KAEDAH YANG ANEH TAPI NYATA
KAIDAH FIQIH MEMANG BUKAN DALIL, TETAPI SARANA
M.RAKIB PEKANBARU RIAU INDONESIA BARU BELAJAR KAEDAH FIQIH DAN USUL FIQIH
Penulis belum mendalami, baru hanya membuat catatan bahwa Kaidah Fiqih bukan dalil, tetapi sarana untuk mempermudah menentukan hukum pada masalah-masalah yang kita jumpai di masyarakat. Maka para ulama’ telah memberikan investasi besar kepada kita agar kita dapat memahami hukum Islam ini dengan mudah.
Oleh karena itu, bahwa proses
pembentukan kaidah Fiqih adalah sebagai berikut :
1. Sumber hukum Islam: Al-Quran dan
Hadits;
2. Kemudian muncul ushul fiqih
sebagai metodologi di dalam penarikan hukum (istibath al-ahkam). Dengan
metodologi ushul fiqih yang menggunakan pola pikir deduktif menghasilkan Fiqih;
3. Fiqih ini banyak materinya. Dari
materi Fiqih yang banyak itu kemudian oleh ulama-ulama yang mendalami ilmu di
bidang Fiqih, diteliti persamaannya dengan menggunakan pola piker deduktif
kemudian dikelompokkan, dan tiap-tiap kelompok merupakan kumpulan dari
masalah-masalah yang serupa, akhirnya disimpulkan menjadi kaidah-kaidah Fiqih;
4. Selanjutnya kaidah-kaidah tadi
dikritisi kembali dengan menggunakan banyak ayat dan banyak hadits, terutama
untuk dinilai kesesuaiannya dengan substansi ayat-ayat Al-Quran dan hadits
nabi;
5. Apabila sudah dianggap sesuai
dengan ayat Al-Quran dan banyak hadits Nabi, baru kemudian kaidah fiqih
tersebut menjadi kaidah yang mapan;
6. Apabila sudah menjadi kaidah yang
mapan/akurat, maka ulama-ulama Fiqih menggunakan kaidah tadi untuk menjawab
permasalahan masyarakat, baik di bidang sosial, ekonomi, politik, dan budaya,
akhirnya memunculkan hukum-hukum Fiqih baru;
7. Oleh karena itu tidaklah
mengherankan apabila ulama memberikan fatwa, terutama di dalam hal-hal baru
yang praktis selalu menggunakan kaidah-kaidah Fiqih, bahkan kekhalifahan Turki
Utsmani di dalam Majalah al-Ahkam al-Adliyah, menggunakan 99 kaidah di dalam
membuat undang-undang tentang akad-akad muamalah dengan 185 pasal;
8. Seperti telah disinggung di muka.
Ibnu Qayyim al-Jauzaiyah (w.751 H)
murid Ibnu Taimiyah dalam kitab Fiqihnya "I'lam al-Muwaqi'in Rabb
al-Alamin", memunculkan kaidah :
تغيُّرُ الْفتْوى واخْتِلافُها
بِحسْبِ تغيُّرِ اْلأزْمِنةِ واْلأمْكِنةِ واْلأحْوالِ والنِّيّاتِ والْعوائِدِ
"Fatwa berubah dan berbeda
sesuai dengan perubahan zaman, tempat keadaan, niat, dan adat kebisaaan"
Ibnu Qayyim dianggap sebagai penemu
kaidah tersebut, demikian pula Ibnu Rusyd (w.520-595 H) dalam kitab Fiqihnya Bidayat
al-Mujtahid Wa Nihayat al-Muqtasid, sesudah menjelaskan perbedaan pendapat
ulama tentang masalah batas maksimal kehamilan, beliau berkesimpulan dengan
kaidah :
والْحُكْمُ إِنّما يجِبُ أنْ يكُوْن
بِالْمُعْتادِ لا بِالنّادِرِ
"Hukum itu wajib ditetapkan
dengan apa yang biasa terjadi bukan dengan apa yang jarang terjadi"
Dalam kitab al-Kharaj, Abu Yusuf
memberikan fatwa kepada khalifah Harun al-Rasyid dengan kata-kata :
ليْس لِلإِمامِ أنْ يُخْرِج شيْئًا
مِنْ يدِ أحدٍ إِلاّ بِحقٍّ
"Tidak ada kewenangan bagi
kepala Negara (eksekutif) untuk mengambil sesuatu dari tangan seseorang,
kecuali dengan cara yang dibenarkan"
Contoh lain:
“Kebijakan seorang pemimpin terhadap
rakyatnya harus berorientasi kepada kemaslahatan.”
Kaidah ini berasal dari kata-kata Imam
al-Syafi'i yang berbunyi :
منْزِلةُ الْوالِيْ مِن الرّاعِيةِ
كمنْزِلةِ الْولِيِّ مِن الْيتِيْمِ
"Kedudukan seorang pemimpin
terhadap rakyatnya seperti kedudukan wali kepada anak yatim"
Kata-kata Imam al-Syafi'i ini
setelah ditelaah ulama-ulama lain, terutama ulama di bidang fiqih siyasah,
akhirnya memunculkan kaidah tersebut di atas.
Hanya saja sesudah jadi kaidah fiqih
yang mapan dan dilegitimasi Al-Quran dan Sunnah, kaidah tadi menjadi sumber dan
di bawah kaidah itu dimunculkan kembali Fiqih bahkan dikelompokkan lagi, inilah
yang kita lihat di dalam kitab-kitab kaidah Fiqih, setelah kaidah-kaidah Fiqih
itu dibukukan.
Di dalam proses pengujian
kaidah-kaidah Fiqih oleh Al-Quran dan Sunnah sering bertemu kaidah dengan
hadits, maka hadits tersebut jadi kaidah, seperti:
الْبيِّنةُ على الْمُدّعِيْ
والْيمِيْنُ على الْمُدّعى عليْهِ
"Bukti/keterangan wajib
disampaikan oleh penggugat dan sumpah wajib diberikan oleh yang
mengingkari/tergugat" (HR. Muslim dari Ibnu
'Abbas),
Atau juga hadits:
لا ضرر ولا ضِرار
"Jangan memudaratkan dan jangan
dimudaratkan" (HR. Al-Hakim).
Hadits ini digunakan untuk
melegitimasi kaidah:
الضّررُ يُزالُ
"Kemudaratan harus dihilangkan" (salah satu kaidah Fiqih pokok yang lima)
Apabila mau memunculkan kaidah-kaidah
baru di dalam Fiqih maka harus ditelusuri dahulu Fiqihnya, baru diukur akurasi
kaidah tadi dengan banyak ayat dan banyak hadits, selanjutnya didiskusikan dan
diuji oleh para ulama, baru bisa dijadikan sebagai kaidah yang mapan.
Kaidah yang sudah mapan ini akan
menjadi alat (metode) dalam menjawab problem-problem di masyarakat dan
memunculkan hukum-hukum Fiqih baru.
Misalnya kaidah:
اْلأُمُوْرُ بِمقاصِدِها
“Semua perkara itu tergantung kepada
maksudnya”
Kaidah ini berasal dari banyak
materi Fiqih, karena di dalam Fiqih, nilai suatu perbuatan tergantung kepada
niatnya.
Di dalam ibadah, apakah niat ibadah
itu wajib atau sunnah, dilaksanakan tepat waktu atau dengan cara qadha.
Dalam muamalah, apakah menyerahkan
barang itu dengan niat memberi (hibah) atau meminjamkan.
Dalam jinayah apakah perbuatan
criminal itu dilakukan karena kesengajaan (dengan niat) atau kesalahan (tanpa
niat) dan seterusnya, semua itu hukumnya dilandaskan kepada niat, maksud dan
tujuannya.
Hukumnya berbeda sesuai dengan niat
dan tujuan masing-masing. Maka muncul kaidah tersebut di atas. Kaidah tersebut
dirujukkan kepada hadits:
إِنّما اْلأعْمالُ بِالنِّيّاتِ
"Setiap perbuatan tergantung
niatnya" (HR. Bukhari Muslim dari Umar
bin Khattab)
Juga kepada Hadits:
رُفِع عنْ أُمّتِيْ الْخطأُ
والنِّسْيانُ وما اسْتُكْرِه عليْهِ
"Diangkat dari umatku (tidak
dituliskan berdosa) perbuatan karena keliru, lupa, dan terpaksa" (HR. Ibnu Majah dari Ibnu 'Abbas)
Tidak hanya dengan dalil itu saja
tapi juga disandarkan kepada ayat-ayat Al-Quran yang berubungan dengan niat,
seperti ayat berikut :
"Dan tidaklah ada dosa atasmu
terhadap apa yang kami khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang
disengaja oleh hatimu" (QS.
Al-Ahzab : 5)
Demikian pula dalam surat an-Nisaa'
ayat 92 dan 93 yang menyatakan adanya pembunuhan karena kesalahan (tanpa niat)
dan pembunuhan karena sengaja (dengan niat).
Selain itu juga dirujukkan kepada
tujuannya, baik atau buruk, apakah tujuannya penipuan yang dilarang atau
bertujuan baik untuk memberi manfaat kepada manusia.
Dari sini bisa diambil kesimpulan
bahwa;
Pertama, apabila dirujukkan kepada hadits, dan ternyata
hadits-hadits tadi sama dengan kaidah, maka hadits tadi bisa menjadi kaidah di
kalangan Ulama Fiqih.
Kedua, kaidah yang dirujukkan kepada pemahaman nash-nash (Al-Quran
dan Al-Hadits), maka substansi pemahaman itulah yang jadi kaidah.
Seperti telah disinggung di muka,
setelah menjadi kaidah yang mapan, para ulama mengelompokkan kembali
materi-materi Fiqih yang masuk dalam kaidah tersebut dan apa-apa yang keluar
(pengecualian) sebagai contoh-contoh penerapan kaidah.
Misalnya, dalam kitab al-Asybah wa
al Nazhair, Imam al-Suyuthi menjelaskan kaidah:
اْلأُمُوْرُ بِمقاصِدِها
"Setiap perkara tergantung
kepada niatnya"
Al-Suyuthi, membahas masalah niat
dalam beberapa sub poko bahasan:
1. Kaidah-kaidah niat dilegimitasi
oleh hadits niat;
2. Adanya masalah-masalah Fiqih yang
lebih sempit di kelompokkan dan disandarkan kepada kaidah tersebut, seperti
masalah-masalah ibadah mahdhah, munakahat, dan jinayat yang memiliki
kaidah-kaidah tersendiri;
3. Fungsi niat yang membedakan
antara ibadah dan adat kebisaaan dan masalah Fiqih yang tidak diperlukan niat;
4. Ta’yin niat/menentukan niat lebih
spesifik dalam hal perbuatan-perbuatan yang serupa;
5. Tempat niat adalah di dalam hati,
hubungan antara talafuzh (melafazkan niat) dengan apa yang ada di dalam hati,
maka yang dianggap sah adalah apa yang ada di dalam hati;
6. Syarat-syarat niat adalah tahu
ilmunya, tidak mendapatkan yang bertentangan dengan niat;
7. Perbedaan pendapat di dalam
penerapan niat.
