HIKMAH    AL-TASYRI’ WA FALSAFAFATUHU
OLEH M.RAKIB  LPMP 
PEKANBARU  RIAU  INDONESIA 
2014
 HIKMAH    AL-TASYRI’ WA FALSAFAFATUHU
     Tujuan seorang
Rasul diutus kepada umat manusia antara 
lain
untuk 
mengajarkan  Kitab  Suci 
dan  hikmah  kepada mereka.
Karena  cakupan  maknanya 
yang  demikian   luas,  
"hikmah"
diterangkan  
kedalam   berbagai   pengertian  
dan  konsep,
diantaranya wisdom atau 
kewicaksanaan  (dari  bahasa 
Jawa,
untuk  
membedakannya   dari   kata 
"kebijaksanaan"),  ilmu
pengetahuan, filsafat, malahan "blessing in
disguise" (untuk
menekankan  segi  kerahasiaan 
hikmah). [6] Mendasari konsep
itu ialah kesadaran bahwa suatu "hikmah"  selalu 
mengandung
kemurahan dan rahmat Ilahi yang maha luas dan mendalam, yang
tidak seluruhnya kita mampu 
menangkapnya.  Maka  disebutkan
bahwa  siapa
dikaruniai hikmah, ia sungguh telah mendapatkan
kebajikan yang berlimpah-ruah. [6]
Jika 
"hikmah"  itu  kita 
hubungkan  kembali  pada 
istilah
"muhkam" 
(kedua kata itu terambil dari akar kata yang sama,
yaitu h-k-m), maka 
dalam  menumbuhkan  tradisi 
intelektual
yang  integral  dan 
kreatif  berdasarkan  kaidah taqlid dan
ijtihad itu 
memerlukan  kemampuan  menangkap 
hikmah  pesan
Ilahi  seperti yang
terlembagakan dalam ajaran-ajaran agama.
Berkenaan dengan ini, dan dikaitkan  pada 
keterangan  dalam
Kitab  Suci  tentang 
adanya ayat-ayat mahkam dan mutasyabih
tersebut, menarik sekali kita mengangkat penafsiran A. Yusuf
Ali atas makna muhkam itu: [7]
...  The  Commentators 
usually  understand  the 
verses "of
established meaning" (muhkam) to refer  to 
the  categorical
orders  of  the 
Shari'at  (or  the Law), which are plain to
everyone's understanding. But perhaps the meaning is  wider:
"the mother of the Book" must include the very
foundation on
which all Law 
rests,  the  essence 
of  God's  Message, 
as
distinguished  
from   the  various 
illustrative  parables,
allegories, and ordinances.
If we refer to xi. 1 and xxxix. 23, [8] we shall  find 
that
in  a  sense 
the  whole of the Qur'an has both
"established
meaning" 
and  allegorical  meaning. 
The  division  is  not
between  the verses,
but between the meanings to be attached
to them. Each is but a Sign or Symbol: what it represents is
something  immediately
applicable, and something eternal and
independent of time and space, - the  "Forms 
of  Ideas"  in
Plato's  Philosophy.
The wise man will understand that there
is an "essence" and an illustrative clothing  given 
to  the
essence,  throught the
Book. We must try to understand it as
best we can, but not waste our energies in  disputing 
about
matters beyond our depth.[9]
Sesuatu  dari  ajaran 
Kitab Suci yang abadi dan tak terikat
oleh waktu dan ruang (eternal and independent  of 
time  and
space)  dalam
pengertian tentang muhkam itu tidak lain ialah
makna, semangat, atau tujuan universal  yang 
harus  ditarik
dari  suatu materi
ajaran agama yang bersifat spesifik, atau
malah  mungkin  ad-hoc. 
Kadang-kadang  makna   dan  
tujuan
universal 
dibalik  suatu  ketentuan 
spesifik itu sekaligus
diterangkan langsung dalam 
rangkaian  firman  itu 
sendiri.
Tapi, 
kadang-kadang  makna itu harus
ditarik melalui proses
konseptualisasi atau ideasi (ideation). Contoh yang  pertama
ialah  firman  Ilahi 
yang mengurus perceraian Zaid (seorang
bekas budak yang dimerdekakan dan diangkat anak  oleh 
Nabi)
dari  istrinya,  Zainab 
(seorang  wanita  bangsawan Quraisy
dengan status sosial tinggi dan rupawan), dan perceraian itu
kemudian  diteruskan
dengan dikawinkannya Nabi dengan Zainab
oleh Tuhan. Maka terlaksanalah perkawinan  seseorang 
-dalam
hal  ini  Nabi 
menikahi  bekas isteri anak
angkatnya. Namun
kejadian yang bagi orang-orang  tertentu 
terdengar  sebagai
skandal  ini  justru -katakanlah- dirancang oleh Tuhan
untuk
suatu maksud 
yang  mendukung  nilai 
universal  yang  sejak
semula  menjadi  klaim 
ajaran  Islam,  yaitu 
nilai sekitar
konsep  kealamian  (naturalness) 
yang  suci,  yakni 
konsep
fithrah.  Dalam  hal 
ini,  anak  angkat bukanlah anak alami
seperti anak 
(biologis)  sendiri,  sehingga 
juga  tidaklah
alami  dan  tidak 
pula  wajar  jika hubungannya dengan ayah
angkatnya dikenakan ketentuan yang sama dengan  anak 
alami,
termasuk  dalam  urusan 
nikah.  Maka,  kejadian ad-hoc yang
menyangkut Zaid, Zainab dan Nabi  itu 
langsung  diterangkan
tujuan 
universalnya,  yaitu  "agar 
tidak ada halangan bagi
kaum beriman untuk mengawini (bekas) isteri-isteri anak-anak
angkat 
mereka."  [10]  Tujuan 
ini  jelas  langsung terkait
dengan segi universal yang lebih  menyeluruh, 
yaitu  konsep
atau  ajaran  fithrah, 
yang  mengimplikasikan  bahwa segala
sesuatu dalam tatanan hidup 
manusia  ini  hendaknya 
diatur
dengan  ketentuan  yang 
sealami mungkin sesuai dengan hukum
alam (Qadar) [11] dan hukum sejarah (Sunnat-u  'l-Lah) 
yang
pasti  dan  tak 
berubah-ubah.  [12]  Pandangan bahwa segala
sesuatu harus sealami 
mungkin  adalah  benar-benar 
sentral
namun menuntut pemahaman mendalam yang disebut sebagai agama
ftthrah yang hanif.
Itulah hikmah pesan agama dalam arti yang seluas-luasnya dan
secara  global. Dalam
arti yang lebih terinci, konsep hikmah
agama dinyatakan 
dalam  berbagai  ungkapan, 
seperti  telah
menjadi  tema  dan 
judul  sebuah  buku yang cukup terkenal,
Hikmat al-Tasyri' wa Falsafatuhu. [13]  Hikmah 
pesan  agama
ini  juga  dikenal 
dengan  istilah  lain 
sebagai  maqashid
al-syari'ah (maksud dan tujuan syari'ah).  Berkaitan 
dengan
ini  berbagai konsep
yang telah mapan dalam pembahasan agama
Islam, khususnya 
pembahasan  bidang  hukum 
(syari'ah  -par
excellence), 
seperti  konsep sekitar 'illat
al-hukm (Latin:
ratio legis), yang juga sering disebut dengan manath al-hukm
(sumbu perputaran hukum). Konsep-konsep ini dibuat berkenaan
dengan perlunya menemukan 
suatu  rationale  yang 
mendasari
penetapan  suatu  hukum. 
Contoh  nyata penerapan konsep ini
ialah yang 
dikenakan  pada  hukum 
khamr.  Bahwa  rationale
diharamkannya 
minuman  keras  (alkoholik, 
seperti  khamar)
ialah sifatnya yang memabukkan.  Kemudian 
sifat  memabukkan
itu   sendiri  dihukumnya 
sebagai  tidak  baik, 
karena  ia
mengakibatkan suatu jenis kerusakan, yaitu kerusakan mental.
Dan  selanjutnya,  kerusakan 
mental  itu  -betapa pun jelas
negatif-  masih  bisa 
dilihat  rationalenya   sehingga  
ia
negatif,  yaitu  bahwa 
ia berarti hilangnya akal sehat yang
menjadi bagian 
dari  fithrah  manusia. 
Padahal  memelihara
fithrah  itulah,  justru merupakan salah satu ajaran sentral
agama Islam. [14]
IJTIHAD
Uraian di atas dibuat dengan tujuan memberi  gambaran 
bahwa
masalah  taqlid  dan 
ijtihad, lebih dari pada yang dipahami
umum, menyangkut hal-hal yang  cukup 
rumit,  mendalam,  dan
meluas  serta  kompleks. Karena itu di kalangan ulama klasik
ada pendapat hampir merata bahwa ijtihad adalah suatu  tugas
yang   penuh   gengsi,  
tapi  justru  karena 
itu  menuntut
persyaratan banyak dan berat. Maka  ijtihad 
bisa  dilakukan
hanya  oleh  orang-orang 
tertentu  yang  benar-benar 
telah
memenuhi  syarat  itu. 
Syarat-syarat  itu  sekarang  
boleh
kedengaran  kuno,  namun 
ia  dibuat  dengan tujuan menjamin
adanya kewenangan dan tanggung jawab.
Hanya  saja,  pelukisan 
tentang  kegiatan  ijtihad 
sebagai
sesuatu yang amat eksklusif telah melahirkan persepsi salah.
Dalam sejarah masyarakat Muslim sempat tumbuh pandangan yang
hampir  menabukan  ijtihad. Sikap penabuan dengan sendirinya
tidak dapat dibenarkan meskipun sesungguhnya ia muncul  dari
obsesi  para  ulama 
pada  ketertiban  dan 
ketenangan  atau
keamanan, yaitu tema-tema teori politik Sunni,
khususnya  di
masa-masa  penuh  kekacauan 
menjelang  keruntuhan  Baghdad.
Tapi, dalam perkembangan selanjutnya penabuan itu juga dapat
dilihat  sebagai  kelanjutan 
masa kegelapan (obskurantisme)
dalam pemikiran Islam.
Kini, ijtihad itu diajukan orang  sebagai 
salah  satu  tema
pokok  usaha  reformasi 
atau  penyegaran  kembali pemahaman
terhadap  agama.  Melalui 
tokoh-tokoh   pembaharu   seperti
Muhammad  Abduh  dan 
Sayid  Ahmad Khan, ijtihad dikemukakan
kembali  sebagai  metode 
terpenting  menghilangkan  situasi
anomalous  dunia  Islam 
yang  kalah  dan dijajah oleh dunia
Kristen Barat. 
(Disebut  anomalous,  karena 
selama  paling
kurang  tujuh atau
delapan abad, orang-orang muslim terbiasa
berpikir bahwa dunia ini 
milik  mereka,  dan 
hak  mengatur
dunia  hanya  ada 
pada  mereka,  sebagai 
salah satu akibat
penguasaan 
mereka  atas  daerah-daerah 
sentral   peradaban
manusia, 
terutama  daerah  Nil 
sampai  Ozus, jantung kawan
(Oikoumene).
Para pembaharu mendapati 
bahwa  praktek  taqlid 
yang  umum
menguasai  orang-orang
muslim, baik awam maupun ulama, telah
berkembang menjadi suatu 
sikap  mental,  jika 
bukan  malah
pandangan 
teologis,  yang  meliputi 
penolakan secara sadar
terhadap segala sesuatu yang baru, khususnya jika  berbentuk
unsur  dari  budaya 
asing.  [15]  Ini 
dengan mudah dilihat
gejala xenophobia. Xenophobia itu sendiri merupakan  gejala,
paling  untung  chauvinisme, 
paling  celaka  kecemasan 
dan
rendah diri. Gejala ini 
pula  yang  hari-hari 
ini  dilihat
al-Makki, 
seorang  pemikir  Makkah 
dari madzhab Maliki. Ia
melukiskan semangat kosmopolit zaman klasik Islam, khususnya
zaman  'Umar.  Sebab, 
sepanjang  penuturannya, 'Umar
adalah
seorang  yang  "berpikiran  luas, 
yang  tidak   segan-segan
mengambil  apa  saja yang baik dari umat-umat lain, meskipun
umat itu kafir. [16] Bahkan 
'Umar  "tidak  memandang 
semua
perkara   
bersifat    ta'abbudi    (bernilai   
'ubudiyyah,
devotional), dan tidak memandang baik terhadap  sikap 
jumud
dalam   hukum,   tetapi  
mengikuti   berbagai  pertimbangan
kemaslahatan dan melihat makna-makna  yang 
merupakan  poros
penetapan  hukum  (manath 
al-tasyri')  yang  diridlai Allah
s.w.t." 
[17]  Pandangan  'Umar 
ini  sejalan  dengan,  
dan
merupakan konsekwensi dari, penegasannya bahwa
"tidaklah ada
gunanya 
berbicara  tentang  kebenaran 
namun  tidak   dapat
dilaksanakan." [18]
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Kairo  Mesir :
Maktabah Wahbah, h. 288. dilandaskan kepada “ sesungguhnya aku dapati
masyarakat di Syam tidak seperti masyarakat di Madinah”
. Beliau juga pernah mengungkapkan bahwa
(memperbaharui hukum terhadap manusia berdasarkan kepada kadar kerosakan yang
mereka lakukan).Ini menunjukkan pengaruh perubahan dan perkembangan bagi isu kontemporer,
turut  mempengaruhi keputusan hukum.
Perubahan-perubahan inilah yang menjadi titik kajian bagi menghasilkan apa yang
diistilahkan oleh al-Qaradawi  sebagai Fiqhal-W aqi‘i
. Konsep Fiqh al-W a qi‘i Fiqh al-W aqi‘i
menurut  al-Qaradawi   berkonsepkan pengetahuan tentang keadaan
realitas . Pengetahuan ini mencakupi realitas dari segi positif mahupun yang  negatif. Ia menilai sesuatu faktor yang
mempengaruhi keadaan realiti secaraobjektif. Fakta ditimbang tidak bersandar
kepada imiginatif dan sebagainya yangboleh mencacatkan pemahaman terhadap keadaan
realiti. Dengan itu fiqh ini akanmemandu pengkaji bagi memahami realiti dengan
menilai keadaan yang ada secarailmiah, topikal dan juga objektif.
Hal
yang sama dijelaskan oleh Paizah Ismail tentang 
Fiqh al-W aqi‘
.
Menurut  beliau faham  yang mendalam tentang realitas hidup. Ia akan
ditemukan melalui pembacaan, penelitian dan penyelidikan ilmiah tentang realitas
hidup  di zaman ini  dalam satu waktu semasa dalam berbagai-bagai
aspek yang berkaitan.
Apa
yang difokuskan tentang fiqh ini ialah berkaitan dengan:i.Perubahan hukum
kerana perubahan kemaslahatanii.Perubahan ‘uruf dan tempat.
i.                   
Perubahan Hukum
Karena Perubahan Kemaslahatan
Hukum-hukum Syariat yang dilandasi dengan
kemaslahatan semasa bolehmenerima perubahan hukum jika sandaran kepada
kemaslahatan itu sendiri telahberubah. Ini sesuai dengan kaedah “sesuatu yang
dilandaskan kepada suatu ‘illatberkisar menurut ‘illatnya ada atau tidak ada”
Sebagai contoh dalam masalah untuk membezakan antara
penganut pelbagaiagama. ‘Umar ‘Abd al-‘Aziz
memutuskan “kerana mereka (ahl al-Dhimmah)bercampur dengan orang Islam, maka
mereka perlu dibedakan dengan kita.
Pengaruh
Perubahan Dalam Pembinaan Hukum Siyasah Syar‘iyyah
Peristiwa ini tujuannya supaya dapat mengelakkan
mereka diperlakukan seperti orang Mus-lim. Kemungkinan mereka mati secara
mendadak di tengah jalan, sedangkan  identitas
mereka tidak diketahui hingga dilakukan solat jenazah dan dikuburkan dikawasan
orang Islam. Peristiwa  ini tentu tidak
dapat diterima oleh keluarga mangsa 
korban dan juga orang Muslim. Menurut al-Qaradawi  peristiwa  ini perlu di perhatikan serius sesuai dengan
pada awal pembukaan daerah-daerah baru sebagai langkah  berhati-hati.
18
Asas kemaslahatan untuk membezakan identiti agama
seseorang mengikutagamanya seperti cara pada masa lalu (iaitu berasaskan
pengenalan pada pakaian)boleh menerima perubahan. Bahkan perbezaan atas hal
tersebut tidak diterimaramai. Malahan pada masa ini ia telah dipermudahkan
caranya dengan adanyapasport atau kad pengenalan yang tidak menyinggung
perasaan penganut agamalain. Justeru, mewajibkan pakaian tertentu sahaja atau
apa-apa yang berkaitandengannya tidak perlu lagi dikuatkuasakan oleh
pemerintah.
ii.Perubahan
‘Uruf dan Tempat
          Penggunaan
 ‘uruf, tempat dan masa antara faktor
berpengaruh dalampenetapan hukum pada masa lalu akibat dari berlakunya
perubahan atas faktor-faktor tersebut. Sebagai contoh, pengguguran saksi kerana
dia berjalan tanpamenutup kepala (serban atau kopiah), kebiasaan makan minum di
gerai-gerai tepi jalan, mencukur janggut, suka mendengar lagu-lagu dan
lain-lain lagi dari berbagaitradisi atau budaya yang mengalami perubahan.
Kes-kes tersebut mengandunginilai dari sudut pandangan masyarakat yang
berbeza–beza sekaligus memberikesan terhadap penerimaan atau penolakan nilai
tersebut.Fakta di atas pada asasnya telah diterima dengan baik oleh
kalanganfuqaha apabila mereka merumuskan kaedah penetapan hukum
berdasarkan‘uruf, masa dan tempat akan berubah jika faktor tersebut telah
berubah. Di bawah ini akan dibawa beberapa contoh isuberkaitan dengan perubahan
‘uruf dan tempat yang mempunyai kesan terhadappolitik.
Isu
Perubahan Realiti Dalam Konteks Sejarah Politik Islam
Orang
Islam pernah memegang tampuk pemerintahan dalam tempoh yang panjangsehingga
kejatuhan sistem Khalifah ‘Uthmaniyyah di Turki pada 1924. Dalammasa
pemerintahan tersebut, berbagai bentuk isu dan peristiwa yang memerlukan
Untuk
itu beberapa kes akandikemukakan sebagai contoh.
a.Sistem
Pemilihan Pemimpin
Sistem pemilihan ketua negara, sejak kewafatan Nabi
SAW lagi telahmemperlihatkan bentuk luaran yang berbeza-beza. Bermula
perlantikan SaidinaAbu Bakar RA melalui permuafakatan di Saqifah Bani Saidah.
Setelah itu, AbuBakar mencalonkan Saidina ‘Umar RA yang diterima usulan itu
tanpa sebarangpertandingan. Kemudian ‘Umar pula mensyorkan pula enam nama tokoh
besaruntuk bermesyuarat sehingga terlantik Saidina Uthman RA. Bagaimanapunketiadaan
sebarang petunjuk oleh ‘Uthman terhadap bakal penggantinyamenyebabkan Saidina
‘Ali menggambilalih tampuk kepimpinan tertinggi negaramelalui persetujuan
beberapa orang  Ahl al-‘Aqdi wa al- H allidi
Madinah.Peristiwa di atas merupakan suatu panduan yang dikatakan mengikat (ijma‘
)oleh sebahagian besar penulis politik Islam.
Al-Mawardi misalnya menggunakancontoh-contoh tersebut bagi menyatakan bentuk
pemilihan ketua negara yangmelahirkan dua kaedah iaitu melalui pemilihan oleh
anggota Ahl al-‘Aqd wa  Halli dan melalui
penunjukkan oleh kepimpinan yang sedia ada semasa hidupnya (‘ahdial-Imam).
Pengiktirafan kepada proses perlantikan melalui
lantikan semasa hiduppada asasnya merupakan suatu bentuk penerimaan kepada
realiti yang ada. Halini dianggap sebagai usaha bagi mengatasi kebimbangan
berlaku ketidakstabilan jika tiada penjelasan tentang bakal kepimpinan masa
hadapan.
”
atas kekuatan yang dimiliki olehkeluarga Umayyah telah berakar umbi dalam
pemerintahan negara. Pertukarankepimpinan luar daripada lingkungan keluarga
tersebut berpotensi melahirkankeadaan yang tidak stabil dan menggugat
keharmonian.
         Contohnya dalam peperangan Uhud. Rasulullah SAW meminta
pandangan para Sahabat untuk menentukan tempat berperang menentang Musyrikin, apakah
 perlu 
bertahan di kota Madinah saja atau keluar dari Madinah. Akhirnya Baginda  menyetujui pandangan Sahabat untuk keluar
dari Madinah.
Contohnya
dalam peperangan Khandak, Rasulullah SAW mahu berbaik-baik denganBani Ghassan
dengan memberi sebahagian dari hasil tanaman Madinah. Rasulullahberbuat
demikian kerana tidak mahu mereka menyerang umat Islam. Namunrancangan Baginda
ini dibantah oleh Sahabat seperti Sa‘ad bin Ubâdah dan Sa‘adbin Mu‘az. Cadangan
balas daripada Sahabat tersebut diterima oleh Baginda.
Negatif pula melalui cadangan yang dikemukakan
sendiri oleh paraSahabat kepada Rasulullah SAW dan Baginda merestuinya.
Contohnya Bagindamenyetujui cadangan al-Hubâb Ibn al-Mundhir berkhemah
berhampiran dengansumber air pihak musuh di dalam peperangan Badar.iii.Syura
di
antara kedua-duanya iaitu keadaan Baginda yang bertekad untuk melakukan sesuatu
dengan memulainya hingga di pertengahan dan menilainyasemula melalui Sy
Dilihat
dari aspek ini, nyatalah bahawa pada zaman Rasulullah SAW syuradirealisasikan
dengan berbagai cara. Pelaksanaan demikian dari sudut ilmiahmengundang
pentafsiran dan analisis yang menunjukkan
sunnah
fi‘liyyah
dalamkes
ini bukanlah sebagai satu-satunya model yang mutlak dan abadi. Ini
keranaperjalanan syura pada masa Baginda dilaksanakan dalam bentuk yang
sederhana.Selepas Rasulullah SAW wafat, bentuk pelaksanaan syura berubah. Ia
bermuladengan pemilihan ketua kerajaan. Dua golongan yang mempunyai
kepentingansecara langsung iaitu Muh
r.
Dialog perbincangan mereka ituakhirnya mencapai kata sepakat dengan terangkat
Abu Bakar sebagai khalifahpertama negara Islam. Syura pada masa itu menjadi
institusi penting dengankeanggotaan terdiri daripada An
n,
para tokoh masyarakat sertadaripada golongan ulama.Seterusnya institusi ini
dijalankan berdasarkan kebijaksanaan pemerintah.Lantaran itu, pada masa Umawi
institusi ini ditubuhkan di bawah kawasan-kawasanpentadbiran di Damsyik,
Madinah, Iraq, Khurasan (Iran) dan Mesir. Ahli majlistersebut terdiri daripada
tiga unsur iaitu tokoh masyarakat Arab, golongan pimpinantentera, para ulama,
cerdik pandai dan para profesional. Perkembangan bentuk ini mempunyai indikasi
yang besar kerana ia melibatkan rakyat dalam prosespengambilan keputusan
semakin banyak dan menyeluruh.
25
Tindakan
demikian juga pada asasnya merupakan tuntutan yang diperlukan bagi reformasi.
siyasah pada penggunaannya di sudut bahasa bermaksud
‘mentadbir sesuatu perkara dengan baik’ atau ‘pemerintah mentadbir urusan
rakyat’.[1]
Perkataan Syari`ah berasal dari
perkataan “Syari`at” dalam bahasa Arab, yang
dalam penggunaan biasanya dimengertikan sebagai ‘sumber air minum atau
pembawaan yang jelas’[2]. 
Perkataan  ‘Syari`ah’ juga dipakai oleh al-quran dalam banyak ayat
antaranya ada yang bermaksud sebagai peraturan hidup yang terkandung dalam
suruhan dan larangan dan ada juga yang bermaksud seluruh ajaran agama yang
merangkumi aspek keimanan, perundangan dan akhlak.
Manakala ‘Syari`at Islam’ ialah seluruh apa
yang disyari`atkan oleh Allah di dalam agama sama ada dengan wahyu atau dengan
sunnah rasul saw. Ianya termasuklah perkara-perkara yang berkaitan dengan
persoalan akidah dan keimanan, akhlak-akhlak yang mulia dalam perhubungan
sesama anggota masyarakat dan hukum-hukum Allah yang berkaitan dengan perbuatan
para mukallaf sama ada halal, haram, wajib, sunat dan harus yang dikenali
sebagai fiqh dan juga perundangan Islam.[3]
·      Definasi
Siyasah Syar`ieyyah Menurut Istilah.
Para fuqaha’ pula mentakrifkannya sebagai:
“Tindakan pemerintah terhadap sesuatu perkara kerana mendapatkan suatu
kemaslahatan walaupun tindakan itu tidak mempunyai dalil pada juzu’nya.” Dalam
penakrifan lain mereka berkata: “Menguruskan kemaslahatan manusia dengan
mengikut  ketentuan syarak.” 
Kebanyakan  tulisan yang berkaitan dengan siyasah
syar`ieyyah mendefinasikan pengertian siyasah dengan definasi
yang berkisar di atas kedua-dua takrif tersebut.
Siyasah syar`ieyyah ialah ilmu
yang membincangkan mengenai pentadbiran sesebuah kerajaan Islam yang terdiri
daripada undang-undang dan sistem yang  berasaskan kepada asas-asas Islam
atau mentadbir urusan umum daulah Islamiah dengan cara yang membawa kebaikan
kepada manusia dan mengelakkan mereka daripada kemudharatan, tanpa melanggar
sempadan syarak dan asas-asas kulliah walaupun dalam perkara yang
tidak disepakati oleh ulama’ mujtahidin.[4]
Oleh itu topik perbincangan siyasah
syar`ieyyah dikalangan para fuqaha’ ialah sistem, peraturan dan
undang-undang yang diperlukan di dalam mengurus sesebuah negara bertepatan
dengan asas-asas agama bagi menjamin pencapaian kemaslahatan kepada manusia,
menunaikan segala keperluan mereka dan menjauhkan mereka daripada kemudaratan
dunia dan akhirat.
No comments:
Post a Comment