Saturday, March 7, 2015

BAGIAN KE-12 DARI NOVEL EMPAT PROFESOR SATU CINTA



BAGIAN  KE-12 DARI  NOVEL


EMPAT PROFESOR SATU CINTA

Karya M.Rakib  Pekanbaru Riau Indonesia 2015





DALIL HUKUM YANG SAMAR-SAMAR




Profesor Amar Makruf         :   Semua dalil hukum itu samar-samar, maka disertasi anda harus diubah, dan ditambah satu bab lagi khusus untuk penjelasan istilah-istilah. Anda harus menembah waktu penulisan ini, paling tidak satu tahun lagi.

    Sang penyair                      :   Aduh Mak, kok tambah satu tahun lagi, habislah umur saya hanya disertasi saja Pak, Bapak kan bukan pembimbing saya, Bapak hanaya penguji saja, ujilah apa danya, nati setelah selesai ujian, kan ada perbaikan lagi, saya sudah tersdesak waktu Pak. S3 saya sudah 13 tahun.

        Profesor Amar Makruf              :       Dalil hukum itu samar-samar, jangan terlalu banyak anda pakai di sini. Apa sebenarnya yang anda tahu tentang dalil yang samar-samar, yang disebut denmgan istilah zhonni itu?

Sang penyair                   :      Istilah zhonni (Samar-smar) itu sudah pernah menjatuhkan teman saya Pak, di dalam ujian, saya harap Bapak memperbesar maslah ini, karena sulit memuntaskannya.

Selanjutnya sang penyair  menyatakana bahwa Sheikh Yusuf Al-Qaradhawi pernah berkata: sebagian besar daripada hadith-hadith Nabi s.a.w. itu bersifat zhoniyatu As-Thubut (samar dari sudut kesahihannya) dan zhonniyatu Ad-Dilalah, sedangkan sebagian besar daripada nas-nas Al-Qur'an terdiri daripada zhonniyatu Ad-Dilalah (samar maknanya). (min ajli sohwah rasyidah oleh Sheikh Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, m/s 52)

Hasilnya, kebanyakkan daripada nas-nas Al-Qur'an dan As-Sunnah mengandung zhonniyah (samar) yang menjadi medan para untuk para ulama' berijtihad dalam mengeluarkan suatu hukum.

Sheikh Dr. Muhammad Abu Al-Fath Al-Bayyanuni berkata: "Perselisihan berlaku pada perkara-perkara furu' bukan pada perkara-perkara usul.

Yang dimaksudkan dengan perkara-perkara furu' (cabang) adalah, perkara-perkara yang biasanya terbit daripada dalil-dalil yang zhonni (samar), apakah dari sudut maknanya (Ad-Dilalah) atau dari sudut kesahihannya (As-Thubut), apakah perkara-perkara tersebut berkaitan dengan masalah aqidah ataupun masalah fiqh. 

Yang dimaksudkan dengan perkara-perkara usul di sini adalah perkara-perkara yang besar (pokok) yang lahir daripada dalil-dalil yang qathi (jelas) apakah dari sudut maknanya atau dari sudut kesahihannya (As-Thubut), apakah perkara-perkara usul tersebut berkaitan dengan masalah aqidah atau masalah fiqh.

Contoh masalah-masalah usul yang qothi dalam aqidah adalah: pembahasan tentang iman kepada Allah s.w.t. dan sifat-sifatNya, keimanan kepada malaikat, para rasul, hari akhirat dan sebagainya.

Antara contoh-contoh masalah furu' dalam aqidah adalah: pembahasan tentang sifat Kursi, tentang yang mana dulu antara timbangan amal atau telaga haud dan sebagainya.

di Antara contoh-contoh masalah usul dalam fiqh qothi : kewajiban solat lima waktu, penjelasan tentang bilangan solat-solat wajib, kewajiban zakat, kewajiban berpuasa, kewajiban haji dan sebagainya.

di Antara contoh-contoh masalah furu' dalam fiqh: bacaan ma'mum di belakang imam, pembahasan tentang angkat tangan dalam solat, kaifiyat solat witir dan hukumnya, dan sebagainya, yang sangat banyak." (dirasaat fi Al-Ikhtilafat Al-Ilmiyyahkarangan Dr. Muhammad Abu Al-Fath Al-Bayynuni, m/s 32-33)

Imam Ibn Hazm berkata: "Kebanyakkan perselisihan ahlus sunnah wal-jamaah adalah dalam fatwa (perkara-perkara fiqh), dan sedikit dalam perkara aqidah" (Al-Fisol fi Al-Milal wa An-Nihal 2/111)

Hal ini menunjukkan bahwa, para ulama' berselisih dalam perkara-perkara furu', kebanyakkannnya dalam masalah fiqh dan sedikit dalam masalah aqidah.