Dalam hal ini, dengan mengambil
pendapat al-Rafi'i, al-Suyuthi memunculkan dhabith, yaitu:
النِّيّةُ فِي الْيمِيْنِ تُخصِّصُ
اللّفْظ اْلعامّ ولا تُعمِّمُ الْخاصّ
"Niat di dalam sumpah
mengkhususkan (yang diucapkan) dengan kata-kata yang umum dan tidak bisa
mengumumkan kata-kata yang khusus"
Bersumpah dengan tidak menyebutkan
nama orang atau sesuatu secara khusus maka harus dijelaskan apa yang diniatkan
itu siapa. Tetapi tidak sebaliknya, apa yang di niatkan kepada seseorang, maka
tidak bisa digeneralisir;
8. Pembahasan tentang kasus-kasus
tertentu secara khusus yang tersebut dalam kitab-kitab Fiqih mazhab Syafi'i.
Dalam kitab al-Qawa'id fi al-Fiqih,
karangan Ibnu Rajab al-Hanbali, ada kaidah yang berbunyi:
منْ تعجّل حقّهُ أوْ ما أُبِيْح لهُ
قبْل وقْتِهِ على وجْهٍ مُحرّمٍ عُوْقِب بِحِرْمانِهِ
"Barangsiapa yang mempercepat
haknya atau yang membolehkannya sebelum waktunya dengan cara yang haram, maka
ia dihukum dengan keharaman (dilarang) menerima hak tersebut"
Contoh kaidah ini adalah seperti
ahli waris yang membunuh pewaris, maka ia dilarang mendapatkan warisan
tersebut.
Atau ada orang yang menikahi wanita
sebelum habis masa iddah-nya, maka ia diharamkan untuk menikahi wanita
tersebut.
Atau ada orang yang memburu binatang
dalam keadaan ihram, maka ia diharamkan memburu binatang tersebut.
Kaidah ini setelah dikritisi
kemudian menjadi kaidah yang dianggap lebih mapan dengan ungkapan:
منْ تعجّل بِشيءٍ قبْل أوانِهِ
عُوْقِب بِحِرْمانِهِ
"Barangsiapa yang mempercepat
sesuatu sebelum waktunya, diberi sanksi dengan haramnya hal tersebut"
C.
Manfaat, Objek dan Keutamaan
1.
Manfaat
Adapun manfaat dari mempelajari
Kaidah Fiqih adalah memberi kemudahan di dalam menemukan hukum-hukum untuk
kasus-kasus hukum yang baru dan tidak jelas nash-nya dan memungkinkan
menghubungkannya dengan materi-materi Fiqih yang lain yang tersebar di berbagai
kitab Fiqih serta lebih memudahkan kita dalam menentukan hukum.
2.
Objek
Adapun objek bahasan kaidah-kaidah
Fiqih itu adalah perbuatan mukallaf itu sendiri, dan materi Fiqih itu sendiri
yang dikeluarkan dari kaidah-kaidah Fiqih yang sudah mapan yang tidak ditemukan
nash-nya secara khusus di dalam Al-Quran atau Sunnah atau Ijma (konsensus para
ulama).
3.
Keutamaan
Orang yang ingin memahami ilmu
fiqih, akan mencapai kemahirannya dalam bidang fiqih apabila dibekali dengan
ilmu kaidah-kaidah Fiqih.
Oleh karena itu ulama berkata :
"Barangsiapa menguasai ushul
fiqih, tentu dia akan sampai kepada maksudnya, dan barangsiapa yang menguasai
kaidah-kaidah Fiqih pasti dialah yang pantas mencapai maksudnya"
Hubungannya
dengan Ilmu lain
Kaidah Fiqih adalah bagian dari ilmu
fiqih. Ia memiliki hubungan erat dengan Al-Quran, Al-Hadits, Akidah dan Akhlak.
Sebab, kaidah-kaidah yang sudah
mapan, sudah dikritisi oleh ulama, sudah diuji serta diukur dengan banyak ayat
dan hadits nabi, terutama tentang kesesuiannya dan substansinya.
Apabila kaidah Fiqih tadi
bertentangan dengan banyak ayat Al-Quran ataupun Hadits yang bersifat dalil
kulli (general), maka dia tidak akan menjadi kaidah yang mapan.
Oleh karena itu, menggunakan
kaidah-kaidah Fiqih yang sudah mapan pada hakikatnya merujuk kepada Al-Quran
dan Hadits, setidaknya, kepada semangat dan kearifan Al-Quran dan Hadits juga.
Perkembangan
Kaidah
Para pencetus dan pengembang
kaidah-kaidah Fiqih adalah ulama-ulama yang sangat dalam ilmu dan wawasannya
dalam ilmu fiqih sampai muncul Imam Abu Thahir al-Dibasi yang hidup pada akhir
abad ke-3 dan awal abad ke-4 Hijriyah, yang baru mengumpulkan 17 kaidah Fiqih.
Di kalangan tiap mazhab, ada banyak
ulama yang menjadi pelopor dan tokoh dalam bidang kaidah Fiqih.
Dalam mazhab Asy-Syafi'iyah, ada
ulama besar yang bernama Imam 'Izzuddin bin Abd al-Salam (w.660 H), beliau
telah menyusun kitab berjudul Qawa'id al-Ahkam fi Masailil al-'Anam
(kaidah-kaidah hukum untuk kemaslahatan manusia).
Intinya menjelaskan tentang maksud
Allah mensyariatkan hukum, dan semua kaidah dikembalikan kepada kaidah pokok
yaitu:
جلْبُ الْمصالِحِ ودرْءُ الْمفاسِدِ
"Meraih yang maslahat dan
menolak yang mafsadah"
Keseluruhan taklif yang tercermin di
dalam konsep al-ahkam al-khamsah, (wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram)
tujuan adalah kembali kepada kemaslahatan hamba Allah di dunia dan akhirat.
Bagaimanapun ketaatan hamba, tidak
akan menambah apa-apa kepada kemahakuasaan dan kemahasempurnaan Allah. Demikian
pula sebaliknya, kemaksiatan hamba tidak akan mengurangi apapun terhadap
kemahakuasaan dan kemahasempurnaan Allah.
Kaidah Kubra dan Turunannya
Para ulama yang menyusun berbagai
kaidah fiqhiyah mengumpulkan berbagai kaidah sesuai dengan tema utamanya, yang
disebut dengan kaidah kubra.
Masing-masing kaidah kubra ini
memiliki kaidah-kaidah turunan, yang menjelaskan lebih detail tiap pengembangan
dari masing-masing kaidah kubra.
1.
Kaidah Kubra Pertama
الأُمُورُ بِمَقَاصَدِهَا
Segala sesuatu tergantung tujuannya
a. Kaidah Turunan Pertama
العِبْرَةُ فيِ العُقُودِ
بِالمـَقَاصِدِ وَالمـَعاَنيِ لاَبِالأَلْفَاظِ وَالمـَبَانِي
“Yang dapat dijadikan pegangan dalam
akad adalah maksud dan makna; bukan lafadz dan bentuk perkataan”
Contoh
Jika ada seseorang yang mengatakan
kepada temannya, “Aku hadiahkan mobil ini kepadamu dengan catatan
berikan mobilmu itu kepadaku”, maka akad yang terjadi disini bukanlah hadiah,
walaupun dia mengatakan itu hadiah.
Karena makna dan maksud akad
tersebut sudah jelas, yaitu jual beli (barter). Dan dalam akad, yang dijadikan
pijakan adalah maksud dan makna bukan lafadz dan bentuk perkataan.
Sedangkan yang dimaksud dengan
hadiah adalah pemberian yang tidak membutuhkan imbalan dalam bentuk apa pun.
b. Kaidah Turunan Kedua
النية في اليمين تخصص اللفظ العام و
لا تعمم الخاص
“Dalam sumpah, niat mampu
menspesifikasi kata yang masih umum namun tidak bisa merubah kata yang bermakna
khusus menjadi umum”
Contoh
Kaidah ini membutuhkan dua contoh.
Karena kaidah ini memiliki dua bagian yang berbeda. Pertama Takhsis al-‘Aam bi
An-Nyiyah dan kedua Ta’mim al-Khas bi an-Niyyah.
Untuk bagian pertama, bisa
diterapkan dalam kasus seperti ketika ada seseorang yang bersumpah untuk tidak
berbicara dengan siapapun, namun dalam hatinya dia meniatkan hanya tidak
berbicara kepada Zaid saja, maka dia tidak dianggap melanggar sumpah jika berbicara
dengan selain zaid. Sebab, meski lafadz sumpahnya adalah umum yaitu; tidak
berbicara dengan siapapun, tapi niat dalam hatinya khusus yaitu tidak mengajak
bicara pada si Zaid saja. Dan dalam sumpah, niat mampu menspesifikasi kata yang
masih umum.
Sedangkan untuk bagian kedua yaitu
Ta’mim al-Khas bi an-Niyyah bisa diterapkan dalam kasus berikut; Jika ada
seseorang yang bersumpah untuk tidak meminum air si Fulan jika merasa haus,
namun dalam hatinya dia berniat untuk tidak mengambil manfaat apapun dari air
tersebut sama sekali, maka berdasarkan kaidah ini, ia tidak dianggap melanggar
sumpahnya dengan memanfaatkan air si Fulan itu untuk mandi.
Karena lafadznya khusus dalam satu
manfaat yaitu; minum karena haus. Sedangkan niat dalam hatinya yang umum yaitu;
tidak mengambil manfaat apapun, tidak bisa membuat lafadz khusus itu menjadi
umum.
Kaidah (bagian kedua) ini berlaku di
dalam madzhab syafi’iyyah dan sebagian hanafiah. Namun beberapa madzhab yang
lain menganggap si pengucap sumpah telah melanggar sumpahnya karena mandi
dengan air tersebut. Pasalnya niat yang umum dalam hati tersebut -menurut
madzhab ini- bisa membuat lafadz sumpah yang khusus itu menjadi umum.
c. Kaidah Turunan Ketiga
مقاصد اللفظ على نية اللافظ إلا في
اليمين عند القاضي
“Maksud atau kandungan makna suatu
perkataan akan diserahkan sepenuhnya kepada orang yang mengucapkan, kecuali
dalam masalah sumpah diahadapan qadhi (hakim)”
Contoh Penerapannya :
Pada dasarnya ucapan atau lafadz
sumpah diserahkan maksud dan maknanya langsung kepada orang yang mengucapkan.
Sehingga, sebagaimana kata-kata yang lain, sumpah juga berpeluang untuk
diinterpretasikan beragam sesuai kehendak orang yang mengucapkan.
Namun, ketika sumpah dijadikan oleh
fiqih sebagai salah satu jalan keluar penyelesaian suatu sengketa, maka
penafsiran lafadz sumpah -yang diucapkan oleh salah satu pihak yang bersengketa
di Meja Hijau- diserahkan kepada hakim. Karena pengadilan adalah institusi yang
rawan akan intrik, manipulasi fakta dengan kata-kata ataupun tipu muslihat.
Maka, ketika seorang hakim meminta
kepada terdakwa untuk bersumpah, penafsiran lafadz sumpahnya diserahkan
sepenuhnya kepada sang Hakim.
Sebagai contoh, si Terdakwa kasus
piutang telah bersumpah bahwa ia tidak pernah berhutang kepada pendakwa sama
sekali. Dalam hatinya, ia niatkan bahwa maksudnya adalah tidak berhutang pada
tahun yang lalu.
Maka niat itu tidak berfungsi sama
sekali disini. Ia tetap dianggap telah melanggar sumpahnya itu. Sebab, meski
maksud atau kandungan makna suatu perkataan pada dasarnya diserahkan sepenuhnya
kepada orang yang mengucapkan, hanya saja hal tersebut tidak berlaku jika
kata-kata itu berupa sumpah yang diucapkan di hadapan hakim atau Meja Hijau.
2.
Kaidah Kubra Kedua
اليقين لا يزال بالشك
“Keyakinan tidak dapat dihilangkan
oleh kebimbangan”
a. Kaidah Turunan Pertama
الأصل بقاء ما كان على ما كان
“Hukum Asal adalah ketetapan yang
telah ada/dimiliki sebelumnya”
Contoh Penerapannya:
Jika seseorang telah berwudhu untuk
shalat fardhu, dan setelah shalat ia masih merasa yakin dalam kedaan suci,
namun ketika hendak shalat fardhu berikutnya ia ragu apakah sudah batal atau
belum, maka ia dihukumi tetap dalam keadaan suci. Karena itulah ketetapan
awalnya yang telah ada sebelumnya. Dan hukum asal adalah ketetapan awal itu.
b. Kaidah Turunan Kedua
الأصل في الأشياء الإباحة
“Hukum Asal segala sesuatu adalah
boleh”
Contoh penerapannya :
Jika ada hewan yang tidak jelas dan
buram perkaranya, maka hewan tersebut dianggap halal dimakan. Contoh hewan
seperti ini –seperti yang dicontohkan Imam Suyuti- adalah Jerapah. Menurut Imam
As-Subki, pendapat yang dipilih adalah bahwa Jerapah boleh dimakan, karena
hukum asal segala sesuatu adalah boleh.
Jadi dalam tataran praktis, kaidah
ini dapat diterapkan jika kita menemukan hewan, tumbuhan, atau apa saja, yang
belum diketahui status hukumnya dalam syariat. Semua jenis barang tersebut
dihukumi boleh sesuai substansi yang dikandung kaidah ini. Namun, perlu
diperhatikan disini, bahwa sebenarnya masih ada perbedaan pendapat dikalangan
para fuqaha seputar hukum asal segala sesuatu.
c. Kaidah Turunan Ketiga
الأصل في الأبضاع التحريم
“Hukum Asal Abdha’(farji) adalah
haram”
Contoh penerapannya:
Jika ada seseorang yang mempunyai
empat istri kemudian dia mantalak salah satunya, tapi di kemudian hari dia lupa
siapa istri yang telah ia talak? Maka haram baginya untuk berhubungan intim
dengan mereka semua karena adanya keraguan akut tentang siapa yang telah
menjadi haram baginya. Karena walaupun yang haram Cuma satu, namun hukum asal
Abdha’(farji) adalah haram. Keharaman ini berlangsung sampai jelas siapa yang
telah ditalaknya.
Para ulama berbeda pendapat dalam
menyelesaikan kasus seperti diatas. Ada yang berpendapat dengan cara diundi dan
ada yang berpendapat harus ditunggu sampai benar-benar jelas.
d. Kaidah Turunan Keempat
الأصل في الكلام الحقيقة
“Hukum Asal dalam perkataan adalah
makna hakiki”
Contoh penerapannya:
Jika ada seseorang bersumpah tidak
akan menjual rumahnya, maka ia tidak dianggap melanggar sumpah jika mewakilkan
ke orang lain untuk menjualnya. Karena makna hakiki menjual adalah dirinya
sendiri yang menjual langsung bukan orang lain yang menjual atas nama dirinya.
Dan hukum asal dalam perkataan adalah makna hakikinya.
e. Kaidah Turunan Kelima
الأصل براءة الذمة
“Hukum Asal adalah bebas dari
tanggungan”
Contoh penerapannya :
Jika ada seseorang merusak barang
milik orang lain yang harga belinya -sejauh pengetahuan si perusak- sekitar
sekian rupiah. Namun ternyata si pemilik mengatakan bahwa harga belinya diatas
harga yang diketahui si perusak. Dan si pemilik tidak bisa menunjukkan bukti
atas harga yang diklaimnya itu. Maka klaim yang diterima adalah klaim si
perusak dengan disertai sumpah. Karena hukum asalnya adalah terbebasnya si
perusak dari beban atau tanggungan tambahan harga yang diklaim si pemilik.
3.
Kaidah Kubra Ketiga
المشقة تجلب التيسير
“Kesulitan itu akan mendorong
kemudahan”
a. Kaidah Turunan Pertama
إذا ضاق الأمر اتسع و إذا اتسع الأمر
ضاق
“Ketika sesuatu menyempit, maka
hukumnya menjadi luas (ringan), dan Ketika keadaan lapang, maka hukumnya
menjadi sempit (ketat)”
Contoh penerapannya :
Jika ada seseorang memiliki
tanggungan hutang yang sudah jatuh tempo pembayarannya, namun dia benar-benar
belum memiliki uang untuk membayar, maka pembayarannya wajib untuk ditunda.
Atau jika ia tidak bisa melunasinya secara kontan maka pembayarannya boleh
dengan cara diangsur.
Karena sebuah perkara jika
menyempit, hukumnya jadi luas (longgar). Namun jika ia tiba-tiba mendapatkan rizki
yang dengannya ia mampu melunasi seluruh hutangnya, maka wajib baginya untuk
segera melunasinya. Sebab, sebuah perkara jika sudah lapang, maka hukumnya
kembali menyempit (ketat).
b. Kaidah Turunan Kedua
الضرورات تبيح المحظورات
“Kondisi dharurat akan
memperbolehkan sesuatu yang semula dilarang”
Contoh penerapannya :
Jika ada seseorang hampir-hampir
mati karena kelaparan, dan tidak ada yang bisa dimakan kecuali bangkai yang
diharamkan, maka baginya diperbolehkan untuk memakan bangkai tersebut untuk menghilangkan
rasa lapar yang sangat. Karena kondisinya saat itu adalah dharurat sehingga ia
diperbolehkan untuk mengonsumsi atau melakukan seseuatu yang semula dilarang.
c. Kaidah Turunan Ketiga
الضرورة تقدر بقدرها
“Dharurat harus diukur kadar
dharuratnya”
Contoh penerapannya :
Contoh kaidah ini hampir mirip
dengan contoh kasus pada kaidah sebelumnya. Bahwa seseorang boleh makan bangkai
yang awalnya diharamkan itu ketika dalam kondisi dharurat itu.
Hanya saja, ia perlu mencukupkan
diri dalam memakannya pada porsi yang kira-kira sudah cukup untuk menyambung
atau menyelamatkan hidupnya. Karena diperbolehkannya mengonsumsi makanan haram
tersebut, hanya dalam kondisi dharurat. Dan dharurat harus diukur kadar
dharuratnya.
Contoh lainnya yang mungkin bisa ditulis
disini adalah ketika ada pasien yang harus membuka auratnya demi terlaksananya
terapi atau pengobatan, maka si pasien hanya diperbolehkan untuk membuka aurat
yang memang dibutuhkan untuk dibuka dalam pengobatan tersebut.
Dan dokter juga hanya diperbolehkan
untuk melihat aurat yang memang dibutuhkan untuk dilihat. Lebih dari itu, maka
tetap diharamkan. Karena pembolehan membuka aurat bagi pasien dan atau melihat
aurat bagi dokter hanyalah dalam kondisi dharurat saja. Dan dharurat harus
diukur kadar dharuratnya.
ANEH TAPI NYATA
Sincan?
Singa Macan
Crayon Sincan? Nohara Shinnosuke?
Anda mungkin mengira nama tersebut adalah nama salah satu tokoh kartun Jepang
yang cukup terkenal. Namun sincan di sini adalah singkatan dari singa-macan
atau disebut juga lion-tiger (ligers). Selama beberapa dekade silam, para
ilmuwan biologi kerap melakukan sejumlah perkawinan silang antarbinatang
seperti sincan. Pada 2004, hewan tersebut ikut tampil menemani aktor Jon Heder
dalam film berjudul Napoleon Dynamite. Selain sincan, terdapat beberapa hewan
persilangan lain seperti persilangan paus pembunuh-lumba-lumba dan beruang
grizzly-beruang kutub.(ANS)
No comments:
Post a Comment