HUKUM BERUBAH DENGAN
BERUBAHNYA
ZAMAN
M.RAKIB PEKANBARU
RIAU INDONESIA 2015
HUKUM HARUS BERUBAH JUGA
KARENA YANG DIATUR BERBEDA
ZAMAN BEREDAR BERUBAH ARAH
POLA HIDUP SUDAH TIDAK SAMA
Murid Ibnu Taimiyah dalam kitab
Fiqihnya "I'lam al-Muwaqi'in Rabb al-Alamin", memunculkan kaidah :
تغيُّرُ الْفتْوى واخْتِلافُها
بِحسْبِ تغيُّرِ اْلأزْمِنةِ واْلأمْكِنةِ واْلأحْوالِ والنِّيّاتِ والْعوائِدِ
"Fatwa
berubah dan berbeda sesuai dengan perubahan zaman, tempat keadaan, niat, dan
adat kebisaaan"
Ibnu
Qayyim dianggap sebagai penemu kaidah tersebut, demikian pula Ibnu Rusyd
(w.520-595 H) dalam kitab Fiqihnya Bidayat al-Mujtahid Wa Nihayat
al-Muqtasid, sesudah menjelaskan perbedaan pendapat ulama tentang masalah
batas maksimal kehamilan, beliau berkesimpulan dengan kaidah :
والْحُكْمُ إِنّما يجِبُ أنْ يكُوْن
بِالْمُعْتادِ لا بِالنّادِرِ
"Hukum
itu wajib ditetapkan dengan apa yang biasa terjadi bukan dengan apa yang jarang
terjadi"
Dalam
kitab al-Kharaj, Abu Yusuf memberikan fatwa kepada khalifah Harun al-Rasyid
dengan kata-kata :
ليْس لِلإِمامِ أنْ يُخْرِج شيْئًا
مِنْ يدِ أحدٍ إِلاّ بِحقٍّ
"Tidak
ada kewenangan bagi kepala Negara (eksekutif) untuk mengambil sesuatu dari
tangan seseorang, kecuali dengan cara yang dibenarkan"
Contoh
lain:
“Kebijakan
seorang pemimpin terhadap rakyatnya harus berorientasi kepada kemaslahatan.”
Kaidah
ini berasal dari kata-kata Imam al-Syafi'i yang berbunyi :
منْزِلةُ الْوالِيْ مِن الرّاعِيةِ
كمنْزِلةِ الْولِيِّ مِن الْيتِيْمِ
"Kedudukan
seorang pemimpin terhadap rakyatnya seperti kedudukan wali kepada anak
yatim"
Kata-kata
Imam al-Syafi'i ini setelah ditelaah ulama-ulama lain, terutama ulama di bidang
fiqih siyasah, akhirnya memunculkan kaidah tersebut di atas.
Hanya
saja sesudah jadi kaidah fiqih yang mapan dan dilegitimasi Al-Quran dan Sunnah,
kaidah tadi menjadi sumber dan di bawah kaidah itu dimunculkan kembali Fiqih
bahkan dikelompokkan lagi, inilah yang kita lihat di dalam kitab-kitab kaidah
Fiqih, setelah kaidah-kaidah Fiqih itu dibukukan.
Di
dalam proses pengujian kaidah-kaidah Fiqih oleh Al-Quran dan Sunnah sering
bertemu kaidah dengan hadits, maka hadits tersebut jadi kaidah, seperti:
الْبيِّنةُ على الْمُدّعِيْ
والْيمِيْنُ على الْمُدّعى عليْهِ
"Bukti/keterangan
wajib disampaikan oleh penggugat dan sumpah wajib diberikan oleh yang
mengingkari/tergugat" (HR. Muslim dari Ibnu
'Abbas),
Atau
juga hadits:
لا ضرر ولا ضِرار
"Jangan
memudaratkan dan jangan dimudaratkan"
(HR. Al-Hakim).
Hadits
ini digunakan untuk melegitimasi kaidah:
الضّررُ يُزالُ
"Kemudaratan
harus dihilangkan" (salah satu kaidah Fiqih
pokok yang lima)
Apabila
mau memunculkan kaidah-kaidah baru di dalam Fiqih maka harus ditelusuri dahulu Fiqihnya,
baru diukur akurasi kaidah tadi dengan banyak ayat dan banyak hadits,
selanjutnya didiskusikan dan diuji oleh para ulama, baru bisa dijadikan sebagai
kaidah yang mapan.
Kaidah
yang sudah mapan ini akan menjadi alat (metode) dalam menjawab problem-problem
di masyarakat dan memunculkan hukum-hukum Fiqih baru.
Misalnya
kaidah:
اْلأُمُوْرُ بِمقاصِدِها
“Semua
perkara itu tergantung kepada maksudnya”
Kaidah
ini berasal dari banyak materi Fiqih, karena di dalam Fiqih, nilai suatu
perbuatan tergantung kepada niatnya.
Di
dalam ibadah, apakah niat ibadah itu wajib atau sunnah, dilaksanakan tepat
waktu atau dengan cara qadha.
Dalam
muamalah, apakah menyerahkan barang itu dengan niat memberi (hibah) atau
meminjamkan.
Dalam
jinayah apakah perbuatan criminal itu dilakukan karena kesengajaan (dengan
niat) atau kesalahan (tanpa niat) dan seterusnya, semua itu hukumnya
dilandaskan kepada niat, maksud dan tujuannya.
Hukumnya
berbeda sesuai dengan niat dan tujuan masing-masing. Maka muncul kaidah
tersebut di atas. Kaidah tersebut dirujukkan kepada hadits:
إِنّما اْلأعْمالُ بِالنِّيّاتِ
"Setiap
perbuatan tergantung niatnya"
(HR. Bukhari Muslim dari Umar bin Khattab)
Juga
kepada Hadits:
رُفِع عنْ أُمّتِيْ الْخطأُ
والنِّسْيانُ وما اسْتُكْرِه عليْهِ
"Diangkat
dari umatku (tidak dituliskan berdosa) perbuatan karena keliru, lupa, dan
terpaksa" (HR. Ibnu Majah dari Ibnu 'Abbas)
Tidak
hanya dengan dalil itu saja tapi juga disandarkan kepada ayat-ayat Al-Quran
yang berubungan dengan niat, seperti ayat berikut :
"Dan
tidaklah ada dosa atasmu terhadap apa yang kami khilaf padanya, tetapi (yang
ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu" (QS. Al-Ahzab : 5)
Demikian
pula dalam surat an-Nisaa' ayat 92 dan 93 yang menyatakan adanya pembunuhan
karena kesalahan (tanpa niat) dan pembunuhan karena sengaja (dengan niat).
Selain
itu juga dirujukkan kepada tujuannya, baik atau buruk, apakah tujuannya
penipuan yang dilarang atau bertujuan baik untuk memberi manfaat kepada
manusia.
Dari
sini bisa diambil kesimpulan bahwa;
Pertama, apabila dirujukkan kepada hadits, dan ternyata
hadits-hadits tadi sama dengan kaidah, maka hadits tadi bisa menjadi kaidah di
kalangan Ulama Fiqih.
Kedua, kaidah yang dirujukkan kepada pemahaman nash-nash (Al-Quran
dan Al-Hadits), maka substansi pemahaman itulah yang jadi kaidah.
Seperti
telah disinggung di muka, setelah menjadi kaidah yang mapan, para ulama
mengelompokkan kembali materi-materi Fiqih yang masuk dalam kaidah tersebut dan
apa-apa yang keluar (pengecualian) sebagai contoh-contoh penerapan kaidah.
Misalnya,
dalam kitab al-Asybah wa al Nazhair, Imam al-Suyuthi menjelaskan kaidah:
اْلأُمُوْرُ بِمقاصِدِها
"Setiap
perkara tergantung kepada niatnya"
Al-Suyuthi,
membahas masalah niat dalam beberapa sub poko bahasan:
1.
Kaidah-kaidah niat dilegimitasi oleh hadits niat;
2.
Adanya masalah-masalah Fiqih yang lebih sempit di kelompokkan dan disandarkan
kepada kaidah tersebut, seperti masalah-masalah ibadah mahdhah, munakahat, dan
jinayat yang memiliki kaidah-kaidah tersendiri;
3.
Fungsi niat yang membedakan antara ibadah dan adat kebisaaan dan masalah Fiqih
yang tidak diperlukan niat;
4.
Ta’yin niat/menentukan niat lebih spesifik dalam hal perbuatan-perbuatan yang
serupa;
5.
Tempat niat adalah di dalam hati, hubungan antara talafuzh (melafazkan niat)
dengan apa yang ada di dalam hati, maka yang dianggap sah adalah apa yang ada
di dalam hati;
6.
Syarat-syarat niat adalah tahu ilmunya, tidak mendapatkan yang bertentangan
dengan niat;
7.
Perbedaan pendapat di dalam penerapan niat.
Dalam
hal ini, dengan mengambil pendapat al-Rafi'i, al-Suyuthi memunculkan dhabith,
yaitu:
النِّيّةُ فِي الْيمِيْنِ تُخصِّصُ
اللّفْظ اْلعامّ ولا تُعمِّمُ الْخاصّ
"Niat
di dalam sumpah mengkhususkan (yang diucapkan) dengan kata-kata yang umum dan
tidak bisa mengumumkan kata-kata yang khusus"
Bersumpah
dengan tidak menyebutkan nama orang atau sesuatu secara khusus maka harus
dijelaskan apa yang diniatkan itu siapa. Tetapi tidak sebaliknya, apa yang di
niatkan kepada seseorang, maka tidak bisa digeneralisir;
8.
Pembahasan tentang kasus-kasus tertentu secara khusus yang tersebut dalam
kitab-kitab Fiqih mazhab Syafi'i.
Dalam
kitab al-Qawa'id fi al-Fiqih, karangan Ibnu Rajab al-Hanbali, ada kaidah yang
berbunyi:
منْ تعجّل حقّهُ أوْ ما أُبِيْح لهُ
قبْل وقْتِهِ على وجْهٍ مُحرّمٍ عُوْقِب بِحِرْمانِهِ
"Barangsiapa
yang mempercepat haknya atau yang membolehkannya sebelum waktunya dengan cara
yang haram, maka ia dihukum dengan keharaman (dilarang) menerima hak
tersebut"
Contoh
kaidah ini adalah seperti ahli waris yang membunuh pewaris, maka ia dilarang
mendapatkan warisan tersebut.
Atau
ada orang yang menikahi wanita sebelum habis masa iddah-nya, maka ia diharamkan
untuk menikahi wanita tersebut.
Atau
ada orang yang memburu binatang dalam keadaan ihram, maka ia diharamkan memburu
binatang tersebut.
Kaidah
ini setelah dikritisi kemudian menjadi kaidah yang dianggap lebih mapan dengan
ungkapan:
منْ تعجّل بِشيءٍ قبْل أوانِهِ
عُوْقِب بِحِرْمانِهِ
"Barangsiapa
yang mempercepat sesuatu sebelum waktunya, diberi sanksi dengan haramnya hal
tersebut"
C. Manfaat, Objek dan Keutamaan
1. Manfaat
Adapun
manfaat dari mempelajari Kaidah Fiqih adalah memberi kemudahan di dalam
menemukan hukum-hukum untuk kasus-kasus hukum yang baru dan tidak jelas
nash-nya dan memungkinkan menghubungkannya dengan materi-materi Fiqih yang lain
yang tersebar di berbagai kitab Fiqih serta lebih memudahkan kita dalam
menentukan hukum.
2. Objek
Adapun
objek bahasan kaidah-kaidah Fiqih itu adalah perbuatan mukallaf itu sendiri,
dan materi Fiqih itu sendiri yang dikeluarkan dari kaidah-kaidah Fiqih yang
sudah mapan yang tidak ditemukan nash-nya secara khusus di dalam Al-Quran atau
Sunnah atau Ijma (konsensus para ulama).
3. Keutamaan
Orang
yang ingin memahami ilmu fiqih, akan mencapai kemahirannya dalam bidang fiqih
apabila dibekali dengan ilmu kaidah-kaidah Fiqih.
Oleh
karena itu ulama berkata :
"Barangsiapa
menguasai ushul fiqih, tentu dia akan sampai kepada maksudnya, dan barangsiapa
yang menguasai kaidah-kaidah Fiqih pasti dialah yang pantas mencapai
maksudnya"
D. Hubungannya dengan Ilmu lain
Kaidah
Fiqih adalah bagian dari ilmu fiqih. Ia memiliki hubungan erat dengan Al-Quran,
Al-Hadits, Akidah dan Akhlak.
Sebab,
kaidah-kaidah yang sudah mapan, sudah dikritisi oleh ulama, sudah diuji serta
diukur dengan banyak ayat dan hadits nabi, terutama tentang kesesuiannya dan
substansinya.
Apabila
kaidah Fiqih tadi bertentangan dengan banyak ayat Al-Quran ataupun Hadits yang
bersifat dalil kulli (general), maka dia tidak akan menjadi kaidah yang mapan.
Oleh
karena itu, menggunakan kaidah-kaidah Fiqih yang sudah mapan pada hakikatnya
merujuk kepada Al-Quran dan Hadits, setidaknya, kepada semangat dan kearifan
Al-Quran dan Hadits juga.
E. Perkembangan Kaidah
Para
pencetus dan pengembang kaidah-kaidah Fiqih adalah ulama-ulama yang sangat
dalam ilmu dan wawasannya dalam ilmu fiqih sampai muncul Imam Abu Thahir
al-Dibasi yang hidup pada akhir abad ke-3 dan awal abad ke-4 Hijriyah, yang
baru mengumpulkan 17 kaidah Fiqih.
Di
kalangan tiap mazhab, ada banyak ulama yang menjadi pelopor dan tokoh dalam
bidang kaidah Fiqih.
Dalam
mazhab Asy-Syafi'iyah, ada ulama besar yang bernama Imam 'Izzuddin bin Abd
al-Salam (w.660 H), beliau telah menyusun kitab berjudul Qawa'id al-Ahkam fi
Masailil al-'Anam (kaidah-kaidah hukum untuk kemaslahatan manusia).
Intinya
menjelaskan tentang maksud Allah mensyariatkan hukum, dan semua kaidah
dikembalikan kepada kaidah pokok yaitu:
جلْبُ الْمصالِحِ ودرْءُ الْمفاسِدِ
"Meraih
yang maslahat dan menolak yang mafsadah"
Keseluruhan
taklif yang tercermin di dalam konsep al-ahkam al-khamsah, (wajib, sunnah,
mubah, makruh dan haram) tujuan adalah kembali kepada kemaslahatan hamba Allah
di dunia dan akhirat.
Bagaimanapun
ketaatan hamba, tidak akan menambah apa-apa kepada kemahakuasaan dan
kemahasempurnaan Allah. Demikian pula sebaliknya, kemaksiatan hamba tidak akan
mengurangi apapun terhadap kemahakuasaan dan kemahasempurnaan Allah.
F. Kaidah Kubra dan Turunannya
Para
ulama yang menyusun berbagai kaidah fiqhiyah mengumpulkan berbagai kaidah
sesuai dengan tema utamanya, yang disebut dengan kaidah kubra.
Masing-masing
kaidah kubra ini memiliki kaidah-kaidah turunan, yang menjelaskan lebih detail
tiap pengembangan dari masing-masing kaidah kubra.
1. Kaidah Kubra Pertama
الأُمُورُ بِمَقَاصَدِهَا
Segala
sesuatu tergantung tujuannya
a.
Kaidah Turunan Pertama
العِبْرَةُ فيِ العُقُودِ
بِالمـَقَاصِدِ وَالمـَعاَنيِ لاَبِالأَلْفَاظِ وَالمـَبَانِي
“Yang
dapat dijadikan pegangan dalam akad adalah maksud dan makna; bukan lafadz dan
bentuk perkataan”
Contoh
Jika
ada seseorang yang mengatakan kepada temannya, “Aku hadiahkan mobil ini
kepadamu dengan catatan berikan mobilmu itu kepadaku”, maka akad yang terjadi
disini bukanlah hadiah, walaupun dia mengatakan itu hadiah.
Karena
makna dan maksud akad tersebut sudah jelas, yaitu jual beli (barter). Dan dalam
akad, yang dijadikan pijakan adalah maksud dan makna bukan lafadz dan bentuk
perkataan.
Sedangkan
yang dimaksud dengan hadiah adalah pemberian yang tidak membutuhkan imbalan
dalam bentuk apa pun.
b.
Kaidah Turunan Kedua
النية في اليمين تخصص اللفظ العام و
لا تعمم الخاص
“Dalam
sumpah, niat mampu menspesifikasi kata yang masih umum namun tidak bisa merubah
kata yang bermakna khusus menjadi umum”
Contoh
Kaidah
ini membutuhkan dua contoh. Karena kaidah ini memiliki dua bagian yang berbeda.
Pertama Takhsis al-‘Aam bi An-Nyiyah dan kedua Ta’mim al-Khas bi an-Niyyah.
Untuk
bagian pertama, bisa diterapkan dalam kasus seperti ketika ada seseorang yang
bersumpah untuk tidak berbicara dengan siapapun, namun dalam hatinya dia
meniatkan hanya tidak berbicara kepada Zaid saja, maka dia tidak dianggap
melanggar sumpah jika berbicara dengan selain zaid. Sebab, meski lafadz
sumpahnya adalah umum yaitu; tidak berbicara dengan siapapun, tapi niat dalam
hatinya khusus yaitu tidak mengajak bicara pada si Zaid saja. Dan dalam sumpah,
niat mampu menspesifikasi kata yang masih umum.
Sedangkan
untuk bagian kedua yaitu Ta’mim al-Khas bi an-Niyyah bisa diterapkan dalam
kasus berikut; Jika ada seseorang yang bersumpah untuk tidak meminum air si
Fulan jika merasa haus, namun dalam hatinya dia berniat untuk tidak mengambil
manfaat apapun dari air tersebut sama sekali, maka berdasarkan kaidah ini, ia
tidak dianggap melanggar sumpahnya dengan memanfaatkan air si Fulan itu untuk
mandi.
Karena
lafadznya khusus dalam satu manfaat yaitu; minum karena haus. Sedangkan niat
dalam hatinya yang umum yaitu; tidak mengambil manfaat apapun, tidak bisa
membuat lafadz khusus itu menjadi umum.
Kaidah
(bagian kedua) ini berlaku di dalam madzhab syafi’iyyah dan sebagian hanafiah.
Namun beberapa madzhab yang lain menganggap si pengucap sumpah telah melanggar
sumpahnya karena mandi dengan air tersebut. Pasalnya niat yang umum dalam hati
tersebut -menurut madzhab ini- bisa membuat lafadz sumpah yang khusus itu menjadi
umum.
c.
Kaidah Turunan Ketiga
مقاصد اللفظ على نية اللافظ إلا في
اليمين عند القاضي
“Maksud
atau kandungan makna suatu perkataan akan diserahkan sepenuhnya kepada orang
yang mengucapkan, kecuali dalam masalah sumpah diahadapan qadhi (hakim)”
Contoh
Penerapannya :
Pada
dasarnya ucapan atau lafadz sumpah diserahkan maksud dan maknanya langsung
kepada orang yang mengucapkan. Sehingga, sebagaimana kata-kata yang lain,
sumpah juga berpeluang untuk diinterpretasikan beragam sesuai kehendak orang
yang mengucapkan.
Namun,
ketika sumpah dijadikan oleh fiqih sebagai salah satu jalan keluar penyelesaian
suatu sengketa, maka penafsiran lafadz sumpah -yang diucapkan oleh salah satu
pihak yang bersengketa di Meja Hijau- diserahkan kepada hakim. Karena
pengadilan adalah institusi yang rawan akan intrik, manipulasi fakta dengan
kata-kata ataupun tipu muslihat.
Maka,
ketika seorang hakim meminta kepada terdakwa untuk bersumpah, penafsiran lafadz
sumpahnya diserahkan sepenuhnya kepada sang Hakim.
Sebagai
contoh, si Terdakwa kasus piutang telah bersumpah bahwa ia tidak pernah
berhutang kepada pendakwa sama sekali. Dalam hatinya, ia niatkan bahwa
maksudnya adalah tidak berhutang pada tahun yang lalu.
Maka
niat itu tidak berfungsi sama sekali disini. Ia tetap dianggap telah melanggar
sumpahnya itu. Sebab, meski maksud atau kandungan makna suatu perkataan pada
dasarnya diserahkan sepenuhnya kepada orang yang mengucapkan, hanya saja hal
tersebut tidak berlaku jika kata-kata itu berupa sumpah yang diucapkan di
hadapan hakim atau Meja Hijau.
2. Kaidah Kubra Kedua
اليقين لا يزال بالشك
“Keyakinan
tidak dapat dihilangkan oleh kebimbangan”
a.
Kaidah Turunan Pertama
الأصل بقاء ما كان على ما كان
“Hukum
Asal adalah ketetapan yang telah ada/dimiliki sebelumnya”
Contoh
Penerapannya:
Jika
seseorang telah berwudhu untuk shalat fardhu, dan setelah shalat ia masih
merasa yakin dalam kedaan suci, namun ketika hendak shalat fardhu berikutnya ia
ragu apakah sudah batal atau belum, maka ia dihukumi tetap dalam keadaan suci.
Karena itulah ketetapan awalnya yang telah ada sebelumnya. Dan hukum asal
adalah ketetapan awal itu.
b.
Kaidah Turunan Kedua
الأصل في الأشياء الإباحة
“Hukum
Asal segala sesuatu adalah boleh”
Contoh
penerapannya :
Jika
ada hewan yang tidak jelas dan buram perkaranya, maka hewan tersebut dianggap
halal dimakan. Contoh hewan seperti ini –seperti yang dicontohkan Imam Suyuti-
adalah Jerapah. Menurut Imam As-Subki, pendapat yang dipilih adalah bahwa
Jerapah boleh dimakan, karena hukum asal segala sesuatu adalah boleh.
Jadi
dalam tataran praktis, kaidah ini dapat diterapkan jika kita menemukan hewan,
tumbuhan, atau apa saja, yang belum diketahui status hukumnya dalam syariat.
Semua jenis barang tersebut dihukumi boleh sesuai substansi yang dikandung
kaidah ini. Namun, perlu diperhatikan disini, bahwa sebenarnya masih ada
perbedaan pendapat dikalangan para fuqaha seputar hukum asal segala sesuatu.
c.
Kaidah Turunan Ketiga
الأصل في الأبضاع التحريم
“Hukum
Asal Abdha’(farji) adalah haram”
Contoh
penerapannya:
Jika
ada seseorang yang mempunyai empat istri kemudian dia mantalak salah satunya,
tapi di kemudian hari dia lupa siapa istri yang telah ia talak? Maka haram
baginya untuk berhubungan intim dengan mereka semua karena adanya keraguan akut
tentang siapa yang telah menjadi haram baginya. Karena walaupun yang haram Cuma
satu, namun hukum asal Abdha’(farji) adalah haram. Keharaman ini berlangsung
sampai jelas siapa yang telah ditalaknya.
Para
ulama berbeda pendapat dalam menyelesaikan kasus seperti diatas. Ada yang
berpendapat dengan cara diundi dan ada yang berpendapat harus ditunggu sampai
benar-benar jelas.
d.
Kaidah Turunan Keempat
الأصل في الكلام الحقيقة
“Hukum
Asal dalam perkataan adalah makna hakiki”
Contoh
penerapannya:
Jika
ada seseorang bersumpah tidak akan menjual rumahnya, maka ia tidak dianggap
melanggar sumpah jika mewakilkan ke orang lain untuk menjualnya. Karena makna
hakiki menjual adalah dirinya sendiri yang menjual langsung bukan orang lain
yang menjual atas nama dirinya. Dan hukum asal dalam perkataan adalah makna
hakikinya.
e.
Kaidah Turunan Kelima
الأصل براءة الذمة
“Hukum
Asal adalah bebas dari tanggungan”
Contoh
penerapannya :
Jika
ada seseorang merusak barang milik orang lain yang harga belinya -sejauh
pengetahuan si perusak- sekitar sekian rupiah. Namun ternyata si pemilik
mengatakan bahwa harga belinya diatas harga yang diketahui si perusak. Dan si
pemilik tidak bisa menunjukkan bukti atas harga yang diklaimnya itu. Maka klaim
yang diterima adalah klaim si perusak dengan disertai sumpah. Karena hukum
asalnya adalah terbebasnya si perusak dari beban atau tanggungan tambahan harga
yang diklaim si pemilik.
3. Kaidah Kubra Ketiga
المشقة تجلب التيسير
“Kesulitan
itu akan mendorong kemudahan”
a.
Kaidah Turunan Pertama
إذا ضاق الأمر اتسع و إذا اتسع الأمر
ضاق
“Ketika
sesuatu menyempit, maka hukumnya menjadi luas (ringan), dan Ketika keadaan
lapang, maka hukumnya menjadi sempit (ketat)”
Contoh
penerapannya :
Jika
ada seseorang memiliki tanggungan hutang yang sudah jatuh tempo pembayarannya,
namun dia benar-benar belum memiliki uang untuk membayar, maka pembayarannya
wajib untuk ditunda. Atau jika ia tidak bisa melunasinya secara kontan maka
pembayarannya boleh dengan cara diangsur.
Karena
sebuah perkara jika menyempit, hukumnya jadi luas (longgar). Namun jika ia
tiba-tiba mendapatkan rizki yang dengannya ia mampu melunasi seluruh hutangnya,
maka wajib baginya untuk segera melunasinya. Sebab, sebuah perkara jika sudah
lapang, maka hukumnya kembali menyempit (ketat).
b.
Kaidah Turunan Kedua
الضرورات تبيح المحظورات
“Kondisi
dharurat akan memperbolehkan sesuatu yang semula dilarang”
Contoh
penerapannya :
Jika
ada seseorang hampir-hampir mati karena kelaparan, dan tidak ada yang bisa
dimakan kecuali bangkai yang diharamkan, maka baginya diperbolehkan untuk
memakan bangkai tersebut untuk menghilangkan rasa lapar yang sangat. Karena
kondisinya saat itu adalah dharurat sehingga ia diperbolehkan untuk mengonsumsi
atau melakukan seseuatu yang semula dilarang.
c.
Kaidah Turunan Ketiga
الضرورة تقدر بقدرها
“Dharurat
harus diukur kadar dharuratnya”
No comments:
Post a Comment