Thursday, March 19, 2015

MANTIQ DALAM LELUCON



LOGIKA ILMU MANTIQ DALAM LELUCON

BY M.RAKIB PEKANBARU RIAU INDONESIA
Diharapkan setiap pemimpin , guru atau penegak hukum, hendaknya mempelajari ilmu mantiq agar tidak “sesat-pikir” dalam memahami perkara2 apapun, termasuk ilmu syariat terutama terhadap ide yang beliau usung.

Tetapi benarkah kita harus memahami ilmu mantiq untuk memahami Islam? Apakah ada dalil2 Qurani (Al Quran dan Sunnah) yang mewajibkan kita akan hal itu?? atau Apakah para sahabat radhiallahu’anhum belajar ilmu mantiq?? Apakah imam2 madzhab 4 juga mempelajari ilmu mantiq?? jawabannya adalah tidak benar dan tidak pada tempatnya kita harus mempelajari ilmu mantiq untuk memahami syariat agama ini.



ANEH  TAPI NYATA
Ketika remaja, merampok dan membunuh
Nasehat orangtua, tiada berpengaruh
Emosinya tinggi, tiada bertangguh
Sekali terasa, langsung dikayuh.



Dalam buku Metode Pemikiran Islam (bahasa kerennya Manhajut Tafkir Al Islami) buah karya Prof DR Ali Gharishah ketika menjelaskan hubungan akal dengan wahyu, beliau berkata “..Pertautan antara akal dengan wahyu itu telah memberikan hasil guna yang positif sekali. Dan karena itu lahirlah berbagai ilmu, seperti : Ilmu Fiqh, Ilmu Usul Fiqh, Ilmu Musthalah Hadits,

PERAN ILMU MANTIQ   DALAM  LELUCON DI BAWAH INI :
1) Maaf lelucon ini yang paling kuno.”Tidak asal sergap Di dalam bis kota yang berjubel penumpang, seorang penumpang yang berdiri bertanya kepada penumpang yang berdesakan di depannya yang badannya kekar, tegap, dan berambut cepak, yang juga tidak kebagian tempat duduk.

“Maaf, Pak, apakah sampiyan tentara?” (dengan logat khas Bangkalan!)
“Bukan.”
“Sampiyan angkatan udara?”
“Bukan juga.”
“Marinir ya?”
“Ah bukan ... Ada apa to sebenarnya!” (dengan logat khas Jogja)
“O tahu saya, … sampiyan pasti polisi.”
“Polisi? Bukan!”
“Kalau begitu, ...
jancuk sampiyan!”
“Lho lho lho ... kenapa marah?”
“Ini sampiyan ’nginjak kaki saya dari tadi.”


Selain dari Kiyai, Habib, yang dihorati orang Madura adalah pejabat keamanan negara. Tidak terlalu penting dipersoalkan di sini lelucon ini empiri faktual ataukah sekadar imajinasi fiksional. Lelucon etnis tersebut memang hidup dan menyebar di obrolan sehari-hari dan media massa, hingga sekarang. Sebagai produk budaya lisan, lelucon ini anonim; siapa penciptanya sulit diketahui (Brunvand, 1968) serta tampak tidak berharga. Akan tetapi, dari sudut pandang disiplin folklor, lelucon tersebut bukan soal sepele. Ia, misalnya, akan disorot sebagai sistem proyeksi (projective system) dan sebagai refleksi protes sosial suatu kolektif (Bascom & Wang dlm. Dananjaya, 1984). Dari perspektif komunikasi lintasbudaya, isi lelucon ini dan juga interpretasi terhadapnya sarat dengan etnosentrisme, stereotipe, dan prasangka (cf. Rogers & Steinfatt, 1999).

Lelucon ini cukup menghibur—terutama bagi kolektif non-Madura. Bagaimana di mata kolektif Madura sendiri? Apakah semua lelucon yang menyangkut etnis Madura selalu dipersepsi sebagai humor di mata etnis ini? Suka atau tidak, lelucon-lelucon semacam ini akan terus mengalir. Bagaimanakah seyogianya menyikapi lelucon-lelucon tersebut dalam kerangka pengembangan komunikasi lintasetnis yang mengedepankan spirit toleransi, menghormati perbedaan, menenggang rasa satu sama lain? Di seputar persoalan-persoalan inilah pembahasan makalah ini dijabarkan.

Data lelucon dalam tulisan ini sebagain diambil dengan menjaringnya di lapangan dan sebagian lain dari sumber tertulis, yaitu Humor Madura untuk Penyegar Jiwa (Musa, 2006) dan Folklore Madura (Nadjib, 2009). Perlu diketahui bahwa lelucon atau humor Madura yang tertulis sesungguhnya merupakan reproduksi dari lelucon etnis Madura yang tersebar luas di masyarakat.

Tiga Jenis Lelucon Etnis Madura


Dalam suatu tulisan yang terbaca di internet bahwa Antropolog putra Madura tulen A. Latief Wiyata (2008) pernah melontarkan kegalauannya bahwa kebanyakan lelucon etnis Madura yang beredar di masyarakat bernada melecehkan harga diri orang. Sementara itu, seorang politisi Wakil Ketua DPW PKB Jawa Timur yang konon juga putra Madura, M. Mas’ud Adnan (2006), menilai bahwa humor-humor Madura itu suatu bentuk penghargaan positif terhadap eksistensi etnis ini. Kedua tokoh ini berseberangan di titik ekstrem dalam merespon lelucon Madura. Berdasarkan kedua pandangan diametral tersebut—beruntung sekali!—penulis tinggal memungutnya dalam membuat klasifikasi lelucon etnis Madura sbb.: (a) lelucon positif, (b) lelucon negatif, dan sisanya (c) lelucon netral.

Lelucon Positif

Lelucon bernada positif terhadap etnis Madura besar kemungkinan diciptakan oleh kalangan internal Madura sendiri atau oleh orang non-Madura yang bersimpati-empati kepada Madura. Lelucon positif bernada menghargai serta menggali sisi-sisi positif tradisi dan karakter etnis Madura. Untuk memahami lelucon ini, dibutuhkan pemahaman kultural etnis Madura (cf. Bouvier, 2002). Perhatikan lelucon (2)!

2) Untuk menyambut kunjungan rombongan menteri, sebuah pesantren menggelar upacara resmi. Khusus kali ini ada tambahan acara: pembacaan Pancasila, lagu kebangsaan ”Indonesia Raya”, dan lagu wajib ”Satu Nusa Satu Bangsa”—tidak ketinggalan pembacaan ayat suci AlQur’an dan pidato.

Protokol: ”Pembacaan Pancasila.”
Petugas: ”Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Satu, Pancasila. Dua, Ketuhanan Yang Maha Esa. Tiga, Kemanusiaan yang adil dan beradab. Empat, Persatuan Indonesia. Lima, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Enam, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
(Dan seterusnya ... sampai menyanyikan lagu wajib.)
Protokol: ”Menyanyikan lagu wajib.”
Petugas: ”Ambil suara .... Saaa .....
Peserta: ”Shaaa ......
Petugas: ”Satu ... dua ... tiga ...
Peserta: ”Shalatullah salamullah …”

Bahwa mungkin ada pihak yang menafsirkan lelucon (2) sebagai negatif—itu tidak disangkal. Akan tetapi, penulis mengapresiasi lelucon ini secara lain dengan pendekatan interpretif subjektif (Mulyana, 2001). Apresiasi penulis terhadap lelucon (2) berujung pada dua tafsir.
Pertama, mengawali pembacaan teks Pancasila dengan salam Islam (assalamu’alaikum ...) dan ”Satu nusa satu bangsa” yang terpeleset menjadi ”Shalatullah salamullah …” seyogianya dipahami sebagai realitas bahwa masyarakat Madura sangat religius islamis (Rifai, 2007). Madura identik Islam. Adalah terasa ganjil jika ada orang Madura nonmuslim. Identitas keislaman amat penting bagi orang Madura (Wiyata, 2007a). Biarpun kadang terdapat deviasi/kontradiksi antara ajaran Islam (formal dan substantif) dan pola perilaku sosiokultural, dalam konteks religiusitas, masyarakat Madura dikenal memegang kuat ajaran Islam (Taufiqurrahman, 2006).

Kedua, jika harus dikomparasikan, loyalitas warga Madura kepada ulama (ustadz, kiai) lebih tinggi dibandingkan dengan loyalitasnya kepada umara (birokrat pemerintah). Hal ini merefleksikan kepatuhan hierarkis warga Madura kepada bhuppa’ bhabhu’ ghuru rato (ayah, ibu, ulama/kiai, dan terakhir pemimpin formal birokrasi) (Wiyata, 2007a). Kepatuhan pada dua yang pertama bukan luar biasa—seperti itu jugalah etnis lain: Batak, Jawa, Minahasa, Tionghoa, dll. Akan tetapi, kepatuhan pada dua yang terakhir adalah khas Madura (Wiyata, 2008). Jelas di sini pemimpin agama dipandang lebih penting daripada pemimpin birokrasi (pemerintah); meskipun sama-sama dihormati, seorang kiai diberi penghormatan lebih tinggi ketimbang bupati, misalnya. Maka, dengan konteks lelucon (2), warga Madura lebih hafal ”Shalawat Badar”, sebagai cermin dari apa pun yang bersangkutan dengan agama, ketimbang lagu wajib ”Satu Nusa Satu Bangsa”, sebagai cermin dari apa pun yang menyangkut urusan negara, pemerintah, politik birokrasi.

Bagaimana dengan lelucon (1) tentang ”Orang Madura dan Tentara”—di bagian Pendahuluan? Lelucon ini pun lelucon positif—dengan pengertian tidak melecehkan harga diri orang Madura. Paling tidak, dalam hal ini, dapat dicatat dua interpretasi berikut:

Pertama, penumpang yang kebetulan berdarah Madura tersebut menampakkan dengan jelas kepatuhannya kepada kelompok rato. Dalam konteks ini tentara, marinir, angkatan udara, dan polisi harus dibaca sebagai aparat pemerintah (rato) (Wiyata, 2007a). Maka, nilai budaya kepatuhan hierarkis warga Madura kepada bhuppa’ bhabhu’ ghuru rato kembali menampakkan sosoknya. Seandainya penumpang yang menginjak tersebut salah satu dari TNI/Polri, dapat dipastikan penumpang Madura tersebut tidak akan menyemprotkan umpatan supervulgar jancok.

Kedua, etnis Madura amat membela kehormatan harga diri dan mengekspresikannya. Intensitas semangatnya membela harga diri, di mata etnis non-Madura, berada dalam takaran berlebihan. Karena itu, orang Madura pantang dihina, direndahkan, atau dipermalukan, sejalan dengan pepatah klasik ango’an apotèya tolang ètèmbang potèya mata, yang intinya kurang lebih ’lebih baik mati daripada menanggung malu’ (Rifa’i, 2007). Bila demikian, secara tersirat, selama diperlakukan dengan baik, orang Madura juga tidak akan mempermalukan orang lain (ajjha’ nobi’an orèng mon aba’na ta’ enda’ ètobi’) (cf. de Jonge, 2002). Harga diri merupakan nilai sangat mendasar bagi etnis Madura. Dasar harga diri adalah sifat malo dan todus (rasa malu). Bagi orang Madura, mempermalukan seseorang di muka umum dianggap menghina harga diri dan martabatnya. Karena itu, lelaki yang tidak membalas penghinaan tersebut adalah lelaki yang tada' ajina (tidak ada harganya). Apalagi, jika rasa malu itu menyangkut kehormatan keluarga, ia wajib mempertaruhkan nyawa untuk membelanya. Dari sinilah tradisi sadis carok bermula (Wiyata, 2006). Lelaki Madura yang tidak berani membela kehormatan keluarganya akan diejek sebagai banci atau perempuan.

Orang Madura itu keras? Menurut Wiyata (2007), karakter orang Madura bukan keras, melainkan tegas memegang prinsip hidup—tegas dalam perangai, sikap, dan perilaku spontan dan ekspresif. Orang Madura hampir tidak mengenal perangai, sikap dan perilaku ”basa-basi”—terutama di luar bhuppa’ bhabhu’ ghuru rato.

Sebaga produk budaya folklor, lelucon (1) berfungsi sebagai sistem proyeksi (Bascom & Wang dlm. Dananjaya, 1984), yang memantulkan angan-angan suatu kolektif, baik bagi Madura maupun etnis lain. Bagi etnis lain, lelucon ini dapat menjadi media belajar mengenal karakter etnis Madura yang tegas, ekspresif, dan spontan, serta sangat menghormati aparat. Bagi etnis Madura sendiri, lelucon (1) menggemakan spirit keberanian menyuarakan hak.
Fungsi sebagai sistem proyeksi sekaligus protes sosial kembali ditunjukkan oleh lelucon (3) ”Pak Kades dan Pemilu” sebagai berikut.

3) Dalam sebuah Pemilu 1997 seorang kepala desa (kades) marah besar kepada rakyatnya lantaran di desanya Golkar kalah oleh PPP.

Pak Kades: Saudara-Saudara tidak jujur kepada saya. Katanya akan membantu saya dalam Pemilu. Ini kok Golkar malah kalah. Saya sangat kedcewa.
Tokoh Masyarakat: Pak Kades jangan rah-marah begitu. Dalam lima tahun, sepanjang 1.824 hari kami patuh membantu Bapak. ’Kan hanya 1 hari saja kami membantu Pak Kiai, ... masa nggak boleh. (1 tahun = 365 hari; 5 tahun = 5 x 365 = 1.825 hari. dj)

Lelucon (3) menggambarkan dengan jelas betapa masyarakat Madura sangat patuh pada kiai (ghuru) di atas kepatuhannya pada kepala desa (rato). Di samping itu, lelucon ini juga merefleksikan nyali perlawanan terselubung—menentang mobilisasi politis yang mengharuskan rakyat mencoblos Golkar di setiap pemilu di era Orde Baru.
Selain fungsi tersebut, lelucon etnis Madura dapat juga berfungsi sebagai alat pendidikan dan juga alat pemaksa agar norma dipatuhi (Dananjaya, 1984). Perhatikan lelucon (4).

4) Tole: Kata ayah, buyut dan kakek saya tidak mengalami pikun karena beliau perokok berat.
Brudin: Ah, yang bener, Le. Masak karena merokok bisa terhindar dari pikun.
Tole: Mana bisa pikun, wong sebelum lanjut usia sudah meninggal karena batuk dan paru-paru.

Alat pendidikan ini diperuntukkan bagi anak-anak, dan bukan orang dewasa. Sebab, seperti halnya pada etnis lain, orang dewasa yang telanjur sebagai perokok akan sangat sulit diingatkan dengan nasihat apa pun—termasuk dengan lelucon semacam (4). Akan tetapi, demi kelangsungan jiwa, dengan segala cara, nasihat itu harus ditingkatkan menjadi norma (jangan merokok, nanti cepat mati!). Tetap tidak bisa dijamin bahwa orang Madura dewasa ikhlas berhenti merokok setelah mendengar lelucon ini. Meskipun demikian, spirit lelucon ini jelas positif: merefleksikan nilai-nilai ideal kolektif (Dundes, 1965) dalam bidang kesehatan.

Lelucon Negatif

Lelucon negatif terhadap etnis Madura besar kemungkinan diciptakan oleh kalangan eksternal non-Madura yang kurang bersimpati-empati kepada Madura atau juga oleh orang Madura sendiri untuk kalangan internal eksklusif secara esoteris—setidaknya pada awalnya. Lelucon negatif bernada merendahkan, menganggap bodoh, dan bahkan melecehkan kehormatan kolektif Madura. Sebelumnya hendaknya dipahami, apa yang disebut sebagai melecehkan di sini dilihat dengan perspektif interpretif-subjektif (Mulyana, 2001). Perhatikan lelucon (5) ”Pedagang Telur”!

5) Seorang ibu PKL menjajakan telornya di Pelabuhan Kamal. Salah seorang turis domestik (dari Semarang) tertarik untuk beli oleh-oleh buat keluarga, maka ia mendekati penjual telor.

Penjual: ”Telor telor! Mari, Mas, telurnya sar-besar, teng-ganteng nih kayak yang beli.
Turis: ”Ini telur ayam ya, Bu?”
Penjual: ”Ya, telor ayam. Murah, sar-besar.”
(Turis domestik kelihatan memegang-megang semua telor. Belum ada tanda-tanda mau membeli. Penjual mulai tak sabar).
Turis: ”Segini kok besar to, Bu. Kecil-kecil gini lho. Kalau saya pingin telur ayam yang besar-besar, buat oleh-oleh”.
(Rayuannya nggak mempan dan dagangannya dikritik, kontan penjual balik ke sifat aslinya, lupa akan semangat enterpreneurship-nya).
Penjual: ”Sampiyan iku yok opo sih, Cak?! Ini kan sudah ukuran dari sananya! Lha nek nuruti sampeyan, dobol kabeh silite pitik. Ganteng-ganteng ... goblok!”.

Dengan berpayung pada perspektif interpretif-subjektif, yang mencoba berempati kepada etnis Madura, dapat dimengerti kekesalan ibu pedagang telor: sudah lama memilih-milih, tak segera menawar, mengkritik lagi! Akan tetapi, dalam dunia bisnis, pembeli harus diperlakukan layaknya seorang raja. Secerewet apa pun, senyinyir apa pun, calon pembeli mesti dihormati—itulah prinsip dasar berdagang, sebagai salah satu wujud semangat enterpreneurship.

Lelucon (5) adalah produk stereotipe yang dilekatkan oleh orang-orang non-Madura. Di sini pedagang beretnis Madura distereotipekan berkarakter tidak sabar, kasar, mau menangnya sendiri, dan temperamental (de Jonge, 1995; Bouvier, 2002). Sebagai stereotipe, tentu saja persepsi tentang karakter-karakter ini dilebih-lebihkan dan digeneralisasi, sehingga tidak selalu benar dan seringkali mendistorsi realitas (Rogers & Steinfatt, 1999: 228). Cukup banyak lelucon etnis Madura yang berbalut stereotipe, misalnya lagi lelucon (6) ”Pedagang Pisang” dan (7) ”Pedagang Jeruk”.

6) Penjual: ”Pisang tanduk, pisang tanduk, … panjang, besar, manis. Silakan pilih sendiri”.
Pembeli: ”Ah …, pisangnya kecil-kecil pendek-pendek begini lho....!”

Penjual: ”Boo-aboo …, kalau seperti ini dibilang kecil-kecil, pendek-pendek, ya beli sajja belalainya gajah!”
7) Pembeli: “Jeruknya manis, Pak?”
Penjual: “Silakan dicoba, Mbak.”.
Pembeli: “Baiklah. Saya beli sekilo.”
(Sesampai di rumah, jeruk dimakan. Ternyata semuanya kecut. Maka, sambil marah didatangilah penjual jeruk itu)
Pembeli: ”Bapak ini bohong! Jeruk kecutnya kayak gitu kok dibilang manis”.
Penjual: ”Boo-abbo, sampiyan jangan marah dulu. Yang bilang manis ’kan sampiyan. Saya cuma bilang “silakan coba”, kan? Saya suruh nyoba, sampai langsung beli. Dan lagi, sampiyan jangan dit-medit. Cuma beli sekilo, sampiyan sudah marah. Lihat ..., saya yang terlanjur tiga karung … nang-tenang saja. Nggak rah-marah kayak sampiyan”.

Di samping berbalut stereotipe, lelucon negatif etnis Madura juga berbasis etnosentrisme. Dalam komunikasi yang bersuasana etnosentristik, suatu kolektif secara tidak sadar akan menganggap budaya sendiri superior dan budaya kolektif lain inferior (Rogers & Steinfatt, 1999: 50). Selanjutnya, ia akan memahami pesan budaya kolektif lain dengan parameter budaya sendiri. Tutur klasik ”jangan mengukur baju di badan sendiri” akan dianggap sepi. Etnosentrisme, pendeknya, merupakan arogansi kultural suatu kolektif. Perhatikan lelucon (8)!

8) Sebuah jeep yang dikendarai sepasang turis asing sedang mencari tempat parkir di stadion tempat berlangsungnya karapan sapi. Tiba-tiba mobil tersebut ditabrak dari belakang oleh sepeda motor yang dikendarai oleh Brudin, pemuda setempat.
Turis (fasih bahasa Indonesia): ”Saudara bersalah karena menabrak dari belakang. Saudara harus membayar biaya perbaikan mobil saya.”

Brudin: ”Enak saja. Saudara yang bersalah, harus membayar biaya perbaikan sepeda motor saya!”
Turis: ”Di mana salah saya?! Saya pelan cari tempat parkir, Saudara tabrak dari belakang.”
Brudin: ”Salah Saudara adalah datang di Pulau Madura. Coba kalau nggak datang ke sini, pasti tak terjadi tabrakan.”

Sebagai produk budaya lisan, lelucon (8) tentulah tidak benar-benar terjadi. Teks lelucon ini hendaknya dibaca dari dua sisi. Pertama, dari sisi substansi, tindakan dan pernyataan Brudin jelas menggambarkan etnosentrisme. Penilaian benar-salah, baik buruk, senantiasa didasarkan pada kepentingan subjektif kolektif etnisnya (cf. Rahardjo, 2005). Dalam hal ini, Brudin adalah pelaku, sedang turis asing korban. Kedua, dari sisi interpretasi, besar kemungkinan siapa pun akan membuat tafsir kurang lebih sama bahwa pemuda konyol tersebut adalah Madura. Lelucon ini sengaja diciptakan untuk mengkonstruksi pesan rasial-etnis bahwa Madura itu etnosentris. Pada yang kedua, Brudin sebagai representasi etnis Madura adalah korban rekayasa simbolis etnosentrisme, sedangkan pelakunya bisa pencipta lelucon ini, bisa pula penafsir/pembaca/ pendengar. Untuk melengkapi lelucon ini, silakan dibaca lelucon (9).

9) Brudin: ”Cong, siapa Gubernur Jawa Timur sekarang?”

Kacong: ”Bapak Mohammad Noer!”
Brudin: ”Lha, ... Pakde Karwo itu siapa?”
Kacong: ”Itu kan penerusnya.”
Brudin: ”Lho, mobil No Pol L-1 kok dipakai Pakde Karwo?”
Kacong: ”Ah ..., itu kan lungsurannya.”

Lelucon negatif tak selalu berbasis prasangka rasial stereotipe dan etnosentrisme; ia bisa juga tampil mengemuka untuk mempertontonkan kebodohan etnis ini. Meskipun, diciptakan untuk merendahkan etnis dimaksud. sampai batas tertentu, lelucon tersebut justru malah mengundang simpati iba sekaligus menggelikan. Perhatikan lelucon (10) ”Radio Transistor” dan lelucon (11) ”Surat Undangan”!

10) Saat ibadah haji, Brudin membeli sebuah radio transistor kecil di Jeddah. Setiap dihidupkan, yang terdengar selalu siaran dan lagu dalam bahasa Arab. Brudin mengira itu semua adalah orang mengaji Qu’ran dan musik qasidah.
Begitu kembali di kampung halaman, kepada semua tamu ia memamerkan bahwa radionya hanya mau menyiarkan pengajian dan lagu qasidah. Ketika kemudian disetel, yang terdengar ternyata adalah siaran dalam bahasa Indonesia, bahasa Madura, dan lagu-lagu dangdut.
”Aneh sekali radio ini,” kata Brudin. ”Waktu di Arab ia pandai mengaji tanpa henti. Tapi di sini, kok jadi bodoh. Aneh ...”

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook