Falsafah Hukum Islam
Tentang Perlindungan Anak
M.Rakib Pekanbaru Riau Indonesia 2015
Bimbingan Amir Lutfy
1. Konsep Tentang Anak
Anak adalah amanah Allah yang harus dipelihara dengan baik. Setiap orang tua
pasti menginginkan yang terbaik bagi anaknya, namun seringkali dihadapkan pada
kenyataan bahwa anak tumbuh besar tidak
sesuai harapan orang tua, bahkan seringkali menimbulkan masalah. Jika tidak dididik dengan
baik, dikhawatirkan bisa menjadi fitnah, bahkan
musuh dunia dan akhirat. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ
أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَّكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ
Wahai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya dari istri-istri kalian dan anak-anak
kalian adalah musuh bagi kalian, maka berhati-hatilah kalian dari mereka.”[1]
Lafadz min (Dari) dalam ayat
ini untuk menunjukkan sebagian? Sehingga musuh itu hanya sebagian dari mereka
saja, atau min dalam ayat ini untuk ziyadah (tambahan) saja, sehingga maknanya
adalah, seluruh istri dan seluruh anak adalah musuh? Al-Ghazali menjawab: min dalam ayat ini menunjukkan sebagian, sehingga maknanya
adalah, sebagian istri dan anak ada yang menjadi musuh. Allah berfirman tentang Ibadurrrahman:
رَبَّنَا
هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ
Ya Tuhan kami, karuniakan kepada kami
istri-istri kami dan anak-anak kami sebagai penyenang hati (kami).”[2] Al-Qur’an mengabarkan bahwa di antara sebagian istri dan anak ada yang menjadi musuh bagi suami dan anaknya. Anak jangan menjadi menjadi penyebab lalai untuk melakukan amal dan saleh. Sebagaimana firman Allah:
ياأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ تُلْهِكُمْ
أَمْوَالُكُمْ وَلاَ أَوْلاَدُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ
فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu lalai disebabkan harta-hartamu
dan anak-anakmu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang membuat demikian maka
mereka itulah orang-orang yang rugi.” [3]
Tidak semua anak dan istri menjadi musuh, sebagian dari mereka justru
menjadi perhiasan dunia, penyenang hati, penggugah jiwa dan penggelora semangat
dalam menjalani kehidupan. Imam Ath-Thabari meriwayatkan dengan sanadnya dari beberapa para ulama salaf
mengenai tafsir dari istri-istri dan anak-anak yang menjadi penyenang hati
seperti doa dalam surat Al Furqan.
Ibnu Abbas mengatakan, “ anak yang mentaatimu, mereka menjadi penyenang
hati. Seiring
dengan kesenangan dan kebahagiaan yang Allah halalkan dalam kehidupan bersama
anak-anak dan istri yang kita cintai, seperti bersenda gurau dengan mereka dan
mencari nafkah untuk menghidupi mereka, ada tanggungjawab yang harus dipikul oleh orangtua sebagai
pemimpin keluarga. Tanggungjawab itu tidak
akan dapat di
tunaikan jika anak menjadi musuh bagi orangtuanya
sendiri, bukan sebagai penyenang hati.
2.
Usia Anak Dalam Fiqih
a. Hukum
Islam (Fiqih) mengatur jelas mengenai
batas umur seseorang untuk dapat
disebut dewasa dan mampu dari segi fisiknya saja. Lebih jelas
ukurannya/kriterianya dewasa menurut Islam adalah sudah akil baligh yaitu adanya tanda-tanda
tertentu seperti laki-laki sudah bermimpi basah dan wanita sudah haid.[4]
Dalam Kompilasi Hukum Islam ada aturan secara khusus masalah batas umur
untuk dapat dikatakan dewasa dan bisa melalkukan perkawinan bagi orang Islam yaitu pada Pasal 15 ayat (1) yang
menegaskan bahwa untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga. Perkawinan hanya boleh
dilakukan oleh calon mempelai yang telah ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yakni calon suami sekurang-kurangnya
berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun”.
Menurut
Imam Malik dan Abu Hanifah bahwa orang yang tidak pernah bermimpi (mengeluarkan
mani) itu tidak dinyatakan dewasa kecuali bila telah sampai pada usia 17 tahun.
Sedang dalam riwayat lain yang termasyhur dari Abu Hanifah adalah 19 tahun.
Dari penjelasan di atas terlihat bahwa keduanya lebih cenderung memilih usia
anak dari pada ihtilâm itu sendiri.[5]
b. Kewajiban Menafkahkan
Anak
Seorang ayah
wajib memberi nafkah sampai anak itu dewasa yakni berusia menimal 21 tahun, Walaupun dia sudah bercerai dengan ibu si anak. Dalam KHI
(Kompilasi Hukum Islam)
Pasal 156 Bab 17 tentang Akibat,
sekalipun putusnya perkawinan,
dinyatakan bahwa:
d.semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi
tanggung jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak
tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun) e. bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan
Agama memberikan putusannya berdasrkan huruf (a),(b), dan (d); f. pengadilan dapat pula dengan
mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan
pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.[6]
Para ulama sepakat (ijmak) atas
wajibnya menafkahi anak. Dalil yang dijadikan dasar hukum adalah Al Quran Surat
Al-Baqarah 2:33:
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ
رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ......
Kewajiban ayah menanggung nafkah dan
pakaian mereka dengan cara yang patut (ma'ruf).[7]
Kewajiban membiayai anak bagi seorang ayah ada batasnya. Kewajiban itu gugur apabila anak mencapai usia dewasa. Dewasa menurut Hukum Islam adalah sudah baligh (kira-kira 14 tahun). Sedang dewasa menurut ukuran negara dan KHI (kompilasi hukum Islam) adalah 21 tahun. Kalau anaknya yang sudah dewasa itu miskin dan secara fisik sehat, sebagian besar ulama berpendapat tidak wajib memberi nafkah karena anak dianggap mampu untuk bekerja sendiri. Namun, ada sebagian ulama yang berpendapat sebaliknya yakni kewajiban menafkahi tetap pada bapak. Namun apabila anak yang miskin tadi secara fisik lemah atau cacat, maka menurut Ibnu Taimiyah kewajiban membiayai ada pada bapak. Wajibnya memberi nafkah anak perempuan walaupun dewasa sebagian besar ulama fiqih mengatakan wajib memberi nafkah sampai anak wanita menikah. Argumennya adalah karena anak perempuan tidak atau belum mampu bekerja.[8]
4. Implementasi Perlindungan Anak Dalam
Kajian Fiqh
Implementasi
perlindungan anak dalam kajian fiqh,[9]
terealisasi dalam tiga bentuk, yang
ketiganya bertujuan untuk memelihara kemaslahatan anak sebagai salah satu tujuan syari’at,[10] yakni memelihara keturunan, yaitu:
a.
Hadhanah
Hadhanah,
yaitu merawat dan mendidik orang yang belum Mumayyis
, atau orang yang kehilangan kecerdasannya, karena mereka belum bisa
mengerjakan keperluan diri sendiri. Ulama fiqh sepakat bahwa hukum merawat dan
mendidik anak adalah wajib, karena apabila anak yang belum dewasa tidak dirawat
dan didik dengan baik, maka akan berakibat buruk pada diri mereka, bahkan bisa
menjurus kepada kehilangannyawa.Perlindungan
dan pemeliharaan anak dalam hadanah dibebankan
kepada keluarganya terutama kedua orang tuanya. Ulama fiqh berbeda pendapat
dalam menentukan siapa yang memiliki hak
hadanah. Ulama Hanafi dan Maliki mengatakan bahwa mengasuh, merawat dan
mendidik anak merupakan hak ibu atau yang mewakilinya, ia boleh menggugurkan
haknya itu sekalipun tanpa imbalan. Akan tetapi, menurut jumhur ulama hadanah menjadi
hak bersama, antara kedua orang tua dan
anak. Menurut Wahbah al-Zuhaili dalam Ensiklopedi Hukum Islam, hak hadanah itu
hak berserikat antara ibu, ayah dan anak. Apabila terjadi pertentangan antara
ketiganya, maka yang diprioritaskan adalah hak anak yang diasuh.[11]
b.
Anak
Pungut (Anak Asuh)
Bagi orang yang tidak menginginkan kehadiran anak, setelah
anak itu lahir, diletakkannya (dibuang) pada suatu tempat, dengan harapan
supaya dapat dipungut orang lain. Bagi orang yang menemukannya wajib
memungut (membawa) anak itu. Apakah anak
itu akan dirawatnya sendiri atau dirawat orang lain.[12]
c. Anak Angkat
Mahmud Syaltut, dalam Ensiklopedi hukum Islam mengemukakan
bahwa setidaknya ada dua pengertian“pengangkatan anak.” Pertama,mengambil anak
orang lain untuk diasuh dan didik dengan penuh perhatian dan kasih sayang,
tanpa diberikan status “anak kandung” kepadanya. Akan tetapi ia diperlakukan
oleh orang tua angkatnya sebagai anak sendiri. Kedua, mengambil anak orang lain
sebagai anak sendiri dan ia diberi status sebagai “anak kandung”, sehingga ia
berhak memakai nama keturunan (nasab) orang tua angkatnya dan saling mewarisi
harta peninggalan, serta hak-hak lain sebagai akibat hukum antara anak angkat
dan orang tua angkatnya itu.[13]
5.
Kekerasan Terhadap Anak Dalam Pandangan Islam
Kekerasan terhadap anak ialah memberikan
hukuman yang melampaui batas yang telah ditetapkan, karena istilah tindakan kekerasan hanya jika mengarah kepada hal
yang melampaui batas, atau
menghukum dengan balasan yang tidak setimpal, yang dikenal dengan kata Al-Baghy. Kata al-baghy,
terdapat pada Qur’an
Surat(QS) al-Nahl [16]: 90.[14]
…وَيَنْهَى
عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ …
… Dia melarang melakukan perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat
mengambil pelajaran.[15]
Dalam kaitannya dengan menghukum anak,
secara umum ayat ini, al-Qur'an melarang melakukan tindakan
yang melampaui batas, sebab menurut al-Ashfahani, al-baghy berarti melampaui batas
kewajaran.[16] Kemudian dalam arti
yang sama, kata tughyan,
terdapat dalam Qur’an Surat (QS). Hud [11]: 112.
“…Janganlah kamu
melampaui batas. Sesungguhnya Dia Mahamelihat apa yang
kamu kerjakan."
Kata
thughyan digunakan untuk segala
sesuatu yang melampaui batas.[18] Demikian pula orangtua atau guru
bertindak zalim dikategorikan dengan thaghut. Sikap ini sangat dikecam
oleh al-Qur'an seperti pada QS. al-Naba' [78]: 22 yang menjanjikan balasan
keras berupa neraka jahannam bagi orang-orang yang melampaui batas (thaghin).
Pakar
tafsir asal Tunisia, Ibnu 'Asyur, menjelaskan, ungkapan tathghaw pada QS. Hud [11]: 112 mencakup larangan untuk melakukan segala
bentuk kerusakan (ushul al-mafdsid). Dengan demikian, ayat tersebut menghimpun
upaya mencapai kemaslahatan melalui sikap konsisten pada prinsip-prinsip agama,
dan menghindari berbagai kerusakan yang tergambar dalam kata thughyan.[19]
Istilah
lain yang juga dapat diartikan kekerasan
ialah Al-Zhulm yang disebutkan dalam al-Qur'an sebanyak 315 kali.[20] Pengertiannya yang
populer seperti yang terdapat dalam Mu'jam
Alfdzh al-Qur'an al-Karim, melakukan
sesuatu tidak pada tempatnya, baik karena berlebih atau kurang. Karena itu menyeleweng dari kebenaran juga disebut zhulm,
dan dapat terjadi dalam hubungan manusia dengan Tuhan dalam bentuk
kekafiran atau syirik (QS. Luqman [31]: 17) dan kemunafikan, dalam hubungan
antara manusia dan manusia dalam bentuk penganiayaan atau lainnya (Q5. al-Syura
[42]: 42), dan dalam hubungan antara manusia dan dirinya (QS.Al- Fathir [35]:
32).[21]
Esensi dari pemberian hukuman bagi
pelaku suatu jarīmah menurut Islam adalah
pertama pencegahan serta pembalasan (ar-rad’u
wa az-zajru) dan kedua, adalah perbaikan dan pengajaran (al-işlāh wa al-tahżīb). Pelaksanaan
pidana penjara di Islam termasuk dalam kategori hukuman ta’zīr karena di dalam al-Qur’ān memang tidak mengatur tentang
pidana penjara. Hal ini mengacu pada pengertian tentang hukuman ta’zīr bahwa hukuman atas jarīmah yang hukumannya belum di
tentukan oleh syara’ disebut sebagai hukum ta’zīr.
Sehingga pedoman pelaksanaan umum untuk hukuman penjara sebagai ta’zīr, diserahkan kepada ijtihad hakim
dengan memperhatikan perbedaan kondisi jarīmah, pelaku, tempat, waktu, dan situasi
ketika jarīmah itu tejadi.
6.
Delinkuensi Dalam Pandangan Islam
Delinkuensi artinya kenakalan, diartikan sebagai perilaku anak yang
nakal bahkan cenderung kepada melanggar hukum. Banyak penyebab terjadinya
perilaku delinkuen ini. Berdasarkan beberapa sumber yang penulis paparkan
ternyata pemberian hukuman fisik pada anak di sekolah bukan faktor utama
perilaku delinkuen remaja. Delinkuensi[22] dalam pandangan fiqh anak-anak perlu mendapat
perhatian khusus, berupa pembinaan, pendidikan, dan perlindungan hukum.
Anak-anak termasuk golongan orang lemah dari segala aspek. Oleh karena itu,
perlindungan yang diberikan kepadanya melebihi perlindungan terhadap orang
dewasa.[23]
Hukuman yang diberikan terhadap orang yang
melakukan kejahatan pada anak-anak dapat diperberat, mengingat kondisi
anak-anak yang lemah, sehingga seharusnya lebih dilindungi. Apapun yang
dilakukan oleh anak-anak belum dikenai beban hukum. Sehingga kalaupun anak itu
diberikan sanksi, maka sanksinya harus bersifat pendidikan, tidak melampaui
batas kemampuan anak, dan harus mempertimbangkan efeknya terhadap perkembangan
jiwa anak. Konsep dan Implementasi perlindungan anak dalam fiqh dilakukan dalam
bentuk hadanah, anak angkat, dan anak asuh (pungut), serta berbagai proses dan
pemberian hukum kepada anak yang lebih bersifat pendidikan.[24]
7. Hukum Islam Tentang Sanksi
a.
Pengertian Sanksi
Sanksi dalam Islam Hukum Islam disebut al-‘Uqubaah yang berkaitan dengan hukuman jika ada hal yang merugikan maupun tindak kriminal. Nama lain dari al- ‘Uqubah adalah al-Jaza’ atau hudud.[25] Beberapa ulama berpendapat bahwa hukuman adalah bentuk balasan bagi seseorang yang atas perbuatannya melanggar ketentuan syara’ yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya untuk kemaslahatan manusia. Hukuman dalam bahasa Arab disebut ‘uqubah. Lafaz ‘uqubah menurut bahasa berasal dari kata عَقبَ yang sinonimnya خَلفهُ وَجَاءَبعَقبهِ artinya mengiringnya dan datang di belakangnya.[26]
b. Tujuan Sanksi Hukuman
1) Pencegahan
Pengertian pencegahan adalah menahan ( الرّدْعُ وَالزّجْرُ ) orang yang berbuat jarimah agar ia tidak mengulangi perbuatan jarimahnya. Di samping mencegah pelaku, pencegahan juga mengandung arti mencegah orang lain selain pelaku agar ia tidak ikut-ikutan melakukan jarimah, sebab ia bisa mengetahui bahwa hukuman yang dikenakan kepada pelaku juga akan dikenakan terhadap orang lain yang juga melakukan perbuatan yang sama.Menurut Ibn Hammam dalam fathul Qadir bahwa hukuman itu untuk mencegah sebelum terjadinya perbuatan (preventif) dan menjerakan setelah terjadinya perbuatan (represif).[27]
2) Perbaikan dan Pendidikan
Tujuan yang kedua dari penjatuhan hukuman adalah untuk mendidik ( الاِصْلاحُ والتّهْذِ يْبُ ) pelaku jarimah agar ia menjadi orang yang baik dan menyadari kesalahannya. Di sini terlihat bagaimana perhatian syari’at Islam terhadap diri pelaku. Dengan adanya hukuman ini, diharapkan akan timbul dalam diri pelaku suatu kesadaran bahwa ia menjauhi jarimah bukan karena takut akan hukuman, melainkan karena kesadaran diri dan kebenciannya terhadap jarimah serta dengan harapan mendapat rida dari Allah SWT.[28]
c. Kemaslahatan Masyarakat
Memberikan hukuman kepada orang yang melakukan kejahatan bukan berarti membalas dendam, melainkan sesungguhnya untuk kemaslahatannya, seperti dikatakan oleh Ibn Taimiyah bahwa hukuman itu disyariatkan sebagai rahmat Allah bagi hamba-Nya dan sebagai cerminan dari keinginan Allah untuk ihsan kepada hamba-Nya. Oleh karena itu, sepantasnyalah bagi orang yang memberikan hukuman kepada orang lain atas kesalahannya harus bermaksud melakukan ihsan dan memberi rahmat kepadanya.[29]
d.
Macam-Macam
Sanksi Dalam Hukum Islam
Ada beberapa macam sanksi hudud
dan ta’zir. Khusus untuk ta’zir, diserahkan kepada pemimpin dan tidak dapat dicegah dengan
subhat, juga berlaku untuk yang di bawah umur, serta boleh untuk kafir zimmi. Kemudian
selain hakim, boleh melakukan ta’zir:
1)
Hudud
Hudud adalah sanksi-sanksi kemaksiyatan
yang telah ditetapkan kadarnya dalam rangka hak Allah. Dinamakan hudud karena mencegah orang yang berbuat maksiyat untuk
(tidak) kembali kepada kemaksiyatan yang telah ditetapkan hadnya. Kata had dan hudud dengan makna sanksi-sanksi kemaksiyatan yang di dalamnya
terdapat hak Allah SWT., dan tidak disebutkan pada selainnya. Dalam hudud tidak ada pemaafan, baik dari
hâkim maupun terdakwa, sebab hudud adalah haq Allah, tak seorang manusia pun
yang memiliki hak untuk menggugurkannya pada kondisi apapun.[30]
2) Qishash
Qishash adalah balasan setimpal atau
diyat (denda) akibat penganiayaan yang mencakup penganiayaan terhadap jiwa dan
anggota tubuh. Maksud dari jinayat di sini adalah sanksi-sanksi yang dijatuhkan
atas penganiayaan tersebut. Dalam sanksi-sanksi ‘uqubat terdapat haq seorang hamba. Dan selama berkaitan dengan haq
hamba, maka bagi pemilik haq (shâhibul haq) boleh memberikan ampunan, dan
menggugurkan haqnya.[31]
Hâkim harus memberikan pemaafan bagi pelaku penganiayaan dengan pemaafan
yang sempurna karena adanya pemaafan dari shâhibul
haq. Tidak bisa dikatakan bahwa di dalam jinayat tersebut terdapat haq
kolektif rakyat, yaitu keamanan. Tidak bisa dikatakan demikian, karena
keberadaan haq kolektif bagi rakyat di dalam jinayat membutuhkan suatu dalil
yang menunjukkan hal itu, padahal tidak ada dalil atas yang demikian itu.
Sebab, apa yang dilakukan di masa para shahabat ra, bahwa jika pelaku
penganiayaan dimaafkan oleh shâhibul haq,
maka mereka menggugurkan sanksi bagi pelaku penganiayaan tersebut. Ini
menunjukkan bahwa pemberian maaf bagi pelaku penganiayaan dari shahibul haq mengugurkan sanksi (jinâyât) tersebut.[32]
3.
Ta’zîr
Ta’zir adalah sanksi bagi kemaksiyatan yang dapat diberlakukan kepada anak
dan orang dewasa. Di dalamnya tidak ada had dan kifârat. Melakukan
perbuatan maksiyat perlu dilihat dahulu, apabila Allah SWT. telah menetapkan
sanksi tertentu bagi kemaksiyatan tersebut, maka ia termasuk ke dalam hudud.
Maka pelanggarnya akan dikenai sanksi had yang telah disyari’atkan oleh Allâh
SWT., bukan ta’zîr. Demikian pula bila di dalamnya telah ditetapkan kifârat
tertentu, maka pelanggarnya dipaksa untuk membayar kifârat-kifâratnya.
Adapun jenis-jenis hukuman ta’zir
untuk orang
dewasa adalah:
(1) Hukuman mati.
(2) Hukuman jilid.
(3) Hukuman tahanan / kawalan.
(4) Hukuman pengasingan (At-Taghrib wa Al-Ib’ad).
(5) Hukuman salib.
(6) Hukuman pengucilan (Al-Hajr).
(7) Hukuman ancaman (Tahdid), teguran (Tanbih), dan peringatan.
(8) Hukuman denda (Al-Gharamah).[33]
Apabila tidak terkategori ke dalam hudûd dan syâri’ tidak menetapkan kifâratnya, maka hal ini masuk ke dalam
sanksi ta’zîr. Sedangkan mengenai
penganiayaan terhadáp badan tidak dita’zîr, sebab sanksinya telah dijelaskan
oleh Syâri’.Ta’zîr berbeda dengan
hudûd dan jinâyât. Hudûd dan jinâyât sanksi-sanksinya telah ditetapkan oleh syâri’ secara spesifik. Dengan demikian
sanksi-sanksi ini mengikat dan tidak boleh diganti, ditambah, dan dikurangi.
Sedangkan ta’zîr adalah sanksi yang
bentuknya tidak ditetapkan secara spesifik oleh Syâri’, dan
bentuk sanksinya tidak mengikat. Ta’zîr menerima pemaafan dan pengguguran
sanksi tersebut. Rasulullah SAW. tidak menta’zîr seseorang yang berkata kepada
beliau: “Sumpah ini tidak untuk mengharap ridlo Allah, dan baliau
memaafkannya.” Padahal orang yang mengucapkan ini telah terjatuh dalam
kemaksiyatan yang layak dikenai
sanksi. Hudûd dan jinâyât tidak berbeda karena perbedaan manusia, semua manusia
di dalam hudûd dan jinâyât adalah sama berdasarkan keumuman dalil. Berbeda
dengan ta’zîr, ia boleh berbeda
dikarenakan perbedaan manusia, maka di dalam ta’zîr diperhatikan apakah pelaku belum pernah melakukan
pelanggaran sebelumnya, atau orang yang memiliki perilaku baik.
3) Mukhâlafât
Mukhlafat adalah sanksi ‘uqûbât yang
dijatuhkan oleh penguasa kepada orang yang menentang perintah penguasa,
baik khalîfah, atau selain khalîfah seperti para mu’awin, para wali (gubernur),
‘ummal-‘ummal (bupati/wali kota) dan lain-lain, dari orang-orang yang
aktivitasnya adalah aktivitas kekuasaan, di mana mereka memiliki kewenangan
untuk memberi perintah-perintah. Sanksi atas penentangan perintah disebut ‘uqûbât mukhâlafat.[34]
Mukhâlafat
sendiri disebutkan pula untuk tindakan yang menentang perintah penguasa.
Sebagian fuqahâ’ memasukkan mukhâlafat
ke dalam bab ta’zîr, sebab mukhâlafat adalah sanksi atas
kemaksiyatan yang belum ditetapkan kadarnya oleh Syâri’.[35]
[1] Hashbi
Ash-Shiddieqi (Editor) Al-Quran Dan Terjemahannya, Departemen Agama
RI (Semarang: Toha Putra, 2001), hlm 987 QS. Ath Thaghabun [64]: 14
[6]M. Azil
Maskur, Perlindungan Hukum Terhadap Anak
Nakal (Juvenile Delinquency) Dalam Proses Acara Pidana Indonesia. Menurut
catatan UNICEF, pada tahun 2000 ada 11.344 anak yang disangka sebagai pelaku
tindak pidana, sedangkan pada bulan Januari-Mei 2002 ditemukan 4.325 tahanan
anak di rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan di seluruh Indonesia dan lebih
menyedihkan lagi, sebagian besar (84,2%). Kemudian di sisi lain, kejahatan orangtua
ialah memaki
dan menghina anak. Bagaimana orang tua dikatakan
menghina anak-anaknya? Yaitu ketika seorang ayah menilai kekurangan anaknya dan
memaparkan setiap kebodohannya. Lebih jahat lagi jika itu dilakukan di hadapan
teman-teman si anak. Termasuk dalam kategori ini adalah memberi nama kepada si
anak dengan nama yang buruk.
[9]Harun Zaini, Qaidah
Fiqhiyyah Suatu Pengantar,bahwa definisi Fiqih: Mengetahui hukum-hukum syara’ yang
bersifat amaliyah (Perbuatan-perbuatan orang mukallaf) yang diambil dari
dalili-dalilnya yang tafshili.Himpunan hukum-hukum syara’ yang bersifat
amaliyah (perbuatan-perbuatan orang mukallaf) yang diambil dari dalili-dalilnya
tang tafshili. Perbedaan-perbedaan yang ada antara
Qowaid Fiqihiyah dengan Qowaid Ushuliyah: 1).Obyek
Qowaid Ushuliyah adalah dalil hukum, sedang Qowaid Fiqihiyah adalah perbuatan
mukallaf. 2).Ketentuan
Qowaid Ushuliyah berlaku bagi seluruh bagiannya (juziyahnya) sedangkan Qowaid
Fiqihiyah berlaku pada sebagian besar (Aghlabiah)
juziyahnya. 3) Qowaid Ushuliyah
sebagai sarana istimbats hukum, sedangakan Qowaid Fiqihiyah sebagai usaha
menghimpun dan mendekatkan ketentuan hukum yang sama untuk memudahkan pemahaman
fiqih.
| Volume 10 Nomor 1 Mei 2010 ), hlm 112
Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
(Bengkulu, 2011), hlm 9
[31] Abdur
Rahman. Tindak Pidana Dalam Syariat
Islam.( Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992 ), hlm 27.Ada
beberapa perbedaan antara hudud dan ta’zir. 1.Diserahkan kepada manusia mafawadh,2.Tidak dapat dicegah dengan
subhat.3.Berlaku untuk yang di bawah umur, 4.Boleh untuk kafir zimmi. 5. Selain
hakim, boleh melakukan ta’zir.
No comments:
Post a Comment