INDAHNYA Seksologi dalam Ajaran Leluhur
PANTUN
OLEH M.RAKIB SH., M.Ag. Muballigh Pekanbaru IKMI Riau Indonesia
Kalau salah, melepas hasrat
Seksual yang fitrah, menjadi laknat
Akan disumpah, sepanjang adat
Ualama tak akan, mau mendekat.
Bujang dan gadis, jangan berduaan,
Agar tidak, disatukan Setan
Gaya tarik, tak akan terelakkan
Kuncinya hanya, jangan berdekatan.
Falsafah sekologi adat ini
juga tidak muncul dengan serta merta begitu saja, akan tetapi juga telah
melalui proses atau tahap-tahap perubahan. Setidaknya ada beberapa tahap yang
dilalui masyarakat Melayu dan Minangkabau
di Riau dan Sumbar yang animistik sampai mengikis kabiasaan hindu dan budha,
akhirya sampai ke deklarasi ”adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah” :
- Sebelum Islam datang orang Minangkabau tidak mengenal kehidupan setelah mati (alam akhirat), adat hanya dibuat sebatas untuk orang hidup, sedangkan kalau sudah mati maka akan manjadi tanah, tidak ada lagi aturan yang akan menghukum, keyakinan mereka watu itu adalah ”hiduik di kanduang adat mati di kanduang tanah”, artinya, selama hidup manusia hidup dalam aturan adat, sedangkan kalau sudah mati mereka akan tinggal dalam tanah dan habis lah segala bentuk peraturan.
- Sewaktu Islam mulai masuk ke daerah Minagkabau, masyarakat banyak yang enggan menerima nilai-nilai Islam karena para da’I kurang sopan santun dan menarik simpati dalam menyampaikan dakwah Islam, timbullah sindiran yang mengatakan bahwa ”syarak batilanjang adat basisampiang” maksudnya, agama terlalu berterus terang, sedangkan adat bahasanya lebih halus. Perlu diingat bahwa pada saat itu pada dasarnya masyarakat Minangkabau tidak terbiasa dengan hal yang terlalu terus terang dan ”tegas” seperti bahasa agama.
- Untuk membendung arus Islam di masyarakat yang takut akan kehilangan identitas adat lama yang mereka pertahankan, makanya para pemuka adat dan cerdik pandai memuat suatu benang merah dengan membuat falsafah ”adat basandi alua syarak basandi kitabullah” artinya, adat itu berlandaskan pada kepatutan, sedangkan agama belandaskan pada kitabullah (al Quran). Dalm hal ini terlihat bahwa masih ada pemisahan antara adat dan agama.
- Melalui pembatasan itu, laju dakwah di rasa berjalan lamban di Minangkabau, maka pada waktu itu para ulama melakukan pendekatan secara kooperatif ”syarak mandaki adat manurun” syarak itu sehubungan dengan hal vertikal kepada Tuhan, adat berkenaan dengan kehidupan sosial.
Posted on Februari 10, 2011 by Diemas
Dhamardjati
Masyarakat Jawa memandang perempuan sebagai
makhluk indah yang dengan kecantikannya menunjukkan sisi keserasian dan
keindahan.
Menurut falsafah Jawa, perempuan adalah
bumi yang subur, yang siap menumbuhkan tanaman. Perempuan adalah bunga yang
indah, menebarkan bau harum mewangi dan membuat senang siapa saja yang
melihatnya.
Wanita ideal dalam budaya
Jawa digambarkan panyandra.
Panyandra merupakan lukisan keindahan, kecantikan, dan kehalusan melalui
ibarat.
Membincang seksualitas perempuan dahulu
dimulai dari hubungan-hubungan sosial pada masa remaja dalam sistem sosial Jawa
yang erat sangkut-pautnya dengan proses tercapainya tingkat kedewasaan
biologis.
Masalah seks tidak pernah dibicarakan
secara terbuka dalam keluarga dan masyarakat Jawa umumnya, meskipun dalam
percakapan banyak lelucon mengenai seks. Bahkan, seorang rohaniawan juga sering
bercerita tentang seks kepada pendereknya. Pembicaraan dan pengetahuan tentang
seks mengalir di antara teman akrab, kawan seprofesi, atau kawan bermain, dan
ada juga yang mendapatkan dari wanita-wanita tunasusila di warung-warung
pinggir jalan.
Oleh karena ada rasa tabu dalam
pembicaraan seks, orang Jawa memiliki simbol lingga yoni.
Lingga melambangkan falus atau penis, alat
kelamin laki-laki. Yoni melambangkan vagina, alat
kelamin perempuan. Simbol-simbol ini sudah lama dipakai oleh masyarakat
nusantara sebagai penghalusan atau pasemon dari hal yang dianggap jorok.
Simbol lain seperti lesung alu, munthuk cobek, dan sebagainya juga bermakna sejenis.
Pelukisan seksual dalam khazanah filsafat Jawa dikenal dengan isbat curiga manjing warangka yang arti lugasnya adalah keris masuk ke
dalam sarungnya.
Dalam melambangkan proses pembuahan ini
Hariwijaya mengungkapkannya sebagai berikut.
Manusia dalam kosmologi Jawa berasal dari
tirta
sinduretna yang keluar saat
pertemuan antara
lingga yoni,
kemudian berkembang menjadi janin dan dikandung dalam gua garba.
Tirta sinduretna merupakan lambang dari air mani atau
sperma laki-laki. Gua garba merupakan melambangkan untuk menghaluskan fungsi
rahim seorang wanita.
Proses magis spiritual ini disimbolkan
dalam kalimat alegoris bothok bantheng winungkus godhong asem kabitingan alu bengkong. Secara harfiah, kalimat tersebut berarti sejenis sambal yang dibungkus daun asam yang
diberi lidi alubengkong. Bothok bantheng bermakna sperma; godhong asem bermakna
kemaluan wanita; alu bengkong sebagai simbol alat kelamin pria.
Dengan demikian, makna adalah bahwa
asal-usul manusia berasal dari sperma yang membubuhi sel telur dari rahim
wanita yang terjadi dalam proses persenggamaan.
Dalam pandangan yang lain istilah dalam bathok bantheng adalah simbol keberadaan zat, hidup
manusia; godhong
asem sebagai simbol sifat manusia; alu bengkong melambangkan tingkah-laku.
Maknanya, hidup manusia selalu terbungkus oleh sifat dan
perilakunya.
Hubungan seksual dalam pandangan Jawa
merupakan sesuatu yang luhur, sakral, dan memiliki fungsi untuk menjaga
keharmonisan dan kelangsungan hidup manusia. Keharmonisan akan beraroma
kenikmatan tinggi jika menggunakan seluruh tubuh untuk mencari dan
mengekspresikan kepuasan satu sama lain.
Hubungan seksual demikian adalah seks
yang sesungguhnya dan memberi arti yang sangat dalam.
Seks memberikan nilai keharmonisan hidup.
Pemenuhan seksual (sexual fulfilment) adalah suatu hal ketika keduanya mencapai
suatu momen yang memabukkan (ecstasy), menggambarkannya sebagai berikut;
Saya hanya bisa seperti apa bagi
seorang pria, namun saya ya….. ketika saya dapat mencapai satu macam ikatan,
ketika Anda sedang bersetubuh dan ……..Anda mendekati jiwa pasangan orang lain
yang Anda tidak bisa dapatkan di kesempatan lain …. Ketika Anda lihat ke dalam
mata pasangan, Anda seperti bisa melihat ke dalam jiwa mereka dan itu adalah
ikatan— saya rasa, vagina saya menjadi jiwa saya juga… dan ketika kita
berhubungan itu, seperti menggabungkan dua jiwa, dan itulah bentuk ikatan, lalu
sensasi suatu rasa bahwa Anda telah menciptakan kepuasan seksual.
Hubungan seksual jika didasari oleh rasa
cinta merupakan pemenuhan spiritual. Hal ini barangkali tak akan lebih mudah
dipahami dalam konteks keagamaan.
Dalam ajaran leluhur kuno, hasrat jiwa
untuk menjadi satu dengan Tuhan biasanya diekspresikan secara simbolik dengan
terma cinta manusia dan hasrat seksual.
Dalam tasawuf, seks orgasme merupakan
jalan menyatukan diri hamba dengan Tuhannya. Oleh karena itu, baik laki-laki
maupun perempuan sama-sama memiliki hak-hak untuk dapat menikmati hubungan seks
yang mereka lakukan.
Menurut ajaran Jawa kuno,
dalam hubungan seksual itu, unsur laki-laki adalah upaya atau alat untuk
mencapai kebenaran yang agung, sedangkan unsur wanita merupakan prajnaa atau
kemahiran yang membebaskan. Dipahami bahwa persenggamaan adalahdarma suami
terhadap istri, dan sebaliknya merupakan kewajiban suami terhadap istrinya.
Asmaragama ini ditunjukan kepada
sepasangan kerohanian. Latihan untuk memahami teori seksual ini diperlukan
kesungguhan,keajegan, ketenangan batin, dan sakralitas karena seks merupakan
ritual suci sakral yang hanya boleh dilakukan oleh mereka yang telah menuju
kedewasaan dalam kerohanian keutamaan hidup.
LESUNG
Suaramu tak lagi mengalun
karena antan sudah haram menjamah
Dewi Sri yang ramah kini hanya mampu meratap
pak Tani dan mbok Tani tak lagi berdendang
di saat fajar subuh menjelang
Buah lakum, di samping
rumah,
Dibuat sambal, di pagi hari.
Kuat hukum negara, tidak singkirkan agama,
Kuat agama tidak, anti aturan negeri.
Air deras, hanyutlah peti,
Buku Hamka, di seberang.
Aku cemas , bersedih hati,
Melihat KaPeKa, dilemahkan orang.
Buku Hamka, di seberang.
Aku cemas , bersedih hati,
Melihat KaPeKa, dilemahkan orang.
Orang di suarau, bersorak-sorak
Menabuh gendang, dengan rebana.
Alangkah risau, hati awak.
Pelindung hukum, dapat bencana.
Ingin tahu, cara menyayat,
Lihatlah pandan nan berduri
Sungguh malang, nasib rakyat,
Pengawal hukum, perkaya diri.
Memancing di belakang gudang
Nasi masak, gulai tertumpah
Menangis rakyat, me minta uang
Konglomerat, menganggapnya sampah
Kucing takut, sampai menggigil,
Melihat tikus, membawa lidi.
Buat yang patut, jangan mengganjil,
Gunakan kepekaan, hatinurani.
Seekor tikus, dingin
menggigil,
Melihat kucing, membawa lidi.
Melihat kucing, membawa lidi.
Koruptor melakukan, perbuatan ganjil,
Terlalu rakus, pura-pura mengabdi.
Orang langkat, membeli batik,
Batik dijual, anak seberang.
Terbang semangat, ahli politik,
Melihat teroris, terus berjuang.
Tudung saji, hanyut terapung
Hanyut terdampar, di air sungai
Si Alim seorang, pencuri kampung,
Ingin melerai, tangan tak sampai.
Dari Malaka, ke negeri Pahang
Singgah ke kedai, beli kuini
Rakyat pribumi, bagaikan menumpang
Pemodal asing, makmur di sini.
Kalau masak, buah papaya,
Pakailah motor, bawa ke Bali.
Kalau Indonesia ingin, kaya raya,
Lenyapkan koruptor, dari bumi.
Ramai orang, di pinggir jalan,
Menjual koran, menjual manggis.
Ingin hati, menegakkan keadilan,
Tiada pengangguran, tiada lagi pengemis.
Dua tiga, toko di Padang
Sebuah saja, toko besi.
Dua tiga, pulau yang hilang,
Tambang emas, jangan dihabisi.
Puntung hanyut, api pun padam
Orang memancing, di sungai kulim,
Buku kubaca, di tengah malam,
Kapan Israel, tak lagi zalim.
Anak raja, bermain keris
Keris dikerat, di Apar lama.
Usahlah si miskin, duduk menangis
Hidupnya konglomerat, takkan lama.
Keris dikerat, di Apar lama.
Usahlah si miskin, duduk menangis
Hidupnya konglomerat, takkan lama.
Sungguh dalam, lautan teduh
Kapal berlayar, di tengah malam
Gila harta, bisa sembuh
Gila cinta, semakin dalam.
Tudung periuk, milik putri
Mainan anak, di aatas kapal.
Jalanan buruk, akibat korupsi,
Gedung roboh, pemborongnya nakal.
Ke ladang, menabur
benih,
Di dalam lukah, ikan
juara.
Di mana hati, takkan sedih,
Anak kena narkoba, suami di penjara.
Di mana hati, takkan sedih,
Anak kena narkoba, suami di penjara.
Buah nangka, buah kuini,
Untuk bekal, orang di sawah
Cobalah terka, pantunku ini,
Apa hukumannya, pencuri cinta.
Orang memancing, ikan belanak,
Dapat sepasang, di dalam lukah.
Terlalu dimanja, seorang anak,
Akhirnya menjadi, anak durhaka.
Buah lada, rasanya pedas
Jatuh sebiji buah masaknya
Meski otak pintar dan cerdas
Tidak berbudi apa gunanya.
Kalau pandai, memakai bedil,
Selamat dari, para peneyerang.
Kalau pemimpin, bertindak adil,
Rakyat suka, Tuhan pun sayang.
Pukat bukan, sembarang pukat,
Pukat penjala, ikan beledang.
Bukan adat, sembarang adat
Adat pusaka nenek moyang.
Hukum adat, berbuhul sentak,
Hukum agama, berbuhul mati.
Keadilan tegak, di pintu syarak,
Orang durhaka, menzalimi diri.
No comments:
Post a Comment