PANTUN MASALAH
BARU YANG
TIDAK PERNAH DITEMUKAN
M.Rakib
Jl.Ciptakarya Pekanbaru Riau Indonesia
Di kebun kelapa, tumbuhlah
lakum
Sejenis asam,
buah-buahan.
Jangan bermain,
dengan hukum
Supaya tidak, dikutuk
Tuhan.
Pukat bertenun, dalam lubuk,
Ikan belida, dadanya panjang.
Penegak hukum, jangan mabuk,
Agar tak salah, menangkap
orang.
Pantun merupakan
salah satu jenis puisi lama
yang sangat luas dikenal dalam bahasa-bahasa Nusantara. Pantun berasal dari
kata patuntun dalam bahasa Minangkabau yang berarti
"petuntun". Dalam bahasa Jawa, misalnya, dikenal sebagai parikan,
dalam bahasa Sunda dikenal sebagai paparikan,
dan dalam bahasa Batak dikenal sebagai umpasa (baca: uppasa).
Lazimnya pantun terdiri atas empat larik (atau empat baris bila dituliskan),
setiap baris terdiri dari 8-12 suku kata, bersajak akhir dengan
pola a-b-a-b dan a-a-a-a (tidak boleh a-a-b-b, atau a-b-b-a). Pantun pada
mulanya merupakan sastra lisan namun sekarang dijumpai juga pantun yang
tertulis.
Berlaku pada masalah-masalah baru yang
tidak pernah ditemukan presedennya pada masa Rasulullah, khalifah atau tabi’in.
Tidak bisa disangkal, persoalan-persoalan baru yang lahir dalam kehidupan
masyarakat Islam membutuhkan hukum-hukum baru. Tentang menciptakan hukum baru
atas masalah baru, bukanlah sesuatu yang asing dalam diskursus pemikiran hukum
Islam. Dikisahkan, suatu hari Rasulullah Muhammad terlibat dialog dengan Mu’adz
bin Jabbal yang baru saja diangkat menjadi gubernur di Kufah. “Mu’adz, apa yang
akan kamu lakukan jika menemukan masalah-masalah dalam hukum Islam?”, tanya
Rasulullah. Mu’adz menjawab: “Saya akan mencarinya dalam Kitab Suci al-qurân .”
Rasul melanjutkan pertanyaannya: “Jika kamu tidak menemukannya dalam al-qurân
?” “Saya akan mencarinya dalam sunnah Nabi,” jawab Mu’adz. “Jika dalam sunnah
Nabi pun kamu tidak menemukan?” tanya Nabi lagi. “Ajtahidu bi ra’yi
(saya akan berijtihad dengan akal fikiran saya)”, jawab Mu’adz. Terhadap
jawaban Mu’adz, Rasul terlihat seperti sangat puas dan bahkan memberikan pujian
atas jawaban itu.
Respons
Mu’adz tidaklah berlebihan, karena tidak semua persoalan dijelaskan dalam
al-qurân dan Sunnah. Al-qurân dan Sunnah sudah berhenti, dan tidak
akan pernah ada ayat-ayat atau sunnah baru, sementara masalah-masalah baru
terus bermunculan (al-qadhâya al-fiqhiyyah mutajaddidah wa mutazâyidah wa
al-nushûsh tsâbitah wa mutanâhiyah). Sehingga, ketika berhadapan dengan
masalah-masalah baru tersebut, al-qurân dan sunnah sering menunjukkan
keterbatasan. Keterbatasan cakupan al-qurân dan Sunnah itu bukan karena
keduanya tidak sempurna, karena keterbatasan itu hanya terjadi pada soal-soal
yang terlampau rinci dan terikat ruang dan waktu. Al-qurân dan Sunnah
bersifat sempurna ketika difahami bahwa keduanya memuat hal-hal yang bersifat syumûli
dan ijmâli, sehingga membuka ruang bagi penafsiran pada masa-masa yang
jauh dari al-qurân . Kedua sumber hukum ini juga memiliki derajat kerincian
yang berbeda. Lazim diketahui, al-qurân lebih ijmâl dibandingkan
al-Hadits dan dengan sendirinya al-Hadits lebih bersifat tafshîli
dibandingkan dengan al-qurân . Tambahan, tidak semua perbuatan Nabi Muhammad
bisa dianggap sebagai Sunnah yang berdimensi hukum. Para ahli hukum Islam,
umumnya membagi perbuatan Rasulullah ke dalam al-af’âl al-tasyrî’iyah
(perbuatan yang berdimensi hukum) dan al-af’âl al-jibiliyah (perbuatan
yang tidak bermuatan hukum) (Khaled, 2001).
Di samping cerita tentang Zaid bin Tsabit,
sejarah juga mencatat tentang Umar ibn Khattab yang sering berselisih pendapat
dengan Nabi Muhammad tentang beberapa persoalan. Misalnya tentang tawanan
perang Badar. Nabi menginginkan agar para tawanan tersebut dibebaskan, tetapi
Umar mengusulkan agar mereka dibunuh. Dalam banyak kasus perbedaan pendapat
antara Nabi dan ‘Umar, tidak jarang wahyu turun untuk membenarkan ijtihad
‘Umar. Sebuah riwayat menceritakan bahwa suatu ketika Nabi Muhammad yang
ditemani Abu Bakar menangis terisak-isak karena menyesali ijtihadnya yang
keliru. Melihat kejadian itu, Umar lalu bertanya: “Apa yang menyebabkan Anda
dan sahabat Anda menangis, wahai Rasul Allah? Kalau ada sesuatu yang patut aku
tangisi, aku akan ikut menangis pula. Jika tidak ada tangisan, aku akan
berupaya menangis seperti tangisan kalian berdua.” Lalu Nabi menceritakan wahyu
yang membenarkan pendapat Umar dan menyalahkan pendapat Nabi. Hingga Nabi
berkata: “Seandainya azab turun, tidak akan ada yang selamat darinya kecuali
Umar ibn Khattab.” (Rahmat, 2007:213).
Semua ini menyatakan satu hal: bahwa sebagai
seperangkat pedoman bagi umat Islam dalam menjalani kehidupan di dunia, hukum
Islam memiliki sifat dasar yang fleksibel. Fleksibilitas hukum Islam itu
mewujudkan diri dalam kebolehan menciptakan hukum terhadap masalah-masalah yang
tidak atau belum pernah muncul pada masa Nabi. Mekanisme menemukan hukum-hukum
baru itulah yang belakangan diformulasikan oleh ‘ulama atau fuqaha sebagai
ijtihad. Mengapa ijtihad menjadi begitu penting? Kita akan membahas hal
tersebut pada bagian-bagian berikut. Tetapi sebelum pembahasan tentang ijtihad,
ada baiknya, ditampilkan suatu ulasan singkat tentang fleksibitas hukum Islam.
Salah satu adagium yang paling terkenal dalam
hukum Islam adalah Islamu shâlihun li kulli zamân wa makân (Islam
senantiasa sesuai dengan perkembangan zaman tempat). Ini adalah salah satu
bukti yang sering ditampilkan untuk menjelaskan tentang flesibilitas hukum Islam.
Fleksibilitas hukum Islam, bisa dimaknai dalam dua konteks: 1) bahwa hukum
Islam senantiasa relevan pada setiap zaman dan setiap tempat; dan 2) bahwa
dalam satu perbuatan, Islam bisa menentukan tiga atau empat hukum sekaligus,
sebagaimana disinggung terdahulu. Sementara tidak ada perselisihan di antara
umat Islam dalam menerima fleksibilitas hukum Islam ini, terdapat perbedaan,
dan tidak jarang perbedaan itu sangat tajam, berkaitan dengan bagaimana
fleksibilitas itu mesti diwujudkan. Pertentangan itu, misalnya, berkaitan
dengan hubungan antara teks dan konteks. Tegasnya, jika terjadi pertentangan
antara teks dan konteks, manakah yang harus dimenangkan.
Kelompok Muslim skripturalis –atau seringkali
diistilahkan dengan puritan, fundamentalis dan radikal– akan cenderung
menempatkan teks sebagai pemenang. Karena bagi kelompok Muslim seperti ini,
keislaman yang benar adalah keislaman seperti yang termaktub dalam
al-qurân dan Sunnah. Itu bermakna bahwa penuturan-penuturan tekstual
al-qurân harus dipatuhi. Konteks, dengan sendirinya, harus menyesuaikan
dengan teks. Karena bagi kelompok ini, jika teks harus disesuaikan dengan
konteks, maka itu bermakna Qur’an dan Sunnah adalah dasar hukum yang tidak
konsisten. Sementara kelompok kontekstualis melihat konteks sebagai faktor
determinan dalam menentukan hukum. Mereka berargumen bahwa al-qurân dan
Sunnah tidak turun di ruang kosong. Keduanya turun di tengah masyarakat atau
komunitas yang telah memiliki sistem nilai, sistem budaya dan sistem sosial
yang mapan. Sehingga turunnya sebuah ayat atau hadits, misalnya, selalu
memperhatikan unsur-unsur ini. Maka, istilah asbâb al-nuzûl
(sebab-sebab turunnya al-qurân ) dan asbâb al-wurûd (sebab-sebab
lahirnya hadits) menunjukkan tidak pernah terpisahnya sebuah teks dari konteks
yang ada di sekitarnya.
Dalam sejarah pemikiran hukum Islam, kelenturan
hukum Islam ini bisa dibuktikan dengan mengambil perubahan fatwa-fatwa Imam
Syafi’i sebagai contoh. Ketika berada di Iraq, Imam Syafi’i pernah memproduksi
fatwa-fatwa atau ketetapan hukum yang disesuaikan dengan konteks masyarakat di
sekelilingnya. Tetapi, ketika Syafi’i pindah ke Mesir, dan dia menemukan
persoalan-persoalan yang timbul di kalangan masyarakat Mesir berbeda dengan apa
yang dia dapati di Iraq, maka dia harus melakukan penyesuaian hukum.
Konsekwensi-nya, fatwa-fatwa yang dihasilkan oleh Imam Syafi’i di Iraq berbeda
dengan apa yang dia hasilkan di Mesir. Karenanya, fatwa-fatwa di Iraq
dinyatakan tidak lagi berlaku di Mesir, dan dinamakan sebagai Qaul Qadîm
(fatwa-fatwa lama), sementara fatwa-fatwa barunya di Mesir dinamakan dengan Qaul
Jadîd. Sebagian ulama’, menghubungkan perubahan pendapat yang dilakukan
oleh Syafi’i ini dengan pergaulan yang dia alami. Di Iraq, yang beraliran hukum
ahl al-ra’y, memberikan pengaruh tidak sedikit kepada Imam Syafi’i
dalam memberikan fatwa-fatwa. Sementara, situasi itu berbeda dengan Mesir, di
mana sebagian besar ulama’ yang hidup di sini adalah penganut ahl al-hadîts.
Atas dasar ini, Sya’ban Muhammad Ismail menyebut bahwa qawl qadîm
adalah pendapat Imam Syafi’i yang bercorak ra’y, sementara qawl
jadîd adalah fatwa-fatwanya yang bercorak hadits (Ismail, 1985:337).
Kelenturan hukum Islam ini menjadi dasar bagi
para fuqaha untuk menentukan hukum bagi sebuah perbuatan. Dalam Syifa’
al-Ghalîl fî Bayân al-Syabbab wa al-Mukhayyal wa al-Masâlik al-Ta’lîl
karya Abi Hamid Muhammad Ibn Muhammad al-Ghazali diceritakan tentang bagaimana
Ibn Yahya al-Laitsi, seorang qadhi di Andalusia memberikan hukuman yang berbeda
terhadap sebuah persoalan. Diceritakan, salah seorang gubernur Andalusia
berhubungan seksual dengan salah satu isterinya pada siang hari di bulan
ramadhan. Belakangan dia menyadari bahwa perbuatannya itu tidak dibenarkan oleh
hukum Islam. Kesadaran itulah yang membawanya untuk mengumpulkan sejmlah ulama’
untuk dimintai pendapatnya tentang pelanggaran yang baru saja dilakukannya. Ibn
Yahya al-Laitsi berfatwa bahwa hukuman bagi gubernur adalah puasa selama dua
bulan berturut-turut. Fatwa itu mengejutkan ulama’ lainnya yang melihat bahwa
gubernur sebenarnya bisa diberikan hukuman berupa memerdekakan hamba atau
memberi makan 60 orang miskin. Al-Laitsi berargumen bahwa bagi seorang gubernur
yang memiliki kekuasaan dan kemampuan finansial sangat memadai, memerdekakan
hamba atau memberi makan 60 orang miskin bukanlah hal yang berat, sehingga jika
dihadapkan pada pilihan antara puasa dua bulan berturut-turut atau memerdekakan
hamba dan memberi makan orang miskin, tentu gubernur akan memilih yang kedua
(Al-Ghazali, 1971:219).
Fleksibilitas hukum Islam ini berkaitan erat
dengan tujuan diturunkannya hukum Islam. Sa’id Ramadhan al-Buti menyebut tujuan
disyari’atkannya hukum Islam adalah untuk kepentingan masyarakat umum (Said,
1977:12). Prinsip inilah yang sering diistilahkan dengan maqâshid al-tasyri’
atau maqâshid al-syari’ah. Dalam diskursus hukum Islam, al-Juwaini
dianggap sebagai orang pertama yang memformulasikan konsep maqâshid
al-syari’ah ini secara sistematis. Di samping itu, konsep maqâshid
al-syari’ah juga dikembangkan oleh al-Ghazali, Fakhruddin al-Razi, dan
al-Qarafi (Felicit, 2005:182-223). Pada masa-masa berikutnya, konsep maqâshid
al-syari’ah dikembangkan oleh ulama’ seperti Abu Ishaq al-Syatibi dalam magnum
opus-nya al-Muwâfaqat fi Ushûl al-Syari’ah, Najamuddin
al-Thufi, al-Qasimi, Rasyid Ridha, Mahmasani, Allal al-Fasi dan Abdul Wahhab
Khallaf. Para fuqaha’ menegaskan bahwa salah satu tujuan yang hendak dicapai
melalui maqâshid al-syari’ah adalah maslahah. Dalam pandangan
sebagian sarjana, konsep maslahah ini bisa difungsikan sebagai sarana
perubahan hukum. Karena konsep masalahah ini memberikan seperangkat
kerangka teoretik yang bisa dirujuk ketika berhadapan dengan persoalan, yang
inheren dalam sistem hukum berdasarkan teks yang pasti, bagaimana membawa
landasan material hukum yang terbatas dalam situasi sosial yang senantiasa
berubah-ubah.
Pengakuan bahwa hukum Islam bersifat fleksibel
juga bisa dibuktikan melalui sejumlah kaidah yang menekankan pentingnya hukum
disesuaikan dengan situasi. Misalnya, yadûru al-hukmu ma’a illati
wujudan wa adaman (ada dan tidak adanya hukum sangat bergantung kepada ‘illat-nya),
la yunkaru taghayyaru al-ahkami bi taghayyari al-zaman (tidak
diragukan lagi, hukum berubah mengikuti perubahan zaman).
TAGHAYYARU
AL-FATAWA BI HASBI TAGHAYYARI AL-AZMINATI WA AL-AMAKINATI WA AL-AHWALI WA
AL-NIYATI AL-AWAIDI (Perubahan Fatwa tidak boleh
mengesampingkan perubahan zaman, tempat, keadaan, niat dan kebiasaan.)
Tegasnya,
sangat tidak mungkin akan muncul hukum-hukum baru ketika maksud di balik
diundangkannya hukum tidak tercapai. Fleksibilitas hukum Islam juga bisa
dibuktikan dengan melihat beragam hukum Islam yang berkembang di berbagai
negara. Sama-sama mengadopsi hukum Islam, Indonesia dan Malaysia memiliki
ketentuan yang berbeda. Demikian juga dengan Afghanistan, Maroko, Mesir, Sudan,
Kuwait dan Irak, misalnya (Marshall, 2005). Perbedaan itu sangat erat kaitannya
dengan situasi lokal yang dihadapi oleh umat Islam. Di Afghanistan, seperti
yang ditulis Joseph Schacht (2003), gerakan purifikasi Islam mengalami hambatan
oleh hukum adat. Cerita yang sama juga terjadi di Indonesia, misalnya
pertentangan antara Kaum Adat dan Kaum Paderi di Sumatera.
Meskipun demikian, masih ada ruang perdebatan
menyangkut hukum apakah yang bisa berubah itu. Sebagian ulama’ meyakini
perubahan itu bisa berlangsung pada hukum yang qath’iy maupun yang dzanny.
Sementara ulama’ lainnya berpendapat hanya hukum zhanny-lah yang bisa
berubah. Itu bisa dilihat, misalnya, dari pernyataan Ali Ahmad
an-Nadawimembatasi hukum yang dinamis itu hanya pada hukum yang berdimensi
maslahat dan adat (Ali, 1994:158). Pendapat yang sama juga dianut oleh
Subhi Mahmasani (Subhi, 1961:198). Hanya saja selain adat, dia juga menambahkan
hukum yang bersumber dari negara.
Ijtihad dan Penerapannya dalam Dinamika
Zaman
Islam pernah menyaksikan satu masa fanatisme
hukum Islam yang luar biasa. Fanatisme itu berlangsung karena sikap para
penganut imam-imam mazhab melakukan kultisme individu yang berlebihan, sehingga
pendapat-pendapat mereka seolah-olah yang paling benar. Sayyid Sabiq
menggambarkan sikap fanatik yang berlebihan dari kalangan penganut imam mazhab
itu dengan mencontohkan apa yang terjadi pada al-Karkhi. Karena terlalu kagum
pada imam mazhab yang dianutnya, al-Kharki menganggap imam-imam lain salah.
Ungkapan dia yang terkenal adalah: kullu ayatin aw haditsin yukhalifu wa
‘alaihi ashabuna fahuwa wuawwalun aw mansukhun (setiap ayat atau hadits
yang tidak sesuai dengan pendapat imam kami, maka harus ditakwilkan atau
mansukh) (Sabiq, 1968:21).
Situasi ini kemudian melahirkan apa yang sering
disebut sebagai tertutupnya pintu ijtihad. Karena pintu ijtihad tertutup, umat
Islam mengalami kemandegan pemikiran. Lalu lahirlah pembaharu-pembaharu Islam
seperti Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha yang menyerukan
umat Islam akan pentingnya melakukan ijtihad. Pada masa pemikir-pemikir muslim
inilah pintu ijtihad kemudian dibuka kembali. Ijtihad menjadi instrumen penting
yang menghubungkan antara ajaran-ajaran Islam yang termuat dalam al-qurân
dan Hadits dengan situasi masyarakat yang selalu berkembang. Terlebih di zaman
sekarang, di mana masyarakat dunia mengalami revolusi teknologi dan informasi
yang begitu dahsyat, pemberlakuakn ijtihad sebagai mekanisme penyelarasan hukum
Islam dengan zaman, menjadi sangat urgen.
Dalam menghadapi globalisasi ini, Amir
Syarifuddin (Amir, 2005:15) memberikan gambaran tentang bagaimana hukum Islam
menghadapi globalisasi. Pertama, merumuskan pendekatan baru dalam
memahami hukum-hukum Allah sesuai dengan kondisi kontemporer zaman. Pendekatan
baru ini penting dihadirkan karena pada dasarnya, para imam terdahulu telah
meletakkan dasar-dasar hukum Islam berkaitan dengan persoalan tertentu. Tetapi
konsekwensi logis perkembangan zaman adalah munculnya masalah-masalah baru
dalam bentuk yang berbeda, ketika para imam mazhab itu merumuskan
formula-formula hukum tadi itu. Amir Syarifuddin memberikan contoh tentang
hukum pengalihan hak milik barang dari satu subjek hukum kepada subjek hukum
lainnya. Imam Syafi’i merumuskan pemindahan hak milik dari satu individu kepada
individu lainnya bisa dilakukan secara sah melalui transaksi yang menggunakan
ijab dan qabul. Sementara tidak ada perdebatan tentang keharusan ijab dan qabul
sebagai syarat sah pemindahan hak milik, bagaimana ijab qabul itu dilangsungkan,
bisa menimbulkan perbedaan pendapat. Misalnya, bagaimana dalam era globalisasi
ini, perdagangan bisa dilakukan secara maya, tanpa mengharuskan para pihak
bertemu secara fisik. Jika formulasi fikih lama yang dipegangi, maka hukum
Islam justru menimbulkan kesulitan bagi umat.
Kedua, menetapkan hukum-hukum baru dengan cara
memahami secara mendalam cara dan tujuan Allah dalam menetapkan hukum. Karena
bentuk hukum selalu menyesuaikan perkembangan zaman, maka ketika penetapan
hukum baru didasarkan pada bentuk-bentuk hukum yang pernah berlangsung, di satu
sisi, dengan mengesampingkan maksud atau tujuan hukum, di sisi lain, maka yang
akan lestari bukanlah tujuan hukum, melainkan bentuk hukum dan peristiwa. Jika
ini yang berlangsung, maka sebagian dari tujuan hukum Islam akan tidak
tercapai.
