Wednesday, March 11, 2015

NGOREKSI NASH ayat DENGAN AKAL [PENDAPAT] PUBLIK)



TANQÃŽH NUSHÛSH BI ‘AQL AL-MUJTAMA’ (BOLEH MENGOREKSI NASH DENGAN AKAL [PENDAPAT] PUBLIK)

 
1. Beggar Nation(Bangsa Pengemis)Catatan M.Rakib Pekanbaru  Riau Indonesia 2014



Tuhanku, orang-orang liberal menghalakan pornografi dan homo, serta lesbi.
Kata mereka, Engkau terlalu pelit memperlihatkan keberadaan-Mu.
Aku tidak, berhenti berharap pada-Mu, setiap waktu  kusebut namaMU
Engkau ada di urat leherkju, di jantungku dan  di sampingku
Gemetar hatiku, setiap aku lupa pada ujian-Mu.
Engkau tetap ada disisiku di saat aku di saat aku menderita
Engkau pelihara aku, di saat aku dizalimi oleh teman-temanku
Engkau lindungi aku, di  saat  atasanku, melecehkanku.
Aku mendapatkan kemenangan, dengan Maha Rahkman dan RakhimMU
Ampunilah aku, tutuplah aibku
Yaaa Tuhanku, tutupi kekurangku.

     Sesuai persangkaan hamba pada Allah. Artinya, jika seorang hamba bertaubat dengan taubatan nashuha (yang tulus), maka Allah akan menerima taubatnya. Jika dia yakin do’anya akan dikabulkan, maka Allah akan mudah mengabulkan. Berbeda jika kondisinya sudah putus asa dan sudah berburuk sangka pada Allah sejak awal.



      Hasan at-Turabi menyerukan fikh demokratis, sebagai hasil dari adaptasi usul fiqh dengan nilai-nilai demokrasi. Abdul Moqsith Ghazali juga begitu. Kaidah baru yang diusulkannya, seperti tanqîh nushûsh bi ‘aql al-mujtama’ (Boleh mengoreksi nash dengan akal [pendapat] publik), tidak lain berarti bahwa demokrasi (suara publik), harus menjadi standard bagi teks-teks ajaran Islam. Kalau suatu ayat atau hadis cocok dengan selera publik (baca: demokrasi), bolehlah diamalkan,
tetapi kalau tidak cocok, bisa dibuang ke selokan. Paradigma sekular ini memiliki akar sejarah panjang, bermula dari kondisi umat Islam yang memuncak kemundurannya pada abad ke-18 M lalu. Karena sangat mundur, Khilafah Utsmaniyah dan umat Islam saat itu mendapat julukan The Sick Man of Europe. Di sisi lain, Barat mengalami kebangkitan dengan sekularismenya. Nah, untuk mengobati ‘si sakit’ itu, lalu muncul 2 (dua) macam upaya ‘penyembuhan’ dengan dua paradigma yang sangat berbeda:
Pertama, paradigma sekular, yaitu mengambil ‘obat’ dari peradaban Barat yang sekular. Itulah yang dilakukan oleh mereka yang disebut dengan kaum modernis atau kaum liberal, seperti Sayyid Ahmad Khan, Ameer Ali, Muhammad Abduh, Qasim Amin, Ali Abdur Raziq, dan sebagainya (Busthami M. Said, 1995: 127-161). Mereka berpendapat, umat Islam akan bangkit dan sihat kembali jika meminum ‘obat’ peradaban Barat dan mengikuti nilai-nilainya, seperti sekularisme, liberalisme, demokrasi, dan nasionalisme (Ian Adams, Ideologi Politik Mutakhir, 2004: 19-dan seterusnya). Ajaran-ajaran Islam harus ditundukkan dan disesuaikan dengan nilai-nilai peradaban Barat (William Montgomery Watt, 1997: 147-256).
Kedua, paradigma Islam, iaitu mengambil ‘ubat’ dari peradaban Islam. Itulah yang dilakukan oleh para aktivis kebangkitan dan revivalis Islam, seperti Hasan al-Banna, Abul A’la al-Maududi, Taqiyuddin an-Nabhani, Sayyid Quthb, Baqir ash-Shadr, dan sebagainya (Hafizh M. al-Jabari, Gerakan Kebangkitan Islam, 1996: 115-dan seterusnya). Menurut mereka, kebangkitan umat Islam berarti kembali secara murni pada ideologi Islam, serta lepas dari ideologi Barat yang kufur. Dari pemetaan ini, tampak bahwa paradigma kaum liberal adalah paradigma sekular tersebut. Tujuannya sangat jelas, yaitu bagaimana agar Islam dapat diubah, dipinda, diperbetul, dan diadaptasikan agar tunduk di bawah hegemoni peradaban Barat sekular. Sekularisme dan idea-idea Barat lainnya seperti demokrasi, HAM, pluralisme, dan jender, dianggap mutlak benar dan dijadikan standard; tidak boleh diubah. Justru Islamlah yang harus diubah dan dihancurkan.
Secara intelektual, perilaku itu jelas menunjukkan betapa miskinnya pemikiran golongan liberal. Sebab mereka sudah kelarutan arah berhujjah dan kehilangan keyakinan diri dengan warisan metodologi ilmiah ulama salaf yang sangat kaya sehingga mereka lalu mengemis-ngemis menggunakan kerangka pemikiran metodologi falsafah asing (barat). Jika dahulu suatu ketika Prof Dr Amien Rais menyebut-menyebut bangsa Indonesia sebagai beggar nation (bangsa pengemis) karena gemar berhutang luar negera; maka atas hujjah yang sama apakah boleh golongan Islam liberal (seperti Jaringan Islam Liberal) kita sebut beggar intellectual (intelektual pengemis)?
dialog keislaman atas nama wacana ilmiah (intellectual discourse) atau ijtihad intelektual.
Dari sudut positifnya dialog keIslaman di era pos-911, membuka banyak ruang interaksi di media-media cetak seperti akhbar-akhbar utama, majalah-majalah antarabangsa dan juga wacana-wacana ilmiah di pusat-pusat pemikir (think thank) dan pengajian tinggi. Tetapi dalam masa yang sama dari sudut negatifnya pula membuka semacam kecelaruan berfikir para pembentang wacana disamping meruntuh asas-asas metodologi ilmiah para ‘ulama Islam.
Kedudukan dan status kerjaya orang yang diundang bercakap seolah-olah menjadi kekebalan kebenaran apa yang disampaikan daripada nilai kebenaran ilmiah itu sendiri. Wujud semacam kecelaruan semantik pada penggunaan istilah “ijtihad” menyamakan nya dengan pendapat rasional yang tiada bertepi lalu meruntuh prinsip asas metodologi ilmiah Islam. Ijtihad para ulama Islam mempunyai asas-asas sandaran metodologi ilmiah (usul) yang dibenarkan, berlainan dari pandangan bebas sesetengah pemikir yang asas bingkai mindanya dari falsafah kebebasan manusia atau hermeneutika.


Imam alGhazali menyentuh hal ini dalam bukunya Tahafut alFalasifah (Kerancuan Pemikiran Para Falsafah). Begitu juga disahkan oleh pemikir barat abad ini yang telah menganut Islam, Roger Garudy dalam bukunya The Balance Sheet of Western Philosophy. Dari sudut sejarah aliran pemikiran liberal (rasionalis) ia bukan baru, bahkan telah wujud sejak awal dari zaman Imam alGhazali (450H – 1059H). Malah pada zaman Imam Abu Hanifah (80H – 150H) lagi, beliau pernah berdebat dengan golongan rasionalis, begitu juga dengan imam-imam ‘Asyari dan alMaturidi hingga lahirnya ilmu kalam.
Dari sudut pemikiran, kewujudan kumpulan Islam liberal hari ini merupakan rantaian dari kecelaruan aliran pemikiran falsafah barat yang menuntut pada kebebasan manusia dari belenggu pemikiran mitos dan khurafat dalam kepercayaan agama kristian. Teori “pengaruh” yang digagasi oleh Abaraham Geiger kemudiannya diguna pakai secara ilmiah dalam membicarakan teori Islam. Khususnya dalam hal metodologi kajian ilmiah golongan Islam liberal sekarang ini, bingkai falsafah ilmiahnya (framework) adalah Kieerkegard, Harvey Cox, Abaraham Geiger dan lain-lain, tetapi dipindah pakai secara mutlak untuk merungkai kembali beberapa syari’ah dan teologi Islam oleh beberapa pemikir Islam berpendidikan barat sebagaimana mereka merungkai teologi kristian dengan fahaman sekularisme.
Maka timbul pertanyaan apakah golongan fahaman liberal sekarang ini, yang menginstitusi kan pemikirannya dalam bentuk institusi rasmi seperti Jaringan Islam Liberal (JIL) di Indonesia, Sisters In Islam (Malaysia), Muslim Wake Up (U.S) atau individu-individu seperti Nasr Hamid Abd Zayd (Mesir), Mahmoud Arkoun (Perancis) mempunyai asas metodologi usul fiqhnya sendiri atau ia hanya merupakan rekaan yang tidak berpijak pada usul? Pertanyaan ini perlu diteliti dulu agar kritikan kita tidak tersasar dan sesia.
Menurut ‘ulama usul syar’iah mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali, usul fiqh adalah kaidah-kaidah (qawâ’id) yang digunakan untuk penggalian (istinbâth) hukum syariat dari dalil-dalilnya yang terperinci (asy-Syaukani, Irsyâd al-Fuhûl, hlm. 3; Wahbah az-Zuhaili, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, jld. I, hlm. 23-24). Sedangkan menurut ulama mazhab Syafii, usul fiqh adalah pengetahuan mengenai dalil-dalil fiqh yang bersifat global, tatacara pengambilan hukum dari dalil-dalil itu, serta keadaan orang yang mengambil hukum (al-Amidi, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, jld. I, hlm. 10).
Dari berbagai definisi itu, topik (mawdhû’) usul fiqh menurut Muhammad Husain Abdullah (Abdullah, Al-Wadhîh fî Ushûl al-Fiqh, hlm. 29), meliputi 4 kajian, iaitu:
1. Kajian tentang dalil-dalil hukum yang bersifat global (al-adillah al-ijmâliyyah), misalnya al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma, Qiyas, dan seterusnya.
2. Kajian tentang hukum syariat (al-hukm asy-syar’î) dan hal-hal yang terkait dengannya, seperti definisi hukum syariat dan macam-macamnya.
3. Kajian tentang cara memahami dalil (fahm al-dalîl) atau pengertian kata (dalâlah al-alfâzh), misalnya tentang maksud eksplisit (manthûq) dan maksud implisit (mafhûm).
4. Kajian tentang ijtihad dan taqlid, termasuk tatacara melakukan tarjîh (analisis) untuk memilih yang terkuat dari sekian dalil yang tampak bertentangan (ta’ârudh).
Berlatar pada definisi usul dan cakupan kajian di atas, dan diterapkan pada idea-idea usul fiqh fahaman golongan liberal, apakah sebenarnya mereka mempunyai model usul fiqhnya sendiri?
Seorang pakar dan pengkritik idea liberal, Dr. Busthami Muhammad Said, menyimpulkan bahawa ijtihad dalam usul fiqh di kalangan golongan liberal —mulai dari Sir Sayyid Ahmad Khan, Muhammad Abduh, Qasim Amin, Ali Abdur Raziq, Toha Hussain, dan lainnya— tidak lebih dari sekadar teori belaka, iaitu tanpa kenyataan (Said, Mafhûm Tajdîd ad-Dîn (terj.), hlm. 268).
Karya mereka tidak pernah menerangkan dengan jelas, apa sebenarnya dalil syar’iat (sumber hukum) itu. Contohnya isu menghadiri perayaan hari raya bukan Islam dijadikan dalil bagi bolehnya merayakan hari raya agama selain Islam (Madjid dkk., 2004: 85-88). Mereka juga tidak pernah menerangkan dengan sempurna, bagaimana kaidah penggalian hukum dari dalilnya, selain mendasarkan bahawa kaedahnya adalah hermeneutika (Adnin Armas, Pengaruh Kristen-Orientalis Terhadap Islam Liberal, hlm. 35).
Padahal kaedah ini (hermeneutika) aslinya adalah untuk menafsirkan Bible (Perjanjian Lama dan Baru); tentu janggal untuk menafsirkan al-Qur’an, karena Bible dan al-Qur’an sangat jauh berbeza, seperti bumi dan langit. Tidak aneh jika Norman Daniel (Daniel, Islam and The West: The Making of an Image, hlm. 53) menegaskan, “The Quran has no parallel outside Islam (Al-Qur’an tidak mempunyai kesejajaran dengan [kitab lainnya] di luar Islam).” (Adian Husaini, “Mengapa Barat Menjadi Sekular-Liberal”, www.insistnet.com).
Maka dengan itu, untuk dikatakan golongan liberal ada landasan usul fiqh, ia amat sangat diragukan kewujudannya. Akan tetapi, barangkali ada yang bertanya, bukankah mereka kadang kala menyampaikan gagasan berhubung usul fiqh? Hasan at-Turabi, misalnya, dikenal menyerukan pembaruan (tajdîd) di bidang usul fiqh (At-Turabi, Fiqih Demokratis, Bandung: Mizan, 2003). Jauh sebelum itu, pada 70-an, Jamaluddin Athiyah dalam Majalah Al-Muslim al-Mu’âshir edisi Nopember 1974, juga Ahmad Kamal Abul Majid, tokoh liberal lainnya, dalam majalah Al-‘Arabi edisi Mei 1977, telah mengajak umat Islam untuk berijtihad dalam usul fiqh, bukan hanya dalam fiqh (Said, 1995: 266).
Golongan liberal Indonesia pun kadang menggembar-gemburkan usul fiqh baru. Nurcholish Madjid dan kawan kawan, misalnya, pernah mendakwa mengikuti metode usul fiqh Imam asy-Syatibi dari kitabnya, Al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Ahkâm, ketika menggagas bukunya yang gagal, Fiqih Lintas Agama (2004). Abdul Moqsith Ghazali (aktivis JIL) mencetuskan beberapa kaidah usul fiqh ‘baru’, semisal:


Daftar Pustaka
1. Abdullah, Muhammad Husain. 1995. Al-Wadhîh fî Ushûl al-Fiqh. Beirut: Darul Bayariq.
2. Adams, Ian. 2004. Ideologi Politik Mutakhir: Konsep, Ragam, Kritik, dan Masa Depannya (Political Ideology Today). Terjemahan oleh Ali Noerzaman. Yogyakarta: Qalam.
3. Al-Amidi, Saifuddin. 1996. Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm. Juz I. Beirut: Darul Fikr.
4. Al-Ja’bary, Hafizh M. 1996. Gerakan Kebangkitan Islam (Harakah Al-Ba’ts Al-Islami). Terjemahan oleh Abu Ayyub Al-Anshari. Solo: Duta Rohmah.
5. Al-Turabi, Hasan. 2003. Fiqih Demokratis. Bandung: Mizan
6. Armas, Adnin. 2003. Pengaruh Kristen-Orientalis Terhadap Islam Liberal. Jakarta: Gema Insani Press.
7. Asy-Syaukani. Tanpa Tahun. Irsyâd al-Fuhûl ilâ Tahqîq al-Haqq min ‘Ilm al-Ushûl. Beirut: Darul Fikr.
8. Az-Zuhaili, Wahbah. 1998. Ushûl al-Fiqh al-Islâmî. Juz I. Damaskus: Darul Fikr.
9. Ghazali, Abdul Moqsith. 2003. “Membangun Ushul Fiqih Alternatif.” www.islamlib.com
10. Husaini, Adian. 2004. “Mengapa Barat Menjadi Sekular-Liberal.” www.insistnet.com
11. Madjid, Nurcholish dkk. 2004. Fiqih Lintas Agama. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina & The Asia Foundation.
12. Said, Busthami M. 1995. Gerakan Pembaruan Agama Antara Modernisme dan Tajdiduddin (Mafhûm Tajdîduddîn). Terjemahan oleh Ibn Marjan dan Ibadurrahman. Bekasi: Wacana-lazuardi Amanah.
13. Watt, William Montgomery 1997. Fundamentalisme Islam dan Modernitas (Islamic Fundamentalism and Modernity). Terjemahan oleh Taufik Adnan Amal. Jakarta: Rajagrafindo Persada. 

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook