HADITS
TTG UMUR 13 TAHUN BOLEH DIPUKUL
Catatan
M.Rakib IKMI Pekanbaru Riau Indonesia
2015
Seorang anak diakikahkan pada
hari ketujuh dan diberi nama, dibersihkan dari penyakit, maka apabila dia sudah
berumur enam tahun hendaklah dididik, apabila sudah berumur sembilan tahun
hendaklah dipisahkan tempat tidurnya, apabila sudah berumur “ tiga belas tahun”, hendaklah dipukul apabila
meninggalkan shalat dan puasa, dan apabila sudah berumur 16 tahun hendaklah
dinikahkan, kemudian dia memegang tangannya seraya mengatakan: aku telah
mendidik dan mengajarmu dan juga menikahkanmu, aku berlindung dari fitnah yang
kau bawa di dunia dan siksaanmu di akhirat.[1]
Di dalam hadits ini dinyatakan:
Apabila sudah berumur “ tiga belas tahun”, hendaklah dipukul apabila meninggalkan shalat dan puasa.Segala sesuatu selain dari zikir
adalah sia-sia, atau
melalaikan, kecuali empat hal: 1.
Perjalan seorang dengan dua tujuan. 2. Memanah, 3. Mendidik kuda tunggangan,
bersenda-gurau dengan keluarganya, dan 4. Mengajarinya
anak berenang.[2]
Kesalahan besar orang tua, jika berpendirian
bahwa anak tidak boleh mengungkapkan pendapat! Penerapannya bisa saja keliru
bahwa haram hukumnya anak tidak melaksanakan perintah orang. Apakah jika
seorang anak yang harus menururti keinginan orang tua jika tidak boleh memilih
jurusan sekolah sesuai kemampuan anak dan hanya menuruti ego orang tua agar
bersekolah sesuai keinginan nya? Ada pula tindakan orang tua yang selalu
mengumpat anaknya,[3] dan selalu marah-marah? Bagaimana orang tua yang sibuk bekerja lalu
saat pulang ke rumah menumpahkan kekesalan, sementara anak tidak boleh melawan,
tidak boleh sakit hati.
c. Makna Menghukum
Anak Yang Tidak Shalat
Setiap
yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya pasti memiliki maqashid,[4] atau hikmah dan tujuan. Dalam hal
perintah dan larangan Allah, secara umum manusia terbagi menjadi dua golongan,
yaitu (1) orang yang cukup menerima nasihat dengan dalil kitab dan sunnah dan
(2) orang yang membangkang. Golongan yang kedua inilah yang perlu diterapkan hukuman
padanya. Maqashid itu di antaranya bermakna manfaat, misalnya manfaat besi
adalah untuk memerangi orang-orang kafir dan untuk menegakkan qishash. Ini adalah manfaat yang sangat
nampak, sebab manusia akan takut pada pedang sehingga mereka pasrah pada agama
Allah. Maqashid atau manfaat memukul anak karena meninggalkan sholat, bertujuan
untuk antara lain:
1) Memberi pelajaran kepada anak bahwa
hak Allah adalah sangat lebih besar, dibandingkan hak manusia, misalnya Ibrahi
yang mengorbankan anaknya, menjadi contoh bahwa segala sesuatu akan menjadi
hina di hadapan-Nya. Tubuh yang seharusnya dipelihara dan tidak boleh (haram)
disakiti, tapi demi hukum, menjadi halal dan harus merasakan sakit lantaran
meremehkan hak Penciptanya.
2) Menampakkan kepada anak bahwa orang
tua memiliki kekuasaan dalam melazimkan hukum-hukum Allah kepada mereka,
sehingga tidak ada pilihan baginya kecuali pasrah dan menyerah kepada Rabbnya.
3) Memberi pelajaran kepada anak bahwa
manusia setinggi apapun kedudukannya, status sosialnya dan nasab keturunannya,
tidak memiliki kebebasan mutlak dalam mengikuti kehendaknya yang bertentangan
dengan kehendak Allah.
6. Analisis Terhadap Hukuman Fisik Yang Sesuai Dengan Syari’ah
a.
Memukul anak
Penulis
merasa berkewajiban memberikan catatan bahwa, ada perbedaan yang sangat prinsipil, antara memukul biasa,
dengan memukul yang diatur oleh syari’at.[5]
Memukul menurut kebiasaan sebagian orang tua atau pendidik yang mudah emosi dan
suka memukul. Suka memukul adalah akhlaq tercela. Perhatikan nasehat Rasulullah
SAW., kepada Fatimah binti Qais, ketika mengabarkan kepada beliau bahwa dirinya
dilamar oleh dua orang sahabat, salah satunya adalah Abu Jahm. Karenanya
Rasulullah bersabda,”Adapun Abu Jahm, sebenarnya suka memukul wanita (maksudnya
selalu memberikan hukuman fisik, akhlaqnya tidak baik).”[6]
Nilai
filosofis dari memukul anak secara
ringan, hanyalah agar anak takut, sehingga tunduk kepada perintah Allah bukan
agar si anak takut kepada bapaknya semata, sehingga makin berwibawa. Maksud
memukul adalah agar anak mengamalkan perintah Allah dengan ikhlas karena-Nya.
Sesungguhnya tidak ada manfaatnya bila seorang anak nampak taat kepada Allah di
hadapan orang tuanya sementara di balik itu ia tidak bertaqwa kepada-Nya.
b. Memukul Yang
Melampaui Batas
Orang-orang yang memukul
anak-anak hendaknya takut kepada Allah. Jangan sampai termasuk golongan orang-orang yang tidak
masuk surga bahkan tidak mencium baunya. Di antaranya sekelompok manusia yang memiliki cambuk
seperti ekor sapi untuk memukul manusia.[7]
Ada ulama fiqih yang menyatakan bahwa yang dimaksud orang yang boleh memukul,
bisa saja guru, para polisi, satpam, mandor-mandor pada jaman sekarang ini.[8]
Mereka berkeliling dengan tongkat lalu memukuli dan menendang siapa saja, hanya
karena mengatur dan megamankan. Lalu bagaimana caranya mereka dapat
mengamankan dan mengatur tanpa berbuat aniaya? Jawabnya, dengan anjuran
taqwa kepada Allah, nasihat dan pengarahan dengan lisan, dengan cara yang baik
atau dengan tangan tanpa menyakiti karena kezhaliman adalah kegelapan di akhirat! Aturan
yang paling populer selama ini adalah anak-anak harus berhati-hati dengan
‘kekeramatan’ orang tua. Tapi patut diingat,
secara religi ada lima,[9]
kejahatan orang tua yang wajib dihindarkan. Pertama, apabila suka memaki. Kedua
menghina anak sendiri. Ketiga melebihkan anak dari yang lain. Keempat mendoakan
keburukan anak. Kelima tidak memberi pendidikan anak. Merupakan kemuliaan bangsa, jika orang tua dan guru,
mampu menjadikan generasi muda, cerdas lahir batin, bermoral mulia dan
berbhakti kepada orang tua, sesama, bangsa dan semesta.
[1]H.R.Ibnu
Hiban. Bandingkan pula hadits Rasulullah secara rinci tentang fase-fase
perkembangan anak sekaligus cara atau metode yang harus diterapkan sesuai
dengan perkembangan anak. Rasulullah SAW bersabda artinya : “Berkata Anas
bersabda Nabi Muhammad SAW, anak itu pada hari ketujuh dari lahirnya
disembelihkan aqiqah, diberi nama dan dicukur rambutnya. Kemudian setelah umur
6 tahun dididik kesusilaan, setelah umur 9 tahun dipisahkan tempat tidurnya,
bila telah berumur 13 tahun dipukul karena meninggalkan sholat dan puasa, serta
umur 16 tahun hendaklah orang tua mengawinkannya, kemudian orang tua berjabatan
tangan dan berikrar, saya telah mendidik, mengajar dan mengawinkan kamu, ya
Allah lindungilah aku dari fitrahmu di dunia dan siksaanmu di akhirat”.
[3]Pakar pendidikan
ini ingin mengatakan bahwa hukuman memang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dalam membina anak-anak, malahan dalam situasi tertentu mutlak
diperlukan sekali. Tetapi pada saat yang sama ia sama sekali tidak setuju
secara mutlak dengan hukuman fisik. Ia tidak Dia keberatan dengan
hukuman-hukuman non-fisik tapi bukan hukuman non-fisik yang berat.Ia
menambahkan, “Perlu diingat bahwa jangan sekali-kali memberikan hukuman yang
akan merendahkan harga diri anak, seperti hukuman badan, ancaman dengan siksaan
atau apa saja demi menghancurkan keinginan buruknya. Kemudian, jangan menghukum
anak di saat marah. Lihat Ayah Edi Wahono, Mengapa
Anak Saya Suka Melawan dan Susah Diatur, (PT.Gramedia Widiasarana
Indonesia, 2010), hlm. 31.
[4]Sudah tidak asing di kalangan para ulama yang
berkecimpung dalam juresprudensi Islam (ushul al-fiqh) mengenai teori maqashid al-Syari’ah yang
disistematisasi dan dikembangkan oleh al-Syathibi. Bahkan Musthafa Said al-Khin
dalam bukunya al-Kafi al-Wafi fi Ushul al-Fiqh
al-Islamy membuat
kategorisasi baru dalam aliran Ilmu Ushul Fiqh. Bila sebelumnya hanya dikenal
dua aliran saja, yaitu Mutakallimin dan fuqahaatau Syafi’iyyah dan Hanafiyyah, maka al-Khin membaginya menjadi lima bagian:Mutakallimin, Hanafiyyah, al-Jam’i, Takhrij al-Furu’ ‘alal Ushul dan Sya-thibiyyah (al-Khin, 2000: 8). Dengan demikian, pembagian
tersebut telah menempatkan pemikiran Imam al-Syathibi dalam al-Muwafaqat menjadi
salah satu bagiatn corak aliran yang terpisah dari aliran ushul fiqih lainnya.
Hal ini karena dalam coraknya, al-Syathibi mencoba menggabungkan teori-teori (nadhariyyat) ushul
fiqh dengan konsep maqashid al-syari’ah sehingga produk hukum yang dihasilkan
lebih hidup dan lebih kontekstual. Menurut Darusmanwiati, Ada dua nilai penting
apabila model al-Syathibi ini dikembangkan para ulama sekarang dalam menggali
hukum: Pertama, dapat men-jembatani antara “aliran kanan” dan
“aliran kiri”. “Aliran kanan” yang dimaksud adalah mereka yang tetap teguh
berpegang pada konsep-konsep ilmu ushul fiqh sedangkan “aliran kiri” adalah
mereka yang terakhir ini vokal dengan idenyatajdid
ushul al-fiqh dalam
pengertian perlu adanya dekonstruksi ushul fiqih demi menghasilkan produk fiqih
yang lebih kapabel …. Kedua, model al-Syathibi ini akan lebih
menghasilkan produk hukum yang dalam istilah Ibnu al-Qayyim, al fiqh al-hayy,
fiqih yang hidup. Karena itu, fiqih yang terlalu teksbook yang penulis istilahkan dengan Fiqh Ushuly akan
berubah menjadi Fiqh Maqashidy Darusmanwiati, Islamlib: 309.
[5]Suruhlah
anak-anakmu untuk melaksanakan shalat pada usia tujuh tahun, dan pukullah
mereka jika tidak mau melaksanakannya pada usia sepuluh tahun, serta
pisahkanlah tempat tidur mereka.”[Hadits shahih, diriwayatkan oleh Ahmad
(II/ 180, 187), Abu Dawud (no. 495), Al-Hakim (I/197), Al-Baihaqi (III/84),
Ibnu Abi Syaibah (no. 3482), Ad-Daruquthni (I/230), Al-Khathib (II/278), dan
Al-‘Uqaili (II/167), dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu’anhuma.
Lihat juga Shahihul Jami’ (no. 5868)] Ada beberapa syarat
yang harus dipenuhi berkaitan dengan pukulan kepada anak ini, yaitu:
a. Anak mengerti atas alasan apa dia dipukul. b. Orang yang memukulnya adalah walinya, misalkan ayahnya. c. Tidak boleh memukul anak secara berlebihan. d. Kesalahan yang dilakukan oleh sang anak memang patut untuk mendapatkan hukuman. e. Pukulan dimaksudkan untuk mendidik anak, bukan untuk melampiaskan kemarahan.[Lihat Al-Qaulul Mufid (II/473-474) dan Bekal Menanti Si Buah Hati tt, hlm. 55-56.
a. Anak mengerti atas alasan apa dia dipukul. b. Orang yang memukulnya adalah walinya, misalkan ayahnya. c. Tidak boleh memukul anak secara berlebihan. d. Kesalahan yang dilakukan oleh sang anak memang patut untuk mendapatkan hukuman. e. Pukulan dimaksudkan untuk mendidik anak, bukan untuk melampiaskan kemarahan.[Lihat Al-Qaulul Mufid (II/473-474) dan Bekal Menanti Si Buah Hati tt, hlm. 55-56.
[9] Tribun
Pontianak.Co.id -
Peristiwa kaburnya model cilik, Ruvita Sari Siahaan, 9 Januari 2012. Ada pelajaran bagi orangtua di tengah kehidupan global yang
"lebih" mendewakan materi daripada nilai-nilai religi dan budaya. Vita, sapaan akrab
Ruvita Sari, nekat kabur ke Sorong, Papua Barat bukan tanpa sebab. Kenekatan
model iklan berusia 13 tahun ini, berlatar tekanan psikis hebat dari ibunya, Ny
Lily.Setelah ditemukan polisi di rumah orangtua angkatnya, Bunda Maya di
Sorong, Kamis (26/1/2012) sore, Vita mengaku sering dipukul ibunya kalau
menolak syuting.Tidak sampai di situ, sang ibunda "terlalu" mengatur
selera dan kehidupan anak. Mulai urusan busana hingga rileks (jalan-jalan),
Vita perlu menangis. Vita pun mengalami memar akibat pukulan sang ibu, manakala
model iklan cokelat pasta itu pulang pukul 21.00 WIB. Sang Ibu tak mengelak, mengakui pernah
juga menarik rambut Vita dan menjepret kaki putrinya menggunakan karet.
Benarkah cara orangtua pada buah hatinya ini? Prinsipnya, tak seorang orangtua
pun di muka bumi, ingin menzalimi anak kandungnya.Harimau yang paling buas sekalipun,
tak pernah memakan anak-anaknya, meski kelaparan. Kaum sufi psikologi maupun
agama, justru meyakini cinta orangtua kepada anak, lebih besar dibanding cinta
anak kepada orangtuanya. Editor Tribun Pontianak.Co.id - Peristiwa kaburnya model cilik, Ruvita Sari Siahaan,
9 Januari 2012.
No comments:
Post a Comment