Friday, March 13, 2015

USHUL FIQH HUMANITARIAN YANG SEKULER



USHUL FIQH HUMANITARIAN YANG SEKULER
M.Rakib   Pekanbaru Riau Indonesia 2015
          Ushul Fiqh Humanitarian: Fiqih yang manusiawi munculnya disebabkan  beberapa problem mendasar yang perlu segera dibenahi, seperti sistematika pembahasan, kategorisasi dan perlunya penambahan ilmu-ilmu bantu ‘sekuler’ .Untuk sistematika pada bab awal (mukaddimah) perlu diberi penjelasan orientasi dari kajian ushul fiqh (bukan berupa tarjamah muallif) sehingga pembaca sudah mengerti peta persoalan yang akan dikaji. Penjelasan mengenai sejarah lahirnya ushul fiqh, perkembangan dan capaian serta tantangan modernitas yang akan dihadapi juga perlu ditampilkan guna memperjelas wilayah obyek formil dan materiil juga penyadaran akan tuntutan (baca: ekspektasi) dinamika keilmuan yang demikian besar terhadap ushul fiqh.
kaum liberal, seperti Jaringan Islam Liberal (JIL), mempunyai ushul fiqih? Pertanyaan ini harus dijawab terlebih dahulu. Jangan-jangan setelah sibuk mengkritik secara serius, ternyata mereka tidak memilikinya. Ini sama saja dengan memasak pepesan kosong. Untuk itu, patut diketahui dahulu pengertian ushul fiqih serta apa saja yang menjadi cakupan studi ushul fikih. Menurut ulama ushul fiqih mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali, ushul fiqih adalah kaidah-kaidah (qawa'id) yang dapat mengantarkan pada penggalian (istinbath) hukum syariat dari dalil-dalilnya yang terperinci. Sedangkan menurut ulama mazhab Syafii, ushul fiqih adalah pengetahuan mengenai dalil-dalil fiqih yang bersifat global, tatacara pengambilan hukum dari dalil-dalil itu, serta keadaan orang yang mengambil hukum.

     Dari berbagai defenisi itu, topik (mawadhu) ushul fiqih menurut Muhammad Husain Abdullah (Abdullah, Al-Wadhih fi Ushul al-Fiqih hlm.29), meliputi 4 (empat) kajian yaitu:
(1) Kajian tentang dalil-dalil hukum yang bersifat global (al-adillah al-ijmaliyyah), misalnya al-Qur'an, as-Sunnah, Ijma, Qiyas, dan seterusnya.
(2) Kajian tentang hukum syariat (al-Hukum asy-syar'i) dan hal-hal yang terkait dengannya, seperti defenisi hukum syariat dan macam-macamnya.
(3) Kajian tentang cara memahami dalil (fahm al-dalil) atau pengertian kata (dalalah al-alfazh), misalnya tentang manthuq (makna eksplisit) dan mahfum (makna implisit)
(4) Kajian tentang ijtihad dan taklid, termasuk tatacara melakukan tarjih (analisis) untuk memilih yang terkuat dari sekian dalil yang tampak bertentangan (ta'arudh).

     Nah, kalau defenisi ushul fiqih dan cakupan kajiannya itu ditetapkan pada ide-ide ushul fiqih kaum liberal, apakah mereka memang memiliki ushul fiqih sendiri?
Seorang pakar dan kritikus ide  liberal, Dr. Busthami Muhammad Said, menyimpulkan, ijtihad dalam ushul fiqih di kalangan kaum liberal- mulai dari Sayyid Ahmad Khan, Muhammad Abduh, Qasim Amin, Ali Abdur Raziq, Thaha Husain, dan lainnya-tidak lebih dari sekedar teori belaka, tanpa kenyataan. Jadi, kaum liberal sebenarnya tidak mempunyai ushul fiqih, dalam defenisi yang sesungguhnya.
    Karya mereka tidak pernah menerangkan dengan jelas, apa sebenarnya dalil syariat (sumber hukum) itu. Buktinya, perilaku pejabat yang suka menghadiri perayaan hari raya non-Islam dijadikan dalil bagi bolehnya merayakan hari raya agama selain Islam. Mereka juga tidak pernah menerangkan dengan tuntas, bagaimana metode penggalian hukum dari dalilnya, selain mengklaim bahwa metodenya adalah hermeneutika (Adnin Armas, Pengaruh Kristen-Orientalis Terhadap Islam Liberal h. 35). Padahal metode ini aslinya adalah untuk menafsirkan Bible (Perjanjian Lama dan Baru); tentu tidak cocok untuk menafsirkan al-Qur'an, karena Bible dan al-Qur'an sangat jauh berbeda, seperti bumi dan langit. Tidak aneh jika Norman Daniel (Daniel, Islam and The West: The Making of an Image h. 53) menegaskan, "The Quran has no parallel outside Islam (Al-Qur'an tidak mempunyai kesejajaran dengan [kitab lainnya] di luar Islam)." (Adian Husaini, "Mengapa Barat Menjadi Sekular-Liberal," www.insistnet.com).

    Walhasil, ushul fiqih kaum liberal sangat diragukan eksistensinya. Akan tetapi, barangkali ada yang bertanya, bukankah mereka kadang menyampaikan gagasan seputar ushul fiqih? Hasan at-Turabi, misalnya,dikenal menyerukan pembaruan (tajdid) di bidang ushul fiqih (At-Turabi, Fiqih Demokratis, Bandung: Mizan, 2003). Jauh sebelum itu, pada 70-an, Jamaluddin Athiyah dalam Majalah Al-Muslim al-Mu'ashir edisi November 1974, juga Ahmad Kamal Abul Majid, tokoh liberal lainnya, dalam majalah Al-'Arabi edisi Mei 1977, telah mengajak umat Islam untuk berijtihad dalam ushul fiqih, bukan hanya dalam fiqih (Said, 1995: 266).

    Kaum liberal Indonesia pun kadang menggembar-gemborkan ushul fiqih baru. nurcholish Madjid dkk, misalnya, pernah mengklaim mengikuti metode ushul fiqih Imam as-Syatibi dalam kitabnya, Al-Muwafaqat fi al-Ahkam, ketika menggagas bukunya yang gagal, Fiqih Lintas Agama (2004). Abdul Moqsith Ghazali (aktivis JIL) mencetuskan beberapa kaidah ushul fiqih 'baru', semisal:
(1) Al-'Ibrah bi al-maqashid la bi al-alfazh ( yang menjadikan patokan hukum adalah maksud/tujuan syariat, bukan ungkapannya [dalam teks]);
(2) Jawaz naskah nushush bi al-maslahah (boleh nash dengan maslahat);
(3) Tanqih nushush bi 'aql al-mujtama' (boleh mengoreksi teks dengan akal [pendapat] publik) (www.islamlib.com,publikasi 24/ 12/2003).

   Bukankah ini adalah ushul fiqih karya kaum liberal???
   Jawabnya tegas: tidak. Sebab, meskipun dalam beberapa hal mereka seolah-olah membahas ushul fiqih-seperti kaidah-kaidah ushul di atas-sebenarnya tujuannya sangat tendensius, yaitu menundukkan fiqih Islam pada nilai-nilai peradaban Barat yang kufur, bukan untuk melahirkan fiqih yang shahih agar bisa menjadi pedoman hidup masyarakat Islam, sebagaimana tujuan para ahli ushul fiqih yang sesungguhnya. Jadi, kalau pun bisa disebut ushul fiqih, karya kaum liberal itu bukanlah ushul fiqih sejati, melainkan pseudo ushul fiqih, alias ushul fiqih palsu.
 Paradigma Ushul Fiqih Liberal
     Mengapa ushul fiqih mereka palsu? Sebab, paradigmanya bukan Islam, melainkan sekularisme, yang menjadi pangkal peradaban Barat; peradaban kaum penjajah. Ini tampak dalam upaya mereka menjadikan ushul fiqih tunduk di bawah nilai-nilai peradaban Barat. Jadi, secara sengaja, ushul fiqih diletakkan sebagai subordinat dari peradaban Barat yang sekular.

Ada usaha untuk redifinisi atas term-term yang selama ini mengalami proses pembekuan. Redefinisi ini juga bermakna re-klasifikasi dan re-kategorisasi. Bab ini sangat penting sebagai solusi atas jumbuh dan ruwetnya memahami ushul fiqh seperti yang penulis rasakan. Mulai dari bab ini dibahas dan dikaji ulang soal hukum, hakim, dalil dan istidlal.
Dalam literatur ushul fiqh yang ada, disebutkan ada dua hukum, wad`i dan taklifi. Yang perlu dipertimbangkan ulang adalah penempatan istishab juga dalam pembahasan wad`i bukan pada dalil seperti yang ada. Alasannya, kalau rukhsah dan ‘azimah termasuk bagian wad`i seharusnya istishab juga masuk. Jika ‘azimah adalah hukum asal yang ditinggalkan karena adanya rukhsah maka istishab adalah hukum asal yang tidak berubah karena tidak adanya ketentuan lain yang bisa merubahnya.
Dalam pembahasan al-Hākim bisa dipastikan kalau ulama ushul bersepakat hanya Allah semata yang dimaksud. Namun pasca wafatnya Rasulullah nalar kita sepertinya susah menerima kebenaran statement ini. Ketika Rasul wafat, umat Islam (mulai dari sahabat hingga hari kiamat) hanya ditinggali dua bekal, al-Qur`an dan as-Sunnah. Keduanya berupa teks.[1] Tidak bisa dibantah adanya bahwa pembacaan dan pemahaman setiap orang akan sebuah teks yang sama sangat dimungkinkan berbeda (untuk tidak dibilang pasti), dan keduanya absah (mushawwibah) meski tetap harus menanggung resiko (mukhatti`ah) atas hasil bacaannya. Sejarah telah merekam dengan baik perbedaan itu benar-benar terjadi sejak zaman al-Khalifah ar-Rasyidah hingga makalah ini dibuat. Walau atas nama “teks” tapi hasilnya tidak bisa dipersamakan dan apalagi dipastikan seperti itu kemauan, maksud dan kehendak pemilik teks yang sebenarnya, no body knows, wallahu a`lamu dimurādihi. Oleh sebab itu, al-Hakim tidak lagi semata Allah, tapi juga Shahabat (kalau Muhammad dalam hal ini dianggap dalam kapasitas, wama yanthiqu `an al-hawa in huwa illa wahyun yuha), Mujtahid, Qadli, Pemerintah (dengan perangkatnya), MUI, NU (dengan Mubes Alim Ulama/Bahtsul Masa-ilnya), Muhammadiyah (lewat Majelis Tarjihnya), FPI, HTI, MMI wama asybaha dzalik. Sehingga apapun keputusan yang mereka hasilkan adalah keputusan mereka bukan keputusan Tuhan, not as voice of God anymore.
Bab berikutnya adalah pembahasan tentang dalil.  Menurut keyakinan penulis yang seharusnya masuk dalam pembahasan ini hanya ada enam: al-Qur`an, as-Sunnah, al-Maslahah, Mazhab as-Shahabi, al-‘Urf, dan Syar`u Man Qablana. Qiyas dan Ijma` rancu dimasukkan sebagai dalil (obyek materiil) tapi lebih tepat ke dalam istidlal (obyek formil) sebab ia mempergunakan al-Qur`an dan as-Sunnah sebagai dalilnya. Demikian pula dengan istihsan, istislah dan sad al-dzariah yang menjadikan al-maslahah sebagai dalilnya.
Bab terakhir yang merupakan sumbangan terbaru adalah istinbāth dengan membagi pada empat pembahasan: Ta`shil  (mencarai originalitas teks) dengan al-jarh wa at-ta`dil; Ta`wil (mencari originalitas makna) dengan qiyas, maqashid, qawaid al-lughawiyyah dan ilmu-ilmu ‘sekuler’ hermeneutika, semiotika, filologi,linguistik dan epistemologi; Tathbiq (mewujudkan mashlahah) dengan ijma`, istihsan, istishlah dan sad al-dzari`ah; Tarjih (mencari yang terbaik) dengan at-tarjih, al-jam`u, an-naskh dan at-tark.
Ikhtitām

Demikian ijtihad yang bisa dilakukan oleh penulis hingga saat ini, meski sebatas talwis tidak substantif apalagi dekonstruktif, minimal tulisan ini diharapkan bisa menjadi lecutan bagi kepekaan intelektual kita semua untuk ikut aktif terlibat dalam penciptaan lapangan ijtihad bagi para pengangguran intelektual yang akhir-akhir ini semakin banyak bergentayangan dengan berbagai bentuk, corak dan rupa demi tsamanan qalilā, na`udzubillah.
Selanjutnya meski ada rambu-rambu moral, al-ijtihad la yunqadu bil ijtihad, tapi penulis sangat berharap terhadap kedermawanan pembaca untuk mendermakan secuil kritiknya bagi tulisan ini dalam rangka tawāshau bil haq. Sekian, mohon maaf dan semoga bermanfaat, amin. Wassalam.



[1]Yang hanya memuat 114 surat dengan maksimal 6666 ayat plus Kutub at-Tis`ah (yang tidak lebih dari 100 ribu hadits tanpa tikrar dan syawahid)

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook