BAGIAN KE 24
NOVEL KARYA
M.RAKIB PEKANBARU RIAU INDONESIA 2015
‘’EMPAT PROFESOR
SATU CINTA’’
HABISNYA MASA IZIN KULIAHKU
Sang
Penyair : Masa izin
kulaihku sudah habis Pak, bisakah dipercepat pemerikasaan disertasiku, karena
dengan dosen pembimbingku sudah dua tahu, ditambah dengan perbaikan paara
pengji satu tahun pula. Tolong ya Pak.
Profesor
Amar Makruf : Tidak, tidak bisa, karena harus saya baca
semua dahulu, barulah saya lepas dan saya tandatangani. Tidak banyak dosen yang
macam saya, yang memeriksa disertasi sampai dua tahun, tujuannya agar
benar-benar berkualitas.
Sang
Penyair : Aduh Pak, tujuh dosen sudah memeriksanya,
kenapa Bapak masih memeriksa lagi. Bapak kan
Bukan pembimbing saya. Bagian
yang suruh perbaiki, sudah saya perbaiki. Habis sudah waktu saya Pak. Istri
saya sudah ngamuk-ngamuk Pak. Katanya “Kok
kuliah abang nggak habis-habis Bang”.
Sang penyair merasa dirinya sebagai mahasiswa yang
sudah kehilangan dimensinya yang cukup vital, pengawas kekuasaan yang kritis
terhadap dosen killer dan situasi politik pemerintahan. Tesis Edward Shell
ihwal mahasiswa yang punya kesadaran politik dan pendorong perubahan, me runtuhkan
dan meluluhlantakkan..
Sang penyair juga merasa menjadi mahasiswa yang berdinamika tanpa tujuan berarti. Sebagian temannya,
ada yang melibatkan diri dalam perlombaan menjadi duta kampus. Mahasiswa
“ideal” yang ber-Indeks Prestasi tinggi sekaligus seksi dan rupawan pun
berbondong-bondong bersaing untuk jadi juara. Meskipun pemenangnya lebih
terlihat keseksian dan kerupawannya fisiknya.
Kesadaran adalah matahari, kesabaran adalah
bumi, keberanian menjadi cakrawala, dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata
(Rendra)
Entah di pinggir jalan, di pohon-pohon hingga di
media elektronik, para politisi memberi ajakan kepada masyarakat untuk memilih.
Ajakan yang mengatasnamakan “partisipasi politik”. Meski “partisipasi politik”
tersebut begitu semu, yakni hanya dalam mencoblos.
Tak terkecuali ajakan pun menghampiri dunia
universitas. Bahkan, di tiap sudut kampus-kampus negeri, muncul anjuran-anjuran
untuk memilih aktor-aktor politik. “Dilarang tidak mencoblos atau golput!”,
begitulah imbauannya dalam spanduk. Alasannya, naif dan absurd, “Demi negara”.
Tapi ironis, hal tersebut ternyata berasal atas inisiatif kalangan yang bernama
mahasiswa.
Padahal, praktek demokrasi saat ini memposisikan
rakyat sebatas pemilih. Setelah itu, rakyat kehilangan otonominya dalam
tindakan politis. Oleh karena itu, mahasiswa seharusnya memainkan peranan
sejarahnya sebagai alat criticism bagi praktek demokrasi seperti ini.
Namun tampaknya, mereka bias memandang hingga menganggap wajar-wajar saja.
Bagi mahasiswa yang tidak seksi dan rupawan,
mereka tentu masih ada hajatan demi meraih label berprestasi. Yakni mengikuti
gelaran Mahasiswa Beprestasi (Mawapres). Perhelatan yang melahirkan tipe ideal
seorang mahasiswa masa kini versi birokrat kampus. Yakni rajin, ber-IP tinggi,
dan patuh. Sama seperti duta kampus, para mawapres pun hanya dijadikan alat
hajatan-hajatan kampus. Mereka bersanding dengan birokrat kampus dan
menunjukkan kepada pihak luar bahwa kampus telah berhasil dalam pembangunan.
Tak perduli pembangunanannya dijalankan di atas rintihan rekannya sesama
mahasiswa yang tidak sanggup bayaran akibat kenaikan biaya kuliah.
Jangan salah, masih banyak mahasiswa yang suka
berkata-kata dan beretorika tentang heroisme. Sembari berteriak “Hidup
Mahasiswa”, bangga dengan statusnya dengan berdogma “Kita inilah Agen of
Change”. Sesekali melakukan protes terhadap penguasa kampus atau pun
negara. Meski ujung-ujungnya kompromi dengan dalih telah menemukan rasionalisi.
“Mahasiswa sebagai Anak dan pimpinan sebagai Bapak bisa bekerjasama,” itulah
kalimat antara penguasa dan mahasiswa yang biasa menjadi penutup dalam
negosiasi.
Tak aneh, kemudian mahasiswa pun hanya
kepanjangan tangan “sang bapak” dalam proses kebijakan politik. Kebijakan
naiknya biaya kuliah dari birokrat kampus pun ditanggapi dengan reaksi khas
“sang anak”. Yakni turut mensosialisikan beasiswa-beasiswa yang ada dalam
kampus. Walaupun dalam nurani mereka mengakui hal tersebut tidak menyelsaikan
masalah sebagian besar rekannya yang tak mampu.
Sepaket dengan itu, ada mahasiswa-mahasiswa yang
gemar dalam berteori dan beretorika radikal. Mereka tak henti-hentinya mendaras
buku-buku “kiri”. Buku yang notabene-nya pisau analisa dalam melihat
ketidakadilan sekitar. Tapi, wujud bacaannya hanya nampak pada twitter, facebook,
hingga baju-baju bergambar sosok-sosok pahlawan revolusioner. Tak kelewatan,
disertakan pula kata-kata menggugah kesadaran yang pernah diucapkan sang tokoh
tersebut. Seolah ucapan tersebut merupakan mantra yang bakal mengubah sesuatu.
Mahasiswa memang sering lupa karena (mungkin) tugas kuliah, bahwa bahasa
sang tokoh timbul dari konteks pergulatan ide mengenai realitas jamannya.
Jelas, bukan dalam ruang hampa.
Selain itu, lebih banyak lagi mahasiswa yang kuat
dalam gerakan berlandaskan agama. Mereka terorganisir dengan baik. Mereka kerap
memekik takbir sembari menebar kebencian, mengusir dan memboikot pihak-pihak
yang tidak seakhlak dengan mereka. Ya, mahasiswa lagi-lagi lupa bahwa dunia
kampus merupakan arena segala macam pemikiran dan keyakinan. Jangan ditanyakan
lagi konstitusi negara pun menjamin kebebasan berpikir dan berakhlak. Mahasiswa
ini merasa paling benar, meskipun dalam urusan-urusan akhlak birokrat kampus
tidak pernah mereka permasalahkan.
Penguasa dan para birokrat tentunya bersuka ria atas
fenomena mahasiswa demikian. Proyek kelas penguasa dalam istilah Antonio
Gramsci bernama hegemoni telah berhasil membuat mahasiswa-mahasiswa asing dalam
kepentingan sendiri. Tak salah, bila segala macam kebijakan penguasa yang
merugikan mahasiswa sekalipun, diingkari oleh mahasiswa sendiri. Biaya kuliah
naik, biaya parkir naik, hingga layanan akademik macet serta ketimpangan dalam
masyarakat pun dinilai sebuah hal kewajaran. Semua itu ibarat kondisi yang tak
ada pemecahannya.
Tak aneh, sebab gagasan, pola pikir maupun ide
mahasiswa persis sama dengan tampilan gagasan, pola pikir dan ide para kelas
penguasa. Jika sudah begini, tak salah sosok mahasiswa pun tak lagi bisa
dikatakan agen intelektual yang punya posisi di tengah masyarakat. Karena
perannya, pemikirannya tidak lagi menawarkan solusi di tengah kebuntuan
kehidupan masyarakat.
Jika begitu, apakah tidak ada jalan keluar dari
situasi mahasiswa tersebut? Ada baiknya kembali lagi mempertimbangkan gagasan
Gramsci. Ia berujar bahwa kaum intelektual harus mengambil sikap sebagai counter
terhadap hegemoni penguasa. Sebuah perang intelektual dan posisi dalam merebut
hegemoni kepentingan.
Aktifitas tersebut tentunya membutuhkan selain
kesadaran kritis, juga kepekaan hati dan sosial. Hal-hal tersebut hanya didapatkan
lewat aktifitas membaca masalah dalam kehidupan riil masyarakat. Bukan
diperoleh semata-mata dalam kelas dan perpustakaan. Aktifitas semacam itulah
yang dilakukan oleh para mahasiswa perintis kemerdekaan Indonesia.
Segenap pengetahuan mereka tercurah pada
kondisi-kondisi ketimpangan dalam masyarakat. Melakukan penyadaran terhadap
masyarkat atas ketertindasan mereka. Bagi mereka pendidikan merupakan kunci
penyelesaian atas ketimpangan yang tejadi dalam masyarakat. Bukan berias diri
demi sebuah prestasi artifisial semacam intelektual “Duta kampus” atau
“Mahasiswa Berprestasi” versi penguasa. Memang, kita bisa saja sangsi, “apakah
mungkin mahasiswa bermental seperti hadir kembali”?
Jawabannya, bukan pada ada atau tidak ada,
melainkan kepada siapakah intelektualisme mahasiswa ditujukan. Pihak penguasa
yang mapan tentu meresa nyaman dan bahagia atas kondisi mahasiswa seperti itu.
Jika Kita mahasiswa yang dikehendaki penguasa tersebut, mahasiswa tentu telah
ingkar terhadap intelektualitasnya. Hanya terus menjadi “sang anak” yang
dininabobokan.
No comments:
Post a Comment