ASAS HUKUM MERUPAKAN INDUK META-KAIDAH YANG BERADA DI
BELAKANG KAIDAH
M.Rakib Pekanbaru Riau Indonesia. 0823 9038 1888
‘Asas Hukum
merupakan meta-kaidah yang berada di belakang kaidah, yang memuat kriteria
nilai yang untuk dapat menjadi pedoman berperilaku memerlukan penjabaran atau
konkretisasi ke dalam aturan-aturan hukum’.
Asas-asas
hukum berfungsi, antara lain, untuk menetapkan wilayah penerapan aturan hukum
pada penafsiran atau penemuan hukum, sebagai kaidah kritis terhadap aturan
hukum, kaidah penilai dalam menetapkan legitimitas aturan hukum, kaidah yang
mempersatukan aturan-aturan atau kaidah-kaidah hukum, menjaga/memelihara
konsistensi dan koherensi aturan-aturan hukum.
Ikuti kami: feed rss facebook
twitter English
hukumonline
Bila Hukum Positif
Bertentangan dengan Asas Hukum
Fungsi asas kan sebagai yang
melatarbelakangi hukum positif yang dapat dijelmakan dalam uu dan putusan
hakim. Pertanyaannya bolehkah hukum positif di suatu negara dengan tidak
mengindahkan asas-asas hukum itu sendiri? Apakah ada sanksi jika suatu hukum
positif tidak mengindahkan asas-asas hukum itu? Apa perbedaan adagium dan asas?
Mohon bantuannya. "sebaik - baik orang adalah yang bermanfaat bagi orang
lain" thanks.
mahasiswa hukum semester 1
Jawaban:
Susi Dwi Harijanti, S.H., LL.M.,
Ph.D.
http://images.hukumonline.com/frontend/lt52f9f92ae1f9f/lt52fa1425d7f66.jpg
Adagium adalah ungkapan hukum, yang
berbeda dengan asas hukum. Contoh adagium hukum: ‘ubi societas, ibi ius’.
Berkaitan dengan asas hukum, Arief
Sidharta (tanpa tahun) menyatakan tiap aturan hukum itu berakar pada suatu asas
hukum, yakni ‘suatu nilai yang diyakini berkaitan dengan penataan masyarakat
secara tepat dan adil’. Mengutip Paul Scholten, ia mengatakan bahwa asas hukum
adalah ‘pikiran-pikiran dasar yang terdapat di dalam dan di belakang sistem
hukum, masing-masing dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-undangan dan
putusan-putusan hakim, yang berkenaan dengannya ketentuan-ketentuan dan
putusan-putusan individual tersebut dapat dipandang sebagai penjabarannya’.
Dengan demikian, menurut Arief
Sidharta, ‘asas hukum merupakan meta-kaidah yang berada di belakang kaidah,
yang memuat kriteria nilai yang untuk dapat menjadi pedoman berperilaku
memerlukan penjabaran atau konkretisasi ke dalam aturan-aturan hukum’.
Asas-asas hukum berfungsi, antara
lain, untuk menetapkan wilayah penerapan aturan hukum pada penafsiran atau
penemuan hukum, sebagai kaidah kritis terhadap aturan hukum, kaidah penilai
dalam menetapkan legitimitas aturan hukum, kaidah yang mempersatukan
aturan-aturan atau kaidah-kaidah hukum, menjaga/memelihara konsistensi dan
koherensi aturan-aturan hukum.
Asas hukum dapat diidentifikasi
dengan mengeneralisasi putusan-putusan hakim dan dengan mengabstraksi dari
sejumlah aturan-aturan hukum yang terkait pada masalah kemasyarakatan yang
sama. Dengan kata lain, asas hukum dapat ditemukan dari putusan hakim ataupun
hukum positif pada umumnya. Semestinya tiap hukum positif memuat asas hukum,
baik secara tersurat (dalam bentuk pasal) ataupun tersirat.
Dalam praktik, berbagai asas hukum
dapat saja saling bertentangan. Dalam hal terjadi demikian, penggunaan asas
hukum tertentu akan ditentukan oleh akal budi dan nurani manusia. Arief
Sidharta mengutip D.H.M. Meuwissen, menggolongkan asas-asas hukum ke dalam
klasifikasi berikut:
1.
asas-asas hukum materiil:
respek
terhadap kepribadian manusia
respek
terhadap aspek-aspek kerohanian dan aspek-aspek kejasmanian dari
2. keberadaan manusia sebagai pribadi
asas
kepercayaan yang menuntut sikap timbal-balik
asas
pertanggungjawaban
asas
keadilan
2.
asas-asas hukum formal:
asas
konsistensi
asas
kepastian
asas
persamaan
MUDAH MEMBID’AHKAN ATAU MEMURTADKAN
Islam
sebagai ideologi cenderung menjadi dogma
yang berpotensi besar untuk me-liyan-kan orang-orang yang dianggap menyimpang.
Sebagai ideologi, Islam bisa dengan mudah membid’ahkan atau memurtadkan
seseorang yang sejatinya masih muslim. Dan harus dicatat baik-baik, takfir adalah
hal yang sangat dihindari dalam paham Ahlus Sunnah wal Jamaah. Maka upaya Gus
Dur adalah mengedepankan gerakan kultural dan membumikan ajarannya sehingga
mudah diresapi orang awam.
Asas Legalitas, Kebebasan Hakim Menafsirkan
Hukum, dan Kaidah Yurisprudensi
Assalamualaikum. Saya mau tanya. Katanya hukum
tidak boleh berlaku surut, dan jika tidak ada UU maka Yurisprudensi bisa
dilakukan. Terus bagaimana dengan Asas Legalitas? Berarti orang bisa dong kena
hukuman walaupun tidak ada UU-nya, yaitu lewat Yurisprudensi?
AtaurRazaq
Seseorang dapat dihukum meskipun tidak ada
peraturan yang mengatur larangan perbuatan yang dilakukan orang tersebut.
Namun, kemungkinan tersebut bukan karena yurisprudensi. Untuk lebih jelasnya,
simak penjelasan di bawah ini.
Asas legalitas berlaku dalam ranah hukum pidana
dan terkenal dengan adagium legendaris von Feuerbach yang berbunyi nullum
delictum nulla poena sine praevia lege poenali. Secara bebas, adagium tersebut
dapat diartikan menjadi “tidak ada tindak pidana (delik), tidak ada hukuman
tanpa (didasari) peraturan yang mendahuluinya”. Secara umum, von Feuerbach
membagi adagium tersebut menjadi tiga bagian, yaitu:
1) tidak
ada hukuman, kalau tak ada Undang-undang,
2) Tidak
ada hukuman, kalau tak ada kejahatan
3) Tidak
ada kejahatan, kalau tidak ada hukuman, yang berdasarkan Undang-undang.
Adagium tersebut merupakan dasar dari asas bahwa
ketentuan pidana tidak dapat berlaku surut (asas non-retroaktif) karena suatu
delik hanya dapat dianggap sebagai kejahatan apabila telah ada aturan
sebelumnya yang melarang delik untuk dilakukan, bukan sesudah delik tersebut
dilakukan.
Sistem hukum yang berlaku di Indonesia tidak sama
seperti sistem hukum Anglo-Saxon yang menganut aliran freie rechtslehre yang
memperbolehkan hakim untuk menciptakan hukum (judge made law). Sistem hukum di
Indonesia menganut aliran rechtsvinding yang menegaskan hakim harus mendasarkan
putusannya kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini selaras
dengan ketentuan Pasal 20 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie
(“AB”) yang menyatakan bahwa hakim harus mengadili berdasarkan undang-undang.
Namun demikian, hakim tetap memiliki kebebasan untuk menafsirkan dan
berpendapat. Hakim memiliki keterikatan yang bebas (vrije gebondenheid) dalam
melaksanakan tugasnya mengadili suatu perkara.
Pada beberapa kesempatan, hakim akan dihadapkan
kepada keadaan harus mengadili suatu perkara yang tidak memiliki dasar hukum
atau pengaturan hukumnya tidak jelas. Dalam keadaan ini, hakim tidak dapat
menolak untuk mengadili perkara tersebut dengan dalih tidak ada hukum yang mengatur.
Hal ini sesuai dengan Pasal 10 ayat (1)
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU 48/2009”) yang
berbunyi:
“Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum
tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”
Juga dengan Pasal 5 ayat (1) UU 48/2009 yang
berbunyi:
“Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat.”
Selain dua ketentuan tersebut, Pasal 22 AB juga
menyatakan bahwa hakim yang menolak untuk mengadili dengan alasan
undang-undangnya bungkam, tidak jelas atau tidak lengkap, dapat dituntut karena
menolak untuk mengadili.
Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa
hakim harus mendasarkan putusannya dalam mengadili kepada peraturan
perundang-undangan dan bebas untuk menafsirkan dan menginterpretasikan hukum
tersebut. Meskipun demikian, dalam hal perkara yang diadili tidak ada atau
tidak jelas dasar hukumnya, hakim pun tetap wajib untuk mengadili perkara
tersebut. Sehingga pada prinsipnya, asas legalitas harus dijadikan pedoman awal
bagi hakim untuk mengadili kasus yang sedang mereka tangani.
Dalam hal putusan tersebut sudah berlangsung
sekian lama dan diputus oleh pengadilan tertinggi (Mahkamah Agung), maka
putusan tersebut dapat menjadi yurisprudensi. Yurisprudensi merupakan salah
satu sumber hukum formal selain undang-undang, kebiasaan, dan traktat.
Menurut S.J. Fockema Andreae dalam Rechtsgeleerd
Handwoordenboek, yurisprudensi dapat berarti ajaran hukum yang diciptakan dan
dipertahankan oleh peradilan
Dalam Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi (Ahmad
Kamil dan M. Fauzan, hal. 10), Prof. Subekti memberikan pengertian
yurisprudensi sebagai:
“Putusan-putusan hakim atau pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung sebagai pengadilan
kasasi, atau putusan Mahkamah Agung sendiri yang sudah berkekuatan hukum tetap,
maka barulah dapat dikatakan ada hukum yang dicipta melalui yurisprudensi.”
Ahmad Kamil dan M. Fauzan (hal. 11) juga
menyatakan bahwa Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) telah mengeluarkan
syarat-syarat suatu putusan dapat dianggap sebagai yurisprudensi, antara lain:
1. Putusan atas suatu peristiwa hukum yang
belum jelas pengaturan perundang-undangannya;
2. Putusan tersebut harus merupakan putusan
yang telah berkekuatan hukum tetap;
3. Telah berulang kali dijadikan dasar untuk
memutus perkara yang sama;
4. Putusan tersebut telah memenuhi rasa
keadilan;
5. Putusan tersebut dibenarkan oleh Mahkamah
Agung.
Hakim di Indonesia tidak terikat untuk
melaksanakan yurisprudensi. Yurisprudensi hanya dianggap sebagai pedoman atau
arahan untuk memutus suatu perkara. Apabila terdapat pertentangan antara hukum
yang ada dengan yurisprudensi, yang berlaku adalah hukum. Untuk memahami lebih
jelas mengenai pengertian yurisprudensi dan perbedaan sifat mengikatnya dengan
preseden silakan baca Perbedaan Sifat Mengikat antara Preseden dengan
Yurisprudensi.
Dengan demikian, harus dicermati bahwa kebolehan
hakim untuk menghukum seseorang tanpa adanya dasar hukum bukan karena
yurisprudensi, melainkan karena hal tersebut adalah prinsip dari kekuasaan
kehakiman untuk mencari keadilan.
Inilah yang membedakan Gus Dur dengan, misalnya,
Cak Nur yang cenderung elitis. Gus Dur bukan intektual yang berada di menara
gading, tapi sangat populis, organik, dan terjun ke lapangan, meski kadang
harus dicerca oleh beberapa elit agamawan. Dalam kolom-kolomnya pun Gus Dur
menulis dengan cukup populer, memakai adagium dan kaidah fiqh—satu hal yang
membedakan dengan tulisan-tulisan Cak Nur yang “berat”, penuh catatan kaki dan
rujukan.
Populisme dan berani menyatakan kebenaran meski harus menghadapi resiko
dicela itulah hal istimewa dari Gus Dur dan mulai jarang kita dapati pada ulama
dan pemimpin masa kini.
No comments:
Post a Comment