Adapun dalam masalah fiqh ini, seseorang ulama' yang berinteraksi dengan nas-nas zhonniyah (samar) untuk mengeluarkan hukum daripadanya, dikenal sebagai proses berijtihad.

Mafhum Ijtihad:

Para ulama' Usuliyyin (usul fiqh) berkata:

"Ijtihad ialah, sesuatu kesungguhan dalam mengeluarkan hukum-hukum syar'iyyah daripada dalil-dalil syarak" (tashil al-wusul karangan Imam Al-Mahlawi m/s 320)

Sheikh Dr. Yusuf Al-Qaradhawi berkata: "Ijtihad ialah, menggunakan seluruh usaha dan keupayaan, dan bersikap lapang selapang-lapangnya (tidak jumud), dalam menggali hukum-hukum syarak daripada dalil-dalilnya (syarak), dengan jalan penelitian akal dan menggunakan pemikiran." (min ajli sohwah rasyidah m/s 51)

Syarat berijtihad sangat banyak dan teliti, yang mana, siapa yang tidak memiliki syarat-syarat tersebut, maka dia bukanlah ahli dalam berijtihad. Syarat-syarat tersebut disebutkan dalam buku-buku usul fiqh.

Maka, ijtihad adalah berkaitan dengan pendapat-pendapat ulama'-ulama' yang ahli dalam berijtihad, berkenaan dengan hukum-hukum yang dikeluarkan daripada dalil-dalil syarak, yang mana, kebanyakkannya bersifat zhonni.

Dr. Al-Qaradhawi berkata lagi:

Dua situasi yang memerlukan kepada ijtihad:

Pertama: Apabila tidak ada nas tentang sesuatu perkara, sebagai rahmat dari Allah s.w.t., agar diberi ruang ijtihad. Para ulama' selalu menggunakan kaedah qiyas, maslahah mursalah dan sebagainya.

Kedua: Apabila nas-nas tersebut bersifat zhonni (samar) apakah dari sudut makna (Ad-Dilalah) atau kesahihan (As-Thubut)." (ibid m/s 51-53)

Faktor utama yang menyebabkan berlakunya perselisihan dalam memahami nas-nas zhonni adalah: perbezaan kadar dan kemampuan dan ilmu antara para ulama' itu sendiri.

Berbedanya akal mereka menyebabkan berbedanya ijtihad mereka dalam memahami nas-nas yang samar tersebut.

Nas-as qat'ie (jelas) + femahaman yang sama = kesepakatan pendapat

Nas-nas zhonni + perbedaan kadar akal dan ilmu para ulama' = perbedaan ijtihad

Maka, hasilnya, perselisihan dan perbedaan pendapat berlaku krna dua faktor utama iaitu, adanya pelbagai tafsiran dan makna nas-nas zhonni dan perbedaan kadar akal para ulama'.

Contoh Zhonni dan Qat'ie dari Sudut Ad-Dilalah

Contoh ayat qat'ie dari sudut petunjuknya (Ad-Dilalah): Kepada orang-orang yang meng-ilaa' isterinya (bersumpah tidak mencampuri isteri), diberi tangguh empat bulan. Kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Surah Al-Baqarah 226).

Dalam ayat ini, jelas yang dimaksudkan oleh Allah s.w.t. di sini adalah empat bulan, krna makna asyhur (bulan) itu tidak mengandung melainkan satu makna saja iaitu bulan, tidak mempunyai makna lain dari sudut bahasa Arab.

Contoh ayat ­zhonni dari sudut petunjuknya (Ad-Dilalah): Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru' (Surah Al-Baqarah: 228)

Abu 'Amru bin Al-'Ala berkata: Ada dari kalangan orang-orang Arab yang menamakan haidh sebagai qur'u dan ada juga yang yang menamakan suci sebagai qur'u. (Tafsir Al-Qurtubi: 3/113)

Quru' dalam bahasa Arab sendiri memiliki lebih dari satu makna, dalam bahasa Arab, iaitu, haidh ataupun suci.

Daripada perkataan yang mengandung lebih dari satu makna inilah, akhirnya para ulama' salaf berselisih pendapat tentang makna quru' dalam ayat di atas.

Imam Al-Qurtubi berkata:

"Ahli Kufah berkata, makna qur'u dalam ayat tersebut adalah haidh. Pendapat ini adalah pendapat Saidina Umar r.a., Saidina Ali r.a., Saidina Ibn Mas'ud r.a., Saidina Abu Musa r.a., Imam Mujahid, Imam Qatadah, Imam Al-Dhihak, Imam Ikrimah dan sebagainya.

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook