MUTIARA ASLI (1)
PENGALAMAN PRIBADI
M.RAKIB PEKANBARU RIAU
INDONESIA
1. Kelembutan dan ketataatan yang tidak
tepat pada waktunya, sama dengan kejahatan dan kemaksiatan.
2. Kekerasan yang digunakan, tepat pada
waktunya, sama dengan kebaikan yang tinggi nilainya.
فَشَـرِيْعَةٌ كَسَـفِيْنَةٍ
وَطَرِيْـقَةٌ
# كَالْبَـحْرِثُمَّ حَقِيْـقَةٌ دُرٌّ غَـلاَ
مَـنْ رَامَ دُرًّا لِلسَّفِيْنَةِ
يَرْكَـبُ
# وَيَغُـوْصُبَحْـرًا ثُمّ دُرٌّ حَصَلاَ
وَكَذَا الطّرِيْقَةُ وَالْحَقِيْقَةُ يَا
أخِيْ
# مِنْغَيْرِ فِعْلِ شَرِيْعَةٍ لَنْ
تُحْصَلاَ[5]
“Syari’at ibaratperahu, tarekat ibarat lautan, dan hakekat ibarat mutiara yang berharga. Siapayang menginginkan mutiara, maka ia harus menaiki parahu, kemudian menyelam dilautan, maka dia akan meraih mutiara tersebut. Demikian pula tarekat danhakekat, wahai saudaraku, dengan tanpa pengamalan terhadap syari’at maka hakekattersebut tidak akan pernah didapatkan”.
Syaikh Nawawi al-Bantani dalammenjelaskan bait di atas mengatakan bahwa tidak ada jalan menuju Allah kecualidengan melaksanakan tiga unsur yang merupakan satu kesatuan yang tidak bolehdipisah-pisahkan satu dari lainnya. Pertama; Syari’at; yaitu dengan mengerjakansegala perintah dan menjauhi segala larangan Allah dan Rasul-Nya. Kedua;Tarekat; ialah menteladani segala prilaku Rasulullah dalam berbagai keadaannya.Ketiga; Hakekat, yaitu buah yang akan dicapai dari perjalan syari’at dantarekat[6].
Sebagian ulama lain mencontohkan kesatuantiga unsur ini dengan sebuah kelapa.Syari’at diibarakan sebagai kulit kelapa, tarekat sebagai daging kelapa danhakekat sebagai minyak dari inti kelapa. Artinya bahwa perantara-perantarauntuk dapat mendapatkan inti kelapa yang berupa minyak adalah keharusan yangtidak mungkin ditinggalkan[7].
Imam Ahmad ar-Rifa’i pada bagian laindalam kitab al-Burhân al-Mu’ayyad menyatakan bahwa puncak tujuan dari perjalanankaum sufi adalah sama dengan puncak tujuan dari perjalanan para ulama fiqihatau ulama syari’at. Demikian pula sebaliknya, tujuan utama ulama fiqih adalahjuga merupakan tujuan utama para kaum sufi. Kemudian rintangan-rintangan jalanyang dilalui ulama fiqih dalam mencari ilmu adalah juga rintangan yang samayang dihadapi kaum sufi dalam sulûkmereka. Maka syari’at adalah tarekat,dan tarekat adalah syari’at. Keduanya adalah kesatuan yang tidak dapatdipisahkan, kandungan atau isi dan tujuannya adalah satu. Perbedaan hanya darisegi lafazh saja. Jika seorang sufi mengingkari seorang ahli fiqih (al-faqîh), maka tidak lain sufi tersebut pasti seorang yang tertipu.Demikian sebaliknya, jika seorang ahli fiqih mengingkari seorang sufi makatidak lain ahli fiqih tersebut pasti seorang yang dijauhkan oleh Allah darikarunia-Nya[8].
Seorang wali Allah, seluhur apapunderajat takwa dan kemuliaan yang telah ia raih, maka kewajiban-kewajibansyari’at akan selalu tetap ada pada pundaknya dan tidak akan pernah gugurdarinya. Rasulullah tidak pernah mengajarkan bahwa seseorang bila telahmencapai derajat tinggi maka kewajiban syari’at menjadi gugur darinya. Oleh karenanya,kita tidak menemui satupun keadaan di antara para sahabat nabi di manakewajiban-kewajiban syari’at telah gugur dari sebagian mereka. Padahal banyakdi kalangan sahabat tersebut yang notabene sebagai para wali Allah, bahkansebagai para wali terkemuka (Kibâral-Auliyâ’). SahabatAbu Bakr ash-Shiddiq misalkan, adalah orang yang paling mulia dari seluruh umatMuhammad, pemimpin tertinggi dalam derajat kewalian, dan lebih utama dariseluruh wali Allah yang hidup sesudahnya, bahwa beliau tidak pernah sedikitpunmerasa bahwa kewajiban-kewajiban syari’at telah gugur darinya. Dua puluh empatjam dari setiap detik waktunya beliau habiskan dalam ibadah kepada Allah dan dalammenegakkan syari’at Allah. Demikian pula dengan sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab,‘Utsman ibn ‘Affan, dan ‘Ali ibn Abi Thalib. Karena itu para ulama Ahlussunnahtelah bersepakat (Ijma’) bahwa orang yang mengatakan bahwa ibadah dan mujâhadah yang telah mencapai puncak tertingginya dapat menggugurkanajaran-ajaran syari’at maka orang ini telah keluar dari Islam menjadi kafir[9].
Simak kisah nyata yang terjadi pada Syaikh‘Abd al-Qadir al-Jailani. Suatu ketika, Syaikh ‘Abd al-Qadir dalam khlawah-nya didatangi Iblis dalam bentuk cahaya. Iblis berkata: “Wahaihambaku, wahai ‘Abd al-Qadir, aku adalah tuhanmu, aku halalkan bagimu segala sesuatuyang telah aku haramkan”. Tanpa berfikir panjang Syaikh ‘Abd al-Qadir menjawab:“Terlaknat engkau wahai Iblis...!”. Syaikh ‘Abd al-Qadir seorang ‘Ârif Billâh, beliau tahu bahwa yang berbicara tersebut adalah Iblis.Karena Allah bukan cahaya atau sinar, Allah tidak berkata-kata dengan suara danhuruf, juga Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah, serta karena Allah tidakmenghalalkan sesuatu yang telah diharamkannya[10].
Kemudian Imam Ahmad ar-Rifa’i dalammenjelaskan bahwa hukum-hukum syari’at tidak akan pernah gugur dari siapapunmenyatakan bahwa seseorang yang memiliki sifat-sifat kewalian bukanlah sepertiorang-orang semacam Fir’aun atau semacam Namrud. Orang semacam Fir’aun, -ketikatelah meraih apa yang diinginkan- maka berkata: “Anâ Rabbukum al-A’lâ… (Saya adalah tuhan kalian yang mahatinggi)”. Demikian pula kesombongan yang diungkapkan Namrud, dia mengaku sebagaiTuhan. Sikap kufur semacam ini jelas tidak akan pernah ada pada diri seorangwali Allah. Seorang yang dicintai oleh Allah tidak akan pernah berkata “Anâ Allah…”. Bagaimana mungkin seorang sufi dengan gelar “al-Faqîr” mengaku bahwa dirinya Tuhan. Lantas dimanakah letakkefakirannya?! Sementara Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا
النَّاسُأَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ (فاطر: 15)
“Wahai sekalianmanusia, kalian semua adalah orang-orang fakir yang
membutuhkan kepada Allah”. (QS.Fâthir: 15).
KETERANGAN
1.
Pengalaman pribadi
ini penulis rumuskan dari peristiwa pendamping penulis yang dengan lembut
berhati iba, bersedekah uang kepada anak kecil di perempatan jalan lampu merah,
tapi uang yang disedkahkan itu, dibelikan si anak kepada rokok dan mungkin saja
narkoba. Kemudian si pendamping, di Madinah, sang pendamping sejak pukul 4
waktu ashar sudah berangkat ke Masjidinnabawi,
pulangnya jam 2 malam, padahal Jam 9 malam jamaah Pekanbaru kloter 10
akan berangkat ke Mekah, tapi sang isteri tidak kunjung muncul. Dia tidak
membawa HP, tidak membawa tas pengenal dan tidak berteman, dengan alsan
mesjidnya dekat dan suasana aman.
Akibatnya 45 orang rombongan 4 gelisah. Penulis sebagai ketua rombongan menjadi
serba salah, kalau diikutkan rombongan, sitri tingga. Kalau diikutkan isteri,
rombongan lepas. Oh Tuan , aku dalam dilema, gara-gara istri yang taat, tidak
tepat waktunya.
2.
Disertasi s3
penulis, tentang memukul ringan terhadap murid yang kesalahannya sudah
diperingatkan berkali-kali. Memang memukul itu merupakan kekerasan, akantetapi,
kekerasan yang sikonnya, akan berarti kebaikan yang tidak terhingga.
No comments:
Post a Comment