Maqasid Al Syariah (Kehendak Tuhan)
M.Rakib LPMP Pekanbaru Riau Indonesia 2015
Apa
hikmah atau tujuan Allah dalam ketentuan hukum yang dilakukan oleh Rasulullah
SAW dalam kisah berikut ini: Suatu waktu
Nabi Muhammad SAW melarang kaum muslimin menyimpan daging kurban kecuali dalam
batas tertentu, sekedar bekal untuk tiga hari. Akan tetapi, beberapa tahun
kemudian peraturan yang ditetapkan oleh Nabi Muhammad itu dilanggar oleh para
sahabat. Permasalahan itu disampaikan kepada Nabi Muhammad. Beliau membenarkan
tindakan para sahabat itu sambil menerangkan bahwa larangan menyimpan daging
kurban adalah didasarkan atas kepentingan Al Daffah (tamu yang terdiri
dari orang-orang miskin yang datang dari perkampungan sekitar Madinah). Setelah
itu, Nabi Muhammad bersabda, "Sekarang simpanlah daging-daging kurban
itu, karena tidak ada lagi tamu yang membutuhkannya".
Dari
kasus tersebut terlihat, adanya larangan menyimpan daging kurban diharapkan
tujuan syariat dapat dicapai, yakni melapangkan kaum miskin yang datang dari
dusun-dusun di pinggiran Madinah. Setelah alasan pelarangan tersebut tidak ada
lagi, maka larangan itu pun dihapuskan oleh Nabi SAW.
Dari
ketetapan tersebut terlihat bahwa sejak masa Nabi Muhammad, Maqasid Al
Syariah telah menjadi pertimbangan sebagai landasan dalam menetapkan hukum.
Upaya seperti itu, seterusnya dilakukan pula oleh para sahabat. Upaya demikian
terlihat jelas dalam beberapa ketetapan hukum yang dilakukan oleh Umar Ibn al
Khattab. Kajian Maqasid Al Syariah ini kemudian mendapat tempat dalam ushul
fiqh, yang dikembangkan oleh para ushuli dalam penerapan qiyas,
ketika berbicara tentang Masalik Al Illah. Kajian demikian terlihat
dalam beberapa karya ushul fiqh, seperti Ar-Risalah oleh Al
Syafii, Al-Musthafa karya Al Ghazali, Al-Mu'tamad karya Abu Al
Hasan Al Bashri, dan lain-lain. Kajian ini kemudian dikembangkan secara luas
dan sistematis oleh Abu Ishaq Al Syathibi.1
Dalam
kelanjutannya, Maqasid Al Syariah malah menjadi bahasan yang kurang
populer atau bahkan diabaikan dalam banyak buku referensi yang berbicara
tentang ushul fiqh. Penelusuran tentang bahasan Maqasid Al Syariah
menjadi tidak mudah didapat. Sejauh ini pembahasan Maqasid Al Syariah
lebih banyak diidentikkan dengan Abu Ishaq al Shathibi.
Sedikitnya
kitab-kitab ushul fiqh salaf terutama dari ulama madzhab Syafi'i
yang membicarakan Maqasid Al Syariah atau bahkan mengabaikannya dalam
pokok bahasan mereka, tersebab keterkaitan bahasan ini dengan teologi yang
diyakininya.
Sebagaimana
dijelaskan Shatibi, doktrin Maqasid Al Syariah menjelaskan bahwa tujuan
akhir hukum adalah satu, yaitu mashlahah atau kebaikan dan kesejahteraan
umat manusia.2 Teologi Islam menerima pengertian umum
dan lahir dari mashlahah ini, tetapi mereka saling berbeda pendapat jika
mashlahah dipahami dalam kerangka kausalitas. Kaum Asy'ariah menolak
secara eksplisit maupun implisit, kausalitas dalam hubungannya dengan Tuhan.
Bagi mereka, premis ini mengimplikasikan bahwa Tuhan diwajibkan karena
pertimbangan mashalah, untuk bertindak dalam suatu cara tertentu. Karena
kewajiban semacam itu berarti membatasi kemahakuasaan Tuhan, maka kaum
Asy'ariah menolak ide bahwa mashlahah adalah 'Illal Al Syar'i.
Kendatipun demikian, mereka menerima premis ini dengan menafsirkan mashlahah
sebagai 'rahmat' Tuhan, dibanding sebagai 'sebab' bagi tindakan-tindakanNya. Di
sisi lain kaum Mu'tazilah walaupun juga mempertahankan kemahakuasaan Tuhan.
Tetapi menyakini bahwa Tuhan berkewajiban melakukan kebaikan. Sebagai
konsekwensinya, mereka menerima premis diatas, mengenai mashlahah sebagai 'Illat
Al Syariah.
Argument-argumen
teologis yang merambat ke dalam ushul fiqh ini, karena banyak penulis
dalam bidang ushul fiqh juga menulis di bidang teologi.3 Namun demikian, ushul fiqh
menuntut suatu cara berpikir dan metode penalaran yang berbeda dari metode
kalam. Pemikiran hukum mengharuskan bahwa kehendak bagi tindakan-tindakan
sukarela manusia harus dihubungkan dengan manusia itu sendiri jika ia secara
hukum harus bertanggung jawab atas tindakan-tindakannya. Karena ketaatan kepada
perintah-perintah Tuhan tergantung pada kehendak manusia, maka perintah itu
harus diperlihatkan dimotivasi oleh perkembangan kepentingan-kepentingan
manusia. Sebagai konsekwensinya, premis mashlahah harus diterima dalam ushul
fiqh dalam kerangka sebab, motif dan tujuan.
Perdebatan
mengenai Maqasid Al Syariah ini, tidak saja terkait dengan teologi,
tetapi juga terkait dengan kehujjahan Maqasid Al Syariah sebagai sumber
pengembangan hukum. Metode-metode pengembangan hukum Islam yang didasarkan atas
Maqasid Al Syariah seperti istihsan dan mashlahah mursalah,4 adalah metode pengembangan yang
diperselisihkan keberadaannya. Imam Syafi'i contohnya, atas istihsan dia
menyatakan:
من إستحسن فقد تشرع
"Barang siapa yang menggunakan
istihsan maka ia telah benar-benar mencipta syara'".5
Pengertian
dan Cakupan Maqasid Al Syariah
Maqasid Al Syariah berarti tujuan Allah SWT dan Rasul-Nya dalam merumuskan
hukum Islam.6 Sementara menurut Wahbah al Zuhaili, Maqasid
Al Syariah berarti nilai-nilai dan sasaran syara' yang tersirat
dalam segenap atau bagian terbesar dari hukum-hukumnya. Nilai-nilai dan
sasaran-sasaran itu dipandang sebagai tujuan dan rahasia syariah, yang
ditetapkan oleh al-Syari' dalam setiap ketentuan hukum.7 Menurut Syathibi tujuan akhir hukum
tersebut adalah satu, yaitu mashlahah atau kebaikan dan kesejahteraan
umat manusia.8
Maqasid Al Syariah, yang secara substansial mengandung kemashlahatan, menurut
al Syathibi dapat dilihat dari dua sudut pandang. Pertama maqasid al syari'
(tujuan Tuhan). Kedua maqasid al mukallaf (tujuan mukallaf). Dilihat
dari sudut tujuan Tuhan, Maqasid Al Syariah mengandung empat aspek,
yaitu:9
- Tujuan awal dari Syari' menetapkan syariah yaitu kemashlahatan manusia di dunia dan akhirat.
- Penetapan syariah sebagai sesuatu yang harus dipahami.
- Penetapan syariah sebagai hukum taklifi yang harus dilaksanakan.
- Penetapan syariah guna membawa manusia ke bawah lindungan hukum.
Begitu pula dari sudut maqasid al
mukallaf, Maqasid Al Syariah mengandung empat aspek pula, yaitu:10
- Pembicaraan mashlahah, pengertian, tingkatan, karakteristik, dan relativitas atau keabsolutannya.
- Pembahasan dimensi linguistik dari problem taklif yang diabaikan oleh juris lain. Suatu perintah yang merupakan taklif harus bisa dipahami oleh semua subjeknya, tidak saja dalam kata-kata dan kalimat tetapi juga dalam pengertian pemahaman linguistik dan kultural. Al Syathibi mendiskusikan problem ini dengan cara menjelaskan dalalah asliyah (pengertian esensial) dan ummumiyah (bisa dipahami orang awam).
- Analisa pengertian taklif dalam hubungannya dengan kemampuan, kesulitan dan lain-lain.
- Penjelasan aspek huzuz dalam hubungannya dengan hawa dan ta'abud.
Mayoritas peneliti membagi
kemashlahatan menjadi dua macam, kemashlahatan akhirat yang dijamin oleh akidah
dan ibadah dan kemashlahatan dunia yang dijamin oleh muamalat. Tetapi dalam
pembahasan ini, tidak ditemukan korelasi yang mengharuskan untuk memperhatikan
pembagian ini. Karena pada hakekatnya segala hal yang terkait dengan akidah,
ibadah dan muamalat dalam syariat Islam menjamin segala kemashlahatan umat baik
sisi dunia maupun akhirat.11
Kemashlahatan yang menjadi tujuan
syariat ini dibatasi dalam lima hal, agama, jiwa/nafs, akal, keturunan dan
harta. Setiap hal yang mengandung penjagaaan atas lima hal ini disebut maslahah
dan setiap hal yang membuat hilangnya lima hal ini disebut mafsadah.12
Adapun setiap hal yang menjadi
perantara terjaganya lima hal ini, dibagi menjadi tiga tingkatan kebutuhan
yaitu al dlorruriyat, al hajiyat dan al tahsinat.13
Kebutuhan
dhoruriyat
Definisinya adalah tingkat kebutuhan
yang harus ada atau disebut juga kebutuhan primer. Apabila tingkat kebutuhan
ini tidak terpenuhi maka keselamatan ummat manusia akan terancam, baik di dunia
maupun di akhirat. Menurut Al Syatibi ada lima hal yang termasuk dalam kategori
ini yaitu memelihara agama, jiwa, kehormatan, keturunan dan harta. Untuk
memelihara lima hal pokok inilah syariat Islam diturunkan. Dalam setiap ayat
hukum apabila diteliti akan ditemukan alasan pembentukannya yang tidak lain
adalah untuk memelihara lima hal pokok di atas. Seperti kewajiban qisas:
ولكم فى القصاص حياة يأولى الألباب
لعلكم تتقون
"Dan dalam qisas itu ada
(jaminan kelangsungan) hidup bagimu hai orang-orang yang bertakwa"14
Dari ayat ini dapat diketahui bahwa
disyariatkannya qisas karena dengan itu ancaman terhadap kehidupan
manusia dapat dihilangkan.
Kebutuhan
al hajiyat
Al Syatibi mendefinisikan sebagai
kebutuhan sekunder. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi keselamatan manusia
tidak sampai terancam. Namun ia akan mengalami kesulitan. Syariat Islam
menghilangkan segala kesulitan tersebut. Adanya hukum rukhshah
(keringanan) seperti dijelaskan Abdul Wahhab Khallaf. Merupakan contoh
kepedulian syariat Islam terhadap kebutuhan ini. Contoh pembolehan tidak
berpuasa bagi musafir, hukuman diyat (denda) bagi seorang yang membunuh
secara tidak sengaja, penangguhan hukuman potong tangan atas seseorang yang
mencuri karena terdesak untuk menyelamatkan jiwanya dari kelaparan.
Kebutuhan
al tahsinat
Definisinya adalah kebutuhan yang
tidak mengancam eksistensi salah satu dari lima hal pokok tadi dan tidak pula
menimbulkan kesulitan apabila tidak terpenuhi. Tingkat kebutuhan ini berupa
kebutuhan pelengkap, seperti dikemukakan Al Syatibi seperti hal yang merupakan
kepatutan menurut adat-istiadat menghindari hal yang tidak enak dipandang mata
dan berhias dengan keindahan yang sesuai dengan tuntutan norma dan akhlak,
dalam berbagai bidang kehidupan seperti ibadah muamalah, dan uqubah.
Allah SWT telah mensyariatkan hal yang berhubungan dengan kebutuhan tahsinat.
Contoh anjuran berhias ketika hendak ke masjid, anjuran memperbanyak ibadah
sunnah, larangan penyiksaan mayat dalam peperangan/ muslah.
Al Syatibi juga membagi mashlahah
dalam tiga hal:15
- Mashlahah muktabar, yaitu kemashlahatan yang berhubungan dengan penjagaan pada lima hal sebagaimana diungkap di atas. Usaha pemeliharaan kemashlahatan yang lima ini adalah pemeliharaaan yang dhoruri (yang paling utama). Itulah sebabnya diharuskannya berjihad kepada yang kuat fisiknya untuk melawan serangan musuh yang bermaksud menghancurkan agama dan tanah air. Ditetapkannya hukuman qisas untuk menjamin keselamatan jiwa, dan lain-lain.
- Mashlahat mulgha, yaitu sesuatu yang sepintas lalu terlihat mashlahat, tetapi ada mashlahat yang lebih besar sehingga mashlahat yang kecil itu boleh diabaikan. Sebagai contoh, pada suatu ketika Abdurrahman ibn Hakam, gubernur Andalusia, meminta fatwa kepada Imam al Laitsi tentang kafarat karena telah membatalkan puasa Ramadhan dengan mencampuri istrinya di siang hari. Al laitsi memfatwakan bahwa kafaratnya harus berpuasa dua bulan berturut-turut. Pengambilan keputusan ini diambil dengan argumen bahwa memerdekakan budak atau memberi makan 60 oarang miskin terlalu ringan bagi seorang gubernur, maka dikawatirkan sang gubernur meremehkannya. Kemashlahatan yang lebih besar dalam kasus ini adalah kemashlahatan agama.
- Mashlahat mursalah, yaitu kemashlahatan yang tidak terkait dengan dalil yang memperbolehkan atau melarangnya, contoh untuk mengatasi merajalelanya pemalsuan hak milik atas barang-barang berharga atau pemalsuan isteri agar dapat bebas kumpul kebo maka atas pertimbangan mashlahah mursalah boleh diadakan ketentuan kewajiban mencatat dan keharusan mempunyai keterangan yang sah setiap terjadi akad jual beli, nikah, hibah dan lain sebagainya.
Batasan
Maslahah
Al Syatibi memberikan gambaran
tentang karakter mashlahah:16
- Tujuan legislasi (tashri') adalah untuk menegakkan mashlahah di dunia ini dan di akhirat.
- Syari' menghendaki masalih harus mutlak
Alasan bagi kedua pertimbangan di
atas ialah bahwa syariah telah dilembagakan harus abadi, universal (kull),
dan umum (amm) dalam hubungannya dengan segala macam kewajiban (takalif),
subjek hukum (mukallafin) dan kondisi-kondisi (ahwal).
Ketiga karakter di atas menuntut mashlahah
harus mutlak dan universal. Kemutlakan berarti bahwa mashlahah tidak
boleh subjektif dan relatif. Kenisbian biasanya didasarkan pada sikap
menyamakan suatu masalah dengan salah satu dari kondisi kesenangan pribadi,
keuntungan pribadi, pemenuhan keinginan nafsu dan kepentingan individu. Semua
pertimbangan di atas memberikan konsep mashlahah akan makna relatif dan
subjektif, yang bukan merupakan pertimbangan syari' dalam mashlahah,
meski mungkin dipertimbangkan dalam budaya adat.
Unsur universal dalam karakter di
atas, tidak dipengaruhi oleh takhalluf (memperkecil) unsur-unsur
partikulernya. Misalnya hukuman diberlakukan berdasarkan ketentuan universal
bahwa biasanya hukuman ini mencegah orang dari melakukan kejahatan dengan
mengabaikan orang-orang tertentu yang walaupun dihukum, tidak dapat menahan
diri dari melakukan suatu kejahatan. Keberadaan orang-orang tertentu ini tidak
mempengaruhi validitas ketentuan umum tentang hukuman.
Kemashlahatan asasi bagi al Buthi,
sebenarnya hanyalah satu yaitu terciptanya penghambaan seorang mukallaf
kepada Allah dan ma'rifat billah.17 Al Buthi mendasarkan pada dalil:
وابتغ فيما أتاك الله الدار الأخرة
ولا تنس نصيبك من الدنيا.......
"Dan carilah pada apa yang
telah dianugerahkan allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah
kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi …".18
Al Buthi menandaskan bahwa mayoritas
ahli tafsir bersepakat bahwa pernyataan la tansa nashibaka min al dunya,
bermakna bagian dunia yang berfaedah bagi akhiratnya.
Dalam memberikan batasan mashlahah,
al Buthi memaparkan dua hal yang keluar dari kriteria mashlahah:19
- Segala hal yang keluar dari substansi mashlahah dengan tujuan penjagaan lima hal contoh melepaskan ketentuan diri dari ketentuan ibadah, menginginkan kenikmatan berzina, melampaui batas penjagaan diri tanpa ketentuan yang dibenarkan syara' dan lain-lain.
- Segala sesuatu yang tidak bertentangan dengan substansi mashlahah tetapi menjadi berubah karena tujuan yang tidak baik berdasar hadits: "innamal a'malu binniyat".
Kehujjahan
Maqasid Al Syariah (mashlahah)
Mashlahah dalam bingkai pengertian yang membatasinya bukanlah dalil
yang berdiri sendiri atas dalil-dalil syara' sebagaimana Al Qur'an, Al
Hadits, Ijma' dan Qiyas. Dengan demikian tidaklah mungkin menentukan hukum
parsial (juz'i/far'i) dengan berdasar kemashlahatan saja. Sesungguhnya
mashlahah adalah makna yang universal yang mencakup keseluruhan bagian-bagian
hukum far'i yang diambil dari dalil-dalil atau dasar syariah.
Kesendirian mashlahah sebagai
dalil hukum, tidak dapat dilakukan karena akal tidak mungkin menangkap makna mashlahah
dalam masalah-masalah juz'i. Hal ini disebabkan dua hal:20
- Kalau akal mampu menangkap Maqasid Al Syariah secara parsial dalam tiap-tiap ketentuan hukum, maka akal adalah penentu/hakim sebelum datangnya syara'. Hal ini mungkin menurut mayoritas ulama.
- Kalau anggapan bahwa akal mampu menangkap Maqasid Al Syariah secara parsial dalam tiap-tiap ketentuan hukum itu dianggap sah-sah saja maka batallah keberadaan atsar /efek dari kebanyakan dalil-dalil rinci bagi hukum, karena kesamaran substansi mashlahah bagi mayoritas akal manusia.
Bagi Abdul Wahhab Khallaf, Maqasid
Al Syariah adalah suatu alat bantu untuk memahami redaksi Al Qur'an dan Al
Hadits, menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan dan menetapkan hukum
terhadap kasus yang tidak tertampung dalam Al Qur'an dan Al Hadits.21
Dari apa yang disampaikan Abdul
Wahhab Khallaf ini, menunjukkan Maqasid Al Syariah tidaklah mandiri
sebagai dalil hukum tetapi merupakan dasar bagi penetapan hukum melalui
beberapa metode pengambilan hukum. Namun begitu, sebagaimana disinggung dalam
pendahuluan hampir keseluruhan metode yang dipertentangkan/tidak disepakati
oleh ulama, adalah karena faktor pengaruh teologi.
Referensi
1 Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al Syaukani: Relevansinya
bagi Pembaruan Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Logos, 1999, hal.42-43
2 Muhammad Khalid Mas'ud, Filsafat Hukum Islam dan
Perubahan Sosial, terjemahan oleh Yudian W. Asmin, Surabaya: Al Ikhlas,
1995, hal. 225
3 Ibid. hal 226
4 Taufik Abdullah (ketua editor), Ensiklopedia Tematis Dunia
Islam, Jakarta, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002, juz 3 hal.294
5 Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh Islamy, Damaskus: Dar al Fikr,
1986, juz 2 hal 748
6 Taufik Abdullah (ketua editor), op.cit, hal. 292
7 Wahbah Zuhaili, op.cit. hal.225
8 Muhammad Khalid Mas'ud, op.cit hal. 225
9 Nasrun Rusli, op.cit hsl 43
10 Muhammad Khalid Mas'ud, op.cit hal 228. Baca juga Yusuf
Qardhawi, _Al Qur'an dan Sunnah Referensi Tinggi Ummat Islam, terj. Jakarta:
Robbani Press, 1997 hal 251
11 Muhammad Said Romadlon al Buthi, Dhowabit al Mashlahah
fi al Syariah al Islamiyah, Beirut: Dar al Muttahidah, 1992 halaman 71.
12 Ibid. hal. 110.
13 Ibid, baca juga: Taufik Abdullah (ketua editor), op.cit,
hal 292-294.
14 Al Qur'an, surat Al Baqarah ayat 179.
15 Peunoh Dali, Menelusuri Pemikiran Mashlahat dalam Hukum
Islam, dalam Iqbal Abdurrauf Saimina (ed), Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam,
Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988, hal 153
16 Muhammad Khalid Mas'ud, Op.cit. hal. 238.
17 Muhammad Said Rhomadhon al Buthi, op.cit, hal. 112.
18 Al qur'an: Al Qashash 77.
19 Muhammad Said Rhomadhon al Buthi, op.cit, hal. 112.
20 Ibid, hal 108.
21 Taufik Abdullah (ketua editor), op cit. hal 294.
Penulis:
Abu Naqie Usamah
Abu Naqie Usamah
No comments:
Post a Comment