TA’ZIR HUKUMAN UNTUK
ANAK-ANAK
M.Rakib
Pekanbaru Riau Indonesia 2015
Hukuman
untuk, anak-anak
Membantunya,
agar tidak terhenyak
Lupa
diri, berbuat asal enak
Padahal
melakukan perbuatan merusak
Ada catatan yang mengerikan dari KOLAKA, KOMPAS.com - Dua remaja, MA (15) dan AI (16), dikurung di ruang tahanan Polres Kolaka, Sulawesi Tenggara. Keduanya terlibat dalam kasus perampokan disertai kekerasan yang menewaskan korbannya.
Perampokan itu ternyata dilatarbelakangi sesuatu yang sepele. MA mengaku merampok karena ingin membeli nasi kuning.
"Yang saya rencana mau ambil itu uang Pak, untuk beli nasi kuning. Tidak ada maksud yang lain," kata MA yang ditemui Kompas.com di Polres Kolaka, Minggu (15/3/2015).
Dia juga mengakui sedang mabuk ketika beraksi. "Memang mabuk, jadi yang masuk ke rumah itu hanya saya saja. Temanku cuma menunggu diluar," tambah dia.
MA mengaku tidak berniat membunuh korbannya. "Dia mau berteriak terpaksa saya tikam pakai taji ayam. Memang taji itu saya bawa tapi tidak ada niat untuk membunuh," tegasnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, MA dan AI merampok sebuah rumah di Kelurahan Dawi-dawi, Kecamatan Pomalaa, Kabupaten Kolaka. Akibat serangan remaja 15 tahun itu, pemilik rumah Muliana tewas sementara suaminya, Abdul Malik, terluka parah. [Baca: Dua Remaja di Kolaka Merampok dan Membunuh
Ada catatan yang mengerikan dari KOLAKA, KOMPAS.com - Dua remaja, MA (15) dan AI (16), dikurung di ruang tahanan Polres Kolaka, Sulawesi Tenggara. Keduanya terlibat dalam kasus perampokan disertai kekerasan yang menewaskan korbannya.
Perampokan itu ternyata dilatarbelakangi sesuatu yang sepele. MA mengaku merampok karena ingin membeli nasi kuning.
"Yang saya rencana mau ambil itu uang Pak, untuk beli nasi kuning. Tidak ada maksud yang lain," kata MA yang ditemui Kompas.com di Polres Kolaka, Minggu (15/3/2015).
Dia juga mengakui sedang mabuk ketika beraksi. "Memang mabuk, jadi yang masuk ke rumah itu hanya saya saja. Temanku cuma menunggu diluar," tambah dia.
MA mengaku tidak berniat membunuh korbannya. "Dia mau berteriak terpaksa saya tikam pakai taji ayam. Memang taji itu saya bawa tapi tidak ada niat untuk membunuh," tegasnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, MA dan AI merampok sebuah rumah di Kelurahan Dawi-dawi, Kecamatan Pomalaa, Kabupaten Kolaka. Akibat serangan remaja 15 tahun itu, pemilik rumah Muliana tewas sementara suaminya, Abdul Malik, terluka parah. [Baca: Dua Remaja di Kolaka Merampok dan Membunuh
Hukum
Pidana Islam berlaku sebagai hukum publik. Yaitu hukum yang diatur dan
diterapkan oleh pemerintah selaku penguasa yang sah atau ulil amri.
Walaupun dalam kenyataannya, masih
banyak umat islam yang belum tahu dan paham tentang apa dan bagaimana hukum pidana
islam itu, serta bagaimana ketentuan-ketentuan hukum tersebut seharusnya
disikapi dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Maka pada kesempatan ini
pemakalah akan mencoba menjelaskan tentang hadits-hadits yang berkaitan dengan
hukum ta’zir, berikut dengan pengertian, dasar hukum serta jarimah-jarimah yang
meliputinya.
Ada tiga bagian jarimah yang
digolongkan menurut berat ringannya hukuman, yaitu Hudud, Qishas-Diyat dan
Ta’zir. Hudud dapat dikategorikan sebagai sebuah hukuman yang telah ditetapkan
oleh nash. Qishas-Diyat adalah hukuman yang apabila dimaafkan maka qishas dapat
diganti dengan diyat. Dan Ta’zir, adalah jarimah yang belum ada ketentuan
nasnya dalam Al-Qur’an. Belum ditentukan seberapa kadar hukuman yang akan
diterima oleh si tersangka/si pelaku kejahatan. Jarimah ta’zir lebih di
tekankan pada hukuman yang diberikan oleh pemerintah/kekuasaan mutlak berada di
tangan pemerintah tapi masih dalam koridor agama yang tidak boleh bertentangan
dengan hukum Allah swt.
Masalah
1.
Bagaimana jarimah ta’zir untuk anak-anak?
2.
Apa dasar
hukum disyari’atkan jarimah ta’zir?
3.
Apa saja
hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum ta’zir?
Manfaat dan Tujuan Penulisan
1.
Untuk
mengetahui dan memahami apa yang dimaksud dengan jarimah ta’zir.
2.
Untuk
mengetahui dan memahami apasaja dasar hukum disyari’atkan jarimah ta’zir.
3.
Untuk
mengetahui dan memahami hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum ta’zir.
Pemahaman ta’zir
Ta’zir berasal dari kata “azzara”
yang berarti menolak dan mencegah, juga berarti mendidik, mengagungkan dan
menghormati, membantunya, menguatkan, dan menolong.[1] Dari pengertian tersebut
yang paling relevan adalah pengertian pertama yaitu mencegah dan menolak, dan
pengertian kedua yaitu mendidik. Karena ia dapat mencegah pelaku agar tidak
mengulangi lagi perbuatannya. Ta’zir diartikan mendidik, karena ta’zir
dimaksudkan untuk mendidik dan memperbaiki pelaku agar ia menyadari perbuatan
jarimahnya kemudian meninggalkan dan menghentikannya. Pengertian ini sesuai
dengan apa yang di kemukakan oleh Abdul Qadir Audah [2] dan Wa dan Wahbah Zuhaili [3].
Menurut istilah, ta’zir didefinisikan oleh Al-Mawardi
sebagai berikut :
والّتعزير تأ
د ب على ذنوب
لم تشرع فيها الحدود
“Ta’zir adalah hukuman yang bersifat pendidikan atas
perbuatan dosa yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’.[4]
Dari definisi yang dikemukakan
diatas, jelaslah bahwa ta’zir adalah suatu istilah untuk hukuman atas jarimah-jarimah
yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’. Dikalangan Fuqaha,
jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’ dinamakan jarimah
ta’zir. Jadi, istilah ta’zir bisa digunakan untuk hukuman dan bisa juga untuk
jarimah (tindak pidana).
Ta’zir sering juga dapat dipahami
bahwa jarimah ta’zir terdiri atas perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak
dikenakan hukuman had atau kaffarat. Hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada
penguasa atau hakim. Hukuman dalam jarimah ta'zir tidak ditentukan ukurannya
atau kadarnya, artinya untuk menentukan batas terendah dan tertinggi diserahkan
sepenuhnya kepada hakim (penguasa). Dengan demikian, syari'ah mendelegasikan
kepada hakim untuk menentukan bentuk-bentuk dan hukuman kepada pelaku jarimah.
B. HUKUM DISYARI’ATKAN JARIMAH TA’ZIR
1.
Ta`zir
adalah hukuman yang bersifat mendidik atas perbuatan dosa yang belum ditetapkan
oleh syara` atau hukuman yang diserahkan kepada keputusan Hakim. Dasar hukum
ta`zir adalah pertimbangan kemaslahatan dengan mengacu pada prinsip keadilan.
Pelaksanaannya pun bisa berbeda, tergantung pada tiap keadaan. Karena sifatnya
yang mendidik, maka bisa dikenakan pada anak kecil.
2.
Dalam
menetapkan jarimah ta'zir, prinsip utama yang menjadi acuan penguasa adalah
menjaga kepentingan umum dan melindungi setiap anggota masyarakat dari
kemudharatan (bahaya). Di samping itu, penegakkan jarimah ta'zir harus sesuai
dengan prinsip syar'i.
3.
Bentuk
sanksi ta`zir bisa beragam, sesuai keputusan Hakim. Namun secara garis besar
dapat dibedakan menjadi beberapa macam, diantaranya yaitu hukuman mati bisa
dikenakan pada pelaku hukuman berat yang berulang-ulang. Hukuman cambuk,
hukuman penjara, hukuman pengasingan, menyita harta pelaku, mengubah bentuk
barang, hukuman denda, peringatan keras, hukuman nasihat, hukuman celaan,
ancaman, pengucilan, pemecatan, dan publikasi.
4.
Lihat QS.
Al-Maidah: 12, al-A’raf: 157.
QS.
Al-Maidah: 12
Artinya: “Dan Sesungguhnya Allah telah mengambil Perjanjian (dari) Bani Israil dan
telah Kami angkat diantara mereka 12 orang pemimpin dan Allah berfirman:
"Sesungguhnya aku beserta kamu, Sesungguhnya jika kamu mendirikan shalat
dan menunaikan zakat serta beriman kepada rasul-rasul-Ku dan kamu bantu mereka
dan kamu pinjamkan kepada Allah pinjaman yang baik. Sesungguhnya aku akan
menutupi dosa-dosamu. dan Sesungguhnya kamu akan Kumasukkan ke dalam surga yang
mengalir air didalamnya sungai-sungai. Maka Barangsiapa yang kafir di antaramu
sesudah itu, Sesungguhnya ia telah tersesat dari jalan yang lurus.” (QS.
Al-Maidah: 12)
Ø QS.
Al-A’raf: 157
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, Nabi yang Ummi yang (namanya)
mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang
menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan
yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan
bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu
yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya,
menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al
Quran), mereka Itulah orang-orang yang beruntung.”( QS. Al-A’raf: 157)
Disamping itu dilihat dari segi
dasar hukum (penetapannya), ta’zir juga dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu
sebagai berikut:
1.
Jarimah
ta’zir yang berasal dari jarimah-jarimah hudud atau qishash, tetapi
syarat-syaratnya tidak terpenuhi, atau ada syubhat, seperti pencurian yang
tidak mencapai nisab, atau oleh keluarga sendiri.
2.
Jarimah
ta’zir yang jenisnya disebutkan dalam nash syara’ tetapi hukumannya belum
ditetapkan, seperti riba, suap dan mengurangi takaran dan timbangan.
3.
Jarimah
ta’zir yang baik jenis maupun sanksinya belum ditentukan oleh syara’ jenis
ketiga ini sepenuhnya diserahkan kepada ulil amri, seperti pelanggaran disiplin
pegawai pemerintah, pelanggaran terhadap lingkungan hidup dan lalu lintas.[5]
C. HADITS-HADITS
YANG BERKAITAN DENGAN HUKUM TA’ZIR
1. Hadits Nabi
yang diriwayatkan oleh Burdah :
عن ابي بردة الانصاري انه سمع رسول
الله صلى الله عليه و سلم يقول : لا يجلد احد فوق عشرة اسواط الا فى حد من
حدود الله. (رواه مسلم )
Artinya: Dari Abu
Burdah Al Anshari r.a., katanya dia mendengar Rasulullah saw bersabda :
“Sesorang tidak boleh didera lebih dari sepuluh kali, melainkan hukuman yang
telah nyata ditetapkan Allah, seperti hukuman bagi orang berzina dan
sebagainya.” (Riwayat Muslim)[6]
Substansi:
a.
Untuk selain
dosa-dosa yang sudah ditentukan pukulan 40, 80 dan 100, tidak boleh dihukum
pukul lebih dari 10 dera (ta’zir).
b.
Ini berarti
hukuman yang tidak lebih dari 10 dera itu di serahkan kepada pertimbangan
hakim.
c.
Orang yang dikenakan
hukum oleh hakim muslim sebanyak 10 kali cambuk berdasarkan hadis di atas dapat
dimasukkan dalam hukuman ringan yang disebut dengan hukum ta’zir. Hukuman
ta’zir ini dapat dilakukan menurut keputusan hakim muslim misalnya karena
mengejek orang lain, menghina orang, menipu dan sebagainya. Dengan demikian
hukuman ta’zir ini keadaannya lebih ringan dari 40 kali dera yang memang sudah
ada dasarnya dari Nabi terhadap mereka yang minum minuman keras. Berarti
dibawah 40 kali cambuk itu dinyatakan sebagai hukuman ta’zir (yaitu dipukul
yang keras). Jadi orang yang melakukan peerbuatan-perbuatan yang melanggar
hukum syariat yang telah jelas hukumannya misalnya gadis yang berzina dengan
lelaki (yaitu dicambuk 100 kali), peminum minuman keras (sebanyak 40 kali) dan
lainnya adalah termasuk melakukan pelanggaran syariat yang disebut dengan hudud
(Hukum Allah). Adapun yang lebih ringan disebut ta’zir yang dilakukan menurut
pertimbangan hakim muslim.[7]
d.
Yang
dimaksud had disini adalah had atas perbuatan maksiat, bukan hukum yang telah
ditetapkan dalam syariah. Akan tetapi, yang dimaksud disini adalah semua bentuk
perbuatan yang diharamkan. Semua hudud Allah adalah haram, maka pelakunya harus
dita’zir sesuai dengan kadar pertimbangan maslahat dan kemaksiatan yang
dilakukannya.[8]
2. Hadits Nabi
yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah :
عن عا عشة ان النبي قال اقيلوا ذوى
هيئا ت عسراتهم الا الحدود.
(رواه احمد ابو داوود و
النسائي و البيها قي)
Artinya: Dari ‘Aisyah
bahwasanya Nabi saw bersabda : ”Ampunkanlah gelinciran orang-orang yang
baik-baik kecuali had-had.” (Riwayat Ahmad, Abu Daud, An-Nasai, dan Baihakki) [9]
Substansi:
Maksudnya, bahwa orang-orang baik,
orang-orang besar, orang-orang ternama kalau tergelincir di dalam sesuatu hal,
ampunkanlah, karena biasanya mereka tidak sengaja kecuali jika mereka telah
berbuat sesuatu yang mesti didera maka janganlah di ampunkan mereka.
Mengatur tentang teknis pelaksanaan
hukuman ta’zir yang bisa berbeda antara satu pelaku dengan pelaku lainnya,
tergantung kepada status mereka dan kondisi-kondisi lain yang menyertainya.
Perintah “Aqi-lu” itu ditunjukan kepada para pemimpin/para tokoh, karena kepada
mereka itulah diserahi pelaksanaan ta’zir, sesuai dengan luasnya kekuasaan
mereka. Mereka wajib berijtihad dalam usaha memilih yang terbaik, mengingat hal
itu akan berbeda hukuman ta’zir itu sesuai dengan perbedaan tingkatan pelakunya
dan perbedaan pelanggarannya. Tidak boleh pemimpin menyerahkan wewenang pada
petugas dan tidak boleh kepada selainnya.[10]
Adapun tindakan sahabat yang dapat
dijadikan dasar hukum untuk jarimah dan hukuman ta’zir antara lain tindakan
Sayyidina Umar ibn Khattab ketika ia melihat seseorang yang menelentangkan
seekor kambing untuk disembelih, kemudian ia tidak mengasah pisaunya. Khalifah
Umar memukul orang tersebut dengan cemeti dan ia berkata: ”Asah dulu pisau itu”[11]
3. Hadits Nabi
yang diriwayatkan oleh Bahz ibn Hakim :
عن بهز ابن
حكيم عن ابي عن جدّه, أنّ النّبيّ صلى الله عليه وسلّم حبس فى التهمة (رواه ابو
داود و التّرمذي و النسا ئى والبيهقى و صّحيحه الحاكم)
Artinya: Dari Bahz ibn Hakim dari ayahnya dari kakeknya, bahwa
Nabi saw menahan seseorang karena disangka melakukan kejahatan. (Hadits
diriwayatkan oleh Abu Daud, Turmudzi, Nasa’i, dan Baihaqi, serta dishahihkan
oleh Hakim).[12]
Substansi:
Hadits ini menjelaskan tentang
tindakan Nabi yang menahan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana dengan
tujuan untuk memudahkan penyelidikan. Perkataan “karena suatu tuduhan” itu
menunjukkan bahwa penahanan itu disamping ada yang berstatus sebagai hukuman,
juga sebagai membersihkan diri.[13]
D. JENIS-JENIS
HUKUMAN TA’ZIR
Dalam menetukan hukuman tersebut, hakim hanya menentukan hukuman secara
umum saja artinya pembuat undang-undang tidak menetapkan hukuman untuk masing-
masing jarimah ta’zir, melainkan hanya menetapkan hukuman untuk masing-masing
jarimah ta’zir, dari yang seringan-ringan sampai seberat- beratnya. Jenis-jenis
hukuman ta’zir adalah sebagai berikut:
1. Hukuman Mati
Pada dasarnya hukuman ta’zir dalam hukum Islam adalah hukuman yang bersifat
mendidik. Sehingga dalam hukuman ta’zir tidak boleh ada pemotongan anggota
badan atau penghilangan nyawa. Tetapi sebagian besar fuqoha memberikan
pengecualian terhadap peraturan hukuman tersebut yaitu diperbolehkannya hukuman
mati apabila kepentingan umum menghendakinya atau kerusakan yang dilakukan
pelaku tidak bisa dihindari kecuali dengan membunuhnya, seperti menjatuhkan
hukuman mati kepada mata-mata, penyeru bid’ah (pembuat fitnah), atau residivis
yang berbahaya. Oleh karena itu, hukuman mati merupakan suatu pengecualian dari
aturan hukuman ta’zir, hukuman tersebut tidak boleh diperluas dan diserahkan
seluruhnya kepada hakim.
2. Hukuman Cambuk
Hukuman cambuk merupakan salah satu hukuman pokok dalam hukum Islam dan hukuman
yang ditetapkan untuk hukuman hudud dan hukuman ta’zir. Dikalangan fuqoha‟
terjadi perbedaan tentang batas tertinggi hukuman jilid dalam ta’zir. Menurut
pendapat yang terkenal di kalangan ulama‟ Maliki, batas tertinggi diserahkan
kepada penguasa karena hukuman ta’zir didasarkan atas kemaslahatan masyarakat
dan atas dasar berat ringannya jarimah.
3. Hukuman Kawalan (Penjara atau Kurungan)
Ada dua macam hukuman kawalan dalam hukum Islam. Pembagian ini didasarkan
pada lama waktu hukuman yaitu hukuman kawalan terbatas dan hukuman kawalan
tidak terbatas. Pertama, hukuman kawalan terbatas. Batas terendah dari hukuman
ini adalah satu hari, sedangkan batas tertinggi ulama‟ berbeda pendapat. Ulama‟
Syafi‟iyyah menetapkan batas tertingginya satu tahun, karena mereka
mempersamakannya dengan pengasingan dalam jarimah zina. Sementara ulama-ulama
lain menyerahkan semuanya kepada penguasa berdasarkan maslahat. Kedua, hukuman
kawalan tidak terbatas. Sudah disepakati bahwa hukuman kawalan ini tidak
ditentukan terlebih dahulu karena hukuman ini tidak terbatas, melainkan
berlangsung terus sampai terhukum mati atau taubat dan baik pribadinya. Orang
yang dikenakan hukuman ini adalah penjahat yang berbahaya atau orang yang
berulang-ulang melakukan jarimah-jarimah yang berbahaya.
4. Hukuman Salib
Hukuman salib sudah dibicarakan dalam jarimah gangguan keamanan (hirobah),
dan para fuqoha mengatakan bahwa hukuman salib dapat menjadi hukuman ta’zir.
Akan tetapi untuk jarimah ta’zir hukuman salib tidak dibarengi atau didahului
dengan oleh hukuman mati, melainkan si terhukum disalib hidup-hidup dan tidak
dilarang makan minum, tidak dilarang mengerjakan wudhu, tetapi dalan
menjalankan shalat cukup dengan isyarat. Dalam penyaliban ini, menurut fuqoha
tidak lebih dari tiga hari.
5. Hukuman Pengucilan
Hukuman pengucilan merupakan salah satu jenis hukuman ta’zir yang
disyari‟atkan oleh Islam. Dalam sejarah, Rasulullah pernah melakukan hukuman
pengucilan terhadap tiga orang yang tidak ikut serta dalam perang Tabuk, yaitu
Ka‟ab bin Malik, Miroroh bin Rubai‟ah dan Hilal bin Umayyah. Mereka dikucilkan
selama lima puluh hari tanpa diajak bicara. Sehingga turunlah firman Allah
surat At-Taubah ayat 118, sebagai berikut:
’n?tãur ÏpsW»n=¨W9$# šúïÏ%©!$# (#qàÿÏk=äz #Ó¨Lym #sŒÎ) ôMs%$|Ê ãNÍköŽn=tã ÞÚö‘F{$# $yJÎ ôMt6ãmu‘ ôMs%$|Êur óOÎgøŠn=tæ óOßgÝ¡àÿRr& (#þq‘Zsßur br& žw r'yfù=tB z`ÏB «!$# HwÎ) Ïmø‹s9Î) ¢OèO z>$s? óOÎgøŠn=tæ (#þqçqçFu‹Ï9 4 ¨bÎ) ©!$# uqèd Ü>#§qG9$# ÞOŠÏm§9$# ÇÊÊÑÈ
Artinya: “Dan
terhadap tiga orang yang tinggal, sehingga apabila bumi terasa sempit oleh
mereka meskipun dengan luasnya, dan sesak pula diri mereka, serta mereka
mengira tidak ada tempat berlindung dari Tuhan kecuali padaNya, kemudian Tuhan
menerima taubat mereka agar mereka bertaubat”(Q.S. At-Taubah: 118)
6. Hukuman Ancaman, Teguran, dan peringatan
Ancaman juga merupakan salah satu hukuman ta’zir, dengan syarat dapat akan
membawa hasil dan bukan hanya ancaman saja. Misalnya dengan ancaman cambuk,
dipenjarakan atau dihukum dengan hukuman yang lain jika pelaku mengulangi
tindakanya lagi. Sementara hukuman teguran bisa dilakukan apabila dipandang
hukuman tersebut bisa memperbaiki dan mendidik pelaku. Hukuman teguran pernah
dilakukan oleh Rasulullah terhadap sahabat Abu Dzar yang memaki-maki orang lain
dengan menghinakan ibunya. Hukuman peringatan juga diterapkan dalam syari‟at
Islam dengan jalan memberikan nasehat, kalau hukuman ini cukup membawa hasil.
Hukuman ini dicantumkan dalam Al-Qur‟an sebagaimana hukuman terhadap istri yang
berbuat dikhawatirkan berbuat nusyuz.
7. Hukuman Denda
Hukuman denda ditetapkan juga oleh syari‟at Islam sebagai hukuman. Antara
lain mengenai pencurian buah yang masih tergantung dipohonnya, hukumannya
didenda dengan lipat dua kali harga buah tersebut, disamping hukuman lain yang
sesuai dengan perbuatannya tersebut. Hukuman yang sama juga dikenakan terhadap
orang yang menyembunyikan barang hilang. Sebagian fuqoha berpendapat bahwa
denda yang bersifat finansial dapat dijadikan hukuman ta‟zir yang umum, tapi
sebagian lainnya tidak sependapat.
E. PENDAPAT
IMAM MAZHAB
1.
Tersebut di
dalam suatu riwayat bahwa Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu menta’zir dan
memberi pelajaran terhadap seseorang dengan mencukur rambut, mengasingkan dan
memukul pelakunya, pernah pula beliau radhiyallahu ‘anhu membakar kedai-kedai
penjual khamr dan membakar suatu desa yang menjadi tenpat penjualan khamr.
Ta’zir dalam perkara yang disyariatkan adalah ta’zir yang wajib menurut
pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad rahimahumullah.[14]
2.
Adapun Imam
Syafi’i mengatakan bahwa Hukum Ta’zir itu tidak wajib.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari uraian
singkat tentang jinayat ta’zir di atas, terdapat hal-hal yang menarik perhatian
kita untuk dikaji lebih jauh, baik yang berkaitan tentang pengertian atau
definisi hingga pendapat para fuqaha tentang hal-hal yang berkaitan, yaitu :
1.
Kita dapat
menyimpulkan bahwa ta’zir adalah sebuah jarimah dengan kebijakan hukuman paling
ringan dibanding jarimah yang lain. Jarimah ini pun memiliki tingkat
kemungkinan paling luas, karena keputusan hukuman sangat bergantung pada hakim.
2.
Rasulullah
melarang para hakim untuk memberikan hukuman pada terdakwa pelaku jarimah
ta’zir melebihi hukuman had atau untuk jarimah yang telah ditetapkan hukumannya
oleh Allah. Karena sesungguhnya hukuman jarimah ta’zir di tujukan untuk
mendidik agar pelaku tidak melanggar itu kembali.
B.
SARAN
Menurut
pemakalah, Hukum Ta’zir di dalam Islam harus dilaksanakan pada setiap perbuatan
maksiat yang tidak ada hukuman had ataupun ketentuan membayar kafaratnya.
Karena, perbuatan tersebut termasuk kategori perbuatan yang terlarang dalam
syariat. Pelaksanaan hukuman ta’zir berbeda-beda sesuai dengan kejahatan yang
diperbuat, sebab kejahatan sendiri ada bermacam-macam, dari yang ringan sampai
yang berat. Hukum Ta’zir dan semua hukum islam yang diperintahkan oleh Allah
adalah hukuman yang paling efektif. Kerena memenuhi semua aspek dari sebuah
hukuman yaitu preventive, edukatif dan repressive. Sehingga dapat mewujudkan
kehidupan yang aman, damai dan tentram.
DAFTAR
PUSTAKA
Shan’Ani ASH, Subulus Salam,
jilid 4, Surabaya: Al-Ikhlas. 1996
Bahreisj, Hussein, Terjemah Hadits Shahih Muslim
3, Jakarta : Widjaya, 1983
Muslich, Ahmad Wardi, Hukum Pidana Islam,
Jakarta: Sinar Grafika Offset.
2005, Cet.II.
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Koleksi
Hadis-Hadis Hukum, jilid
9, Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra. 2001, Cet III
Bahreisj, Hussein Khallid, Himpunan Hadits
Shahih Muslim, Surabaya : Al-
Ikhlas, 1987
Al-fauzan, Saleh, Terjemah Al-mulakhkhasul fiqh.
Terj. Ahmad Ikhwani,dkk,
Jakarta : Gema Insani, 2005
[1 ] Ibrahim Unais, et. al.,
Al-Mu’jam Al-Wasith, Juz II, Dar
Ihya’ At-Turats Al-‘Arabi, tanpa tahun, hlm. 598.
[2] dan Wa Abd Al-Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy, Juz I,
Dar Al-Kitab Al-A’rabi, Beirut, tanpa tahun, hlm. 81.
[3] Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Juz VI, Dar Al-Fikr, Damaskus,
1989, hlm. 197.
[4] Abu Al-Hasan Ali Al-Mawardi, Kitab Al-Ahkam As-Sulthaniyah, Dar
Al-Fikr, Beirut, 1996, hlm. 236.
[5] Drs. H. Ahmag Wardi Muslich. Hukum Pidana Islam. Jakarta : Sinar
Grafika, 2005. Hlm. 255
[6] Hussein Bahreisj, Terjemah Hadits Shahih Muslim 3,
Jakarta : Widjaya 1983, Hal. 255
[7] Hussein Khallid Bahreisj, Himpunan Hadits Shahih
Muslim, Surabaya : Al-Ikhlas, 1987, Hal. 241-242
[8] Saleh al-fauzan, Terjemah Al-mulakhkhasul fiqh.
Terj. Ahmad Ikhwani,dkk, Jakarta : Gema Insani, 2005, Hal. 847
[9] Al-Asqalany Ibnu Hajar, Terjemah Bulughul Maram,
Bandung : CV. Penerbit Diponegoro 2002, Cet. 26, Hal. 576-577
[10] Ash.Shan’Ani, Subulussalam, Terj. H.Abubakar Muhammad, Surabaya: Al-Ikhlas,
hlm. 158
[11] Abd Al-Qadir Audah, I, op. cit., hlm. 155-156
[12] Teuku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-Hadis Hukum, Juz IX,
PT.Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2001,
hlm. 202.
[13] Mu’ammal Hamdy dkk, Nailul Authar, Juz VI, PT Bina Ilmu,
Surabaya, 2005, hlm. 2662-2663
[14] Sa’id Abdul ‘Adhim, Kafarah
Penghapus Dosa, Terj. Abu Najiyah Muhaimin bin Subaidi, Malang : Cahaya
Tauhid Press, Hal. 76
No comments:
Post a Comment