Islam pernah menyaksikan satu masa
fanatisme hukum Islam yang luar biasa. Fanatisme itu berlangsung karena sikap
para penganut imam-imam mazhab melakukan kultisme individu yang berlebihan,
sehingga pendapat-pendapat mereka seolah-olah yang paling benar. Sayyid Sabiq
menggambarkan sikap fanatik yang berlebihan dari kalangan penganut imam mazhab
itu dengan mencontohkan apa yang terjadi pada al-Karkhi. Karena terlalu kagum
pada imam mazhab yang dianutnya, al-Kharki menganggap imam-imam lain salah.
Ungkapan dia yang terkenal adalah: kullu ayatin aw haditsin yukhalifu wa
‘alaihi ashabuna fahuwa wuawwalun aw mansukhun (setiap ayat atau hadits
yang tidak sesuai dengan pendapat imam kami, maka harus ditakwilkan atau
mansukh) (Sabiq, 1968:21).
Situasi ini kemudian melahirkan apa
yang sering disebut sebagai tertutupnya pintu ijtihad. Karena pintu ijtihad
tertutup, umat Islam mengalami kemandegan pemikiran. Lalu lahirlah
pembaharu-pembaharu Islam seperti Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan
Rasyid Ridha yang menyerukan umat Islam akan pentingnya melakukan ijtihad. Pada
masa pemikir-pemikir muslim inilah pintu ijtihad kemudian dibuka kembali.
Ijtihad menjadi instrumen penting yang menghubungkan antara ajaran-ajaran Islam
yang termuat dalam al-qurân dan Hadits dengan situasi masyarakat yang
selalu berkembang. Terlebih di zaman sekarang, di mana masyarakat dunia
mengalami revolusi teknologi dan informasi yang begitu dahsyat, pemberlakuakn
ijtihad sebagai mekanisme penyelarasan hukum Islam dengan zaman, menjadi sangat
urgen.
Dalam menghadapi globalisasi ini,
Amir Syarifuddin (Amir, 2005:15) memberikan gambaran tentang bagaimana hukum
Islam menghadapi globalisasi. Pertama, merumuskan pendekatan baru dalam
memahami hukum-hukum Allah sesuai dengan kondisi kontemporer zaman. Pendekatan
baru ini penting dihadirkan karena pada dasarnya, para imam terdahulu telah
meletakkan dasar-dasar hukum Islam berkaitan dengan persoalan tertentu. Tetapi
konsekwensi logis perkembangan zaman adalah munculnya masalah-masalah baru
dalam bentuk yang berbeda, ketika para imam mazhab itu merumuskan
formula-formula hukum tadi itu. Amir Syarifuddin memberikan contoh tentang
hukum pengalihan hak milik barang dari satu subjek hukum kepada subjek hukum
lainnya. Imam Syafi’i merumuskan pemindahan hak milik dari satu individu kepada
individu lainnya bisa dilakukan secara sah melalui transaksi yang menggunakan
ijab dan qabul. Sementara tidak ada perdebatan tentang keharusan ijab dan qabul
sebagai syarat sah pemindahan hak milik, bagaimana ijab qabul itu
dilangsungkan, bisa menimbulkan perbedaan pendapat. Misalnya, bagaimana dalam
era globalisasi ini, perdagangan bisa dilakukan secara maya, tanpa mengharuskan
para pihak bertemu secara fisik. Jika formulasi fikih lama yang dipegangi, maka
hukum Islam justru menimbulkan kesulitan bagi umat.
Kedua, menetapkan hukum-hukum baru
dengan cara memahami secara mendalam cara dan tujuan Allah dalam menetapkan
hukum. Karena bentuk hukum selalu menyesuaikan perkembangan zaman, maka ketika
penetapan hukum baru didasarkan pada bentuk-bentuk hukum yang pernah
berlangsung, di satu sisi, dengan mengesampingkan maksud atau tujuan hukum, di
sisi lain, maka yang akan lestari bukanlah tujuan hukum, melainkan bentuk hukum
dan peristiwa. Jika ini yang berlangsung, maka sebagian dari tujuan hukum Islam
akan tidak tercapai.
KESIMPULAN
Hukum Islam adalah hukum yang
dinamis dan memiliki kemampuan yang sangat tinggi dalam menyesuaikan dengan
perkembangan zaman. Formulasi hukum Islam dalam bentuk-bentuk yang baru
merupakan kebutuhan mendesak masyarakat Islam kontemporer, karena pada masa
inilah sejumlah persoalan baru yang tidak pernah ada presedennya pada masa
Nabi, khalifah maupun tabi’in muncul. Ketika masalah-masalah yang demikian itu
timbul, tidak ada jalan lain yang perlu dilakukan kecuali dengan melakukan
ijtihad untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Ijtihad, meskipun
memiliki potensi kontroversi, tetapi ia sudah ada dalam tradisi awal
perkembangan Islam. Bahkan Nabi Muhammad sebagai peletak dasar hukum Islam juga
memberikan indikasi bolehnya melakukan ijtihad ketika terdapat masalah-masalah
baru yang tidak ditemukan jawaban eksplisitnya dalam al-qurân .
Prinsip-prinsip inilah yang
menjadikan hukum Islam sangat fleksibel dan memiliki kemampuan adaptif yang
luar biasa. Karena itu, menjadi tidak mengherankan ketika di banyak tempat
hukum Islam dipraktikkan secara beragam. Keragaman itu bukanlah persoalan,
ketika tujuan atau maksud hukum terpenuhi. Sebaliknya, memelihara keseragaman
dengan meninggalkan tercapainya maksud atau tujuan hukum, justru menyisakan
persoalan bagi fleksibilitas hukum Islam dan kemampuannya beradaptasi dengan
progresivitas zaman.
DAFTAR PUSTAKA
Abou el-Fadhl, Khaled.
(2001). And God Knows The Soldiers: The Authoritative and
Authoritarian in Islamic Discourse. Maryland: University Press of America.
al-Buti, Said Ramadhan. (1977). Dlawabit
al-Maslahah fi al-Syari’ah al-Islamiyah. Beirut: Muassasah al-Risalah.
al-Ghazali, Abi Hamid Muhammad Ibn
Muhammad. (1971). Syifa’ al-Ghalil fi Bayan al-Syabbab wa al-Mukhayyal wa
al-Masalik al-Ta’lil. Baghdad: al-Irsyad.
an-Nadawi, Ali Ahmad. (1994).
al-Qawaid al-Fiqhiyyah: Mafhumuha, Nasy’atuha, Tathawwuruha, Dirasat
Mu’alifatiha, Adillatuha, Muhimmatuha. Damaskus: Dar al-Qalam.
Ismail, Muhammad Sya’ban. (1985). al-Tasyri’
al-Islami: Masadiruhu wa Athwaruhu. Kairo: Maktabah Nahdhah al-Mishriyyah.
Marshal, Paul (ed). (2005). Radical
Islam’s Rule:The Worldwide Spread of Extreme Shari’ah Law. Noew York,
Toronto, Oxford: Rowman and Littlefield Publisher.
Mahmasani, Subhi. (1961). Falsafah
al-Tasyri’ al-Islami. Beirut: Dar al-Miliyin.
Opwis, Felicit. (2005). “Maslaha in
the Contemporary Islamic Legal Theory”, Islamic Law and Society (12: 2).
Rakhmat, Jalaluddin. (2007). Dahulukan
Akhlak di Atas Fikih. Bandung: Mizan.
Sabiq, Sayyid. 1968. Fiqh Sunnah
Jilid I. Kuwait: Dar al-Bayan.
Schact, Joseph. (2003). Pengantar
Hukum Islam. Yogyakarta: Islamika.
Syaifuddin, Amir. (2005). Meretas
Kebekuan Ijtihad. Jakarta: Ciputat Press.
Kepada Yth Dr Rakib Jamari. Atas nama penulis buku "Fikih Jalan Tengah" (Jakarta: Grafindo, 2008) karangan Pradana Boy ZTF, PhD, kami memohon agar supaya naskah yang dipublikasikan melalui blog ini, berjudul "Pantun Hukum Masalah Baru Belum Ditemukan" (14 Maret 2015) dihapus. Naskah tersebut terindikasi penjiplakan atau plagiarisme dari Bab Pendahuluan, Buku "Fikih Jalan Tengah" (2008). Terimakasih.
ReplyDelete