Sunday, March 22, 2015

BAGIAN KE 24 HABISNYA MASA IZIN KULIAHKU Sang Penyair : Masa izin kulaihku



BAGIAN KE  24
NOVEL KARYA M.RAKIB  PEKANBARU RIAU INDONESIA 2015

 

‘’EMPAT PROFESOR SATU CINTA’’

HABISNYA MASA IZIN KULIAHKU
Sang Penyair                   : Masa izin kulaihku sudah habis Pak, bisakah dipercepat pemerikasaan disertasiku, karena dengan dosen pembimbingku sudah dua tahu, ditambah dengan perbaikan paara pengji satu tahun pula. Tolong ya Pak.
Profesor Amar Makruf          :   Tidak, tidak bisa, karena harus saya baca semua dahulu, barulah saya lepas dan saya tandatangani. Tidak banyak dosen yang macam saya, yang memeriksa disertasi sampai dua tahun, tujuannya agar benar-benar berkualitas.
Sang Penyair                            :  Aduh Pak, tujuh dosen sudah memeriksanya, kenapa Bapak masih memeriksa lagi. Bapak kan  Bukan  pembimbing saya. Bagian yang suruh perbaiki, sudah saya perbaiki. Habis sudah waktu saya Pak. Istri saya sudah ngamuk-ngamuk Pak. Katanya  “Kok kuliah abang nggak habis-habis Bang”.
Sang penyair merasa dirinya sebagai mahasiswa yang sudah kehilangan dimensinya yang cukup vital, pengawas kekuasaan yang kritis terhadap dosen killer dan situasi politik pemerintahan. Tesis Edward Shell ihwal mahasiswa yang punya kesadaran politik dan pendorong perubahan, me runtuhkan dan meluluhlantakkan..
Sang penyair juga merasa menjadi mahasiswa  yang  berdinamika tanpa tujuan berarti. Sebagian temannya, ada yang melibatkan diri dalam perlombaan menjadi duta kampus. Mahasiswa “ideal” yang ber-Indeks Prestasi tinggi sekaligus seksi dan rupawan pun berbondong-bondong bersaing untuk jadi juara. Meskipun pemenangnya lebih terlihat keseksian dan kerupawannya fisiknya.
Kesadaran adalah matahari, kesabaran adalah bumi, keberanian menjadi cakrawala, dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata (Rendra)
Entah di pinggir jalan, di pohon-pohon hingga di media elektronik, para politisi memberi ajakan kepada masyarakat untuk memilih. Ajakan yang mengatasnamakan “partisipasi politik”. Meski “partisipasi politik” tersebut begitu semu, yakni hanya dalam mencoblos.
Tak terkecuali ajakan pun menghampiri dunia universitas. Bahkan, di tiap sudut kampus-kampus negeri, muncul anjuran-anjuran untuk memilih aktor-aktor politik. “Dilarang tidak mencoblos atau golput!”, begitulah imbauannya dalam spanduk. Alasannya, naif dan absurd, “Demi negara”. Tapi ironis, hal tersebut ternyata berasal atas inisiatif kalangan yang bernama mahasiswa.
Padahal, praktek demokrasi saat ini memposisikan rakyat sebatas pemilih. Setelah itu, rakyat kehilangan otonominya dalam tindakan politis. Oleh karena itu, mahasiswa seharusnya memainkan peranan sejarahnya sebagai alat criticism bagi praktek demokrasi seperti ini. Namun tampaknya, mereka bias memandang hingga menganggap wajar-wajar saja.
Bagi mahasiswa yang tidak seksi dan rupawan, mereka tentu masih ada hajatan demi meraih label berprestasi. Yakni mengikuti gelaran Mahasiswa Beprestasi (Mawapres). Perhelatan yang melahirkan tipe ideal seorang mahasiswa masa kini versi birokrat kampus. Yakni rajin, ber-IP tinggi, dan patuh. Sama seperti duta kampus, para mawapres pun hanya dijadikan alat hajatan-hajatan kampus. Mereka bersanding dengan birokrat kampus dan menunjukkan kepada pihak luar bahwa kampus telah berhasil dalam pembangunan. Tak perduli pembangunanannya dijalankan di atas  rintihan rekannya sesama mahasiswa yang tidak sanggup bayaran akibat kenaikan biaya kuliah.
Jangan salah, masih banyak mahasiswa yang suka berkata-kata dan beretorika tentang heroisme. Sembari berteriak “Hidup Mahasiswa”, bangga dengan statusnya dengan berdogma “Kita inilah Agen of Change”. Sesekali melakukan protes terhadap penguasa kampus atau pun negara. Meski ujung-ujungnya kompromi dengan dalih telah menemukan rasionalisi. “Mahasiswa sebagai Anak dan pimpinan sebagai Bapak bisa bekerjasama,” itulah kalimat antara penguasa dan mahasiswa yang biasa menjadi penutup dalam negosiasi.
Tak aneh, kemudian mahasiswa pun hanya kepanjangan tangan “sang bapak” dalam proses kebijakan politik. Kebijakan naiknya biaya kuliah dari birokrat kampus pun ditanggapi dengan reaksi khas “sang anak”. Yakni turut mensosialisikan beasiswa-beasiswa yang ada dalam kampus. Walaupun dalam nurani mereka mengakui hal tersebut tidak menyelsaikan masalah sebagian besar rekannya yang tak mampu.
Sepaket dengan itu, ada mahasiswa-mahasiswa yang gemar dalam berteori dan beretorika radikal. Mereka tak henti-hentinya mendaras buku-buku “kiri”. Buku yang notabene-nya pisau analisa dalam melihat ketidakadilan sekitar. Tapi, wujud bacaannya hanya nampak pada twitter, facebook, hingga baju-baju bergambar sosok-sosok pahlawan revolusioner. Tak kelewatan, disertakan pula kata-kata menggugah kesadaran yang pernah diucapkan sang tokoh tersebut. Seolah ucapan tersebut merupakan mantra yang bakal mengubah sesuatu. Mahasiswa memang sering lupa  karena (mungkin) tugas kuliah, bahwa bahasa sang tokoh timbul dari konteks pergulatan ide mengenai realitas jamannya. Jelas, bukan dalam ruang hampa.
Selain itu, lebih banyak lagi mahasiswa yang kuat dalam gerakan berlandaskan agama. Mereka terorganisir dengan baik. Mereka kerap memekik takbir sembari menebar kebencian, mengusir dan memboikot pihak-pihak yang tidak seakhlak dengan mereka. Ya, mahasiswa lagi-lagi lupa bahwa dunia kampus merupakan arena segala macam pemikiran dan keyakinan. Jangan ditanyakan lagi konstitusi negara pun menjamin kebebasan berpikir dan berakhlak. Mahasiswa ini merasa paling benar, meskipun dalam urusan-urusan akhlak birokrat kampus tidak pernah mereka permasalahkan.
Penguasa dan para birokrat tentunya bersuka ria atas fenomena mahasiswa demikian. Proyek kelas penguasa dalam istilah Antonio Gramsci bernama hegemoni telah berhasil membuat mahasiswa-mahasiswa asing dalam kepentingan sendiri. Tak salah, bila segala macam kebijakan penguasa yang merugikan mahasiswa sekalipun, diingkari oleh mahasiswa sendiri. Biaya kuliah naik, biaya parkir naik, hingga layanan akademik macet serta ketimpangan dalam masyarakat pun dinilai sebuah hal kewajaran. Semua itu ibarat kondisi yang tak ada pemecahannya.
Tak aneh, sebab gagasan, pola pikir maupun ide mahasiswa persis sama dengan tampilan gagasan, pola pikir dan ide para kelas penguasa. Jika sudah begini, tak salah sosok mahasiswa pun tak lagi bisa dikatakan agen intelektual yang punya posisi di tengah masyarakat. Karena perannya, pemikirannya tidak lagi menawarkan solusi di tengah kebuntuan kehidupan masyarakat.
Jika begitu, apakah tidak ada jalan keluar dari situasi mahasiswa tersebut? Ada baiknya kembali lagi mempertimbangkan gagasan Gramsci. Ia berujar bahwa kaum intelektual harus mengambil sikap sebagai counter terhadap hegemoni penguasa. Sebuah perang intelektual dan posisi dalam merebut hegemoni kepentingan.
Aktifitas tersebut tentunya membutuhkan selain kesadaran kritis, juga kepekaan hati dan sosial. Hal-hal tersebut hanya didapatkan lewat aktifitas membaca masalah dalam kehidupan riil masyarakat. Bukan diperoleh semata-mata dalam kelas dan perpustakaan. Aktifitas semacam itulah yang dilakukan oleh para mahasiswa perintis kemerdekaan Indonesia.
Segenap pengetahuan mereka tercurah pada kondisi-kondisi ketimpangan dalam masyarakat. Melakukan penyadaran terhadap masyarkat atas ketertindasan mereka. Bagi mereka pendidikan merupakan kunci penyelesaian atas ketimpangan yang tejadi dalam masyarakat. Bukan berias diri demi sebuah prestasi artifisial semacam intelektual “Duta kampus” atau “Mahasiswa Berprestasi” versi penguasa. Memang, kita bisa saja sangsi, “apakah mungkin mahasiswa bermental seperti hadir kembali”?
Jawabannya, bukan pada ada atau tidak ada, melainkan kepada siapakah intelektualisme mahasiswa ditujukan. Pihak penguasa yang mapan tentu meresa nyaman dan bahagia atas kondisi mahasiswa seperti itu. Jika Kita mahasiswa yang dikehendaki penguasa tersebut, mahasiswa tentu telah ingkar terhadap intelektualitasnya. Hanya terus menjadi “sang anak” yang dininabobokan.

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook