Thursday, March 12, 2015

HUKUM BERUBAH DENGAN BERUBAHNYA ZAMAN



HUKUM BERUBAH DENGAN 
BERUBAHNYA ZAMAN

 
M.RAKIB  PEKANBARU  RIAU  INDONESIA  2015


HUKUM HARUS BERUBAH JUGA
KARENA YANG DIATUR  BERBEDA
ZAMAN BEREDAR BERUBAH ARAH
POLA HIDUP SUDAH TIDAK SAMA


Murid Ibnu Taimiyah dalam kitab Fiqihnya "I'lam al-Muwaqi'in Rabb al-Alamin", memunculkan kaidah :
تغيُّرُ الْفتْوى واخْتِلافُها بِحسْبِ تغيُّرِ اْلأزْمِنةِ واْلأمْكِنةِ واْلأحْوالِ والنِّيّاتِ والْعوائِدِ
"Fatwa berubah dan berbeda sesuai dengan perubahan zaman, tempat keadaan, niat, dan adat kebisaaan"
Ibnu Qayyim dianggap sebagai penemu kaidah tersebut, demikian pula Ibnu Rusyd (w.520-595 H) dalam kitab Fiqihnya Bidayat al-Mujtahid Wa Nihayat al-Muqtasid, sesudah menjelaskan perbedaan pendapat ulama tentang masalah batas maksimal kehamilan, beliau berkesimpulan dengan kaidah :
والْحُكْمُ إِنّما يجِبُ أنْ يكُوْن بِالْمُعْتادِ لا بِالنّادِرِ
"Hukum itu wajib ditetapkan dengan apa yang biasa terjadi bukan dengan apa yang jarang terjadi"
Dalam kitab al-Kharaj, Abu Yusuf memberikan fatwa kepada khalifah Harun al-Rasyid dengan kata-kata :
ليْس لِلإِمامِ أنْ يُخْرِج شيْئًا مِنْ يدِ أحدٍ إِلاّ بِحقٍّ
"Tidak ada kewenangan bagi kepala Negara (eksekutif) untuk mengambil sesuatu dari tangan seseorang, kecuali dengan cara yang dibenarkan"
Contoh lain:
“Kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya harus berorientasi kepada kemaslahatan.”
Kaidah ini berasal dari kata-kata Imam al-Syafi'i yang berbunyi :
منْزِلةُ الْوالِيْ مِن الرّاعِيةِ كمنْزِلةِ الْولِيِّ مِن الْيتِيْمِ
"Kedudukan seorang pemimpin terhadap rakyatnya seperti kedudukan wali kepada anak yatim"
Kata-kata Imam al-Syafi'i ini setelah ditelaah ulama-ulama lain, terutama ulama di bidang fiqih siyasah, akhirnya memunculkan kaidah tersebut di atas.
Hanya saja sesudah jadi kaidah fiqih yang mapan dan dilegitimasi Al-Quran dan Sunnah, kaidah tadi menjadi sumber dan di bawah kaidah itu dimunculkan kembali Fiqih bahkan dikelompokkan lagi, inilah yang kita lihat di dalam kitab-kitab kaidah Fiqih, setelah kaidah-kaidah Fiqih itu dibukukan.
Di dalam proses pengujian kaidah-kaidah Fiqih oleh Al-Quran dan Sunnah sering bertemu kaidah dengan hadits, maka hadits tersebut jadi kaidah, seperti:
الْبيِّنةُ على الْمُدّعِيْ والْيمِيْنُ على الْمُدّعى عليْهِ
"Bukti/keterangan wajib disampaikan oleh penggugat dan sumpah wajib diberikan oleh yang mengingkari/tergugat" (HR. Muslim dari Ibnu 'Abbas),
Atau juga hadits:
لا ضرر ولا ضِرار
"Jangan memudaratkan dan jangan dimudaratkan" (HR. Al-Hakim).
Hadits ini digunakan untuk melegitimasi kaidah:
الضّررُ يُزالُ
"Kemudaratan harus dihilangkan" (salah satu kaidah Fiqih pokok yang lima)
Apabila mau memunculkan kaidah-kaidah baru di dalam Fiqih maka harus ditelusuri dahulu Fiqihnya, baru diukur akurasi kaidah tadi dengan banyak ayat dan banyak hadits, selanjutnya didiskusikan dan diuji oleh para ulama, baru bisa dijadikan sebagai kaidah yang mapan.
