“Adilkah Agama Terhadapmu kaum homo ”
“Professor kok beraninya cuma gertak mahasiswi….”
“Aneh, betul-betul profesor preman. Beraninya cuma dengan
kaum lemah. Betul-betul mental antek”, kata Munarman.
Inilah berita-berita tentang kasus itu:
Pemikiran Liberalnya
Dikritisi, ‘Ratu SEPILIS’ Musdah Mulia Ancam Mahasiswi.
Menurut berita nih, Musdah
Mulia naik pitam. Ia mengancam akan pidanakan mahasiswi yang mengkritisi
dirinya sebagai pemikir liberal yang mengharamkan poligami, menghalalkan nikah
beda agama, membolehkan kawin kontrak, dan mengutak-atik hukum pernikahan.
Ancaman
itu dilayangkan Musdah yang juga Wakil LSM Indonesia Conference of Religions
and Peace itu karena Umi Kaltsu, mahasiswi Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Hasanuddin (Unhas), karena dianggap melakukan kritikan yang tajam atas
pendapat-pendapatnya saat memberikan materi di seminar perempuan tingkat
nasional bertema “Adilkah Bangsa dan Agama Terhadapmu” di Gedung Mulo, Jl
Sungai Saddang, Makassar, Senin (30/5/2011).
HOMOSEKSUAL DALAM AGAMA
Homoseksualitas
Dalam Agama selalu dipandang dan dicap sebagai ‘’unnatural’’ (tidak
natural), ‘’ungodly’’ (durhaka) dan ‘’impure’’ (tidak murni) (Yip, 2005). Saya
tidak anti terhadap semua agama dan kepercayaan di Indonesia, justru saya
semakin berterima kasih dengan kekayaan agama dan kepercayaan yang ada di
Indonesia karena dengan keberagamannya, Indonesia semakin kaya dengan budaya
baik yang tampak maupun yang tidak tampak. Namun sepertinya saya harus menyebut
satu agama, yaitu Islam, yang terlihat tidak begitu (atau malah sama sekali)
mentolerir keberadaan homoseksualitas dalam bentuk apapun, sehingga penelitian
Finke dan Adamczyk (2008) menemukan bahwa orang-orang Muslim memiliki perilaku
yang konservatif terhadap homoseksual daripada orang-orang non Muslim. Padahal
bagi saya, setidaknya, tidak selamanya orang Muslim memiliki padangan
konservatif seperti yang ditemukan oleh Finke dan Adamczyk. Masih banyak negara
di dunia ini yang masyarakat non-Muslimnya juga tidak sependapat dengan
homoseksualitas.
Namun demikian, temuan Finke dan Adamczyk
(mungkin) saja dapat dijadikan sebuah justifikasi karena kekonservatifan
pemikiran-pemikiran masyarakat Muslim yang demikian juga tidak bisa terlepas
dari adanya ‘’agama negara’’ yang turut membentuk perilaku dalam memandang
homoseksualitas (Moore dan Vanneman, 2003). Bagaimana mendeskripsikan ‘’agama
negara’’ ?
Sebagai orang Indonesia, kita semua mengetahui
bahwa terdapat agama resmi yang diakui oleh Pemerintah Indonesia ; Islam,
Protestan, Katolik, Hindu dan Budha. Selain agama-agama tersebut, masih banyak
aliran kepercayaan yang masih sangat kuat dijalankan oleh masyarakat adat,
bahkan kadang kala kita dapat melihat bagaimana agama yang diakui Pemerintah
dipadupadankan dengan kepercayaan setempat. Namun bolehlah kita
menjustifikasi bahwa ‘’agama negara’’ Republik Indonesia adalah Islam; bukan
Protestan, bukan Katolik, bukan Hindu, bukan Budha, bahkan sama sekali bukan
aliran kepercayaan. Sebagai ‘’agama negara’’, Islam dipraktekkan secara
religius tentunya oleh umat Muslim dengan sholat lima waktu, dan lain
sebagainya, namun secara budaya, Islam pun dipraktekkan oleh orang non Muslim,
seperti menyebut Alhamdulillah, Bismillah, dan lain
sebagainya. Secara tidak langsung, orang-orang non Muslim tersebut dalam
perjalanannya terpengaruh oleh ‘’agama negara’’ dimana mereka tinggal seperti
yang ditemukan oleh Moore dan Vanneman (2003) dalam penelitiannya di Amerika
Serikat bahwa orang-orang yang tinggal di daerah yang sangat religius memiliki
tendensi untuk berperilaku konservatif, meskipun mereka adalah orang-orang yang
sama sekali tidak menjalankan perintah agama atau mereka yang tidak seagama
sekalipun. Begitupun dalam melihat permasalahan homoseksualitas, bahwa dengan
‘’agama negara’’ masyarakay Indonesia dari hampir semua agama dan kepercayaan
memandang seorang gay, lesbian, dan waria adalah orang yang pantas untuk
dihukum. Inilah akibat ‘’agama negara’’ yang nampaknya sudah diinterpretasikan
sebagai sebuah ‘’resep agama’’ yang mengharamkan homoseksualitas (Helie, 2004).
Maka saya dapat mengatakan bahwa ‘’agama negara’’ sangat bertanggung jawab
dalam menyumbangkan kerangka pemikiran negatif terhadap homoseksualitas.
“Agama Negara” dalam Tinjauan MakroKasus terbaru yang bisa diekuivalensi dengan ‘’agama negara’’ adalah diberlakukannya Qanun Jinayah di Provinsi Aceh khususnya Qanun Jinayah yang bersinggungan dengan masalah seksualitas dan orientasi seksual karena disinyalir sebagai pelanggaran syariat agama. Qanun Jinayah yang menyinggung masalah sosial masyarakat tersebut mengatur beberapa hukuman untuk kasus kriminal, seperti perkosaan, pelecehan seksual, zina, perbuatan mesum, judi, dan mabuk.
Permasalahan yang cukup menganggu pikiran saya
terhadap pelaksanaan Qanun Jinayah ini adalah pengaturan hubungan homoseksual
yang apabila dilaksanakan maka mereka dikenakan hukuman cambuk sebanyak 10
sampai 150 kali atau denda sebanyak 1000 gram emas. Meskipun di dalam aturan
Qanun Jinayah diketahui bahwa sang pelanggar dapat memilih jenis hukuman
(Jinayah atau dilaksanakan sesuai hukum pidana), akan tetapi pelaksanaan
hukuman bagi pasangan homoseksual yang didasari atas “suka sama suka” tidak
seharusnya dilaksanakan. Perbedaan mendasar pelaksanaan hukuman harus
didasarkan kepada kasus pemaksaan dari salah satu pasangan homoseksual karena
ketika pada suatu hubungan terdapat unsur pemaksaaan maka secara otomatis
terdapat sebuah ancaman di pihak lain.
Pelaksanaan Qanun Jinayah di Provinsi Aceh mendeskripsikan bagaimana “agama
negara” bermain di dalam sebuah masyarakat. Memang betul tidak dapat kita
pungkiri, bahwa Provinsi Aceh disebut sebagai “Serambi Mekah” karena secara
historis di Aceh lah Kerajaan Islam Samudera Pasai berdiri. Seolah-olah dengan
penyebutan “Serambi Mekah”, agama Islam lah yang harus dijunjung tinggi tanpa
mengindahkan keberagaman agama-agama lain.“Yang penting mereka harus menghormati rumah kita sendiri, jangan gaya di Eropa dibawa ke Aceh. Siapapun yang datang ke Aceh harus ikut aturan yang berlaku di Aceh,” tegas Ramli Sulaiman, ketua komisi G, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh[1].
Pernyataan diatas sesungguhnya mengesankan (atau
dengan kata lain memaksa) “agama negara” harus berdiri di Provinsi Aceh yang
memiliki basis agama Islam. Lantas mengapa Provinsi Sulawesi Utara atau
provinsi-provinsi lain yang memiliki basis agama non Islam tidak dapat
memberlakukan hukum non Muslim seperti yang terjadi di Provinsi Aceh? Terlepas
dari makna historis Provinsi Aceh yang semula dijadikan provinsi istimewa,
seharusnya penetapan “agama negara” tidak terjadi.
“Agama Negara” dalam Tinjauan MikroTidak itu saja. Pendiskriminasian terhadap homoseksualitas dapat terjadi di dalam sistem mikro, yaitu institusi keluarga. Inilah yang terjadi pada salah satu responden penelitian saya di Perancis.
Sebut saja namanya Iwan, 36 tahun. Ia sudah lama
bermigrasi ke Perancis dan memutuskan untuk tidak melanjutkan hubungan dengan
keluarga intinya di Indonesia. Orang tua Iwan adalah penganut agama Islam yang
sangat taat beragama, begitu juga dengan dua adik perempuannya. Iwan
bernegosiasi bahwa dirinya-lah yang memutuskan tali kekeluargaan tersebut
karena Ia merasa bahwa orang tuanya akan merasa malu apabila mereka memiliki
anak seorang gay. Begitupun dengan keluarga besarnya yang menurutnya tidak
melulu Muslim, kerap kali melakukan sindiran bahkan cemoohan terhadap orientasi
seksualnya.
Yang perlu diketahui terlebih dahulu bahwa masih
banyak orang tua yang belum memahami apa itu homoseksualitas sehingga mereka
selalu memiliki pemikiran-pemikiran negatif terhadap hal itu. Menurut Strommen
(1998), ada dua reaksi yang dihadapi oleh orang tua ketika mengetahui bahwa
anaknya seorang gay. Yang pertama adalah malu, dan yang kedua adalah mereka
merasa gagal dalam mendidik buah hatinya, sehingga orang tua berpikir bahwa
memiliki anak seorang gay adalah hal yang sangat memalukan (Rothman dan
Weinstein, 1996). Penolakan akan semakin besar dan mengkhawatirkan apabila
mereka berada di dalam lingkungan keluarga yang sangat fanatik dengan agama
tertentu, seperti yang dikatakan oleh Blumenfeld dan Raymond (1998) bahwa
keluarga yang memiliki rasa fanatik agama yang sangat tinggi, akan terus
menerus fokus terhadap agamanya melampaui fokus mereka terhadap anggota keluarganya.
Oleh karena itu, seorang gay yang tinggal di dalam lingkungan keluarga seperti
itu, merasa ragu (atau mungkin tidak akan pernah sama sekali) mengakui
orientasi seksualnya karena mereka tahu bahwa akan terjadi reaksi negatif dari
keluarganya sendiri bahkan dari lingkungan masyarakat baik Muslim atau non
Muslim.
No comments:
Post a Comment