
memberikan fatwa kepada khalifah Harun al-Rasyid dengan kata-kata :
ليْس لِلإِمامِ أنْ يُخْرِج شيْئًا
مِنْ يدِ أحدٍ إِلاّ بِحقٍّ
"Tidak ada kewenangan bagi
kepala Negara (eksekutif) untuk mengambil sesuatu dari tangan seseorang,
kecuali dengan cara yang dibenarkan"
Contoh lain:
“Kebijakan seorang pemimpin terhadap
rakyatnya harus berorientasi kepada kemaslahatan.”
Kaidah ini berasal dari kata-kata
Imam al-Syafi'i yang berbunyi :
منْزِلةُ الْوالِيْ مِن الرّاعِيةِ
كمنْزِلةِ الْولِيِّ مِن الْيتِيْمِ
"Kedudukan seorang pemimpin
terhadap rakyatnya seperti kedudukan wali kepada anak yatim"
Kata-kata Imam al-Syafi'i ini
setelah ditelaah ulama-ulama lain, terutama ulama di bidang fiqih siyasah,
akhirnya memunculkan kaidah tersebut di atas.
Hanya saja sesudah jadi kaidah fiqih
yang mapan dan dilegitimasi Al-Quran dan Sunnah, kaidah tadi menjadi sumber dan
di bawah kaidah itu dimunculkan kembali Fiqih bahkan dikelompokkan lagi, inilah
yang kita lihat di dalam kitab-kitab kaidah Fiqih, setelah kaidah-kaidah Fiqih
itu dibukukan.
Di dalam proses pengujian
kaidah-kaidah Fiqih oleh Al-Quran dan Sunnah sering bertemu kaidah dengan
hadits, maka hadits tersebut jadi kaidah, seperti:
الْبيِّنةُ على الْمُدّعِيْ
والْيمِيْنُ على الْمُدّعى عليْهِ
"Bukti/keterangan wajib
disampaikan oleh penggugat dan sumpah wajib diberikan oleh yang
mengingkari/tergugat" (HR. Muslim dari Ibnu
'Abbas),
Atau juga hadits:
لا ضرر ولا ضِرار
"Jangan memudaratkan dan jangan
dimudaratkan" (HR. Al-Hakim).
Hadits ini digunakan untuk
melegitimasi kaidah:
الضّررُ يُزالُ
"Kemudaratan harus dihilangkan" (salah satu kaidah Fiqih pokok yang lima)
Apabila mau memunculkan
kaidah-kaidah baru di dalam Fiqih maka harus ditelusuri dahulu Fiqihnya, baru
diukur akurasi kaidah tadi dengan banyak ayat dan banyak hadits, selanjutnya
didiskusikan dan diuji oleh para ulama, baru bisa dijadikan sebagai kaidah yang
mapan.
Kaidah yang sudah mapan ini akan
menjadi alat (metode) dalam menjawab problem-problem di masyarakat dan
memunculkan hukum-hukum Fiqih baru.
Misalnya kaidah:
اْلأُمُوْرُ بِمقاصِدِها
“Semua perkara itu tergantung kepada
maksudnya”
Kaidah ini berasal dari banyak
materi Fiqih, karena di dalam Fiqih, nilai suatu perbuatan tergantung kepada
niatnya.
Di dalam ibadah, apakah niat ibadah
itu wajib atau sunnah, dilaksanakan tepat waktu atau dengan cara qadha.
Dalam muamalah, apakah menyerahkan
barang itu dengan niat memberi (hibah) atau meminjamkan.
Dalam jinayah apakah perbuatan
criminal itu dilakukan karena kesengajaan (dengan niat) atau kesalahan (tanpa
niat) dan seterusnya, semua itu hukumnya dilandaskan kepada niat, maksud dan
tujuannya.
Hukumnya berbeda sesuai dengan niat
dan tujuan masing-masing. Maka muncul kaidah tersebut di atas. Kaidah tersebut
dirujukkan kepada hadits:
إِنّما اْلأعْمالُ بِالنِّيّاتِ
"Setiap perbuatan tergantung
niatnya" (HR. Bukhari Muslim dari Umar
bin Khattab)
Juga kepada Hadits:
رُفِع عنْ أُمّتِيْ الْخطأُ
والنِّسْيانُ وما اسْتُكْرِه عليْهِ
"Diangkat dari umatku (tidak
dituliskan berdosa) perbuatan karena keliru, lupa, dan terpaksa" (HR. Ibnu Majah dari Ibnu 'Abbas)
Tidak hanya dengan dalil itu saja
tapi juga disandarkan kepada ayat-ayat Al-Quran yang berubungan dengan niat,
seperti ayat berikut :
"Dan tidaklah ada dosa atasmu
terhadap apa yang kami khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang
disengaja oleh hatimu" (QS.
Al-Ahzab : 5)
Demikian pula dalam surat an-Nisaa'
ayat 92 dan 93 yang menyatakan adanya pembunuhan karena kesalahan (tanpa niat)
dan pembunuhan karena sengaja (dengan niat).
Selain itu juga dirujukkan kepada tujuannya,
baik atau buruk, apakah tujuannya penipuan yang dilarang atau bertujuan baik
untuk memberi manfaat kepada manusia.
Dari sini bisa diambil kesimpulan
bahwa;
Pertama, apabila dirujukkan kepada hadits, dan ternyata
hadits-hadits tadi sama dengan kaidah, maka hadits tadi bisa menjadi kaidah di
kalangan Ulama Fiqih.
Kedua, kaidah yang dirujukkan kepada pemahaman nash-nash (Al-Quran
dan Al-Hadits), maka substansi pemahaman itulah yang jadi kaidah.
Seperti telah disinggung di muka,
setelah menjadi kaidah yang mapan, para ulama mengelompokkan kembali
materi-materi Fiqih yang masuk dalam kaidah tersebut dan apa-apa yang keluar
(pengecualian) sebagai contoh-contoh penerapan kaidah.
Misalnya, dalam kitab al-Asybah wa
al Nazhair, Imam al-Suyuthi menjelaskan kaidah:
اْلأُمُوْرُ بِمقاصِدِها
"Setiap perkara tergantung
kepada niatnya"
Al-Suyuthi, membahas masalah niat
dalam beberapa sub poko bahasan:
1. Kaidah-kaidah niat dilegimitasi
oleh hadits niat;
2. Adanya masalah-masalah Fiqih yang
lebih sempit di kelompokkan dan disandarkan kepada kaidah tersebut, seperti
masalah-masalah ibadah mahdhah, munakahat, dan jinayat yang memiliki
kaidah-kaidah tersendiri;
3. Fungsi niat yang membedakan
antara ibadah dan adat kebisaaan dan masalah Fiqih yang tidak diperlukan niat;
4. Ta’yin niat/menentukan niat lebih
spesifik dalam hal perbuatan-perbuatan yang serupa;
5. Tempat niat adalah di dalam hati,
hubungan antara talafuzh (melafazkan niat) dengan apa yang ada di dalam hati,
maka yang dianggap sah adalah apa yang ada di dalam hati;
6. Syarat-syarat niat adalah tahu
ilmunya, tidak mendapatkan yang bertentangan dengan niat;
7. Perbedaan pendapat di dalam
penerapan niat.
Dalam hal ini, dengan mengambil
pendapat al-Rafi'i, al-Suyuthi memunculkan dhabith, yaitu:
النِّيّةُ فِي الْيمِيْنِ تُخصِّصُ
اللّفْظ اْلعامّ ولا تُعمِّمُ الْخاصّ
"Niat di dalam sumpah
mengkhususkan (yang diucapkan) dengan kata-kata yang umum dan tidak bisa
mengumumkan kata-kata yang khusus"
Bersumpah dengan tidak menyebutkan
nama orang atau sesuatu secara khusus maka harus dijelaskan apa yang diniatkan
itu siapa. Tetapi tidak sebaliknya, apa yang di niatkan kepada seseorang, maka
tidak bisa digeneralisir;
8. Pembahasan tentang kasus-kasus
tertentu secara khusus yang tersebut dalam kitab-kitab Fiqih mazhab Syafi'i.
Dalam kitab al-Qawa'id fi al-Fiqih,
karangan Ibnu Rajab al-Hanbali, ada kaidah yang berbunyi:
منْ تعجّل حقّهُ أوْ ما أُبِيْح لهُ
قبْل وقْتِهِ على وجْهٍ مُحرّمٍ عُوْقِب بِحِرْمانِهِ
"Barangsiapa yang mempercepat
haknya atau yang membolehkannya sebelum waktunya dengan cara yang haram, maka
ia dihukum dengan keharaman (dilarang) menerima hak tersebut"
Contoh kaidah ini adalah seperti
ahli waris yang membunuh pewaris, maka ia dilarang mendapatkan warisan
tersebut.
Atau ada orang yang menikahi wanita
sebelum habis masa iddah-nya, maka ia diharamkan untuk menikahi wanita
tersebut.
Atau ada orang yang memburu binatang
dalam keadaan ihram, maka ia diharamkan memburu binatang tersebut.
Kaidah ini setelah dikritisi
kemudian menjadi kaidah yang dianggap lebih mapan dengan ungkapan:
منْ تعجّل بِشيءٍ قبْل أوانِهِ
عُوْقِب بِحِرْمانِهِ
"Barangsiapa yang mempercepat
sesuatu sebelum waktunya, diberi sanksi dengan haramnya hal tersebut"
C.
Manfaat, Objek dan Keutamaan
1.
Manfaat
Adapun manfaat dari mempelajari
Kaidah Fiqih adalah memberi kemudahan di dalam menemukan hukum-hukum untuk
kasus-kasus hukum yang baru dan tidak jelas nash-nya dan memungkinkan
menghubungkannya dengan materi-materi Fiqih yang lain yang tersebar di berbagai
kitab Fiqih serta lebih memudahkan kita dalam menentukan hukum.
2.
Objek
Adapun objek bahasan kaidah-kaidah
Fiqih itu adalah perbuatan mukallaf itu sendiri, dan materi Fiqih itu sendiri
yang dikeluarkan dari kaidah-kaidah Fiqih yang sudah mapan yang tidak ditemukan
nash-nya secara khusus di dalam Al-Quran atau Sunnah atau Ijma (konsensus para
ulama).
3.
Keutamaan
Orang yang ingin memahami ilmu
fiqih, akan mencapai kemahirannya dalam bidang fiqih apabila dibekali dengan
ilmu kaidah-kaidah Fiqih.
Oleh karena itu ulama berkata :
"Barangsiapa menguasai ushul
fiqih, tentu dia akan sampai kepada maksudnya, dan barangsiapa yang menguasai
kaidah-kaidah Fiqih pasti dialah yang pantas mencapai maksudnya"
D.
Hubungannya dengan Ilmu lain
Kaidah Fiqih adalah bagian dari ilmu
fiqih. Ia memiliki hubungan erat dengan Al-Quran, Al-Hadits, Akidah dan Akhlak.
Sebab, kaidah-kaidah yang sudah
mapan, sudah dikritisi oleh ulama, sudah diuji serta diukur dengan banyak ayat
dan hadits nabi, terutama tentang kesesuiannya dan substansinya.
Apabila kaidah Fiqih tadi
bertentangan dengan banyak ayat Al-Quran ataupun Hadits yang bersifat dalil
kulli (general), maka dia tidak akan menjadi kaidah yang mapan.
Oleh karena itu, menggunakan
kaidah-kaidah Fiqih yang sudah mapan pada hakikatnya merujuk kepada Al-Quran
dan Hadits, setidaknya, kepada semangat dan kearifan Al-Quran dan Hadits juga.
E.
Perkembangan Kaidah
Para pencetus dan pengembang
kaidah-kaidah Fiqih adalah ulama-ulama yang sangat dalam ilmu dan wawasannya
dalam ilmu fiqih sampai muncul Imam Abu Thahir al-Dibasi yang hidup pada akhir
abad ke-3 dan awal abad ke-4 Hijriyah, yang baru mengumpulkan 17 kaidah Fiqih.
Di kalangan tiap mazhab, ada banyak
ulama yang menjadi pelopor dan tokoh dalam bidang kaidah Fiqih.
Dalam mazhab Asy-Syafi'iyah, ada
ulama besar yang bernama Imam 'Izzuddin bin Abd al-Salam (w.660 H), beliau
telah menyusun kitab berjudul Qawa'id al-Ahkam fi Masailil al-'Anam
(kaidah-kaidah hukum untuk kemaslahatan manusia).
Intinya menjelaskan tentang maksud
Allah mensyariatkan hukum, dan semua kaidah dikembalikan kepada kaidah pokok
yaitu:
جلْبُ الْمصالِحِ ودرْءُ الْمفاسِدِ
"Meraih yang maslahat dan
menolak yang mafsadah"
Keseluruhan taklif yang tercermin di
dalam konsep al-ahkam al-khamsah, (wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram)
tujuan adalah kembali kepada kemaslahatan hamba Allah di dunia dan akhirat.
Bagaimanapun ketaatan hamba, tidak
akan menambah apa-apa kepada kemahakuasaan dan kemahasempurnaan Allah. Demikian
pula sebaliknya, kemaksiatan hamba tidak akan mengurangi apapun terhadap
kemahakuasaan dan kemahasempurnaan Allah.
F.
Kaidah Kubra dan Turunannya
Para ulama yang menyusun berbagai
kaidah fiqhiyah mengumpulkan berbagai kaidah sesuai dengan tema utamanya, yang
disebut dengan kaidah kubra.
Masing-masing kaidah kubra ini
memiliki kaidah-kaidah turunan, yang menjelaskan lebih detail tiap pengembangan
dari masing-masing kaidah kubra.
1.
Kaidah Kubra Pertama
الأُمُورُ بِمَقَاصَدِهَا
Segala sesuatu tergantung tujuannya
a. Kaidah Turunan Pertama
العِبْرَةُ فيِ العُقُودِ
بِالمـَقَاصِدِ وَالمـَعاَنيِ لاَبِالأَلْفَاظِ وَالمـَبَانِي
“Yang dapat dijadikan pegangan dalam
akad adalah maksud dan makna; bukan lafadz dan bentuk perkataan”
Contoh
Jika ada seseorang yang mengatakan
kepada temannya, “Aku hadiahkan mobil ini kepadamu dengan catatan
berikan mobilmu itu kepadaku”, maka akad yang terjadi disini bukanlah hadiah,
walaupun dia mengatakan itu hadiah.
Karena makna dan maksud akad tersebut
sudah jelas, yaitu jual beli (barter). Dan dalam akad, yang dijadikan pijakan
adalah maksud dan makna bukan lafadz dan bentuk perkataan.
Sedangkan yang dimaksud dengan
hadiah adalah pemberian yang tidak membutuhkan imbalan dalam bentuk apa pun.
b. Kaidah Turunan Kedua
النية في اليمين تخصص اللفظ العام و
لا تعمم الخاص
“Dalam sumpah, niat mampu
menspesifikasi kata yang masih umum namun tidak bisa merubah kata yang bermakna
khusus menjadi umum”
Contoh
Kaidah ini membutuhkan dua contoh.
Karena kaidah ini memiliki dua bagian yang berbeda. Pertama Takhsis al-‘Aam bi
An-Nyiyah dan kedua Ta’mim al-Khas bi an-Niyyah.
Untuk bagian pertama, bisa
diterapkan dalam kasus seperti ketika ada seseorang yang bersumpah untuk tidak
berbicara dengan siapapun, namun dalam hatinya dia meniatkan hanya tidak
berbicara kepada Zaid saja, maka dia tidak dianggap melanggar sumpah jika
berbicara dengan selain zaid. Sebab, meski lafadz sumpahnya adalah umum yaitu;
tidak berbicara dengan siapapun, tapi niat dalam hatinya khusus yaitu tidak
mengajak bicara pada si Zaid saja. Dan dalam sumpah, niat mampu menspesifikasi
kata yang masih umum.
Sedangkan untuk bagian kedua yaitu
Ta’mim al-Khas bi an-Niyyah bisa diterapkan dalam kasus berikut; Jika ada
seseorang yang bersumpah untuk tidak meminum air si Fulan jika merasa haus,
namun dalam hatinya dia berniat untuk tidak mengambil manfaat apapun dari air
tersebut sama sekali, maka berdasarkan kaidah ini, ia tidak dianggap melanggar
sumpahnya dengan memanfaatkan air si Fulan itu untuk mandi.
Karena lafadznya khusus dalam satu
manfaat yaitu; minum karena haus. Sedangkan niat dalam hatinya yang umum yaitu;
tidak mengambil manfaat apapun, tidak bisa membuat lafadz khusus itu menjadi
umum.
Kaidah (bagian kedua) ini berlaku di
dalam madzhab syafi’iyyah dan sebagian hanafiah. Namun beberapa madzhab yang
lain menganggap si pengucap sumpah telah melanggar sumpahnya karena mandi
dengan air tersebut. Pasalnya niat yang umum dalam hati tersebut -menurut
madzhab ini- bisa membuat lafadz sumpah yang khusus itu menjadi umum.
c. Kaidah Turunan Ketiga
مقاصد اللفظ على نية اللافظ إلا في
اليمين عند القاضي
“Maksud atau kandungan makna suatu
perkataan akan diserahkan sepenuhnya kepada orang yang mengucapkan, kecuali
dalam masalah sumpah diahadapan qadhi (hakim)”
Contoh Penerapannya :
Pada dasarnya ucapan atau lafadz
sumpah diserahkan maksud dan maknanya langsung kepada orang yang mengucapkan.
Sehingga, sebagaimana kata-kata yang lain, sumpah juga berpeluang untuk
diinterpretasikan beragam sesuai kehendak orang yang mengucapkan.
Namun, ketika sumpah dijadikan oleh
fiqih sebagai salah satu jalan keluar penyelesaian suatu sengketa, maka
penafsiran lafadz sumpah -yang diucapkan oleh salah satu pihak yang bersengketa
di Meja Hijau- diserahkan kepada hakim. Karena pengadilan adalah institusi yang
rawan akan intrik, manipulasi fakta dengan kata-kata ataupun tipu muslihat.
Maka, ketika seorang hakim meminta
kepada terdakwa untuk bersumpah, penafsiran lafadz sumpahnya diserahkan
sepenuhnya kepada sang Hakim.
Sebagai contoh, si Terdakwa kasus
piutang telah bersumpah bahwa ia tidak pernah berhutang kepada pendakwa sama
sekali. Dalam hatinya, ia niatkan bahwa maksudnya adalah tidak berhutang pada
tahun yang lalu.
Maka niat itu tidak berfungsi sama
sekali disini. Ia tetap dianggap telah melanggar sumpahnya itu. Sebab, meski
maksud atau kandungan makna suatu perkataan pada dasarnya diserahkan sepenuhnya
kepada orang yang mengucapkan, hanya saja hal tersebut tidak berlaku jika
kata-kata itu berupa sumpah yang diucapkan di hadapan hakim atau Meja Hijau.
2.
Kaidah Kubra Kedua
اليقين لا يزال بالشك
“Keyakinan tidak dapat dihilangkan
oleh kebimbangan”
a. Kaidah Turunan Pertama
الأصل بقاء ما كان على ما كان
“Hukum Asal adalah ketetapan yang
telah ada/dimiliki sebelumnya”
Contoh Penerapannya:
Jika seseorang telah berwudhu untuk
shalat fardhu, dan setelah shalat ia masih merasa yakin dalam kedaan suci,
namun ketika hendak shalat fardhu berikutnya ia ragu apakah sudah batal atau
belum, maka ia dihukumi tetap dalam keadaan suci. Karena itulah ketetapan
awalnya yang telah ada sebelumnya. Dan hukum asal adalah ketetapan awal itu.
b. Kaidah Turunan Kedua
الأصل في الأشياء الإباحة
“Hukum Asal segala sesuatu adalah
boleh”
Contoh penerapannya :
Jika ada hewan yang tidak jelas dan
buram perkaranya, maka hewan tersebut dianggap halal dimakan. Contoh hewan
seperti ini –seperti yang dicontohkan Imam Suyuti- adalah Jerapah. Menurut Imam
As-Subki, pendapat yang dipilih adalah bahwa Jerapah boleh dimakan, karena
hukum asal segala sesuatu adalah boleh.
Jadi dalam tataran praktis, kaidah
ini dapat diterapkan jika kita menemukan hewan, tumbuhan, atau apa saja, yang
belum diketahui status hukumnya dalam syariat. Semua jenis barang tersebut
dihukumi boleh sesuai substansi yang dikandung kaidah ini. Namun, perlu
diperhatikan disini, bahwa sebenarnya masih ada perbedaan pendapat dikalangan
para fuqaha seputar hukum asal segala sesuatu.
c. Kaidah Turunan Ketiga
الأصل في الأبضاع التحريم
“Hukum Asal Abdha’(farji) adalah
haram”
Contoh penerapannya:
Jika ada seseorang yang mempunyai
empat istri kemudian dia mantalak salah satunya, tapi di kemudian hari dia lupa
siapa istri yang telah ia talak? Maka haram baginya untuk berhubungan intim
dengan mereka semua karena adanya keraguan akut tentang siapa yang telah
menjadi haram baginya. Karena walaupun yang haram Cuma satu, namun hukum asal
Abdha’(farji) adalah haram. Keharaman ini berlangsung sampai jelas siapa yang
telah ditalaknya.
Para ulama berbeda pendapat dalam
menyelesaikan kasus seperti diatas. Ada yang berpendapat dengan cara diundi dan
ada yang berpendapat harus ditunggu sampai benar-benar jelas.
d. Kaidah Turunan Keempat
الأصل في الكلام الحقيقة
“Hukum Asal dalam perkataan adalah
makna hakiki”
Contoh penerapannya:
Jika ada seseorang bersumpah tidak
akan menjual rumahnya, maka ia tidak dianggap melanggar sumpah jika mewakilkan
ke orang lain untuk menjualnya. Karena makna hakiki menjual adalah dirinya
sendiri yang menjual langsung bukan orang lain yang menjual atas nama dirinya.
Dan hukum asal dalam perkataan adalah makna hakikinya.
e. Kaidah Turunan Kelima
الأصل براءة الذمة
“Hukum Asal adalah bebas dari
tanggungan”
Contoh penerapannya :
Jika ada seseorang merusak barang
milik orang lain yang harga belinya -sejauh pengetahuan si perusak- sekitar
sekian rupiah. Namun ternyata si pemilik mengatakan bahwa harga belinya diatas
harga yang diketahui si perusak. Dan si pemilik tidak bisa menunjukkan bukti
atas harga yang diklaimnya itu. Maka klaim yang diterima adalah klaim si
perusak dengan disertai sumpah. Karena hukum asalnya adalah terbebasnya si
perusak dari beban atau tanggungan tambahan harga yang diklaim si pemilik.
3.
Kaidah Kubra Ketiga
المشقة تجلب التيسير
“Kesulitan itu akan mendorong
kemudahan”
a. Kaidah Turunan Pertama
إذا ضاق الأمر اتسع و إذا اتسع الأمر
ضاق
“Ketika sesuatu menyempit, maka
hukumnya menjadi luas (ringan), dan Ketika keadaan lapang, maka hukumnya
menjadi sempit (ketat)”
Contoh penerapannya :
Jika ada seseorang memiliki
tanggungan hutang yang sudah jatuh tempo pembayarannya, namun dia benar-benar
belum memiliki uang untuk membayar, maka pembayarannya wajib untuk ditunda.
Atau jika ia tidak bisa melunasinya secara kontan maka pembayarannya boleh
dengan cara diangsur.
Karena sebuah perkara jika
menyempit, hukumnya jadi luas (longgar). Namun jika ia tiba-tiba mendapatkan
rizki yang dengannya ia mampu melunasi seluruh hutangnya, maka wajib baginya
untuk segera melunasinya. Sebab, sebuah perkara jika sudah lapang, maka
hukumnya kembali menyempit (ketat).
b. Kaidah Turunan Kedua
الضرورات تبيح المحظورات
“Kondisi dharurat akan
memperbolehkan sesuatu yang semula dilarang”
Contoh penerapannya :
Jika ada seseorang hampir-hampir
mati karena kelaparan, dan tidak ada yang bisa dimakan kecuali bangkai yang
diharamkan, maka baginya diperbolehkan untuk memakan bangkai tersebut untuk
menghilangkan rasa lapar yang sangat. Karena kondisinya saat itu adalah
dharurat sehingga ia diperbolehkan untuk mengonsumsi atau melakukan seseuatu
yang semula dilarang.
c. Kaidah Turunan Ketiga
الضرورة تقدر بقدرها
“Dharurat harus diukur kadar
dharuratnya”
Contoh penerapannya :
Contoh kaidah ini hampir mirip
dengan contoh kasus pada kaidah sebelumnya. Bahwa seseorang boleh makan bangkai
yang awalnya diharamkan itu ketika dalam kondisi dharurat itu.