Kaidah yang sudah mapan ini akan menjadi alat (metode) dalam menjawab problem-problem di masyarakat dan memunculkan hukum-hukum Fiqih baru.
Misalnya kaidah:
اْلأُمُوْرُ بِمقاصِدِها
“Semua perkara itu tergantung kepada maksudnya”
Kaidah ini berasal dari banyak materi Fiqih, karena di dalam Fiqih, nilai suatu perbuatan tergantung kepada niatnya.
Di dalam ibadah, apakah niat ibadah itu wajib atau sunnah, dilaksanakan tepat waktu atau dengan cara qadha.
Dalam muamalah, apakah menyerahkan barang itu dengan niat memberi (hibah) atau meminjamkan.
Dalam jinayah apakah perbuatan criminal itu dilakukan karena kesengajaan (dengan niat) atau kesalahan (tanpa niat) dan seterusnya, semua itu hukumnya dilandaskan kepada niat, maksud dan tujuannya.
Hukumnya berbeda sesuai dengan niat dan tujuan masing-masing. Maka muncul kaidah tersebut di atas. Kaidah tersebut dirujukkan kepada hadits:
إِنّما اْلأعْمالُ بِالنِّيّاتِ
"Setiap perbuatan tergantung niatnya" (HR. Bukhari Muslim dari Umar bin Khattab)
Juga kepada Hadits:
رُفِع عنْ أُمّتِيْ الْخطأُ والنِّسْيانُ وما اسْتُكْرِه عليْهِ
"Diangkat dari umatku (tidak dituliskan berdosa) perbuatan karena keliru, lupa, dan terpaksa" (HR. Ibnu Majah dari Ibnu 'Abbas)
Tidak hanya dengan dalil itu saja tapi juga disandarkan kepada ayat-ayat Al-Quran yang berubungan dengan niat, seperti ayat berikut :
"Dan tidaklah ada dosa atasmu terhadap apa yang kami khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu" (QS. Al-Ahzab : 5)
Demikian pula dalam surat an-Nisaa' ayat 92 dan 93 yang menyatakan adanya pembunuhan karena kesalahan (tanpa niat) dan pembunuhan karena sengaja (dengan niat).
Selain itu juga dirujukkan kepada tujuannya, baik atau buruk, apakah tujuannya penipuan yang dilarang atau bertujuan baik untuk memberi manfaat kepada manusia.
Dari sini bisa diambil kesimpulan bahwa;
Pertama, apabila dirujukkan kepada hadits, dan ternyata hadits-hadits tadi sama dengan kaidah, maka hadits tadi bisa menjadi kaidah di kalangan Ulama Fiqih.
Kedua, kaidah yang dirujukkan kepada pemahaman nash-nash (Al-Quran dan Al-Hadits), maka substansi pemahaman itulah yang jadi kaidah.
Seperti telah disinggung di muka, setelah menjadi kaidah yang mapan, para ulama mengelompokkan kembali materi-materi Fiqih yang masuk dalam kaidah tersebut dan apa-apa yang keluar (pengecualian) sebagai contoh-contoh penerapan kaidah.
Misalnya, dalam kitab al-Asybah wa al Nazhair, Imam al-Suyuthi menjelaskan kaidah:
اْلأُمُوْرُ بِمقاصِدِها
"Setiap perkara tergantung kepada niatnya"
Al-Suyuthi, membahas masalah niat dalam beberapa sub poko bahasan:
1. Kaidah-kaidah niat dilegimitasi oleh hadits niat;
2. Adanya masalah-masalah Fiqih yang lebih sempit di kelompokkan dan disandarkan kepada kaidah tersebut, seperti masalah-masalah ibadah mahdhah, munakahat, dan jinayat yang memiliki kaidah-kaidah tersendiri;
3. Fungsi niat yang membedakan antara ibadah dan adat kebisaaan dan masalah Fiqih yang tidak diperlukan niat;
4. Ta’yin niat/menentukan niat lebih spesifik dalam hal perbuatan-perbuatan yang serupa;
5. Tempat niat adalah di dalam hati, hubungan antara talafuzh (melafazkan niat) dengan apa yang ada di dalam hati, maka yang dianggap sah adalah apa yang ada di dalam hati;
6. Syarat-syarat niat adalah tahu ilmunya, tidak mendapatkan yang bertentangan dengan niat;
7. Perbedaan pendapat di dalam penerapan niat.
Dalam hal ini, dengan mengambil pendapat al-Rafi'i, al-Suyuthi memunculkan dhabith, yaitu:
النِّيّةُ فِي الْيمِيْنِ تُخصِّصُ اللّفْظ اْلعامّ ولا تُعمِّمُ الْخاصّ
"Niat di dalam sumpah mengkhususkan (yang diucapkan) dengan kata-kata yang umum dan tidak bisa mengumumkan kata-kata yang khusus"
Bersumpah dengan tidak menyebutkan nama orang atau sesuatu secara khusus maka harus dijelaskan apa yang diniatkan itu siapa. Tetapi tidak sebaliknya, apa yang di niatkan kepada seseorang, maka tidak bisa digeneralisir;
8. Pembahasan tentang kasus-kasus tertentu secara khusus yang tersebut dalam kitab-kitab Fiqih mazhab Syafi'i.
Dalam kitab al-Qawa'id fi al-Fiqih, karangan Ibnu Rajab al-Hanbali, ada kaidah yang berbunyi:
منْ تعجّل حقّهُ أوْ ما أُبِيْح لهُ قبْل وقْتِهِ على وجْهٍ مُحرّمٍ عُوْقِب بِحِرْمانِهِ
"Barangsiapa yang mempercepat haknya atau yang membolehkannya sebelum waktunya dengan cara yang haram, maka ia dihukum dengan keharaman (dilarang) menerima hak tersebut"
Contoh kaidah ini adalah seperti ahli waris yang membunuh pewaris, maka ia dilarang mendapatkan warisan tersebut.
Atau ada orang yang menikahi wanita sebelum habis masa iddah-nya, maka ia diharamkan untuk menikahi wanita tersebut.
Atau ada orang yang memburu binatang dalam keadaan ihram, maka ia diharamkan memburu binatang tersebut.
Kaidah ini setelah dikritisi kemudian menjadi kaidah yang dianggap lebih mapan dengan ungkapan:
منْ تعجّل بِشيءٍ قبْل أوانِهِ عُوْقِب بِحِرْمانِهِ
"Barangsiapa yang mempercepat sesuatu sebelum waktunya, diberi sanksi dengan haramnya hal tersebut"
C. Manfaat, Objek dan Keutamaan
1. Manfaat
Adapun manfaat dari mempelajari Kaidah Fiqih adalah memberi kemudahan di dalam menemukan hukum-hukum untuk kasus-kasus hukum yang baru dan tidak jelas nash-nya dan memungkinkan menghubungkannya dengan materi-materi Fiqih yang lain yang tersebar di berbagai kitab Fiqih serta lebih memudahkan kita dalam menentukan hukum.
2. Objek
Adapun objek bahasan kaidah-kaidah Fiqih itu adalah perbuatan mukallaf itu sendiri, dan materi Fiqih itu sendiri yang dikeluarkan dari kaidah-kaidah Fiqih yang sudah mapan yang tidak ditemukan nash-nya secara khusus di dalam Al-Quran atau Sunnah atau Ijma (konsensus para ulama).
3. Keutamaan
Orang yang ingin memahami ilmu fiqih, akan mencapai kemahirannya dalam bidang fiqih apabila dibekali dengan ilmu kaidah-kaidah Fiqih.
Oleh karena itu ulama berkata :
"Barangsiapa menguasai ushul fiqih, tentu dia akan sampai kepada maksudnya, dan barangsiapa yang menguasai kaidah-kaidah Fiqih pasti dialah yang pantas mencapai maksudnya"
D. Hubungannya dengan Ilmu lain
Kaidah Fiqih adalah bagian dari ilmu fiqih. Ia memiliki hubungan erat dengan Al-Quran, Al-Hadits, Akidah dan Akhlak.
Sebab, kaidah-kaidah yang sudah mapan, sudah dikritisi oleh ulama, sudah diuji serta diukur dengan banyak ayat dan hadits nabi, terutama tentang kesesuiannya dan substansinya.
Apabila kaidah Fiqih tadi bertentangan dengan banyak ayat Al-Quran ataupun Hadits yang bersifat dalil kulli (general), maka dia tidak akan menjadi kaidah yang mapan.
Oleh karena itu, menggunakan kaidah-kaidah Fiqih yang sudah mapan pada hakikatnya merujuk kepada Al-Quran dan Hadits, setidaknya, kepada semangat dan kearifan Al-Quran dan Hadits juga.
E. Perkembangan Kaidah
Para pencetus dan pengembang kaidah-kaidah Fiqih adalah ulama-ulama yang sangat dalam ilmu dan wawasannya dalam ilmu fiqih sampai muncul Imam Abu Thahir al-Dibasi yang hidup pada akhir abad ke-3 dan awal abad ke-4 Hijriyah, yang baru mengumpulkan 17 kaidah Fiqih.
Di kalangan tiap mazhab, ada banyak ulama yang menjadi pelopor dan tokoh dalam bidang kaidah Fiqih.
Dalam mazhab Asy-Syafi'iyah, ada ulama besar yang bernama Imam 'Izzuddin bin Abd al-Salam (w.660 H), beliau telah menyusun kitab berjudul Qawa'id al-Ahkam fi Masailil al-'Anam (kaidah-kaidah hukum untuk kemaslahatan manusia).
Intinya menjelaskan tentang maksud Allah mensyariatkan hukum, dan semua kaidah dikembalikan kepada kaidah pokok yaitu:
جلْبُ الْمصالِحِ ودرْءُ الْمفاسِدِ
"Meraih yang maslahat dan menolak yang mafsadah"
Keseluruhan taklif yang tercermin di dalam konsep al-ahkam al-khamsah, (wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram) tujuan adalah kembali kepada kemaslahatan hamba Allah di dunia dan akhirat.
Bagaimanapun ketaatan hamba, tidak akan menambah apa-apa kepada kemahakuasaan dan kemahasempurnaan Allah. Demikian pula sebaliknya, kemaksiatan hamba tidak akan mengurangi apapun terhadap kemahakuasaan dan kemahasempurnaan Allah.
F. Kaidah Kubra dan Turunannya
Para ulama yang menyusun berbagai kaidah fiqhiyah mengumpulkan berbagai kaidah sesuai dengan tema utamanya, yang disebut dengan kaidah kubra.
Masing-masing kaidah kubra ini memiliki kaidah-kaidah turunan, yang menjelaskan lebih detail tiap pengembangan dari masing-masing kaidah kubra.
1. Kaidah Kubra Pertama
الأُمُورُ بِمَقَاصَدِهَا
Segala sesuatu tergantung tujuannya
a. Kaidah Turunan Pertama
العِبْرَةُ فيِ العُقُودِ بِالمـَقَاصِدِ وَالمـَعاَنيِ لاَبِالأَلْفَاظِ وَالمـَبَانِي
“Yang dapat dijadikan pegangan dalam akad adalah maksud dan makna; bukan lafadz dan bentuk perkataan”
Contoh
Jika ada seseorang yang mengatakan kepada temannya, “Aku hadiahkan mobil ini kepadamu dengan catatan berikan mobilmu itu kepadaku”, maka akad yang terjadi disini bukanlah hadiah, walaupun dia mengatakan itu hadiah.
Karena makna dan maksud akad tersebut sudah jelas, yaitu jual beli (barter). Dan dalam akad, yang dijadikan pijakan adalah maksud dan makna bukan lafadz dan bentuk perkataan.
Sedangkan yang dimaksud dengan hadiah adalah pemberian yang tidak membutuhkan imbalan dalam bentuk apa pun.
b. Kaidah Turunan Kedua
النية في اليمين تخصص اللفظ العام و لا تعمم الخاص
“Dalam sumpah, niat mampu menspesifikasi kata yang masih umum namun tidak bisa merubah kata yang bermakna khusus menjadi umum”
Contoh
Kaidah ini membutuhkan dua contoh. Karena kaidah ini memiliki dua bagian yang berbeda. Pertama Takhsis al-‘Aam bi An-Nyiyah dan kedua Ta’mim al-Khas bi an-Niyyah.
Untuk bagian pertama, bisa diterapkan dalam kasus seperti ketika ada seseorang yang bersumpah untuk tidak berbicara dengan siapapun, namun dalam hatinya dia meniatkan hanya tidak berbicara kepada Zaid saja, maka dia tidak dianggap melanggar sumpah jika berbicara dengan selain zaid. Sebab, meski lafadz sumpahnya adalah umum yaitu; tidak berbicara dengan siapapun, tapi niat dalam hatinya khusus yaitu tidak mengajak bicara pada si Zaid saja. Dan dalam sumpah, niat mampu menspesifikasi kata yang masih umum.
Sedangkan untuk bagian kedua yaitu Ta’mim al-Khas bi an-Niyyah bisa diterapkan dalam kasus berikut; Jika ada seseorang yang bersumpah untuk tidak meminum air si Fulan jika merasa haus, namun dalam hatinya dia berniat untuk tidak mengambil manfaat apapun dari air tersebut sama sekali, maka berdasarkan kaidah ini, ia tidak dianggap melanggar sumpahnya dengan memanfaatkan air si Fulan itu untuk mandi.
Karena lafadznya khusus dalam satu manfaat yaitu; minum karena haus. Sedangkan niat dalam hatinya yang umum yaitu; tidak mengambil manfaat apapun, tidak bisa membuat lafadz khusus itu menjadi umum.
Kaidah (bagian kedua) ini berlaku di dalam madzhab syafi’iyyah dan sebagian hanafiah. Namun beberapa madzhab yang lain menganggap si pengucap sumpah telah melanggar sumpahnya karena mandi dengan air tersebut. Pasalnya niat yang umum dalam hati tersebut -menurut madzhab ini- bisa membuat lafadz sumpah yang khusus itu menjadi umum.
c. Kaidah Turunan Ketiga
مقاصد اللفظ على نية اللافظ إلا في اليمين عند القاضي
“Maksud atau kandungan makna suatu perkataan akan diserahkan sepenuhnya kepada orang yang mengucapkan, kecuali dalam masalah sumpah diahadapan qadhi (hakim)”
Contoh Penerapannya :
Pada dasarnya ucapan atau lafadz sumpah diserahkan maksud dan maknanya langsung kepada orang yang mengucapkan. Sehingga, sebagaimana kata-kata yang lain, sumpah juga berpeluang untuk diinterpretasikan beragam sesuai kehendak orang yang mengucapkan.
Namun, ketika sumpah dijadikan oleh fiqih sebagai salah satu jalan keluar penyelesaian suatu sengketa, maka penafsiran lafadz sumpah -yang diucapkan oleh salah satu pihak yang bersengketa di Meja Hijau- diserahkan kepada hakim. Karena pengadilan adalah institusi yang rawan akan intrik, manipulasi fakta dengan kata-kata ataupun tipu muslihat.
Maka, ketika seorang hakim meminta kepada terdakwa untuk bersumpah, penafsiran lafadz sumpahnya diserahkan sepenuhnya kepada sang Hakim.
Sebagai contoh, si Terdakwa kasus piutang telah bersumpah bahwa ia tidak pernah berhutang kepada pendakwa sama sekali. Dalam hatinya, ia niatkan bahwa maksudnya adalah tidak berhutang pada tahun yang lalu.
Maka niat itu tidak berfungsi sama sekali disini. Ia tetap dianggap telah melanggar sumpahnya itu. Sebab, meski maksud atau kandungan makna suatu perkataan pada dasarnya diserahkan sepenuhnya kepada orang yang mengucapkan, hanya saja hal tersebut tidak berlaku jika kata-kata itu berupa sumpah yang diucapkan di hadapan hakim atau Meja Hijau.
2. Kaidah Kubra Kedua
اليقين لا يزال بالشك
“Keyakinan tidak dapat dihilangkan oleh kebimbangan”
a. Kaidah Turunan Pertama
الأصل بقاء ما كان على ما كان
“Hukum Asal adalah ketetapan yang telah ada/dimiliki sebelumnya”
Contoh Penerapannya:
Jika seseorang telah berwudhu untuk shalat fardhu, dan setelah shalat ia masih merasa yakin dalam kedaan suci, namun ketika hendak shalat fardhu berikutnya ia ragu apakah sudah batal atau belum, maka ia dihukumi tetap dalam keadaan suci. Karena itulah ketetapan awalnya yang telah ada sebelumnya. Dan hukum asal adalah ketetapan awal itu.
b. Kaidah Turunan Kedua
الأصل في الأشياء الإباحة
“Hukum Asal segala sesuatu adalah boleh”
Contoh penerapannya :
Jika ada hewan yang tidak jelas dan buram perkaranya, maka hewan tersebut dianggap halal dimakan. Contoh hewan seperti ini –seperti yang dicontohkan Imam Suyuti- adalah Jerapah. Menurut Imam As-Subki, pendapat yang dipilih adalah bahwa Jerapah boleh dimakan, karena hukum asal segala sesuatu adalah boleh.
Jadi dalam tataran praktis, kaidah ini dapat diterapkan jika kita menemukan hewan, tumbuhan, atau apa saja, yang belum diketahui status hukumnya dalam syariat. Semua jenis barang tersebut dihukumi boleh sesuai substansi yang dikandung kaidah ini. Namun, perlu diperhatikan disini, bahwa sebenarnya masih ada perbedaan pendapat dikalangan para fuqaha seputar hukum asal segala sesuatu.
c. Kaidah Turunan Ketiga
الأصل في الأبضاع التحريم
“Hukum Asal Abdha’(farji) adalah haram”
Contoh penerapannya:
Jika ada seseorang yang mempunyai empat istri kemudian dia mantalak salah satunya, tapi di kemudian hari dia lupa siapa istri yang telah ia talak? Maka haram baginya untuk berhubungan intim dengan mereka semua karena adanya keraguan akut tentang siapa yang telah menjadi haram baginya. Karena walaupun yang haram Cuma satu, namun hukum asal Abdha’(farji) adalah haram. Keharaman ini berlangsung sampai jelas siapa yang telah ditalaknya.
Para ulama berbeda pendapat dalam menyelesaikan kasus seperti diatas. Ada yang berpendapat dengan cara diundi dan ada yang berpendapat harus ditunggu sampai benar-benar jelas.
d. Kaidah Turunan Keempat
الأصل في الكلام الحقيقة
“Hukum Asal dalam perkataan adalah makna hakiki”
Contoh penerapannya:
Jika ada seseorang bersumpah tidak akan menjual rumahnya, maka ia tidak dianggap melanggar sumpah jika mewakilkan ke orang lain untuk menjualnya. Karena makna hakiki menjual adalah dirinya sendiri yang menjual langsung bukan orang lain yang menjual atas nama dirinya. Dan hukum asal dalam perkataan adalah makna hakikinya.
e. Kaidah Turunan Kelima
الأصل براءة الذمة
“Hukum Asal adalah bebas dari tanggungan”
Contoh penerapannya :
Jika ada seseorang merusak barang milik orang lain yang harga belinya -sejauh pengetahuan si perusak- sekitar sekian rupiah. Namun ternyata si pemilik mengatakan bahwa harga belinya diatas harga yang diketahui si perusak. Dan si pemilik tidak bisa menunjukkan bukti atas harga yang diklaimnya itu. Maka klaim yang diterima adalah klaim si perusak dengan disertai sumpah. Karena hukum asalnya adalah terbebasnya si perusak dari beban atau tanggungan tambahan harga yang diklaim si pemilik.
3. Kaidah Kubra Ketiga
المشقة تجلب التيسير
“Kesulitan itu akan mendorong kemudahan”
a. Kaidah Turunan Pertama
إذا ضاق الأمر اتسع و إذا اتسع الأمر ضاق
“Ketika sesuatu menyempit, maka hukumnya menjadi luas (ringan), dan Ketika keadaan lapang, maka hukumnya menjadi sempit (ketat)”
Contoh penerapannya :
Jika ada seseorang memiliki tanggungan hutang yang sudah jatuh tempo pembayarannya, namun dia benar-benar belum memiliki uang untuk membayar, maka pembayarannya wajib untuk ditunda. Atau jika ia tidak bisa melunasinya secara kontan maka pembayarannya boleh dengan cara diangsur.
Karena sebuah perkara jika menyempit, hukumnya jadi luas (longgar). Namun jika ia tiba-tiba mendapatkan rizki yang dengannya ia mampu melunasi seluruh hutangnya, maka wajib baginya untuk segera melunasinya. Sebab, sebuah perkara jika sudah lapang, maka hukumnya kembali menyempit (ketat).
b. Kaidah Turunan Kedua
الضرورات تبيح المحظورات
“Kondisi dharurat akan memperbolehkan sesuatu yang semula dilarang”
Contoh penerapannya :
Jika ada seseorang hampir-hampir mati karena kelaparan, dan tidak ada yang bisa dimakan kecuali bangkai yang diharamkan, maka baginya diperbolehkan untuk memakan bangkai tersebut untuk menghilangkan rasa lapar yang sangat. Karena kondisinya saat itu adalah dharurat sehingga ia diperbolehkan untuk mengonsumsi atau melakukan seseuatu yang semula dilarang.
c. Kaidah Turunan Ketiga
الضرورة تقدر بقدرها
“Dharurat harus diukur kadar dharuratnya”

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook