TANQÎH NUSHÛSH BI
‘AQL AL-MUJTAMA’ (BOLEH MENGOREKSI NASH DENGAN AKAL [PENDAPAT] PUBLIK)
Tuhanku,
orang-orang liberal menghalakan pornografi dan homo, serta lesbi.
Kata mereka, Engkau terlalu pelit memperlihatkan keberadaan-Mu.
Kata mereka, Engkau terlalu pelit memperlihatkan keberadaan-Mu.
Aku
tidak, berhenti berharap pada-Mu, setiap waktu kusebut namaMU
Engkau ada di urat leherkju, di jantungku dan di sampingku
Gemetar hatiku, setiap aku lupa pada ujian-Mu.
Engkau tetap ada disisiku di saat aku di saat aku menderita
Engkau pelihara aku, di saat aku dizalimi oleh teman-temanku
Engkau lindungi aku, di saat atasanku, melecehkanku.
Aku mendapatkan kemenangan, dengan Maha Rahkman dan RakhimMU
Ampunilah aku, tutuplah aibku
Yaaa Tuhanku, tutupi kekurangku.
Engkau ada di urat leherkju, di jantungku dan di sampingku
Gemetar hatiku, setiap aku lupa pada ujian-Mu.
Engkau tetap ada disisiku di saat aku di saat aku menderita
Engkau pelihara aku, di saat aku dizalimi oleh teman-temanku
Engkau lindungi aku, di saat atasanku, melecehkanku.
Aku mendapatkan kemenangan, dengan Maha Rahkman dan RakhimMU
Ampunilah aku, tutuplah aibku
Yaaa Tuhanku, tutupi kekurangku.
Sesuai persangkaan hamba pada Allah. Artinya,
jika seorang hamba bertaubat dengan taubatan nashuha (yang tulus), maka Allah
akan menerima taubatnya. Jika dia yakin do’anya akan dikabulkan, maka Allah
akan mudah mengabulkan. Berbeda jika kondisinya sudah putus asa dan sudah berburuk sangka pada Allah sejak awal.
Hasan at-Turabi menyerukan
fikh demokratis, sebagai hasil dari adaptasi usul fiqh dengan nilai-nilai
demokrasi. Abdul Moqsith Ghazali juga begitu. Kaidah baru yang diusulkannya,
seperti tanqîh nushûsh bi ‘aql
al-mujtama’
(Boleh mengoreksi nash dengan akal [pendapat] publik), tidak lain
berarti bahwa demokrasi (suara publik), harus menjadi standard bagi teks-teks
ajaran Islam. Kalau suatu ayat atau hadis cocok dengan selera publik (baca:
demokrasi), bolehlah diamalkan,
tetapi kalau tidak cocok, bisa dibuang ke
selokan. Paradigma sekular ini memiliki akar sejarah panjang, bermula dari
kondisi umat Islam yang memuncak kemundurannya pada abad ke-18 M lalu. Karena
sangat mundur, Khilafah Utsmaniyah dan umat Islam saat itu mendapat julukan The
Sick Man of Europe. Di sisi
lain, Barat mengalami kebangkitan dengan sekularismenya. Nah, untuk mengobati
‘si sakit’ itu, lalu muncul 2 (dua) macam upaya ‘penyembuhan’ dengan dua
paradigma yang sangat berbeda:
Pertama, paradigma sekular, yaitu mengambil
‘obat’ dari peradaban Barat yang sekular. Itulah yang dilakukan oleh mereka
yang disebut dengan kaum modernis atau kaum liberal, seperti Sayyid Ahmad Khan,
Ameer Ali, Muhammad Abduh, Qasim Amin, Ali Abdur Raziq, dan sebagainya
(Busthami M. Said, 1995: 127-161). Mereka berpendapat, umat Islam akan bangkit
dan sihat kembali jika meminum ‘obat’ peradaban Barat dan mengikuti
nilai-nilainya, seperti sekularisme, liberalisme, demokrasi, dan nasionalisme
(Ian Adams, Ideologi Politik Mutakhir, 2004: 19-dan seterusnya). Ajaran-ajaran
Islam harus ditundukkan dan disesuaikan dengan nilai-nilai peradaban Barat
(William Montgomery Watt, 1997: 147-256).
Kedua, paradigma Islam, iaitu mengambil
‘ubat’ dari peradaban Islam. Itulah yang dilakukan oleh para aktivis
kebangkitan dan revivalis Islam, seperti Hasan al-Banna, Abul A’la al-Maududi,
Taqiyuddin an-Nabhani, Sayyid Quthb, Baqir ash-Shadr, dan sebagainya (Hafizh M.
al-Jabari, Gerakan Kebangkitan Islam, 1996: 115-dan seterusnya). Menurut
mereka, kebangkitan umat Islam berarti kembali secara murni pada ideologi
Islam, serta lepas dari ideologi Barat yang kufur. Dari pemetaan ini, tampak
bahwa paradigma kaum liberal adalah paradigma sekular tersebut. Tujuannya
sangat jelas, yaitu bagaimana agar Islam dapat diubah, dipinda, diperbetul, dan
diadaptasikan agar tunduk di bawah hegemoni peradaban Barat sekular.
Sekularisme dan idea-idea Barat lainnya seperti demokrasi, HAM, pluralisme, dan
jender, dianggap mutlak benar dan dijadikan standard; tidak boleh diubah. Justru
Islamlah yang harus diubah dan dihancurkan.
Secara intelektual, perilaku itu jelas
menunjukkan betapa miskinnya pemikiran golongan liberal. Sebab mereka sudah
kelarutan arah berhujjah dan kehilangan keyakinan diri dengan warisan
metodologi ilmiah ulama salaf yang sangat kaya sehingga mereka lalu
mengemis-ngemis menggunakan kerangka pemikiran metodologi falsafah asing
(barat). Jika dahulu suatu ketika Prof Dr Amien Rais menyebut-menyebut bangsa
Indonesia sebagai beggar nation (bangsa pengemis) karena gemar berhutang luar
negera; maka atas hujjah yang sama apakah boleh golongan Islam liberal (seperti
Jaringan Islam Liberal) kita sebut beggar intellectual (intelektual pengemis)?
dialog keislaman atas nama wacana
ilmiah (intellectual discourse) atau ijtihad intelektual.
Dari
sudut positifnya dialog keIslaman di era pos-911, membuka banyak ruang
interaksi di media-media cetak seperti akhbar-akhbar utama, majalah-majalah
antarabangsa dan juga wacana-wacana ilmiah di pusat-pusat pemikir (think thank)
dan pengajian tinggi. Tetapi dalam masa yang sama dari sudut negatifnya pula
membuka semacam kecelaruan berfikir para pembentang wacana disamping meruntuh
asas-asas metodologi ilmiah para ‘ulama Islam.
Kedudukan dan status kerjaya orang yang diundang bercakap seolah-olah menjadi kekebalan kebenaran apa yang disampaikan daripada nilai kebenaran ilmiah itu sendiri. Wujud semacam kecelaruan semantik pada penggunaan istilah “ijtihad” menyamakan nya dengan pendapat rasional yang tiada bertepi lalu meruntuh prinsip asas metodologi ilmiah Islam. Ijtihad para ulama Islam mempunyai asas-asas sandaran metodologi ilmiah (usul) yang dibenarkan, berlainan dari pandangan bebas sesetengah pemikir yang asas bingkai mindanya dari falsafah kebebasan manusia atau hermeneutika.
Kedudukan dan status kerjaya orang yang diundang bercakap seolah-olah menjadi kekebalan kebenaran apa yang disampaikan daripada nilai kebenaran ilmiah itu sendiri. Wujud semacam kecelaruan semantik pada penggunaan istilah “ijtihad” menyamakan nya dengan pendapat rasional yang tiada bertepi lalu meruntuh prinsip asas metodologi ilmiah Islam. Ijtihad para ulama Islam mempunyai asas-asas sandaran metodologi ilmiah (usul) yang dibenarkan, berlainan dari pandangan bebas sesetengah pemikir yang asas bingkai mindanya dari falsafah kebebasan manusia atau hermeneutika.
Imam alGhazali menyentuh hal ini dalam bukunya Tahafut alFalasifah (Kerancuan Pemikiran Para Falsafah). Begitu juga disahkan oleh pemikir barat abad ini yang telah menganut Islam, Roger Garudy dalam bukunya The Balance Sheet of Western Philosophy. Dari sudut sejarah aliran pemikiran liberal (rasionalis) ia bukan baru, bahkan telah wujud sejak awal dari zaman Imam alGhazali (450H – 1059H). Malah pada zaman Imam Abu Hanifah (80H – 150H) lagi, beliau pernah berdebat dengan golongan rasionalis, begitu juga dengan imam-imam ‘Asyari dan alMaturidi hingga lahirnya ilmu kalam.
Dari
sudut pemikiran, kewujudan kumpulan Islam liberal hari ini merupakan rantaian
dari kecelaruan aliran pemikiran falsafah barat yang menuntut pada kebebasan
manusia dari belenggu pemikiran mitos dan khurafat dalam kepercayaan agama
kristian. Teori “pengaruh” yang digagasi oleh Abaraham Geiger kemudiannya
diguna pakai secara ilmiah dalam membicarakan teori Islam. Khususnya dalam hal
metodologi kajian ilmiah golongan Islam liberal sekarang ini, bingkai falsafah
ilmiahnya (framework) adalah Kieerkegard, Harvey Cox, Abaraham Geiger dan
lain-lain, tetapi dipindah pakai secara mutlak untuk merungkai kembali beberapa
syari’ah dan teologi Islam oleh beberapa pemikir Islam berpendidikan barat
sebagaimana mereka merungkai teologi kristian dengan fahaman sekularisme.
Maka
timbul pertanyaan apakah golongan fahaman liberal sekarang ini, yang
menginstitusi kan pemikirannya dalam bentuk institusi rasmi seperti Jaringan
Islam Liberal (JIL) di Indonesia, Sisters In Islam (Malaysia), Muslim Wake Up (U.S)
atau individu-individu seperti Nasr Hamid Abd Zayd (Mesir), Mahmoud Arkoun
(Perancis) mempunyai asas metodologi usul fiqhnya sendiri atau ia hanya
merupakan rekaan yang tidak berpijak pada usul? Pertanyaan ini perlu diteliti
dulu agar kritikan kita tidak tersasar dan sesia.
Menurut
‘ulama usul syar’iah mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali, usul fiqh adalah
kaidah-kaidah (qawâ’id) yang digunakan untuk penggalian (istinbâth) hukum
syariat dari dalil-dalilnya yang terperinci (asy-Syaukani, Irsyâd al-Fuhûl, hlm.
3; Wahbah az-Zuhaili, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, jld. I, hlm. 23-24). Sedangkan
menurut ulama mazhab Syafii, usul fiqh adalah pengetahuan mengenai dalil-dalil
fiqh yang bersifat global, tatacara pengambilan hukum dari dalil-dalil itu,
serta keadaan orang yang mengambil hukum (al-Amidi, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm,
jld. I, hlm. 10).
Dari berbagai definisi itu, topik
(mawdhû’) usul fiqh menurut Muhammad Husain Abdullah (Abdullah, Al-Wadhîh fî
Ushûl al-Fiqh, hlm. 29), meliputi 4 kajian, iaitu:
1. Kajian tentang dalil-dalil hukum
yang bersifat global (al-adillah al-ijmâliyyah), misalnya al-Qur’an, as-Sunnah,
Ijma, Qiyas, dan seterusnya.
2. Kajian tentang hukum syariat
(al-hukm asy-syar’î) dan hal-hal yang terkait dengannya, seperti definisi hukum
syariat dan macam-macamnya.
3. Kajian tentang cara memahami
dalil (fahm al-dalîl) atau pengertian kata (dalâlah al-alfâzh), misalnya
tentang maksud eksplisit (manthûq) dan maksud implisit (mafhûm).
4. Kajian tentang ijtihad dan
taqlid, termasuk tatacara melakukan tarjîh (analisis) untuk memilih yang
terkuat dari sekian dalil yang tampak bertentangan (ta’ârudh).
Berlatar pada definisi usul dan
cakupan kajian di atas, dan diterapkan pada idea-idea usul fiqh fahaman
golongan liberal, apakah sebenarnya mereka mempunyai model usul fiqhnya
sendiri?
Seorang
pakar dan pengkritik idea liberal, Dr. Busthami Muhammad Said, menyimpulkan
bahawa ijtihad dalam usul fiqh di kalangan golongan liberal —mulai dari Sir
Sayyid Ahmad Khan, Muhammad Abduh, Qasim Amin, Ali Abdur Raziq, Toha Hussain,
dan lainnya— tidak lebih dari sekadar teori belaka, iaitu tanpa kenyataan
(Said, Mafhûm Tajdîd ad-Dîn (terj.), hlm. 268).
Karya
mereka tidak pernah menerangkan dengan jelas, apa sebenarnya dalil syar’iat
(sumber hukum) itu. Contohnya isu menghadiri perayaan hari raya bukan Islam
dijadikan dalil bagi bolehnya merayakan hari raya agama selain Islam (Madjid
dkk., 2004: 85-88). Mereka juga tidak pernah menerangkan dengan sempurna,
bagaimana kaidah penggalian hukum dari dalilnya, selain mendasarkan bahawa kaedahnya
adalah hermeneutika (Adnin Armas, Pengaruh Kristen-Orientalis Terhadap Islam
Liberal, hlm. 35).
Padahal
kaedah ini (hermeneutika) aslinya adalah untuk menafsirkan Bible (Perjanjian
Lama dan Baru); tentu janggal untuk menafsirkan al-Qur’an, karena Bible dan
al-Qur’an sangat jauh berbeza, seperti bumi dan langit. Tidak aneh jika Norman
Daniel (Daniel, Islam and The West: The Making of an Image, hlm. 53)
menegaskan, “The Quran has no parallel outside Islam (Al-Qur’an tidak mempunyai
kesejajaran dengan [kitab lainnya] di luar Islam).” (Adian Husaini, “Mengapa
Barat Menjadi Sekular-Liberal”, www.insistnet.com).
Maka
dengan itu, untuk dikatakan golongan liberal ada landasan usul fiqh, ia amat
sangat diragukan kewujudannya. Akan tetapi, barangkali ada yang bertanya,
bukankah mereka kadang kala menyampaikan gagasan berhubung usul fiqh? Hasan
at-Turabi, misalnya, dikenal menyerukan pembaruan (tajdîd) di bidang usul fiqh
(At-Turabi, Fiqih Demokratis, Bandung: Mizan, 2003). Jauh sebelum itu, pada
70-an, Jamaluddin Athiyah dalam Majalah Al-Muslim al-Mu’âshir edisi Nopember
1974, juga Ahmad Kamal Abul Majid, tokoh liberal lainnya, dalam majalah
Al-‘Arabi edisi Mei 1977, telah mengajak umat Islam untuk berijtihad dalam usul
fiqh, bukan hanya dalam fiqh (Said, 1995: 266).
Golongan
liberal Indonesia pun kadang menggembar-gemburkan usul fiqh baru. Nurcholish
Madjid dan kawan kawan, misalnya, pernah mendakwa mengikuti metode usul fiqh
Imam asy-Syatibi dari kitabnya, Al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Ahkâm, ketika
menggagas bukunya yang gagal, Fiqih Lintas Agama (2004). Abdul Moqsith Ghazali
(aktivis JIL) mencetuskan beberapa kaidah usul fiqh ‘baru’, semisal:
1. Abdullah, Muhammad Husain. 1995. Al-Wadhîh fî Ushûl al-Fiqh. Beirut: Darul Bayariq.
2. Adams, Ian. 2004. Ideologi Politik Mutakhir: Konsep, Ragam, Kritik, dan Masa Depannya (Political Ideology Today). Terjemahan oleh Ali Noerzaman. Yogyakarta: Qalam.
3. Al-Amidi, Saifuddin. 1996. Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm. Juz I. Beirut: Darul Fikr.
4. Al-Ja’bary, Hafizh M. 1996. Gerakan Kebangkitan Islam (Harakah Al-Ba’ts Al-Islami). Terjemahan oleh Abu Ayyub Al-Anshari. Solo: Duta Rohmah.
5. Al-Turabi, Hasan. 2003. Fiqih Demokratis. Bandung: Mizan
6. Armas, Adnin. 2003. Pengaruh Kristen-Orientalis Terhadap Islam Liberal. Jakarta: Gema Insani Press.
7. Asy-Syaukani. Tanpa Tahun. Irsyâd al-Fuhûl ilâ Tahqîq al-Haqq min ‘Ilm al-Ushûl. Beirut: Darul Fikr.
8. Az-Zuhaili, Wahbah. 1998. Ushûl al-Fiqh al-Islâmî. Juz I. Damaskus: Darul Fikr.
9. Ghazali, Abdul Moqsith. 2003. “Membangun Ushul Fiqih Alternatif.” www.islamlib.com
10. Husaini, Adian. 2004. “Mengapa Barat Menjadi Sekular-Liberal.” www.insistnet.com
11. Madjid, Nurcholish dkk. 2004. Fiqih Lintas Agama. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina & The Asia Foundation.
12. Said, Busthami M. 1995. Gerakan Pembaruan Agama Antara Modernisme dan Tajdiduddin (Mafhûm Tajdîduddîn). Terjemahan oleh Ibn Marjan dan Ibadurrahman. Bekasi: Wacana-lazuardi Amanah.
13. Watt, William Montgomery 1997. Fundamentalisme Islam dan Modernitas (Islamic Fundamentalism and Modernity). Terjemahan oleh Taufik Adnan Amal. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
No comments:
Post a Comment