Hanya saja, ia perlu mencukupkan
diri dalam memakannya pada porsi yang kira-kira sudah cukup untuk menyambung
atau menyelamatkan hidupnya. Karena diperbolehkannya mengonsumsi makanan haram
tersebut, hanya dalam kondisi dharurat. Dan dharurat harus diukur kadar
dharuratnya.
Contoh lainnya yang mungkin bisa
ditulis disini adalah ketika ada pasien yang harus membuka auratnya demi
terlaksananya terapi atau pengobatan, maka si pasien hanya diperbolehkan untuk
membuka aurat yang memang dibutuhkan untuk dibuka dalam pengobatan tersebut.
Dan dokter juga hanya diperbolehkan
untuk melihat aurat yang memang dibutuhkan untuk dilihat. Lebih dari itu, maka
tetap diharamkan. Karena pembolehan membuka aurat bagi pasien dan atau melihat
aurat bagi dokter hanyalah dalam kondisi dharurat saja. Dan dharurat harus
diukur kadar dharuratnya.
d. Kaidah Turunan Keempat
الاضطرار لا يبطل حق الغير
“Keadaan darurat tidak mambatalkan
hak orang lain”
Contoh penerapannya :
Jika ada sebuah kapal hampir-hampir
tenggelam karena terlalu beratnya beban muatan kapal, kemudian untuk
menyelamatkan kapal dari tenggelam, ada penumpang yang melempar beberapa
barang-barang penumpang lain untuk meringankan kapal tersebut, maka si pelempar
tadi wajib untuk menggantinya.
Sebab, keadaan dharurat tidak bisa
membatalkan hak orang lain. Dalam kaidah ini ada pembahasan yang lebih
mendalam.
e. Kaidah Turunan Kelima
الحاجة قد نزلت منزلة الضرورة، عامة
كانت أو خاصة
“Suatu kebutuhan terkadang bisa naik
menempati posisi dharurat, baik kebutuhan umum maupun khusus”
Contoh penerapannya :
Para pedagang membutuhkan gugurnya
hak khiyar ru’yah para pembeli untuk melihat semua barang dagangan yang hendak
dibelinya. Gugurnya khiyar ru’yah ini diganti dengan melihat sample komoditas
yang hendak dibeli.
Maka gugurnya khiyar ru’yah ini
diperbolehkan, karena jika khiyar ru’yah tetap wajib dilakukan, maka itu akan
memberatkan para pedagang, apalagi jika komoditas yang hendak dijual berjumlah
banyak dan dikemas dengan kemasan yang membukanya cukup menyita waktu.
Maka hadirlah keringanan berupa
gugurnya khiyar ru’yah ini dalam kebutuhan mendesak yang naik menempati posisi
dharurat.
4.
Kaidah Kubra Keempat
الضَّرَرُ يُزَالُ
“Bahaya harus dihilangkan”
a. Kaidah Turunan Pertama
الضَّرَرُ يُدْفَعُ بِقَدْرِ
الإِمْكاَنِ
“Bahaya harus ditolak semampu
mungkin”
Contoh penerapannya :
Sebuah bahaya bisa saja terjadi pada
siapa saja dan kapan saja. Maka perlu dilakukan sebuah tindakan untuk menolak
bahaya tersebut. Jika kita tidak berhasil menolak semuanya, maka setidaknya
kita menolak sebagiannya.
Dan jika kita sudah berusaha
menolaknya, namun bahaya tersebut terjadi juga maka setidaknya kita bisa
mengurangi efek bahaya tersebut setelah terjadinya.
Maka penolakan bahaya bisa dibagi
secara waktu menjadi penolakan sebelum terjadi dan penolakan setelah terjadi.
Sedangkan secara prosentase penolakan bisa dibagi menjadi penolakan secara
keseluruhan atau penolakan sebagian bahaya.
Contoh penolakan sebelum terjadi
adalah pensyariatan khiyar majlis dan khiyar syart dalam transaksi jual beli.
Untuk menolak bahaya yang mungkin bisa terjadi setelah dilakukannya transaksi
jual beli.
Contoh penolakan setelah terjadi
adalah adanya khiyar ghibn, khiyar aib dan khiyar tadlis setelah transaksi jual
beli selesai dilakukan. Untuk menolak bahaya kerugian yang telah dialami oleh
salah satu pihak setelah transaksi tersebut.
Dua contoh diatas sekaligus sebagai
contoh untuk penolakan bahaya secara keseluruhan.
Sedangkan contoh penolakan bahaya
sebagian adalah jika ada seseorang yang suka mencelakai orang lain dan dia
tidak akan berhenti kecuali jika diberi uang, maka pemberian uang dalam hal ini
merupakan sebagian dari bahaya yang tidak mungkin ditolak demi menolak bahaya
yang lebih besar sebisa mungkin.
b. Kaidah Turunan Kedua
الضَّرَارُ لاَ يُزَالُ بِمِثْلِهِ
“Bahaya tidak dapat dihilangkan
dengan bahaya serupa dan setara”
Contoh penerapannya :
Jika ada orang faqir yang memiliki
kerabat yang dalam tanggungannya yang juga faqir, maka keduanya tidak
berkewajiban untuk memberi nafkah bagi yang lain jika memang dia bahkan susah
menafkahi dirinya sendiri.
Karena kondisi faqir adalah baya
bagi dirinya, dan kewajiban memberi nafkah adalah bahaya yang lain yang tidak
bisa menghilangkan bahaya pertama.
Atau dengan contoh lain misalnya ada
orang yang dipaksa untuk membunuh orang lain, dan jika tidak mau maka ia yang
akan dibunuh, maka dia tetap tidak boleh membunuh orang lain tersebut.
Karena ancaman pembunuhan atasnya
adalah bahaya serupa dan setara dengan bahaya pembunuhan terhadap orang lain.
Dan bahaya tidak dapat dihilangkan dengan bahaya serupa atau setara.
c. Kaidah
Turunan Ketiga
الضَّرَارُ
الأَشَدُّ يُزَالِ باِلضَّرَرِ الأَخَفِّ
“Bahaya yang lebih berat harus
dihilangkan dengan mengerjakan bahaya yang lebih ringan”
Contoh penerapannya :
Jika bahayanya tidak setara, maka
bahaya yang lebih berat bisa dihilangkan dengan menempuh bahaya yang lebih
ringan.
Contohnya adalah jika ada dua
kerabat yang salah satunya faqir dan yang lain berkecukupan, maka wajib bagi
yang berkecukupan untuk memberi nafkah kepada si Faqir.
Karena meskipun kewajiban memberi
nafkah oleh yang berkecukupan adalah bentuk bahaya atasnya, tapi ketiadaan
nafkah bagi si Faqir adalah bahaya yang lebih besar.
Dan bahaya yang lebih besar harus
dihilangkan dengan menempuh bahaya yang lebih ringan.
d. Kaidah Turunan Keempat
يُخْتَارُ أَخَفُّ الضَّرَرَيْنِ
“Yang harus dipilih adalah
bahaya/resiko yang lebih ringan”
Contoh penerapannya :
Jika ada seseorang yang memiliki
luka ditubuhnya dan luka itu akan mengalirkan darah jika dibawa sujud, maka ia
shalat dengan meninggalkan sujud. Karena ia sedang menghadapi dua bahaya;
meninggalkan sujud dalam shalat dan shalat dengan bernajis.
Dan shalat bernajis adalah bahaya
yang lebih besar daripada shalat tanpa sujud. Maka harus ditempuh bahaya yang
lebih ringan.
Begitu pula, meninggalkan sujud
dalam hal ini juga bisa menolak bahaya yang lain yaitu keluarnya banyak darah.
Maka yang dipilih adalah bahaya atau resiko yang lebih ringan.
e. Kaidah Turunan Kelima
دَرْءُ المـَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلىَ
جَلْبِ المـَصَالِحِ
“Mencegah mafsadah lebih utama
daripada menarik datangnya maslahah”
Contoh penerapannya :
Jika ada wanita yang wajib mandi
jinabah, namun ia tidak menemukan sarana untuk menutupinya dari pandangan
laki-laki, maka wajib baginya untuk mengakhirkan mandi jinabah.
Karena meski dalam mandi janabah
terdapat maslahah, namun terbukanya aurat wanita di depan laki-laki adalah
mafsadah atau kerusakan yang jauh lebih besar. Dan mencegah mafsadah lebih
utama daripada menarik datangnya maslahah.
f. Kaidah Turunan Keenam
يَتَحَمَّلُ الضَّرَرُ الخاَصُّ
لِدَفْعِ الضَّرَرِ العَامِ
“Bahaya khusus harus ditanggung demi
menolak bahaya umum”
Contoh penerapannya :
Jika ada sebuah rumah yang memiliki
pohon dengan dahan dan ranting yang tumbuh lebat hingga mengganggu para
pengguna jalan, maka dahan dan ranting yang mengganggu itu wajib untuk
dipotong.
Sebab, meski dalam pemotongan
tersebut terdapat resiko kerugian bagi si pemilik pohon, hanya saja kerugian
tersebut adalah kerugian atau bahaya khusus. Dan gangguan pengguna jalan adalah
bahaya umum. Dan bahaya khusus harus ditempuh dan ditanggung demi menolak
bahaya umum.
5.
Kaidah Kubra Kelima
العَادَةُ مُحَكَّمَةٌ
“Adat istiadat dapat dijadikan
pijakan hukum”
Adat atau apa yang dianggap sebagai
kebiasaan yang tidak bertentangan dengan hukum Allah dan sudah berlaku secara
umum di tengah masyarakat, bisa dijadikan salah satu pedoman dalam hukum.
a. Kaidah Turunan Pertama
اِسْتِعْمَالُ النَّاسِ حُجَّةٌ
يَجِبُ العَمَلِ بِهَا
“Tradisi masyarakat (dalam berbahasa)
adalah hujjah yang harus dijadikan pijakan dalam beramal”
Contoh Penerapan :
Kaidah ini memiliki kemiripan makna
dengan kaidah kubranya. Maka sebagian ulama ada yang menyamakan antara
keduanya, sedangkan sebagian yang lain ada yang membedakan.
Bagi yang membedakan, perbedaannya
adalah bahwa kaidah kubra bersifat umum, sedangkan kaidah ini bersifat khusus,
yaitu khusus berlaku dalam tradisi berbahasa saja. Perbedaan tersebut dipicu
oleh perbedaan mereka dalam memaknai kata isti’mal yang terdapat di awal
kaidah.
Contohnya adalah ketika ada
seseorang yang bersumpah untuk tidak minum dari air sungai A. Dan sudah jamak
diketahui bahwa masyarakat di sekitar orang tersebut menggunakan makna majazi
lebih banyak dari pada menggunakan makna hakiki.
Makna hakiki ‘minum dari sungai’
disini adalah langsung meneguk dari sungai tersebut tanpa sarana apapun.
Sedangkan makna majazi ‘minum dari sungai’ adalah minum dari air yang diambil
atau bersumber dari sungai tersebut.
Jika orang tersebut kemudian minum
dari sungai itu setelah bersumpah untuk tidak minum darinya, maka hukumnya
terjadi perbedaan diantara para ulama menjadi tiga pendapat :
Pertama, dia dianggap melanggar
sumpahnya hanya jika meminumnya dengan sarana seperti minum air dirumahnya yang
bersumber dari sungai tersebut, bukan langsung meneguk dari sungai.
Kedua, dia dianggap melanggar
sumpahnya baik meneguknya langsung dari sungai seperti para musafir pedalaman,
atau minum di rumahnya yang air minumnya memang bersumber dari sungai tersebut.
Ketiga, dia dianggap melanggar
sumpahnya hanya jika meneguk langsung dari sungai sebagaimana para musafir
pedalaman.
b. Kaidah Turunan Kedua
الحَقِيْقَةُ تُتْرَكُ بِدَلاَلَةِ
العَادَةِ
“Makna hakiki sebuah kata harus
ditinggalkan jika tradisi masyarakat menggunakan makna majazi”
Contoh penerapannya :
Jika ada seseorang yang bersumpah
untuk tidak menunjukkan ‘batang hidung’nya di depan bosnya, maka ia tetap
dianggap melanggar sumpahnya jika ia menunjukkan dirinya dihadapannya. Karena,
walaupun secara hakiki ‘batang hidung’ hanya menunjukkan salah satu anggota
badan, namun yang menjadi tradisi berbahasa masyarakat adalah makna secara
majazi. Sebab, makna hakiki sebuah kata harus ditinggalkan jika tradisi
masyarakat menggunakan makna majazi.
c. Kaidah Turunan Ketiga
إِنَّمَا تُعْتَبَرُ العَادَةُ إِذَا
اطَّرَدَتْ أَوْ غَلَبَتْ
“Sebuah tradisi hanya akan bisa
diterima sebagai pijakan hukum ketika tradisi tersebut sudah berjalan
berulang-ulang dan mendominasi”
Contoh penerapannya :
Jika ada dua orang di dua negara
yang sedang bertransaksi dalam suatu bisnis internasional dan mereka sepakat
bahwa pembayarannya menggunakan mata uang dollar tanpa menyebutkan dollar
negara mana, maka dollar yang dimaksud adalah dollar amerika. Karena transaksi
dengan mata uang tersebut sudah berulang-ulang dan mendominasi.
d. Kaidah Turunan Keempat
العِبْرَةُ لِلْغَالِبِ الشَّائِعِ
لاَ لِلنَّادِرِ
“Yang dijadikan sandaran adalah
kebiasaan dominan dan populer bukan kebiasaan yang langka”
Contoh penerapannya :
Syariat telah menetapkan bahwa umur
lima belas adalah batasan dimulainya usia baligh bagi mereka yang tidak
memiliki tanda-tanda baligh. Karena usia lima belas adalah usia yang secara
kebiasaan dominan manusia sudah mengalami baligh di usia tersebut.
Sedangkan ‘belum mengalami baligh’
pada usia tersebut adalah kejadian yang sangat jarang terjadi. Sesuatu yang
jarang ini, dalam syariat sama sekali tidak dilirik untuk dijadikan sandaran
hukum.
Justru yang belum mengalami
tanda-tanda baligh di usia lima belas tetap dihukumi sudah baligh hanya dengan
menginjak usia lima belas. Karena yang dijadikan sandaran adalah kebiasaan
dominan dan populer bukan kebiasaan langka.
e. Kaidah Turunan Kelima
لاَ يُنْكَرُ تَغَيُّرُ الأَحْكَامِ
بِتَغَيُّرِ الأَزْمَانِ
“Perubahan hukum ijtihadi karena
adanya perubahan zaman sama sekali tidak boleh dicela”
Contoh penerapannya :
Sudah menjadi kebiasaan sejak dulu
bahwa masjid tidaklah ditutup pada saat kapan pun. Karena masjid adalah tempat
suci yang dipersiapkan untuk beribadah.
Namun, ketika zaman berubah,
kejahatan merajalela, maka para ulama kemudian menfatwakan bolehnya mengunci
masjid di luar waktu shalat, demi menjaga masjid dari kesia-sian atau
pencurian. Dan perubahan hukum ini sama sekali tidak boleh untuk dicela.
No comments:
Post a Comment