NEGARA ANGKA KEJAHATAN TERKECIL DI DUNIA
M.Rakib
Pekanbaru Riau Indonesia 2015
Dalam persejuta
orang yang kena korban kejahatan kriminal di AS kira-kira 400 orang pertahun, sedangkan
di Arab hanya 11 orang pertahun. Di negara yang menerapkan Hukum Islam seperti Saudi Arabia, angka kejahatan pedofilia sangat
kecil. Masyarakat di negara-negara penegak syariat Islam takut melakukan
kejahatan seksual terhadap anak-anak karena tidak ingin dihukum pancung. Coba
kita bandingkan dengan negara-negara sekuler yang memberlakukan hukum buatan
manusia, seperti Indonesia. Angka kejahatan pedofilia sangat besar. Bahkan di
negara-negara Barat yang menentang hukum Islam, kejahatan berat terhadap
anak-anak ini juga melibatkan para pemuka agama nasrani di gereja-gereja
mereka.
Baikuni alias Babe. Januari 2010 lalu ia ditangkap polisi setelah diketahui
melakukan sodomi dan pembunuhan atas seorang bocah berusia 9 tahun. Ternyata
polisi pun menemukan bukti bahwa jumlah anak-anak yang menjadi korban sodomi
dan pembunuhan oleh Baikuni mencapai 14 orang. Semua korban adalah anak
jalanan.Sementara itu, Philip Robert, warga negara Australia yang terbukti melakukan pedofilia terhadap belasan bocah Bali, pada tanggal 26 Februari 2009 dijatuhi hukuman 8 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Singaraja.(Tempointeraktif.com, 26/2/2009)
Pada tahun 2004, William Stuart Brown yang juga orang Aussie diganjar penjara selama 13 tahun oleh Pengadilan Negeri Karangasem setelah kedapatan mensodomi 2 anak di provinsi beribukota Denpasar.
Kasus-kasus di atas memberikan gambaran bahwa pedofilia, kejahatan seksual terhadap bocah di bawah umur marak terjadi di Indonesia. Kasus penyimpangan seksual tersebut ibarat gunung es, sedikit yang berhasil terungkap namun kasus yang belum diketahui masih lebih banyak lagi. Sebagian besar korban (beserta orangtua masing-masing) enggan melaporkan kejahatan yang mereka alami karena malu. Bahkan banyak korban yang tidak bisa lagi melaporkan kejahatan tersebut karena telah dibunuh.
Komnas Perlindungan Anak melaporkan bahwa 60 persen kasus kejahatan terhadap bocah di bawah umur yang mereka tangani menyangkut masalah pedofilia. Dan sebagian besar korbannya adalah para pekerja anak.
Fenomena ini sungguh memprihatinkan karena jumlah bocah Indonesia yang terpaksa harus mencari nafkah sangat besar. Penelitian yang dilakukan atas kerjasama Biro Pusat Statistik (BPS) dan Organisasi Buruh Internasional (ILO) pada tahun 2009 menyebutkan bahwa ada 1,7 juta pekerja anak di negeri ini. (Kapanlagi.com, 11/2/2010).
Tentu jumlah pekerja anak di negara kita saat ini
bertambah banyak seiring dengan meningkatnya angka kemiskinan penduduk sejak
krisis ekonomi global pada penghujung tahun 2008 lalu. Memang kemiskinan
merupakan salah satu faktor utama yang melatarbelakangi masalah ini. Ribuan
bocah laki-laki pra-pubertas yang tinggal di kawasan wisata (seperti Bali,
Sumatera Utara, dan NTB) rela bekerja sebagai pedagang asongan maupun freelance
guide bagi para turis. Padahal pekerjaan tersebut sangat membahayakan fisik dan
mental mereka sebab tidak sedikit di antara turis domestik maupun mancanegara
yang mengeksploitasi mereka secara seksual. Perlakuan tidak senonoh yang mereka
alami berupa sodomi (anal seks) maupun oral seks.
Parahnya, karena alasan ekonomi, sebagian bocah belia rela bekerja sebagai
pemuas penyimpangan seksual para wisatawan demi mendapatkan uang. Pada umumnya
mereka adalah bocah-bocah yang pernah disodomi secara paksa. Seperti yang
terjadi di pusat-pusat wisata NTB, ratusan anak laki-laki diketahui bekerja
sebagai gigolo kecil yang diorganisir secara rapi oleh kaum gay.
(Nusatenggaranews.com, 13/12/2006).Selain anak laki-laki, korban pedofilia adalah bocah perempuan di bawah umur. Berdasarkan data yang dimiliki Badan PBB untuk Urusan Anak-Anak (UNICEF), setiap tahunnya sekitar 150.000 anak perempuan Indonesia menjadi korban perdagangan anak (children trafficking), untuk dipaksa bekerja di pusat-pusat wisata domestik maupun mancanegara sebagai PSK cilik. (Tempointeraktif.com, 4/12/2006).
Setiap orang yang masih punya hati nurani akan merasa miris terhadap fenomena tersebut, mengingat anak-anak yang seharusnya menikmati masa bermain dan sekolah hidup menderita di lokalisasi-lokalisasi prostitusi berlabel pusat wisata yang penuh dengan tekanan dan ancaman. Anak-anak perempuan belia tersebut umumnya berasal dari keluarga miskin pedesaan yang diperdaya sindikat perdagangan wanita dan anak. Mereka diiming-imingi akan dipekerjakan sebagai pelayan restoran, PRT, buruh industri, atau profesi halal lainnya. Tetapi kenyataannya para bocah belia tersebut dijerumuskan ke dalam bisnis prostitusi anak.
Prostitusi anak, apakah sebagai gigolo (bagi bocah laki-laki) maupun pelacur (untuk anak perempuan) merupakan pekerjaan tercela yang sangat berbahaya bagi tumbuh kembang fisik maupun mental mereka. Secara fisik, para bocah pramuria terancam penyakit menular seksual berbahaya seperti sipilis, bahkan berpeluang besar terjangkit virus HIV-AIDS yang mematikan dan hingga kini belum ditemukan obatnya. Malah bocah perempuan yang bekerja sebagai pramuria juga terancam penyakit kanker mulut rahim.
Secara mental, pekerja seks anak rentan terkena
pengaruh buruk dunia prostitusi sehingga dapat menurunkan moral mereka. Tak
mengherankan jika para pramuria belia itu akrab dengan dunia rokok, minuman
keras, serta narkotika dan obat-obat terlarang. Dekadensi moral yang dialami
para pekerja seks cilik juga dipicu oleh sikap minder (inferior), sehingga
setelah dewasa mereka enggan meninggalkan dunia hitam tersebut karena merasa yakin
kalau masyarakat tidak akan menerima kehadiran mereka walau telah bertaubat
sekalipun.
Lebih parah lagi jika mereka menjerumuskan
anak-anak lainnya yang lebih ’yunior’ sebagai pelampiasan balas dendam yang
salah sasaran. Mereka setelah dewasa ikut-ikutan melakukan pedofilia terhadap
bocah kecil atau minimal menjadi mucikari freelance yang menjual anak-anak di
bawah umur kepada orang-orang yang senang menyalurkan hasratnya kepada para
bocah.
Contoh pelampiasan balas dendam yang salah
sasaran dilakukan oleh Robot Gedek. Sewaktu masih kecil, pria tersebut hidup
sebagai anak jalanan (anjal) yang beberapa kali disodomi secara paksa oleh para
preman yang lebih ’senior’. Ketika dewasa, Robot Gedek juga tertarik untuk
melakukan pedofilia kepada belasan anjal di bawah umur, bahkan ia begitu tega
membunuh 12 bocah korbannya setelah melakukan kekejian tersebut. Akibat
kejahatannya, Robot Gedek dijatuhi hukuman penjara seumur hidup di Lapas
Nusakambangan.
Sosiolog terkemuka, Robert MZ. Lawang menyebutkan
bahwa balas dendam (yang tidak pada tempatnya) merupakan salah satu faktor
penyebab seseorang melakakukan perilaku menyimpang (deviant behaviour) seperti
kejahatan seksual. (Soekanto, 1999).
Solusi
Sedikitnya ada 2 (dua) solusi yang dapat
dilakukan untuk mencegah terjadinya kasus pedofilia terhadap anak-anak di
negeri kita yang mayoritas muslim. Solusi pertama adalah membangkitkan gerakan
gemar membayar zakat, infaq, dan shadaqah (ZIS) di kalangan umat Islam.
Seperti dijelaskan pada awal-awal tulisan ini,
sebagian besar korban pedofilia adalah pekerja anak. Mereka terpaksa
mengais-ngais uang di jalanan maupun tempat-tempat wisata yang membahayakan
fisik, mental, bahkan kehormatan karena kemiskinan orangtua.
No comments:
Post a Comment