Orangtua Adalah Sekolah Pertama
Catatan M.Rakib Muballigh IKMI Pekanbaru Riau Indonesia. 2015
Pernah dalam hayalan penulis ingin menciptakan sekolah TEMPE (Teknik Mengatasi Penjajahan Ekonomi). Pendidikan
ekonomi keterampilan dan agama memegang peranan sebagai pembentuk karakter, orang tua masa kini berlomba
mencari sekolah dengan nama berbau agama yang menagajarkan keterampilan, tersebar di mana mana. Tetapi yang
musti lebih dalam direnungkan adalah dalam sehari berapa lama anak berada di
sekolah dan berapa lama waktu di luar sekolah (rumah dan lingkungan luar
sekolah). Ilmu yang didapatkan disekolah haruslah berkesinambngan dengan
praktek yang ada di luar sekolah.
Peran orang tua sangatlah besar pada
point ini, ayah dan bunda adalah teladan utama bagi anak anaknya. Ketika di
sekolah anak diberi asupan ilmu tentang ibadah yang baik dan tata karma serta
perkataan yang bermanfaat, akan menjadi sinkron apabila anak melihat praktek
ilmu itu pada perilaku sehari hari orang terdekatnya yaitu ayah dan bundanya.
Al-Qur'an dengan tegas
menyebut beberapa tindakan kekerasan yang mengarah pada hal-hal yang
negatif/destruktif aan mengecam serta mengancamnya dengan balasan yang
setimpal, antara lain melalui kata:
1.
Al-Baghy seperti tersebut pada QS. al-Nahl [16]: 90. Melalui ayat ini,
al-Qur'an melarang umat Islam untuk melakukan permusuhan dengan tindakan yang
melampaui batas, sebab menurut al-Ashfahani, al-baghy berarti melampaui
batas kewajaran.[1]
2.
Thughyan seperti pada QS. Hud [11]: 112. Allah berfirman:
"Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana
diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan
janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu
kerjakan."
Kata thughyan pada
mulanya digunakan untuk menggambarkan ketinggian puncak gunung, tetapi dalam
perkembangannya ia digunakan untuk segala sesuatu yang melampaui batas
ketinggian seperti ungkapan thaghdl ntd'u yang berarti air meluap.[2] Demikian
pula orang yang sombong, angkuh, dan zalim diungkapkan dengan thdghiyah atau
thaghut. Sikap ini sangat dikecam oleh al-Qur'an seperti pada QS.
an-Naba' [78]: 22 yang menjanjikan balasan keras berupa neraka jahannam bagi
orang-orang yang melampaui batas (thaghin).
Pakar tafsir asal Tunisia,
Ibnu 'Asyur, menjelaskan, ungkapan Id tathghaw pada QS. Hud [11]: 112 di
atas mencakup larangan untuk melakukan segala bentuk kerusakan (ushul
al-mafdsid). Dengan demikian, ayat tersebut menghimpun upaya mencapai
kemaslahatan melalui sikap istiqdmah, konsisten pada prinsip-prinsip
agama, dan menghindari berbagai kerusakan yang tergambar dalam kata thughyan.[3]
3. Azh-Zhulm (kezaliman)
Kata ini dan derivasinya
disebut dalam al-Qur'an sebanyak 315 kali. Pengertiannya yang populer seperti
dikeinukan para penyusun Mu'jam Alfdzh al-Qur'an al-Karim adalah
meletakkan atau melakukan sesuatu tidak pada tempatnya, baik berupa kelebihan
atau kekurangan. Karena itu melampaui atau menyeleweng dari kebenaran juga
disebut zhulm, dan dapat terjadi dalam hubungan manusia dengan Tuhan
dalam bentuk kekafiran atau syirik (QS. Luqman [31]: 17) dan kemunafikan, dalam
hubungan antara manusia dan manusia dalam bentuk penganiayaan atau lainnya (Q5.
asy-Syura [42]: 42), dan dalam hubungan antara manusia dan dirinya (QS. Fathir
[35]: 32).
Dalam banyak ayat disebutkan ancaman bagi para pelaku kezaliman
yaitu siksa dan balasan yang menistakan (lihat: QS. al-Furqan [25]: 19; QS.
asy-Syu'ara' [26]: 227; QS. az-Zukhruf [43]:
65). Dalam sebuah Hadits qudsi, Allah dengan tegas melarang
kezaliman. Allah berfirman, "Wahai hamba-hamba-Ku, Aku telah mengharamkan
kezaliman untuk diri-Ku, dan Aku tetapkan kezaliman bagi kalian sebagai sesuatu
yang haram/terlarang dilakukan, maka janganlah kalian saling menzalimi."[4]
4. Al-'Udwan (Permusuhan)
Kata 'udwdn dan
derivasinya berasal dari akar kata yang terdiri atas huruf 'ain-ddl-waw yang
makna asalnya 'lari'. Sebab, dengan berlari orang dapat melampaui sesuatu,
sehingga segala tindakan melampaui batas dan kebenaran juga disebut dengan 'udwdn
atau 'addwah. Dengan demikian, ia juga dapat bermakna kezaliman yang
juga sangat terlarang (lihat: QS. al-Baqarah [2]: 19; QS. al-Ma'idah [5]: 87).
5. Al-Qatl (Pembunuhan)
Di atas telah disinggung,
aksi kekerasan pertama yang terjadi dalam sejarah kemanusiaan adalah pembunuhan
atau penganiayaan terhadap jiwa manusia tak bersalah. Membunuh satu jiwa tak
berdosa dipersamakan dengan membunuh umat manusia (QS. al-Ma'idah [5]: 32).
Balasan yang disadiakan bagi orang yang dengan sengaja melakukan pembunuhan
sangatlah berat. Dalam QS. an-Nisa' [4]: 93 disebutkan, siapa saja yang dengan
sengaja membunuh saudaranya yang "Mukmin akan disediakan neraka jahannam
untuk ditempati selaina-lamanya, akan dimurkai dan dilaknat oleh Allah dan akan
mendapatkan siksa yang pedih dan menistakan.
6. Al-Hirdbah
Sebuah term dalam al-Qur'an
yang paling dekat dengan pengertian terorisme dalam pengertian modern adalah al-kirdbah.
Dalam kitab Hdsyiyat Qalyubi wa 'Umayrah, kata al-hirdbah didefinisikan
dengan, "aksi perampokan, atau pembunuhan, atau menimbulkan kecemasan dan
kekacauan".[5] Sayyid
Sabiq dalam Fiqh as-Sunnah mendefinisikannya dengan, "Aksi
kekerasan dan bersenjata yang dilakukan oleh sekelompok orang dalam sebuah
negara dengan tujuan menciptakan kekacauan dan ketidak-stabilan dalam negeri,
pertumpahan darah, perampasan harta, perenggutan harga diri dan perusakan
terhadap lingkungan dan kelangsungan hidup manusia".[6] Termasuk
dalam kategori al-hirabah, masih menurut Sayyid Sabiq, mafia pembunuhan,
penculikan anak, perampokan bank dan rumah, penculikan wanita untuk prostitusi,
pembunuhan tokoh politik dengan tujuan mengganggu stabilitas keamanan,
pembalakan hutan dan perusakan lingkungan yang mengganggu flora dan fauna.
Al-Qur'an mengecam keras
aksi al-hirdbah, dan menganggapnya sebagai tindakan memusuhi atau
memerangi Allah dan Rasul-Nya. Atau dengan kata lain, terorisme dengan
pengertian negatif dan destruktif yang membawa kerusakan di muka bumi
dipersamakan dengan perlawanan terhadap Allah dan rasul-Nya. Karena itu, sanksi
yang disediakannya pun sangat berat, sesuai dengan tingkat beratnya perbuatan.
Dalam QS. al-Ma'idah [5]: 33 dijelaskan beberapa bentuk sanksi yang disediakan
sesuai dengan tingkat kriminalitas yang dilakukannya, yaitu:
a.
Hukuman mati bagi yang membegal dan membunuh nyawa manusia;
b.
Hukuman mati dengan penyaliban bagi yang membunuh dan merampas harta;
c.
Potong tangan atau kaki bagi yang merampas harta tetapi tidak membunuh;
d.
Pengasingan (al-nafy) bagi pembegal yang menimbulkan kengerian dan
kecemasan bagi orang lain tetapi tidak merampok dan membunuh.
Dari beberapa term di atas
dapat disimpulkan, Islam menentang segala bentuk kekerasan, kecuali jika berada
dalam tekanan kezaliman pihak lain. Dalarn kondisi itu pun Allah memerintahkan
umat Islam menahan diri untuk menggunakan kekuatan dan kekerasan, dan hanya
diperkenankan untuk membalas perbuatan dengan setimpal dan untuk mengembalikan
situasi kepada keadaan yang normal atau kembali seimbang. Allah berfirman dalam
QS. an-Nahl [16]: 126:
"Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan
balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi, jika
kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang
sabar".
Dengan melihat sebab
pewahyuan (sabab al-nuzul) ayat di atas, akan tampak jelas metode
al-Qur'an agar menahan diri dan tidak menggunakan kekuatan dalam menyikapi aksi
kekerasan kecuali dalam keadaan terpaksa. Menurut sebuah riwayat, Rasulullah
saw. sangat marah atas terbunuhnya Hamzah, paman beliau dalam perang Uhud
secara tidak wajar menurut ukuran kemanusiaan. Dengan rasa sedih dan murka
Rasulullah berkata, "Dengan nama Allah, kematian Hamzah akan kubalas
dengan membunuh 70 orang dari pasukan musuh". Janji itu tidak dilaksanakan
oleh Rasulullah, dan Allah pun tidak membiarkannya melakukan itu, tetapi
melalui wahyu seperti pada ayat di atas Allah menetapkan metode pengendalian
diri dalam peperangan. Setelah ayat di atas turun, Rasulullah lalu mengatakan,
"Kami memilih bersabar ya Allah".[7]
Melalui ayat ini, al-Qur'an
menjelaskan, hanya ada dua cara menghadapi kekerasan; membalas dengan yang
setimpal tanpa melampaui batas dan bersabar, tetapi jalan yang kedua, yaitu
sabar, yang sangat dianjurkan.
Jika dalam keadaan terpaksa
al-Qur'an masih memberikan aturan, apalagi dalam kondisi tidak memerlukan
kekerasan atau kekuatan. Islam melarang keras penggunaan segala bentuk
kekerasan, termasuk intimidasi atau upaya menimbulkan kengerian dan kecemasan;
baik terorganisir maupun tidak; terang-terangan dalam bentuk pembunuhan,
penyiksaan dan lainnya maupun tersebunyi seperti tekanan ekonomi atau sosial;
dari penguasa maupun dari rakyat jelata. Semuanya terlarang. Bahkan,
menimbulkan kecemasan dan rasa tidak nyaman pada orang lain, walaupun sekadar
bercanda juga terlarang. Dalam sebuah riwayat Amir bin Rabi'ah, suatu ketika
ada seseorang yang mengambil sandal orang lain dengan maksud bercanda. Setelah
peristiwa itu dilaporkan kepada Rasulullah, beliau bersabda: "Jangan
membuat seorang Muslim cemas, sebab membuat seorang Muslim cemas adalah sebuah kezaliman
yang luar biasa".[8]
Islam melarang menimbulkan kengerian (teror) pada orang lain
dengan hanya sekadar mengangkat dan mengacungkan senjata/pedang. Rasulullah
saw. bersabda:
"Seseorang tidak boleh mengacungkan/'mengangkat senjata ke
hadapan orang lain. Karena boleh jadi dia tidak tahu setan akan mengendalikan
tangannya yang dengannya ia dapat membunuh sehingga terjerumus ke neraka”.[9]
Bahkan sekadar melihat
orang lain dengan pandangan yang menakutkan juga dilarang dalam Islam. Dalam
kesempatan lain Rasulullah bersabda:
"Barangsiapa memandang orang lain dengan pandangan menakutkan
tanpa alasan yang benar, maka dia akan diperlakukan yang sama berupa pandangan
yang menakutkan dari Tuhan di hari kiamat".[10]
Karena itu, salah satu
bentuk sedekah kepada orang lain adalah pandangan dan senyuman manis kita di
hadapan orang lain, demikian sabda Rasul.
Dalam pandangan al-Qur'an
semua manusia yang hidup telah diberi kemuliaan (takrim) oleh Allah swt.
berupa hak-hak yang harus dihormati, terlepas dari perbedaan agama, jenis
kelamin, ras, dan suku (QS. al-Isra' [17]: 70)
[5] Hasyiyat Qalyubj wa 'Umayrah 'ala
Syarh Jalaluddtn al-Mahalli 'ala Minhaj at-Thalibm li an-Nawawi, (Kairo: Dar
Ihya' al-Kutub al-'Arabiyyah, Isa al-Babiy al-Halabi), 4/198.
[9] Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam
Shahib-nya, Kitab al-Birr wa at-Shilah, Bab an-Nahyi 'an al-lsyarah bi
asb-Shilah, 13/42.
Oleh
: Dr. Eni Purwati
Pendahuluan
Tak seorangpun menginginkan terjadinya tindak kekerasan,
apalagi di lembaga pendidikan yang sepatutnya menyelesaikan masalah secara
damai dan edukatif. Namun kenyataannya masih banyak, bahkan hampir semua
sekolah/madrasah belum dapat memberikan hak anak, bahkan melakukan kekerasan
terhadap anak. Tanpa disadari hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap
Undang-undang Republik Indonesia nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
dan Deklarasi PBB tentang hak-hak anak
Hukuman secara fisik dan emosional dari guru terhadap murid
merupakan hal yang lumrah terjadi di dalam sistem pendidikan di Indonesia.
Banyak guru biasa mencubit, memukul anak-anak bahkan menghina mereka, baik di
sekolah-sekolah negeri maupun sekolah yang berbasis keagamaan. Kadang guru tidak
menyadari bahwa hal ini sebetulnya terlarang dalam hukum Indonesia.
Undang-undang Perlindungan Anak No. 23, bab 54 secara tegas menyatakan bahwa
guru dan siapapun lainnya di sekolah dilarang untuk memberikan hukuman fisik
kepada anak-anak. Terlebih lagi Indonesia merupakan salah satu penanda tanganan
dari konversi PBB untuk Hak-hak Anak, disebutkan dalam artikel 37 yang
mengharuskan negara menjamin bahwa: ”Tak seorang anakpun boleh mendapatkan
siksaan atau kekejaman lainnya, tindakan tidak manusiawi ataupun perlakuan yang
merendahkan atau hukuman”. Meski demikian, tampaknya undang-undang tersebut
belum dipahami oleh kebanyakan pelaku pendidikan, hal ini sebagaimana laporan
penelitian Ibu Nur Hidayati, dkk, dari penelitian lapangan terhadap 8 Madrasah
Ibtidaiyah di propinsi Riau ditemukan bahwa hukuman jasmani lumrah terjadi di
semua madrasah yang dituju, dengan kisaran antara 50% - 80%, anak-anak
melaporkan bahwa mereka pernah mengalami hal ini dari guru-guru mereka secara
rutin.[1]
Ibarat gunung es, kasus di atas baru di permukaan. Masih
banyak tindak kekerasan dalam pendidikan yang tidak tampak. Demikian rapuhnya
dunia pendidikan kita, hingga aksi kekerasan dan pelanggaran HAM para pelajar,
para remaja, para penerus generasi bangsa terus meningkat.
Hak
Anak dalam Pendidikan
Dalam Deklarasi Universal HAM (Universal Declaration of
Human Rights) Pasal 1 disebutkan bahwa setiap orang berhak
mendapatkan pendidikan. Pendidikan hendaknya diselenggarakan secara bebas
(biaya), sekurang-kurangnya pada tingkat dasar. Di samping itu, pendidikan
dasar haruslah bersifat wajib; pendidikan keahlian dan teknik hendaknya dibuat
secara umum dapat diikuti oleh peminatnya; dan pendidikan tinggi hendaknya
dapat diakses secara sama bagi semua orang atas dasar kelayakan.
Dalam
Pasal 2 Deklarasi HAM juga dinyatakan bahwa pendidikan hendaknya diarahkan
untuk mengembangkan secara utuh kepribadian manusia dan memperkokoh
penghormatan terhadap HAM dan kebebasan asasi. Pendidikan hendaknya mendorong
saling pengertian, toleransi, dan persahabatan antar berbagai bangsa tanpa
memandang perbedaan ras dan agama, dan hendaknya meningkatkan kegiatan PBB
untuk memelihara perdamaian.
Sedangkan pada Pasal 3 disebutkan bahwa orang tua memiliki
hak utama untuk menentukan jenis pendidikan yang semestinya diberikan kepada
anak-anak mereka. PBB menindaklanjuti pasal-pasal ini melalui berbagai kegiatan
untuk memelihara perdamaian dunia. Dengan kata lain, pendidikan damai adalah
upaya menyeluruh PBB melalui proses belajar mengajar yang humanis, dan para pendidik
damai yang memfasilitasi perkembangan manusia. Mereka berjuang melawan proses
dehumanisasi yang ditimbulkan akibat kemiskinan, prasangka diskriminasi,
perkosaan, kekerasan, dan perang.
Dalam upaya global, para pendidik berupaya memajukan
pengajaran nilai, standar dan prinsip yang terwujud dalam instrumen sebagaimana
Pemusnahan Semua Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on
Elimination of all Form of Discrimination Against Women, CEDAW),[2]Descrimination Based on Religion or Belief).[3] Konvensi Hak Anak (Convention on the
Rights of the Child, CRC), dan Deklarasi Sedunia tentang Pendidikan untuk
semua (Education for all).
Secara khusus dalam CRC terdapat empat prinsip dasar dalam
menyelenggarakan pendidikan yang dapat memenuhi hak anak, yaitu: non-discrimination
(non diskriminasi), the best interests of the child (kepentingan
terbaik bagi anak), the right to life, survival and development (hak
hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan), dan respect for the views of
the child (penghargaan terhadap pendapat anak).
Pertama, Non-Discrimination. Yang dimaksud non diskriminasi
adalah penyelenggaraan pendidikan anak yang bebas dari diskriminasi dalam
bentuk apapun, tanpa memandang etnis, agama, jenis kelamin, ekonomi, keluarga,
bahasa dan kelahiran serta kedudukan anak dalam status keluarga. Untuk
mengimplementasikan prinsip ini pemerintah memiliki kewajiban untuk mengambil
langkah-langkah yang layak.[4]
Kedua, The Best Interests of The Child. Yang dimaksud dengan prinsip Kepentingan Terbaik bagi Anak
adalah dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh
lembaga-lembaga pendidikan, kesejahteraan sosial pemerintah maupun swasta,
lembaga peradilan, badan legislatif, dan badan yudikatif, maka kepentingan yang
terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama.[5]
Ketiga, The Right to Life, Survival and Development.Yang dimaksud dengan prinsip hak hidup, kelangsungan hidup
dan perkembangan adalah hak asasi yang paling mendasar bagi anak yang harus
dilindungi oleh negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orangtua.[6] Karena itulah KHA memandang pentingnya pengakuan serta
jaminan dari negara bagi kelangsungan hidup dan perkembangan anak, seperti
dinyatakan dalam pasal 6 ayat 1, bahwa negara-negara peserta mengakui bahwa
setiap anak memilki hak yang melekat atas kehidupan (inherent right to life)”,
serta ayat 2 “ negara-negara peserta secara maksimal mungkin akan menjamin
kelangsungan hidup dan perkembangan anak (survival and development of
child)”.[7]
Keempat, Respect for The Views of The Child. Yang dimaksud dengan penghargaan terhadap pendapat anak
adalah penghormatan atas hak-hak anak untuk berpartisipasi dan menyatakan
pendapatnya dalam pengambilan keputusan terutama jika menyangkut hal-hal yang
mempengaruhi kehidupannya.[8]
Pembelajaran
Berbasis Pemenuhan Hak Anak
a.
Menciptakan suasana kondusif
Suasana yang kondusif akan meningkatkan minat dan motivasi
belajar anak. Oleh karenanya, suasana yang kondusif perlu terus dijaga ketika
proses pembelajaran dan latihan dilakukan. Sebab dengan suasana tersebut
internalisasi nilai dan sikap menjadi efektif. Bila dijumpai perusak suasana
hendaklah segera diatasi agar tidak merusak keseluruhan proses. Dari sebuah
penelitian menunjukkan bahwa lingkungan sosial atau suasana kelas merupakan penentu
utama psikologis yang mempengaruhi belajar akademis. Di samping itu, guru akan
mencapai hasil lebih tinggi jika mereka mampu menyingkirkan segala amcam
ancaman, melibatkan emosi siswa dan membangun hubungan yang humanistik.[9]
Bobbi dePorter menyarankan terpenuhinya enam suasana agar
dapat membangkitkan minat, motivasi, dan keriangan anak mengikuti proses
belajar. Pertama, menumbuhkan niat belajar. Keyakinan seseorang mengenai
kemampuan dirinya amat berpengaruh pada kemampuan itu sendiri. Dalam proses belajar-mengajar,
baik guru maupun siswa hendaknya dapat membangkitkan niat tersebut dari dalam
dirinya sendiri. Bila dijumpai siswa yang kurang bersemangat, maka mentalitas
guru terhadap iklim belajar akan menjadi teladan dan berpengaruh bagi
keseluruhan proses belajar. Memperhatikan emosi siswa juga dapat membantu
percepatan pembelajaran mereka. Bila niat tidak mudah tumbuh dari dalam diri
sendiri, dorongan orang lan, dalam hal ini terutama guru, amat diperlukan, agar
tidak mempengaruhi semangat belajar yang lain.
Kedua, menjalin
rasa simpati dan saling pengertian untuk menumbuhkan kepedulian sosial, sikap
toleransi dan saling menghargai di antara siswa. Ada beberapa langkah yang bisa
ditempuh, seperti:
- Memperlakukan siswa sebagai manusia sederajat
- Mengetahui apa yang disukai siswa, cara pikir mereka, dan perasaan mereka mengenai hal-hal yang terjadi dalam kehidupan mereka
- Membayangkan apa yang siswa lakukan
- Mengetahui hal yang menghambat para siswa dalam memperoleh hal yang benar-benar mereka inginkan. Jika guru memang tidak mengetahui hal yang diinginkan siswa, maka sebaiknya ditanyakan kepada siswa. Hindari sejauh mungkin sikap sok tahu.
- Berbicara dengan jujur kepada para siswa dengan cara yang membuat mereka mendengarkan dengan jelas dan halus.
- Melakukan kegiatan yang menyenangkan bersama para siswa.
Ketiga,
menciptakan suasana riang. Kegembiraan membuat siswa lebih mudah untuk belajar
dan bahkan dapat mengubah sikap negatif. Belajar dalam iklim menyenangkan,
tanpa ada paksaan dan tekanan, akan menimbulkan kesadaran untuk menemukan
sendiri jawaban atas persoalan yang dihadapi. Sebaliknya suasana tegang dan
tertekan mengakibatkan siswa belajar dengan terpaksa. Menciptakan suasana riang
dapat dilakukan dengan membiasakan membuat selingan. Misalkan, bertepuk tangan,
berteriakan ‘hore’ menghentikkan jari, menulis poter, membuat catatan pribadi,
membuat kejutan, pengakuan atas prestasi siswa, pujian maupun penguatan. Hal
terpenting dar langkah ini adalah menjaga suasana riang agar tidak berubah
menjadi senda gurau.
Keempat, mengambil
risiko. Sebagai gambaran, kita bisa mengingat saat-saat belajar naik sepeda di
masa kecil? Pada mulanya susah,…namun terus dicoba. Kadang kala jatuh, tapi
masih tetap mau bangun. Tidak jarang terluka karena kurang hati-hati. Memang berisiko,
tetapi tetap menyenangkan. Keberanian mengambil risiko yang menantang itulah
terletak keasyikan belajar. Hal-hal itulah yang hendaknya diwujudkan dalam
suasana belajar di ruang kelas: tidak mudah menyerah, terus berpikir untuk
memecahkan masalah. Belajar dengan tantangan bisa mengurangi kejenuhan dan rasa
bosan.
Kelima,
menciptakan rasa saling memiliki. Sebab, rasa saling memiliki membentuk
kebersamaan, kesatuan, kesepakatan dan dukungan dalam belajar. Rasa saling
memiliki juga memeprcepat proses mengajar dan meningkatkan kepemilikan.
Kebanyakan konflik kekerasan yang muncul adalah akibat ketiadaan rasa saling
memiliki. Pendidikan damai amat mementingkan kebersamaan, kesatuan dan
kesepakatan bersama untuk saling menghargai perbedaan dan menyelesaikan konflik
tanpa keerasa.
Keenam,
menunjukkan teladan yang baik. Perilaku nyata akan lebih berarti daripada
seribu kata. Hal-hal yang diperbuat oleh guru akan menjadi cermin bagi para
murid. Untuk itu, sebaiknya mendahulukan bukti-bukti berupa sikap, sikap damai,
kasih sayang, empati, disiplin dna lain sebagainya, sebelum mengajarkan dengan
kata kepada orang lain tentang damai, kasih sayang dan seterusnya.
Langkah ini bisa dilakukan dengan beberapa cara berikut.
- Memberikan teladan dalam wujud komunikasi yang jelas
- Mengakui setiap usaha siswa
- Murah senyum
- Menggunakan energi untuk menciptakan lebih banyak energi
- Menjadi pendengar yang baik
- Mengungkapkan pikiran para siswa melalui kata-kata Anda sendiri.
- Menyatakan kembali situasi negatif untuk menemukan hal-hal yang positif di dalamnya.
b.
Meningkatkan kualitas emosi positif
Contoh-contoh kualitas emosi positif adalah sikap jujur,
toleransi, saling menghargai, empati terhadap sesama, rasa percaya diri, sabar,
dan sebagainya. Emosi positif ini umumnya dimiliki oleh siswa atau remaja dari
interaksi sosialnya, seperti keluarga, sekolah dan pergaulan mereka di tengah
masyarakat. Pendidikan keluarga yang baik akan mendukung keberhasilan anak atau
remaja di sekolah. Begitu pula halnya dengan masyarakat. Ketiganya berinteraksi
secara sinergis, saling mempengaruhi. Anak yang pembohong umumnya berasal dari
keluarga yang suka bohong. Sebaliknya, keluarga yang hidup membiasakan
kejujuran, rasa tolerasi, saling menghargai, percaya diri sabar dan lain-lain.
Menyebabkan anak atau remaja akan terpola dengan kualitas emosional tersebut.
Kualitas emosional yang demikian sepatutnya ditingkatkan melalui pendidikan
formal di sekolah.
Pendidikan berfungsi menanamkan kualitas emosi positif
kepada peserta didiknya. Proses internalisasi nilai positif bukanlah
pengetahuan tentangnya, seperti memperkenalkan apa itu jujur, bagaimana konsep
toleransi, atau menjelaskan apa itu empati. Sama sekali bukan pengetahuan
tentangnya. Proses internalisasi nilai positif adalah penciptaan suasana, teladan,
penerapan strategi belajar dan interaksi sosial dalam komunitas pendidikan.
Penanaman kualitas emosi positif berguna bagi pembentukan watak (character
building)
Membangun watak tergolong dalam hidden curriculum yang
pencapaiannya bergantung pada proses pendidikan ketimbang pada substansinya.
Watak tidak dapat diajarkan, melainkan diperoleh melalui pengalaman anak yang
perlu dilatih. Model pembiasaan akan menghasilkan pengalaman yang dapat
membangun watak. Karenanya, yang perlu dikontrol adalah kondisi yang memberikan
pengalaman belajar mereka.
No comments:
Post a Comment