DISERTASI M. RAKIB
OLEH M.RAKIB SH., M.Ag. Muballigh IKMI Riau Indonesia
Buah lakum, di
samping rumah,
Dibuat sambal, di pagi hari.
Kuat hukum negara, tidak singkirkan agama,
Kuat agama tidak, anti aturan negeri.
Air deras, hanyutlah peti,
Buku Hamka, di seberang.
Aku cemas , bersedih hati,
Melihat KaPeKa, dilemahkan orang.
Buku Hamka, di seberang.
Aku cemas , bersedih hati,
Melihat KaPeKa, dilemahkan orang.
Orang di suarau, bersorak-sorak
Menabuh gendang, dengan rebana.
Alangkah risau, hati awak.
Pelindung hukum, dapat bencana.
Ingin tahu, cara menyayat,
Lihatlah pandan nan berduri
Sungguh malang, nasib rakyat,
Pengawal hukum, perkaya diri.
Memancing di belakang gudang
Nasi masak, gulai tertumpah
Menangis rakyat, me minta uang
Konglomerat, menganggapnya sampah
Kucing takut, sampai menggigil,
Melihat tikus, membawa lidi.
Buat yang patut, jangan mengganjil,
Gunakan kepekaan, hatinurani.
Seekor tikus, dingin menggigil,
Melihat kucing, membawa lidi.
Melihat kucing, membawa lidi.
Koruptor melakukan, perbuatan ganjil,
Terlalu rakus, pura-pura mengabdi.
Orang langkat, membeli batik,
Batik dijual, anak seberang.
Terbang semangat, ahli politik,
Melihat teroris, terus berjuang.
Tudung saji, hanyut terapung
Hanyut terdampar, di air sungai
Si Alim seorang, pencuri kampung,
Ingin melerai, tangan tak sampai.
Dari Malaka, ke negeri Pahang
Singgah ke kedai, beli kuini
Rakyat pribumi, bagaikan menumpang
Pemodal asing, makmur di sini.
Kalau masak, buah papaya,
Pakailah motor, bawa ke Bali.
Kalau Indonesia ingin, kaya raya,
Lenyapkan koruptor, dari bumi.
DISERTASI BIMBINGAN AMIR LUTHFY
DASAR-DASAR
KETENTUAN HUKUM DALAM ISLAM
A. Sumber
Hukum Islam
1. Al-Qur’an
Subhi Al-Salih mendefinisikan
Al-Qur'an sebagai berikut:“Kalam Allah SWT yang merupakan mukjizat yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW dan ditulis di mushaf serta diriwayatkan dengan mutawatir,
membacanya termasuk ibadah.”
Al-Qur’an
memperoleh kelayakannya di setiap waktu dan tempat, karena Islam adalah agama
yang abadi. Dari sumber inilah asalnya seluruh syari’at Islam. Karena itu
untuk menetapkan sanksi harus berdasarkan ketetapan Al-Qur’an, agar tidak
termasuk orang yang ingkar. Allah SWT berfirman: ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك
هم الكافرون…
“…Barang siapa tidak memutuskan
perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang
yang kafir.”[1]
Fakhr ar- Razi,
menyatakan ada dua hal utama dalam memahami ayat ini: Pertama, yang dimaksud firman Allah di atas adalah ancaman
terhadap orang Yahudi atas keberanian mereka mengingkari hukum Allah yang telah
dinashkan dalam Taurat, mereka
berkata: Itu tidak wajib. Karena itulah mereka menjadi kafir secara mutlak. Kaum
Khawarij berpendapat bahwa setiap orang yang bermaksiat kepada Allah, maka ia
kafir, sedangkan Jumhur ulama berpendapat bahwa ayat tersebut merupakan ancaman bagi orang
yang tidak berhukum dengan hukum Allah, bisa disebut kafir. Di dalam ayat 46,Surat Al-Maidah
dikatakan bahwa orang tidak berhukum kepada hukum Allah, disebut zalim. Asy-Sya'bi, menyatakan bahwa julukan kafir itu bagi orang Islam, julukan zalim bagi orang Yahudi, dan fasik bagi orang Nasrani, jika mereka tidak mengikuti hukum
Allah. Tapi Al-Zamakhsyari
menyatakan, tiga sifat itu, dinisbatkan kepada orang kafir (Ahli Kitab) menunjukkan
penghinaan terhadap mereka karena
melampaui batas.[2]
Dalam Al-Quran terdapat 200 ayat yang khusus membicarakan dan
menjelaskan segala hal yang berkaitan dengan masalah “zalim” atau “kezaliman”,[3] suatu
perbuatan yang sangat dibenci oleh Allah SWT. Dia
sangat benci kepada orang-orang yang zalim.” Sebagaimana dalam Q.S.Ali ‘Imraan: 57. Secara umum makna
kata “zalim” yang dikenal adalah segala tindak kekerasan ataupun
berbuat aniaya; baik kepada orang lain maupun kepada diri sendiri. Dalam
syari’at (Agama
Islam) yang sesuai dengan Al-Baqarah ayat 229 bahwa orang
yang melanggar hukum-hukum Allah, itulah
yang zalim”; makna “zalim” yang didefinisikan oleh para ulama,“segala tindakan yang
melampaui batas, tidak lagi sesuai
dengan ketentuan Allah
SWT, baik dengan cara menambah
ataupun mengurangi hal-hal yang
berkaitan dengan waktu; tempat atau letak maupun sifat dari perbuatan-perbuatan
yang melampaui batas tersebut. Dan itu berlaku untuk masalah-masalah yang berkaitan dengan ibadah
(hablun-minallah),
maupun hubungan kemanusiaan dan alam semesta, baik itu dalam skala kecil maupun
besar, tampak ataupun tersembunyi.”[4]
Kewajiban berhukum kepada al-Qur’an
termasuk masalah pokok, karena menjadi dasar bagi seorang Muslim untuk
berpegang teguh terhadap hukum-hukum amaliahnya
yang akan dipertanggungjawabkan. Apabila landasan suatu hukum sudah salah,
seluruh hukum-hukum cabang yang dihasilkannya menjadi salah pula. Karena itu
menetapkan sumber syariat Islam tidak dapat dilakukan berdasarkan persangkaan
ataupun dengan dugaan belaka, tapi berdasarkan kalam Allah yang diturunkan
melalui perantaraan malaikat Jibril kepada Rasulullah saw dengan menggunakan
bahasa Arab disertai kebenaran agar dijadikan hujjah (argumentasi) dalam
hal pengakuannya sebagai rasul dan agar dijadikan sebagai pedoman hukum bagi
seluruh ummat manusia, di samping merupakan amal ibadah bagi yang membacanya.
Al-Qur’an
diriwayatkan dengan cara tawatur (mutawatir) yang artinya
diriwayatkan oleh orang sangat banyak semenjak dari generasi shahabat ke
generasinya selanjutnya secara berjamaah. Apa yang
diriwayatkan oleh orang perorang tidak dapat dikatakan sebagai Al-Qur’an.
Orang-orang yang memusuhi Al-Qur’an dan membenci Islam telah berkali-kali
mencoba menggugat nilai keasliannya. Akan tetapi realitas sejarah dan
pembuktian ilmiah telah menolak segala bentuk tuduhan yang mereka lontarkan.
Al-Qur’an adalah kalamullah, bukan ciptaan manusia, bukan karangan
Muhammad SAW., ataupun saduran dari kitab-kitab
sebelumnya. Al-Qur’an tetap menjadi mu’jizat sekaligus sebagai bukti
keabadian dan keabsahan risalah Islam, sebagai
sumber segala sumber hukum :
a. Kehujjahan Al-Qur’an
a. Kehujjahan Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan hujjah bagi manusia,[5] serta hukum-hukum yang terkandung di dalamnya merupakan dasar hukum yang wajib dipatuhi, karena Al-Qur’an merupakan kalam Al-Khaliq, yang diturunkannya dengan jalan qath’i dan tidak dapat diragukan lagi sedikitpun kepastiannya. Berbagai argumentasi telah menunjukkan bahwa Al-Qur’an itu datang dari Allah dan ia merupakan mukjizat yang mampu menundukkan manusia dan tidak mungkin mampu ditiru. Salah satu yang yang menjadi kemusykilan manusia untuk menandingi Al-Qur’an adalah bahasanya, yaitu bahasa Arab, yang tidak bisa ditandingi oleh para ahli syi’ir orang Arab atau siapa pun. Allah SWT berfirman:
.[6]
Katakanlah: Sesungguhnya apabila jin dan manusia mereka apabila
berkumpul untuk membuat suatu kitab yang serupa dengan Al-Qur’an ini. Pastilah mereka tidak
akan dapat membuat tandingan yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka
menjadi pembantu bagi sekalian yang lain.[7]
Dan apabila kamu tetap merasa
dalam keraguan tentang kebenaran Al-Qur’an yang kami wahyukan
kepada hamba kami (Muhammad), maka buatlah satu surat (saja) sebagai tandingan yang semisal Al-Qur’an, dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah,
jika kamu orang-orang benar.”[8]
Membuat satu surat menyamai Al-Qur’an, memang tidak mjungkin, seperti pernyataan Walid bin Mughirah, salah seorang Quraisy di masa Rasulullah SAW, seorang ahli syair yang tak tertandingi, yang menjadi musuh Nabi pada awalnya berkata: “Sesungguhnya di dalam Al-Qur’an itu terdapat sesuatu yang lezat, lagi pula keindahannya, apabila di bawah, menyuburkan, dan apabila di atas, menghasilkan buah. Dan manusia tidak mungkin mampu berucap seperti Al-Qur’an.”[9] Selain dari bahasanya, isi Al-Qur’an sekaligus menjadi hujjah atas kebenarannya. Misalnya perihal akan menangnya kaum Muslimin memasuki Makkah dengan aman, juga tentang prediksi akan menangnya pasukan Romawi atas Parsi (QS. Ar-Ruum).[10]
Selain
isi Al-Qur’an menunjukkan tentang kejadian sejarah terdahulu yang sesuai dengan
fakta, ada pula sebagian
berkaitan dengan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi(Iptek),
misalnya tentang penyerbukan oleh lebah, bahkan
tentang reproduksi, buah-buahan oleh
bantuan angin. Pada akhirnya terbuktilah kebenaran al-Qur’an.
Semua itu menunjukkan bahwa Al-Qur’an memang bukan datang dari manusia
melainkan dari Allah SWT; Sang Pencipta dan Pengatur Alam Semesta. Karenanya
memang sudah menjadi kelayakan bahkan keharusan bagi umat
Islam untuk
menjadikannya sebagai
landasan kehidupan dan landasan hukum:.
b. Keseimbangan
kata dalam al-Qur’an
M.Quraish Shihab dalam bukunya “Membumikan Al-Qur’an”,menerangkan tentang keseimbangan penggunaan kata dalam Al-Qur’an yang begitu kuat mengundang rasa ingin tahu, antara lain:
1) Keseimbangan kata yang bertolak belakang
(a) Al-hayah (hidup)
dan al-mawt (mati), masing-masing disebut 145 kali
(b) Al-naf(manfaat)
dan al-madharrah (mudarat) masing-masing disebut 50 kali
(c) Al-har (panas)
dan al-bard masing-masing disebut 4 kali
Al-shalihat
(kebajikan) dan al-sayyi’at (keburukan) masing-masing disebut 167 kali.
(d) Al- tuma’ninah
(kelapangan / ketenangan) dan al-dhiq (kesempitan / kekesalan), masing-masing
disebut 13 kali
(e) Al-rahbah (cemas/takut) dan al-raghbah
(harap/ingin) masing-masing disebut 8 kali.[11]
2) Keseimbangan jumlah kata
dengan sinonimnya (yang artinya sama)
(a) AL-harts dan al-Zira’ah
(membajak/bertani) masing2x disebut 14 kali
(b) Al-uhbdan al-dhurur
(membanggakan diri/ angkuh) masing2x disebut 27 kali
(c) Al-aql dan al-nur
(akal dan cahaya) masing2x disebut 49 kali
(d) Al-jahr dan al-alaniyah(nyata),
masing2x disebut 16 kali
(e) Zakat disebut 32 kali dan barokah
juga disebut 32 kali.[12]
3) Keseimbangan antara
jumlah kata yang menunjuk kepada akibatnya
(a) Al-infak(infak) dengan al-ridha
(kerelaan), masing-masing disebut 73 kali.
(b) Al-bukl(kekifiran) dengan al-hasanah
(penyesalan) masing-masing disebut 12
kali.
(c) Al-kafirun (orang2x kafir) dengan al-nar/al-ahraq
(neraka/pembayaran) masing2x disebut 154 kali
(d) Al-zakah (zakat/penyucian) dengan al-barakat
(kebajikan) masing-masing disebut 32 kali
Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW.,secara
bertahap dalam kurun waktu 22 tahun, 2 bulan, 22 hari. Di antara ayat-ayat
itu diturunkan untuk memberikan jawaban dalam berbagai peristiwa yang
terjadi saat itu.
c. Tafsir Al-Qur’an
Tafsir al-Qur’an, menerangkan maksud pada lafadz-nya, dijelaskan
dengan lafadz lain ,sehingga tidak
ada keraguan lagi. Tafsir
Al-Qur’an merupakan penjelasan makna kata demi kata, serta
makna susunan kalimat, sebagaimana adanya. Terkadang suatu
ayat dijelaskan oleh ayat lainnya (tafsir ayat bil ayat atau bil hadits)Rasulullah
SAW.,(tafsir bis Sunnah), atau
penjelasan shahabat dan ahli ilmu pengetahuan. Adapun tentang penyempurnaan
pembukuan Al-Qur’an, terjadi
pada waktu khalifah ‘Utsman “Qur’an ‘Usmani.”
Karena selama ekspedisi melawan Azerbaijan,
timbul berbagai perbedaan di antara
pasukan, mengenai cara bacaan
Al-Qur’an, karena pasukan itu
sebagian diambil dari Suriah dan Irak, sehingga
Jendral Huzaifah membawa masalahnya kepada Khalifah ‘Usman bin Affan(644-656 M.)
Penjelasan kata-kata dan susunannya ayat,
terbatas hanya dalam bahasa Arab, sama sekali tidak boleh ditafsirkan dalam
bahasa lain. Selain menurut kenyataannya Al-Qur’an itu diturunkan dalam bahasa
Arab yang paling baik dan murni, tidak ada jalan lain dalam memahami Al-Qur’an, perlu juga melalui bahasa yang lain.
Dengan demikian Al-Qur’an tidak bisa tidak hanya bisa ditafsirkan ke dalam bahasa Al-Qur’an itu sendiri yaitu bahasa Arab. Bertitik tolak dari suatu keyakinan bahwasanya hidup ini tidak boleh diatur kecuali menurut aturan Allah SWT,[14] maka tidak ada alternatif lain, melainkan berusaha semakimal mungkin memahami Al-Qur’an, sebagaimana yang diisyaratkan oleh Al-Qur’an itu sendiri:
Dengan demikian Al-Qur’an tidak bisa tidak hanya bisa ditafsirkan ke dalam bahasa Al-Qur’an itu sendiri yaitu bahasa Arab. Bertitik tolak dari suatu keyakinan bahwasanya hidup ini tidak boleh diatur kecuali menurut aturan Allah SWT,[14] maka tidak ada alternatif lain, melainkan berusaha semakimal mungkin memahami Al-Qur’an, sebagaimana yang diisyaratkan oleh Al-Qur’an itu sendiri:
Demikianlah Kami telah menurunkan Al-Qur’an itu sebagai peraturan yang benar, dalam bahasa
Arab. Dan seandainya
kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah datang pengetahuan kepadamu, maka
sekali-kali tidak ada pelindung dan pemelihara bagimu terhadap siksa Allah.”[15]
Ayat
ini, menunjukkan usaha memahami hukum dalam Al-Qur’an harus dimulai dengan
memahami bahasa Arab.[16] Lemahnya penguasaan bahasa Arab, sebahagian umat Islam, dalam
mengkaji dan menghayati isi kandungan Al-Qur’an menyebabkan ketidakakraban
dengan Al-Qur’an. Ini menunjukkan bahwa sebagian umat
sedang berada di luar ketentuan Allah SWT. Pentingnya
bahasa Arab untuk melakukan kajian terhadap isi
kandungan Al-Qur’an menuntut persyaratan-persyaratan tertentu. Di samping menuntut keikhlasan dan kesucian
niat juga membutuhkan penguasaan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan pemahaman Al-Qur’an.
Apabila
persyaratan itu tidak terpenuhi, dapat
menimbulkan pemahaman yang keliru dan merugikan. Walaupun begitu, terpenuhinya
persyaratan ini pun tidaklah mutlak menjamin kebenaran hasil suatu kajian,
namun begitu haruslah berusaha semaksimal mungkin, untuk
mendekati kebenaran yang dimaksud Al-Qur’an.
Kajian dan pemahaman terhadap Al-Qur’an bukanlah menjadi tujuan akhir. Ia hanya merupakan ‘jembatan’ untuk memahami dan mengamalkan isi Al-Qur’an. Sedangkan tujuan akhirnya adalah perwujudan dan penerapan nilai-nilai Al-Qur’an dalam seluruh aspek kehidupan. Bila tidak demikian maka apa yang dilakukan tidak ubahnya dengan apa yang dilakukan oleh kaum orientalis, yang memandang Al-Qur’an hanya dari segi ilmu, bukan untuk diterapkan.
Kajian dan pemahaman terhadap Al-Qur’an bukanlah menjadi tujuan akhir. Ia hanya merupakan ‘jembatan’ untuk memahami dan mengamalkan isi Al-Qur’an. Sedangkan tujuan akhirnya adalah perwujudan dan penerapan nilai-nilai Al-Qur’an dalam seluruh aspek kehidupan. Bila tidak demikian maka apa yang dilakukan tidak ubahnya dengan apa yang dilakukan oleh kaum orientalis, yang memandang Al-Qur’an hanya dari segi ilmu, bukan untuk diterapkan.
2. Al-Hadits
a. Pengertian
al-Hadits
Al-Hadits adalah suatu perkataan, atau ucapan, perbuatan dan taqrir
(ketetapan/persetujuan/diamnya) Rasulullah SAW.,terhadap
sesuatu perbuatan seorang shahabat yang diketahuinya.[17]
Sunnah merupakan sumber syariat Islam yang nilai kebenarannya sama dengan
Al-Qur’an karena sebenarnya Sunnah juga berasal dari wahyu. Firman Allah SWT:
وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَى
|
إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ
يُوحَى
|
Tiadalah yang diucapkannya (oleh Muhammad) itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapan itu hanyalah firman yang
diwahyukan (kepadanya).[18]
Makna ayat di atas ialah, apa yang disampaikan Rasulullah SAW. (Al-Qur’an dan As-Sunnah) hanyalah bersumber dari wahyu Allah SWT, bukan dari dirinya maupun kemauan hawa nafsunya.[19] Ayat ini bermakna bahwa Rasulullah SAW. melakukan suatu tindakan hanya berdasarkan wahyu dari Allah SWT, kemudian diperintahkan manusia mengikuti apa yang disampaikannya. Al-Qur’an telah menegaskan bahwa Rasulullah SAW juga menerima wahyu yang lain, yaitu Al-Hikmah[20] yang pengertiannya sama dengan As-Sunnah, baik perkataan, perbuatan atau pun ketetapan (diamnya). Pengertian Al Hikmah yang bermakna As-Sunnah dapat ditemukan dalam QS. Ali Imran: 164, QS. Al-Jumu’ah: 3, dan QS. Al-Ahzab: 34.[21]Kemudian kehujjahan Al-Sunnah adaalah sebagai sumber hukum/syariat Islam bersifat pasti (qath’i) kebenarannya, seperti Al-Qur’an itu sendiri.
b. Fungsi al-Hadits Terhadap Al-Qur’an:
1) Menguraikan Kemujmalan
Al-Qur’an.
Istilah mujmal, maksudnya adalah suatu lafadz yang belum jelas indikasinya (dalalah/ penunjukannya) yang belum jelas maksud dan rinciannya. Tentang perintah shalat, membayar zakat dan menunaikan haji. Al-Qur’an hanya menjelaskannya secara global, tidak dijelaskan tata cara pelaksanaannya. Kemudian Sunnah secara terperinci menerangkan tata cara pelaksanaan shalat, jumlah raka’at, aturan waktunya, serta hal-hal lain yang berkaitan dengan shalat; begitu pula dengan ibadah-ibadah yang lain. Imam Ibnu Hazm, salah seorang ulama Andalusia pada masa Abbasiyah menjelaskan: “Sesungguhnya di dalam Al-Qur’an terdapat ungkapan yang seandainya tidak ada penjelasan lain, tidak mungkin orang melaksanakannya. Dalam hal ini rujukannya hanya kepada Sunnah Nabi SAW. Jika dibandingkan dengan ijma’, maka Ijma’ hanya terdapat dalam kasus-kasus tertentu saja yang relatif sedikit. Oleh sebab itu secara pasti wajib kembali kepada Sunnah.”
2) Mengkhususkan Keumuman Al-Qur’an.
Lafadz umum (‘Aam) ialah lafadz yang mencakup segala sesuatu makna yang menerangkan dengan satu ucapan saja. Misalnya ‘Al Muslimun’ (orang-orang Islam), ‘Ar rijaalu’ (orang-orang laki-laki). Di dalam Al-Qur’an itu terdapat banyak lafadz yang bermakna umum kemudian Sunnah mengkhususkannya.
…يُوصِيكُمُ
اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأنْثَيَيْنِ …
“...Allah
mewajibkan kamu tentang anak-anakmu, untuk seorang anak laki-laki adalah dua
bagian dari anak perempuan...” [22]
Ayat ini dijelaskan
oleh hadits Ibnu Abbas:
أَلْحِقُوا الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا ، فَمَا بَقِىَ فَهْوَ لأَوْلَى
رَجُلٍ ذَكَرٍ
"Berikanlah bagian ashabul furudh, sisanya untuk laki-laki yang
terdekat." [23]
Kasus yang terjadi sebelum
turunnya Surat An-Nisa’:11 ialah dari kisah
Umrah ,[24] yaitu Umrah binti Hazm, istri Sa’d ibn al-Rabi, menghadap kepada Rasulullah
SAW lalu berkata seraya menunjuk kepada dua anak kecil di sisinya, “Wahai
Rasulullah, ini adalah dua putri Sa’d ibn Al-Rabi. Ayah mereka gugur di medan
perang Uhud sehingga mereka kini yatim. Derita semakin berat karena paman mereka
mengambil harta mereka tanpa menyisakan sedikit pun. Tentu saja kedua anak ini
tidak akan bisa menikah tanpa harta.” Rasulullah kemudian
terbayang sosok dan kewiraan Sa’d ibn Al-Rabi ketika berperang melindungi
beliau. Selain itu Rasul juga iba pada kedua anak itu. Namun beliau belum bisa
menetapkan keputusan yang akan berkaitan dengan hak waris dari ayah mereka.
Akhirnya Rasul bersabda, “Allah akan menurunkan ketetapan mengenainya.”
Allah
menurunkan ayat Al-Qur’an kepada Rasulullah yaitu Surat An-Nisa ayat 11 bahwa Allah mensyari’atkan
tentang pembagian pusaka untuk. yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak
perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka
dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja,
maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi
masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal
itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia
diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang
meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat
atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu,
kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)
manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Menurut ayat tersebut di atas,
setiap anak secara umum berhak mendapatkan warisan dari ayahnya. Jadi setiap
anak adalah pewaris ayahnya. Kemudian datang Sunnah yang mengkhususkannya.
Sabda Rasulullah SAW: “Kami seluruh Nabi tidak meninggalkan warisan, apa yang kami tinggalkan
adalah sedekah.”
[25] “Seorang
pembunuh tidak mendapat warisan.”[26] Menurut hadits di atas Nabi tidak
meninggalkan warisan bagi anak-anaknya serta melarang seorang anak yang
membunuh ayahnya untuk mendapatkan warisan.
3)
Mengqayyidkan Ayat Yang Mutlaq
Mengqayyidkan artinya memberikan
persyaratan.Misalnya setiap pencuri harus dipotong tangannya, padahal ada
syarat-syaratnya,Taqyid (Pensyaratan)[27]
terhadap ayat Al-Qur’an yang mutlak
yaitu lafadz yang menunjukkan sesuatu yang masih umum pada suatu jenis, misalnya lafadz budak, mukmin, kafir, dan lain-lain. Di dalam Al-Qur’an banyak dijumpai ayat-ayat yang bersifat mutlak (tanpa memberi persyaratan). Misalnya:“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri hendaklah kamu potong tangan (keduanya).” [28]
yaitu lafadz yang menunjukkan sesuatu yang masih umum pada suatu jenis, misalnya lafadz budak, mukmin, kafir, dan lain-lain. Di dalam Al-Qur’an banyak dijumpai ayat-ayat yang bersifat mutlak (tanpa memberi persyaratan). Misalnya:“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri hendaklah kamu potong tangan (keduanya).” [28]
Ketentuan
tambahan (penyempurnaan) yang dilakukan Rasulullah SAW. Maka sikap seorang
Muslim terhadap hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:
Ucapan orang-orang beriman, manakala mereka diajak
kepada Allah dan Rasul-Nya supaya Dia memberikan ketentuan hukum di antara mereka, tidak lain hanya mengatakan: Kami mendengar dan Kami
mematuhinya. Mereka itulah orang-orang yang berbahagia.” [29]
Penggunaan nash As-Sunnah untuk masalah hukum dan aqidah haruslah nash yang bersifat qath’i,[30] karena tidak boleh adanya keraguan sedikitpun dalam masalah aqidah/i’tiqadiyah. Sedangkan untuk masalah hukum/Syari’ah masih dapat digunakan nash As-Sunnah yang mencapai derajat dzanni (prasangka kuat atas kebenarannya). Hal ini karena dalam masalah Syari’ah tidak diharuskan suatu keyakinan yang pasti terhadap hasil ijtihad yang akan dijadikan sumber amaliah tersebut (bukan sumber untuk masalah i’tiqadiyah).
Alasan Ijma’ Shahabat Nabi Muhammad SAW. dijadikan sumber hukum Islam.[31] Tidak seluruh orang yang berijma’ berkumpul, saling mengetahui ijma’ dan dapat mengkoreksi bila diketahui kesalahannya, maka hal ini hanya mungkin terjadi pada masa shahabat, tidak pada masa selain mereka. Sebagai contoh, ijma’ ulama. Maka untuk terwujudnya ijma’ ulama, haruslah diperjelas ‘siapa saja ulama’ itu; apakah ulama yang sudah sering digunakan untuk ‘membuat hukum pesanan’ juga termasuk di dalamnya? Akan pasti benarkah ijma’ mereka tersebut?
Benarkah semua ‘ulama’ mengetahui dan
menyetujui ijma’ tersebut? Tidak adakah yang selanjutnya menarik kembali
atau membatalkan ijma’nya sampai ia meninggal? Dan mungkinkah para ulama
(seluruh kaum Muslimin di seluruh dunia) mampu berkumpul bersama membahas suatu
masalah baru? Masih banyak yang tidak bisa terjawab selain oleh para shahabat,
padahal semua hal tadi merupakan syarat sahnya sebuah ijma’ oleh suatu
kelompok. Karena ketidakmungkinan itu pula yang pada akhirnya muncul istilah
‘jumhur ulama’; artinya kebanyakan ulama berijtihad dengan hasil serupa ter-hadap
suatu masalah. Jumhur berbeda dengan ijma’.Banyaknya pujian kepada para
Shahabat secara jama’ah, baik tercantum dalam Al-Qur’an maupun hadits
(keduanya dalil yang qath’i kebenarannya). Firman Allah.[32] Bahwa Nabi Muhammad SAW, bersikap tegas terhadap orang
kafir dan lemah lembut terhadap sesama kaum muslimin.[33]
QS. At-Taubah: 100
Orang-orang
yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan
anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada
mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka
surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka
kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.[34]
Ayat ini, adalah petunjuk Allah dan Rasul-Nya terhadap para shahabat menunjukkan suatu kepastian tentang kebenaran dan kejujuran mereka (sebagai suatu jama’ah, bukan secara pribadi-pribadi). Apabila mereka bersepakat terhadap suatu masalah, tentulah hal itu atas dasar kejujuran dan kebenaran mereka. Dalil-dalil yang memuji para shahabat tersebut bersifat qath’i sehingga dapat ditentukan bahwa ijma’ shahabat dapat digunakan sebagai dalil syara’.
Para shahabat Nabi Muhammad SAW., merupakan generasi yang mengumpulkan, menghafalkan dan menyampaikan Al-Qur’an beserta Sunnah pada generasi berikutnya. Di samping itu para shahabat merupakan orang-orang yang hidup semasa Rasulullah SAW, hidup bersama, mengalami sulit dan senang secara bersama. Merekalah yang mengetahui kapan, di mana, dan berkaitan dengan peristiwa apa suatu ayat Al-Qur’an diturunkan. Merekalah yang mengetahui Sunnah Rasulnya, mengalami dan melihat sendiri kehidupan kaum Muslimin generasi pertama tatkala Rasulullah masih hidup. Lalu adakah generasi yang lebih baik yang pernah dilahirkan manusia di muka bumi ini selain mereka (para shahabat)? Ijma’ siapa lagi selain ijma’ mereka yang lebih baik dan lebih kuat?[35]
Memang tidak mustahil para shahabat pun melakukan kesalahan, sebab mereka pun tetap manusia yang tidak ma’shum. Akan tetapi secara syar’i mereka mustahil bersepakat atau berijma’ atas suatu kekeliruan/kesesatan. Apabila terjadi kesalahan dalam ijma’ mereka tentang suatu persoalan maka tentu akan terdapat kesalahan dalam Islam, dalam Al-Qur’an dan Hadits sebab merekalah yang menyampaikan Al-Qur’an dan menuturkan Hadits Rasulullah saw pada generasi berikutnya. Bahkan sebenarnya mereka pulalah yang memberitahukan Islam kepada generasi selanjutnya. Karenanya kesalahan dalam ijma’ shahabat adalah mustahil terjadi secara syar’i.
3. Ijma’
Ijma’ adalah kesepakatan mujtahid dari
umat Muhammad SAW dalam
suatu masa terhadap hukum syara’ setelah beliau wafat. Akan
tetapi ada juga Ijma’sahabat yaitu kesepakatan para sahabat Nabi SAW.Salah
satu ijma’ shahabat terpenting adalah pengumpulan Al-Qur’an menjadi mushaf.
Al-Qur’an dalam bentuk sekarang ini merupakan hasil kesepakatan (ijma’)[36] para
shahabat. Bersamaan dengan ini Allah SWT berfirman:
Sesungguhnya
Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar akan
menjaganya.[37]
Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur’an) kebathilan, baik dari depan
maupun dari belakangnya diturunkan dari yang
Mahabijaksana, lagi Mahaterpuji.[38]
Dari kedua ayat tersebut, Allah memastikan bahwa mushaf Al-Qur’an yang ada saat ini merupakan ijma’ para shahabat dan dijamin kebenarannya. Dengan kata lain melalui tangan-tangan para shahabatlah, Allah menjaga kebenaran Al-Qur’an. Jika ada kemungkinan salah dalam ijma’ shahabat, berarti ada kemungkinan salah dalam Al-Qur’an sekarang. Padahal hal ini adalah mustahil terjadi. Dengan demikian secara syar’i mustahil terjadi kesalahan dalam ijma’ shahabat. Inilah dalil yang pasti bahwa ijma’ shahabat merupakan dalil syar’i. Contoh lain yang mashur tentang ijma’ shahabat adalah keharusan adanya seorang khalifah yang akan memimpin dan mengurus seluruh kebutuhan kaum muslimin, melindungi, dan menyebarkan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia, sebagaimana yang dilakukan para shahabat tatkala Rasulullah saw wafat.
4. Qiyas
Qiyas artinya
menyamakan suatu kejadian yang tidak ada nashnya dengan suatu kejadian
yang sudah ada nash/hukumnya, karena disebabkan adanya kesamaan dua
kejadian itu dalam illat (sebab) hukumnya, menurut
ushul al-fiqhi. [39] Alasan qiyas dijadikan
sumber hukum, karena
adanya nash-nash syar’i yang
memiliki kesamaan illat. Sebagaimana keberadaan hukum adalah illatnya,
maka apabila ada kesamaan illat antara suatu masalah baru dengan masalah
yang sudah ada hukumnya, maka hukum masalah yang baru tersebut menjadi sama.
Ketika illat yang sama terkandung dalam Al-Qur’an berarti dalil qiyas dalam hal tersebut adalah Al-Qur’an. Demikian pula apabila illat yang sama terkandung dalam Sunnah dan Ijma’ Shahabat yang menjadi dalil qiyas adalah kedua hal tersebut. Di samping itu ada beberapa hadits Rasulullah yang mengisyaratkan penggunaan qiyas sebagai dalil syara’. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas: “Seorang wanita datang kepada Rasulullah dan berkata: ‘Ya Rasulullah, Ibuku telah meninggal, sedang ia belum menunaikan puasa nadzar, apakah aku harus menggantinya?’ Kemudian Rasulullah bersabda:
‘Bagaimana
jika ibumu mempunyai hutang, sedang ia belum membayarnya, apakah kamu akan
membayar hutangnya?’ Jawabnya: ‘Benar’. Maka bersabda Rasulullah SAW: ‘Maka
puasalah untuk (memenuhi) nadzar
ibumu’.”[40] Dan Imam Daruquthny meriwayatkan dari
Ibnu Abbas ra: “Seorang laki-laki
datang kepada Rasulullah dan mengatakan bahwa bapaknya meninggal, sedangkan ia
berkewajiban menunaikan ibadah haji. Dia bertanya: ‘Apakah aku harus
menghajikan bapakku?’ Maka Rasulullah berkata: ‘Bagaimana jika bapakmu punya
hutang, apakah kamu harus membayarnya?’ Jawabnya: ‘Benar’. Maka Rasulullah
berkata ‘Berhajilah untuknya’.” Dalam dua hadits tersebut
Rasulullah mengumpamakan atau mensejajarkan persoalan nadzar, haji, dengan hutang, yang sama-sama harus dipenuhi.
a. Ruang lingkup pembahasan qiyas
Sebagai contoh,
mengadakan transaksi jual beli tatkala adzan shalat Jum’at merupakan peristiwa
yang telah ditetapkan dalam nash, yaitu haram, berdasarkan ayat:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat
pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah (shalat) dan
tinggalkanlah jual beli.”[41]
Adapun Illat pada ayat di atas adalah karena hal tersebut melalaikan shalat. Karena itu sewa menyewa, transaksi perdagangan maupun perbuatan lainnya yang mempunyai kesamaan illat, yaitu melalaikan shalat, maka perbuatan tersebut hukumnya diqiyaskan dengan perbuatan jual beli di atas, yaitu haram.Berdasarkan kaidah syara: ”Sesungguhnya hukum-hukum tentang ibadah, makanan, pakaian, minuman, dan akhlaq tidak dapat direka-rekayasa.
b. Batasan penggunaan qiyas
Batasan penggunaan qiyas ialah pada semua ketentuannya wajib sesuai dengan nash/ketentuan syara’ semata”. Jadi
ruang lingkup dari penggunaan qiyas hanya pada hal-hal (masalah) yang
memiliki kesamaaan illat di dalamnya. Sedangkan di dalam masalah
pakaian, makanan, minuman, ibadah dan akhlak di dalamnya tidak mempunyai illat,
karena masalah ini sudah jelas nash syara’nya sehingga tidak bisa
diqiyaskan. Setiap qiyas harus mempunyai empat rukun:
1) Asal (pokok).
Yaitu suatu peristiwa yang sudah ada nashnya yang dijadikan tempat mengqiyaskan. Asal disebut “maqish ‘alaih” (yang menjadi tempat mengqiyaskan), atau “mahmul ‘alaih” (tempat membandingkannya), atau “musyabbah bih” (tempat menyerupakannya)[42]
2) Far’u (cabang)
Yaitu peristiwa yang tidak ada nashnya, dan peristiwa itulah yang hendak disamakan hukumnya dengan asalnya. Ia juga disebut ‘maqish’ (yang diqiyaskan) dan ‘musyabbah’ (yang diserupakan).[43]
3) Hukum asal
Yaitu hukum syara’ yang ditetapkan oleh suatu nash atau dikehendaki untuk menetapkan hukum itu kepada cabangnya.[44]
4) ‘Illat.
Rukun qiyas yang keempat adalah yang terpenting untuk dibahas, karena illat qiyas merupakan asasnya. Di antara hadits Nabi yang menunjukkan membenarkan hukum secara qiyas, ialah riwayat dari shahabat Mu'adz ketika diutus oleh Nabi SAW ke negeri Yaman, yang di kala itu Mu'adz menjawab pertanyaan-pertanyaan Nabi SAW tentang cara menetapkan hukum apabila tidak terdapat keterangannya di dalam Al-Qur'an dan di dalam Sunnah Rasul : "Saya berijtihad dengan fikiran saya". Jawaban demikian dibenarkan oleh Nabi SAW.[45]
B. Karakteristik Hukum Islam
1. Universal
Universalnya Hukum Islam, bahwa seluruh hukum yang terdapat
dalam syariat Islam bersifat natural serta relevan dengan fitrah kemanusiaan. Petunjuk untuk segenap umat manusia tanpa memandang
perspektif rasial, etnis, suku bangsa, warna kulit dan
sosiokulturalnya. Dalam pandangan syariat Islam manusia itu sama, sebagaimana
yag dijelaskan di dalam Qs Al
Anbiya : 107, bahwa Islam adalah rahmat bagi seluruh dunia. Kemudian di dalam Qs Saba :
38 bahwa Muhammad SAW diutus untuk seluruh manusia.Walaupun
kebanyakan orang akan menolaknya.[46]
2. Istiqamah
Hukum
Islam itu lurus,
lempang dan tidak berbelok-belok. Umar bin Khathab menjelaskan bahwa :
Istiqamah itu tetap mengikuti perintah dan ( menjauhi ) larangan serta tidak
menyimpang dari padanya. Tidak melenceng dan tidak bengkok, kokoh dan
lurus. Dalam Al-Qur’an, hal itu diistilahkan dengan al-Shirath
al-mustaqim,jalan yang lurus. Para
ulama mengatakan bahwa jalan yang lurus adalah jalan yang selalu menjaga jarak
dari terlalu minggir ke salah satu sisi. Jalan lurus bisa dikatakan sebagai
jalan yang berada di tengah-tengah.[47] Tidak mengambil sikap
ekstrem, yang direpresentasikan dengan sikap al-maghdhubu ‘alaihim orang-orang Yahudi, dan sikap “adh-dhalin” orang-orang Nasrani. Dalam
banyak hal, terjadi hubungan ekstrem antara Yahudi dan Nasrani. Misalnya, orang
Yahudi membunuh para nabi; sedangkan orang Nasrani menuhankan para nabi. Orang
Yahudi terlalu banyak mengharamkan, sedangkan orang Nasrani terlalu banyak
menghalalkan. Orang Yahudi materialistis, sedangkan orang Nasrani
spiritualistis. Adapun umat Islam adalah jalan tengah di antara dua sikap
ekstremistis tersebut.
3. Terbaik
Menurut Tahir
Azhary, bukti terbaiknya Hukum
Islam itu ada tiga, yang pertama yaitu bidimensional, artinya mengandung segi kemanusiaan dan
ketuhanan(illahi). Di samping itu sifat bidimensional
yang dimiliki Hukum Islam juga berhubungan dengan sikap atau sifat yang luas. Hukum Islam tidak hanya memuat
satu aspek, bahkan mengatur berbagai
aspek kehidupan manusia. Sifat dimensional merupakan sifat pertama yang melekat pada hukum Islam dan merupakan fitrah
(sifat asli) Hukum Islam. Kedua adalah adil, ia
mempunyai hubungan yang erat sekali dengan sifat dimensional. Dalam Hukum Islam
keadilan bukan saja merupakan tujuan, tetapi sifat yang melekat sejak
kaidah-kaidah dalam syariat ditetapkan. Keadilan merupakan suatu yang
didambakan oleh setiap manusia sebagai individu maupun masyarakat.
Hukum Islam terbaik dalam artian sempurna, artinya sesuai dengan segala situasi dan
kondisi manusia, di manapun dan kapanpun, baik sendiri
maupun berkelompok. Hal ini didasarkan bahwa syari’at Islam diturunkan dalam bentuk yang umum dan hanya garis
besar permasalahannya saja, sehingga hukum-hukumnya bersifat tetap meskipun
zaman dan tempat selalu berubah.penetapan hokum yang bersifat global oleh
al-Qur’an tersebut dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada umat manusia
untuk melakukan ijtihad sesuai dengan situasi dan kondisi ruang dan waktu menurut Ibnu
Katsir “Khairul umuri Ausathuha”
(hal yang terbaik adalah yang paling mudah dan praktis dan ekonomis). “Kebaikan adalah sikap tengah
antara dua buah keburukan,” karena itu, disimpulkan dengan istilah “ummatan
wasathan” setara maknanya adalah khaira ummatin
umat terbaik.
4. Aman
Hukum Islam membuat orang merasa damai,
tidak akan gelisah, menyejukkan hati.
Misalnya dalam berpakaian. Pakaian yang aman itu, tidak ada gangguan, karena tidak
terlalu tebal dan tidak terlalu tipis, sehingga aman.[48]
Kalau terlalu tebal, dan ternyata hari sangat panas, akan merasa kepanasan.
Sedangkan kalau terlalu tipis, dan ternyata hari sangat dingin akan merasa kedinginan. Contoh yang lain, keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Perkawinan akan langgeng dan tenteram sesuai
dengan harapan dan pandangan hidup antar suami dan istri, tidak ada perbedaan
agama, perbedaan budaya, atau bahkan perbedaan tingkat pendidikan antara
suami dan istri pun tidak jarang mengakibatkan
kegagalan perkawinan. Hukum Islam membimbing kearah suasana yang aman. dalam
sistem kehidupan.[49]
5. Kuat
Hukum Islam memberikan kaidah dan patokan dasar yang kuat, umum dan global. Perinciannya dapat disesuaikan dengan
kebutuhan manusia, dan dapat berlaku dan diterima oleh seluruh manusia. Dengan
ini pula, dapat dilihat bahwa hukum Islam mempunyai daya gerak dan hidup yang
dapat membentuk diri sesuai dengan perkembangan dan kemajuan, melalui suatu
proses yang disebut ijtihad. Dalam ijtihad yang menjadi hak bagi setiap muslim
untuk melakukannya merupakan prinsip gerak dalam Islam yang akan mengarahkan
Islam kepada suatu perkembangan yang bersifat aktif, produktif serta
konstruktif.Hukum
Islam berada pada posisi tengah adalah pusat kekuatan. Dalam perjalanan umur,
masa yang paling kuat juga masa pertengahan. Terlalu muda
adalah masa yang masih lemah, sedangkan terlalu tua adalah masa yang sudah
lemah dan kehilangan kekuatan. Matahari terasa paling panas adalah ketika di
tengah hari; bukan di awal hari, dan bukan juga di sore hari.[50]
6. Komprehensif
Hukum Islam bersifat komprehensif, maksudnya Syari’at
Islam mampu menjawab tantangan dinamika jaman dan transformasi kultural,
khususnya dalam mu’amalah, perundang-undangan, hukum ekonomi dan hubungan
internasional. Titik pertemuan, dari pinggir,
pojok dan ujung berjumlah sangat banyak dan sangat sulit bertemu dengan yang lain.
Sedangkan persatuan
tengah hanya berjumlah satu, bahkan semua unsur pinggir, pojok dan ujung
bisa bertemu di tengah. Hal ini tidak hanya mungkin terjadi pada sebuah
lingkaran, tapi bisa juga berlaku untuk pemikiran, sikap, dan sebagainya. Sisi-sisi Kemoderatan Islam,meliputi
semua bagian dalam Islam; akidah, ibadah, akhlak, dan hukum. Akidah Islam
adalah tengah-tengah; tidak seperti akidah khurafat yang meyakini semua hal
walaupun tidak berdalil, tidak pula seperti akidah kaum materialis yang hanya
meyakini apa yang mereka lihat dan rasakan. Islam mengajarkan akidah, tapi
harus berdasarkan dalil yang kuat dan yakin. Akidah Islam adalah tengah-tengah;
tidak seperti kaum atheis yang sama sekali tidak mengakui adanya tuhan, tidak
pula seperti kaum musyrikin yang menjadikan banyak hal sebagai tuhan,
bahkan sapi, kera, dan sebagainya. Islam mengajarkan iman kepada Allah.[51]
Hukum Islam tidak bisa dilepaskan
dari akidah Islam yang juga bersifat berdiri di tengah-tengah, tidak seperti qadariah yang mengatakan bahwa manusia
menciptakan perbuatannya sendiri, tidak pula seperti jabariyah yang mengatakan
bahwa manusia tak lain bagaikan bulu yang diombang-ambingkan angin
kesana-kemari. Islam mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk mulia, yang diberi
kewajiban dan tanggung jawab. Akidah Islam adalah tengah-tengah; tidak seperti
orang Yahudi yang mencela para nabi, tidak pula seperti Nasrani yang menuhankan
mereka. Islam mengajarkan bahwa para nabi adalah manusia biasa yang dipilih
Allah swt. untuk membawa risalah-Nya.[52]
Hukum Islam tidak bisa dipisahkan
dengan ibadah, yang sifatnya juga mnengah,
tidak seperti Budha yang hanya mengajarkan akhlak dan tidak mengajarkan ibadah,
tidak pula seperti Nasrani yang mengajarkan rahbaniyah,
mereka yang tidak boleh menikah, menafikan sisi kemanusiaan. Islam mengajarkan
hukum,akhlaq dan ibadah, diatur
sedemikian sempurna. Ibadah dianggap tidak diterima jika mengurangi atau
melebihi aturan. Sebagai sebuah agama penyempurna,
Islam datang dengan membawa aturan dan hukum untuk umat manusia. Hukum yang ada di
dalam Islam adalah berdasarkan
ketetapan Allah yang disampaikan melalui Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya. Oleh karena itu, terdapat
berbagai perbedaan antara hukum Islam dengan hukum-hukum lain buatan manusia. Hukum Islam memiliki
keistimewaan dan karakteristik khusus, antara
lain sebagai berikut:
a.
Didasarkan Pada Wahyu Ilahi
Keistimewaan
hukum Islam dibanding undang-undang buatan manusia adalah bahwa hukum Islam bersumber
pada wahyu Allah yang tersurat dalam Al-Qur'an dan sunnah Nabi. Maka setiap
mujtahid dalam melakukan istinbath (penggalian) hukum-hukum syara' selalu merujuk pada dua
sumber tersebut, baik secara langsung maupun melalui yang
tersirat darinya, yaitu dengan memahamiruh syari'at, tujuan-tujuannya secara
umum, kaidah-kaidah dan prinsip-prinsipumum. Jadi pada dasarnya, setiap
hukum Islam pasti didasarkan pada Al-Qur'an dan Al-Sunnah meskipun hanya dengan mengambil yang tersirat dari
keduanya.Sebagai contoh, digunakannya urf,
mashlahah mursalah, istihsan, dan lain lain dalam
pengambilan hukum syara' oleh seorang mujtahid, bukan berarti
bahwamujtahid tersebut meninggalkan Al-Qur'an
dan Al-Sunnah, namun hal itu dilakukan setelah
terlebih dahulu memahami ruh syari'at yang tersirat pada nashAl Qur'an dan As Sunnah, berupa
tujuan, kaidah dan prinsip-prinsip umumnya.[53]
Tujuan
syari' dalam pembentukan hukumnya yaitu merealisir
kemaslahatan manusia dengan menjamin
kebutuhan pokoknya (dloruriyah) dan memenuhi kebutuhan sekunder (hajiyah)
serta melengkapi kebutuhan pelengkap (tahsiniyah)
mereka. Jadi setiap hukum syara' tidak ada tujuan kecuali salah satu dari tiga.
Syariat Islam, Pergumulan teks dan tealitas. Unsur- unsur tersebut, dimana dari
tiga unsur tersebut dapat terbukti,kemaslahatan manusia.[54]
b. Komprehensif
Hukum Islam
bersifat komprehensif, yakni mencakup seluruh tuntutankehidupan manusia. Disini
akan sangat tampak kelebihan hukum Islam dibandingdengan undang-undang yang
lain, karena hukum Islam mencakup tiga aspek hubungan, yaitu manusia
dengan Tuhannya, manusia dengan dirinya sendiri dan manusia
dengan masyarakatnya, karena itu hukum Islam yang terkait
dengan perbuatan seorang mukallaf
selalu mencakup dua aspek, yaitu hukum-hukum ibadah dan hukum-hukum mu'amalah. Hukum
ibadah meliputi segala hal yang terkait denganhukum-hukum yang dimaksudkan
untuk mengatur hubungan antara manusiadengan
Tuhannya. Sedangkan hukum-hukum mu'amalah meliputi segala hal yang dimaksudkan untuk mengatur hubungan sesama
manusia, baik bersifat pribadi maupun kelompok.
c. Terkait
Langsung Dengan Masalah Moral
Hukum Islam terkait langsung dengan tatanan moral, bahkan
ditegaskan oleh Nabi
Muhammmad SAW., bahwa kedatangannya untuk
menyempurnakan akhlak manusia. Hal ini sangat berbeda dengan hukum positif
buatan manusia yang hanya mengacu pada aspek manfaat, yaitu menjaga sistem dan stabilitas
masyarakat meskipun kadang-kadang
menghancurkan sebagian prinsip moral. Sedangkan Hukum Islam bertujuan menjaga
keutamaan, idealitas dan tegaknya moralitas.[55]
Moralitas dari diharamkannya
riba misalnya, dimaksudkan untuk menyebarkan semangat tolong-menolong (ruh ta'awun) kasih sayang di antara
manusia dan melindungi orang-orang miskin dari
keserakahan para pemilik harta. Begitu pula diharamkannya minuman
keras yang dimaksudkan untuk menjaga akal yang fungsinya, sebagai tolak ukur
baik dan buruk. [56]
d. Adanya Orientasi Kolektivitas
Dalam hukum Islam itu
selalu dijaga kemaslahatan individu dan sosial
secara bersama-sama, tanpa harus melanggar hak orang lain. Karena itu, kemaslahatan yang bersifat umum
atau sosial harus didahulukan dibanding dengan kemaslahatan yang bersifat individual
terutama ketika terjadi peretentangan
antara keduanya. Keutamaan lain yang
membedakan hukum Islam dengan hukum-hukum lain buatan
manusia adalah bahwa hukum Islam memberikan sanksi hukuman bagi yang melanggar pada dua hal, yaitu
hukuman dunia, baik berupa hukuman hudud
yang sudah ditentukan maupun ta'zir yang tidak ditentukan, dan hukuman
akhirat. Sifat-sifat khusus hukum Islam lainnya
ialah:
1) Rabbaniyyah
Rabbaniyah
artinya sumber syari’at/hukum dari Allah, maksudnya
musyarri’ (pembuat syariat) adalah Allah
bukan manusia. Jika manusia pembuat syari’at,
maka akan terbawah dengan rasa sabyektif, kelompoisme, dan keinginan-keinginan
duniawi. Hukum syariat dalam bentuk wajib,
sunnah, makruh, mubah, dan haram adalah milik ketentuan Allah dan rasul-Nya.
Fungsi faqih/ahli hukum hanya menemukan hukum dengan cara ijtihad.[57]
2) Insaniyyah
Insaniyah
artinya Hukum Islam menghargai eksistensi manusia, pada posisi yang sama, tidak ada perbedaan dalam strata
sosial, hukum, politik, ekonomi, sosial-kemasyarakatan. Yang membedakan satu
dengan yang lain adalah taqwa. Hasbi
Ashshiddiqie menyatakan bahwa, hukum Islam adalah hukum yang memberikan perhatian
penuh kepada manusia dan kemanusiaan, memelihara hal-hal yang bertautan dengan
manusia, baik mengenai diri, ruh, akal, hati, fitrah, usaha . Solidaritas
kemanusiaan dalam hukum Islam adalah dalam bentuk zakat, infak, sadaqah, waqaf,
dan taawun ala al-birri wa al-taqwa. Hanya
faktanya konstruk sosial dalam masyarakat tertentu yang membuat manusia menjadi
berkelas-kelas, berkasta-kasta. Sedangkan
kenyataannya karakater hukum Islam
ialah:
3) Syumuliyah
Bahwa hukum Islam shalih li kulli
zaman wa makan,[58] dan Hukum Islam meliputi seluruh
aspek hidup manusia, mulai dari manusia tidur sampai bangun lagi, baik sebagai abdullah/ individu maupun khalifatullah/kolektif.
Bahwa hukum Islam mengatur HAM, musawaa/egaliter,
al-adalah/keadilan, al-hurriyah/kebesan, al-Ikhwan/persaudaraan. (ukhawah
islamiyah, wathaniyah, insaniyah)
4) Wasathiyyah
Wasathiyah
artinya al-tawazun/keseimbangan. Qardhawi
menyatakan yang dimaksud dengan keseimbangan yaitu, hukum Islam tidak
mengabaikan aspek ruhiyah (spritual)
dan maddiyah (materi), fardiyah dan jama’iyah, waqi’iyah
(kontekstual) dan mitsaliyah (idealisme), tsabat (tetap) dan taghayyur (perubahan). Hukum Islam bukan ekstrim kanan
ataupun kiri. Seperti idiologi liberal-kapitalis yang terlalu memperhatikan
individu mana hakku. Hukum Islam bukan pula idiologi maxis-sosialis yang
terlalu memberikan peran sosial-kemasyarakatan yang manafikan peran individu.
Hukum Islam memberikan jalan tengah pada dua idiologi tersebut, dengan mengakui
hak dan kewajiban. Kemudian cara menghadapi tantangan zaman Hukum Islam
memiliki khazanah:
(a) Waqi’iyyah
Tidak
mengabaikan konteks sebagai sebuah sunnatullah
sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ruh syariat Allah. Idialnya
dalam menikah dapat dipertahankan sampai mati, akan tetapi dalam konteksnya
dapat cerai. Pada dasarnya sholat harus pada waktunya, akan tetapi konteksnya
musafir bisa di dijamak.[59]
(b) Tatawwur
Tatawwur
artinya selalu dinamis[60]
dan berdialog dengan perkembangan zaman dan teknologi, akan tetapi
hukum Islam selalu konsisten pada nilai-nilai syariat.
(c) Tsabat
Tsabat
artinya permanen, konsisten dalam menjaga nilai-nilai Ilahiyah
dalam kondisi dan suasana yang musykil sekalipun, karena memiliki dua warna: yaitu ta’abuddi bentuk ibadah yang fungsi
utamanya untuk mendekatkan manusia kepada Allah
(وما خلقت
الجنّ و الإنس إلاّ ليعبد و ن). Bentuk ibadah seperti ini sudah given,
taken from granted, makna yang terkandung di dalamnya tidak dapat dinalar, irrasional,
seperti jumlah rakaat shalat. Sedangkan yang ta’aqulli adalah bersifat
duniawi yang maknanya dapat difahami oleh nalar manusia dan rasional.
(d) Wadhu
Wadhhu artinya jelas. Karena sumber
hukumnya jelas,
maka falsafah nadzariyah ( kajian teoritis/ushul/qaidah fiqhiyah jelas)
dan falsafah tasyri’. Kerangka operasionalnya jelas.Tujuannya juga jelas yaitu, (1)
pengabdian hanya kepada Allah semata. (2)
menciptakan tatanan min al-zdulamat ilaa al-nuur dalam berbagai bidang. (3) salaman fi al-dun-ya wa-alakhirat.
Manhaj/metodologis.[61]Artinya secara teoritis nilai-nilai
hukum ilahiyah sampai dengan
tataran implementasi hukumnya selalu jelas dan konsisten, jelas tentang yang haramnya untuk
ditinggalakan, jelas pula mana yang halal untuk dilakukan.
C.
Hukum Islam Tentang Perlindungan Anak1. Konsep Tentang Anak
Anak adalah amanah Allah yang harus dipelihara dengan baik. Setiap orang tua
pasti menginginkan yang terbaik bagi anaknya, namun seringkali dihadapkan pada
kenyataan bahwa anak tumbuh besar tidak
sesuai harapan orang tua, bahkan seringkali menimbulkan masalah. Jika tidak dididik dengan
baik, dikhawatirkan bisa menjadi fitnah, bahkan
musuh dunia dan akhirat. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ
أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَّكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ
Wahai orang-orang yang beriman,
sesungguhnya dari istri-istri kalian dan anak-anak kalian adalah musuh bagi
kalian, maka berhati-hatilah kalian dari mereka.”[62]
Lafadz min (Dari) dalam ayat
ini untuk menunjukkan sebagian? Sehingga musuh itu hanya sebagian dari mereka
saja, atau min dalam ayat ini untuk ziyadah (tambahan) saja, sehingga maknanya
adalah, seluruh istri dan seluruh anak adalah musuh? Al-Ghazali menjawab: min dalam ayat ini menunjukkan sebagian, sehingga maknanya
adalah, sebagian istri dan anak ada yang menjadi musuh. Allah berfirman tentang Ibadurrrahman:
رَبَّنَا
هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ
Ya Tuhan kami, karuniakan kepada kami istri-istri kami dan anak-anak kami sebagai
penyenang hati (kami).”[63] Al-Qur’an mengabarkan bahwa di antara sebagian istri dan anak ada yang menjadi musuh bagi suami dan anaknya. Anak jangan menjadi menjadi penyebab lalai untuk melakukan amal dan saleh. Sebagaimana firman Allah:
ياأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ تُلْهِكُمْ
أَمْوَالُكُمْ وَلاَ أَوْلاَدُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ
فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu lalai disebabkan harta-hartamu dan
anak-anakmu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang membuat demikian maka mereka
itulah orang-orang yang rugi.” [64]
Tidak semua anak dan istri menjadi musuh, sebagian dari mereka justru
menjadi perhiasan dunia, penyenang hati, penggugah jiwa dan penggelora semangat
dalam menjalani kehidupan. Imam Ath-Thabari meriwayatkan dengan sanadnya dari beberapa para ulama salaf
mengenai tafsir dari istri-istri dan anak-anak yang menjadi penyenang hati
seperti doa dalam surat Al Furqan.
Ibnu Abbas mengatakan, “ anak yang mentaatimu, mereka menjadi penyenang
hati. Seiring
dengan kesenangan dan kebahagiaan yang Allah halalkan dalam kehidupan bersama
anak-anak dan istri yang kita cintai, seperti bersenda gurau dengan mereka dan
mencari nafkah untuk menghidupi mereka, ada tanggungjawab yang harus dipikul oleh orangtua sebagai
pemimpin keluarga. Tanggungjawab itu tidak
akan dapat di
tunaikan jika anak menjadi musuh bagi orangtuanya
sendiri, bukan sebagai penyenang hati.
2.
Usia Anak Dalam Fiqih
a. Hukum
Islam (Fiqih) mengatur jelas mengenai
batas umur seseorang untuk dapat
disebut dewasa dan mampu dari segi fisiknya saja. Lebih jelas
ukurannya/kriterianya dewasa menurut Islam adalah sudah akil baligh yaitu adanya tanda-tanda
tertentu seperti laki-laki sudah bermimpi basah dan wanita sudah haid.[65]
Dalam Kompilasi Hukum Islam ada aturan secara khusus masalah batas umur
untuk dapat dikatakan dewasa dan bisa melalkukan perkawinan bagi orang Islam yaitu pada Pasal 15 ayat (1) yang
menegaskan bahwa untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga. Perkawinan hanya boleh
dilakukan oleh calon mempelai yang telah ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yakni calon suami sekurang-kurangnya
berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun”.
Menurut
Imam Malik dan Abu Hanifah bahwa orang yang tidak pernah bermimpi (mengeluarkan
mani) itu tidak dinyatakan dewasa kecuali bila telah sampai pada usia 17 tahun.
Sedang dalam riwayat lain yang termasyhur dari Abu Hanifah adalah 19 tahun.
Dari penjelasan di atas terlihat bahwa keduanya lebih cenderung memilih usia
anak dari pada ihtilâm itu sendiri.[66]
b. Kewajiban Menafkahkan
Anak
Seorang ayah
wajib memberi nafkah sampai anak itu dewasa yakni berusia menimal 21 tahun, Walaupun dia sudah bercerai dengan ibu si anak. Dalam KHI
(Kompilasi Hukum Islam)
Pasal 156 Bab 17 tentang Akibat,
sekalipun putusnya perkawinan,
dinyatakan bahwa:
d.semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi
tanggung jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak
tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun) e. bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan
Agama memberikan putusannya berdasrkan huruf (a),(b), dan (d); f. pengadilan dapat pula dengan
mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan
pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.[67]
Para ulama sepakat (ijmak) atas
wajibnya menafkahi anak. Dalil yang dijadikan dasar hukum adalah Al Quran Surat
Al-Baqarah 2:33:
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ
رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ......
Kewajiban ayah menanggung nafkah dan
pakaian mereka dengan cara yang patut (ma'ruf).[68]
Kewajiban membiayai anak bagi seorang ayah ada batasnya. Kewajiban itu gugur apabila anak mencapai usia dewasa. Dewasa menurut Hukum Islam adalah sudah baligh (kira-kira 14 tahun). Sedang dewasa menurut ukuran negara dan KHI (kompilasi hukum Islam) adalah 21 tahun. Kalau anaknya yang sudah dewasa itu miskin dan secara fisik sehat, sebagian besar ulama berpendapat tidak wajib memberi nafkah karena anak dianggap mampu untuk bekerja sendiri. Namun, ada sebagian ulama yang berpendapat sebaliknya yakni kewajiban menafkahi tetap pada bapak. Namun apabila anak yang miskin tadi secara fisik lemah atau cacat, maka menurut Ibnu Taimiyah kewajiban membiayai ada pada bapak. Wajibnya memberi nafkah anak perempuan walaupun dewasa sebagian besar ulama fiqih mengatakan wajib memberi nafkah sampai anak wanita menikah. Argumennya adalah karena anak perempuan tidak atau belum mampu bekerja.[69]
4. Implementasi Perlindungan Anak Dalam
Kajian Fiqh
Implementasi
perlindungan anak dalam kajian fiqh,[70]
terealisasi dalam tiga bentuk, yang
ketiganya bertujuan untuk memelihara kemaslahatan anak sebagai salah satu tujuan syari’at,[71] yakni memelihara keturunan, yaitu:
a.
Hadhanah
Hadhanah,
yaitu merawat dan mendidik orang yang belum Mumayyis
, atau orang yang kehilangan kecerdasannya, karena mereka belum bisa
mengerjakan keperluan diri sendiri. Ulama fiqh sepakat bahwa hukum merawat dan
mendidik anak adalah wajib, karena apabila anak yang belum dewasa tidak dirawat
dan didik dengan baik, maka akan berakibat buruk pada diri mereka, bahkan bisa
menjurus kepada kehilangannyawa.Perlindungan
dan pemeliharaan anak dalam hadanah dibebankan
kepada keluarganya terutama kedua orang tuanya. Ulama fiqh berbeda pendapat
dalam menentukan siapa yang memiliki hak
hadanah. Ulama Hanafi dan Maliki mengatakan bahwa mengasuh, merawat dan
mendidik anak merupakan hak ibu atau yang mewakilinya, ia boleh menggugurkan
haknya itu sekalipun tanpa imbalan. Akan tetapi, menurut jumhur ulama hadanah menjadi
hak bersama, antara kedua orang tua dan
anak. Menurut Wahbah al-Zuhaili dalam Ensiklopedi Hukum Islam, hak hadanah itu
hak berserikat antara ibu, ayah dan anak. Apabila terjadi pertentangan antara
ketiganya, maka yang diprioritaskan adalah hak anak yang diasuh.[72]
b.
Anak
Pungut (Anak Asuh)
Bagi orang yang tidak menginginkan kehadiran anak, setelah
anak itu lahir, diletakkannya (dibuang) pada suatu tempat, dengan harapan
supaya dapat dipungut orang lain. Bagi orang yang menemukannya wajib
memungut (membawa) anak itu. Apakah anak
itu akan dirawatnya sendiri atau dirawat orang lain.[73]
c. Anak Angkat
Mahmud Syaltut, dalam Ensiklopedi hukum Islam mengemukakan
bahwa setidaknya ada dua pengertian“pengangkatan anak.” Pertama,mengambil anak
orang lain untuk diasuh dan didik dengan penuh perhatian dan kasih sayang,
tanpa diberikan status “anak kandung” kepadanya. Akan tetapi ia diperlakukan
oleh orang tua angkatnya sebagai anak sendiri. Kedua, mengambil anak orang lain
sebagai anak sendiri dan ia diberi status sebagai “anak kandung”, sehingga ia
berhak memakai nama keturunan (nasab) orang tua angkatnya dan saling mewarisi
harta peninggalan, serta hak-hak lain sebagai akibat hukum antara anak angkat
dan orang tua angkatnya itu.[74]
5.
Kekerasan Terhadap Anak Dalam Pandangan Islam
Kekerasan terhadap anak ialah memberikan
hukuman yang melampaui batas yang telah ditetapkan, karena istilah tindakan kekerasan hanya jika mengarah kepada hal
yang melampaui batas, atau
menghukum dengan balasan yang tidak setimpal, yang dikenal dengan kata Al-Baghy. Kata al-baghy,
terdapat pada Qur’an
Surat(QS) al-Nahl [16]: 90.[75]
…وَيَنْهَى
عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ …
… Dia melarang melakukan perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat
mengambil pelajaran.[76]
Dalam kaitannya dengan menghukum anak,
secara umum ayat ini, al-Qur'an melarang melakukan tindakan
yang melampaui batas, sebab menurut al-Ashfahani, al-baghy berarti melampaui batas
kewajaran.[77] Kemudian dalam arti
yang sama, kata tughyan,
terdapat dalam Qur’an Surat (QS). Hud [11]: 112.
“…Janganlah kamu
melampaui batas. Sesungguhnya Dia Mahamelihat apa yang
kamu kerjakan."
Kata
thughyan digunakan untuk segala
sesuatu yang melampaui batas.[79] Demikian pula orangtua atau guru
bertindak zalim dikategorikan dengan thaghut. Sikap ini sangat dikecam
oleh al-Qur'an seperti pada QS. al-Naba' [78]: 22 yang menjanjikan balasan
keras berupa neraka jahannam bagi orang-orang yang melampaui batas (thaghin).
Pakar
tafsir asal Tunisia, Ibnu 'Asyur, menjelaskan, ungkapan tathghaw pada QS. Hud [11]: 112 mencakup larangan untuk melakukan segala
bentuk kerusakan (ushul al-mafdsid). Dengan demikian, ayat tersebut menghimpun
upaya mencapai kemaslahatan melalui sikap konsisten pada prinsip-prinsip agama,
dan menghindari berbagai kerusakan yang tergambar dalam kata thughyan.[80]
Istilah
lain yang juga dapat diartikan kekerasan
ialah Al-Zhulm yang disebutkan dalam al-Qur'an sebanyak 315 kali.[81] Pengertiannya yang
populer seperti yang terdapat dalam Mu'jam
Alfdzh al-Qur'an al-Karim, melakukan
sesuatu tidak pada tempatnya, baik karena berlebih atau kurang. Karena itu menyeleweng dari kebenaran juga disebut zhulm,
dan dapat terjadi dalam hubungan manusia dengan Tuhan dalam bentuk
kekafiran atau syirik (QS. Luqman [31]: 17) dan kemunafikan, dalam hubungan
antara manusia dan manusia dalam bentuk penganiayaan atau lainnya (Q5. al-Syura
[42]: 42), dan dalam hubungan antara manusia dan dirinya (QS.Al- Fathir [35]:
32).[82]
Esensi dari pemberian hukuman bagi
pelaku suatu jarīmah menurut Islam adalah
pertama pencegahan serta pembalasan (ar-rad’u
wa az-zajru) dan kedua, adalah perbaikan dan pengajaran (al-işlāh wa al-tahżīb). Pelaksanaan
pidana penjara di Islam termasuk dalam kategori hukuman ta’zīr karena di dalam al-Qur’ān memang tidak mengatur tentang
pidana penjara. Hal ini mengacu pada pengertian tentang hukuman ta’zīr bahwa hukuman atas jarīmah yang hukumannya belum di
tentukan oleh syara’ disebut sebagai hukum ta’zīr.
Sehingga pedoman pelaksanaan umum untuk hukuman penjara sebagai ta’zīr, diserahkan kepada ijtihad hakim
dengan memperhatikan perbedaan kondisi jarīmah, pelaku, tempat, waktu, dan situasi
ketika jarīmah itu tejadi.
6.
Delinkuensi Dalam Pandangan Islam
Delinkuensi artinya kenakalan, diartikan sebagai perilaku anak yang
nakal bahkan cenderung kepada melanggar hukum. Banyak penyebab terjadinya
perilaku delinkuen ini. Berdasarkan beberapa sumber yang penulis paparkan
ternyata pemberian hukuman fisik pada anak di sekolah bukan faktor utama
perilaku delinkuen remaja. Delinkuensi[83] dalam pandangan fiqh anak-anak perlu mendapat
perhatian khusus, berupa pembinaan, pendidikan, dan perlindungan hukum.
Anak-anak termasuk golongan orang lemah dari segala aspek. Oleh karena itu,
perlindungan yang diberikan kepadanya melebihi perlindungan terhadap orang
dewasa.[84]
Hukuman yang diberikan terhadap orang yang
melakukan kejahatan pada anak-anak dapat diperberat, mengingat kondisi
anak-anak yang lemah, sehingga seharusnya lebih dilindungi. Apapun yang
dilakukan oleh anak-anak belum dikenai beban hukum. Sehingga kalaupun anak itu
diberikan sanksi, maka sanksinya harus bersifat pendidikan, tidak melampaui
batas kemampuan anak, dan harus mempertimbangkan efeknya terhadap perkembangan
jiwa anak. Konsep dan Implementasi perlindungan anak dalam fiqh dilakukan dalam
bentuk hadanah, anak angkat, dan anak asuh (pungut), serta berbagai proses dan
pemberian hukum kepada anak yang lebih bersifat pendidikan.[85]
7. Hukum Islam Tentang Sanksi
a.
Pengertian Sanksi
Sanksi dalam Islam Hukum Islam disebut al-‘Uqubaah yang berkaitan dengan hukuman jika ada hal yang merugikan maupun tindak kriminal. Nama lain dari al- ‘Uqubah adalah al-Jaza’ atau hudud.[86] Beberapa ulama berpendapat bahwa hukuman adalah bentuk balasan bagi seseorang yang atas perbuatannya melanggar ketentuan syara’ yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya untuk kemaslahatan manusia. Hukuman dalam bahasa Arab disebut ‘uqubah. Lafaz ‘uqubah menurut bahasa berasal dari kata عَقبَ yang sinonimnya خَلفهُ وَجَاءَبعَقبهِ artinya mengiringnya dan datang di belakangnya.[87]
b. Tujuan Sanksi Hukuman
1) Pencegahan
Pengertian pencegahan adalah menahan ( الرّدْعُ وَالزّجْرُ ) orang yang berbuat jarimah agar ia tidak mengulangi perbuatan jarimahnya. Di samping mencegah pelaku, pencegahan juga mengandung arti mencegah orang lain selain pelaku agar ia tidak ikut-ikutan melakukan jarimah, sebab ia bisa mengetahui bahwa hukuman yang dikenakan kepada pelaku juga akan dikenakan terhadap orang lain yang juga melakukan perbuatan yang sama.Menurut Ibn Hammam dalam fathul Qadir bahwa hukuman itu untuk mencegah sebelum terjadinya perbuatan (preventif) dan menjerakan setelah terjadinya perbuatan (represif).[88]
2) Perbaikan dan Pendidikan
Tujuan yang kedua dari penjatuhan hukuman adalah untuk mendidik ( الاِصْلاحُ والتّهْذِ يْبُ ) pelaku jarimah agar ia menjadi orang yang baik dan menyadari kesalahannya. Di sini terlihat bagaimana perhatian syari’at Islam terhadap diri pelaku. Dengan adanya hukuman ini, diharapkan akan timbul dalam diri pelaku suatu kesadaran bahwa ia menjauhi jarimah bukan karena takut akan hukuman, melainkan karena kesadaran diri dan kebenciannya terhadap jarimah serta dengan harapan mendapat rida dari Allah SWT.[89]
c. Kemaslahatan Masyarakat
Memberikan hukuman kepada orang yang melakukan kejahatan bukan berarti membalas dendam, melainkan sesungguhnya untuk kemaslahatannya, seperti dikatakan oleh Ibn Taimiyah bahwa hukuman itu disyariatkan sebagai rahmat Allah bagi hamba-Nya dan sebagai cerminan dari keinginan Allah untuk ihsan kepada hamba-Nya. Oleh karena itu, sepantasnyalah bagi orang yang memberikan hukuman kepada orang lain atas kesalahannya harus bermaksud melakukan ihsan dan memberi rahmat kepadanya.[90]
d.
Macam-Macam
Sanksi Dalam Hukum Islam
Ada beberapa macam sanksi hudud
dan ta’zir. Khusus untuk ta’zir, diserahkan kepada pemimpin dan tidak dapat dicegah dengan
subhat, juga berlaku untuk yang di bawah umur, serta boleh untuk kafir zimmi. Kemudian
selain hakim, boleh melakukan ta’zir:
1)
Hudud
Hudud adalah sanksi-sanksi kemaksiyatan
yang telah ditetapkan kadarnya dalam rangka hak Allah. Dinamakan hudud karena mencegah orang yang berbuat maksiyat untuk
(tidak) kembali kepada kemaksiyatan yang telah ditetapkan hadnya. Kata had dan hudud dengan makna sanksi-sanksi kemaksiyatan yang di dalamnya
terdapat hak Allah SWT., dan tidak disebutkan pada selainnya. Dalam hudud tidak ada pemaafan, baik dari
hâkim maupun terdakwa, sebab hudud adalah haq Allah, tak seorang manusia pun
yang memiliki hak untuk menggugurkannya pada kondisi apapun.[91]
2) Qishash
Qishash adalah balasan setimpal atau
diyat (denda) akibat penganiayaan yang mencakup penganiayaan terhadap jiwa dan
anggota tubuh. Maksud dari jinayat di sini adalah sanksi-sanksi yang dijatuhkan
atas penganiayaan tersebut. Dalam sanksi-sanksi ‘uqubat terdapat haq seorang hamba. Dan selama berkaitan dengan haq
hamba, maka bagi pemilik haq (shâhibul haq) boleh memberikan ampunan, dan
menggugurkan haqnya.[92]
Hâkim harus memberikan pemaafan bagi pelaku penganiayaan dengan pemaafan
yang sempurna karena adanya pemaafan dari shâhibul
haq. Tidak bisa dikatakan bahwa di dalam jinayat tersebut terdapat haq
kolektif rakyat, yaitu keamanan. Tidak bisa dikatakan demikian, karena
keberadaan haq kolektif bagi rakyat di dalam jinayat membutuhkan suatu dalil
yang menunjukkan hal itu, padahal tidak ada dalil atas yang demikian itu.
Sebab, apa yang dilakukan di masa para shahabat ra, bahwa jika pelaku
penganiayaan dimaafkan oleh shâhibul haq,
maka mereka menggugurkan sanksi bagi pelaku penganiayaan tersebut. Ini
menunjukkan bahwa pemberian maaf bagi pelaku penganiayaan dari shahibul haq mengugurkan sanksi (jinâyât) tersebut.[93]
3.
Ta’zîr
Ta’zir adalah sanksi bagi kemaksiyatan yang dapat diberlakukan kepada anak
dan orang dewasa. Di dalamnya tidak ada had dan kifârat. Melakukan
perbuatan maksiyat perlu dilihat dahulu, apabila Allah SWT. telah menetapkan
sanksi tertentu bagi kemaksiyatan tersebut, maka ia termasuk ke dalam hudud.
Maka pelanggarnya akan dikenai sanksi had yang telah disyari’atkan oleh Allâh
SWT., bukan ta’zîr. Demikian pula bila di dalamnya telah ditetapkan kifârat
tertentu, maka pelanggarnya dipaksa untuk membayar kifârat-kifâratnya.
Adapun jenis-jenis hukuman ta’zir
untuk orang
dewasa adalah:
(1) Hukuman mati.
(2) Hukuman jilid.
(3) Hukuman tahanan / kawalan.
(4) Hukuman pengasingan (At-Taghrib wa Al-Ib’ad).
(5) Hukuman salib.
(6) Hukuman pengucilan (Al-Hajr).
(7) Hukuman ancaman (Tahdid), teguran (Tanbih), dan peringatan.
(8) Hukuman denda (Al-Gharamah).[94]
Apabila tidak terkategori ke dalam hudûd dan syâri’ tidak menetapkan kifâratnya, maka hal ini masuk ke dalam
sanksi ta’zîr. Sedangkan mengenai
penganiayaan terhadáp badan tidak dita’zîr, sebab sanksinya telah dijelaskan
oleh Syâri’.Ta’zîr berbeda dengan
hudûd dan jinâyât. Hudûd dan jinâyât sanksi-sanksinya telah ditetapkan oleh syâri’ secara spesifik. Dengan demikian
sanksi-sanksi ini mengikat dan tidak boleh diganti, ditambah, dan dikurangi.
Sedangkan ta’zîr adalah sanksi yang
bentuknya tidak ditetapkan secara spesifik oleh Syâri’, dan
bentuk sanksinya tidak mengikat. Ta’zîr menerima pemaafan dan pengguguran
sanksi tersebut. Rasulullah SAW. tidak menta’zîr seseorang yang berkata kepada
beliau: “Sumpah ini tidak untuk mengharap ridlo Allah, dan baliau
memaafkannya.” Padahal orang yang mengucapkan ini telah terjatuh dalam
kemaksiyatan yang layak dikenai
sanksi. Hudûd dan jinâyât tidak berbeda karena perbedaan manusia, semua manusia
di dalam hudûd dan jinâyât adalah sama berdasarkan keumuman dalil. Berbeda
dengan ta’zîr, ia boleh berbeda
dikarenakan perbedaan manusia, maka di dalam ta’zîr diperhatikan apakah pelaku belum pernah melakukan
pelanggaran sebelumnya, atau orang yang memiliki perilaku baik.
5) Mukhâlafât
Mukhlafat adalah sanksi ‘uqûbât yang
dijatuhkan oleh penguasa kepada orang yang menentang perintah penguasa,
baik khalîfah, atau selain khalîfah seperti para mu’awin, para wali (gubernur),
‘ummal-‘ummal (bupati/wali kota) dan lain-lain, dari orang-orang yang
aktivitasnya adalah aktivitas kekuasaan, di mana mereka memiliki kewenangan
untuk memberi perintah-perintah. Sanksi atas penentangan perintah disebut ‘uqûbât mukhâlafat.[95]
Mukhâlafat
sendiri disebutkan pula untuk tindakan yang menentang perintah penguasa.
Sebagian fuqahâ’ memasukkan mukhâlafat
ke dalam bab ta’zîr, sebab mukhâlafat adalah sanksi atas
kemaksiyatan yang belum ditetapkan kadarnya oleh Syâri’.[96]
[3]Al-Baidhawi,
Anwâr at-Tanzîl.,(Terj) vol. 1 (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah, 1988), 267; Ibnu Juzyi al-Kalbi, Ibid., vol. 1,
238; al-Qasimi, Mahâsin at-Ta’wîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub
al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), hlm144.
Lihat juga Tafsir Al-Qasimy, juz 6, hal 2000
-2001
[17]al-Hadith secara
resmi baru dilakukan pada masa pemerintahan Umar bin Abd. al-Aziz khalifah Bani
Umayyah yang memerintah tahun 99-101 Hijriyah.Kemudian istilah Al-Sunnah,
dalam tinjauan hukum dan penafsiran.. Dari aspek hubungannya dengan al-Quran,
As-Sunnah adalah sumber hukum yang kedua setelah Al-Qur’an. Hubungan ini
disebut hubungan struktural. Sementara dari aspek lain, As-Sunnah sebagai
penjelas bagi Al-Qur’an disebut hubungan fungsional. Di antara dasarnya adalah
firman Allah Ta’ala dalam QS. al- Hasyr: 7, an- Nahl: 44, dan an- Nahl: 64.
Indonesia (Studiatas Pemikiran M.
Syuhudi Ismail).” (Disertasi S3 Pasca Sarjana IAIN Jakarta, 1999), hlm 50
[24] Begitulah Al Quran
memutuskan bagian untuk dua anak perempuan itu. Kemudian Rasul mengutus
seseorang untuk menemui paman mereka dan berkata kepadanya,”Berikanlah dua
pertiga harta pusaka Sa’d kepada dua putrinya dan sisanya menjadi
milikmu.” Istri Sa’d dan kedua putrinya menjadi perantara bagi turunnya
ketetapan Al Quran mengenai hukum waris, suatu ketetapan yang berlaku hingga
kini.Referensi :-Al Quran- karya
Fathi Fawzi ‘Abd Al Mu’thi, Asbabun Nuzul
untuk Zaman Kita.
[30]Al-Qur’an yang diturunkan secara mutawatir, dari segi
turunnya berkualitas qath’i (pasti benar). Akan tetapi hukum-hukum yang dikandung al-Qur’an ada kalanya bersifat qath’i (pasti benar) dan ada kalanya bersifat zhanni (Relatif benar). Lihat Jamal al-Banna, Tafsir al-Qur'an
al-Karim: Baina al-Qudama wa al-Muhaddiin (Kairo: Dar-Syuruq, 2008), hlm.
246
[31]Lafadz Ijma’ menurut bahasa bisa
berarti tekad yang konsisten tehadap sesuatu atau kesepakatan suatu kelompok
terhadap suatu perkara. Sedangkan menurut para ulama ushul fiqh, Ijma’
adalah kesepakatan terhadap suatu hukum bahwa hal itu merupakan hukum syara’.
Dalam hal ini terdapat perbedaan dalam hal menentukan ‘siapa’ yang ijma’nya dapat diterima sebagai sumber hukum atau dalil syar’i. Ada yang mengatakan ijma’ ulama pada setiap masa, atau ijma’ ahlul bait, atau ijma’ ahlu Madinah, atau ijma’ ahlul Halli wal Aqdi, ijma’ Shahabat atau sebagainya. Untuk menetapkan sumber pengambilan hukum bagi dalil-dalil syar’i dibutuhkan suatu sumber yang bersifat qath’i. Diantara berbagai pendapat tentang ‘siapa’ yang ijma’nya dapat diterima sebagai sumber hukum, maka yang paling memenuhi persyaratan untuk hal ini adalah “Ijma’ para Shahabat” Rasulullah SAW.
Dalam hal ini terdapat perbedaan dalam hal menentukan ‘siapa’ yang ijma’nya dapat diterima sebagai sumber hukum atau dalil syar’i. Ada yang mengatakan ijma’ ulama pada setiap masa, atau ijma’ ahlul bait, atau ijma’ ahlu Madinah, atau ijma’ ahlul Halli wal Aqdi, ijma’ Shahabat atau sebagainya. Untuk menetapkan sumber pengambilan hukum bagi dalil-dalil syar’i dibutuhkan suatu sumber yang bersifat qath’i. Diantara berbagai pendapat tentang ‘siapa’ yang ijma’nya dapat diterima sebagai sumber hukum, maka yang paling memenuhi persyaratan untuk hal ini adalah “Ijma’ para Shahabat” Rasulullah SAW.
[35] Sobhi Masmassani, Filsafat
Hukum Dalam Islam, terj.Ahmad Sudjono, cet.
ke-1(Bandung, Al-Ma’arif, 1976), hlm. 135. Lihat
juga Ibn
Ḥazm, Al-Iḥkăm fi al-Uşŭl al-Aḥkăm,
(Beirut, Dăr al-Kutub al-‘Ilmiah, 2004), jilid.I, hlm. 16.
[36]Ijma' umat terbagi menjadi dua: 1. Ijma' Qauli, yaitu suatu ijma'
di mana para ulama' mengeluarkan pendapatnya dengan lisan ataupun tulisan yang
menerangkan persetujuannya atas pendapat mujtahid lain di masanya. 2. Ijma' Sukuti, yaitu suatu ijma' di
mana para ulama' diam, tidak mengatakan pendapatnya. Diam di sini dianggap
menyetujui. Menurut Imam Hanafi kedua macam ijma' tersebut adalah ijma' yang
sebenarnya. Menurut Imam Syafi'i hanya ijma' yang pertama saja yang disebut
ijma' yang sebenarnya. Selain ijma' umat
tersebut masih ada macam-macam ijma' yang lain, yaitu: Ijma' sahabat Ijma'
Khalifah yang empat, Ijma' Abu Bakar dan
Umar, Ijma' ulama Madinah, Ijma' ulama
Kufah dan Basrah,Ijma' itrah (golongan Syiah)
[39]Lihat Abbul Rahman Dahlan, Ushul Fiqhi, (Penerbit Amazah, Jakarta:
2001),hlm 3, bahwa Ushul Fiqih merupakan sebuah ilmu dalam memahami dalil-dalil
fikih secara global, bagaimana menggunakannya dalam menyimpulkan sebuah hukum
serta kondisi (prasyarat) seorang mujtahid. Ilmu ini merupakan ilmu metodologi
dalam proses pengambilan hukum. Sejatinya, ilmu ini mencakup tiga hal penting,
yaitu : sumber pengambilan hukum, metodenya, dan syarat-syarat mujtahid .Sementara itu, objek kajian Ushul Fiqih adalah
dalil-dalil global. Ali Jum’ah, Mufti Mesir, menekankan untuk tetap
mengedepankan objek pembahasan dalam proses pembaharuan, baik itu bagi Ushul
Fiqih itu sendiri, maupun dalam ilmu-ilmu yang lainnya. Selain objek
pembahasan, tujuan dan manfaat ilmu ini juga patut dijadikan patokan, agar
tidak melenceng dari pembahasan, lebih-lebih lagi tidak menghasilkan sebuah
baru. Hal ini tentunya bisa diterima dan sesuai dengan maksud dari pembaharuan
itu sendiri dimana fungsinya untuk merekonstruksi, bukan memproduksi ‘barang’
baru.
[46] Nurkholis
Madjid, Islam Dan Hak Asasi Manusia, PT.
Garamadia Pustaka Utama (Jakarta: 2011),hlm 113. Dengan
sikap moderatnya, maka Islam adalah agama tengah-tengah di antara ke-ekstreman
agama-agama yang lain. Setiap muslim diwajibkan untuk menjaga hal tersebut, hal
itu dapat dipahami dengan perintah untuk berdoa “tunjukilah kami jalan yang
lurus” dalam shalat mereka.
[47] Imam al-Qurthubi, Tafsir Ahkamul-Qur`ân, (Jilid 5), hlm 367 Tafsir Ibnu Katsir, Jilid.1), hlm 842.
[48] As-Sayis, Muhammad Ali, Tafsîr
Ayât al-Ahkâm, (Mesir: Matba’ah Muhammad ‘Ali Sabih wâ Aulâduh, 1953), hlm
231
[52]Baidan, Nasrudin, Tafsîr Maudhû’i; Solusi Qur’ani atas Masalah Kontemporer,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2001),hlm 122
[58] Khalid Bin Ali
Al-Musyaiqih, Fiqih Kontemporer, Inas
Media, (Jakarata : 2008), 95. Islam
adalah risalah manusia seutuhnya, yaitu dipandang dan sudut manusia itu
keseluruhannya. Ia bukanlah risalah bagi akal tanpa ruh, bukan bagi ruhani
tanpa jasmani, bukan bagi fikiran tanpa perasaan, danbukan sebaliknya. Ia
adalah risalah insan seutuhnya iaitu ruhnya, akalnya, jasmaninya, hail
nuraninya,kemahuannya dan perasaannya.Sesungguhnya Islam tidak membahagi
manusia kepada dua bahagian sebagaimana yang dilakukan olehagama-agama lain.
Pertama bahagian ruhani yang dikendalikan oleh agama dan diarahkannya ke tempat
ibadat.Bahagian ini menjadi hak istemewa golongan agama dan tempat permainan bagi
para paderi dan pendeta bagimengarahkan manusia dan celah-celahnya. Manakala
bahagian kedua terdiri daripada benda, yang tidak adakekuasaan bagi agama dan
golongan agama ke atasnya, malah tidak ada lapangan bagi Allah s.w.t.
padanya.Bahagian ini menjadi lapangan bagi kehidupan, dunia, politik,
masyarakat dan negara. Dan inilah bahagian yang terbesar dan kehidupan manusia.
[60] Op.Cit. hlm 154. Zaman dan tempat tidak menentukan
rupa bentuk Islam, tetapi Islam mempengaruhi perubahan manusia, tempat dan
zaman. Inilah yang disebut oleh ulama’ usuliyyin: Taghayir al-hukmi bi taghayir
al-Amkinah wa al-Azminah yaitu
berubahnya fatwa disebabkan berubahnya tempat dan zaman. Umpamanya di dalam
hadith-hadith yang sahih termasuk yang diriwayatkan oleh al-Bukhari Rasulullah
s.a.w. melarang menyimpan daging korban lebih daripada tiga hari. Pada tahun
berikut para sahabat bertanya Nabi s.a.w.apakah mereka seperti tahun lalu? Kata
Nabi s.a.w.: Makan dan simpanlah kerana pada tahun lepas orang ramai dalam
keadaan susah dan aku mahu kamu menolong mereka”. Dalam riwayat yang lain
disebutkan disebabkan daffah yaitu orang yang datang dari luar Madinah. Jelas
sekali bahwa adanya larangan Nabi s.a.w. disebabkan oleh keadaan tertentu atau
punca tertentu yang sebut dalam usul al-Fiqh sebagai illat al-Hukum. Apabila
penyebab dikeluarkan sesuatu hukum maka hukum pun dipadamkan. Dengan itu,
al-Imam as-Syaf`ii sebagai tokoh awal menulis dalam Usul al-Fiqh memasuk bab al-`Ilal fi al-Ahadith (`ilat-ilat di
dalam hadith-hadith) dalam kitabnya al-Risalah. Banyak lagi contoh-contoh yang lain di dalam hadith ,
jika disebutkan, yang menunjukkan perubahan zaman mengubah fatwa. Inilah juga
keputusan para sahabah yang menghukum beberapa hal tidak sama seperti hukuman
pada zaman Nabi s.a.w. disebabkan perubahan yang berlaku, umpamanya Saidina
Umar tidak memberi zakat kepada golongan al-muallaf qulubhum (yang cuba
didekatkan kepada Islam) pada zamannya sekalipun hak mereka disebut di dalam
al-Quran dan mereka diberikan zakat oleh Rasulullah s.a.w.. Ini disebabkan
perubahan keadaan dan suasana dengan kata Umar : Allah telah memuliakan Islam
dan tidak memerlukan mereka!” Sesiapa yang ingin pendetilan dia boleh menyemak
tuisan para ulama termasuk tulisan Dr. Yusuf al-Qaradawi dalam Fiqh al-Zakah.
[62] Hashbi
Ash-Shiddieqi (Editor) Al-Quran Dan Terjemahannya, Departemen Agama
RI (Semarang: Toha Putra, 2001), hlm 987 QS. Ath Thaghabun [64]: 14
[67]M. Azil
Maskur, Perlindungan Hukum Terhadap Anak
Nakal (Juvenile Delinquency) Dalam Proses Acara Pidana Indonesia. Menurut
catatan UNICEF, pada tahun 2000 ada 11.344 anak yang disangka sebagai pelaku
tindak pidana, sedangkan pada bulan Januari-Mei 2002 ditemukan 4.325 tahanan
anak di rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan di seluruh Indonesia dan lebih
menyedihkan lagi, sebagian besar (84,2%). Kemudian di sisi lain, kejahatan orangtua
ialah memaki
dan menghina anak. Bagaimana orang tua dikatakan
menghina anak-anaknya? Yaitu ketika seorang ayah menilai kekurangan anaknya dan
memaparkan setiap kebodohannya. Lebih jahat lagi jika itu dilakukan di hadapan
teman-teman si anak. Termasuk dalam kategori ini adalah memberi nama kepada si
anak dengan nama yang buruk.
[70]Harun Zaini, Qaidah
Fiqhiyyah Suatu Pengantar,bahwa definisi Fiqih: Mengetahui hukum-hukum syara’ yang
bersifat amaliyah (Perbuatan-perbuatan orang mukallaf) yang diambil dari
dalili-dalilnya yang tafshili.Himpunan hukum-hukum syara’ yang bersifat
amaliyah (perbuatan-perbuatan orang mukallaf) yang diambil dari dalili-dalilnya
tang tafshili. Perbedaan-perbedaan yang ada antara
Qowaid Fiqihiyah dengan Qowaid Ushuliyah: 1).Obyek
Qowaid Ushuliyah adalah dalil hukum, sedang Qowaid Fiqihiyah adalah perbuatan
mukallaf. 2).Ketentuan
Qowaid Ushuliyah berlaku bagi seluruh bagiannya (juziyahnya) sedangkan Qowaid
Fiqihiyah berlaku pada sebagian besar (Aghlabiah)
juziyahnya. 3) Qowaid Ushuliyah
sebagai sarana istimbats hukum, sedangakan Qowaid Fiqihiyah sebagai usaha
menghimpun dan mendekatkan ketentuan hukum yang sama untuk memudahkan pemahaman
fiqih.
| Volume 10 Nomor 1 Mei 2010 ), hlm 112
Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
(Bengkulu, 2011), hlm 9
[92] Abdur
Rahman. Tindak Pidana Dalam Syariat
Islam.( Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992 ), hlm 27.Ada
beberapa perbedaan antara hudud dan ta’zir. 1.Diserahkan kepada manusia mafawadh,2.Tidak dapat dicegah dengan
subhat.3.Berlaku untuk yang di bawah umur, 4.Boleh untuk kafir zimmi. 5. Selain
hakim, boleh melakukan ta’zir.
No comments:
Post a Comment